Politik Lokal: Antara Identitas dan Kekerasan Sebuah Contoh kasus pada Pilkada DKI Jakarta 2017 Oleh: Harun Arrasyid Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
[email protected]
Abstrak Dalam pilkada DKI Jakarta tahun 2017, banyak ditemukan adanya simbol-simbol yang berkaitan dengan identitas para pemilih. Seringkali penggunaan simbol identitas memang tidak dapat dipisahkan dalam arena perpolitikan untuk meraup suara yang antar kekuatan sosial-politik yang tidak jarang didasarkan pada sentimen suku dan agama. Tidak jarang bahwa perbedaan identitas ini berakibat menjadi kekerasan ataupun konflik komunal yang berada di masyarakat. Dalam kasus DKI Jakarta, Pilkada turut berperan dalam menciptakan kesempatan politik yang memungkinkan mobilisasi dan peran kekuatan-kekuatan sosial yang mengusung ideologi intoleran. Penulis akan mencoba menganalisis bagaimana kekuatankekuatan politik identitas mempengaruhi kondisis sosial-politik yang berada dimasyarakat khususnya di Jakarta
Pendahuluan Perubahan dramatis dalam perpolitikan Indonesia sejak kejatuhan rezim Soeharto telah memberikan ruang bagi hadirnya demokrasi yang sesungguhnya. Politik lokal menjadi lebih terbuka dan menjadi penentu pembangunan di daerah1. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang diterapkan sejak tahun 2004 dalam pelaksanaannya sampai sekarang masih menimbulkan kekhawatiran bagi dari berbagai pihak.2 Dalam pelaksanaanya, pilkada sering menimbulkan perpecahan antara kelompok sosial masyarakat yang berakibat adanya konflik, ketegangan dan kekerasan. Disisi lain, umumnya pilkada berjalan dengan damai meskipun dalam pelaksanaanya terkadang menimbulkan konflik komunal dan menjadi arena utama bagi kontestasi antarkekuatan sosial-politik yang tidak jarang didasarkan pada sentimen suku dan agama.3 Simbol identitas seperti agama seringkali digunakan untuk mendapatkan kekuasaan politik yang menyebabkan adanya karakter-karakter ekslusif. Pada tahun 2012, Pilkada DKI Jakarta menjadi momen politik ini telah menjadi arena bagi mobilisasi intoleransi 1
Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff, Politik Lokal Di Indonesia: Dari Otokratik Ke Reformasi Politik, Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010, hal. 1-10 2 Pemilihan kepala daerah secara langsung ditetapkan pada tahun 2004 dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 56 jo Pasal 119 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6/2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 3 Mohammad Iqbal Ahnaf, Politik Lokal Dan Konflik Keagamaan Pilkada Dan Struktur Kesempatan Politik Dalam Konflik Keagamaan Di Sampang, Bekasi, Dan Kupang, hal.6
berdasarkan sentimen identitas etnik dan agama untuk menyerang calon tertentu.4 Isu-isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) dilancarkan demi menguasai mayoritas penduduk dengan dalih menggunakan identitasnya. Paper ini fokusnya untuk melihat bagaimana pilkda menjadi momen untuk menggiring politik identitas khususnya di Pilkada Dki Jakarta. Penting untuk mengangkat isu ini karena akhir-akhir ini politik identitas dapat memecah belah masyarakat meskipun belum terlihat sampai saat ini namun tanda-tanda itu sudah ada. Analisis dalam paper ini juga akan di dasarkan kepada temuan-temuan terdahalu serta merujuk kepada data yang terjadi saat Pilkda Dki Jakarta 2017. Saya juga akan melihat kepada aktivitas kelompok masyarakat seperi Front pembela Islam (FPI), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Majelis Ulama Indonesia, Teman Ahok, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kelompok-kelompok ini mewakili berbagai bentuk politik identitas yang berada di DKI Jakarta. Kelompok-kelompok Islam tersebut melalui arena Pilkada DKI menyampaikan aspirasi yang mereka perjuangkan, banyak yang dapat dikritik, tapi tidak semua dapat dengan serta-merta dianggap tidak layak untuk suatu negara demokrasi. Bahkan ide “NKRI Bersyariah”, misalnya, dijustifikasi Rizieq Shihab sebagai ide yang demokratis. Ia menunjukkan sebagian dari syariat yang sifatnya personal dan terkait hukum keluarga telah lama diakomodasi dalam negara Pancasila ini; yang diperjuangkannya adalah memperluas akomodasi itu, melalui mekanisme yang sesuai dengan peraturan Indonesia.5 Teori identitas sosial dapat memberikan beberapa penjelasan terhadap identifikasi organisasi yang berada di masyarakat. Teori ini menjelaskan bahwa kelompok masyarakat/orang cenderung mengklasifikasikan diri dan orang lain ke dalam berbagai kategori sosial, seperti keanggotaan organisasi, afiliasi keagamaan, jenis kelamin, dan kelompok usia (Tajfel & Turner, 1985).6 Dalam konteks politik, seringkali identitas menjelma menjadi politik sehingga terkadang politik identitas mengubur rasionalitas pemilih. Pemilu yang menjadi bagian penting dalam sistem demokrasi seketika rusak kualitasnya dengan penggunaan politik identitas dalam kampanye. Rasionalitas seorang pemilih pun dipertanyakan ketika Orang memilih bukan karena kinerja calon tapi karena identitas yang melekat seperti agama atau etnis. Politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka bagi “orang pendatang” yang harus melepaskan kekuasaan. Hal ini penting menjadi perhatian karena tidak bisa dipungkiri politik identitas akan terus menjadi bagian penting dari dinamika lokal yang akan menentukan kehidupan keagamaan di Indonesia.
4
Lihat https://m.tempo.co/read/news/2012/07/16/228417374/diserang-isu-sara-pengusung-jokowiahok-senang 5 http://crcs.ugm.ac.id/id/artikel/10782/islam-dan-demokrasi-indonesia-setelah-pilkada-dki.html 6 Blake E. Ashforth & Fredmael, Social Identity Theory and the Organization
Kepentingan yang memecah Dinamika politik lokal khususnya yang berada di ranah lokal, merujuk pada dalam Pilkada, menjadi momentum yang turut mendorong peningkatan konfik keagamaan dan konflik sosial yang sedang berlangsung di suatu wilayah. Hal ini terjadi karena momen Pilkada menjadi momentum pertemuan berbagai kepentingan politik dan kekuasaan yang terkonsentrasi pada konflik yang sedang berlangsung. Kepentingan politik tersebut bisa merupakan isu-isu yang sensitif atau suatu kelemahan dari pasangan lain untuk meraup suara yang lebih banyak. Akbiatnya tindakan tersbut dapat memecahkan kondisi sosial masyarakat sehingga isu-isu yang harusnya bersifat politis bisa melebar dengan masalah yang besar. Dalam studi politik lokal yang dikaji oleh CRCS UGM, Pentingnya memberikan perhatian terhadap dinamika politik lokal tidak bisa dilepaskan dari konteks desentralisasi di Indonesia yang menempatkan sumber daya kekuasaan begitu besar di ranah lokal.7 Dalam beberapa tahun terakhir, tidak jarang pemerintah daerah yang didorong oleh kepentingan politik membuat regulasi regulasi terkait kehidupan beragama yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat. Otonomi daerah, dan pemilihan kepala daerah langsung (Pilkada) atau pemilihan umum kepala daerah merupakan hasil dari keterlibatan masyarakat sipil dalam keterlibatannya terhadap politik yang seperti dikatakan oleh Chandhoke, bahwa masyarakat sipil merupakan: “the site at which society enter into relationship with the state”.8 Dari aspek inilah, masyarakat dapat berinteraksi dengan pemerintah untuk memunculkan berbagai wacana kritis yang objektif dan rasional sehingga mampu untuk meredam keinginan penguasa yang berlaku otokratik termasuk dari penguasa pusat. Dalam masyarakat sipil yang sudah maju dan mapan, terkadang kekuasaan sangat terkandung erat dalam jabatan-jabatan seperti, presiden, perdana menteri, senator, gubernur, walikota dan lain-lain. Niccolo Machiavelli mengatakan bahwa ada dua cara masyarakat yang dapat meraih menjadi penguasa yaitu dengan cara yang baik dan cara yang kejam. Ia juga mengatakan bahwa manusia cenderung berbuat jahat jika tidak dipaksa untuk berbuat baik; bahkan lebih dari itu ia mengatakan bahwa politik hanya sekeadar untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.9 Oleh karena itu politik dapat menjadi bahaya ketika konsep kekuasaan dan kepentingan digunanakan untuk mencapat kepentingan yang bersifat memecah belah. Kepentingan politik dapat berupa kepentingan seperti apa dan untuk tujuan apa. Kepentingan untuk memperoleh dukungan, simpati publik, kegilaan jabatan, bahkan hanya mengedepankan aspek keuntungan individual atau kelompok. Dalam hal ini munculah istilah kelompok kepentingan yang bisa diartikan sebagai tipe sekumpulan orang yang mencoba 7
Mohammad Iqbal Ahnaf, Politik Lokal Dan Konflik Keagamaan Pilkada Dan Struktur Kesempatan Politik Dalam Konflik Keagamaan Di Sampang, Bekasi, Dan Kupang, hal 8 Chandhoke, N, State and civil society: Explorations in political theory, London: Sage Publication, hal 8 9 Niccolò Machiavelli, The Prince, Dante University Press, Jul 16, 2002, hal 89
untuk memegaruhi pemerintah. Kelompok-kelompok tersebut ada yang bersifat sementara seperti penggunaan agama dalam politik namun juga ada yang tetap. Kelompok kepentingan bergerak melalui badan legislatif, ada yang melalui sektor yudisial dan legislatif, dan yang laiinya melalui opini-opini publik dan demonstrasi. Kelompok kepentingan dapat memengaruhi nominasi kandidat yang bersimpati pada tujuan mereka ataupun yang sama tujuannya dengan mereka. Teori kepentingan kelompok menurut ekonom amerika Mancur Olson dalam bukunya The Rise And Decline Of Nations (1928) memperingatkan apa yang terjadi ketika kelompok kepentingan menjadi terlalu kuat. Mereka mengentikan perubahan dan pertumbuhan dan menyebabkan stagnansi nasional, politikus lebih menanggapi satu atau lebih kepentingan yang lebih berkuasa, tidak mempertimbangkan kebaikan masyarakat ynag lebih luas. Dalam kaitanya dengan Pilkada, kelompok kepentingan dapat membentuk suatu perpecahan dimasyarakat yang dimana akan saling melawan kelompok kepentingan yang lainnya. Misalnya Teman Ahok dan FPI yang saling melemahkan kemudian, kedua kelompok ini di dukung oleh partai-partai untuk membantu melemahkan dan menenagkan konflik kelompok kepentingan. Pada akhirnya kelompok kepentingan kemudian berkerja sama dengan partai dan berkerja untuk kebaikan partai dan kemudian hal ini dapat disebut sebagai koalisi dari kelompok kepentingan. Dalam kasus di indonesia misalnya kita mengetahui pada pemilu 2014 politik kita terpecah menjadi dua kubu yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang kemudian menjadi gaduh ketika kedua kubu sibuk memperebutkan posisi di pimpinan DPR ataupun alat kelengkapan Dewan dan bahkan pertarungan itu juga sempat melebar dalam perebutan pimpinan MPR10. Dalam pilkada DKI Jakarta 2017, kepentingan politik kita bisa lihat ketika berbagai macam-macam aksi yang bertujuan untuk berdemonstrasi seperti aksi bela islam yang bergilir terus menertus dilakukan. Akibatnya kepentingan dalam bermain menggunakan ulama yang telah menjadi aktor politik kelompok kepentingan untuk memdulang suara. Kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok menjadi sumber utama untuk menyerang serta membuat isu-isu SARA yang menjadikannya tersangka pada akhirnya. Persidangan kasus Ahok yang terus disiarkan di TV maupun media online membuat kondisi sosial masyarakat menjadi pecah karena isu tersebut. Bahkan para peneliti salah satu yaitu senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ahmad Najib Burhani mengatakan, terdapat kepentingan politik, baik untuk jangka pendek ataupun panjang dalam kasus Ahok. Dalam hal ini untuk kepentingan Pilkada ataupun Pilpres 2019 nanti.11 Kelompok-kelompok islam yang merasa agamanya di nistakan kemudian bereaksi keras akan hal itu sehingga posisi kelompok-kelompok tersebut dapat mendukung salah satu calon dari lawan tersebut. Dalam aksi-aksi demo tersebut setidaknya ada empat kepentigan kelompok-kelompok yaitu, pertama terdiri dari kelompok umat islam seperti Muhammadiyah. Kedua yaitu kelompok miskin yang digusur oleh Ahok yang pada saat itu merelokasi mereka ketempat penampungan. Ketiga, kelompok yang menginginkan turunnya 10
http://nasional.kompas.com/read/2015/12/15/18000061/Politik.adalah.Kepentingan?page=1 http://news.liputan6.com/read/2682978/peneliti-lipi-sebut-ada-kepentingan-politik-di-kasus-ahok
11
elektabilitas Ahok sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada pilkada serentak tahun 2017. Kelompok ketiga ini berasal dari partai politik maupun ormas pendukung partai politik yang juga menjagokan pasangan calon gubernur-wakil gubernur lainnya. Keempat, kelompok lawan politik pasangan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang sasarannya untuk menurunkan legitimasi pemerintah. Perlu diketahui bahwasannya kelompok ini merupakan barisan sakit hati atau yang dendam karena pemilu tahun 2012 yang dimenangkan oleh parta PDIP yang calonnya adalah Joko Widodo, oleh karena itu banyak para rivalnya yang merupakan oposisi pemerintah seperti partai Gerinda yang ingin melemahkan kekuasaan pemerintah. Menariknya kelompok-kelompok islam tersebut terkesan tidak mengetahui apa pesan substansi yang di sampaikan oleh Ahok. Substansi pidato Ahok di Kepulauan Seribu jelas melecehkan para pembajak agama, yang terbiasa menuggangi agama demi meraih kepentingan-kepentingan sempit. Mereka sejatinya petualang kuasa berwajah religius. Semacam singa berbulu domba. Sebagai catatan, yang dimaksud di sisni bukanlah para tokoh agama, melainkan setiap orang yang bertendensi memanfaatkan agama bagi kepentingan politik. Para pembajak agama ini seringkali menggunakan ayat sebagai sumber untuk menyerukan agar menghasut orang serta membenci suatu kelompok. Terkadang ulama-ulama pembajak agama tersebut memyisipkan hate speech mereka kedalam pidato-pidato keagamaan yang mereka sampaikan. Ungkapan kebencian dapat melebur dari ceramah/khutbah yang berada di pidato keagamaan.12 Oleh karena itu tak jarang menjelang pemilu kadang kala mimbar keagamaan sering dibajak untuk kampanye terselubung.
12
Komarudin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa, hal.141
Melihat Orde Baru Ketika jatuhnya era orde baru yang kuat pada tahun 1998 merupkan kejutan bagi para banyak pengamat profesional di Indonesia, karena rezim tersebut tampak solid dan kokoh dalam masa-masa kejayaannya. Apa yang dulu tampak sebagai rezim solid dan tak tergoyahkan ternyata merupakan negara yang rapuh, ketika politik identitas etnis, keagamaan dan kedaerahan menjadi lebih dominian. Indonesia di bawah kekuasaan rezim otokratik (1966-1998) selama 30 tahun lebih, sistem politik ditingkat pusat maupun daerah sangat terkontrol oleh pusat kuasa di Jakarta. Badan eksekutif dan legislatif di kabupaten, kota, dan provinsi terkunci dalam hegemoni Jakarta ini disebabkan posisi pejabat di daerah pada dasarnya ditentukan oleh Depdagri yang berkepentingan mengendalikan kekuasaan elit lokal. Prof. Henk S Nordholt (2007) berkata bahwa politik identitas merupakan bentukan dari Negara Orde Baru. Pandangan ini senada dengan Rachmi Diyah Larasati yang mengatakan bahwa “negara sangat berperan dalam pembentukan politik identitas”. Pilihan politik maupun budaya masyarakat menutup diri merupakan jalan terbaik dalam mengikuti jejak langkah politik kekuasaan Orde Baru. Oleh karena itu ketika negara sudah melemah maka masyarakat akan mencari perlindungan kepada kelompok agama maupun etnistas. Pencarian perlindungan masyarakat kepada etnisitas maupun agama cepat atau lambat akan membahayakan posisi pemerintah dalam bangunan relasi vertikalnya tetapi juga rawan, rentan, penuh resiko dan sangat berbahaya dalam relasi horizontalnya.13 Menurut Geertz (1963), ketika orde baru secara bertahap memperoleh bentuk yang berkonsentrasi pada sifat negara dari pada menekankan arti penting ikatan-ikatan lokal yang bersifat kekerabatan, komunitas keagamaan, bahasa atau adat istiadat. 14 Oleh karena itu ketika orde baru semakin kuat, kelompok-kelompok besar dalam masyarakat tak lama kemudian dikesampingkan dari pengaruh politik dan dibatasi hanya pada faksi-faksi yang saling bersaing dalam suatu elite politik yang kecil. Kecenderungan politik rezim otoriter ini membuat penyingkiran hak-hak masyarakat dari kancah politik dan peredaman aspirasiaspirasi ekonomi mereka yang umumnya berbasis pada kepentingan tertentu. Adrian Vickers (2001) mengatakan bahwasnya orde baru adalah rezim yang fokus utamanya merupakan menyibukan diri dengan kegiatan menjaga citra. Misalnya birokrasi yang terlihat rasional ternyata didalamnya terdapat institusi-institusi yang sangat tidak kompeten dan tidak efesien.15 Orde baru bahkan berusaha menampilkan adanya kesan demokrasi dengan menyelengarakan pemilihan umum sekali dalam lima tahun. Krisis keuangan dan politik tahun 1997-1998 membuat beberapa kelompok seperti orang-orang kristen, para sosialis dan modernis muslim yang tadinya mendukung orde baru mulai memudar loyalitasnya kepada presiden sehingga tak lama kemudian ini diikuti dengan robohnya rezim orde baru. 13
Muhtar Haboddin, Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal, Jurnal Studi Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012, hal 123 14 Clifford Geertz, Peddlers and Princes: Social Development and Economic Change in Two Indonesian Towns, University of Chicago Press, 1963, hal 163. 15 Gerry Van Klinken, Henk Schulte Nordholt, Politik lokal di Indonesia, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2007, hal 10
Politik identitas Perjalanan untuk pemilihan kepala daerah memakan waktu yang sangat panjang dan sering diwarnai oleh kepentingan elite dan kehendak publik, maupun pemerintah pusat dan daerah. Dalam pelaksanaannya, pemilihan daerah dari mulai tahap awal hingga akhir, mulai saat pasangan melakukan deklarasi, pendaftaran, pemeriksaan kesehatan, penetapan calon, pengumuman kekayaan, pengambilan nomor urut kampanye, pemaparan visi-misi, debat kandidat, minggu tenang hingga akhir pencoblosan selalu ada dinamika atau isu-isu yang berkembang seperti isu suku, agama, ras, dan politisasi agama. Politik identitas adalah hal yang tidak bisa sepenuhnya dihilangkan dalam demokrasi. Pembentukan aliansi politik berdasakan kesamaan identitas, nilai, atau latar belakang adalah konsekuensi yang tidak bisa dihindarkan dalam demokrasi yang menjamin kebebasan. Bahkan bisa dibilang semua politik adalah politik identitas. Politik identitas merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam ikatan suatu komunitas politik sedangkan political of identity mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumber dan sarana politik. Menurut Azyumardi Azra, Politik Identitas dalam pilkada politik tampak kembali menemukan momentum. Fenomena ini terjadi tak hanya dalam pilkada dan pemilu di Indonesia, tetapi juga di banyak negara berpenduduk majemuk, di mana kaum Muslim merupakan penduduk mayoritas atau jadi kelompok minoritas. Peningkatan agama sebagai politik identitas terjadi karena kombinasi berbagai faktor internal dan eksternal. Politik identitas agama menguat, antara lain, karena meningkatnya semangat memegang Islam lebih ketat berhadapan dengan tantangan dan ancaman kebangkitan politik, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional, yang dianggap mengancam eksistensi, identitas, dan ekspresi keislaman Muslimin.16 John Stuart Mill seorang tokoh klasik dalam ilmu politik mengatakan bahwa “demokrasi tidak cocok untuk struktur masyarakat yang multietnik karena hampir mustahil institusi yang bebas berlangsung dalam negara yang mempunyai nasionalitas yang berbeda.”. Identitas dianggap berbahaya terhadap demokrasi adalah karena dalam masyarakat seperti ini, kekalahan dalam politik bisa dianggap sebagai eksklusif terhadap kelompok identitasnya. Menurut Direktur Populi Center, Usep Ahyar, politk identitas juga membuat masyarakat terintimidasi. Ketika isu-isu SARA semakin menguat dan politik identitas menguat, maka ada yang merasa terintimidasi. Ada yang kebebasan pendapatnya menjadi terhalang, menjadi takut ketika mengemukakan pendapat. Isu identitas dan politik identitas itu dengan sengaja dibuat secara politik dan itu meniscayakan bahwa kelompoknya yang paling hebat sedang yang lain subordinat17 Politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka bagi “orang 16
https://kompas.id/baca/utama/2017/03/21/politik-identitas-dalam-pilkada/ http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39372353
17
pendatang” yang harus melepaskan kekuasaan. Jadi, singkatnya politik identitas sekedar untuk dijadikan alat memanipulasi—alat untuk menggalang politik—guna memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya. Namun yang perlu di garis bawahi adalah identitas ini juga mempunyai bentuknya sendiri dan tidak hanya 1 tetapi bermacam-macam. Orang mempunyai identitas misalnya beragama islam itu merupakan identitas. Suku seperti jawa, juga merupakan identitas oleh karena itu ketika ada seseorang yang dimana mempunyai perbedaan maka ia akan mencari identitas yang sama. Misalnya pada pilkada DKI Jakarta 2017 orang-orang memilih Anies-Sandi didasarkan kepada identitas mereka yang sama yaitu beragama islam di bandingkan Ahok yang beragama kristen. Hal yang menarik adalah wakil pasangan Ahok juga beragama islam namun karena ada isu-isu yang mengatakan bahwa etnis tionghoa merupakan etnis yang dibenci oleh beberapa orang. Isu tersebut juga menimpa wakil Gubernur (Wagub) petahana DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat menyempatkan diri menunaikan salat jumat di Masjid Jami' Al'Atiq yang terletak di wilayah tebet, jakarta selatan, sebelum menghadiri selawat akbar di GOR Ciracas, Jakarta Timur yang diadakan oleh pendukungnya. Namun, sebagian jemaah meneriaki, menolak kehadiran mantan Wali Kota Blitar tersebut, saat hendak keluar masjid usai menunaikan salat jumat. Bahkan para calon pemilih putaran kedua mendapatkan hasutan untuk tidak memilih pasangan dengan suku dan agama tertentu. Pemilih mendapat hasutan untuk tidak memilih penista agama dan etnis tertentu, dalam hal ini adalah etnis tioghoa. Ditambah lagi dengan sejarah kelam indonesia yang mempunyai adanya faktor kebencian terhadap etnis Tionghoa. Sejarah kebencian terhadap etnis Tionghoa dimulai ketika belanda menerapkan politik identitas yang disebut sebagai Divide and Rule yaitu politik yang sengaja dilakukan oleh penjajah Belanda untuk mempertahankan pemisahan masyarakat Tionghoa dan penduduk pribumi.18 Dalam statusnya yang di tengah ini, orang Tionghoa meningkatkan citranya dengan melakukan mobilitas sosial, yaitu mengadopsi berbagai identitas yang melekat pada orang Eropa ataupun Belanda. Banyak orang Tionghoa yang berpendidikan ala Eropa, cara mereka berpakaian juga ala Eropa, mereka juga mengadopsi agama Protestan dan Katolik seperti orang Eropa. Hal ini berbanding balik dengan penduduk pribumi yang beragama islam serta memandang bahwa orang-orang Eropa merupakan penjajah yang harus diusir.19 Selain itu, karena dipandang kurang patriotis/nasionalis, eksklusif, dan mendominasi ekonomi nasional, orang Tionghoa semakin sulit diterima di Indonesia. Mereka akan lebih mudah diterima apabila mau berbaur hingga mencapai hal-hal yang sebenarnya merupakan wilayah kehidupan privat mereka, antara lain memeluk agama Islam dan melakukan kawin campur dengan pribumi, di samping itu mau menunjukkan partisipasi politik (yang di masa Orde Baru lebih diartikan loyalitas orang Tionghoa kepada rezim kekuasaan). Sentimen anti-Tionghoa masih cukup kuat dimana-mana. Ada yang mengekspresikan sentimen itu dengan terbuka di publik (baik publik "dunia nyata” maupun "dunia maya” seperti medsos). Ada pula yang melampiaskannya secara diam-diam dan sembunyi18
Fitri Eriyanti, Dinamika Posisi Identitas Etnis Tionghoa dalam Tinjauan Teori Identitas Sosial, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang, Jurnal Demokrasi, 2006, hal 28 19 H.Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985, hal 12
sembunyi, misalnya dengan menggunakan bahasa-bahasa simbol tertentu atau menggunjing mereka di "belakang panggung”. Kata "aseng” yang merupakan sebutan peyoratif-sarkastik untuk Tionghoa yang kini sedang ramai adalah bagian dari "bahasa simbol” sekaligus ekspresi dari sentimen anti-Tionghoa tadi.
Dalam pilkada DKI Jakarta 2017, Ahok mempunyai identitas yang mereprentasikan dua faktor double minority, yang pertama ia adalah seorang kristen dan kedua ia adalah seorang Tionghoa. Dalam hal ini lawan-lawan politiknya mempunyai keuntungan yang sangat besar karena dua faktor tersebut yang terdapat dalam diri Ahok. Faktor-faktor tersebut dapat melenyapkan program dan kinerja yang telah dilakukan olehnya sehingga politik identitas pun sangat kuat dalam pilkada DKI Jakarta 2017 ini. Bahkan beberapa unjuk rasa digelar menentang calon petahana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, karena dituduh melakukan penistaan agama Islam, yang hingga saat ini sedang dalam proses pengadilan merupakan keuntungan yang telak bagi para lawan-lawan calon pasangan ini. Pada perkembangannya menguatnya politik identitas di ranah lokal bersamaan dengan politik desentralisasi. Pasca pemberlakuan UU No. 22/1999, gerakan politik identitas semakin jelas wujudnya. Bahkan, banyak aktor politik lokal maupun nasional secara sadar menggunakan isu ini dalam power-sharing. politik etnisitas digunakan untuk mempersoalkan antara ‘kami dan mereka’—‘saya’ dan ‘kamu’—sampai pada bentuknya yang ekstrim ‘jawa’ dan ‘luar jawa’—‘islam’ dan ‘kristen’. Isu semacam ini sengaja dibangun oleh elit politik lokal untuk menghantam musuh ataupun rival politiknya yang notabene ‘kaum luar”20 Selain itu penggunaan identitas yang lain misalnya dalam memilih partai, orang pasti akan melihat partai itu terlebih dahulu seperti Golkar yang para pemilihnya merupakan orang-orang menegah dan keatas yang terkait dengan para pembisnis, PDIP yang menyatakan identitas partainya sebagai partai Wong Cilik yang sangat pro kepada rakyat kecil sehingga memperoleh dukungan pada orang-orang bawah, PKB yang sangat erat kaitannya dengan
20
Muhtar Haboddin, Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal, Jurnal Studi Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012, hal 117
identitas agama islam yang memperoleh dukungan dari masyarakat islam khususnya dari kalangan ulama dan santri. Kekerasan, politisasi dan pemaksaan Pada putaran pertama Pilkada yang berlangsung dari tahun 2005-2008, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat kasus kekerasan fisik tidak sampai 3 persen dari sekitar 500 Pilkada.21 Pada tahun 2010 International Crisis Group (ICG) mencatat dari 220 Pilkada yang dilakukan pada tahun 2010 hanya terjadi 20 kasus, oleh karena itu ini menunjukan bahwa pilkada indonesia relatif rendah dengan kekerasan. Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa masalah yang umum terjadinya konflik karena persoalan KPUD yang kurang profesional dalam menyelengarakan pemilu karena ditemukan banyaknya masalah seperti: daftar pemilih tetap DPT, netralitas birokrasi dan pegawai negeri sipil PNS dalam pelaksanaan pilkada, regulasi atau peraturan tentang pilkada.22 Dalam kasus dugaan penodaan agama yang dilakukan Gubernur DKI, dan menjadi titik sentral dinamika Pilkada DKI 2017, tuntutan penegakan hukum dilakukan dengan mobilisasi ratusan ribu (atau, sebagian mengklaim jutaan) orang. Dan setiap langkah proses itu diwarnai dengan beragam bentuk intimidasi. Aksi-aksi besar itu disebut “super damai”, dan bebas dari kerusuhan, namun tak kurang diwarnai siar kebencian. Dalam masa-masa kampanye pemilihan gubernur, banyak politisasi agama yang dibuat agar para pemilih merasa terintimidasi dan takut. Isu-isu tersbut dapat dilihat ketika adanya isu yang haram hukumnya untuk menshalatkan jenazah bagi orang-orang yang memilih dan mendukung penista agama.
21
Laporan dari Lipi. Lihat Moch Nurhasim, Konflik Dalam Pilkada Langsung Studi Tentang Penyebab Dan Dampak Konflik. http://ejournal.lipi.go.id/index.php/jpp/article/viewFile/499/308 22 Lihat Moch Nurhasim, Konflik Dalam Pilkada Langsung Studi Tentang Penyebab Dan Dampak Konflik, hal, 106
Ungkapan kebencian pada etnis Tionghoa dilakukan tanpa kendali, diwarnai ancaman “halal darahnya” dan makin lama tampak seperti makin ditoleransi. Di kalangan Muslim, ungkapan seperti “kafir” dan “munafik” dimaknai .
Pengaruh perilaku politik Dinamika politik Pilkada DKI tak sepenuhnya terkait pertarungan gagasan tentang Jakarta yang lebih baik. Hampir selalu ada penumpangan agenda politik tersembunyi di balik kompetisi politik yang semestinya berlangsung fair dan sportif. Agenda itu bisa sangat beragam, mulai dari dendam politik, ambisi kekuasaan, hingga politik rasialis. Dendam politik, misalnya, belum tentu semata-mata terkait urusan menang-kalah di pilkada, melainkan lebih karena sang "pemilik dendam" merasa gurita bisnis atau kenyamanan ekonominya terganggu jika suatu rezim politik berada di tangan orang dan/atau kelompok politik lain. Pada tahun 2012, kemenangan Jokowi dan Ahok merupakan hal yang menarik dikarenakan pada sebelumnya pola-pola kemenangan gubernur-guberbur sebelumnya identik dengan partai-partai penguasa pemerintah pusat.23 Bahkan kemenangan Jokowi-Ahok ini menandakan bahwa politik yang berasal dari kalangan militer terbukti tidak mampu lagi mempengaruhi dalam dunia perpolitikan seperti yang sebelum-sebelumnya. Tidak dapat dipungkiri pemilihan secara langsung sangat erat kaitannya dengan partisipasi politik masyarakat dalam mendukung pilihannya dalam politik. Dalam menentukan pilihannya seringkali masyarakat memandang suatu kandidat berdasarkan identitas mereka sehingga perilaku politik mereka masih terikat semua dengan simbol-simbol. Perilaku politik merupakan tindakan atau kegiatan seseorang dalam kegiatan politik. Dalam pembentukan perilaku politik seringkali ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang dalam menentukan kegiatan politiknya salah satunya yaitu tipologi kepribadian politik.24 Menurut model ini terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku politik seorang aktor politik. Pertama, lingkungan sosial politik tak langsung seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan media masa. Kedua, lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor, seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. Dari lingkungan sosial politik langsung seorang aktor mengalami sosialisasi dam imternalisasi nilai dan norma masyarakat, termasuk nilai norma kehidupan bernegara dan pengalaman-pengalaman hidup pada umumnya. Ketiga, faktor lingkungan sosial politik langsung berupa situasi, yaitu keadaan yang memengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan suatu kegiatan seperti cuaca, keadaan keluarga, suasana kelompok dan ancaman dengan segala bentuknya. Dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi perolehan suara salah satu calon karena adanya aktor lingkungan sosial politik yang secara tak langsung memengaruhi lingkungan yang berupa sosialisasi, internalisasi dan politisasi. Dalam beberapa demo yang di gelar oleh kelompok-kelompok islam seperti FPI, GNPF, serta beberapa ormas islam yang lain membuat faktor lingkungan di DKI Jakarta berubah. Bahkan lebih dari itu Pilkada DKI 2017 memang berbeda dari beberapa pilkada, pemilu, dan pemilihan presiden sebelumnya, yang hampir selalu menunjukkan rendahnya faktor agama. 23
http://megapolitan.kompas.com/read/2012/10/05/23270684/Pengamat.Kemenangan.JokowiAhok.I
tu.Unik
24
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, 2010, hal, 169
Karena itulah beberapa media, khususnya media berbahasa Inggris, dengan cepat mengambil kesimpulan luas yang bukan saja menekankan faktor agama dalam Pilkada (misalnya “Christian governor ousted”, atau “Muslim candidate elected”), tapi lebih jauh lagi menyimpulkan bahwa “Indonesia makin konservatif”, bahkan kemenangan Anies-Sandi adalah “kemenangan prasangka atas pluralisme”25 Yang lebih jelas adalah bahwa Pilkada DKI 2017 telah menjadi upaya scaling-up kelompok-kelompok seperti FPI, FUI, HTI dan GNPF-MUI yang berhasil. Yaitu upaya untuk menjadikan agenda-agenda mereka diterima lebih banyak Muslim hingga, harapannya, bisa diinstitusionalisasikan. Dalam Pilkada DKI, caranya adalah dengan melipatgandakan dosis argumen dan sentimen agama selama masa kampanye, jauh melampaui pilkada-pilkada lain, hingga ke tingkat yang belum pernah kita lihat. Merekalah yang mengkampanyekan untuk memilih gubernur Muslim sejak setahun silam, mengorganisasi rangkaian demonstrasi yang fenomenal untuk menjaga kemurnian Islam dari “penistaan” Ahok, memimpin gerakan doa dan salat berjamaah bertema anti-Ahok sebagai “pemimpin kafir”, lalu memasuki masjidmasjid di banyak wilayah Jakarta hingga, puncaknya, sempat muncul gerakan untuk tidak mensalatkan pendukung Ahok karena mereka adalah Muslim “munafik”.
Dalam survei terbaru menjelang pemilihan kepada daerah DKI Jakarta putaran kedua, Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) menyebutkan bahwa alasan utama warga DKI memilih Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno adalah faktor seagama, yakni mencapai 32,4 persen.26 Dengan persentase survei diatas tak dapat dipungkiri bahwasannya 25
http://crcs.ugm.ac.id/id/artikel/10782/islam-dan-demokrasi-indonesia-setelah-pilkada-dki.html Survei ini dilakukan pada 31 Maret-5 April 2017 dengan wawancara secara tatap muka pada 446 responden. Margin of error diperkirakan sebesar 4,7 persen dan tingkat kepercayaan mencapai 95 persen 26
perilaku politik masyarakat mengikuti agama keyakinan mereka yang dikatakan bahwa identitas agama mereka sama dengan agama pasangan calon pilihan mereka. Hal inilah yang menyebabkan adanya beberapa isu-isu mengenai kekerasan serta sentimen etnis dan agama yang menguat secara tajam pada Pilkada DKI 2017.
Survei Media Survei Indonesia (Median) menunjukkan bahwa 33,2 persen responden memilih Ahok-Djarot karena pengalaman dan kinerjanya yang sudah terbukti.27 Alasan warga memilih Ahok-Djarot juga karena personalnya. Sebanyak 17,1 persen menganggap pasangan petahana ini bersih dari korupsi dan 15,7 persen lainnya menilai mereka tegas. Sebaliknya, identitas dan gelombang anti Ahok menjadi alasan warga untuk memilih pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Dibanding dengan data sebelumnya, para pemilih yang mendukung ahok bisa dikatakan rasional karena memilih dengan beralasan berpengalaman dan terbukti. Faktor agama tidak menjadi hal yang mendasar bagi para pemilih kedua pasangan ini karena hanya sekitar 0.4 persen. asumsi simple random sampling. http://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/04/13/smrc-seagamaalasan-utama-memilih-anies-sandi 27 Survei Median dilakukan terhadap 800 responden pada 21-27 Februari 2017. Penelitian ini menggunakan metode multistage random sampling dan proporsional atas populasi kotamadya dan gender. Margin of error survei sebesar 3,4 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. http://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/03/27/apa-alasan-warga-dki-pilih-ahok
Bercermin dalam data diatas diketahui bahwasannya ada suatu perilaku yang sangat berpengaruh terhadap struktur kepribadian dan sikapnya terhadap dua pasangan tersebut. Hubungan kedua faktor tersebut terhadap perilaku akan bersifat zero sum: apabila faktor sikap yang menonjol, faktor situasi kurang menedapan, sebaliknya apabila situasi mengedapan, faktor sikap kurang menonjol. Dalam hal ini perilaku memilih yang seharusnya jika kita merujuk pada pendekatan piliihan rasional harusnya masyarakat melihat kegiatan memilih karena ada faktor ekonomi yang mengkalkulasikan untung dan rugi. Pada kenyataannya di negara-negara berkembang harusnya memilih merupakan kegiatan yang otonom, dalam arti tanpa desakan dan paksaan dari lain pihak menjadi suatu kenyataan yang berbanding balik. Di pilkda DKI 2017 banyak ditemukan unsur-unsur tekanan kelompok, intimidasi, dan paksaan dari kelompok atau pemimpin tertentu agar pasangan calon yang didukung itu menang mesikpun menggunakan apapun termasuk agama. Para pemimpin juga mempunyai peran yang seringkali memanipulasi, mengitimidasi dan memberikan ancaman paksaaan teradap para pemilih. Salah satu contoh dari ini adalah beredarnya pemberitaan pengurus masjid yang enggan menshalatkan jenazah pemilih pemimpin non-Muslim menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Pesan dalam spanduk yang berbunyi “Masjid Ini tidak Menshalatkan Jenazah Pendukung dan Pembela Penista Agama” menjadi viral di media sosial. Masyarakat memilih pemimpin negara atau pemimpin daerah bukanlah karena pemeluk agama tertentu, tetapi oleh karena mereka sadar mereka adalah warga negara.
.
Sumber Refernsi Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff, Politik lokal di Indonesia: dari otokratik ke reformasi politik Andreas Hasenclever and Volker Rittberger, Does Religion Make a Difference? Theoretical Approaches to the Impact of Faith on Political Conflict Mohammad Iqbal Ahnaf dkk, Politik Lokal Dan Konflik Keagamaan Pilkada Dan Struktur Kesempatan Politik Dalam Konflik Keagamaan Di Sampang, Bekasi, Dan Kupang Edward Aspinall, Democratization and Ethnic Politics in Indonesia: Nine Theses Mohammad Agus Yusoff, Pilkada Dan Pemekaran Daerah Dalam Demokrasi Lokal Di Indonesia: Local Strongmen Dan Roving Bandits Abu Nashr Muhammad AI-Imam, Membongkar Dosa-Dosa Pemilu Pro Kontra Praktik Pemilu Perspektif Syariat Islam Jan Prins, Some Notes about Islam and Politics in Indonesia Ahmad Syafii Maarif, Politik Identitas Dan Masa Depan Pluralisme Kita Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik Artikel : http://nasional.kompas.com/read/2017/05/02/14210661/intoleransi.terjadi.di.sekolah.siswa.tol ak.ketua.osis.yang.beda.agama http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160519_indonesia_lapsus_radikalis me_anakmuda_sekolah https://indoprogress.com/2017/04/politik-sektarianisme-benarkah-jakarta-telah-jatuh-ketangan-kaum-intoleran/ http://crcs.ugm.ac.id/news/10864/haruskah-hti-dibubarkan.html http://crcs.ugm.ac.id/news/10923/pilkada-jakarta-dan-ormas-adat-dalam-politik-lokalminahasa.html http://geotimes.co.id/membantah-klaim-klaim-penegakan-khilafah/ http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/17/01/18/ojzc9e319-masjid-dan-politik https://kompas.id/baca/utama/2017/03/21/politik-identitas-dalam-pilkada/ https://kompas.id/baca/utama/2017/02/07/urgensi-kerukunan-elite/ https://kompas.id/baca/utama/2017/05/09/jebakan-demokrasi/
http://www.kompasiana.com/dewinastitik/dinamika-politik-lokal-diindonesia_550f5a64813311c82cbc67e4