PENGELOLAAN LIMBAH B3
PT. VICO KALIMANTAN TIMUR
Disusun oleh :
Kelompok 7
NAMA NIM
1. Citra Dwijayanti 1109045036
2. Aryan Andra Adrianata 1109045039
3. Hardiyanti Tria Wulandari 1109045040
4. Melinda Akira Rahmatina 1109045042
5. Tiffany Natasha 1109045043
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan hikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan B3 dan Limbah B3.
Penulis menyadari dalam penulisan Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi isi maupun penyajiannya. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan Makalah ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang ikut membantu dalam menyelesaikan Makalah ini. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Samarinda, 7 Desember 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menurut UU PPLH No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, yang disebut Limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.
Dalam PP 74 Tahun 2001, limbah B3 dapat diklasifikasikan sebagi bahan yang mudah meledak, pengoksidasi, sangat mudah sekali menyala, sangat mudah menyala, mudah menyala, beracun, berbahaya, korosif, bersifat iritasi, berbahay bagi lingkungan, karsinogenik (penyebab penyakit sel kanker), teratogenik (mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan embrio), dan mutagenic (menyebabkan perubahan kromosom atau merubah genetika).
Ada salah satu perusahaan di Kalimantan Timur, yaitu PT. Vico Indonesia LLC, dimana PT. Vico ini bergerak dibidang minyak dan gas bumi. Letak kantor pusat yang berada di Kalimantan Timur, tepatnya di Muara Badak. Disini kami akan membahas secara umum tentang pengelolaan limbah B3 di PT. Vico Indonesia LLC ini, karena pengelolaan limbah B3 sangat penting agar tidak terjadi pencemaran lingkungan di sekitar daerah lokasi perusahaan. Kegiatan perusahaan ekplorasi dan produksi minyak dan gas bumi memberikan dampak positif dan dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak positifnya antara lain berupa penyediaan sumber energi, penghasil devisa Negara, transfer teknologi dan penyerapan tenaga kerja. Sedangkan dampak negatifnya menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan.
Untuk mengurangi dampak negatif, diperlukan tindakan-tindakan pengelolaan limbah dimulai sejak tahap perencanaan, sehingga dapat dipersiapkan langkah-langkah untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positifnya. Selain itu limbah-limbah tertentu merupakan bahan yang masih mempunyai nilai dan tidak seharunya diperlakukan sebagai barang yang tidak berguna, melainkan harus dimanfaatkan sebagai bahan mentah atau sebagai bahan yang berguna lainnya.
Oleh karena hal tersebut, makalah ini dibuat untuk mengetahui tentang pengelolaan yang terdapat pada PT. Vico Indonesia LLC Kalimantan Timur. Selanjutnya akan dibahas lebih mendalam lagi pada bab-bab selanjutnya.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah bertujuan untuk mengetahui cara pengelolaan limbah B3 yang dilakukan oleh PT. Vico Indonesia LLC, Kalimantan Timur dan untuk mengetahui limbah apa saja yang dihasilkan dari kegiatan dalam perusahaan tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penjelasan Limbah B3
Limbah B3 merupakan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Pengelolaan Limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan,pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan (UU PPLH No.32 Tahun 2009).
Jenis limbah B3 menurut sumbernya adalah, Limbah B3 dari sumber tidak spesifik, Limbah B3 dari sumber spesifik, dan Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buangan produk yang tidak dapat memenuhi spesifikasi. Daftar limbah dengan kode limbah D220, D221, D222, dan D223 dapat, dinyatakan dalam limbah B3 setelah dilakukan Uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dan/atau Uji karakteristik. Limbah yang tidak termasuk dalam daftar sebagaimana diatas, diidentifiksai limbah B3 apabila setelah melalui pengujian memiliki salah satu atau lebih karakteristik sebagai berikut:
Mudah Meledak,
Mudah Terbakar,
Bersifat Reaktif,
Beracun,
Menyebabkan Infeksi, dan
Bersifat Korosif.
Limbah yang masuk dalam Limbah B3 adalah limbah lain yang apabila diuji dengan metode Toksikologi memiliki LD50 dibawah nilai ambang batas yang telah ditetapkan (Peraturan Pemerintah RI No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun).
Sumber limbah B3 yaitu limbah B3 dari sumber spesifik dan limbah B3 dari sumber tidak spesifik. Sumber limbah B3 secara spesifik adalah limbah B3 sisa proses suatu industri atau kegiatan yang secara spesifik dapat ditentukan berdasarkan kajain ilmiah. Sumber limbah B3 secara tidak spesifik adalah limbah B3 yang pada umumnya berasal bukan dari proses utamanya, tetapi berasal dari kegiatan pemeliharaan alat, pencucian, pencegahan korosi (inhibitor corrosion), pelarut kerak, pengemasan, dan lain-lain. Sumber limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi, karena tidak memenuhi yang ditentukan alat tidak dapat dimanfaatkan kembali. Maka suatu produk menjadi limbah B3 yang memerlukan pengelolaan seperti limbah B3 lainnya. Hal yang sama juga berlaku untuk sisa kemasan limbah B3 dan bahan-bahan kimia yang kadaluarsa.
2.2 Pengelolaan Limbah B3
Pengelolaan limbah B3 yaitu suatu rangkaian kegiatan yang mencakup penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan, dan pengolahan limbah B3 termasuk penimbunan hasil pebgolahan tersebut.
Beberapa pihak terkait yang merupakan mata rantai dalam pengelolaan Limbah B3 :
Penghasil Limbah B3
Orang/badan usaha, yang kegiatan/usahanya menghasilkan Limbah B3.
Pengumpul Limbah B3
Badan usaha yang dalam kegiatannya melakukan kegiatan pengumpulan dengan tujuan untuk mengumpulkan Limbah B3 sebelum dikirim ke pengolahan atau pemanfaatan atau penimbunan Limbah B3.
Pengangkut Limbah B3
Badan usaha yang melakukan kegiatan pengangkutan Limbah B3.
Pemanfaatan Limbah B3
Badan usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan Limbah B3.
Pengolah Limbah B3
Badan usaha yang mengoperasikan pengolahan Limbah B3.
Penimbun Limbah B3
Badan usaha yang melakukan kegiatan penimbunan Limbah B3.
Dalam pengelolaan limbah B3, maka perlu adanya identifikasi limbah B3, kepentingan identifikasi itu sendiri yaitu tuntutan peraturan, kecocokan dengan limbah lain, evaluasi dampak lingkungan, peluang de-listing dari peraturan, dam penyesuaian cara penanganan.
Untuk mengidenitfikasi limbah sebagai limbah B3 diperlukan uji karakteristik dan uji toksikologi atas limbah tersebut. Pengujian ini meliputi karakterisasi limbah atas sifat-sifat mudah meledak dan atau mudah terbakar dan atau bersifat reaktif, dan atau beracun dan atau menyebabkan infeksi, dan atau bersifat reaktif. Sedangkan uji toksikologi digunakan untuk mengetahui nilai akut dan atau kronik limbah.
Penentuan sifat akut limbah dilakukan dengan uji hayati untuk mengetahui hubungan dosis-respon antara limbah dengan kematian hewan uji untuk menetapkan nilai LD50. Sedangkan sifat kronis limbah B3 ditentukan dengan cara mengevaluasi sifat zat pencemar yang terdapat dalam limbah dengan menggunakan metodologi tertentu.
Pendekatan pengelolaan limbah B3 melalui minimisasi limbah, remediasi atau pengolahan dan penimbunan. Prioritas utama adalah meminimisasi limbah dan pencegahan pencemaran. Konsep minimisasi limbah (WM) dan pencegahan pencemaran (P2), pencemaran seringkali didefinisikan sebagai resources gone to waste. Tujuan WM dan P2 adalah untuk efisiensi produksi, timbulan limbah yang sedikit, dan menambah efisiensi operasi. Analisis P2 : persyaratan bahan baku dalam suatu proses industri, proses produksi dan limbah yang berbentuk. Skema lainnya yaitu reduksi volume, reduksi toksisitas, dan recycling (reduksi volume dan reduksi toksisitas). Implementasi reduksi toksisitas = mengurangi pemakaian material B3, reduksi volume = mengurangi timbulan limbah B3.
Teknik-teknik dalam P2 yaitu:
Material Substitution
Contoh Limonene, suatu produk alami yang ditemukan di Citrus telah digunakan untuk mensubstitusi TCE, MEK dan solvent-solvent yang termasuk dalam daftar RCRA.
Housekeeping practice
Labeling, minimisasi leakage dari drum dan container, limbah solid dan liquid yang selalu terpisah, dll.
Segregation
Pemisahan jenis limbah akan lebih mudah untuk dilakukan reuse, recycle, atau dibakar sebagai sumber energi.
Reuse
Proses pemisahan menghasilkan sedikitya limbah yang tercemar atau tercampur oleh limbah lain, limbah memungkinkan untuk dapat digunakan kembali.
Process Modification
Yaitu merubah proses kimia dan dinamikanya sehingga timbulan limbah dikurangi dan proses reaksi kimia lebih efisien sehingga potensi bahaya produk samping direduksi.
Recycling
Recycling efektif untuk merecovery spent hazardous chemicals. Praktek ini lebih akrab lingkungan dan biaya efektif daripada dilakukan waste treatment atau landfill.
Pendekatan pengelolaan limbah B3 melalui minimisasi limbah, remediasi, pengolahan dan penimbunan. Tahap kedua (treatment atau pengolahan), melalui penghancuran kimia-kimia berbahaya (hazardous chemicals). Beberapa contoh : air stripping, granular activated carbon, traditional biological process, advanced oxidation process, metals precipitations, ion exchange dan process thermal. Konsep remediasi dan pengolahan limbah B3, klasifikasi remediasi dan pengolahan limbah B3, secara tradisional pengolahan atau treatment dikelompokkan menjadi 2 yaitu, physicochemical (contoh : koagulasi, flokulasi, sedimentasi, dan filtrasi) dan biological process (activated sludge dan trickling filter). Proses pengolahan limbah B3 lebih kompleks karena ribuan kontaminan potensial dapat diberikan oleh lahan atau fasilitas limbah B3, variasi konsentrasi dan karakteristik limbah yang cukup luas, perbedaan yang diperlukan dalam pengolahan (konsentrasi waste liquid, permukaan tanah, vadous zone, air tanah, air permukaan, sludge dan udara).
Metode pemusnahan limbah padat bisa menggunakan landfill dan incinerasi. Landfill paling umum digunakan, jika didisain dan dikendalikan dengan baik tidak mengkontaminasi tanah, limbah ditimbun di kawah pada tanah dengan kedalaman tertentu, lapisan atas ditutup dengan tanah atau material lain dan dapat menghasilkan gas dan lindi. Incinerasi mereduksi volume limbah sampai dengan 90%, kebutuhan ruang tidak banyak, energi yang dihasilkan dapat direcovery, dapat menstabilkan limbah B3, tidak dihasilkan limbah cair kecuali jika ada wet scrubbing, dan mengakibatkan emisi ke udara dan residu padatan.
2.3 Pfofile Perusahaan (PT. Vico Indonesia LLC)
VICO atau Virginia Indonesia Company, LLC adalah salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) ditunjuk BPMIGAS untuk melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi. Berdiri dengan nama awal HUFFCO Indonesia atau Huffington Company Indonesia yang didirikan oleh pengusaha minyak asal Texas, Roy Huffington dan pengusaha asal Virginia, General Arch Sproul. Dengan menggandeng perusahaan Ultramar Indonesia Limited, Union Texas East Kalimantan Limited dan Universe Tankships, Inc., pada bulan Februari 1972 HUFFCO menemukan daerah Badak, sebagai salah satu cadangan minyak dan gas terbesar di Kalimantan-Timur.
Pertamina, dengan dukungan dari HUFFCO, menandatangani 20-tahun kontrak penjualan LNG pada bulan Desember 1973 dengan lima perusahaan energi Jepang dan sebuah perusahaan baja Jepang dan mendirikan perusahaan kilang gas di Bontang. Pengiriman LNG pertama yang diproduksi dari Badak dikirimkan ke Jepang pada bulan Agustus, 1977 hanya 5,5 tahun setelah penemuan gas dan merupakan rekor dunia saat itu.
VICO memperoleh kontrak untuk memproduksi Blok Sanga-Sanga PSC dan sejumlah blok lainnya secara Joint Ventures yang terdiri dari BP East Kalimantan Ltd.; Lasmo Sanga Sanga Ltd; BP Migas dan beberapa perusahaan migas lainnya. VICO mengoperasikan 7 lapangan produksi minyak dan gas bumi di daratan (onshore) Kalimantan Timur, Indonesia, dekat dengan Delta Mahakam. Lapangan-lapangan itu adalah Badak, Nilam, Pamaguan, Semberah, Mutiara, Beras, and Lempake. Produksi minyak dan gas bumi yang dihasilkan lapangan-lapangan tersebut diproses di empat stasiun produksi. Stasiun produksi pertama yang dibangun adalah Badak (1972), diikuti Nilam (1982), Mutiara (1990) dan Semberah (1991).
Gas yang dihasilkan dari stasiun produksi disalurkan ke PT Badak NGL, sebuah pabrik penghasil LNG (Liquid Natural Gas) dan LPG (Liquid Petroleum Gas) di Bontang, dan pabrik pupuk serta pabrik metanol di Kawasan Industri Kalimantan Timur, melalui jaringan pipa. LNG tersebut kemudian dijual ke konsumen di Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. Sedangkan minyak dan kondensat (liquid/cairan) yang dihasilkannya disalurkan melalui pipa ke terminal yang dioperasikan Chevron Indonesia di Tanjung Santan untuk dikapalkan ke pembeli.
Jumlah pegawai VICO (2004) sekitar 1000 pegawai permanen dan 3500 pegawai kontrak. Produksi VICO (data tahun 2004) sekitar 870 MMSCFD gas dan 30.000 barrel cairan (minyak dan kondensat) per hari. Produksi VICO (data tahun 2007) sekitar 465 MMSCFD gas per hari. Pada tanggal 7 Januari 2008, VICO berhasil membukukan rekor 25 juta jam kerja tanpa kecelakaan. Misi dari Perusahaan ini adalah untuk menerapkan teknologi tepat guna dan standar HSE tertinggi internasional, pertunjukan biaya efektif dengan perbaikan terus menerus dalam semua proses bisnis. Menyediakan lingkungan yang terbaik bagi para professional untuk mengembangkan dan mewujudkan potensi maksimal mereka dan membangkitkan peningkatan kualitas hidup bagi para pemangku kepentingan dan masyarakat sama.
PT. Vico Indonesia LLC, yang terletak di Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur ini, yang bergerak dalam eksplorasi dan produksi minyak bumi dan gas, melakukan pengelolaan B3 dengan Cara Insenerator limbah B3 dan dengan metode Bioremediasi. Limbah B3 yang dihasilkan bersumber dari limbah B3 hasil kegiatan sendiri. Dan jenis limbah B3 yang dihasilkan adalah berupa serbuk bor (drill cutting) dan tanah terkontaminasi limbah.
Metode Bioremediasi
Banyak metode yang dapat digunakan untuk penanggulangan pencemaran tanah atau penyisihan kontaminan tanah. Menurut Udiharto, 1992 : Metode penangulangan pencemaran lingkungan tanah dapat dilakukan salah satunya dengan cara biologi. Metode biologi ini yaitu bioremediasi dapat dijadikan alternatif metode penanggulangan pencemaran tanah karena sudah diakui mempunyai kelebihan dari segi biaya operasional lebih murah, efektif dan ramah lingkungan karena senyawa organik mengalami mineralisasi dan menghasilkan produk akhir yang stabil dan tidak beracun meskipun metode ini memerlukan waktu yang lebih lama di bandingkan metode secara fisika ataupun kimia.
Bioremediasi berasal dari dua kata yaitu bio dan remediasi yang dapat diartikan sebagai proses dalam menyelesaikan masalah. "Bio" yang dimaksud adalah organisme hidup, terutama mikroorganisme yang digunakan dalam pemanfaatan pemecahan atau degradasi bahan pencemar lingkungan menjadi bentuk yang lebih sederhana dan aman bagi lingkungan tersebut. Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran atau polutan. Yang termasuk dalam polutan antara lain logam-logam berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida, herbisida, dan lain-lain. Bioremediasi mempunyai potensi menjadi salah satu teknologi lingkungan yang bersih, alami, dan paling murah untuk mengantisipasi masalah-masalah lingkungan.
Bioremediasi adalah suatu teknik dengan menggunakan mikroorganisme atau tumbuhan untuk detoksifikasi kontaminan. Detoksifikasi kontaminan bisa dengan cara transformasi senyawa dari senyawa toksik menjadi senyawa non toksik atau dengan cara degradasi kontaminan menjadi karbon dioksida dan air. Proses biologi yang terjadi merupakan proses pemulihan komponen lingkungan secara biologis dengan cara mengeksploitasi kemampuan katalitik sifat organisme untuk meningkatkan laju perombakan suatu polutan.
Dalam teknik bioremediasi ada dua tujuan utama dalam penanggulangan lingkungan yang tercemar oleh senyawa hidrokarbon, yaitu :
Transformasi senyawa toksin menjadi senyawa non toksin
Membuat akumulasi antrophogenik lebih cepat memasuki siklus biogeokimia alami.
Untuk mencapai tujuan di atas, ada 4 teknik dasar dalam bioremediasi yaitu :
Stimulasi aktivitas mikroorganisme indogenous dengan cara penambahan nutrisi, kondisi reaksi redok, optimasi pH dan lain-lain.
Inokulasi daerah yang tercemar dengan mikroorganisme yang mempunyai kemampuan spesifik mentransformasi kontaminan.
Aplikasi dari imobilisasi enzim.
Penggunaan tanaman (fitoremediasi) untuk menghilangkan atau transformasi kontaminan.
Berdasarkan agen dan proses biologis serta pelaksanaan rekayasa, bioremediasi dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu :
In Situ Bioremediasi
In situ bioremediasi juga disebut interistik bioremediasi atau natural attenuation, secara prinsip merupakan rancangan yang mengandalkan kemampuan mikroorganisme indogen dalam merombak polutan untuk melenyapkan polutan dari lingkungan.
Ex Situ Bioremediasi
Ex situ bioremediasi merupakan pemindahan polutan dalam suatu tempat untuk diberikan suatu perlakuan (above ground treatment).
Bioaugmentasi
Bioaugmentasi merupakan perlakuan biologis dengan menggunkan mikroorganisme perombak pemulih lingkungan yang tercemar.
Surfactan-aided Bioremediation
Surfactan-aided Bioremediation, umumnya digunakan untuk mendegradasi polutan yang melekat pada partikel tanah, (tanah, pasir, atau sedimen).
Fitoremediasi
Penggunaan tanaman atau pohon untuk memulihkan tanah atau badan perairan yang telah tercemar. Tanaman bisa berperan aktif maupun pasif dalam proses penyisihan polutan.
Tujuan dari bioremediasi adalah untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun ( karbon dioksida dan air ) atau dengan kata lain mengontrol atau mereduksi bahan pencemar dari lingkungan. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi proses bioremediasi, yang meliputi kondisi tanah, temperatur, oksigen dan nutrient yang tersedia.
Tanah : Proses biodegradasi memerlukan tipe tanah yang mendukung kelancaran aliran nutrient, enzim-enzim mikrobial dan air. Terhentinya aliran tesebut akan mengakibatkan terbentuknya kondisi anaerob sehingga proses biodegradasi aerobic menjadi tidak efektif. Karakteristik tanah yang cocok untuk bioremediasi in situ adalah mengandung butiran pasir ataupun kerikil kasar sehingga dispesi oksigen dan nutrient dapat berlangsung dengan baik.
Temperatur : Temperatur yang optimal untuk degradasi hidrokarbon adalah 30 – 40oC. Pada temperatur yang rendah, viskositas minyak akan meningkat mengakibatkan volatilitas alkana rantai pendek bersifat toksik menurun dan kelarutannya di air akan meningkat sehingga proses biodegradasi akan terhambat.
Oksigen : Langkah awal katabolisme senyawa hidrokarbon oleh bakteri maupun kapang adalah oksidasi substrat dengan katalis enzim oksidasi, dengan demikian tersedianya oksigen merupakan syarat keberhasilan degradasi hidrokarbon minyak.
Nutrient : Mikroorganisme memerlukan nutrisi sebagai sumber karbon, energi dan keseimbangan metabolisme sel. Dalam penanganan limbah minyak bumi biasanya dilakukan penambahan nutrisi antara lain sumber nitrogen dan fosfor sehingga proses degradasi oleh mikroorganisme berlangsung lebih cepat dan pertumbuhannya meningkat.
Teknik-teknik yang berperan dalam bioremediasi di lingkungan terrestrial dan akuatik antara lain, sebagai berikut :
Composting
Pada teknik ini, bahan-bahan yang tercemar dicampur dengan bahan organic padat yang relatif mudah terombak dan diletakkan membentuk suatu tumpukan. Bahan organik yang dicampurkan dapat berupa limbah pertanian, sampah organik atau limbah gergajian. Untuk mempercepat perombakan, kadang-kadang diberi pupuk N, P, atau nutrient anorganik lain. Metode composting telah digunakan misalnya untuk mengatasi tanah yang terkontaminasi klorofenol. Pada skala lapangan menunjukkan bahwa dengan metode ini dapat menurunkan konsentrasi bahan peledak TNT, RDX, dan HMX dalam sedimen yang tecemar oleh bahan-bahan tersebut.
Biopile
Teknik Biopile merupakan pengembangan dari teknik pengomposan. Biopile merupakan salah satu teknik bioremediasi ex-situ yang dilakukan di permukaan tanah. Teknik ini juga disebut sebagai aerated compost pile. Oleh karena aerasi pada pengomposan terjadi secara alami, sedangkan pada biopile menggunakan pompa untuk menginjeksikan oksigen ke dalam tumpukan tanah tercemar yang diolah. Proses biodegradasi dipercepat dengan optimasi pasokan oksigen, pemberian nutrient dan mikroba serta pengaturan kelembaban. Biopile merupakan teknik penanggulangan lahan tercemar yang mirip dengan landfarming.
Landfarming
Landfarming sering juga disebut dengan landtreatment atau landapplication. Cara ini merupakan salah satu teknik bioremediasi yang dilakukan di permukaan tanah. Proses memerlukan kondisi aerob, dapat dilakukan secara in-situ maupun ex-situ. Landfarming merupakan teknik bioremediasi yang telah lama digunakan dan banyak digunakan karena tekniknya sederhana. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan teknik ini, yaitu kondisi lingkungan, sarana pelaksanaan sasaran dan biaya. Kondisi lingkungan, kondisi tanah yang tercemar, pencemar dan kemungkinan pelaksanaan landfarming. Untuk tanah tercemar, tanah hendaknya memiliki konduktivitas hidrolik sedang seperti lanau (loam) atau lanau kelempungan (loamy clay). Apabila diterapkan pada tanah lempung dengan kandungan clay lebih dari 70% akan sulit dilaksanakan. Hal ini disebabkan sifat lempung yang mudah mengeras apabila terkena air. Kegiatan landfarming dapat dilakukan secara ex-situ maupun in-situ. Namun bila letak tanah tercemar jauh diatas anmuka air (water table) maka landfarming dapat dilakukan secara in-situ. pencemar yang tersusun atas bahan yang mempunyai penguapan rendah masih sesuai untuk ditangani secara labdfarming. Bahan pencemar yang mudah menguap tidak cocok menggunakan teknik ini karena dilakukan secara terbuka.
Metode Incinerasi
Metode incinerasi yaitu incinerasi mereduksi volume limbah sampai dengan 90%, kebutuhan ruang tidak banyak, energi yang dihasilkan dapat direcovery, dapat menstabilkan limbah B3, tidak dihasilkan limbah cair kecuali jika ada wet scrubbing, dan mengakibatkan emisi ke udara dan residu padatan.
Incenerasi limbah B3 spesifikasi incinerator sesuai dengan karakteristik dan jumlah limbahnya. Terdapat alat pencegahan pencemaran udara untuk memenuhi standar emisi cerobong, efisiensi pembakaran 99,99%. Residu ditimbun dengan mengikuti ketentuan stabilisasi dan solidifikasi atau landfill. Tujuan dari landfill tersebut adalah untuk menampung dan mengisolasi limbah B3 yang sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi dan menjamin perlindungan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dalam jangka panjang.
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam kegiatan industri minyak dan gas ini, PT. VICO Indonesia menghasilkan limbah dalam bentuk padat, cair, dan gas. PT. VICO Indonesia dalam pengimplementasian Sistem Manajemen Lingkungan, berusaha menerapkan konsep Reuse, Recovery, Recycle dalam pengolahan limbahnya. Limbah-limbah tersebut yang dihasilkan seperti lumpur pemboran berupa WBM (Water Base Mud) dan SOBM (Syntetic Oil Base Mud) yang dihasilkan oleh kegiatan drilling, air terproduksi yang keluar bersamaan minyak bumi, dan juga drilling cutting yang berasal dari sisa-sisa pengeboran.
Zaba dan Doherty (1970) mengklasifikasikan lumpur bor terutama berdasarkan fase fluidanya yaitu air (water base), minyak (oil base) atau gas, sebagai berikut :
Fresh Water Muds (lumpur air tawar)
Spud
Natural atau Native (alamiah)
Bentonite – treated
Phospate – treated
Organic coloid – treated
"Red" atau alkaline – tannate treated
Calcium muds
Lime – treated
Gypsum – treated
Calcium – treated
Salt Water Muds (air asin)
Unsaturated salt water
Saturated salt water
Sodium silicate
Oil in Water Emulsion
Fresh Water (air tawar)
Salt Water (air asin)
Oil Base dan Oil Base Emulsion Muds
Gaseous Drilling Fluids
Udara atau Natural gas
Aerated Muds
Setelah pemboran selesai, cuttings material diuji Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dengan parameter Ba, Cd, Hg, Pb, Ag, Cr6+, Zn dan Cu. Jika berdasarkan uji TCLP menunjukkan limbah padat memenuhi syarat untuk dibuang maka used mud akan dicampur dengan limestone (batu gamping) dan bak penampung akan ditutup dengan tanah pucuk (top soil). Jika berdasarkan uji TCLP menunjukkan bahwa limbah padat tidak memenuhi syarat, maka pengelolaan limbah akan mengacu pada PP No. 18/1999 jo PP No. 85/1999 dan peraturan pelaksanaannya.
Pengelolaan limbah pemboran :
Pengelolaan lumpur bor segar (fresh mud) yang akan dilakukan adalah menggunakan MSDS dan menganalisis tingkat racun (toksisitas) lumpur segar sebelum dipergunakan untuk pemboran.
Pengelolaan terhadap limbah pemboran yang terdiri dari cair dan padat (air limbah, lumpur sisa dan serbuk bor) mengacu pada Peraturan ESDM No. 045 Tahun 2006.
Beberapa bak atau kolam yang akan digunakan antara lain:
Kolam pengendapan cutting/Ground Pit 1 (15 m x 4,5 m x 4 m) digunakan untuk memisahkan limbah padat (serbok bor).
Bak Oil Cathcher/Ground Pit 2 (5,6 m x 4,6 m x 1,5 m) berfungsi sebagai tempat memisahkan minyak dan limbah air pemboran. Apabila bak terdapat minyak maka minyak tersebut diambil/diisap dengan skimmer dan dibakar di burn pit.
Bak koagulasi/Ground Pit 3 (4,2 m x 35 m x 1,5 m) yang berfungsi sebagai bak untuk membantu proses penggumpalan material, dimana pada kondisi tertentu ditaburkan kapur tohor dan tawas.
Bak Water Disposal/Ground Pit 4 (11 m x 3 m x 1 m), pada bak ini terdapat ijuk, kerikil dan arang kayu yang digunakan untuk menghilangkan partikel padat yang lebih halus dan menghilangkan bau serta menjernihkan air.
Setelah kegiatan selesai, air limbah terakhir yang dihasilkan akan dianalisa TCLP, dimana dari hasil analisa bila air limbah terakhir tersebut mengandung limbah B3 maka akan dikelola sesuai ketentuan yang berlaku, tetapi apabila air limbah tidak mengandung limbah B3 atau masih berada di dalam baku mutu maka air akan dibuang ke aliran sungai terdekat.
Pengelolaan serbuk bor yang menggunakan lumpur minyak akan dilakukan uji kandungan minyak dan atau uji TCLP pada serbuk bor (oil on cuttings). Pengelolaan serbuk bor dan sisa lumpur bor (limbah padat) akan mengacu kepada Peraturan Menteri ESDM No. 045 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Lumpur Bor, Limbah Lumpur dan Serbuk Pemboran sumur yang menggunakan lumpur bor berbahan dasar minyak/sintetis (oil base mud) tidak dibuang ke lingkungan tetapi direkondisi untuk keperluan pemboran selanjutnya.
Untuk penanganan Bahan Kimia Bekas, pengelolaan bahan kimia yang akan dilakukan adalah :
Pemesanan sesuai dengan kebutuhan proses, sehingga kemungkinan adanya bahan kimia sisa sangat kecil
Setiap bahan kimia yang dipesan harus memiliki MSDS (Material Safety Data Sheet);
Tata cara penyimpanan, pengumpulan, pengolahan dan penimbunan bahan kimia bekas sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Keputusan Kepala BAPEDAL No. Kep-01/BAPEDAL/09/1995 sampai dengan Kep- 05/BAPEDAL/09/1995 dan PP No. 18 tahun 1999 jo PP No. 85 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun berikut petunjuk teknis pelaksanaannya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Lingkungan merupakan suatu sistem yang mempunyai daya yang sangat baik untuk selalu mempertahankan keseimbangan. Keseimbangan tersebut bersifat sangat dinamis artinya selalu ada pergeseran kesetimbangan yang terjadi, akan tetapi selalu ada yang dapat mengembalikan kesetimbangan tersebut.
Sampah atau limbah yang merupakan bahan sisa hasil produksi yang tidak bernilai ekonomis dibuang kelingkungan menjadi input eksternal bagi ekosistem. Dikarenakan sifat limbah yang bersifat toksik, menyebabkan terjadinya ancaman bagi ekosistem dan dapat menyebabkan terjadinya kesetimbangan dalam ekosistem. Limbah tersebut juga merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran tanah, pencemaran tanah itu sendiri adalah keadaan dimana bahan kimia buatan manusia masuk dan mengubah lingkungan tanah alami sehingga terjadi penurunan kualitas dalam fungsi tanah. Dan apabila pencemaran itu terus terjadi akan mengakibatkan cekaman ekstrim, maka ekosistem yang berada di sekitarnya akan mengalami perubahan dan membuat kesetimbangan baru sesuai dengan kondisi aktual. Kesetimbangan tersebut menjadi suatu proses untuk mengembalikan kembali kondisi ekosistem kepada kesetimbangan awal.
Pengelolaan limbah, khususnya limbah B3 pada PT. Vico Indonesia LLC itu sendiri menggunakan pengelolaan limbah dengan cara Bioremediasi dan incinerasi yang dimana limbah tersebut dihasilkan oleh kegiatan sendiri, dan jenis limbahnya berupa serbuk bor (drill cutting) dan tanah terkontaminasi limbah. Disini kami tidak mendapatkan data yang spesifik tentang pengelolaan limbah B3 tersebut, alasannya karena data tersebut sangat rahasia, dan tidak ada disebarluaskan, oleh karena hal itu disini kami membahas secara umumnya saja.
Tujuan dari bioremediasi adalah untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air) atau dengan kata lain mengontrol atau mereduksi bahan pencemar dari lingkungan.
Metode incinerasi yaitu incinerasi mereduksi volume limbah sampai dengan 90%, kebutuhan ruang tidak banyak, energi yang dihasilkan dapat direcovery, dapat menstabilkan limbah B3, tidak dihasilkan limbah cair kecuali jika ada wet scrubbing, dan mengakibatkan emisi ke udara dan residu padatan.
Limbah yang dihasilkan dari PT. VICO Indonesia dapat berupa limbah bentuk padat, cair, atau gas. Dalam kegiatan minyak dan gas ini limbah yang dihasilkan seperti lumpur pemboran berupa WBM (Water Base Mud) dan SOBM (Syntetic Oil Base Mud) yang dihasilkan oleh kegiatan drilling, air terproduksi yang keluar bersamaan minyak bumi, dan juga drilling cutting yang berasal dari sisa-sisa pengeboran
Pengelolaan limbah dari kegiatan industri migas contohnya untuk lumpur bor segar (fresh mud) yang akan dilakukan adalah menggunakan MSDS dan menganalisis tingkat racun (toksisitas) lumpur segar sebelum dipergunakan untuk pemboran. Pengelolaan terhadap limbah pemboran yang terdiri dari cair dan padat (air limbah, lumpur sisa dan serbuk bor) mengacu pada Peraturan ESDM No. 045 Tahun 2006.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim1. 2012. Tanah
http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah
Diakses tanggal 5 Desember 2013.
Anonim2. 2010. Pencemaran Tanah
http://id.wikipedia.org/wiki/Pencemaran_tanah
Diakses tanggal 5 Desember 2013.
Anonim2. 2012. VICO Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Vico Indonesia
Diakses tanggal 5 Desember 2013.
Backer, C dan Herson, D. 1994. Bioremediation. USA. Mcgraw Hill. Inc.
Gossalam. 1999. Kemampuan Degradasi Hidrokarbon Minyak Bumi Oleh Isolat Bakteri Dari Lingkungan Hutan Magrove. Thesis Magister ITB. Bandung.
Melithia, C. L.A. Jhonson, dan W. Amber. 1996. Ground Water Polution : In Situ Biodegradation. Down loading, available at http:www. Cee. Vt.edu/ program_areas/ environmental teach/ gwprimer / group 1 / ind / ex /html.
Rekapitulasi Data Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tentang Perizinan Pengolahan Limbah B3 (Mengolah Limbah Bersumber Dari Kegiatan Sendiri) Tahun 2009.
Sheehan, D. 1997. Bioremediation Protocol. Human Press. Totowa. New Jersey.
Thomas, J.M, C.H. Ward, R.L. Raymond, J.T. Wilson, dan R.C. Loehr. 1992. Bioremediation. Encyclopedia Of Microbiology. Volume 1. Academic Press. Austin.