BAB I PENDAHULUAN Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Diperkirakan lebih dari 30% jumlah penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia. Kelainan ini mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi serta kesehatan fisik. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala dari berbagai macam penyakit dasar. Oleh karena itu penentuan penyakit dasar juga penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari, anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas. Berdasarkan standar kompetensi dokter Indonesia yang dibuat oleh Divisi Standar Pendidikan Kolegium Dokter Indonesia, dokter umum diharapkan dapat menegakkan diagnosis anemia (defisiensi besi, megaloblastik, aplastik, hemolitik) berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium. Untuk anemia defisiensi besi, dokter umum harus mampu melakukan penanganan. Untuk anemia megaloblastik, aplastik, hemolitik, dokter umum hanya sampai tahap merujuk serta mengetahui komplikasi penyakit tersebut. Oleh karena itu, dalam referat ini akan dibahas mengenai keempat jenis anemia tersebut.
BAB II ANEMIA 2.1 Definisi Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. 2.2 Kriteria Parameter yang paling umum untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi
secara fisiologis tergantung jenis kelamin, usia,
kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Kriteria anemia menurut WHO adalah: NO 1. 2. 3.
KELOMPOK Laki-laki dewasa Wanita dewasa tidak hamil Wanita hamil
KRITERIA ANEMIA < 13 g/dl < 12 g/dl < 11 g/dl
2.3 Klasifikasi Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi morfologi didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin. No Morfologi Sel Keterangan Jenis Anemia 1. Anemia makrositik Bentuk eritrosit yang - Anemia Pernisiosa - normokromik
besar
dengan - Anemia defisiensi folat
konsentrasi hemoglobin 2.
yang normal Anemia mikrositik Bentuk eritrosit yang - Anemia defisiensi besi - hipokromik
kecil dengan konsentrasi - Anemia sideroblastik hemoglobin
3.
yang - Thalasemia
menurun Anemia normositik Penghancuran - normokromik
penurunan
atau - Anemia aplastik jumlah - Anemia posthemoragik
2
eritrosit tanpa disertai - Anemia hemolitik kelainan
bentuk
dan - Anemia Sickle Cell
konsentrasi hemoglobin
- Anemia
pada
penyakit
kronis Menurut etiologinya, anemia dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu gangguan produksi sel darah merah pada sumsum tulang (hipoproliferasi), gangguan pematangan sel darah merah (eritropoiesis yang tidak efektif), dan penurunan waktu hidup sel darah merah (kehilangan darah atau hemolisis). 1. Hipoproliferatif Hipoproliferatif
merupakan
penyebab
anemia
yang
terbanyak.
Anemia
hipoproliferatif ini dapat disebabkan karena: a. Kerusakan sumsum tulang Keadaan ini dapat disebabkan oleh obat-obatan, penyakit infiltratif (contohnya: leukemia, limfoma), dan aplasia sumsum tulang. b. Defisiensi besi c. Stimulasi eritropoietin (EPO) yang inadekuat Keadaan ini terjadi pada gangguan fungsi ginjal d. Supresi produksi EPO yang disebabkan oleh sitokin inflamasi (misalnya: interleukin 1) e. Penurunan kebutuhan jaringan terhadap oksigen (misalnya pada keadaan hipotiroid) Pada jenis ini biasanya ditemukan eritrosit yang normokrom normositer, namun dapat pula ditemukan gambaran eritrosit yang hipokrom mikrositer, yaitu pada defisiensi besi ringan hingga sedang dan penyakit inflamasi. Kedua keadaan tersebut dapat dibedakan melalui pemeriksaan persediaan dan penyimpanan zat besi.
Fe serum TIBC Saturasi transferin Feritin serum
Defisiensi besi Rendah Tinggi Rendah Rendah
2. Gangguan pematangan 3
Inflamasi Rendah Normal atau rendah Rendah Normal atau tinggi
Pada keadaan anemia jenis ini biasanya ditemukan kadar retikulosit yang “rendah”, gangguan morfologi sel (makrositik atau mikrositik), dan indeks eritrosit yang abnormal. Gangguan pematangan dapat dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu: a. Gangguan pematangan inti Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa makrositik. Penyebab dari gangguan pematangan inti adalah defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme DNA (seperti metotreksat, alkylating agent), dan myelodisplasia. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan pematangan inti, namun keadaan ini lebih disebabkan oleh defisiensi asam folat. b. Gangguan pematangan sitoplasma Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa mikrositik dan hipokromik. Penyebab dari gangguan pematangan sitoplasma adalah defisiensi besi yang berat, gangguan sintesa globin (misalnya pada thalasemia), dan gangguan sintesa heme (misalnya pada anemia sideroblastik) 3. Penurunan waktu hidup sel darah merah Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh kehilangan darah atau hemolisis. Pada kedua keadan ini akan didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Kehilangan darah dapat terjadi secara akut maupun kronis. Pada fase akut, belum ditemukan peningkatan retikulosit yang bermakna karena diperlukan waktu untuk terjadinya peningkatan eritropoietin dan proliferasi sel dari sumsum tulang. Sedangkan pada fase kronis gambarannya akan menyerupai anemia defisiensi besi. Gambaran dari anemia hemolitik dapat bermacam-macam, dapat akut maupun kronis. Pada anemia hemolisis kronis, seperti pada sferositosis herediter, pasien datang bukan karena keadaan anemia itu sendiri, melainkan karena komplikasi yang ditimbulkan oleh pemecahan sel darah merah dalam jangka waktu lama, seperti splenomegali, krisis aplastik, dan batu empedu. Pada keadaan yang disebabkan karena autoimun, hemolisis dapat terjadi secara episodik (self limiting).
4
Gambar 1: klasifikasi anemia berdasarkan indeks eritrosit 2.4 Gejala Klinis 2.5 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium yang digunakan untuk menegakkan diagnosis anemia adalah: 1. Complete Blood Count (CBC) A. Eritrosit a. Hemoglobin (N ♀: 12-16 gr/dl ; ♂: 14-18 gr/dl) b. Hematokrit (N ♀: 37-47% ; ♂: 42-52%) B. Indeks eritrosit a. Mean Cell Volume (MCV) =
hematokrit x 10 Jumlah eritrosit x 10 6
(N: 90 + 8 fl) b. Mean Cell Hemoglobin (MCH) =
hemoglobin x 10 Jumlah eritrosit x 10 6
(N: 30 + 3 pg) c. Mean Cell Hemoglobin Concentration (MCHC) =
hemoglobin x 10 Hematokrit
5
(N: 33 + 2%) C. Leukosit (N : 4500 – 11.000/mm3) D. Trombosit (N : 150.000 – 450.000/mm3) 2. Sediaan Apus Darah Tepi a. Ukuran sel b. Anisositosis c. Poikolisitosis d. Polikromasia 3. Hitung Retikulosit ( N: 1-2%) 4. Persediaan Zat Besi a. Kadar Fe serum ( N: 9-27µmol/liter ) b. Total Iron Binding Capacity ( N: 54-64 µmol/liter) c. Feritin Serum ( N ♀: 30 µmol/liter ; ♂: 100 µmol/liter) 5. Pemeriksaan Sumsum Tulang a. Aspirasi -
E/G ratio
-
Morfologi sel
-
Pewarnaan Fe
b. Biopsi -
Selularitas
-
Morfologi
I. Pemeriksaan Complete Blood Count (CBC) Kriteria apakah seseorang menderita anemia dapat dilihat dari kadar hemoglobin dan hematokritnya. Selain itu, indeks eritrosit dapat digunakan untuk menilai abnormalitas ukuran eritrosit dan defek sintesa hemoglobin. Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan bila > 100 dapat disebut sebagai makrositosis. Sedangkan MCH dan MCHC dapat menilai adanya defek dalam sintesa hemoglobin (hipokromia)
II. Sediaan Apus Darah Tepi (SADT)
6
SADT akan memberikan informasi yang penting apakah ada gangguan atau defek pada produksi sel darah merah. Istilah anisositosis menunjukkan ukuran eritrosit yang bervariasi, sedangkan poikilositosis menunjukkan adanya bentuk dari eritrosit yang beraneka ragam. III. Hitung Retikulosit Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan etiologi anemia. Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas dari sumsum tulang. Retikulosit mengandung residual RNA yang akan dimetabolisme dalam waktu 24-36 jam (waktu hidup retikulosit dalam sirkulasi). Kadar normal retikulosit 1-2% yang menunjukkan penggantian harian sekitar 0,8-1% dari jumlah sel darah merah di sirkulasi. Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah. Nilai retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan hematokrit pasien berdasarkan usia, gender, sarta koreksi lain bila ditemukan pelepasan retikulosit prematur (polikromasia). Hal ini disebabkan karena waktu hidup dari retikulosit prematur lebih panjang sehingga dapat menghasilkan nilai retikulosit yang seolaholah tinggi. RI = (% retikulosit x kadar hematokrit/45%) x (1/ faktor koreksi)
Faktor koreksi untuk: Ht 35% : 1,5 Ht 25% : 2,0 Ht 15% : 2,5 Keterangan: RI < 2-2,5% : produksi atau pematangan eritrosit yang tidak adekuat RI > 2,5% : penghancuran eritrosit yang berlebihan IV. Persediaan dan Penyimpanan Zat Besi Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan TIBC dikali 100 (N: 25-50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan persen saturasi transferin, terdapat suatu variasi diurnal dengan puncaknya pada pk 09.00 dan pk. 10.00.
7
Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh. Namun, feritin juga merupakan suatu reaktan fase akut, dan pada keadaan inflamasi baik akut maupun kronis, kadarnya dapat meningkat. V. Pemeriksaan Sumsum Tulang Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan pada sumsum tulang misalnya myelofibrosis, gangguan pematangan, atau penyakit infiltratif. Peningkatan atau penurunan perbandingan dari suatu kelompok sel (myeloid atau eritroid) dapat ditemukan dari hitung jenis sel-sel berinti pada suumsum tulang (ratio eritroid dan granuloid).
8
BAB III Anemia Defisiensi Besi Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering ditemukan terutama di negara berkembang. Penyebabnya antara lain: o Faktor
nutrisi:
rendahnya
asupan
besi
total
dalam
makanan
atau
bioavailabilitas besi yang dikonsumsi kurang baik (makanan banyak serat, rendah daging, dan rendah vitamin C). o Kebutuhan yang meningkat, seperti pada bayi prematur, anak dalam pertumbuhan, ibu hamil dan menyusui. o Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, colitis kronik, atau achlorhydria. o Kehilangan besi akibat perdarahan kronis, misalnya: perdarahan tukak peptik, keganasan
lambung/kolon,
hemoroid,
infeksi
cacing
tambang,
menometrorraghia, hematuria, atau hemaptoe.
A. Metabolisme Besi Total besi dalam tubuh manusia dewasa sehat berkisar antara 2 gram (pada wanita) hingga 6 gram (pada pria) yang tersebar pada 3 kompartemen, yakni 1). Besi fungsional, seperti hemoglobin, mioglobin, enzim sitokrom, dan katalase, merupakan 80 % dari total besi yang terkandung jaringan tubuh. 2). Besi cadangan, merupakan 15-20% dari total besi dalam tubuh, seperti feritin dan hemosiderin. 3). Besi transport, yakni besi yang berikatan pada transferin. Sumber besi dalam makanan terbagi ke dalam 2 bentuk: 1. Besi heme, terdapat dalam daging dan ikan. Tingkat absorpsinya tinggi (25% dari kandungan besinya dapat diserap) karena tidak terpengaruh oleh faktor penghambat. 2. Besi non-heme, berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tingkat absorpsi rendah (hanya 12% dari kandungan besinya yang dapat diserap). Mekanisme absorpsinya sangat rumit dan belum sepenuhnya dimengerti. Absorpsi sangat dipengaruhi oleh adanya 9
faktor pemacu absorpsi (meat factors, vitamin C) dan faktor penghambat (serat, phytat, tanat).
Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3 fase: o Fase Luminal: besi dalam makanan diolah oleh lambung (asam lambung menyebabkan heme terlepas dari apoproteinnya) hingga siap untuk diserap. o Fase Mukosal: proses penyerapan besi di mukosa usus. Bagian usus yang berperan penting pada absorpsi besi ialah duodenum dan jejunum proksimal. Namun sebagian kecil juga terjadi di gaster, ileum dan kolon. Penyerapan besi dilakukan oleh sel absorptive yang terdapat pada puncak vili usus. Besi heme yang telah dicerna oleh asam lambung langsung diserap oleh sel absorptive, sedangkan untuk besi nonheme mekanisme yang terjadi sangat kompleks. Setidaknya terdapat 3 protein yang terlibat dalam transport besi non heme dari lumen usus ke sitoplasma sel absorptif. Luminal mucin berperan untuk mengikat besi nonheme agar tetap larut dan dapat diserap meskipun dalam suasana alkalis duodenum. Agar dapat memasuki sel, pada brush border sel terjadi perubahan
besi feri menjadi fero oleh enzim feri reduktase yang
diperantarai oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membrane difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT-1 atau Nramp-2). Sesampainya di sitoplasma sel usus, protein sitosol (mobilferrin) menangkap besi feri. Sebagian besar besi akan disimpan dalam bentuk feritin dalam mukosa sel usus, sebagian kecil diloloskan ke dalam kapiler usus melalui basolateral transporter (ferroportin atau IREG 1). Besi yang diloloskan akan mengalami reduksi dari molekul fero menjadi feri oleh enzim ferooksidase, kemudian berikatan dengan apotransferin dalam kapiler usus.
10
Gambar 4: proses absorbsi besi o Fase corporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel yang membutuhkan, dan penyimpanan besi di dalam tubuh. Dalam sirkulasi, besi tidak pernah berada dalam bentuk logam bebas, melainkan berikatan dengan suatu glikoprotein (β-globulin) pengikat besi yang diproduksi oleh hepar (transferin). Besi bebas memiliki sifat seperti radikal bebas dan dapat merusak jaringan. Transferin berperan mengangkut besi kepada sel yang membutuhkan terutama sel progenitor eritrosit (normoblas) pada sumsum tulang. Permukaan normoblas memiliki reseptor transferin yang afinitasnya sangat tinggi terhadap besi pada transferin. Kemudian besi akan masuk ke dalam sel melalui proses endositosis menuju mitokondria. Disini besi digunakan sebagai bahan baku pembentukan hemoglobin. Kelebihan besi di dalam darah disimpan dalam bentuk feritin (kompleks besiapoferitin) dan hemosiderin pada semua sel tubuh terutama hepar, lien, sumsum tulang, dan otot skelet. Pada hepar feritin terutama berasal dari transferin dan tersimpan pada sel parenkimnya, sedangkan pada organ yang lain, feritin terutama terdapat pada sel fagosit mononuklear (makrofag monosit) dan berasal dari pembongkaran eritrosit. Bila jumlah total besi melebihi kemampuan apoferitin untuk menampungnya maka besi disimpan dalam bentuk yang tidak larut (hemosiderin). Bila jumlah besi plasma sangat rendah, besi sangat mudah dilepaskan dari feritin, tidak demikian pada hemosiderin. Feritin dalam jumlah yang sangat kecil terdapat dalam plasma, bila kadar ini dapat terdeteksi menunjukkan cukupnya cadangan besi dalam tubuh.
11
Gambar 5: distribusi besi dalam tubuh
B. Sintesis Hemoglobin Sintesis hemoglobin dimulai sejak stadium pronormoblas, namun hanya sedikit sekali rantai hemoglobin yang terbentuk. Begitu pula pada stadium normoblas basofil. Baru pada stadium normoblas polikromatofil sitoplasma sel mulai dipenuhi dengan hemoglobin (± 34%). Sintesa ini terus berlangsung hingga retikulosit dilepaskan ke peredaran darah. Pada tahap pertama pembentukan hemoglobin, 2 suksinil Ko-A yang berasal dari siklus krebs berikatan dengan 2 molekul glisin membentuk molekul pirol. Empat pirol bergabung membentuk protoporfin IX, yang selanjutnya akan bergabung dengan besi membentuk senyawa heme. Akhirnya setiap senyawa heme akan bergabung dengan rantai polipeptida panjang (globin) sehingga terbentuk rantai hemoglobin. Rantai hemoglobin memiliki beberapa sub unit tergantung susunan asam amino pada polipeptidanya. Bentuk hemoglobin yang paling banyak terdapat pada orang dewasa adalah hemoglobin A (kombinasi 2 rantai α dan 2 rantai β). Tiap sub unit mempunyai molekul heme, oleh karena itu dalam 1 rantai hemoglobin memerlukan 4 atom besi. Setiap atom besi akan berikatan dengan 1 molekul oksigen (2 atom O2).
12
Gambar 6: pembentukan hemoglobin C. Klasifikasi Derajat Defisiensi Besi dan Patogenesis Berdasarkan beratnya kekurangan besi dalam tubuh, defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan: 1. Deplesi besi (iron depleted state) Terjadi penurunan cadangan besi tubuh, tetapi penyediaan untuk eritropoiesis belum terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum feritin, peningkatan absorpsi besi dari usus, dan pengecatan besi pada apus sumsum tulang berkurang. 2. Iron deficient Erythropoiesis Cadangan besi dalam tubuh kosong, tetapi belum menyebabkan anemia secara laboratorik karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi, sumsum tulang melakukan mekanisme mengurangi sitoplasmanya sehingga normoblas yang terbentuk menjadi tercabik-cabik, bahkan ditemukan normoblas yang tidak memiliki sitoplasma (naked nuclei). Selain itu kelainan pertama yang dapat dijumpai adalah penigkatan kadar free protoporfirin dalam eritrosit, saturasi transferin menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Parameter lain yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum.
13
Gambar 7: Gambaran apus sumsum tulang penderita anemia defisiensi besi 3. Anemia defisiensi besi Bila besi terus berkurang eritropoiesis akan semakin terganggu, sehingga kadar hemoglobin menurun diikuti penurunan jumlah eritrosit. Akibatnya terjadi anemia hipokrom mikrositer. Pada saat ini terjadi pula kekurangan besi di epitel, kuku, dan beberapa enzim sehingga menimbulkan berbagai gejala. Beberapa dampak negatif defisiensi besi, disamping terjadi anemia, antara lain: 1. Sistem neuromuskuler Terjadi penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom, dan gliserofosfat oksidase yang menyebabkan gangguan glikolisis sehingga terjadi penumpukan asam laktat yang mempercepat kelelahan otot. 2. Gangguan perkembangan kognitif dan non kognitif pada anak Terjadi karena gangguan enzim aldehid oksidase dan monoamin oksidase, sehingga mengakibatkan penumpukan serotonin dan katekolamin dalam otak. 3. Defisiensi besi menyebabkan aktivitas enzim mieloperoksidase netrofil berkurang sehingga menurunkan imunitas seluler. Terutama bila mengenai ibu hamil, akan meningkatkan risiko prematuritas dan gangguan partus.
D. Gejala Anemia defisiensi besi 14
Digolongkan menjadi 3 golongan besar: 1. Gejala Umum anemia (anemic syndrome) Dijumpai bila kadar hemoglobin turun dibawah 7 gr/dl. Berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, dan mata berkunang-berkunang. Pada anemia defisiensi besi penurunan Hb terjadi secara bertahap sehingga sindrom ini tidak terlalu mencolok. 2. Gejala khas defisiensi besi, antaralain: •
Koilonychia (kuku seperti sendok, rapuh, bergaris-garis vertikal)
•
Atrofi papil lidah
•
Cheilosis (stomatitis angularis)
•
Disfagia, terjadi akibat kerusakan epitel hipofaring sehingga terjadi pembentukan web
•
Atrofi mukosa gaster, sehingga menyebabkan aklorhidria
Kumpulan gejala anemia hipokrom-mikrositer, disfagia, dan atrofi papil lidah, disebut Sindroma Plummer Vinson atau Paterson Kelly. 3. Gejala akibat penyakit dasar Misalnya gangguan BAB pada anemia karena Ca-colon
E. Pemeriksaan Laboratorium Kelainan laboratorium yang dapat dijumpai adalah: 1. Kadar hemoglobin dan indek eritrosit: •
Anemia hipokrom mikrositer (penurunan MCV dan MCH)
•
MCHC menurun pada anemia defisiensi besi yang lebih berat dan berlangsung lama 15
•
Bila pada SADT terdapat anisositosis, merupakan tanda awal terjadinya defisiensi besi
•
Pada anemia hipokrom mikrositer yang ekstrim terdapat poikilositosis (sel cincin, sel pensil, sel target)
2. Konsentrasi besi serum menurun dan TIBC meningkat TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan
saturasi transferin dihitung dari:
Konsentrasi besi serum memiliki siklus diurnal, yakni mencapai kadar puncak pada pukul 8-10 pagi. 3. Penurunan kadar feritin serum Feritin serum merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis anemia defisiensi besi yang paling kuat, cukup reliabel dan praktis. Angka serum feritin yang normal belum dapat menyingkirkan diagnosa defisiensi besi, namun feritin serum >100 mg/dl sudah dapat memastikan tidak ada defisiensi. 4. Peningkatan protoporfirin eritrosit Angka normalnya <30 mg/dl. Peningkatan protoporfirin bebas >100 mg/dl menunjukkan adanya defisiensi besi. 5. Peningkatan reseptor transferin dalam serum (normal 4-9 µg/dl), dipakai untuk membedakan anemia defisiensi besi dengan anemia pada penyakit kronis. 6. Gambaran apus sumsum tulang menunjukkan jumlah normoblas basofil yang meningkat,
disertai
penurunan
stadium
berikutnya.
Terdapat
pula
mikronormoblas (sitoplasma sedikit dan bentuk tidak teratur. Pengecatan sumsum tulang
dengan Prussian blue merupakan gold standar diagnosis
defisiensi besi yang akan memberikan hasil sideroblas negatif (normoblas yang mengandung granula feritin pada sitoplasmanya, normal 40-60%).
16
7. Pemeriksaan mencari penyebab defisiensi, misalnya pemeriksaan feses, barium enema, colon in loop, dll.
F. Diagnosis Tiga tahap mendiagnosa suatu anemia defisiensi besi: 1). Menentukan adanya anemia 2). Memastikan adanya defisiensi besi 3). Menentukan penyebab defisiensi. Secara laboratoris dipakai kriteria modifikasi Kerlin untuk menegakkan diagnosa: → anemia hipokrom mikrositer pada SADT ATAU MCV <80 fl dan MCH < 31% dengan satu atau lebih kriteria berikut: 1. Terdapat 2 dari parameter di bawah ini: •
Besi serum <50 mg/dl
•
TIBC >350 mg/dl
•
Saturasi ttransferin <15%
2. Feritin serum <20 mg/dl 3. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prussia menunjukkan sideroblas negatif 4. Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200mg/hari selama 4 minggu terdapat kenaikan Hb >2 gr/dl
G. Terapi 1. Terapi kausal, untuk mencari penyebab kekurangan besi yang diderita. Bila tidak dapat menyebabkan kekambuhan. 2. Pemberian preparat besi: •
Oral: merupakan pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman, terutama sulfas ferosus. Dosis anjuran 3x200mg/hari yang dapat meningkatkan eritropoiesis hingga 2-3 kali dari normal. Pemberian 17
dilakukan sebaiknya saat lambung kosong (lebih sering menimbulkan efek samping) paling sedikit selama 3-12 bulan. Bila terdapat efek samping
gastrointestinal
(mual,
muntah,
konstipasi)
pemberian
dilakukan setelah makan atau osis dikurangi menjadi 3x100mg. Untuk meningkatkan penyerapan dapat diberikan bersama vitamin C 3x100 mg/hari. •
Parenteral,misal preparat ferric gluconate atau iron sucrose (IV pelan atau IM). Pemberian secara IM menimbulkan nyeri dan warna hitam pada lokasi suntikan. Indikasi pemberian parenteral: a. Intoleransi terhadap preparat oral b. Kepatuhan berobat rendah c. Gangguan pencernaan, seperti kolitis ulseratif (dapat kambuh dengan pemberian besi) d. Penyerapan besi terganggu, seperti gastrektomi e. Kehilangan darah banyak f. Kebutuhan besi besar yang harus dipenuhi dalam jangka waktu yang pendek, misalnya ibu hamil trimester 3 atau pre operasi. Dosis yang diberikan dihitung menurut formula: Kebutuhan besi (mg) = {(15 – Hbsekarang ) x BB x 2,4} + (500 atau 1000)
3. Diet, terutama yang tinggi protein hewani dan kaya vitamin C. 4. Transfusi diberikan bila terdapat indikasi yaitu: •
Terdapat penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung
•
Gejala sangat berat, misalnya pusing sangat menyolok
•
Pasien memerlukan peningkatan kadar Hb yang cepat, misalnya kehamilan trimester akhir atau pre operasi
18
Dalam pengobatan, pasien dinyatakan memberikan respon baik apabila retikulosit naik pada minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke 10, dan kembali normal pada hari ke 14 pengobatan. Diikuti dengan kenaikan Hb 0,15 gr/dl/hari atau 2 gr/dl setelah 3-4 minggu pengobatan
19
DAFTAR PUSTAKA
Adamson WJ et al, 2005, Anemia and Polycythemia in Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th edition ; NewYork : McGraw Hill. Adamson, John W, 2005, Iron Deficiency and Other Hypoproliferative Anemias in Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th edition ; NewYork : McGraw Hill. Bakta I Made, dkk, 2006, Anemia Defisiensi Besi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV ; Jakarta : FKUI. Cotran et al, 1999, Red Cell and Bleeding Disorders in Robbins Pathologic Basis Of Disease 6th edition ; USA : Saunders. Guyton and Hall, 1997, Sel-Sel Darah Merah, Anemia dan Polisitemia dalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi IX, Jakarta : EGC. Mansen T J et al, 2006, Alteration of Erythrocyte function in Pathophysiology : The Biologic Basis for Disease in Adults and Children 5th edition ; USA : Mosby. Marks, Dawn B. Biokomia Kedokteran Dasar, Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta: EGC; 2000. Murray, Robert K. Biokimia harper, 24ed. Jakarta: EGC; 1999. Supandiman I dan Fadjari H, 2006, Anemia Pada Penyakit Kronis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV ; Jakarta : FKUI. Supandiman I dkk, 2003, Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi medik ; Bandung : Q Communication . 20
Transcellular transport of cobalamin (Cbl; vitamin B 12) in an ileal cell : Expert Reviews
in
Molecular
Medicine,
Accession
download
from
http://www.expertreviews.org. Weiss G and Goodnough, 2005, Anemia of Chronic Disease, download from www.nejm.org on june 22, 2006. Widjanarko A dkk, 2006, Anemia Aplastik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV ; Jakarta : FKUI.
21