Nama : Gina Wulandari NPM : 1506676954 Filsafat Hukum Reguler B
TUGAS RANGKUMAN FILSAFAT HUKUM Classical Positivism and Pure Theory of Law A.
C lassica lassicall P osit si ti vism Istilah positivism berasal dari kata ponere berarti meletakkan dan kemudian
menjadi bentuk pasif yakni diletakkan. Sehingga positivism menunjukkan sebuah sikap atau pemikiran yang meletakkan pandangan atau pendekatannya pada suatu umumnya positivisme bersifat empiris. Menurut pandangan positivism, yang paling utama dalam hukum adalah fakta bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitasnya berasal dari kewenangan tersebut. Namun tidak menolak abstraksi-abstraksi data hasil pengamatan dan tidak mencari atau menerima realitas yang lebih tinggi dan diatas dunia inderawi. Oleh karena itu, positivism itu, positivism cenderung cenderung sekuler dan empiris. Pertanyaan “apa itu hukum” merupakan suatu yang esensial dalam aliran ini. Melihat dari hal yang empiris dan analisis fakta social yang objektif. Dikataka bahwa hukum adalah norma yang diciptakan atau bersumber dari kewenangan formal atau informal dari lembaga yang memiliki kewenangan untuk itu. Menurut positivisme hukum, suatu norma adalah hukum bila norma tersebut te rsebut ditetapkan (diletakkan) sebagai hukum yang ditetapkan oleh suatu kedaulatan ( sovereign). Dalam aliran positivisme aliran positivisme hukum hukum dipandang sebagai fenomena khusus dibanding fenomena social la innya, dimana hukum diadakan dan diterapkan dalam ruang lingkup tertentu. Hukum tidak dapat dilepaskan dari factor lain seperti moral, agama, etika dan lain sebagainya namun ada pemisahan yang tegas antara hukum dan moral, dimana hukum bisa saja bertentangan dengan moral namun ia tetap sah sebagai hukum bila ditetapkan oleh penguasa. Berasal dari asumsi bahwa penguasa adalah orang-orang yang dipilih oleh rakyat yang memperjuangkan kepentingan masyarakat maka hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh penguasa sudah pasti benar dan adil. Pertanyaan kedua yakni “apa hukum yang baik itu ?” pertanyaan ini menyangkut pertanyaan model ought mengenai keharusan dan bersifat normative. Terdapat evaluasi mengenai nilai baik dan buruk yang didasarkan pada standar yang seyogiyanya dicapai oleh hukum yang baik. Hukum yang baik adalah hukum yang memenuhi tujuan yang ingin dicapai dari adanya hukum dan juga hukum yang secara procedural normative memenuhi terciptanya sebuah hukum.
Nama : Gina Wulandari NPM : 1506676954 Filsafat Hukum Reguler B
Terdapat beberapak tokoh yang menganut aliran positivisme salah satunya adalah Jeremy Bentham yaitu seorang filsuf kelahiran Inggris yang dikenal sebagai pendiri aliran utilitarianisme. Kebahagiaan terbesar adalah jumlah yang terbesar, Bentham menolak hukum kodrat dan nilai-nilai subjektif dan menggantinya dengan patokan-patokan yang didasarkan pada keuntungan, kesenagan dan kepuasan-kepuasan manusia. Hukum semacam ini dicapai dengan menggunakan seni perundang-undangan yang digunakan untuk meramalkan mana yang akan memaksimalkan kebahagiaan dan meminimalkan kepedihan. Ilmu perundang-undangan berkaitan dengan penciptaan hukum yang effective dan adequate (setimbang) dengan kebutuhan masyarakat yang akan mendukung pemenuhan kebutuhan masyarakat akan kebahagiaan dan kesenangan. Teori ini merupakan teori yang bersifat imperative yang didalamnya terdapat konsep-konsep kunci yaitu Sovereignty dan Command. Bagi Bentham, pelaksanaan hukum merupakan ekstra legal walaupun ia tidak menyampingkan penggunaan sanksi hukum. Bentham berpikir bahwa Command dan Sovereign merupakan hukum walaupun “Command” hanya didukung oleh sanksi moral dan agama . Selain itu, hukum selalu imperative dan permisif. Seluruh hukum memerintahka, melarang atau membolehkan bentuk-bentuk tertentu dari perilaku. Bentham menyadari bahwa sifat imperative hukum selalu disebutkan sedangkan penghukuman sering tersembunyi. Tokoh lain yang juga menganut aliran Positivisme adalah John Austin yakni seorang pemikir positivis yang meneruskan pemikiran Bentham. Bagi Austin, hukum merupakan perintah dari pihak yang berkuasa yang memiliki sanksi dan terpisah dari moral. Austin bersikukuh pada orang atau lembaga yang menentukan sebagai sumber dari suatu command yang dapat dianggap sebagai pijakan bahwa suatu command merupakan pelaksanaan kehendak dari orang-orang tertentu. Unsur yang paling penting dalam hukum adalah Command yang diterjemahkan sebagai perintah dan Sanction yang dipandang sebagai “the evil” karena muncul dari sebuah perintah tidak dipatuhi. Berkaitan dengan Sovereignty selalu memandang hukum dibuat oleh orang atau sekelompok orang yang mempunyai Sovereignty dan dapat disejajarkan dengan Supreme yang diartikan sebagai daulat. Sovereignty bersifat faktual, bisa banyak, bertingkat dan bersifat politis. Empat unsur penting untuk dinamakan sebagai hukum adalah perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (close logical system). Austin dan Bentham memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat Sovereignty. Dimana Austin melihat Sovereign sebagai Illimitable
Nama : Gina Wulandari NPM : 1506676954 Filsafat Hukum Reguler B
dan Indivisible entity. Sedangkan Bentham melihat perbedaan antara keinginan social dan kebutuhan logis yang tidak dilihat oleh Austin sehingga Bentham menerima devided and partial sovereignty. Austin tidak membedakan Sovereignty secara de jure dan de facto dimana hal ini dianggap sebagai suatu kegagalan. Melihat pandangan mengenai aliran positivisme yang memandang bahwa hukum tidak terlepas dari norma agama, moral dan etika namun terdapat pemisahan antara hukum dan moral adalah tepat. Hal ini untuk menghindari adanya produk-produk hukum yang mendiskriminasi dan menkriminalisasi pihak-pihak tertentu. Seperti contoh yang kerap terjadi di Indonesia yakni munculnya lebih dari 400 Peraturan Daerah yang mendiskriminasi pihak tertentu yang dianggap memiliki kedudukan yang lemah seperti perempuan dan orang miskin. Hal ini disebabkan karena penguasa mencampuradukan antara moral dan hukum. Namun disisi lain, apabila mempercayakan pembentukan hukum sepenuhnya berada ditangan penguasa dengan asumsi penguasa dipilih oleh rakyat dan akan membuat hukum yang benar dan adil hanya untuk kepentingan rakyat seetinya tidak dapat sepenuhnya diterima. Memang benar penguasa dipilih oleh rakyat namun belum tentu benar memperjuangkan kepentingan masyarakat semata, hal ini dikarenakan meski seyogianya penguasa menciptakan hukum yang benar dan adil untuk kepentingan masyarakat namun tak jarang penguasa lebih mementingkan kepentingan prbadi dan golongan diatas kepentingan rakyat. Terlebih lagi rakyat yang memilih penguasa juga belum tentu seluruhnya karena memang memahami dan menyadari potensi dari wakil yang mereka pilih sebagai penguasa. Terlebih lagi masih banyak juga rakyat yang memilih hanya karena diimingi uang atau janji tertentu.
B.
Pure Theory of Law Teori Murni tentang Hukum awalnya di gagas oleh Hans Kelsen pada tahun 1934.
Teori ini mendapat tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan antara aliran hukum alam dengan positivisme empiris. Beberapa ahli menyebut pemikiran kelsen sebagai “jalan tengah” dari dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya. Empirisme hukum melihat bahwa hukum sebagai fakta social. Sedangkan kelsen berpendapat bahwa intepretasi hukum berhubungan dengan norma yang no empiris. Norma tersebut memiliki struktur yang membatasi interpretasi hukum. Di sisi lain, berbeda dengan mazhab hukum alam, Kelsen berpendapat bahwa hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral.
Nama : Gina Wulandari NPM : 1506676954 Filsafat Hukum Reguler B
Kelsen berbicara mengenai pengetahuan hukum (teori murninya) ia percaya bahwa dunia objektif ditangkap dari kategori-kategori yang telah ada sebelumnya dari dunia subjek yang mengamati. Disini kita menemukan transenduralisme Kantian bersamaan dengan kritisisme. Proseduralisme Kantian juga tampak ketika Kelsen memperbincangkan mengenai hirarki norma. Bagi Hume proposisi moral ti dak dapat didedukasikan dari dunia fisik (atau dalam terminologinya keharusan “ought” tidak dapat diambil dari kenyataan atau “is”), dan peraturan moral atau normative sangat berhubungan dengan opini atau pendapat subyektif yang mengamati. Sebagai kritik terhadap teori hukum kodrat, Teori Hukum Murni melepaskan hukum dari relik-relik animisme yang menganggap alam sebagai legislator dan melepaskan hukum dari karakter ideologis menyangkut konsep keadilan dan atau value judgment. Dalam kritiknya terhadap sosiologi hukum dan teori tradisional di bidang hukum, Teori Hukum Murni melepaskan hukum dari bidang empiris, pertama-tama bidang poiltik, dan juga dari karakter ideologis menyangkut value judgment dan konsep keadilan yang dianut bidang politik. Sebagai kritik terhadap Analytical Jurisprudence, Teori Hukum Murni memandang hukum sebagai norma pada tataran the Ought / das Sollen, yang terpisah dari bidang empiris, karena Austin mengajarkan bahwa hukum adalah perintah yang berada pada tataran the Is / das Seitz di bidang empiris. Dengan demikian, Teori Hukum Murni membebaskan hukum dari anasir-anasir nonhukum, seperti misalnya psikologi, sosiologi, etika (filsafat moral) dan politi k. Kelsen memisahkan secara tajam antara norma hukum pada tataran the Ought/ das Sollen dengan bidang empiris pada tataran the Is / das Seitz, dan memisahkan secar a tajam antara hukum formal dengan hukum materiil. Teori Hukum Murni hanya mengakui hukum formal sebagai obyek kajian kognitif ilmu hukum, sedangkan hukum materiil tidak dicakupkan dalam bidang obyek kajian ilmu hukum, karena hukum materiil berisikan janji keadilan yang berada di bidang ideologis, yang pada tataran praktis dilaksanakan di bidang politik. Teori Hukum Murni memusatkan kajiannya hanya pada hukum formal berdasarkan keabsahannya, yang membentuk suatu sistem hierarki norma hukum dengan puncak "Grundnorm". Oleh karena kajiannya hanya menyangkut hukum formal berdasarkan keabsahan, maka Teori Hukum Mumi hanya melihat hukum dari aspek yuridis formal semata, artinya teori tersebut mengabaikan hukum materiil yang di dalamnya terdapat cita hukum dalam konsep keadilan dan pertimbangan moral. Karena hanya menekankan pada aspek yuridis formal, Teori Hukum Murni sangat potensial menimbulkan permasalahan kekuasaan berlebihan bagi organ pembuat dan/atau pelaksana hukum, dan salah satu
Nama : Gina Wulandari NPM : 1506676954 Filsafat Hukum Reguler B
alternatif penyelesaian masalah tersebut adalah diperlukannya pedoman dan/atau pembatasan lebih rinci dalam penerapan norma hukum umum atau pembuatan norma hukum kasuistis. Karena hukum dipisahkan dari moral, maka hukum sangat potensial mengesampingkan atau melanggar kemanusiaan, dan agar hukum tidak melanggar kemanusiaan, hukum harus mengambil pertimbangan dari aspek moral. Walaupun mengadung kelemahan, stufentheory dalam Teori Hukum Murni juga membawa manfaat bagi bidang sistem tata hukum. Teori Hukum Murni juga merupakan suatu teori negara hukum dalam suatu versi tersendiri, yang berupaya mencegah kekuasaan totaliter pada satu sisi dan mencegah anarkisme murni pada sisi lain. Sehingga jika disimpulkan, Pure Theory of law menurut Kelsen memisahkan hukum murni dengan elemen lainnya yang disebut Kelsen sebagai Foreign Element seperti sosiologi, politik, ekonomi dan sebagainya.
Referensi :
Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manullang. Pengantar ke Filsafat Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group, 2007.
Kelsen, Hans. The Pure Theory of Law. 1934