PLURALISME AGAMA DI INDONESIA
MATA KULIAH ANTROPOLOGI HUKUM
OLEH : ARIF ARIF PURWIT PURWITO O EFFENDI EFFENDI
E11071 E1107122 22
ARIF SURYA DINATA E1107123
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2010
BAB I PENDAHULUAN
Latarbelakang Masalah
Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi. Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar. Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah. Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran. Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing. Pluralitas agama, budaya, ras, bahasa, dan adat istiadat yang dimiliki bangsa Indonesia, jelas merupakan kekayaan spiritual yang tidak ternilai untuk terus
dilestarikan dalam kehidupan bermasyarakat dewasa ini. Namun, pluralitas ini sering kali dijustifikasi sebagai faktor penghambat dan penghalang kita untuk dapat saling bekerja sama dan berbagi kebahagiaan dengan mereka yang berbeda. Argumentasi perbedaan yang merupakan keniscayaan dalam kehidupan sehari-hari, oleh sebagian kelompok masyarakat justru dianggap sebagai suatu ancaman serius bagi keberadaan dan keberlangsungan hidup kelompoknya.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang timbul sebagai berikut : Sejauh mana pluralisme agama ini berkembang di Indonesia dan pelaksanaan pluralisme tersebut?
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pluralisme Agama
Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama
yang berbeda, dan
dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula: •
Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar.
•
Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agamaagama.
•
Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi dalam satu agama.
•
Dan sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun denominasi yang berbeda-beda Dalam situasi demikian, tidak mustahil akan muncul budaya kekerasaan
terhadap kelompok yang dianggap berbeda tersebut. Kekerasan politik dan kebrutalan massa dengan mengatasnamakan agama yang sering terjadi di negeri ini sesungguhnya disebabkan oleh ketidakmampuan kita menghargai dan merasakan betapa pentingnya kehadiran yang lain (the other) dalam kehidupan kita.
Dalam konteks ini, Derrida mengungkapkan jalinan yang cukup erat antara gagasan tentang etika universal (universal ethics) dan kekerasan (violence) terhadap yang
lain. Menurut Derrida, upaya untuk menciptakan statu etika yang
dilatarbelakangi konsep universal pada akhirnya akan meniadakan “otherness” dan perbedaan. Kekerasan muncul dikarenakan cara pandang kita yang cenderung masih dibatasi oleh pemikiran “logosentris”. Salah satu ciri dari cara berpikir logosentris adalah adanya upaya dari otoritas tertentu untuk mengubah keberagaman agama dan budaya menjadi kekuatan- kekuatan untuk mengatur dan menyatukan perbedaan sedemikian rupa, sehingga alam pemikiran kita dikuasai nalar dogmatis yang membenarkan dirinya sebagai Kebenaran Abadi (Final Truth). Logosentris juga cenderung menutup diri (isolated) dan sama sekali tidak melihat faktor-faktor kesejarahan, sosial, budaya, dan etnik masyarakat, sehingga pada akhirnya menjadikan satu-satunya wacana yang harus dikuliti secara seragam dan memaksakan tindakan peniruan buta. Disamping itu, logosentrisme juga lebih mengutamakan sebuah wacana lahir yang terproyeksikan dalam ruang bahasa yang terbatas, sesuai kaidah- kaidah bahasa, dan cenderung mengulang-ulang sesuatu yang lama. Sedangkan, wacana batin yang melampaui batas-batas logosentris melalui kekayaan spiritual cenderung diabaikan (Arkoun, 1994). Sehubungan dengan pluralitas bangsa Indonesia, menarik memerhatikan tesis Partha Chatterjee (1986) yang menjelaskan bahwa nasionalisme dalam konteks kolonial dihadapkan dengan persoalan yang memiliki karakter tertentu. Tidak seperti negara- negara Eropa yang memiliki standar linguistik bagi adanya identitas nasional (national identity) yang dapat dipergunakan untuk menetapkan batas-batas kedaulatan negaranya. Sementara, dalam masa kolonial, batas-batas negara telah lama ditetapkan secara arbitrer oleh kekuasaan kolonial. Memasuki konteks pasca kolonial, di Indonesia saat ini, memiliki begitu banyak keberagaman etnik, agama, bahasa, dan juga budaya. Oleh karena itu, upayaupaya yang dilakukan untuk membangun suatu identitas nasional dan
mewujudkannya bersama- sama, secara bersamaan akan menampilkan berbagai macam perbedaan persepsi dan pemaknaan atas pembentukan identitas tersebut. Hal ini terjadi, karena identitas individu atau kelompok selalu berhubungan dengan apa yang disebut sebagai “narrative identity” (Paul Ricoeur, 1998). Menurutnya, individu maupun kelompok sosial membentuk identitasnya dengan menceritakan berbagai kisah mengenai mereka, yang akhirnya mengkristal menjadi sejarah. Seperti halnya suatu cerita, identitas naratif ini memiliki komponen historis dan komponen fiksional. Komponen historisnya terikat dengan argumen, verifikasi, dan kesetiaan terhadap peristiwa (events); sedangkan komponen fiksional menggunakan variasi-variasi imajinatif berhubungan dengan apa yang terjadi untuk menciptakan pemahaman-pemahaman baru dan cara-cara baru untuk melihat segala hal. Karena itu, dibutuhkan kesadaran baru bahwa kita tidak hidup sendirian (homo socious), dimana kita hidup berdampingan dalam suasana keberagaman (plural) dalam segala bidang kehidupan : agama, budaya, bahasa, politik, dan juga etnik. Dunia dan lingkungan sosial yang kita huni sekarang jauh lebih plural dibandingkan masa sebelumnya. Dunia sosial kita jelas terbagi oleh adanya perbedaan politik, agama, etnisitas, nasionalitas, gender, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Kita tidak akan pernah mampu menyepakati semua permasalahan, tetapi mungkin kita hanya dapat sepakat dalam beberapa hal. Karena itu, dewasa ini kita memerlukan sosok pemimpin dan pengelola negara yang memiliki kepekaan tinggi, itikad baik (good will) dan juga kearifan dalam menyikapi perbedaan ini, serta mampu menggerakkan rakyat dengan mengartikulasikan kepentingan-kepentingan yang berbeda demi tujuan kemaslahatan bersama sebagai suatu bangsa berdaulat. Memposisikan Indonesia saat ini, kita menyaksikan bahwa pluralisme agama masih menjadi persoalan yang sering kali memunculkan konflik dan pertikaian. Dibutuhkan refleksi baru tentang agama, budaya, dan masyarakat dalam sudut pandang pluralisme. Refleksi baru ini setidaknya dapat mewujud dalam tiga bentuk pemahaman tentang pluralisme, yaitu :pertama, berhubungan dengan sikap personal,
mengenai posisi yang kita ambilvis-to-vis pluralitas itu sendiri. Di sini, persoalanpersoalan yang sering muncul adalah hubungan kita dengan agama dan budaya lain. Penting menjadi pertimbangan dalam upaya-upaya mencari cara yang tepat untuk mendamaikan klaim- klaim kebenaran kita dengan klaim-klaim kebenaran orang lain, sehingga klaim-klaim tersebut tidak mengkristal dalam wujud eksklusivisme dan fanatisme sesaat. Perlu pula dikembangkan kesadaran tentang pluralitas agama sebagai isyarat bahwa masing-masing agama nyata-nyata memiliki karakter yang tidak dapat direduksi dan tidak bisa dijadikan bahan perbandingan. Di era millenium ini, kita memiliki tugas untuk menemukan solusi yang dapat diterapkan dalam menuju pluralitas agama dan mencari solusi untuk memahami kesadaran akan pentingnya keberadaan pluralitas agama, supaya dapat didamaikan dengan bentuk-bentuk historis dan aktual yang berbeda. Kedua, kepedulian terhadap koeksistensi dari agama-agama yang berbeda, dan perhatian yang meningkat dalam menyikapi komunikasi antar agama (dialogis). Di sini, persoalan yang sering dibicarakan adalah tujuan, prasyarat, dan modalitasmodalitas yang dipergunakan untuk melakukan komunikasi antar umat beragama, harapan-harapan dari terjadinya komunikasi antar umat beragama, dan konsekuensikonsekuensi dari komunikasi ini terhadap pemaknaan dan pemahaman agama masing-masing;Ketiga, munculnya beberapa meta persoalan tentang pluralitas agama. Pada tingkatan ini, perhatian umumnya diberikan untuk menjawab persoalan karakteristik dan batas-batas dari dua konsep elementer yang berlaku dalam refleksi tentang pluralitas agama dan pertemuan antar agama : “agama” dan “komunikasi”. Kemudian dirumuskan berbagai upaya untuk melaksanakan konsep-konsep tersebut pada tataran praksis dalam konteks hubungan antar agama yang dialogis. Perhatian akan bahasa dan wacana bersama juga diperlukan pada tingkatan ini untuk mewujudkan pertemuan antar agama yang harmonis dan jauh dari sikap curiga. Komunikasi intensif juga dapat diupayakan dengan menempuh langkah-
langkah pembaruan dan pengkajian ulang atas pemahaman agama masing-masing yang selama ini terbatas pada batas-batas sempit pengetahuan dan alam kesadaran kita. Dalam pencapaian langkah-langkah tersebut, diperlukan juga refleksi ulang tentang keberadaan umat beragama lain, partisipasi gender, dan dialog antar agama yang tidak hanya dibatasi oleh lembaga keagamaan yang cenderung formalistis dan sempit pemahamannya. Respon TerhadapTantangan Pluralisme Pertanyaan mendasar yang dihadapi dalam mencari format teologi yang memadai untuk menghadapi pluralisme adalah "apa arti kenyataan pluralisme tersebut bagi gereja-gereja?" Theologia religionum pada dasarnya merupakan upaya dari dalam komunitas keagamaan tertentu untuk melakukan refleksi atau pemikiran yang runtut tentang kesadaran baru sebagai upaya untuk memberi respon terhadap persoalan pluralisme tersebut. Theologia religionum tak lain adalah upaya refleksi teologis untuk menempatkan pluralisme sebagai pusat perhatian dan pusat persoalan. a. Intern dan ekstern Guna menyusun sebuah theologia religionum yang mempunyai pijakan pada realitas, maka kita perlu menunjuk pada dua faktor yang akan menentukan corak pemikiran teologis yang hendak kita bangun. Yang pertama adalah faktor intern (gerejawi) dan yang kedua faktor ekstern (kehidupan agama-agama secara umum). Pada tataran intern gerejawi, Theologia Religionum merupakan upaya untuk mencari makna teologis dari pluralisme agama-agama tersebut. Ini sebenarnya merupakan tugas esensial dari upaya setiap kelompok agama untuk membuat dirinya relevan dengan keadaan, dengan kata lain ia merupakan wujud dari apa yang selama ini disebut sebagai teologi kontekstual. Yang menyangkut kehadiran agama tertentu di masyarakat. Sedang pada tataran eksternal bisa dikatakan, bahwa theologia religionum merupakan respon kita terhadap keseluruhan masa depan dari masyarakat maupun masa depan agama-agama.
Hubungan-hubungan agama di masa lalu terlalu terbatas dalam hubungan yang bercorak pasif. Kita menyongsong suatu hubungan yang lebih aktif dan yang bisa membuahkan kerja sama yang lebih erat demi masyarakat yang kita kehendaki bersama. Di sini kita dituntut untuk berpikir lebih positif tentang agama-agama. Bahwa masa depan menjadi masa depan bersama (dan masa depan yang sama) dari semua permasalahannya itulah yang akan mempengaruhi dan membentuk sebuah theologia religionum. Pada dasarnya, upaya ini merupakan antisipasi bersama terhadap masalahmasalah dan harapan-harapan bersama tersebut. Seluruh kerangka dari theologia religionum ini tak bisa kita pisahkan dari komitmen kita terhadap masa depan bersama itu. Dan juga sekaligus merupakan cara untuk mengoreksi hubunganhubungan yang telah terjadi di masa lalu. Untuk mengatasi persoalan-persoalan antaragama yang terjadi di dalam sejarah masa lalu. Jadi, dalam banyak hal theologia religionum merupakan sebuah langkah pembaruan hubungan. Basis spiritual dan intelektual dari tugas kerja sama itulah yang hendak dirumuskan dalam theologia religionum.
b. Persoalan kebenaran Menyusun sebuah theologia religionum tidak bisa dipisahkan dari upaya yang berhubungan dengan perhatian kita tentang kebenaran. Itu berarti, bahwa kita semua harus berakar kepada rumusan tentang kebenaran yang sudah dihasilkan dalam sejarah oleh tokoh-tokoh pemikir teologi dalam seluruh sejarah di masa lalu. Juga seluruh pengalaman serta persoalan yang belum selesai dirumuskan di masa lampau. Kebenaran itu menjadi benang merah dari kehadiran agama-agama tersebut, ia tidak bisa diputuskan dan harus tetap terpelihara. Ia bukan merupakan tema yang baru akan dirumuskan, tetapi merupakan tema lama yang akan dirumuskan ulang dalam konteks yang baru.
Kebenaran itulah yang menjadi dasar dari kehidupan komunitas agama tersebut. Dari tradisi tersebut, kita menemukan kriteria untuk berbicara tentang kebenaran dalam konteks yang baru tersebut. Aspek yang penting dari kebenaran itu adalah aspek kritis-profetis yang tersimpan dalam perbendaharaan agama tersebut. Dengan kata lain, suatu aspek, yang terus-menerus harus ditumbuhkan untuk mencari kemungkinan lain dalam konteks pluralisme yang serba beragam tersebut. Dengan aspek kritis dari kebenaran tersebut, maka ia akan selalu terus mencari dan melakukan eksplorasi yang tak ada habis-habisnya. Dengan demikian, aspek utama theologia religionum sebenarnya adalah karakteristik yang kritis tersebut. Sudah barang tentu, semuanya itu harus diterjemahkan dan, diperkembangkan dari inti iman yang diakui bersama dalam setiap komunitas keagamaan tersebut.
Pluralisme menurut berbagai agama
Islam
Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleransi kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan (Pluralitas). Namun bukan berarti beranggapan bahwa semua agama adalah sama (pluralisme), artinya tidak menganggap bahwa Tuhan yang kami sembah adalah Tuhan yang kalian sembah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menentang paham pluralisme dalam agama Islam.Namun demikian, paham pluralisme ini banyak dijalankan dan kian disebarkan oleh kalangan Muslim itu sendiri.Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agamaagama yang ada.
Di Indonesia, salah satu kelompok Islam yang mendukung pluralisme agama adalah Jaringan Islam Liberal. Di halaman utama situsnya terulis: "Dengan nama Allah, Tuhan Pengasih, Tuhan Penyayang, Tuhan segala agama."
Kristen
Dalam dunia Kristen, pluralisme agama pada beberapa dekade terakhir diprakarsai oleh John Hick. Dalam hal ini dia mengatakan bahwa menurut pandangan fenomenologis, terminologi pluralisme agama arti sederhananya ialah realitas bahwa sejarah agama-agama menunjukkan berbagai tradisi serta kemajemukan yang timbul dari cabang masing-masing agama. Dari sudut pandang filsafat, istilah ini menyoroti sebuah teori khusus mengenai hubungan antartradisi dengan berbagai klaim dan rival mereka. Istilah ini mengandung arti berupa teori bahwa agama-agama besar dunia adalah pembentuk aneka ragam persepsi yang berbeda mengenai satu puncak hakikat yang misterius
Hindu
Di dalam Ajaran Hindu ada 4 cara dalam untuk menuju Tuhan (Brahman) yang dinamakan Catur Marga (Bhakti, Kharma, Jnana dan Raja Yoga). Bhakti Marga adalah jalan menujuNya dengan berbakti (Sembahyang, menyembahNya). Kharma Marga adalah jalan menujuNya dengan melakukan perbuatan baik sesuai Ajaran Agama. Semua Agama pasti mengajarkan ini bukan? Termasuk orang2 yang mengaku tidak berAgama dan berTuhan juga melakukan hal ini. Jnana marga adalah jalan menujunya dengan mempelajari melalui Kitab-kitab Suci. Ini sudah sangat jelas dilakukan semua Agama. Raja Yoga Marga adalah jalan tertinggi menujunya dengan jalan meditasi tingkat tinggi, sedikit orang yang bisa melakukan ini, dimana keberadaan Tuhan sebagai Jiwa Semesta dan Jiwa Manusia telah dirasakan dan dihayati Ke empat jalan/cara ini tidak berjalan sendiri-sendiri, terutama yang pertama selalu berkombinasi dan bisa ke 3 nya di jalankan. Dalam konsep Hindu, merusak
Alam adalah sama dengan merusakNya, karena Alam dijiwai olehnya. Apalagi membunuh Manusia, karena semua Manusia dijiwai olehNya hanya tebal tipis selubung Maya yg membedakannya.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Pengalaman-pengalaman di atas memberi gambaran bahwa kemajemukan agama tidak menghalangi untuk hidup bersama, berdampingan secara damai dan aman. Bahkan, kemajemukan agama tidak menghalangi umat beragama untuk membangun suatu negara yang bisa mengayomi dan menghargai keberadaan agama-agama tersebut. Adanya saling pengertian dan pemahaman yang dalam akan keberadaan masing-masing menjadi modal dasar yang sangat menentukan. Pengalaman-pengalaman Nabi di atas mengandung dimensi moral dan etis. Di antara dimensi moral dan etis agama-agama adalah saling menghormati dan menghargai agama/pemeluk agama lain. Jika masing-masing pemeluk agama memegang moralitas dan etikanya masing-masing, maka kerukunan, perdamaian dan persaudaran bisa terwujud.