Marcia: Status Identitas-Krisis dan Komitmen Diumpamakan ada empat orang remaja yang akan lulus dari SMA. Dengan mempertimbangkan minat dan bakatnya, Caterina berencana untuk menjadi Insinyur. Ia telah mempersempit pilihan di perguruan tingginya menjadi tiga, semua menawarkan program yang baik sesuai dengan pilihannya. Andrea tahu pasti apa yang ingin dia lakukan dengan hidupnya. Ibunya seorang pemimpin di serikat kerja pabrik plastik, ia telah mengatur Andrea untuk memasuki program magang di tempat kerjanya. Andrea tidak pernah berpikir untuk melakukan hal lain. Sebaliknya, Nick khawatir tentang masa depannya. Ia bingung antara kuliah di perguruan tinggi atau masuk angkatan bersenjata.Ia tidak dapat memutuskan apa yang harus ia lakukan sekarang atau apa yang ia ingin ia lakukan nantinya. Mark juga tidak tahu apa yang harus ia lakukan, tetapi ia tidak khawatir. Ia tau bahwa ia dapat bekerja dan menentukan masa depannya saat ia siap. Empat remaja ini dalam proses pembentukan identitas. Cara mereka masing-masing berbeda-beda. Menurut penelitian psikolog, James E. Marcia (1966,1980), para remaja ini berada dalam empat status identitas yang berbeda, yaitu kondisi dari perkembangan ego (diri). Status Identitas (identity statuses) adalah istilah Marcia untuk kondisi perkembangan ego yang bergantung pada ada atau tidaknya krisis dan komitmen. Marcia mendefinisikan krisis sebagai periode pembuatan keputusan sadar dan komitmen sebagai investasi pribadi dalam pekerjaan atau sistem keyakinan (ideologi).
Perbedaan Gender dalam Pembentukan Identitas Banyak penelitian yang mendukung pandangan Erikson bahwa pada perempuan,identitas dan keintiman berkembang bersama. Beberapa peneliti melihat pola ini bukan sebagai sesuatu yang berbeda dari norma laki-laki, tetapi melihatnya sebagai kelemahan dalam teori Erikson yang menurut mereka berdasarkan konsep Barat tentang individualitas, otonomi,dan kompetisi yang berfokus pada laki-laki. Menurut Carol Gilligan, kesadaran diri perempuan berkembang bukan melalui pencapaian identitas terpisah dan pencapaian hubungan. Remaja perempuan dan perempuan dewasa, menurut Gilligan menilai diri mereka sendiri berdasarkan cara mereka menangani tanggung jawab serta kemampuan mereka untuk merawat orang lain dan juga diri mereka sendiri. Beberapa ahli perkembangan mempertanyakan bagaimana perbedaan jalur pencapaianidentitas antara laki-laki dan perempuan yang sebenarnya, terutama masa kini, danmenyatakan bahwa perbedaan individual mungkin lebih penting dibandingkan perbedaangender. Marcia (1993) menyatakan bahwa tekanan yang terus terjadi antara kemandiriandengan kedekatan adalah inti dari semua tahapan psikososial Erikson, baik bagi laki-lakimaupun perempuan. Dalam penelitian tentang status identitas dari Marcia, beberapaperbedaan gender muncul. Akan tetapi, perkembangan harga diri selama remaja, terutama dalam kontekshubungan dengan teman sebaya dengan jenis kelamin yang sama, tampaknya mendukungpandangan Gilligan. Harga diri laki-laki berhubungan dengan usaha untuk meraih pencapaianindividual, sedangkan harga diri perempuan lebih bergantung pada hubungan dengan orang lain. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa remaja perempuan mamiliki harga diri yang rendah dibandingkan dengan remaja laki-laki. Walaupun anak laki-laki dan laki-laki dewasa memiliki harga diri yang lebih tinggi dibandingkan anak perempuan dan anak dewasa.
Faktor Etnik dalam Pembentukan Identitas Perkembangan identitas dapat menjadi hal yang sangat rumit bagi anak-anak darikelompok minoritas. Permasalahan terkait etnik dan konflik dengan budaya yang dominan biasmemainkan peran utama dalam pembentukan identitas mereka.Berikut empat tahapan mengidentifikasi identitas etnik berdasarkan status dari identitasMarcia: Diffus: Juanita sedikit atau tidak sama sekali melakukan eksplorasi mengenai suku bangsanyadan tidak memahami dengan jelas isu-isu terkait. Foreclos: Kwame sedikit atau tidak sama sekali
melakukan eksplorasi mengenai sukubangsanya, tetapi memiliki perasaan yang jelas mengenai sukunya. Perasaan ini bias bersifatpositif maupun negative, bergantung pada sikap yang ia serap di rumahnya. Moratorium: Cho-sa telah mulai mengeksplorasi mengenai suku bangsanya, tetapi bingungmengenai maknanya bagi dirinya. Achieved: Diego telah mengeksplorasi mengenai suku bangsanya dan memahami sertamenerima suku bangsanya.
Erikson (1964) mengatakan identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat. Apakah ia seorang anak atau seorang dewasa ? Apakah nantinya ia dapat menjadi seorang suami atau ayah ? … Apakah ia mampu percaya diri sekalipun latar belakang ras atau agama atau nasionalnya membuat beberapa orang merendahkannya ? secara keseluruhan, apakah ia akan berhasil atau akan gagal ? (Hurlock, 2000 : 208)
Adam dan Gullota, 1983 (dalam Desmita, 2005 : 211), menggambarkan tentang identitas sebagai berikut :“Identity is a complex psychological phenomenon. It might be thought of as the person in personality. It includes our own interpretation of early childhood identification with important individual in our lives. It includes a sense of identity integrates sex-role identification, individual ideology, accepted group norms and standards, and much more”. Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa identitas adalah sebuah fenomena psikologi yang kompleks. Dimana hal itu mungkin adalah sebuah cara pemikiran seseorang dalam kepribadiannnya. Termasuk didalamnya identifikasi dengan individu yang dianggap penting dalam kehidupan mulai dari awal masa kanakkanak. Dan termasuk identifikasi peranan seks, ideologi individu, penerimaan norma kelompok, dan banyak lagi. Menurut James Marcia dan Watterman (dalam Yusuf, 2000), identitas diri merujuk kepada “ pengorganisasian atau pengaturan dorongan-dorongan, kemampuankemampuan dan keyakinan-keyakinan ke dalam citra diri secara konsisten yang meliputi kemampuan memilih dan mengambil keputusan baik menyangkut pekerjaan, orientasi seksual dan filsafat hidup. Karakteristik Individu yang Memiliki Identitas Diri Ada beberapa ciri individu yang memiliki identitas diri, yaitu individu tersebut haruslah memiliki karakteristik seperti : (Dariyo, 2004 : 80) Konsep diri ; yakni gambaran diri tentang aspek fisiologis maupun psikologis yang berpengaruh pada perilaku individu dalam penyesuaian diri dengan orang lain. Evaluasi diri ; yakni penerimaan dan kekurangan yang ada pada diri individu yang baik, berarti ia memiliki kemampuan untuk menilai, mengevaluasi potensi dirinya sendiri. Harga diri ; yakni sejauh mana individu dapat menghargai diri sebagai seorang pribadi yang memiliki kemandririan, kemauan, kehendak, dan kebebasan dalam menentukan perilaku dalam hidupnya. Efikasi diri ; yakni kemampuan untuk menyadari, menerima dan mempertanggungjawabkan semua potensi, ketrampilan atau keahlian secara tepat.
Kepercayaan diri ; yakni keyakinan terhadap diri sendiri bahwa ia memiliki kemampuan dan kelemahan, dan dengan kemampuan tersebut ia merasa optimis dan yakin akan mampu menghadapi masalahnya dengan baik. Tanggung jawab ; yakni rasa tanggung jawab terhadap apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Komitmen ; yakni tekad atau dorongan internal yang kuat untuk melaksanakan suatu janji, ketepatan hati yang telah disepakati sebelumnya, sampai benarbenar selesai dengan baik. Ketekunan ; yakni didalam diri individu muncul etos kerja yang pantang menyerah sebelum segala sesuatunya selesai. Ketekunan tidak mengenal putus asa, dalam arti bahwa apa yang dilakukannya selalu berorientasi kemasa depan. Kemandirian ; yakni sifat yang tidak bergantung pada orang lain. Individu akan berusaha menyelesaikan masalah dalam hidupnya sendiri. Semua karakteritik tersebut tidak dapat dipisah-pisah antara satu dengan yang lainnya.
Semua saling berkaitan dan menunjang untuk membentuk sinergisme, sehingga menjadi daya kekuatan yang mampu mendorong seseorang untuk menjadi pribadi yang dewasa (adequate personality).
Macam-macam Status Identitas Status identitas merupakan paradigma perluasan dan pengembangan dari teori psikososial Erik H. Erikson oleh James Marcia. Dalam paradigma ini perkembangan status identitas telah menghasilkan dua dasar dimensi, yaitu eksplorasi dan komitmen.
Eksplorasi yaitu : (Soenens, 2004) “Exploration was defined as the degree to which an individual engages in a personal search for values, beliefs, and goals, and the process of exploration implies experimenting with different social roles, plans, and ideologies.” Ekspolarasi dapat didefinisikan sebagai derajat dimana ketertarikan individu dalam mencari jati diri mengenai nilai, kepercayaan, tujuan dan proses eksplorasi menunjukkan percobaan dengan perbedaan aturan sosial, rencana dan ideologi.
Dan komitmen adalah :“Commitment refers to the determined adherence to a set of convictions, goals, and values.” Komitmen kembali pada kesetiaan untuk patuh dalam menyatukan keyakinan, tujuan dan nilai. Menurut James E. Marcia :“Crisis- going through things that challenge our thinking, beliefs and values.”
Krisis merujuk pada sesuatu yang menantang pikiran kita, kepercayaan dan nilai. “Commitment- Making decisions and coming to decisions about our thinking, beliefs, values based upon a new perspective. (Marcia, tanpa tahun)Komitmen membuat dan menerima keputusan mengenai pemikiran, kepercayaan, nilai yang didasarkan pada sebuah perspektif baru. Santrock (1999 : 58), mendefinisikan krisis sebagai suatu periode perkembangan identitas selama dimana remaja masih memilih diantara pilihan-pilihan yang bermakna. Beberapa peneliti biasa menyebutnya dengan eksplorasi dan bukan krisis. Komitmen adalah sebagai bagian dari perkembangan identitas dimana remaja memperlihatkan suatu tanggung jawab pribadi terhadap apa yang akan mereka lakukan.
Berdasarkan dimensi ini Marcia, 1966 (dalam Soenens, 2004) membagi identitas menjadi empat status identitas yang didasarkan pada dua pertimbangan : Apakah mereka mengalami suatu krisis identitas atau tidak. Pada tingkat mana mereka memiliki komitmen terhadap pemilihan pekerjaan, agama, serta nilai-nilai politik dan keyakinan.
Keempat kategori itu adalah : Achievement (tinggi dalam komitmen dan eksplorasi), moratorium (rendah komitmen dan tinggi eksplorasi), foreclosure (tinggi komitmen dan rendah eksplorasi), dan diffusion (rendah dalam komitmen dan eksplorasi), yaitu :
1. Identitas achievement ; seorang individu dikatakan telah memiliki identitas, jika dirinya telah mengalami krisis dan ia dengan penuh tekad mampu menghadapinya dengan baik. Justru dengan adanya krisis akan mendorong dirinya untuk membuktikan bahwa dirinya mampu menyelesaikannya dengan baik. Walaupun kenyataannya ia harus mengalami kegagalan, tetapi bukanlah akhir dari upaya untuk mewujudkan potensi dirinya. (Dariyo, 2004 : 84).
Ciri orang yang memiliki identitas ini : mampu membuat pilihan dan komitmen yang kuat, pilihan dibuat sebagai hasil proses periode krisis dan pencurahan banyak pikiran serta perjuangan emosi, orang tua mendorongnya untuk membuat keputusannya sendiri, orang tua mendengarkan ide-idenya dan memberi opini tanpa tekanan, flexible strength, banyak berpikir, tetapi tidak terlalu mawas diri, mempunyai rasa humor, dapat bertahan dengan baik dibawah tekanan, mampu menjalin hubungan yang intim, dapat bertahan meskipun membuka diri pada ide baru, lebih matang dan lebih kompeten dalam berhubungan daripada mereka dari tiga kategori status identitas lainnya. (Marcia, tanpa tahun)
2. Identitas foreclosure; identitas ini ditandai dengan tidak adanya suatu krisis, tetapi ia memiliki komitmen atau tekad. Sehingga individu seringkali beranganangan tentang apa yang ingin dicapai dalam hidupnya, tetapi seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapinya. Akibatnya, ketika individu dihadapkan pada masalah realitas, tidak mampu menghadapi dengan baik. Bahkan kadang-kadang melakukan mekanisme pertahanan diri seperti ; rasionalisasi, regresi pembentukan reaksi dan sebagainya. (Dariyo, 2004 : 84)
Ciri seseorang yang memiliki identitas ini : komitmennya dibuat setelah menerima saran dari orang lain, keputusan dibuat tidak sebagai hasil dari krisis, yang akan melibatkan pertanyaan dan eksplorasi pilihan-pilihan yang mungkin, berpikiran kaku, bahagia, yakin pada diri sendiri, bahkan mungkin puas dengan diri sendiri, menjadi dogmatis ketika opininya dipertanyakan, hubungan keluarga dekat, patuh, cenderung mengikuti pemimpin yang kuat, tidak mudah menerima perselisihan pendapat. (Marcia, tanpa tahun)
3. Identitas moratorium ; identitas ini ditandai dengan adanya krisis, tetapi ia tidak memiliki kemauan kuat (tekad) untuk menyelesaikan masalah krisis tersebut. Ada dua kemungkinan tipe individu ini, yaitu : a. Individu yang menyadari adanya suatu krisis yang harus diselesaikan, tetapi ia tidak mau menyelesaikannya, menunjukkan bahwa individu ini cenderung dikuasai oleh prinsip kesenangan dan egoisme pribadi. Apa yang dilakukan seringkali menyimpang dan tidak pernah sesuai dengan masalahnya. Akibatnya, ia mengalami stagnasi perkembangan, artinya seharusnya ia telah mencapai tahap perkembangan yang lebih maju, namun karena ia terus-menerus tidak mau menghadapi atau menyelesaikan masalahnya, maka ia hanya dalam tahap itu. b. Orang yang memang tidak menyadari tugasnya, namun juga tidak memiliki komitmen. Ada kemungkinan, faktor sosial, terutama dari orang tua kurang memberikan rangsangan yang mengarahkan individu untuk menyadari akan tugas dan tanggung jawabnya (Dariyo, 2004 : 84)
Ciri seseorang yang memiliki identitas moratorium adalah : dalam keadaan krisis, ragu-ragu dalam membuat keputusan, banyak bicara, percaya diri, tetapi juga mudah cemas dan takut, pada akhirnya mungkin akan keluar dari krisis dengan kemampuannya membuat komitmen. (Marcia, tanpa tahun)
4. Identitas diffusion. Orang tipe ini, yaitu orang yang mengalami kebingungan dalam mencapai identitas. Ia tidak memiliki krisis dan juga tidak memiliki tekad untuk menyelesaikannya. (Dariyo, 2004 : 85)
Ciri seseorang yang memiliki identitas ini adalah : tidak mempunyai pilihanpilihan yang dipertimbangkan secara serius, tidak mempunyai komitmen, tidak yakin pada dirinya sendiri, cenderung menyendiri, orang tua tidak mendiskusikan mengenai masa depan dengannya, mereka sering bicara semua terserah mereka, beberapa dari mereka tidak mempunyai tujuan hidup, cenderung tidak bahagia, sering menyendiri karena kurangnya pergaulan. (Marcia, tanpa tahun) Keempat status identitas tersebut dapat tercermin pada satu dari kelima bidang yang dipandang sebagai core domain yaitu bidang pekerjaan, bidang religius belief, bidang ideologi politik, bidang kehidupan perkawinaan, dan bidang peranperan gender. Dengan demikian, kata kunci dari penetapan keberadaan seseorang pada status-status identitasnya adalah eksplorasi dan komitmen.
Waterman, 1982, mengemukakan suatu hipotesis dasar mengenai perkembangan status identitas , yaitu transisi dari masa remaja ke masa dewasa meliputi tahap penguatan status identitas (proses dari kematangan ego yang rendah ke kematangan ego yang tinggi). (Santos, 2000). Akan tetapi dalam pandangan yang umum ini , Marcia (1996) mengatakan orang yang berbeda akan mengikuti pola perkembangan yang berbeda pula, misalnya seseorang yang berada dalam tahap moratorium akan mengalami perkembangan kearah identity achievement, tetapi mungkin orang yang lain akan mengalami kemunduran, yaitu dari tahap moratorium ke tahap identity diffusion (Santos, 2000).
Model Perkembangan Status Identitas
Remaja muda terutama berada didalam penyebaran identitas atau penundaan identitas. Sekurang-kurangnya ada tiga aspek perkembangan remaja muda yang penting dalam pembentukan identitas (Marcia, 1987; dalam Santrock, 1999 : 58) : remaja muda harus membangun kepercayaan pada dukungan orang tua, mengembangkan ketekunan (a sense of industry), dan memperoleh suatu perspektif refleksi diri atas masa depan mereka.
Acher, 1989 mengatakan, banyak peneliti status identitas yakin bahwa pola umum individu yang mengembangkan identitas-identitas yang positif mengikuti apa yang disebut siklus “MAMA” moratorium – achiever – moratorium – achiever (dalam Santrock, 1999 : 58). Francis, Fraser, & Marcia, 1989, berpendapat bahwa siklus ini dapat diciptakan sepanjang hidup Perubahan-perubahan pribadi, keluarga, dan masyarakat tidak terelakkan, dan ketika perubahan-perubahan itu terjadi, fleksibilitas dan ketrampilan yang diperlukan untuk menjajaki alternatif
baru dan mengembangkan komitmen baru dapat memfasilitasi ketrampilanketrampilan untuk menghadapi perubahan-perubahan itu oleh individu. (Santrock, 1999 : 58).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Identitas
Proses pembentukan identitas menurut Marcia (1993) terjadi secara gradual sejak lahir, yakni sejak anak berinteraksi dengan ibu dan anggota keluarga lainnya. Marcia juga mengidentifikasi pembentukan identitas, yaitu : (Desmita, 2005 : 217). 1. Tingkat identifikasi dengan orang tua sebelum dan selama masa remaja 2. Gaya pengasuhan orang tua 3. Adanya figure yang menjadi model 4. Harapan social tentang pilihan identitas yang terdapat dalam keluarga, sekolah, dan teman sebaya 5. Tingkat keterbukaan individu terhadap berbagai alternative identitas 6. Tingkat kepribadian pada masa pra-adolesen yang memberikan sebuah landasan yang cocok untuk mengatasi masalah identitas.