iv
MAKALAH PENDIDIKAN POLITIK DAN DEMOKRASI
"PLURALITAS MASYARAKAT DALAM INTEGRASI DAN KEHIDUPAN BERPOLITIK BANGSA INDONESIA"
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Politik dan Demokrasi
Dosen Pengampu : Dr. Nasiwan, M.Si.
Disusun oleh:
Sunarasri Retno Widawati 15416244011
PRODI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017
MAKALAH PENDIDIKAN POLITIK DAN DEMOKRASI
"PLURALITAS MASYARAKAT DALAM INTEGRASI DAN KEHIDUPAN BERPOLITIK BANGSA INDONESIA"
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Politik dan Demokrasi
Dosen Pengampu : Dr. Nasiwan, M.Si.
Disusun oleh:
Sunarasri Retno Widawati 15416244011
PRODI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Pluralitas Masyarakat dalam Integrasi dan Kehidupan Berpolitik Bangsa Indonesia" ini sesuai dengan rencana. Makalah ini berisikan informasi yang menunjukkan pengertian-pengertian terkait pluralitas atau kemajemukan masyarakat Indonesia dalam membentuk integrasi dan kehidupan berpolitik bangsa Indonesia. Makalah ini disusun dengan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada.
Bapak Dr. Nasiwan, M.Si. sebagai Dosen mata kuliah Pendidikan Politik dan Demokrasi, yang telah memberikan penjelasan kepada kami mengenai tata cara melakukan dan menyusun makalah.
Orang tua kami yang telah memberikan dukungan moriil maupun materiil.
Rekan – rekan yang telah berbagi informasi.
Dan semua pihak yang telah membantu kelancaran kegiatan ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kritik dan saran membangun dari pembaca sangat diharapkan demi perbaikan karya kami selanjutnya.
Yogyakarta, 8 Juni .2017
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Bangsa Indonesia 4
B. Pluralitas 5
C. Integrasi Bangsa Indonesia 12
C. Kehidupan Berpolitik Bangsa Indonesia 15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 24
B. Saran 27
DAFTAR PUSTAKA 28
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago country) terbesar di dunia. Bentuk negaranya yang berupa kepulauan, memunculkan keranekaragam etnis atau suku hingga mencapai ratusan. Hal ini disebakan adanya isolasi pada sekelompok orang di suatu pulau, dimana antarpulau dibatasi oleh wilayah perairan, serta adanya perbedaan topografi juga karakteristik iklim. Keadaan tersebut melahirkan suku-suku yang menurut data tahun 2013 terdapat 633 suku besar yang ada di Indonesia (BPS, 2013).
Keberagaman suku-suku di Indonesia melahirkan budayanya masing-masing. Hal ini menambah kekayaan Indonesia yang tidak terbatas pada sumber daya alam di wilayahnya, namun juga kaya dengan berbagai keanekaragaman budaya, serta sosial bangsanya. Belum lagi lokasi Indonesia yang strategis. Indonesia terletak diantara dua benua yaitu benuas Asia dan Australia, serta diantara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Pasifik yang mengakibatkan dilewati sebagai jalur lalu lintas perdagangan internasional. Hal ini dapat memperbanyak interaksi dengan bangsa-bangsa lain yang melewati ataupun singgah di Indonesia. Posisi strategis ini juga yang menjadi alasan keanekaragaman agama, karena banyak pedagang yang singgah turut serta menyebarkan kepercayaan yang dianutnya.
Dapat dikatakan jika Indonesia memiliki keanekaragaman sosial, budaya, dan kepercayaan. Hal ini patut disyukuri dan dihargai. Mengingat semboyan bangsa Indonesia, yaitu Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda namun tetap satu jua. Perbedaan yang ada pada masyarakat Indonesia adalah suatu keistimewaan yang perlu kita jaga dan pelihara. Adapun kemajemukan atau pluralitas masyarakat di Indonesia akan mempengaruhi berbagai bidang kehidupan. Latar belakang kemajemukan akan berpengaruh salah satunya terhadap integrasi dan kehidupan berpolitik masyarakat. Hal tersebut akan terlihat melalui perilaku politik, budaya politik, serta partisipasi politik masyarakat.
Kehidupan berpolitik di Indonesia tentu memiliki keunikan tersendiri, mengingat latar belakang penduduknya yang majemuk, baik dari segi etnis dan kebudayaa, kehidupan sosial, maupun kepercayaan yang dianut. Pluralitas masyarakat Indonesia dapat berdampak pada hal yang positif melalui solidaritas kelompok tertentu, atau justru berkembang ke arah negatif karena munculnya pertentangan yang diakibatkan oleh adanya perbedaan yang ada dalam kehidupan. Salah satu contohnya adalah kasus Ahok (Basuki Tjahaya Poernama)-mantan Gubernur DKI Jakarta yang menjadi tersangka penistaan agama. Dimana kasus tersebut terjadi saat pesta demokrasi tengah berlangsung di wilayah DKI Jakarta. Kasus tersebut menjadi kasus nasional yang diperhatikan oleh masyarakat. Dari sini timbullah pro dan kotra terkait penetapan Ahok sebagai tersangka. Kasus tersebut mempengaruhi sikap masyarakat dan menimbulkan reaksi yang beragam. Keberagaman reaksi masyarakat Indonesia tentu merupakan hal yang wajar mengingat latar belakang masyarakatnyapun juga beragam. Tidak seharusnya kita saling bermusuhan dan terbawa isu-isu sensitif nasional. Sebab hal yang demikianlah yang akan mengancam persatuan bangsa Indonesia.
Berdasarkan permasalahan yang sudah disampaikan di atas. Maka pada bab selanjutnya akan dibahas beberapa hal terkait dengan pluralitas masyarakat dalam integrasi dan kehidupan berpolitik bangsa Indonesia.
Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan bangsa?
Apa yang dimaksud dengan pluralitas?
Bagaimana integrasi politik bangsa Indonesia?
Bagaimana kehidupan berpolitik bangsa Indonesia?
Tujuan
Untuk mengatahui apa yang dimaksud dengan bangsa.
Untuk mengatahui apa yang dimaksud dengan pluralitas.
Untuk mengetahui integrasi politik bangsa Indonesia.
Untuk mengetahui kehidupan berpolitik bangsa Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Bangsa Indonesia
Pengertian Bangsa
Bebicara soal bangsa, para tokoh pemimpin bangsa kita baik angkatan para pendiri bangsa maupun angkatan kini, umumnya mengenal dan meyakini istilah bangsa yang diungkapkan oleh Ernest Renan, seorang guru besar sekaligus pujangga masyhur dan ahli teori bangsa dari Prancis. Ernest Renan melalui (Ling, 2014: 31) menyampaikan pidato terkait "Qu'est ce qu'une nation?" atau "Apakah bangsa itu?", jawabannya ialah "le dėsir d'etre ensemble" yang artinya "kehendak akan bersatu".
Menurut defisini tersebut, kata Bung Karno melalui (Ling, 2014; 31), maka yang menjadi bangsa adalah satu 'gerombolan' manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu. Jadi, hal ini sangat masuk akal apabila kita melihat kembali apa yang masyarakat Indonesia alami di masa lalu.
Masa dimana kapitalisme yang dilaksanakan oleh kolonial pada abad XIX begitu brutal dan ganas. Hal tersebut telah membawa penderitaan yang besar bagi masyarakat Indonesia. begitupun dengan fakta jika Indonesia sebelumnya telah kalah berulang kali. Namun kesengsaraan itu juga yang membangkitkan kesadaran masyarakat untuk bersama-sama berjuang membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Inilah faktor yang mendorong timbulnya "kehendak akan bersatu" sebagai syarat terbentuknya bangsa Indonesia. Keinginan besar untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan memperkuat hasrat untuk memperluas dan memperkuat persatuan, demi segera meraih kebebasan bagi bangsa Indonesia. demikianlah proses panjang ratusan tahun akhirnya mematangkan proses integrasi bangsa pada peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Peristiwa tersebut menjadi puncak manifestasi bangkitnya kesadaran mewujudkan kehendak akan bersatu menjadi satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa; Indonesia (Ling, 2014: 32-33).
Bung Karno juga menyitir definisi bangsa dari Otto Bauer, dimana bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Untuk Indonesia, yang dimaksud dengan persatuan nasib adalah persatuan nasib sesama kaum terjajah yang senantiasa merindukan kebebsan dan kemerdekaan.
Karakteristik Bangsa Indonesia
Sebuah bangsa yang terbentuk atau terlahir dari proses pertarungan kepentingan antara pihak terjajah melawan pihak penjajah membentuk sifat atau watak bangsa Indonesia. adapun sifat atau watak yang merupakan karakter bangsa Indonesia sepenuhnya terbentuk oleh proses pertarungan, atau perjuangan kepentingan masyarakat Nusantara yang terjajah saat melawan penjajah. Karenanya sifat dan watak bangsa Indonesia berkarakteristik anti penjajahan dalam segala bentuk. Itulah karakter sesungguhnya bangsa Indonesia yang terbentuk dari keberadaan dirinya. Oleh sebab itu, kita sebagai generasi penerus bangsa sudah seharusnya mempertahankan apa yang sudah diperjuangkan oleh para pendahulu kita, yaitu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa (Ling, 2014: 34).
Pluralitas Bangsa Indonesia
Pengertian Pluralitas
Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, suku, ras, agama, kebudayaan ataupun peradaban. Pemicu sikap ekstrem, radikal, konflik horisontalm atau konflik atas nama agama yang terjadi di Indonesia, memerlukan kemunculan pluralisme. Pluralisme adalah sebuah kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Berbicara tentang konsep pluralisme, sama halnya membicarakan tentang sebuah konsep "kemajemukan atau keberagaman", di mana pluralisme itu sendiri merupakan suatu "kondisi masyarakat yang majemuk". Kemajemukan di sini dapat berarti kemajemukan dalam beragama, sosial dan budaya. Pada prinsipnya, konsep pluralisme ini timbul setelah adanya konsep toleransi. Jadi ketika setiap individu mengaplikasikan konsep toleransi terhadap individu lainnya maka lahirlah pluralisme itu. Dalam konsep pluralismelah bangsa Indonesia yang beraneka ragam ini mulai dari suku, agama, ras, dan golongan dapat menjadi bangsa yang satu dan utuh (?).
Pengertian masyarakat majemuk dalam Perspektif ilmu politik mengikuti perumusan Robushka dan Shepsle melalui (Nasikun, 1996: 5) dapat didefinisikan melalui parameter,
keragaman kultural,
aliansi etnik, dan
terorganisasi secara politik.
Akibat hampir semua masyarakat memiliki keragaman kultural, maka dimensi etniklah yang membedakan masyarakat majemuk.
Berdasarkan konfigurasinya menurut Nasikun (1996, 5-7), masyarakat majemuk dapat dibedakan ke dalam empat kategori.
Masyarakat majemuk dengan kompetisi seimbang.
Masyarakat majemuk yang terdiri atas sejumlah kelompok etnik yang kurang lebih seimbang, sehingga koalisi lintas etnik yang luas sangat diperlukan bagi pembentukan suatu pemerintahan yang stabil.
Masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan.
Masyarakat majemuk dengan kelompok etnik mayoritas mendominasi kompetisi politik sehingga posisi politik kelompok-kelompok yang lain hanya berarti pada situasi terjadi perpecahan serius di kelompok mayoritas.
Masyarakat majemuk dengan minoritas dominan.
Masyarakat majemuk dengan kelompok etnik minoritas tertentu yang mendominasi kompetisi politik karena sejumlah keunggulan yang dimilikinya.
Masyarakat majemuk dengan fragmentasi
Masyarakat majemuk yang terdiri dari sejumlah besar kelompok etnik, dengan jumlah anggota yang kecil dan tidak satupun memiliki posisi politik yang dominan. Kehidupan politik menjadi labil, tanpa lembaga brockerage, rendahnya kemampuan coalition building untuk meng-akomodadi konflik-konflik yang cenderung bersifat anarkis sebagai akibat kecurigaan etnik dan hadirnya pemerintahan yang otoriter.
Masyarakat majemuk Indonesia tergolong pada masyarakat majemuk dengan fragmentasi, meskipun masyarakat Jawa sering dianggap memiliki posisi yang sangat dominan di dalam sistem sosial dan politik Indonesia, masyarakat majemuk Indonesia lebih tepat digolongkan ke dalam kategori masyarakat majemuk dengan segmentasi daripasa sebagai masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan.
Adapun semua masyarakat majemuk menurut Nasikun (1996: 7) memiliki kecenderungan,
mengidap konflik kronis dalam hubungan antarkelompok;
pelaku konflik melihat sebagai all-out war; dan
proses integrasi sosial lebih banyak terjadi melalui suatu dominasi atas suatu kelompok oleh kelompok lain.
Situasi yang demikian akan kian berkembang apabila diferensiasi sosial berdasarkan parameter struktur sosial yang satu berkembang saling mengukuhkan dengan sentimen-sentimen yang bersumber di dalam diferensiasi sosial berdasarkan parameter yang lain.
Sebenarnya semboyan negara kita Bhinneka Tunggal Ika, sudah sangat sesuai dengan keanekaragaman yang ada di Indonesia. Sesuai dengan maknanya, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Inti dari semboyan tersebut adalah persatuan dalam keanekaragaman. Bhinneka tunggal ika bermaksud menunjukkan persatuan dan kesatuan yang timbul dari keanekaragaman. Ada kesadaran bangsa akan keanekaragaman dalam kehidupan, namun tidaklah menjadi penghalang bagi kita untuk bersatu padu (?).
Secara historis pluralisme itu diidentifikasikan sebagai aliran filsafat yang menentang konsep negara absolut dan berdaulat, ini kemudian berkembang dengan pembagian pluralisme klasik dan pluralisme komtemporer. Pluralisme klasik merupakan reaksi terhadap doktrin hukum tentang kedaulatan negara, sedangkan pluralisme komtemporer yang muncul di tahun 1950-an, dikembangkan tidak untuk menentang kedaulatan negara melainkan menentang teori-teori tentang elit.3 Pluralisme yang klasik merujuk pada problem masyarakat plural yang penduduknya tidak homogen tetapi terbagi-bagi oleh kesukuan, etnis, ras dan agama, dimana kadang-kadang beberapa faktor ini menyatu yang cenderung meningkatkan konflik. Ini menekankan kepada pluralisme sosial (primordial) (Simson dan Weiner melalui Syam, 2011, p 259).
Dalam politik pluralisme menurut Simpson dan Weiner melalui (Syam, 2011, p 259), didifinisikan sebagai beriku.
Sebuah teori yang menentang kekuasaan monolitik negara dan bahkan menganjurkan untuk meningkatkan pelimpahan dan otonomi organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan seseorang dalam masyarakat. Juga percaya bahwa kekuasaan harus dibagi di antara partai-partai politik yang ada.
Keberadaan toleransi keragaman kelompok-kelompok etnis dan budaya dalam suatu masyarakat atau negara, keragaman kepercayaan atau sikap yang ada pada sebuah badan atau institusi dan sebagainya.
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat bahkan bernegara di Indonesia dewasa ini, telah muncul pemahaman yang berbeda-beda mengenai arti pluralisme. Sebagai suatu paham, yang ini kemudian dianggap oleh satu pihak (Syam, 2011, p 260),
bahwa pluralisme harus berlaku secara universal dalam segala aspek kehidupan,
memiliki pandangan pluralisme itu tidak harus masuk dalam ranah agama,
pluralisme lebih berkonotasi liberalis sekularisme, artinya kebebasan itu "membolehkan" untuk melanggar/tidak mengenyahkan sama sekali etika, moralitas keimanan dari suatu agama atau kepercayaan.
Mengenai pluralitas atau lebih dikenal dengan kemajemukan masyarakat di Indonesia , menurut Nurcholish Madjid melalui (Syam, 2011, p 260).bukanlah suatu keunikan yang memerlukan perlakuan khusus dan unik pula. Kenapa demikian, sebab dalam realitas kehidupan tidak ada suatu masyarakat pun yang benar-benar tunggal (unitary) tanpa ada unsur-unsur perbedaan didalamnya. Kesatuan tersebut tercipta justru karena adanya perbedaan-perbedaan di dalamnya (unity in diversity, E Plurabus Unum, Bhineka Tunggal Ika. Pluralitas masyarakat Indonesia adalah keragaman dalam sebuah wujud persatuan bangsa. Keragaman, keunikan, dan parsial merupakan realitas yang tak terbantahkan di tanah Nyiur Melambai ini. Secara antropologis dan historis, masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai etnis, budaya dan agama yang saling berbeda dan mengikat dirinya antara satu dengan lainnya sebagai suatu bangsa.
Lebih lanjut bahwa masalah pluralisme atau paham kemajemukan masyarakat di Indonesia, menurut Nurcholish Madjid melalui (Syam, 2011, p 261).masih dipahami secara dangkal dan kurang sejati. Ada gejala pluralisme dipahami sepintas lalu, tanpa makna yang mendalam, dan yang lebih penting tidak berakar dalam ajaran kebenaran.10 Padahal istilah "pluralisme"–selain sudah ditegaskan sebagai ketetapan ketentuan Allah, juga menjadi barang harian dalam wacana umum masyarakat Indonesia. Ia kemudian juga mengakui bahwa Indonesia adalah salah satu bangsa paling plural atau majemuk di dunia. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan negara-dengan latar belakang yang paling beraneka ragam. Indonesia tidak hanya majemuk dengan etnis, bahasa, dan kebudayaan, tapi juga dalam hal keberagamaan11 dan Indonesia telah memliki landasan kuat dan kukuh bagi pengembangan toleransi beragama dan pluralisme yakni Pancasila.
Bagi Nurcholish Majid pluralitas manusia adalah kenyataan yang dikehendaki Tuhan. Pernyataan bahwa manusia diciptakan dalam berbagai bangsa dan bersukusuku supaya saling kenal mengenal dan saling menghormati -Qs 49: 13.12 Sebab itu pluralisme merupakan hukum alam (sunatullah) yang tidak akan berubah dan tidak dapat ditolak. Ajaran Islam adalah agama yang kitab sucinya sangat mengakui keberadaan hak-hak agama lain untuk hidup dan untuk mengimplementasikan ajaran-ajarannya. Pluralisme merupakan produk dari pandangan jujur terhadap kemanusiaan yang diilhami oleh sikap saling menghormati diantara individu-individu dan kelompok-kelompok.13
Dengan demikian pluralisme sebuah kerangka dimana ada interaksi berbagai kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik dan asimilasi. Ini dapat dikatakan sebagai salah satu ciri khas masyarakat modern serta kemungkinan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan masyarakat serta perkembangan ekonomi. Dalam masyarakat pluralis kekuasaan dan penentuan keputusan lebih meneyebar.14
Namun istilah pluralisme kemudian menjadi polemik di Indonesia karena adanya perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya pluralism, hingga kenyataan kini memiliki arti:
pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural;
pluralisme digunakan sebagai alasan percampuran antar ajaran agama;
pluralisme digunakan sebagai alasan untuk merubah ajaran suatu agama sesuai dengan ajaran agama lain.
Adanya perubahan pengertian (berbeda dari awalnya) memberikan makna pluralisme diartikan sama dengan asimilasi. Dengan "pergeseran" pemahaman itu menimbulkan pembelahan ke dalam 3 (tiga) klasifikasi dalam menganut pluralisme yakni: (1) penganut pluralisme dalam arti asimilasi; (2) penganut asimilasi dalam arti non asimilasi; (3) penganut anti pluralisme (yang sebenarnya setuju dengan pluralism dalam arti non asimilasi).
Keadaan pluralisme di Indonesia semacam ini yang tidak aneh jika memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak,15 maka hal ini pula yang dikritisi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tidaklah heran bila pada akhir-akhir inin terjadi reaksi keras dalam wujud polemik sampai kepada aksi pisik ketika timbulnya isu sensititif tentang suatu aliran atau agama yang menjadi sorotan publik -kontraversial-, ini karena ada pihak melakukan pembelaan dengan mengatas namakan pluralisme dan kebebasan.
Perlu dipahami pada dasarnya konflik yang timbul dengan membawa kecenderungan disintegrasi yang muncul belakangan ini bukan disebabkan faktor perbedaan ideologi dan keyakinan agama. Persoalan ini lebih didorong oleh faktor yang sangat kompleks. Dapat disebutkan karena masalah ketidak adilan di bidang ekonomi, politik, sosial, agama, budaya dan hukum, ketegangan primordial yang kurang terjembatani dalam jangka waktu yang lama; otokrasi pemerintahan, keteladanan para pemimpin politik, agama dan tokoh masyarakat yang semakin merosot, semuanya itu menyumbang dan memperparah berbagai konflik yang terjadi di tengah–tengah masyarakat.16 (Syam, 2011, p 261-262).
Pluralitas dalam persatuan dan Kesatuan Bangsa
Sudah jelas bahwa inti dari Bhinneka Tunggal Ika adalah persatuan dalam keanekaragaman. Keanekaragaman yang dimaksudkan dalam motto ini tentu saja keanekaragaman yang dapat menimbulkan kesatuan dan persatuan. Jelas pula apabila salah satu segi keanekaragaman itu adalah adanya perbedaan nilai di antar satu kelompok masyarakat kita, dalam hal ini katakanlah suku bangsa dengan kelompok lainnya. Nilai pokok atau dasar ini dapat merangkul perbedaan-perbedaan yang ditimbulkan oleh nilai-nilai lain dan dapat mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkannya (Sjamsuddin, 1993: 31-32).
Makna Bhinneka Tunggal Ika lebih banyak dipahami sebagai keanekaragaman daripada makna persatuannya. Hal ini membawa konsekuensi di dalam kehidupan sehari-hari. Konsekuensi-konsekuensi ini sering muncul dalam bentuk yang seakan-akan menggambarkan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang penuh dengan konflik nilai-nilai. Masyarakat kita seakan-akan lebih dibayangi oleh konflik daripada konsensus. Agaknya ada kecenderungan bahwa masyarakat kita suka mempertentangkan sesuatu dengan yang lain (Sjamsuddin, 1993: 32).
Sesungguhnya Bhinneka Tunggal Ika bukanlah suatu motto yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Masalahnya, ialah pesan apa yang semestinya ditonjolkan darislogan nasional bukanlah keanekaragamannya, melainkan unsur kesatuannya. Pengutamaan unsur kesatuan di atas unsur keanekaragaman bukanah sesuatu yang tidak mungkin. Sementara kita mengakui eksistensi keanekaragaman itu, mengutamakan nilai persaman nilai pokok yang kita miliki akan lebih menjuruskan lagi persatuan dan kesatuan bangsa kita. Demikian, maka toleransi, tenggang rasa, dan nilai-nilai pokok lainnya perlu lebih diangkat ke atas permukaan kehidupan bermasyarakat (Sjamsuddin, 1993: 33).
Kesamaan nilai –nilai pokok itulah yang perlu kita ketengahkan, maka seyogyanya tidak mempermasalahkan perbedaan kadar daripada nilai-nilai yang bersangkutan. Dengan mengaitkan konsep persatuan dan kesatuan yang terkandung dalam motto Bhinneka Tunggal Ika dengan kesamaan nilai pokok yang dimaksud, kita akan lebih memahami hubungan antara keanekaragaman dan keutuhan bangsa. Didalam keanekaragaman bangsa kita terdapat kesamaan nilai pokok, dan itulah yang menjamin persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia (Sjamsuddin, 1993: 31).
Integrasi Politik Bangsa Indonesia
Integrasi politik menurut Sjamsuddin (1993: 52) merupakan proses yang mengandung bobot-bobot politik dan karenanya proses ini bersifat politik. Demikian, maka integrasi politik di satu pihak bisa mencakup bidang vertikal, yaitu integrasi antara elite dan massa. Di lain pihak integrasi politik dapat pula meliputi bidang horisontal, yaitu bertujuan untuk menjembatani perbedaan-perbedaan yang didasarkan pada aspek teritorial atau kewilayahan.
Dalam arti yang demikian, integrasi politik melibatkan dua masalah pokok.
Bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan-tuntutan negara.
Masalah ini mencakup soal pengakuan rakyat, yang sering dikatakan berdaulat, akan hak-hak yang dimiliki negara (dalam hal ini rakyat tunduk pada hak-hak tersebut). Persoalannya adalah bagaimana hubungan rakyat dengan negara.
Bagaimana meningkatkan konsesnsus normatif yang mengatur tingkah laku politik setiap anggota masyarakat.
Masalah ini lebih banyak bersifat pembinaan kesepakatan diantara sesama warga negara dalam hal atau sehubungan tingkah laku politik yang diperlukan oleh sistem politik agar tetap berfungsi dengan baik.
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disebutkan faktor-faktor yang dapat menimbukan kesenjangan dalam proses integrasi politik (Sjamsuddin, 1993: 69-70).
Secara vertikal.
Kesenjangan ditimbulkan oleh perbedaan-perbedaan yang ada pada kelompok elite dan massa. Perbedaan tersebut dapat berupa perbedaan yang ada dalam latar belakang kehidupan dari masing-masing kelompok itu, seperti latar belakang pendidikan, kehidupan ekonomi, atau ideologi.
Secara horisontal.
Kesenjangan diakibatkan oleh adanya primordialisme di antara kelompok-kelompok yang dalam masyarakat. Primordialisme ialah perasaan-perasaan yang mengikat seseorang terhadap terhadap hal-hal yang dimilikinya sejak ia lahir. Adapun yang tergolongkan dalam kondisi ini ialah faktor-faktor seperti daerah atau tempat kelahiran, suku, ikatan, darah, agama, ras, dan bahasa. Faktor-faktor ini menimbulkan ikatan atau perasaan-perasaan tertentu bagi pemiliknya. Adanya berbagai kelompok dalam masyarakat yang memiliki faktor atau kombinasi faktor yang berbeda-beda menimbulkan kesenjangan dalam masyarakat. Sering ditemui bahwa ikatan atau perasaan tersebut sangat kuat, sehingga menimbulkan pertentangan-pertentangan tidak jarang berkembang menjadi konflik terbuka.
Integrasi politik mencakup aspek-aspek horisontal dan vertikal. Dari sudut horisontal dapat dikatakan bahwa sekalipun masih terdapat kesenjangan-kesenjangan akan tetapi tidak perlu diragukan bahwa kadar integrasi politik dalam masyarakat kita sekarang telah cukup tinggi. Dikatakan cukup karena masih saja ada konflik-konflik agama yang mewarnai kehidupan berpolitik di Indonesia (Sjamsuddin, 1993: 54).
Dalam kehidupan berpolitik, pancasila dapat meningkatkan kadar integratif baik pada jalur vertikal maupun horisontal. Perancangan itu berhasil menghapuskan konflik yang bersumber pada ideologi secara formal, yang berarti tidak ada lagi konflik ideologi dalam arti formal. Secara informal konflik ideologis akan terus berjalan sampai tercapainya kesepakatan di kalangan elite tentang interpretasi dan operasionalisasi Pancasila. Maka, kita masih akan menghadapi masalah penciptaan konsensus normatif yang mengatur tingkah laku politik kita (Sjamsuddin, 1993: 55-56).
Masyarakat majemuk pada umumnya mengalami masalah magnitude yang tidak pernah dihadapai oleh corak masyarakat yang lain. pada tingkat politik, bukan hanya kesulitan-kesulitan di dalam mengembangkan kata sepakat mengenai batas-batas teritorial dan sosialisasi yang harus dihadapi oleh masyarakat majemuk, akan tetapi lebih pada kesulitan-kesulitan yang lebih besar di dalam mengembangkan sistem pemerintahan dan aturan main proses proses politik yang mapan. Manifesatinya yang paling rawan muncul di dalam kesulitan untuk mengembangkan kesepakatan ideologi dan sistem politik yang memperoleh legitimasi kuat.
Menghadapi beragam kesulitan yang ada, suatu masyarakat bangsa yang bersifat majemuk seringkali harus mengambil jalan pintas mengembangkan suatu sistem politik yang sangat otoriterian, antara lain melalui birokratisasi dan korporatisasi hampir semua organisasi kemasyarakatan, (Mochtar Mas'oed melalui Nasikun, 1996: 7-8).
Integrasi politik yang dimaksud oleh Nasikun (1996: 67-68), adalah sama prinsipnya dengan kesatuan dan persatuan bangsa yang dipergunakan dalam bahasa politik.
Kehidupan Berpolitik Bangsa Indonesia
Ada banyak hal yang selama ini menjadi masalah dalam perjalanan politik bangsa Indonesia. Diantaranya pluralitas, orientasi politik, ke-pemimpinan, demokrasi, dan pembangunan politik. Kesemuanya itu ber-dampak pada bentuk, sifat, dan penampilan sitem politik di Indonesia, karenanya berbagai hal seakan-akan sudah menjadi bagian dari gaya kepolitikan Indonesia (Sjamsuddin, 1993: 3).
Pluralitas
Negara Indonesia terdiri dari ribuan pulau hingga membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai negara kepulauan (archipelago country) terbesar di dunia, tidak heran bila Indonesia termasuk negara dengan masyarakat yang memiliki tigkat kemajemukan yang tiggi dan kompleks. Sebab, dalam setiap pulau dapat dihuni oleh beberapa suku atau etnis sekaligus. Pluralitas bangsa Indonesia tidak hanya meliputi aspek nilai, perasaan, atau karakter masyarakatnya saja, tetapi juga mencakup aspek fisik yang dapat langsung dilihat.
Jelas, pluralitas bangsa Indonesia menunjukkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri masyarakat. Perbedaan-perbedaan tersebut pada dasarnya dan pada mulanya tidak menjadi masalah, mengingat sejarah perjuangan bangsa Indonesia dari imperialisme dan kolonialisme. Dimana pada saat itu, masyarakat Indonesia dari seluruh wilayah Nusantara berjuang, mengorbankan segalanya demi kemerdekaan indonesia. Para pahlawan kita, mereka semua memiliki latar belakang suku, agama, hingga spesifikasi ras yang berbeda. Namun perbedaan-perbedaan yang ada bukanlah penghalang bagi mereka untuk bersatu demi melawan penjajah.
Lantas, sekarang di saat Indonesia sudah merdeka. Sudah seharusnya kita menjaga kemerdekaan yang susah payah diraih para pendahulu kita. Tidak sepatutnya kita mempermasalahakan kepluralitasan kita. Bahkan dahulu, para tokoh bangsa Indonesia dengan ikhlas mengubah rumusan pancasila sila pertama dari "Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menjalankan syariat-syariat agama Islam" menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Hal tersebut membuktikan betapa meskipun ada kelompok mayoritas terbesar di suatu bangsa, bukan berarti tidak ada kelompok-kelompok minoritas kecil lainnya yang tidak kita hargai.
Meskipun tidak dapat kita pungkiri jika setiap perbedaan yang bersinggungan dapat mengarah pada sesuatu yang sensitif baik untuk individu maupun kelompok. Pada saat ini, kemajemukan bangsa Indonesia juga dapat terlihat melalui pencapaian dalam bidang pendidikan dan ekonomi, dimana golongan yang mampu mencukupi pencapaian pada bidang pendidikan dan ekonomi disebut dengan golongan menengah. Dalam setiap perbedaan, nyatanya juga terdapat fungsi yaitu sebagai dasar bagi individu maupun kelompok di dalam mengejar kepentingan yang men-jadikan rasa curiga masyarakat terhadap perbedaan lebih bermakna, baik terkait dengan kekayaan, status, dan kekuasaan (Sjamsuddin, 1996: 5).
Orientasi Politik
Mungkin saja kepluralitasan suatu bangsa tidak menjadi persoalan besar bagi bangsanya jika keanekaragaman yang ada tidak mempengaruhi orientasi politiknya. Namun, kenyataannya dasar orientasi politik adalah nilai-nilai yang bersumber dari pluralitas masyarakat. Lebih jauh, orientasi politik tumbuh tidak hanya dari nilai-nilai masyarakat melainkan juga dapat terpengaruh dari luar, yang mana tetap saja dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dimiliki. Bisa dikatakan nilai-nilai tersebut membentuk keseluruhan sikap masyarakat terhadap sesuatu orientasi, maka itulah yang menjadi orientasi politik masyarakat (Sjamsuddin, 1996: 8).
Bagi individu atau kelompok masyarakat yang melepaskan diri dari nilai-nilai yang ada di lingkungannya, dapat dikatakan sebagai pelaku penyimpangan baik itu negatif maupun positif, karena sikapnya tersebut memungkinkan adanya perbedaan orientasi politik (Sjamsuddin, 1996: 8).
Hubungan antara keanekaragaman masyarakat dengan orientasi politiknya mempersulit upaya-upaya untuk mengadakan perubahan orientasi politik secara demokratis. Memang, dalam hal ini pemerintah dapat memaksakan terjadinya perubahan orientasi politik melalui berbagai cara. Persoalannya, bagaimana reaksi masyarakat dan perlunya perhatian lebih lanjut karena keadaan semacam itu merupakan keadaan aktual dalam masyarakat Indonesia(Sjamsuddin, 1996: 9).
Akibat dari pemaksaan orientasi politik oleh pemerintah kepada masyarakat, yaitu menimbulkan penentangan baik lunak maupun keras. Hal ini karena pada dasarnya tindakan pemaksaan apapun tujuannya tidak dikehendaki atau disukaioleh obyek yang menjadi sasaran. Sehingga jelas apabila rekasi dari pemaksaan dapat mengganggu kestabilan sistem politik suatu negara. Meskipun lebih banyak masyarakat bereaksi dengan diam atau lebih buruknya tidak peduli (apatis), dimana hal tersebut dapat berkembang sewaktu-waktu menjadi penentangan yang keras jika sudah ada kesempatan(Sjamsuddin, 1996: 9).
Lamanya perubahan yang dipaksakan kepada masyarakat akan bertahan sepanjang penguasa itu ada dan belum berganti. Karena masyarakat tidak menyukainya dan enggan untuk melestarikan, adapun upaya untuk memelihara orientasi politik diserahkan kepada penguasa. Sebenarnya pemerintah dapat juga menggunakan pendekatan persuasif dalam mengubah orientasi politik masyarakat. hanya saja memerlukan waktu yang panjang meskipun menghasilkan hasil yang lebih efektif. Serta, perlu menyesuaikan antara orientasi politik dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat (Sjamsuddin, 1996: 10).
Maka jelas kaitannya atara orientasi politik dengan masalah nilai di masyarakat. Di satu pihak, orientasi politik terbentuk berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dalam kurun waktu tetentu. Di lain pihak, orientasi politik berkembang sesuai perkembangan nilai-nilai masyarakat. Jika nilai masyarakat berubah secara mendasar, begitupun dengan orientasi politik. Sehingga harus ada kesesuaian antara nilai-nilai masyarakat dan orientasi politik (Sjamsuddin, 1996: 11).
Elite Politik dan Sistem Seleksi
Sudah dijelaskan sebelumnya apabila orientasi politik suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh pluralitas masyarakatnya. Bagi bangsa Indonesia dengan tingkat kemajemukan yang tinggi, perlu untuk mengembangkan kemajemukan tersebut sehingga orientasi politik tidak hanya berkembang sesuai perkembanganan masyarakatnya melainkan juga mampu memantapkan kehidupan masyarakat itu sendiri secara keseluruhan (Sjamsuddin, 1996: 14).
Ada peran elite politik dalam mengarahkan orientasi politik di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang plural. Hubungan antara kemajemukan dan orientasi masyarakat dengan elite politik sesungguhnya merupakan suatu masalah yang usang, terlebih bila dilihat dari sudut pandang perubahan yang terjadi dalam masyarakat. namun, mengingat kenyataan bahwa setiap perubahan yang terjadi belum tentu meliputi bagian terbesar masyarakat, maka pengaruh pluralitas dan orientasi masyarakat terhadap elite politik dapat diasumsikan masih besar. Dapat kita lihat asumsi tersebut dalam proses rekrutmen politik yang berlangsung, dimana pola rekrutmen masih meliputi elite-elite yang mendasarkan diri pada orientasi dan nilai-nilai majemuk (Sjamsuddin, 1996: 14).
Pada dasarnya elite-elite politik tidak dapat melepaskan diri dari nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakatnya. Begitupun para elite politik tidak bisa melepaskan diri dari orientasi-oerientasi politik yang dianut oleh masing-masing massanya. Sebab, bila mereka melepaskan diri dari nilai dan orientasi yang ada di sekitar mereka akan mengakibatkan tercabutnya akar-akar pengaruh mereka dalam masyarakat. hal tersebut jelas memungkinkan hilangnya pengaruh hingga perginya para pengikut (Sjamsuddin, 1996: 15).
Tetapi, perkembangan masyarakat saat ini memperlihatkan jika elite politik tidak harus selalu mengikatkan diri pada dengan nilai dan orientasi politik yang hidup dalam masyarakat. Elite politik yang termasuk dalam kategori ini cenderung memisahkan diri dari masyarakatnya. Ini terjadi karena di dalam proses rekrutmen politik, tidak harus mengikuti seleksi alamiah. Proses seleksi yang tidak alamiah, tidak melibatkan peran serta masyarakat. kalaupun masyarakat terlibat, maka keterlibatannya itu tidak bersifat menentukan. Pihak yang menentukan dalam seleksi elite politik adalah aktor pimpinan. Jadi, saat ini para elite politik boleh jadi tidak berkar pada masyarakat melainkan dekat dengan pimpinan ataupun mereka yang lebih senior. Sehingga para elite politik tidka memerlukan dukungan nilai atau orientasi politik yang dianut oleh massa (Sjamsuddin, 1996: 15).
Di lain pihak, elite politik berperan menyeimbangkan faktor-faktor yang mendukung pluralitas dengan orientasi dari masyarakat. maka dapat diperkirakan, bahwa hanyalah elite politik yang berakar dan menjadi bagian daripada faktor pendukung pluralitas dan orientasi politik yang ada.dalam masyarakat itulah yang mampu berperan. Mampu membimbing masyarakat menuju titik keseimbangan yang memungkinkan masyarakat berkembang sekaligus mencapai tingkat kestabilan yang lebih tinggi, sebab para elite politik tersebut dipercaya oleh masyarakat yang diwakili. Kepercayaan akan terus dimiliki sepanjang tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan kepentingan masyarakat yang dipimpinnya (Sjamsuddin, 1996: 16-17).
Elite politik yang dekat dengan massanya selalu berkesempatan menjalankan peranan yang lain, dan hal ini tidak mungkin dimiliki oleh elite politik yang menjauhkan diri dari massanya (Sjamsuddin, 1996: 18).
Demokrasi
Meskipun istilah demokrasi adalah sebuah konsep dari barat, bukan berarti bangsa Indonesia yang merupakan masyarakat di belahan timur bumi tidak mengenal demokrasi dalam kehidupan. Sejak berabad-abad yang lalu masyarakat Indonesia sudah mengenal dan mempergunakan konsep demokrasi dengan istilah lokal yang kita kenal, seperti kerakyatan, kedaulatan rakyat, dan musyawarah yang kesemuanya mengarah kepada konsep demokrasi (Sjamsuddin, 1996: 19).
Bisa dikatakan bila demokrasi merupakan konsep barat, namun nilai-nilai demokrasi itu sendiri bersifat universal. Karenanya demokrasi dapat dengan mudah akrab dengan masyarakat manapun, termasuk bangsa Indonesia. Meskipun kita mengetahui faktanya di masa lampau jika bangsa Indonesia menerima penindasan politik yang mana merupakan suatu tindakan yang tidak demokratis. Namun, bukan berarti penindasan politik menjadi tolak ukur suatu demokrasi dalam masyarakat. lebih tepat dikatakan bila penindassan politik merupakan usaha sebagian elite politik untuk mematikan demokrasi yang sedang berkembang di masyarakat. interpretasinya, penindasan politik merupakan bukti dihayatinya nilai-nilai demokrasi oleh masyarakat. masyarakat memiliki kesadaran politik, sehingga para elite politik merasa perlu melakukan penindasan (Sjamsuddin, 1996: 20).
Bagaimanapun tanggapan setiap individu terhadap demokrasi menghasilkan jawaban yang bervariasi. Namun, semua bentuk atau jenis demokrasi memiliki satu kesamaan, yaitu mengatur tingkah laku hubungan antara pihak yang memerintah dengan pihak yang diperintah, menurut Sjamsuddin, (1996: 5).
Ada kondisi sosial budaya yang memungkinkan pihak yang memerintah untuk sekedar membicarakan apa yang akan dilakukannya dengan pihak yang diperintah.
Kondisi lain mengharuskan pihak yang memerintah mengajak pihak yang diperintah untuk bersama-sama menentukan langkah-langkah yang hedak ditempuh.
Kedua pola hubungan di atas tidak hanya mencerminkan kondisi sosial-budaya dalam masyarakat, lebih dari itu yakni menggambarkan bentuk-bentuk demokrasi yang berkembang dalam masyarakat. Meskipun hanya bersifat teoritis, dalam praktek kenegaraan kita menemukan berbagai macam bentuk antara yang mencerminkan takaran demokrasi (Sjamsuddin, 1996: 21).
Pembangunan Politik
Pembangunan politik merupakan usaha pemeliharaan sistem politik itu sendiri., disebut juga stabilisasi politik. Hal ini dilakukan tidaka sekedar karena struktur-struktur dan fungsi-fungsi dalam sistem politik dianggap belum memadai, namun juga karena adanya kebutuhan bagi sitem politik untuk terus beradaptasi dengan lingkungannya agar tidak bersifat kaku sebab masyarakat yang mendukungnya selalu mengalami perubahan(Sjamsuddin, 1996: 24).
Ada dua sudut pandang pembangunan politik Sjamsuddin, (1996: 24).
Pembangunan politik mungkin berlangsung atau dilakukan dalam suatu masyarakat yang berkembang secara normal.
Pembangunan politik menjadi bersifat penyesuaian-penyesuaian terhadap struktur atau fungsi tertentu saja. jikapun terjadi perubahan di dalam sistem politik hal tersebut tidak bersifat mendasar. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat hanya berbentuk transformasi, yang merupakan penyesuaian semata berguna untuk menampung aspirasi dan kegiatan politik masyarakat.
Pembangunan politik yang berlangsung dalam suatu masyarakat yang sedang mengalami situasi politik atau sosial-ekonomi yang kritis.
Pembangunan politik cenderung diisi oleh tuntutan masyarakat akan perubahan yang mendasar dalam sistem politiknya. Hal ini disebabkan oleh kekecewaan yang berkelanjutan dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Sehingga sistem politik tidak berdaya untuk mengatasinya. Jika sudah demikian, maka akan terjadi krisis dalam sitem politik sampai pada akhirnya tidak dapat menjalankan fungsinya secara utuh.
Tekanan yang besar memang tidak akan selalu meruntuhkannya, tetapi dapat mengurangi kapabilitas sistem politik, atau minimal akan menghambat sistem politik untuk berfungsi sebagaimana mestinya. Dan biasanya, ketika sistem politik tidak mampu menjalankan fungsinya secara maksimal, yang terjadi justru akan menerima tekanan yang lebih besar sampai-sampai mempersempit ruang gerak bagi struktur-strukturnya untuk beroperasi. Jika kemudian sistem politik benar-benar gagal meningkatkan kapasitasnya, maka kemampuan untuk memelihara diri sendiri akan berkurang yang man memberi kesempatan bagi pembangunan politik berskala besar yang diistilahkan dengan reformasi politik.
Situasi di atas dapat tercermin dalam bentuk atau arah pembangunan politik yang dilakukan pada waktu tertentu (Sjamsuddin, 1996: 25).
Pembangunan politik saling berkaitan erat dengan pembangunan dalam aspek-aspek kehidupan yang lainnya. Seperti keberhasilan pembangunan ekonomi yang akan mendorong peningkatan dalam proses pembangunan politik, begitupun sebaliknya. Maka perlu adanya keseimbangan antara pembangunan-pembangunan dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Sebab bila tidak ada keseimbangan akan berdampak pada penekanan terhadap bidang-bidang tertentu, dimana akhirnya akan berdampak pada sistem politik secara keseluruhan (Sjamsuddin, 1996: 27).
Partisipasi Politik
Istilah "partisipasi politik" telah digunakan dalam pelbagai arti. Huntington melalui Nasiwan (2005: 466) mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Definisi ini mensyaratkan bahwa yang tercakup dalam partisipasi politik adalah kegiatan, dengan demikian orientasi-orientasi para warga negara terhadap politik, pengetahuan tentang politik, minat terhadap politik, perasaan-perasaan mengenai politik kompetisi dan keefektifan politik, persepsi-persepsi tentang relevansi politik, itu seringkali juga tidak berkaitan.
Persoalan mendasar yang menjadi perhatian dalam partisipasi politik hanyalah kegiatan politik yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Kegiatan-kegiatan yang demikian difokuskan terhadap pejabat-pejabat umum, mereka yang pada umumnya diakui mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan final tentang pengalokasian nilai-nilai secara otoritatif dalam masyarakat. Sebagian besar dari apa yang dinamakan politik, dan sebagian besar pengalokasian sumber-sumber daya diantara golongan-golongan dalam masyarakat dapat berlangsung tanpa campur tangan pemerintah. Dengan demikian maka besarnya partisipasi politik di dalam suatu masyarakat, sampai tingkat tertentu tergantung kepada lingkup kegiatan pemerintah di dalam masyarakat (Huntington melalui Nasiwan, 2005: 466).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bangsa, secara singkat bermakna suatu kehendak untuk bersatu, dimana sekelompok orang mau untuk bersatu dan merasa bersatu. Bangsa Indonesia lahir dari penderitaan dan kesengsaraan rakyatnya pada masa penjajahan oleh pihak-pihak kolonial di masa lalu. Kehendak bersatu masayarakat Indonesia pada saat itu dilatarbelakangi keinginan besar untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan memperkuat hasrat untuk memperluas dan memperkuat persatuan, demi segera meraih kebebasan bagi bangsa Indonesia. demikianlah proses panjang ratusan tahun akhirnya mematangkan proses integrasi bangsa pada peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Peristiwa tersebut menjadi puncak manifestasi bangkitnya kesadaran mewujudkan kehendak akan bersatu menjadi satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa; Indonesia. Bangsa Indonesia yang terlahir dari proses pertarungan kepentingan antara pihak terjajah melawan pihak penjajah membentuk sifat atau watak yang sepenuhnya terbentuk oleh proses pertarungan, atau perjuangan kepentingan masyarakat Nusantara yang terjajah saat melawan penjajah. Karenanya sifat dan watak bangsa Indonesia berkarakteristik anti penjajahan dalam segala bentuk. Itulah karakter sesungguhnya bangsa Indonesia yang terbentuk dari keberadaan dirinya. Oleh sebab itu, kita sebagai generasi penerus bangsa sudah seharusnya mempertahankan apa yang sudah diperjuangkan oleh para pendahulu kita, yaitu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Hal yang unik adalah, bangsa Indonesia memiliki masyarakat yang plural atau majemuk. Masyarakat majemuk dalam perspektif ilmu politik mengikuti didefinisikan melalui parameter keragaman kultural, aliansi etnik, dan terorganisasi secara politik. Dimensi etniklah yang membedakan masyarakat majemuk akibat hampir semua masyarakat memiliki keragaman kultural. Masyarakat majemuk Indonesia tergolong pada masyarakat majemuk dengan fragmentasi, meskipun masyarakat Jawa sering dianggap memiliki posisi yang sangat dominan di dalam sistem sosial dan politik Indonesia, masyarakat majemuk Indonesia lebih tepat digolongkan ke dalam kategori masyarakat majemuk dengan segmentasi daripasa sebagai masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan. Adapun semua masyarakat majemuk memiliki kecenderungan untuk mengidap konflik kronis dalam hubungan antarkelompok, pelaku konflik melihat sebagai all-out war, dan proses integrasi sosial lebih banyak terjadi melalui suatu dominasi atas suatu kelompok oleh kelompok lain. Situasi yang demikian akan kian berkembang apabila diferensiasi sosial berdasarkan parameter struktur sosial yang satu berkembang saling mengukuhkan dengan sentimen-sentimen yang bersumber di dalam diferensiasi sosial berdasarkan parameter yang lain.
Sebenarnya semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika, sudah sangat sesuai dengan keanekaragaman di Indonesia, dengan maknanya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Inti semboyan tersebut adalah persatuan dalam keanekaragaman. Bhinneka tunggal ika bermaksud menunjukkan persatuan dan kesatuan yang timbul dari keanekaragaman. Ada kesadaran bangsa akan keanekaragaman dalam kehidupan, namun tidaklah menjadi penghalang bagi kita untuk bersatu padu.
Pluralitas masyarakat Indonesia melahirkan pluralisme. Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, suku, ras, agama, kebudayaan ataupun peradaban. Pemicu sikap ekstrem, radikal, konflik horisontalm atau konflik atas nama agama yang terjadi di Indonesia, memerlukan kemunculan pluralisme. Pluralisme adalah sebuah kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Berbicara tentang konsep pluralisme, sama halnya membicarakan tentang sebuah konsep "kemajemukan atau keberagaman", di mana pluralisme itu sendiri merupakan suatu "kondisi masyarakat yang majemuk". Kemajemukan di sini dapat berarti kemajemukan dalam beragama, sosial dan budaya. Pada prinsipnya, konsep pluralisme ini timbul setelah adanya konsep toleransi. Jadi ketika setiap individu mengaplikasikan konsep toleransi terhadap individu lainnya maka lahirlah pluralisme itu. Dalam konsep pluralismelah bangsa Indonesia yang beraneka ragam ini mulai dari suku, agama, ras, dan golongan dapat menjadi bangsa yang satu dan utuh.
Selanjutnya, kemajemukan masyarakat Indonesia harus diseimbangakan dengan integrasi politik yang prinsipnya dengan kesatuan dan persatuan bangsa hanya saja dipergunakan dipergunakan dalam bahasa politik. Integrasi politik merupakan proses yang mengandung bobot-bobot politik dan karenanya proses ini bersifat politik. Demikian, maka integrasi politik di satu pihak bisa mencakup bidang vertikal, yaitu integrasi antara elite dan massa. Di lain pihak integrasi politik dapat pula meliputi bidang horisontal, yaitu bertujuan untuk menjembatani perbedaan-perbedaan yang didasarkan pada aspek teritorial atau kewilayahan. Integrasi politik mencakup aspek-aspek horisontal dan vertikal. Dari sudut horisontal dapat dikatakan bahwa sekalipun masih terdapat kesenjangan-kesenjangan akan tetapi tidak perlu diragukan bahwa kadar integrasi politik dalam masyarakat kita sekarang telah cukup tinggi. Dikatakan cukup karena masih saja ada konflik-konflik agama yang mewarnai kehidupan berpolitik di Indonesia.
Masyarakat majemuk pada umumnya mengalami masalah magnitude yang tidak pernah dihadapai oleh corak masyarakat yang lain. pada tingkat politik, bukan hanya kesulitan-kesulitan di dalam mengembangkan kata sepakat mengenai batas-batas teritorial dan sosialisasi yang harus dihadapi oleh masyarakat majemuk, akan tetapi lebih pada kesulitan-kesulitan yang lebih besar di dalam mengembangkan sistem pemerintahan dan aturan main proses proses politik yang mapan. Manifestinya yang paling rawan muncul di dalam kesulitan untuk mengembangkan kesepakatan ideologi dan sistem politik yang memperoleh legitimasi kuat. Menghadapi beragam kesulitan yang ada, suatu masyarakat bangsa yang bersifat majemuk seringkali harus mengambil jalan pintas mengembangkan suatu sistem politik yang sangat otoriterian, antara lain melalui birokratisasi dan korporatisasi hampir semua organisasi kemasyarakatan.
Ada banyak hal yang selama ini menjadi masalah dalam perjalanan politik bangsa Indonesia. Diantaranya pluralitas, orientasi politik, kepemimpinan, demokrasi, dan pembangunan politik. Kesemuanya itu berdampak pada bentuk, sifat, dan penampilan sitem politik di Indonesia, karenanya berbagai hal seakan-akan sudah menjadi bagian dari gaya kepolitikan Indonesia.
Saran
Sebagai sebuah bangsa, masyarakat Indonesia harus menjaga persatuan dan kesatuan yang sudah diperjuangkan oleh para pendahuu kita.
Sebagai bangsa yang plural, sudah seharusnya masyarakat Indonesia mengembangkan sikap toleransi dan saling menghargai sesama dalam berbagai kehidupan bermasyarakat dan berpolitik.
Perlu dikembangkan integrasi politik bagi seluruh lapisan masyarakat, mengingat problematika di Indonesia kian kompleks.
Perbedaan-perbedaan yang ada pada masyarakat bukanlah suatu penghalang untuk dapat berperan aktif dalam kehidupan berpolitik bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Faulks, Keith.2010.Sosiologi Politik Pengantar Kritis.Bandung: Nusa Media.
Heryanto, Ariel, dkk.1996.Nasionalisme Refleksi Krisis Kaum Ilmuwan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar (anggota IKAPI).
Ling, Tan Swie. 2014.Masa Gelap Pancasila Wajah Nasionalisme Indonesia.Depok: Ruas.
Sjamsuddin, Nazaruddin.1993.Dinamika Sistem Politik Indonesia.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Jurnal dan PDF
Syam, Firdaus.(2011).Dilema Pluralitas:Hambatan atau Penguatan Demokrasi Bangsa Indonesia.Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 14, Nomor 2, September 2011.Diambil dari https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/116 17/4197/3.pdf?sequence=1 (29 Juni 2017, Pukul 09.24 WIB).
Nasiwan.(2015).Model Pendidikan Politik:Studi Kasus PKS DPD Sleman, Yogyakarta.Cakrawala Pendidikan. Th. XXIV, Nomor 3, November 2005.Diakses dari http://journal.uny.ac.id/index.php/cp/article/download/ 383/pdf. Pada 6 Juni 2017 pukul 10.47 WIB.
Na'im, Akhsan dan Hendry Syaputra.2010.Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Hasil Sensus Penduduk 2010.Jakarta: Badan Pusat Statistik. Diakses dari Demografi.bps.go.id/phpfiletree/ bahan/kumpulan_tugas_mobilitas_pakchotib/kelompok_1/Referensi/BPS_kewarganegaraan_sukubangsa_agama_bahasa_2010.pdf 4 Juni 2017, pukul 13.09 WIB).
Web Pages
BPS.(2013).Data Sensus : Mengulik Data Suku di Indonesia. Diakses dari https://www/bps/go/id/KegiatanLain/view/id/127?_epi_=7%2CPAGE_ID10%2C5129992403. Pada 4 Juni 2017 pukul 13.12 WIB.
Makalah - Pendidikan Politik dan Demokrasi " 28
Persiapan
Sarana Promosi
Pamflet
Brosur
Social Media
Iklan
Media Cetak
Media Elektronik
SDM
Kaderisasi
Kader Lingkungan
Kader Wisata
Kader UMKM