POLITIK HUKUM DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DI INDONESIA
Makalah
Untuk Memenuhi Persyaratan Tugas Mata Kuliah Politik Hukum
Program Studi Magister Ilmu Hukum Kampus Jakarta
Konsentrasi Hukum Litigasi
DISUSUN OLEH :
NAMA
NIM
DOSEN
:
:
:
AHMAD HIDAYAT NURDIN, S.H.
16/405949/PHK/09598
Prof. DR. ADE SAPTOMO, S.H., M.A.
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
MAGISTER ILMU HUKUM KAMPUS JAKARTA
DESEMBER 2016
POLITIK HUKUM DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DI INDONESIA
Dalam konteks politik hukum (legal policy), ada dua arus utama arah pembangunan politik hukum selama ini yaitu politik hukum berorientasi ke sentralisasi dan desentralisasi. Arah politik hukum sentralisasi tampak menonjol pada era orde baru, sehingga sejumlah peraturan perundang-undangan yang dibuat dalam era pemerintahan sentralistik berisikan semangat dan kehendak penguasa (pemerintah). Artinya, secara teoritis, hukum yang baik dalam era sentralistik adalah hukum yang diciptakan dengan pendekatan top down sebagaimana pernah dikemukakan Roscoe Pound dimana hukum sebagai alat untuk keperluan perubahan sosial (social engineering) dan pengendalian sosial (social control).
Sejak tahun 1998 kondisi bangsa Indonesia mengalami perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Perubahan paradigma tersebut mempengaruhi politik hukum, terutama dalam pembangunan sistem hukum nasional. Pembangunan hukum nasional yang sebelumnya menggunakan pendekatan top down dan dibelokkan untuk kepentingan kekuasaan, kurang menjamin kepastian hukum dan kurang memenuhi tujuan hukum itu sendiri kemudian mulai berubah dengan pendekatan buttom up yaitu memperhatikan aspirasi rakyat dan aspirasi daerah. Kemauan politik untuk mengubah sistem penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi dimulai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam perkembangannya otonomi daerah yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan terakhir diubah menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak undang-undang tersebut berlaku, daerah justru menjadi sarang korupsi yang kian sulit terkontrol. Praktik korupsi di era reformasi yang kian menyebar ke daerah dan melibatkan semakin banyak aktor ini tentu menggambarkan sebuah ironi dari desentralisasi padahal awalnya otonomi daerah dibuat dengan tujuan agar daerah-daerah dapat mengelola secara mandiri segala sumber daya, keuangan, maupun sumber-sumber lain sebagai pendapatan bagi daerah dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Dewasa ini, pemberitaan di Indonesia selalu dipenuhi dengan kasus korupsi yang melibatkan para kepala daerah, diantaranya Walikota Madiun bernama Bambang Irianto yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka pada tanggal 17 Oktober 2016 dalam proyek Pasar Besar Kota Madiun sebesar Rp 76,623 Miliar yang sebelumnya kasus ini pernah dilakukan penyidikan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur namun "dihentikan proses hukumnya" dengan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan pada akhir tahun 2012, selain itu KPK pada tanggal 21 Oktober 2016 menetapkan tersangka terhadap Bupati Tanggamus yaitu Bambang Kurniawan yang menyuap sejumlah anggota DPRD Kabupaten Tanggamus terkait pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2016, kasus ini awalnya diketahui karena adanya laporan masyarakat tentang proses pembahasan APBD Kabupaten Tanggamus yang diduga berbau korupsi.
Lembaga-lembaga eksekutif (Bupati/ Walikota dan jajarannya) dalam melakukan praktek korupsinya tidak selalu berdiri sendiri, akan tetapi dapat melalui suatu konspirasi dengan para pengusaha atau dengan kelompok kepentingan lainnya misalnya, dalam hal penentuan tender pembangunan yang terlebih dahulu pengusaha menanamkan saham kekuasaannya lewat proses pembiayaan pengusaha dalam terpilihnya Bupati/ Walikota tersebut, kemudian mereka secara bersama-sama dengan DPRD, Bupati/ Walikota membuat kebijakan yang koruptif yang hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat tetapi lebih banyak menguntungkan para kolega, keluarga maupun kelompoknya sendiri. Dengan kemampuan lobi kelompok kepentingan dan pengusaha kepada pejabat publik berupa berbagai bentuk pemberian yang mempunyai motif koruptif telah berhasil membawa pengusaha melancarkan aktifitas usahanya yang berlawanan dengan kehendak masyarakat, sehingga masyarakat hanya menikmati sisa-sisa ekonomi kaum pemodal yang kapitalistik. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya korupsi APBD sangat mungkin jika aspek peraturan perundang-undangan dan pengawasan maupun penegakan hukum oleh Kepolisian serta Kejaksaan sangat lemah atau hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Sistem pembangunan hukum yang dikembangkan dengan tidak menghiraukan kontrol dari institusi lain yang memiliki fungsi pengawasan atau penegakan sanksi, menumbuhkan ego yang berlebihan. Akibatnya fungsi masyarakat sebagai lembaga pengawasan tidak maksimal karena dibentengi oleh norma undang-undang yang sangat restriktif dan ketat. Sebagai akibatnya, karena pengawasan yang sangat lemah sekarang banyak terjadi tindak pidana korupsi di daerah-daerah yang salah satunya disebabkan belum mampunya aparat penegak hukum yang ada di daerah seperti Kepolisian dan Kejaksaan untuk melakukan pengawasan terhadap anggaran daerah dan pemberantasan terhadap perkara korupsi, walaupun sebenarnya sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tapi kedudukannya hanya ada di pusat yaitu di Jakarta yang belum bisa menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Kepolisian dan Kejaksaan yang memiliki kewenangan untuk mengusut perkara korupsi justru terkesan "diam", tebang pilih yang mana tajam ke bawah tumpul ke atas, yaitu mengarah untuk melindungi para kepala daerah yang sebenarnya berpotensi sebagai pelaku dalam perkara korupsi. Sering dijumpai seolah dalam penegakan hukum hanya berlaku bagi "yang tidak mampu", hal ini terbukti dengan banyaknya korupsi yang melibatkan kepala daerah tetapi tidak diusut oleh Kepolisian maupun Kejaksaan ataupun kalau diusut tidak lama kemudian dilakukan penghentian terhadap penanganan kasus tersebut, dalam hal ini terasa percuma untuk merancang undang-undang terkait pemberantasan tindak pidana korupsi dan menjadikannya sebagai suatu produk hukum jika hukum yang sudah dibuat itu tidak bermanfaat karena keinginan dan alat untuk melaksanakannya (Kepolisian dan Kejaksaan) lemah, padahal dari sisi personil kedua institusi hukum tersebut memiliki jumlah personil yang sangat banyak dibandingkan KPK. Oleh karenanya dalam politik hukum (legal policy) ke depan perlu adanya pembentukan KPK yang ada di kabupaten/ kota sebagai bentuk pencegahan dan pemberantasan korupsi karena melihat begitu banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Hal ini tidak dipungkiri bahwa dengan adanya otonomi daerah ini memunculkan korupsi-korupsi di daerah sehingga perlu membangun kabupaten dan kota yang bersih dari korupsi, dengan adanya KPK di daerah yaitu di kabupaten/ kota, maka keberadaan KPK di daerah tersebut akan memberikan dampak yang luar biasa bagi pemberantasan korupsi. KPK sampai saat ini lebih berani dan banyak melakukan pengusutan perkara korupsi yang melibatkan kepala daerah sehingga masyarakat sangat menaruh harapan terhadap KPK yang tegas dan berani dalam memberantas perkara korupsi, legal policy ini sesuai keinginan dari masyarakat Indonesia yang menginginkan pemberantasan korupsi sampai tuntas dan masyarakat sangat menaruh perhatian kepada KPK sehingga sejalan bahwa suatu sistem hukum adalah bagian dari budaya masyarakat, hukum tidak lahir dari suatu tindakan bebas tetapi dibangun dan dapat ditemukan di dalam jiwa masyarakat.
Dengan demikian menjadikan masyarakat sebagai subyek aktif ikut serta dalam proses penegakan hukum secara dini dengan mengawal pemberantasan kosupsi oleh aparat penegak hukum, hal ini sesuai dengan masyarakat Indonesia yang komunal. Kearifan lokal tersebut merupakan kekuatan-kekuatan sosial yang lahir, tumbuh, dan berkembang menjadi pranata masyarakat setempat. Oleh karenanya penegakan hukum oleh KPK yang berada di daerah-daerah yang melibatkan kekuatan atau potensi masyarakat setempat dimana hukum ditegakkan, hal ini selaras dengan hukum yang baik adalah yang tidak terlepas dari faktor sosial budaya dimana hukum itu ada atau dijalankan, dengan demikian dapat mengatasi dan memberantas korupsi yang didasarkan basis masyarakat. Oleh karena itu, keberadaan KPK di daerah adalah solusi terbaik bagi legal policy pemberantasan korupsi yang didasarkan oleh keinginan masyarakat Indonesia agar pemberantasan korupsi di Indonesia dapat maksimal.
3