SISTEM DEMOKRASI TERPIMPIN
Makalah diajukan sebagai bahan diskusi kelas
Mata kuliah Sistem Politik Indonesia
Disusun oleh:
Lathifa Rulia Sa'diyyah (11141130000077)
Rizky Afif Hidayah (11141130000081)
Saleha Mufida (11141130000093)
Dosen Pembimbing:
Pangi Syarwi, S.IP, M.IP
Universitas Islam Negeri Syarif Hiyatullah Jakarta
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Prodi : Hubungan Internasional
BAB I
1.1 Latar Belakang
Sejarah politik pada masa demokrasi parlementer hingga demokrasi terpimpin mewarnai pentas politik nasional. Terdapat banyak fenomena yang harus diketahui dan dibahas dalam makalah ini. Salah satu fenomena tersebut adalah kekecewaan Presiden Soekarno yang kecewa terhadap kinerja kabinet-kabinet dalam konstituante pada masa demokrasi parlementer yang tidak kunjung mencapai kesepakatan terhadap undang-undang dasar baru hingga akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menegaskan berlakunya kembali UUD 1945 sekaligus membubarkan Konstituante.
Setelah berakhirnya masa Demokrasi Parlementer, Indonesia menganut sistem Demokrasi Terpimpin, dimana dalam TAP MPRS No. III/1963 mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup yang bertolak belakang dengan UUD 1945. Dalam hal ini berbagai golongan atau partai politik membangun peran untuk kepentingannya dan Negara. Terdapat konflik antara Partai Nasionalis dan Partai Agama, yang berakhir NU memisahkan diri dari Masyumi dan Masyumi diambang kehancuran, karena dibubarkan oleh Soekarno.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Proses berakhirnya Demokrasi Parlementer?
2. Mengapa Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tahun 1959?
3. Apakah umat Islam dilibatkan dalam Sistem Demokrasi Terpimpin?
4. Mengapa NU yang dilibatkan dalam pemerintahan Soekarno?
1.3 Tujuan
Untuk memahami proses berakhirnya Demokrasi Parlementer dan munculnya Demokrasi Terpimpin. Selain itu, untuk mengetahui bagaimana keterlibatan umat Islam dalam perkembangan Demokrasi Terpimpin, serta untuk memahami peran NU didalam pemerintahan Soekarno.
1.4 Kerangka Teori
Secara etimologis, kata demokrasi (dari bahasa Yunani) adalah bentukan dari dua kata demos (rakyat) dan cratein atau cratos (kekuasaan dan kedaulatan). Perpaduan kata demos dan cratein atau cratos membentuk kata demokrasi yang memiliki pengertian umum sebagai sebuah bentuk pemerintahan rakyat (government of the people) di mana kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat dan dilakukan secara langsung oleh rakyat atau melalui para wakil mereka melalui mekanisme pemilihan yang berlangsung secara bebas. Secara substansial, demokrasi adalah seperti yang pernah dikatakan oleh Abraham Lincoln suatu pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.
Menurut pakar politik J. Kristiandi menyebutkan sepuluh pilar demokrasi sebagai berikut: (1) kedaulatan rakyat; (2) pemerintahan berdasarkan persetujuan yang diperintah; (3) kekuasaan rakyat; (4) jaminan hak-hak minoritas; (5) jaminan hak-hak manusia; (6) persamaan di depan hukum; (7) proses hukum yang berkeadilan; (8) pembatasan kekuasaan pemerintah melalui konsitusi; (9) pluralism sosial, ekonomi, dan politik; dan (10) dikembangkannya nilai-nilai toleransi, pragmatism, kerja sama, dan mufakat.
Demokrasi Indonesia dapat dibagi ke dalam empat periode: periode 1945-1959, periode 1959-1965, periode 1965-1998, dan periode pasca-Orde Baru. Pada periode 1945-1959 demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan Demokrasi Parlementer. Pada periode 1959-1965 demokrasi ini dikenal dengan demokrasi terpimpin. Pada periode 1965-1998 demokrasi ini dikenal dengan Demokrasi Pancasila. Terakhir periode Pasca-Orde Baru disebut dengan era Reformasi.
BAB II
2.1 Berakhirnya Demokrasi Parlementer dan Dekrit Presiden Tahun 1959
Karakteristik periode ini berupa suatu seri krisis kabinet yang tiada henti-hentinya, sehingga sering disebut dengan an interrupted series of crises. Pada umumnya yang disalahkan adalah partai politik. Salah satu sebab adalah kenyataan bahwa dua partai yang bersaing tidak dapat memperoleh mayoritas di parlemen. Untuk keperluan itu setiap partai baru membentuk koalisi-koalisi dengan partai-partai kecil. Akan tetapi tidak ada loyalitas pada koalisi. Beberapa kali suatu partai yang menyatakan tidak setuju dengan kebijakan kabinet menarik kembali dukungannya, sehingga kabinet jatuh karena kehilangan mayoritas dalam parlemen dan terjadi krisis kabinet. Selain itu ada sejumlah persoalan dalam partai masing-masing. Salah satu persoalan tersebut adalah loyalitas anggota terhadap partainya ternyata sangat tipis. Tokoh-tokoh partai tidak segan-segan keluar dari partai induknya begitu timbul konflik pribadi dan mendirikan partai baru.
Sebagai contoh dapat kita lihat perpecahan yang terjadi di beberapa partai politik. Di kalangan Masyumi, PSII memisahkan diri dari Masyumi beberapa tahun 1947, sedangkan NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952. Fragmentasi juga dialami oleh PNI pada 1949 waktu Parindra keluar dari PNI, dan pada tahun 1950 waktu beberapa tokoh keluar dan mendirikan Partai Rakyat Nasional (PRN). Disusul dengan pendirian Partai Indonesia Raya (PIR). PIR pada 1954 pecah menjadi dua PIR, satu dipimpin oleh Wongsonegoro, yang lain oleh Hazairin. Hal ini menyebabkan badan eksekutif lemah dalam menghadapi masalah baik nasional maupun internasional. Menanggapi hal ini,Presiden Soekarno memperlihatkan kekesalannya dengan menyerukan agar partai politik dikuburkan saja.
Sementara itu, sesudah dua setengah tahun bersidang, Konstituante yang pada 10 November 1956 kembali, tetap tidak berhasil merumuskan suatu undang-undang dasar baru. Dalam perdebatan mengenai undang-undang dasar, konstelasi politik dalam Konstituante terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu golongan nasionalis ---dengan anggota antara lain PNI, PKI, IPKI--- yang terdiri atas 274 anggota dan golongan agama ---dengan anggota Masyumi dan NU--- yang terdiri atas 230 anggota. Di luar kedua kelompok besar ini terdapat sebuah kelompok kecil sosial-ekonomi yang terdiri dari 10 anggota yang juga meramaikan perdebatan tersebut.
Dalam sidang pleno amandemen yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei 1959, K.H. Masykur sebagai pengusul, kalah suara. Setelah kekalahan tersebut, diadakan pemungutan suara mengenai usul Presiden Soekarno tanpa amandemen sampai tiga kali, yang hasilnya kira-kira sama.Dalam sidang pemungutan suara terakhir yang diselenggarakan pada tanggal 2 Juni 1959 yang dihadiri oleh 468 anggota menghasilkan 263 suara setuju (yang diperlukan 312 setuju) dan 203 tidak setuju. Hal ini berarti bahwa golongan nasionalis memperoleh mayoritas meskipun belum mencapai mayoritas 2/3 dari anggota yang hadir (quality majority) seperti yang disyaratkan oleh pasal 137 Undang-Undang Dasar Sementara. Seandainya voting diadakan atas dasar suara terbanyak (simple majority, 50% + 1), maka suara tersebut telah cukup untuk memenangkan usulan pemerintah. Akan tetapi, hanya karena masalah prosedur, yaitu mayoritas yang diperlukan adalah 2/3, usul pemerintah tidak dapat dijadikan keputusan Konstituante. Dengan kata lain, Konstituante gagal karena kedua golongan tidak berhasil mencapai kesepakatan.
Sesudah kekalahan pemerintah itu, Konstituante direseskan. Kedua pimpinan Konstituante, Ketua Wilopo (PNI)dan Wakil Ketua Prawoto Mangkusasmito (Masyumi) dikabarkan akan bertemu dan mencoba untuk `menyelamatkan Konstituante. Sementara itu muncul desas-desus tersebut, muncul juga bahwa Suwirjo, Ketua Umum PNI, telah mengirim kawat ke Presiden Soekarno di Jepang bahwa partainya setuju UUD 1945 didekritkan dan Konstituante dibubarkan saja.
Faktor-faktor disintegratif di atas, ditambah dengan kegagalan partai-partai dalam Majelis Konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar Negara untuk undang-undang dasar baru, mendorong Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, yang menegaskan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir, digantikan oleh Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) yang memosisikan Presiden Soekarno menjadi pusat kekuasaan Negara.
2.2 Demokrasi Terpimpin dan Keterlibatan Umat Islam Di Dalamnya
Menurut Soekarno, demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Ciri-ciri demokrasi ini adalah dominasi politik presiden dan berkembangnya pengaruh komunis dan peranan tentara (ABRI) dalampanggung politik nasional.
Keterlibatan umat Islam, pada masa demokrasi terpimpin dibagi menjadi dua, yaitu:
Islam dan Demokrasi Terpimpin Proses Kristalisasi (Juli 1959 – Desember 1960)
Kabinet Djuanda adalah kabinet peralihan dari periode Demokrasi Parlementer Demokrasi Terpimpin. Dalam kabinet Soekarno ini, Djuanda tetap diberi posisi penting sebagai Menteri Pertama yang tugasnya tidak terlalu berbeda dengan tugas Perdana Menteri. Kabinet inilah yang bertugas melaksanakan gagasan Soekarno dalam bentuk Demokrasi Terpimpin. Demokrasi gaya baru ini telah membawa Soekarno ke puncak kekuasaan yang memang sudah lama ia dambakan, tapi karena fondasinya tidak kokoh, sistem itulah yang akhirnya membawa kehancuran. Sekitar enam setengah tahun sistem ini beroperasi dalam sejarah kontemporer Indonesia, secara politik umat Islam tidak saja berbeda pandangan, bahkan terpecah-pecah berhadapan dengan sistem yang diciptakan Soekarno.
Sikap Masyumi yang menentang ide Demokrasi Terpimpin sementara NU, PSII, dan Perti turut serta di dalamnya. Masyumi yang beraliansi dengan partai-partai kecil seperti PSI dan Partai Katolik jelas tidak bisa menolong posisi politiknya. Secara mikro, di kalangan umat Islam, proses kristalisasi juga menjadi kenyataan. Soekarno menganggap bahwa Masyumi dan adalah "Kepala Batu" yang harus disingkirkan, sedangkan NU dan partai Islam yang mendukung sistem demokrasi Soekarno ini hanya dianggap sebagai peran pinggir, bukan peran utama. Sebenarnya golongan Islam hanyalah untuk meramaikan jargon Nasakom: suatu bentuk kerjasama semu dan dipaksakan. Namun dibalik itu dalam Majelis Konsituante, partai-partai Islam pada umumnya dapat menggalang kekompakan sesama mereka, khususnya pada waktu memperjuangkan islam atau Pancasila ala Piagam Jakarta sebagai dasar Negara.
Islam dan Demokrasi Terpimpin Periode Kolaborasi
Dengan terbentuknya DPRGR pada april 196, proses kristalisasi politik di kalangan umat mendapatkan momentumnya yang kritis dan menentukan, dan proses itu mencapai titik puncak pada akhir 1960 sewaktu Masyumi diperintahkan bubar. Seiring dengan itu pula, kita menyaksikan permulaan periode kolaborasi antara Soekarno dan partai-partai islam, yang berlangsung terus menerus sampai jatuhnya rezim Demokrasi Terpimpin.
2.3 Keterlibatan NU dalam Pemerintahan Soekarno
Peryataan NU tentang penerimaan eksistensi DPRGR adalah dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip amar ma'ruf nahi munkar. Dalam arti praktis, yang dituju NU adalah bertambahnya jumlah wakil umat Islam dalam DPRGR secara keseluruhan hingga sebanding dengan wakil-wakil golongan lain. Dalam hal ini menambah dukungan dari NU untuk kemajuan Islam terhadap Demokrasi Terpimpin Soekarno.
Kemampuan NU untuk tetap berperan dalam Demokrasi Terpimpin tidak dapat dipungkiri sangat ditunjang oleh kemampuan para pemimpinnya dalam menjalin hubungan pribadi dengan Presiden Soekarno. Mereka dapat menjalin hubungan dengan hangat, karena pemahaman mereka satu sama lain yang sama-sama dilanasi dengan kuat oleh nilai-nilai budaya jawa. Soekarno diperkirakan turut memainkan peran di belakang layar ketika NU pada tahun 1952 memutuskam untuk keluar dari Masyumi. Dua tokoh utama NU yang mempelopori pemisahan ini, yaitu; K.H Wahab Chasbullah dan K.H A. Wahid Hasyim adalah juga tokoh-tokoh NU yang menjalin hubungan pribadi dengan Soekarno. Khusus mengenai K.H Wahid Hasyim dan Soekarno, mereka berdua pernah sama-sama terlibat dalam BPUPKI. Ini menunjang mekanisme hubungan pribadi yang sering dijadikannya keputusan politik. Sehingga semakin memperkuat dugaan bahwa Soekarno berkeinginan memisahkan NU dari Masyumi.
Hangatnya hubungan NU dengan Soekarno juga tercermin dalam Koran Partai NU, Duta Masyarakat. Setiap peryataan Soekarno dalam periode ini, hampir selalu diberi dukungan oleh para pemimpin NU. Seperti dalam masalah Irian Barat, Konfortasi dengan Malaysia, pengambilalihan perusahaan asing, Deklarasi Ekonomi (Dekon), dan keluarnya Indonesia dari PBB.
2.4 Analisis
Demokrasi Parlementer yang sebelumnya dirancang oleh Soekarno membawa kehancuran dengan gagalnya Badan Konstituante, kacaunya kabinet-kabinet yang selalu berganti, dan partai politik dan mengatasinya dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Demokrasi Terpimpin membuat Soekarno mencapai impiannya menuju sistem yang ia bayangkan, namun terlewat dari konsep dasar yang dibangun olehnya kurang terstruktur dengan baik membawa Soekarno kedalam kehancuran. Selain tentang konsep dasar, paradigma psikologi Soekarno juga berpengaruh dalam keruntuhannya.
Keadaan Soekarno yang membenci Masyumi membuat mereka hanya tetap mempertahankan visi dan misinya dan melawan. Bagi Masyumi Demokrasi Terpimpin akan membawa kehancuran bagi bangsa dan Negara. Sementara Masyumi terpuruk dalam perannya, NU dalam keadaan keterbalikan. NU mendukung sepenuhnya praktik Demokrasi Terpimpin yang diciptakan oleh Soekarno. Hal ini disebabkan kedekatan NU dengan Soekarno sangat hangat yang memungkinkan keduanya saling memiliki kebutuhan untuk dipenuhi satu sama lain.
2.5 Klarifikasi
Sejarah runtuhnya sistem demokrasi parlementer dan dimulainya sistem demokrasi terpimpin, serta keterlibatan partai-partai di pentas nasional pada masa itu, menurut salah satu sumber yang kami baca, menceritakan tentang bagaimana konflik-konflik yang terjadi dalam tubuh Konstituante yang menyebabkan Presiden Soekarno kecewa hingga memutuskan untuk mengeluarkan Dekrit Presiden yang intinya kembali kepada UUD 1945 dan membubarkan Konstituante. Begitu juga di sumber yang lain, kurang lebih menceritakan hal yang sama dengan sumber pertama.
Berkaitan dengan keterlibatan umat Islam terhadap politik pada masa Demokrasi Terpimpin. Dari sumber sumber yang dikumpulkan, dapat diklarifikasikan bahwa Masyumi berusaha menentang sistem Soekarno. Sementara NU, PSII, dan PERTI mendukung penuh terhadap sistem Soekarno.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Selama masa pelaksanaannya di Indonesia, yaitu dari tahun 1945-1959, Demokrasi Parlementer banyak menimbulkan konflik. Salah satunya yaitu konflik yang menimbulkan perpecahan dalam partai politik. Akibatnya, pemerintahan yang berbasis pada koalisi politik pada masa ini jarang bertahan lama. Koalisi yang dibangun dengan sangat mudah pecah. Persaingan tidak sehat antara fraksi-fraksi politik dan pemberontakan daerah terhadap pemerintah pusat telah mengancam berjalannya demokrasi itu sendiri, ditambah lagi dengan kegagalan partai-partai politik tersebut untuk mencapai konsensus mengenai dasar Negara untuk undang-undang dasar baru.Faktor-faktor tersebut mendorong Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang menegaskan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, masa demokrasi berdasarkan sistem parlmenter berakhir, dan digantikan oleh Demokrasi Terpimpin.
Demokrasi Terpimpin adalah sistem pemerintahan dimana memegang kekuasaan tertinggi. Dalam hal ini membuat Soekarno sewenang-wenang dalam membuat kebijakan. Salah satunya upaya Soekarno membubarkan Partai Masyumi dengan dukungan NU, PSII, PERTI.
3.2 Saran
Berdasarkan penjabaran materi di atas, penulis menyarankan kepada pembaca untuk memahami apa yang terjadi dengan sistem demokrasi kita yang mengalami beberapa perubahan sistem dan menimbulkan banyak konflik. Kita sebagai generasi muda harus bisa melihat dan mengambil pelajaran dari sejarah demokrasi Negara kita, agar kita bisa memikirkan dan menata lagi masa depan demokrasi Negara kita tanpa harus mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Erwin, Muhammad. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia. Bandung: Refika Aditama
Kanumoyoso, Bondan. 1996. Kepemimpinan di dalam NU Pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959- 1965. Jakarta: UI Press
Maarif, A Syafii.1996. Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965. Jakarta: Gema Insani Press
Ubaedillah, A. & Abdul Razak .2012. Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik.210. hlm. 436.
Ibid., hlm. 436-437.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. 2010.hlm. 437.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. 2010, hlm. 438.
Ubaedillah, A. & Abdul Razak. Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani.2012, hlm. 75.
Erwin, Muhammad. Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia, hlm. 138
Ubaedillah, A. & Abdul Razak. Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. 2012, hlm. 76
Lihat J.D Legge, Soekarno : A Political Biography, New York, Washington: Praeger Publishers, 1972, hlm.311
Maarif, A Syafii. Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965. Hlm.46
Maarif, A Syafii. Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965. Hlm.51
Maarif, A Syafii. Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965.hlm.80
Duta Masyarakat, 17 Mei 1960, hlm.1
Kanumoyoso, Bondan. Kepemimpinan di dalam NU Pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965.hlm.99
Duta Masyarakat 5 Januari 1963, 24 Maret 1963 dan 8 Januari 1965.
1