Penyakit infeksi di Indonesia masih termasuk dalam sepuluh penyakit terbanyak. Peresepan dan penggunaan antibiotik yang kurang bijak akan meningkatkan kejadian resistensi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa telah muncul mikroba yang resisten antara lainMethicillin lain Methicillin Resistant Staphylococcus St aphylococcus aureus (MRSA), resistensi multi obat pada penyakit tuberkulosis (MDR TB) dan lain-lain. Dampak resistensi terhadap antibiotik adalah meningkatnya morbiditas, mortalitas dan biaya kesehatan. Di rumah sakit, penggunaan antibiotik yang tidak perlu atau berlebihan mendorong berkembangnya resistensi dan multipel resisten terhadap bakteri tertentu yang akan menyebar melalui infeksi silang. Terdapat hubungan antara penggunaan (atau kesalahan penggunaan) antibiotik dengan timbulnya resistensi bakteri penyebab infeksi nosokomial. Resistensi tidak dapat dihilangkan, tetapi dapat diperlambat melalui penggunaan antibiotik yang bijak. Hal tersebut membutuhkan kebijakan dan program pengendalian antibiotik yang efektif. Komite Farmasi dan Terapi (KFT), Komite Pencegahan dan Pe ngendalian Infeksi Rumah Sakit (KPPI-RS), Tim Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) merupakan kepanitiaan di rumah sakit yang berperan dalam menetapkan kebijakan penggunaan antibiotik, pencegahan dan penyebaran bakteri yang resisten serta pengendalian resistensi bakteri terhadap antibiotik. Pada setiap kepanitiaan tersebut, apoteker berperan penting dalam meningkatkan penggunaan antibiotik yang bijak. Program pengendalian resistensi antibiotik bertujuan: 1. Menekan resistensi antibiotik 2. Mencegah toksisitas akibat penggunaan antibiotik 3. Menurunkan biaya akibat penggunaan antibiotik yang tidak bijak 4. Menurunkan risiko infeksi nosokomial Program Pengendalian Resistensi Antibiotik dapat berjalan dengan baik bila danya kolaborasi yang harmonis antar profesi kesehatan. Tim PPRA terdiri dari 4 Pilar, yaitu : 1. Komite Farmasi dan Terapi 2. Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi RS 3. Farmasi Klinik 4. Mikrobiologi Klinik
Tugas Tim PPRA :
Membantu pimpinan dalam:
Menerapkan kebijakan-kebijakan tentang pengendalian resistensi antimikroba (integr asi dengan 4 pilar)
Menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan antibiotik
Menetapkan program pengendalian resistensi antimikroba (PPRA)
Memonitor dan mengevaluasi PPRA
Menyelenggarakan forum diskusi/kajian pengelolaan penderita penyakit infeksi
Menyebarluaskan dan meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang prinsip-prinsip pengendalian resistensi antimikroba yang terkait dengan penggunaan antibiotik secara bijak
Mengembangkan penelitian yang terkait dengan PPRA
KOMITE FARMASI DAN TERAPI
Pengendalian pedoman penggunaan antibiotik
Kebijakan penggunaan antibiotik (antibiotic ( antibiotic policy )
Pembuatan & revisi pedoman penggunaan antibiotik (antibiotic ( antibiotic guideline) guideline )
Surveillance penggunaan antibiotik Drug Use Study
KOMITE PPI
Pengendalian penyebaran mikroba resisten
Standar Precaution (kewaspadaan standar)
Isolasi penderita
Penanganan unit kerja sumber mikroba resisten (source (source control)
Surveillance mikroba resisten
Menyusun pedoman-pedoman terkait
PELAYANAN MIKROBIOLOGI KLINIK
Laboratorium Mikrobiologi
Identifikasi dan uji sensitivitas
Hasil pemeriksaan mikrobiologi
Konsultasi / Visitasi / Patient care
Bersama klinisi ikut terlibat merawat pasien infeksi.
Turn Around Time report
Informasi Pola kuman
Pengelolaan data mikroba
menerbitkan informasi peta medan secara berkala
PELAYANAN FARMASI KLINIK
Peran Apoteker sebagai anggota Tim Pengendalian Resistensi antimikroba Peran penting apoteker yang terlatih dalam penyakit infeksi untuk mengendalikan resistensi antibiotik dapat dilakukan melalui: A. Upaya mendorong penggunaan antibiotik secara bijak
Meningkatkan kerjasama multidisiplin untuk menjamin bahwa penggunaan antibiotik profilaksis, empiris dan definitif memberikan hasil terapi yang optimal.
Kegiatan ini mencakup penyusunan kebijakan dan prosedur, Misalnya restriksi penggunaan antibiotik, saving penggunaan antibiotik, penggantian terapi antibiotik, pedoman penggunaan antibiotik maupun kegiatan selama perawatan pasien penyakit infeksi. Kegiatan terkait perawatan pasien penyakit infeksi misalnya pemilihan antibiotik yang tepat, mempertimbangkan pola kuman setempat, o ptimalisasi dosis, pemberian antibiotik sedini mungkin pada pasien dengan indikasi infeksi, de-eskalasi, pemantauan terapi antibiotik.
Terlibat aktif dalam Komite Farmasi dan Terapi
B. Menurunkan transmisi infeksi melalui keterlibatan aktif dalam Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi. C. Memberikan edukasi kepada tenaga kesehatan, pasien dan masyarakat tentang penyakit infeksi dan penggunaan antibiotik yang bijak.
1. Peran Apoteker sebagai anggota Komite Farmasi dan Terapi Apoteker terlibat aktif dalam kegiatan Komite Farmasi dan Ter api khususnya terkait pengendalian penggunaan antibiotik, melalui: 1. Pemilihan jenis antibiotik yang akan dimasukkan dalam pedoman penggunaan antibiotik, formularium, dan yang diuji kepekaan
2. Analisis hasil evaluasi penggunaan antibiotik secara kuantitatif maupun kualitatif 3. Pembuatan kebijakan penggunaan antibiotik di rumah sakit. 4. Analisis cost effective, effective, Drug Use Evaluation (DUE), dan evaluasi kepatuhan terhadap pedoman penggunaan antibiotik maupun kebijakan terkait yang telah ditetapkan 5. Analisis dan pelaporan Efek Samping Obat (ESO)/Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD). 2. Peran Apoteker Sebagai Anggota Komite Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (KPPI-RS)
Apoteker berpartisipasi dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi pada pasien dan tenaga kesehatan melalui: 1. Penetapan kebijakan dan prosedur internal Instalasi Farmasi dalam penyiapan sediaan steril. Misalnya penetapan kebijakan pencampuran dalam laminar air flow cabinet oleh tenaga yang terlatih. 2. Penetapan kebijakan penggunaan sediaan antibiotik steril sekali pakai (single-dose (single-dose package) package ) dan penggunaan sediaan steril dosis ganda (multiple-dose (multiple-dose container ) 3. Penandaan yang benar termasuk pencantuman tanggal dan jam kadaluwarsa serta kondisi penyimpanan sediaan antibiotik. 4. Peningkatan kepatuhan terhadap kewaspadaan baku (standard ( standard precaution) precaution) oleh tenaga kesehatan, pasien dan petugas lain yang terlibat dalam perawatan pasien. 5. Kolaborasi dalam penyusunan pedoman penilaian risiko paparan, pengobatan dan pe mantauan terhadap pasien dan tenaga kesehatan yang pernah kontak dengan pasien penyakit infeksi. 6. Penyusunan pedoman penggunaan antiseptik dan disinfektan 7. Penurunan kejadian infeksi nosokomial dengan cara menjamin ketersediaan alat kesehatan sekali pakai, antiseptik dan disinfektan 3. Peran apoteker pada penanganan pasien dengan penyakit infeksi Kegiatan Apoteker dalam melaksanakan pharmaceutical melaksanakan pharmaceutical care pada pasien dengan penyakit infeksi meliputi: Apoteker bekerjasama dengan Ahli Mikrobiologi untuk menjamin bahwa hasil uji kepekaan antibiotik dilaporkan tepat waktu dan ke tepatan laboratorium mikrobiologi dalam melakukan interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium terkait penyakit infeksi. Apoteker bekerja dengan sistem pengelolaan yang efektif dan efisien, sehingga dapat menurunkan kesalahan yang mungkin terjadi dan kejadian yang tidak diharapkan akibat penggunaan antibiotik 4. Peran Apoteker Dalam Kegiatan Edukasi
Apoteker berperan dalam memberikan edukasi dan informasi tentang pengendalian resistensi antibiotik serta pencegahan dan pengendalian infeksi kepada tenaga kesehatan, pasien dan keluarga pasien. Kegiatan edukasi yang disertai dengan sosialisasi tentang kebijakan dan prosedur restriksi antibiotik dapat meningkatkan efektivitas edukasi
Faktor yang mempengaruhi resistensi terhadap antibiotik:
Tingkat penggunaan yang tinggi untuk jenis infeksi yang salah, dosis yang tidak tepat, durasi yang tidak tepat
Peningkatan pasien risiko tinggi (immunocompromised ( immunocompromised )
Peningkatan tindakan invasif
Strategi penggunaan dan pengendalian antibiotik
Menyusun kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik (profilaksis, terapi) yang diupdate secara update secara berkala
Program sosialisasi dan edukasi
Menggolongkan peresepan antibiotik menjadi: non-restriksi dan restriksi
Kontinuitas ketersediaan antibiotik yang diperlukan
Ketersediaan laboratorium uji kepekaan dan pemilihan uji kepekaan
Memberikan umpan balik secara berkala kepada klinisi tentang pola peresepan antibiotik dan pola kepekaan kuman
Keberadaan Apoteker farmasi klinik untuk optimalisasi terapi antibiotik
Pengendalian promosi obat
Penghentian otomatis (automatic (automatic stop order ) untuk antibiotik tertentu
Penggunaan antibiotik secara bijak:
1. Spektrum sempit berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan bakteri penyebab, indikasi ketat, dosis cukup, durasi cukup dan tidak berlebihan 2. Antibiotik empirik spektrum luas dapat digunakan dalam keadaan tertentu, tetapi evaluasi klinis harus dilakukan setelah 3 hari. Lakukan streamlining/de-escalation 3. Mengikuti kebijakan pembatasan peresepan antibiotik (restriksi)
4. Optimalisasi dosis dengan mempertimbangkan kondisi klinis, kuman penyebab, lokasi infeksi, sifat farmakodinamik dan farmakokinetik obat. 5. Mengubah terapi dari parenteral ke oral sesegera mungkin Pemantauan penggunaan antibiotik:
1. Melakukan evaluasi ulang setelah 72 jam tidak ada perbaikan klinis 2. Memantau Efek Samping Obat Pedoman Penggunaan Antibiotik
Pedoman disusun berdasarkan konsensus
Pemilihan antibiotik berbasis bukti, peta kuman, ketersediaan obat
Pedoman harus praktis dan dapat dilaksanakan
Pedoman disusun berdasarkan klasifikasi penyakit dan pola pengobatan (empirik dan definitif)
Pemilihan antibiotik mengikuti kebijakan restriksi
Pendekatan sistematik pemilihan antibiotik yang rasional
Konfirmasi adanya infeksi: anamnesis, tanda dan ge jala,faktor risiko
Identifikasi kuman patogen: ambil spesimen, lakukan gram stain, pemeriksaan serologi, kultur dan kepekaan
Pilih terapi dengan mempertimbangkan faktor pasien, obat
Monitor respons terapeutik: pemeriksaan klinis, uji laboratorium, penilaian kegagalan terapi
Dosis Antibiotik, tergantung pada :
Umur
BB
Keparahan penyakit
Fungsi organ ginjal, hati
Lokasi infeksi
Jenis infeksi
Keparahan
Frekuensi Pemberian Antibiotik, tergantung pada :
Concentration-dependent
Time-Dependent
Fungsi ginjal, hati
Durasi Pemberian Antibiotik, tergantung pada:
Lokasi infeksi
Jenis infeksi
Keparahan
Kebijakan penggunaan antibiotika di Rumah Sakit , bertujuan untuk :
Untuk mengurangi penggunaan antibiotik yang salah dan berlebihan
Pembatasan penggunaan antibiotik golongan tertentu
Kebijakan stop order antibiotik
Dapat menekan biaya penggunaan antibiotik
Upaya menurunkan angka resistensi antibiotik adalah:
Pencegahan infeksi
Diagnosis infeksi yang tepat
Pemilihan antibiotik secara bijak
Mencegah perpindahan infeksi
Pemilihan jenis antibiotik yang digunakan di rumah sakit didasarkan pada Kebijakan/Pedoman Penggunaan Antibiotik, Pedoman Diagnosis dan Terapi/ Protokol Terapi serta Formularium Rumah Sakit yang disahkan oleh Direktur Rumah Sakit. Prinsip pemilihan antibiotik meliputi :
Antibiotik yang disesuaikan dengan pola kuman lokal dan sensitifitas bakteri.
Antibiotik yang bermutu
Antibiotik yang cost effective
Apoteker memberikan informasi kepada dokter/perawat tentang antibiotik. Informasi yang diberikan antara lain tentang seleksi, rejimen dosis, r ekonstitusi, pengenceran/pencampuran antibiotik dengan larutan infus dan penyimpanan antibiotik. Pemberian informasi meliputi :
1. Tujuan terapi 2. Cara penggunaan yang benar dan teratur 3. Tidak boleh berhenti minum antibiotik tanpa sepengetahuan Dokter/Apoteker (harus diminum sampai habis kecuali jika terjadi reaksi obat yang tidak diinginkan), 4. Reaksi obat yang tidak diinginkan yang mungkin terjadi serta tindakan yang harus dilakukan 5. Cara penyimpanan
Konseling terutama ditujukan untuk:
Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menggunakan antibiotik
Mencegah timbulnya resistensi bakteri
Meningkatkan kewaspadaan pasien/keluarganya terhadap efek samping/reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) yang mungkin terjadi, dalam rangka menunjang pelaksanaan program patient program patient safety di rumah sakit.
Konseling tentang penggunaan antibiotik dapat diberikan pada pasien/keluarga pasien rawat jalan maupun rawat inap secara aktif di ruang konseling konseling khusus untuk menjamin privacy menjamin privacy pasien.
Setelah diberikan konseling dilakukan evaluasi pengetahuan pasien untuk memastikan pasien memahami informasi yang telah diberikan. Bila perlu, dilengkapi dengan informasi tertulis (leaflet atau booklet). Antibiotik intravena dapat diganti peroral, apabila setelah 24-48 jam:
1. Kondisi klinis pasien membaik. 2. Tidak ada gangguan fungsi pencernaan (muntah, malabsorpsi, gangguan menelan, diare berat). 3. Kesadaran baik. 4. Tidak demam (suhu > 36°C dan < 38°C), disertai tidak lebih dari satu k riteria berikut:
Nadi > 90 kali/menit
Pernapasan > 20 kali/menit atau PaCO2 < 32 mm Hg
Tekanan darah tidak stabil
Leukosit < 4.000 sel/dl atau > 12.000 sel/dl (tidak ada neutropeni).