KONSEP DASAR GANGGUAN JIWA Gangguan jiwa (gangguan mental) adalah sindrom atau pola perilaku atau psikologik seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) dan hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia atau berkaitan dengan peningkatan resiko kematian, rasa nyeri, disability, atau an important loss of freedom (kehilangan kebebasan). Menurut ICD10
Classification
of
Mental
&
Behavioural
Disorder
,
disability
adalah
keterbatasan/kekurangan untuk melaksanakan suatu aktivitas pada tingkat personal, yaitu melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, BAB, BAK). Adapun menurut tanda dan gejala gangguan jiwa dapat di kelompokkan menjadi 2 kelompok besar, yaitu : neurosis dan psikosis.
NEUROSIS Neurosis adalah kelainan non psikotik yang kronis atau berulang yang dikarakteristikkan terutama dengan kecemasan yang diekspresikan secara langsung atau adanya perubahan pada mekanisme difensif, yaitu yang tampak berupa gejala obsesi, kompulsi, fobia, atau disfungsi seksual. Pada DSM-III, neurotic disorder didefinisikan sebagai kelainan mental, dimana sebagian besar gejala atau kelompok gejala berupa distress secara individual dan dapat dikenali oleh penderita sendiri sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima dan alien (egodystonic), dan biasanya kontak dengan realitas masih intact. Sikap dari penderita biasanya tidak melanggar norma sosial secara aktif. Gangguan biasanya bersifat berulang atau kronis tanpa terapi, dan tidak terbatas pada reaksi terhadap stressor. Tidak ada ditemukannya faktor atau etiologi organik pada kelainan ini Dari beberapa definisi mengenai neurosis dapat diidentifikasi beberapa pokok pengertian mengenai neurosis, yaitu: 1. neurosis merupakan gangguan jiwa pada tahap ringan 2. neurosis.terjadi pada sebagian aspek kepribadian 1
3.
neurosis dapat dikenali dari gejala-gejala yang menyertainya, yaitu terutama
berupa kecemasan 4.
penderita neurosis masih mampu menyesuaikan diri dan melakukan
aktivitas sehari-hari Istilah neurosis tidak digunakan dalam DSM-IV dan tidak ada kelas diagnostik keseluruhan yang disebut ” neurosis”, tetapi banyak klinisi yang menganggap kategori diagnostik berikut ini sebagai neurosis : gangguan kecemasan, gangguan somatoform, gangguan disosiatif, gangguan seksual, dan gangguan distimik. Menurut ICD-10 dan PPDGJ III suatu kelas yang disebut gangguan neurotik, gangguan yang berhubungan dengan stress, dan gangguan somatoform, yaitu : -
gangguan kecemasan fobik
-
gangguan kecemasan lain (termasuk gangguan panik, gangguan kecemasan umum, dan gangguan kecemasan dan defresif bercampur),
-
gangguan obesesif komfulsif,
-
gangguan penyesuaian
-
gangguan disosiatif (konversi)
-
gangguan somatoform dan gannguan neurotik lainnya
PSIKOSIS Pengertian psikosis secara tradisional adalah hilangnya kontak dengan realitas dan terganggunya fungsi mental yang dimanifestasikan dengan delusi, halusinasi, kebingungan dan terganggunya memori. Kata psikosis sering digunakan oleh psikiater sebagai sinonim dari gangguan fungsi sosial dan personal berat, yang dikarakteristikkan dengan pernolakan sosial dan keterbatasan untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan sehari-hari yang biasa. Berdasarkan American Psychiatric Glossary of the American Psychiatric Association, psikosis diartikan sebagai terganggunya kontak dengan realitas secara nyata. Dengan terganggunya kontak dengan realitas secara nyata, akurasi persepsi dan pemikiran seseorang tersebut cenderung menjadi tidak benar sehingga cenderung membuat respon yang salah terhadap realitas eksternal. Psikosis tidak digunakan pada penyimpangan minor 2
dari realitas yang berhubungan dengan penilaian relatif. Contohnya adalah seseorang yang depresi sehingga menurunkan produktivitasnya tidak dikatakan sebagai psikosis. Dari beberapa definisi dapat diperoleh beberapa gambaran mengenai psikosis, yaitu: 1. psikosis merupakan gangguan jiwa yang berat yang terjadi pada semua aspek kepribadian 2. penderita psikosis tidak dapat lagi berhubungan dengan realitas, penderita hidup dalam dunianya sendiri 3. psikosis tidak dapat dirasakan keberadaannya oleh penderita (penderita tidak menyadari bahwa dirinya sakit) 4. usaha penyembuhan psikosis tidak dapat dilakukan oleh penderita sendiri, namun hanya dapat dilakukan oleh pihak lain Menurut DSM IV yang termasuk gangguan psikotik adalah gangguan perkembangan pervasive, skizofrenia, gangguan skizoniform, gangguan skizoafektif, gangguan delusional, gangguan psikotik singkat, gangguan psikotik bersama, gangguan psikotik karena kondisi medis umum, gangguan psikotik akibat zat, dan gangguan psikotik yang tidak dapat ditentukan.
PERBEDAAN NEUROSIS DAN PSIKOSIS Terdapat 6 perbedaan antara neurosis dan psikosis yang didasarkan pada perilaku umum, gejala, orientasi, pemahaman (insight), resiko sosial dan penyembuhan. No Faktor 1 Perilaku
Psikosis Neurosis Gangguan terjadi pada seluruh Gangguan terjadi
pada
aspek kepribadian, tidak ada sebagian besar kepribadian, kontak dengan realitas 2
Gejala
kontak dengan realitas masih
ada Gejala bervariasi luas, dapat Lebih
kearah
gejala
berupa waham, halusinasi, dan psikologis dan somatic yang kadangkala berupa emosi yang ringan dan temporer berlangsung 3
Orientasi
menerus Penderita
secara
sering
terus
mengalami Penderita jarang mengalami 3
disorientasi waktu, tempat dan disorientasi 4
pemahaman
orang Penderita
5
(insight) Resiko sosial
bahwa dirinya sakit dirinya sakit Penderita dapat membahayakan Perilaku penderita jarang atau
tidak
memahami Penderita mengetahui bahwa
dirinya sendiri bahkan orang tidak membahayakan orang 6
Penyembuhan
lain Penderita perawatan
lain dan dirinya sendiri memerlukan Tidak begitu memerlukan dirumah
sakit. perawatan
dirumah
sakit.
Kesembuhan seperti keadaan Kesembuhan seperti semula semula dan permanen sulit dan dicapai
permanen
sangat
mungkin untuk dicapai
PRINSIP DIAGNOSIS GANGGUAN JIWA
1. Alur Penatalaksanaan
4
a.
Anamnesis: •
Alasan berobat
•
Riwayat gangguan sekarang, dahulu, dan perkembangan diri
•
Latar belakang sosial, pekerjaan, keluarga, pendidikan, pernikahan,
dll.
Outline Anamnesis Riwayat Psikiatri
5
b.
Pemeriksaan: •
Fisik diagnostik o Pemeriksaan fisik diagnostik pada pasien psikiatri dilakukan untuk mencari/menyingkirkan etiologi organik. o Pemeriksaan fisik tidak dilakukan pada semua pasien psikiatri, namun dilakukan bila terdapat kecurigaan adanya penyakit medis atau bedah pada pasien. o Pemeriksaan fisik diagnostik yang dilakukan meliputi: riwayat penyakit medis, review sistem, dan pemeriksaan fisik khusus pada sistem yang dicurigai mengalami gangguan.
•
Status mental o Pemeriksaan status mental mendeskripsikan keseluruhan hasil observasi dan penilaian pemeriksa terhadap pasien psikiatrik pada saat diwawancara. o Berbeda dengan riwayat psikiatrik yang tetap stabil, keadaan status mental dapat berubah dari jam ke jam atau hari ke hari.
Outline Pemeriksaan Status Mental
6
•
Laboratorium o Pemeriksaan laboratorium pada pasien psikiatri tidak membantu dalam penegakan diagnosis gangguan jiwa, seperti skizofrenia, gangguan mood, dll. o Pemeriksaan ini dilakukan untuk menegakkan/menyingkirkan adanya etiologi gangguan organik yang mendasari munculnya tanda dan gejala psikiatri. o Pemeriksaan lab yang dilakukan biasanya berupa pemeriksaan endokrin, konsentrasi beberapa jenis obat dalam darah, fungsi sistem organ, dll.
•
Radiologis o Pemeriksaan
radiologis
dilakukan
untuk
menyingkirkan/menegakkan adanya etiologi gangguan organik yang mendasari tanda dan gejala psikiatri.
7
o Pemeriksaan radiologis juga dapat dilakukan pada pasien psikiatri dengan kecurigaan telah memasukkan benda asing ke dalam tubuhnya.
•
c.
Diagnosis: •
d.
e.
Evaluasi psikologis lainnya
Menggunakan metode diagnosis multiaksial
Terapi: •
Farmakoterapi
•
Psikoterapi
•
Terapi sosial
•
Terapi okupasional
Evaluasi: •
Evaluasi terapi
•
Evaluasi diagnostik
8
2. Hirarki Diagnosis Adanya hirarki diagnosis bertujuan untuk memudahkan penentuan diagnosis banding. Dianosis pasti baru diketahui setelah menyingkirkan diagnosis banding pada hirarki di atasnya. Gangguan jiwa pada hirarki yang lebih tinggi mungkin memiliki ciri-ciri dari gangguan pada hirarki di bawahnya, namun tidak sebaliknya.
Hirarki Diagnosis menurut PPDGJ III:
I:
- Gangguan Mental Organik dan Simtomatik - Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Zat Psikoaktif Ciri khas: etiologi organik/fisik jelas, primer/sekunder
II: - Skizofrenia, Gangguan Skizotipal, dan Gangguan Waham Ciri khas: gejala psikotik, etiologi organik tidak jelas
III:
- Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif)
Ciri Khas: gejala gangguan afek (psikotik dan non-psikotik)
IV:
- Gangguan Neurotik, Gangguan Somatoform, dan Gangguan Stres
Ciri khas: gejala non-psikotik, etiologi non-organik 9
V:
- Sindrom Perilaku yang Berhubungan dengan Gangguan Fisiologis & Faktor
Fisik Ciri khas: gejala disfungsi fisiologis, etologi non-organik
VI:
- Gangguan Kepribadian dan Perilaku Masa Dewasa
Ciri khas: gejala perilaku, etiologi non-organik
VII: - Retardasi Mental Ciri khas: gejala perkebmangan IQ, onset masa anak-anak
VIII: - Gangguan Perkembanagan Psikologis Ciri khas: gejala perkembangan khusus, onset masa anak-anak
IX:
- Gangguan Perilaku & Emosional dengan Onset Masa Anak & Remaja
Ciri khas: gejala perilaku/emosional, onset masa anak
X:
- Kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis Ciri khas: tidak tergolong gangguan jiwa
10
3. Diagnosis Multiaksial •
Tujuan: oMencakup info yang komprehensif, sehingga dapat membantu dalam: Perencanaan terapi Meramalkan “outcome” atau prognosis oFormat mudah dan sistematik, sehingga membantu dalam: Menata informasi klinis Menangkap kompleksitas situasi klinis Menangkap gambaran heterogenesitas individual dengan diagnosis klinis yang sama oMembantu dokter untuk terbiasa menerapkan penatalaksanaan pasien dengan model bio-psiko-sosial
• I:
Aksis: - Gangguan klinis - Gangguan lain yang menjadi fokus perhatian klinis
II:
- Gangguan kepribadian - Retardasi mental
III:
- Kondisi medik umum
IV:
- Masalah psikososial dan lingkungan
11
V:
- Penilaian fungsi secara global
Global Functioning Assesment (GAF) Scale
PRINSIP TERAPI PSIKOSIS DAN NEUROSIS Psykoterapi : Family Therapy 12
Adalah psychotherapeutic yang diusahakan dengan keras yang difokuskan untuk merubah interaksi dalam keluarga untuk memperbaiki fungsi seseorang dalam keluarga sebagai suatu anggota keluarga dengan merubah fungsi relasional keluarga tersebut. Terapi keluarga bertujuan untuk meningkatkan kondisi pasien dengan schizofrenia dan menurunkan ekspresi emosi keluarga terhadap penderita. Indikasi Adanya kesulitan dalam hubungan keluarga merupakan indikasi untuk dilakukannya terapi keluarga atau terapi pasangan, misalnya pada kesulitan penyesuaian dalam pernikahan penderita gangguan jiwa. Terapi keluarga dan pasangan terbukti meningkatkan kondisi pasien. Terapi keluarga merupakan penyokong keadaan keluarga dan individu yang stabil, psycopatologi dan berbagai masalah dalam hidup seperti etika berhubungan/bersosialisasi.
Tujuan Family therapy memiliki beberapa tujuan diantaranya •
untuk mengurangi konflik patogenik dan kecemasan dalam hubungan interpersonal.
•
merubah persepsi dan untuk memenuhi kebutuhan emosional anggota keluarga satu sama lain.
•
Untuk menimbulkan tatacara yang baik dalam berhubungan sosial dengan sesama jenis atau lawan jenis dan orang dengan usia yang berbeda.
•
Untuk meningkatkan kapasitas individual dan keluarga dalam menghadapi cobaan dari luar dan dalam keluarga.
•
Untuk mempengaruhi identitas dan nilai keluarga agar dapat anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa dapat menyesuaikan diri dan membaik, dengan berorientasi terhadap kesehatan,dan keluarga.
•
Tujuan yang paling utama adalah untuk mengintegrasikan keluarga dalam suatu sistem kemasyarakatan, perluasan keluarga dan komunitas dan sistem sosial seperti sekolah, fasilitas medis dan sosial lainnya. 13
Rehabilitasi Psikiatrik Dilakukan untuk memberikan intervensi yang luas pada individu penderita gangguan mental, dan untuk meningkatkan fungsi dan kesetaraan dalam hidupnya dengan memberikan kemampuan dan suport yang dibutuhkan sesuai dengan tanggungjawab orang dewasa dan dalam lingkungan yang sesuai dengan yang mereka perlukan. Peran seorang dewa yang normal seperti hidup mandiri, megikuti sekolah, bekerja secara kompetitif, berhubungan dengan keluarga, memiliki teman, dan memiliki hubungan yang intim dengan seseorang. Beberapa aspek yang di rehabilitasi diantara lain: •
Kemampuan sosial: beberapa kompetensi sosial yang diperlukan diantaranya, persepsi sosial, atau kemampuan menerima, kemampuan memproses informasi sosial, dan respon tingkah laku yang baik dalam bersosialisasi atau kemampuan ber ekspresi.
•
Terapi Milieu (lingkungan pergaulan) seperti lingkungan keluarga, sekolah, pekerjaan dan sosial lainnya.
•
Terapi kognitif, dengan menggunakan kombinasi terapi fermakologs dan terapi stimulasi kognitif, diharapkan dapat memacu kemampuan kognitif pasien dengan pengontrolan neurokognitif yang baik. Hasil yang diharapkan yaitu minat yanng paralele yang disertai kemampuan kognitif yang baik untuk menunjang suatu kompetensi.
Kombinasi Terapi Farmakologis dan Psykoterapi Penggunaan terapi kombinasi obat psikotropik dan psykoterapi merupakan standar pengobatan untuk segala gangguan kejiwaan. Hal ini memungkinkan kontrol yang baik dan perbaikan gejala yang cepat. Keuntungan penggunaan terapi ini adalah : 14
•
Meningkatkan pengaruh terapi.
•
Monitoring yang baik terhadap status klinis pasien.
•
Menurunkan jumlah dan lama waktu perawatan dirumahsakit.
•
Menurunkan resiko relaps atau kambuh.
•
Meningkatkan fungsi sosial dan okupasional pasien.
Indikasi Terapi Kombinasi Indikasi penggunaan terapi ini adalah pada pasien yang menderita gangguan mental berat seperti schizofrenia atau gangguan bipolar terutama yang tidak kooperatif. Terapi ini meningkatkan kemampuan pasien untuk berkomunikasi dan partisipasi dalam proses pengobatan. Indikasi lainnya adalah untuk menghilangkan distres pada pasien saat gejala gangguan mental sangat menonjol dan sulit ditangani hanya dengan terapi antipsikosis saja. Pengurangan gejala seperti kecemasan, tidak menurunkan motivasi pasien untuk sembuh. Pada prakteknya, terutama pada kasus psikosis yang berat, penurunan gejala akibat pemberian obat dapat meningkatkan komunikasi, perhatian, konsentrasi, memori, pembelajaran dan motivasi pasien. Pemberian edukasi, suport dan pujian yang sesuai akan membentu meningkatkan motivasi dan partisipasi pasien dalam mengikuti terapi.
ANTIPSIKOSIS Antipsikosis bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik. Ciri terpenting obat antipsikosis ialah: 1. Berefek antipsikosis, yaitu berguna mengatasi agresivitas, hiperaktivitas, dan labilitas emosional pada pasien psikosis 2. Dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun anastesia 3. Dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau irreversible.
15
4. Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan fisik dan psikis Berdasarkan efek samping gejala ekstrapiramidal yang ditimulkan antipsikotik dibagi menjadi: 1. Antipsikotik tipikal (efek samping ekstrapiramidal yang nyata) -
Disebut juga sebagai antipsikosis generasi I (klorpromazin, derivate fenotiazin, haloperidol).
-
Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam menghambat reseptor dopamine 2, hal ini diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat.
-
Golongan antipsikosis tipikal umumnya hanya berespon untuk gejala positif.
a. Klorpromazin (golongan fenotiazin alifatik) Sampai saat ini CPZ masih tetap dipergunakan sebagai antipsikosis, karena ketersediaan dan harganya yang murah. FARMAKODINAMIK Efek farmakologik klorpromazin dan antipsikosis lainnya meliputi fefek pada SSP, system otonom, dan system endokrin. Efek ini terjadi karena antipsikosis menghambat berbagai reseptor diantaranya dopamine, reseptor α-adrenergik, muskarinik, histamine H1 dan reseptor serotonin 5HT2 dengan afinitas yang berbeda. CPZ selain memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor dopamine, juga memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor α-adrenergik. -
Susunan Saraf Pusat CPZ meniumbulkan efek sedasi disertai sikap acuh tak acuh terhadap rangsang dari lingkkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul toleransi terhadap efek sedasi. Ut Timbulnya sedasi amat ergantung dari status emosional pasien sebelum minum obat.
16
CPZ dapat mengurangi atau mencegah muntah yang disebabkan oleh rangsangan pada chemoreceptor trigger zone. Muntah yang disebabkan oleh kelainan saluran cerna atau vestibuler kurang dapat dipengaruhi. -
Otot rangka CPZ dapat menimbulkan relaksasi otot rangka yang berada dalam keadaan spastic. Cara kerja relaksasi ini diduga bersifat sentral, sebab sambungan saraf-otot dan medulla spinalis tidak dipengaruhi CPZ.
FARMAKOLOGIK Kebanyakan antipsikosis diabsorbsi sempurna, sebagian diantaranya mengalami metabolism lintas pertama. Bioavaibilitas klorpromazin berkisar antara 25-35%. Kebanyakan antipsikosis bersifat larut dalam lemak dan terikat kuat dengan protein plasma (92-99%), serta memiliki volum distribusi besar (> 7 L/kg). metabolit klorpromazin ditemukan di urin sampai beberapa minggu setelah pemberian obat terakhir. EFEK SAMPING Batas keamanan CPZ cukup lebar, sehingga obat ini cukup aman. Efek samping umumnya merupakan perluasan efek farmakodinamiknya. Gejala idiosinkrasi mungkin timbul, berupa ikterus, dermatitis, dan leucopenia. Reaksi ini disertai eosinofilia dalam darah perifer. Sistem
organ
yang Manifestasi
dipengaruhi system saraf otonom
Mekanisme
gangguan penglihatan, mulut kering
hambatan reseptor muskarinik
sulit miksi, konstipasi
susunan saraf pusat
hipotensi ortostatik, impotensi
Hambatan reseptor adrenergic
gangguan ejakulasi sindrom Parkinson, akatisisa distonia
hambatan reseptor dopamine
diskinesia Tardif
supersensitivitas reseptor dopamine
system endokrin
kejang toksik amenorea, galaktorea,
hambatan reseptor muskarinik infertilitas, hambatan reseptor dopamine yang
system lain
impotensi peningkatan berat badan
menyebabkan hiperprolaktinemia kemungkinan hambatan reseptor 17
H1 dan 5-HT2 SEDIAAN Klorpromazin tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg. selain itu juga tersedia dalam bentuk larutan suntik 25 mg/mL. b. Haloperidol (golongan butiferon) Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis yang karena hal tertentu tidak dapat diberikan fenotiazin. Reaksi ekstrapiramidal timbul pada 80% pasien. FARMAKODINAMIK Haloperidol memperlihatkan efek antipsikosi yang kuat dan efektif untuk fase mania penyakit manic depresif dan skizofrenia. Butiferon selain menghambat efek dopamine, juga meningkatkan turn over ratenya. FARMAKOKINETIK Haloperidol cepat diserap saluran cerna. Kadar puncaknya dalam plasma tercapai dalam waktu 2-6 jam sejak menelan obat,menetap sampai 72 jam dan masih dapat ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini ditimbun dalam hati dan kira-kira 1% dari dosis yang diberikan diekskresi melalui empedu. Ekskresi haloperidol lambat melalui ginjal, kira-kira 40% obat dikeluarkan selama 5 hari sesudah pemberian dosis tunggal. EFEK SAMPING DAN INTOKSIKASI Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insidens yang tinggi, terutama pada pasien usia muda. Dapat terjadi depresi akibat reverse keadaan mania atau sebagai efek samping yang sebenarnya. Perubahan hematologic ringan dan selintas dapat terjadi (leucopenia dan agranulositosis). Haloperidol sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil.
18
INDIKASI Indikasi utama haloperidol adalah untuk psikosis dan sindrom Gilles de la Tourette. SEDIAAN Haloperidol tersedia dalam bentuk tablet 0,5 mg dan 1,5 mg. selain itu tersedia dalam bentuk sirup 5 mg/100mL dan ampul 5 mg/mL
2. Antipsikotik atipikal (efek samping ekstrapiramidal yang minimal) Obat golongan atipikal umumnya memiliki afinitas yang lemah terhadap reseptor dopamine 2, selain itu juga memiliki afinitas terhadap reseptor dopamine 4, serotonin, histamine, reseptor muskarinik, dan reseptor alfa adrenergic. Golongan antipsikosis atipikal diduga efektif untuk gejala positif (seperti bicara kacau, halusinasi, dan delusi) maupun gejala negative (miskin kata-kata, afek yang datar, menarik diri dari lingkkungan, dan inisiatif menurun). Contoh obatnya natara lain: a. Klozapin b. Risperidon c. Olanzapin d. Quetiapin e. Ziprasidon
19
ANTINEUROSIS ANSIOLITIK Ansiolitik benzodiazepin sebagai ansiolitik efektif dalam menghilangkan ansietas dan banyak digunakan. Dipakai untuk gejala-gejala yang berkaitan dengan stress, tidak bahagia, atau penyakit fisik minor. Obat-obat tersebut tidak boleh digunakan untuk mengobati depresi, kondisi fobia, obsesi atau psikosis kronik. Pada anak-anak pengobatan ansiolitik hanya boleh digunakan untuk menghilangkan ansieta akut (dan ainsomnia terkait) yang disebabkan oleh rasa takut, misalnya sebelum operasi. Pengobatan ansiolitik dipakai dengan dosis serendah mungkin dan waktu sejangka pendek mungkin. Ketergantungan terutama pada pasien dengan riwayat penggunaan alkohol atau obat dan gangguan kepribadian yang jelas. Ansiolitik terutama benzodiazepin juga dikenal sebagai trankuiliser minor. Istilah ini tidak tepat karena bukan hanya berbeda dengan obat antipsikotik (trankuiliser mayor) bahkan penggunaannya pun tidak berarti minor. Antipsikotik pada dosis rendah kadang-kadang dipakai pada ansietas yang berat untuk kerja sedasinya, akan tetapi penggunaan untuk jangka panjang harus dihindarkan untuk menghindari resiko terjadinya tardive dyskinesia. •
Benzodiazepin
20
Benzodiazepin dipakai untuk pemakaian jangka pendek pada ansietas yang berat. Kerja yang panjang dimiliki oleh diazepam, aprazolam, bromazepam, klordiazepoksid, klobazam, dan klorazepat. Kerja jangka pendek dimiliki oleh lorazepam dan oksazepam dipakai pada pasien dengan gangguan hati akan tetapi mempunyai resiko yang besar pada pemutusan obat. Diazepam dan lorazepam kadang-kadang dipakai secara i.v. untuk mengendalikan panik. Pemakaian i.m. tidak lebih menguntungkan dibandingkan pemakaian oral. − Diazepam Indikasi Pemakaian jangka pendek pada ansietas dan insomnia, tambahan pada putus alkohol akut, status epileptikus, kejang demam, spasme otot. Peringatan Dapat mengganggu kemampuan mengemudi atau mengoperasikan mesin, hamil, menyusui, bayi, usia lanjut, penyakit hati dan ginjal, penyakit pernapasan, klemahan otot, riwayat penyalahgunaan obat atau alkohol, kelainan kepribadian yang nyata, kurang dosis pada usia lanjut dan debil, hindari pemakaian jangka panjang, peringatan khusus untuk injeksi i.v., porfiria. Kontraindikasi Depresi pernapasan, gangguan hati berat, kondisi fobia atau depresi, miastenia gravis, insufisiensi pulmoner akut, psikosis kronik, glaukoma sudut sempit akut, serangan asma akut, trimester pertama kehamilan, bayi prematur, tidak boleh digunakan sendirian pada depresi atau ansietas dengan depresi. Efek samping Mengantuk, kelemahan otot, ataksia, reaksi paradoksial dalam agresi, gangguan mental, amnesia, ketergantungan obat, depresi pernapasan, kepala terasa ringan hari berikutnya, bingung. Kadang-kadang nyeri kepala, vertigo, hipotensi, perubahan salivasi, gangguan saluran cerna, ruam, gangguan penglihatan, 21
perubahan libido, retensi urin, dilaporkan juga kelinan darah dan jaundice, pada injeksi i.v. terjadi : nyeri, tromboflebitis, danjarang apneu atau hipotensi. Dosis Oral : ansietas 2 mg 3 kali/hari, dinaikkan bila perlu sampai 15-30 mg/hari dalam dosis terbagi. Untuk usia lanjut atau debil dosis setengahnya. Insomnia yuang disertai ansietas 5-15 mg sebelum tidur. Injeksi : i.m. atau i.v. lambat (kedalam vena yang besar dengan kecepatan tidak lebih dari 5 mg/menit) untuk ansietas akut berat, pengendalian serangan panik akut, dan putus alkohol akut; 10 mg diulangi bila perlu setelah tidak kurang dari 4 jam. Dengan melalui rektal: sebagai larutan untuk ansietas akut dan agitasi : 10 mg (usia lanjut 5 mg) diulang setelah 5 menit bila perlu. Untuk ansietas apabila pemberian obat oral tidak dapat dilakukan obat diberikan melalui rektum sebagai suppositoria : 10-30 mg (dosis lebih tinggi terbagi). − Alprazolam Indikasi ansietas (penggunaan jangka pendek) Dosis :250-500 mcg 3 kali sehari (usia lanjut atau debil 250 2-3 kali sehari), naikkan bila perlu sampai total 3 mg hari. Tidak dianjurkan pada anak-anak. Kontraindikasi, peringatan, dan efek samping sama dengan diazepam. − Klordiazepokzid Indikasi : Ansietas penggunaan jangka pendek, tambahan pada putus obat alkohol akut. Dosis :Ansietas 310 mg 3 kali sehari dinaikkan bila perlu sampai 60-100 mg/hari dosis terbagi. Usia lanjut atau debilsetengah dosis dewasa. Anak : tidak dianjurkan. − Klobazam 22
Indikasi : ansietas (penggunaan jangka pendek) Dosis : ansietas 20-30 mg/hari dalam dosis terbagi atau dosis tunggal sebelum tidur, dinaikkan pada ansietasyang berat (pasien rawat inap) sampai dosis maksimal 60 mg/hari dalam dosis terbagi. Usia lanjut atau debil : 10-15 mg/hari. Anak : diatas 3 tahun tidak lebih dari setengah dosis dewasa.
•
Obat-obat lain untuk ansietas − Busipron Beraksi pada reseptor serotonin (5HT) spesifik. hasil pengobatan baru dapat dillihat dalam 2 minggu. Busipron tidak dapat meringankan gejala putus obat benzodiazepin. Efek ketergantungan dan penyalahgunaan obat busipron belum dapat dipastikan. Busipron hidroklorida Indikasi ansietas (penggunaan jangka pendek) Peringatan : tidak meringankan gejala putus obat benzodiazepin; riwayat gangguan hati dan ginjal. Kontraindikasi : epilepsi, gangguan fungsi hati dan ginjal yang berat, hamil dan menyusui. Efek samping : pusing, sakit kepala, gugup, kepala terasa ringan, eksitasi. Efek samping yang jarang berupa takikardi, palpitasi, nyeri dada, mengantuk, bingung, mulut kering, fatig, dan berkeringat. Dosis awal : 5 mg 2-3 kali sehari dinaikkan bila perlu setiap 2-3 hari; dosis lazim 15-30 mg/hari dalam dosis terbagi maksimal 45 mg/hari (usia lanjut 30 mg). Anak : tidak dianjurkan. − Beta-bloker Tidak mempengaruhi gejala psikologis seperti khawatir, tegang, dan takut, akan tetapi obat ini mengurangi gejala otonomik seperti palpitasi, berkeringat, dan tremor. Karena itu, beta-bloker diindikasikan untuk kasus-kasus dengan gejala
23
somatik yang dominan, walaupun secara tidak langsung dapat mencegahtimbulnya rasa khawatir dan takut. − Meprobramat Kurang efektif dibanding dengan benzodiazepin, lebih berbahaya pada kelebihan dosis, dan juiga menimbulkan ketergantungan sehingga tidak dianjurkan.
ANTIDEPRESAN Aktivitas ilmu kimia dan Struktur hubungan Tricyclic Antidepressants.
24
Pencarian senyawa berhubungan secara kimiawi dengan imipramine menghasilkan beberapa analog. Sebagai tambahan terhadap dibenzazepines, imipramine dan amina sekunder ini dan metabolisme aktif utama desipramine, clomipramine,
ada amitriptyline
dan ini 3 - chloro turunan
dan ini N -metabolisme demethylated nortriptyline
(dibenzocycloheptadienes), seperti halnya doxepin (satu dibenzoxepine) dan protriptyline (satu dibenzocycloheptatriene). Lain structurally berhubungan agen adalah trimipramine (satu dibenzazepine, dengan hanya akibat lemah pada angkut amina); maprotiline (satu "tetracyclic" mengandung satu tambahan ethylene menjembatani ke seberang enam karbon pusat cincin); dan amoxapine (satu piperazinyldibenzoxazepine dengan mencampur antidepressant dan hak milik neuroleptic). Sejak agen ini semua punya tiga satuan cincin inti molekular dan paling andil pharmakologis (norepinephrine larangan serapan ulang) dan dokter yang bekerja klinik (antidepressant dan anxiolytic) hak milik, nama "tricyclic antidepressants" dipergunakan untuk group ini.
25
Selective Serotonin Reuptake Inhibitors. Citalopram dan fluoxetine adalah sejenis; sertraline dan paroxetine adalah enantiomers terpisah. Escitalopram adalah( S )-enantiomer dari citalopram. Fluoxetine dan kandungan norfluoxetine yang dimilikinya aktif menghambat transport serotonin dan mungkin punya efek antimigraine yang tidak ditemukan pada ( R )-enantiomer dari fluoxetine. ( R )26
enantiomer dari fluoxetine juga aktif menghambat transport serotonin dan aktivitasnya lebih pendek dibandingkan( S )-enantiomer, tapi perkembangan klinis ini terhenti sehubungan dengan efek electrocardiographic yang bururk. ( R )-Norfluoxetine hampir non-aktif. Hubungan aktivitas struktur tidak mapan untuk SSRIs. Bagaimanapun, diketahui bahwa para-lokasi dari CF
3
substituent dari fluoxetine adalah penting untuk potensi
pengangkut serotonin. Hal itu dihilangkan dan gigantic dengan ortho -potition dengan satu golongan methoxy hasil dari nisoxetine, agen penghambat selektif reuptake norepinephrine yang sangat poten.
Monoamine Oxidase Inhibitors. Inhibitor nonselective MAO di yang digunakan secara klinis adalah hydrazines reaktif (phenelzine dan isocarboxazid) atau derivat amphetamin (tranylcypromine) . Selegiline , satu propargylamine, mengandung satu ikayan reaktif acetylenic dan secara relatif spesifik untuk MAO-B. Berdasarkan oksidasi mereka ke reaktif oleh MAO, masing-masing "suicide" substrates ini saling berinteraksi secara irreversible untuk menonaktifkan group flavin prosthetic dari enzim MAO. Pembentukan rantai siklik (Cyclization) dari rangkaian amphetamine menghasilkan di tranylcypromine. Setelah formasi dari satu reaktif imine yang diperantarai oleh MAO, inhibisi MAO oleh derivate cyclopropylamine ini mungkin melibatkan reaksi dari grup sulfhydryl pada active-site dari MAO. Sehubungan dengan 27
inaktivasi yang ireversibel dari MAO, senyawa ini menghasilkan inhibisi dalam jangka waktu lama yang mungkin menetap sampai 2 minggu setelah penghentian penggunaan obat. Inhibitor reversible MAO-A (RIMAs) dengan aktivitas antidepressant yang masih diselidiki,
bekerja
short-acting.
Termasuk
morpholinobenzamide( moclobemide ;
piperidylbenzofuran(
[AURORIX, MANERIX]
brofaromine
),
dan oxazolidinone
(toloxatone).
Pharmacological Properties
Tricyclic Antidepressants and Other Norepinephrine-Reuptake Inhibitors. Pengetahuan mengenai aspek farmakologis obat-obat antidepresan masih belum diketahui sepenuhnya, penjelasan yang masuk akal masih dibatasi oleh teori psychobiological dari gangguan mood. Kerja antidepresan tricyclic yang mirip imipramine termasuk susunan 28
kompleksitas, adaptasi sekunder pada aksi inisial dan yang mendukung sebagai inhibitor norepinephrine neuronal transport (reuptake) dan variable blockade dari transport serotonin. Anti depresan tipe Tricyclic dengan rantai amine-sekunder atau N-demethylated (nor) agen metabolit dengan paruhan tertiary-amine moieties (misalnya, amoxapine, desipramine, maprotiline, norclomipramine, nordoxepin, and nortriptyline) memiliki sifat yang relative selektif sebagai inhibitor transport norepinephrine.Kebanyakan tricyclic dengan tertiary-amine juga menginhibisi reuptake serotonin. Diantara obat antidepresan tricyclic, trimipramine adalah yang paling rendah kemampuannya untuk memberikan efek inhibisi dari efek inhibisi transport monoamine, dan kerjanya secara klinis masih belum diketahui dengan jelas. Tricyclic dan obat antidepresan norepinephrine-active tidak memblok transport dopamine,sehingga
membedakan
dari
stimulan
CNS
lainnya,
seperti
cocaine,
methylphenidate, dan amphetamines. Namun, obat-obatan tersebut dapat memfasilitasi efek dari dopamine secara tidak langsung dengan menginhibisi transport nonspesifi dari dopamine kedalam terminal noradrenergic yang terletak di cerebral cortex. Tricyclic antidepresan juga dapat mendesensitasi reseptor dopamine D2, melalui mekanisme yang tidak diketahui dan dengan pengaruh sifat yang tidak diketahui dengan pasti. Disamping efek inhibisi-transport, tricyclic antidepresan seringkali berinteraksi dengan reseptor adrenergic. Kehadiran atau absennya reseptor interaksi dengan reseptor tersebut sangat penting untuk meningkatkan respond an availabilitas dari extracellular norepinephrine di sekitar synaps. Kebanyakan tricyclic antidepresan memiliki tingkat afinitas moderat dan selektifitas terhadap reseptor 1 adrenergic, dan lebih sedikit pada reseptor 2, dan hampir tidak memiliki afinitas pada reseptor adrenergics. Reseptor 2 termasuk autoreseptor presynaptic autoreceptors yang membatasi aktivitas neurofisiologis dari neuron noradrenergic ascending yang berasal dari locus ceruleus di batang otak yang memberikan suplai proyeksi ke midbrain (otak tengah) dan forebrain (otak depan). Neuron noradrenergic yang sama juga menyediakan proyeksi descending menuju ke neuron eferen preganglionic cholinergic di spinal cord hingga ganglia autonomic perifer. Mekanisme Autoreseptor juga menyebabkan penurunan sintesis norepinephrine melalui pembatasan jumlah enzim tyrosine hydroxylase, yang mungkin melalui reseptor 2 adrenergic ryang mengurangi of aktivasi enzim fosforilasi yang dimediasi oleg cyclic AMP. Aktivasi dari 29
reseptor ini menginhibisi pelepasan transmitter melalui berbagai macam mekanisme seluler, termasuk dengan sepresi pelepasan voltage-gated Ca2+ dan aktivasi dari protein-Gberpasangan,dan reseptor K+. Reseptor 2 presynaptic, memberikan mekanisme negative-feedback yang dengan cepat diaktivasi setelah pemberian obat tricyclic antidepresan. Dengan membatasi availabilitas norepinephrine synaptic, mekanisme ini normalnya menjaga fungsi homeostasis. Namun, dengan pemberian obat yang berulang, respon reseptor-2 hampir dihilangkan. Akibatnya terjadi desensitasi sekunder hingga meningkatkan eksposur terhadap endogenous agonist ligand norepinephrine, atau memperpanjang kerja transporter norepinephrine melalui efek allosteric, yang diperkirakan sebagai inhibitor serotonin transporter pada neuron serotonergic. Setelah beberapa periode hari-minggu, mekanisme adaptasi ini menyebabkan produksi dan pelepasan norepinephrine presynaptic untuk kembali normal atau melebihi batas normal. Namun manajemen terapi jangka panjang dapat mengurangi eksprsi dari enzim tyrosine hydroxylase sebaik pada protein pembawa norepinephrine (NET). Kepadatan reseptor adrenergic postsynaptic juga secara berangsur-angsur melakukan down-regulation setelah beberapa hari setelah pemberian treatment dengan berbagai tipe antidepresan,termasuk tricyclics, SSRI, MAO inhibitors, dan electroshock (model ECT) pada binatang. Kombinasi dari inhibitor transport serotonin dengan tricyclic antidepresan memberikan efek desensitasi yang cepat pada reseptor adrenergic effect. Dasar interaksi farmakologisnya masih belum jelas. Kemungkinan penurunan sinyal pada -receptor memberikan hasil pada peningkatan mood pada pengobatan dengan antidepresan, karena -blockers dapat menginduksi atau memperburuk depresi pada beberapa orang. Namun, hilangnya inhibisi reseptor adrenergic mempengaruhi serotonergic neurons yang dapat meningkatkan pelepasan serotonin dan memberikan efek tidak langsung dari antidepresan. Dengan terapi tricyclic antidepresan, reseptor postsynaptic 1 adrenergic dapat diblok secara parsial, dan menyebabkan efek hypotensif. Beberapa minggu Setelah terapi reseptor 1 masih tetap ada dan malah semakin sensitive terhadap norepinephrine sebagaimana munculnya efek peningkatan mood yang perlahan-lahan meningkat. Oleh karena itu, terapi antidepresan perlahan-lahan menjadi efektif secara klinis, inaktivasi dari reuptake transmitter tetap di hambat, produksi dan pelepasan norepinephrine presynaptic kembali
30
meningkat melebihi batas normal, dan reseptor 1 adrenergic postsynaptic memberikan perbaikan fungsi. Selain itu, perubahan secara neurofarmakologi yangmemberikan efek secara klinis dari tricyclic antidepresan termasuk fasilitasi tidak langsung dari neurotransmisi serotonin (dan mungkin juga dopamine) melalui eksitasi reseptot 1 "heteroceptors"
pada neuron
monoaminergic atau desensitasi, inhibisi 2 autoreceptors, dan juga D2 dopamine autoreceptors. aktivasi pelepasan serotonin dan dopamine,akan menyebabkan efek downregulation sekunder dari 5-HT1 serotonin autoreceptors, reseptor 5-HT2postsynaptic, dan mungkin juga autoreceptors D2 dopamine dan reseptor D2 postsynaptic. Perubahan adaptif lainnya yang telah diketahui sebagai respon pengobatan jangka panjang dengtan tricyclic antidepresan yaitu terjadinya perubahan sensitifitas reseptor muscarinic acetylcholine dan penurunan sensitisasi reseptor gamma-aminobutyric acid (GABAB) dan kemungkinan juga pada reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) glutamate. Selain itu, produksi cyclic AMP meningkat dan aktivitas protein kinases berubah pada sebagian sel,termasuk yang bekerja pada cytoskeletal dan struktur protein lainnya yang dapat merubah pertumbuhan neuronal. Transmisi dan factor neurotrophic juga dipengaruhi, seperti cyclic AMP-response-element binding protein (CREB) dan brain-derived neurotrophic factor (BDNF). Perubahan lain yang terjadi merupakan efek tidak langsung dari terapi antidepresan atau dapat juga akibat sembuh dari depresi. Hal ini menyebabkan normalisasi pelepasan glucocorticoid dan sensitifitas reseptor glucocorticoid, begitu juga dengan
produksi
prostaglandin
dan
cytokines
dan
fungsi
lymphocyte.
Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs). Aksi lambat dan aksi taklangsung dari agen antidepressant dan agen antianxiety ini masih kurang dimengerti dibandingkan dengan tricyclic antidepressants. Namun, terdapat keterkaiatan paralel di antara respon pada system noradrenergic dan serotonergic. Seperti tricyclic antidepressants, yang memblok reuptake norepinephrine, SSRIs menghalangi transport neuronal dari serotonin dengan seketika dan secara berkesinambungan, mengakibatkan munculnya respon sekunder kompleks. Availabilitas synaptic ditingkatkan dari stimulasi serotonin pada sejumlah besar reseptor 31
postsynaptic 5-HT. Rangsangan dari reseptor 5 - HT
3
diperkirakan menyebabkan efek
samping umum, sebagai karakteristik kelas obat ini, meliputi efek gastrointestinal (mual dan muntah) dan efek seksual (ditunda atau merusak orgasme). Stimulasi dari reseptor 5 HT
2C
mungkin berkontibusi pada rasa agitasi atau kegelisahan yang kadang disebabkan
oleh serotonin reuptake inhibotor. Respon parallel dari neuron-neuron serotonin dan norepinephrine adalah negative feedback mechanisms yang secara cepat mengembalikan homeostasis. Pada system serotonin, 5HT1-subtype autoreceptors (types 1A dan 7 pada neuron nucleus raphe (badan sel dan dendrite), type 1D bagian terminal) menekan neuron serotonergic pada nucleus raphe di batang otak, dan menginhibisi tryptophan hydroxylase (yang mungkin melalui penurunan aktivasi phosphorylasi) dan pelepasan serotonin neuronal. Pemberian terapi ulangan menyebabkan down-regulation secara bertahap dan desensitasi dari mekanisme autoreseptor setelah beberapa minggu (terutama reseptor 5-HT1D saraf terminal), dengan kembalinya atau meningkatnya aktivitas presynaptic, produksi dan pelepasan serotonin. Sebagai tambahan, perubahan sekunder seperti down-regulation secara perlahan dari reseptor 5-HT2A postsynaptic yang menyebabkan efek antiepresan secara langsung, sebaik dengan cara mempengaruhi fungsi noradrenergic dan neurons lainnya via serotonergic heteroceptors. Masih banyak lagi reseptor 5-HT postsynaptic yang dapat memediasi peningkatan trnsmisi serotonergic dan berkontibusi terhadap peningkatan mood dan efek anxiolytic dari kelas obat ini. Seperti respon terhadap inhibitor transport-norepinephrine, adaptasi kompleks yang lambat terjadi pada treatmen berulang dengan serotonin reuptake inhibitor. Ini meliputi peningkatan taklangsung output norepinephrine oleh penurunan efek inhibisi tonus 5 - HT 2A
heteroceptors. Akhirnya, nucleus serupa dan adaptasi selular terjadi seperti pada obat
tricyclic antidepressants, meliputi peningkatan c-AMP, aktivasi / phosphorylation ataufaktor-faktor transkripsi ( misalnya , CREB), dan peningkatan produksi BDNF. Other Drugs Affecting Monoamine Neurotransmitters. Obat-obat
yang
secara
signifikan
menghambat
uptake
dopamine
termasuk
psychostimulants yang lebih tua. Agen-agen ini hanya memberikan keuntungan yang 32
terbatas pada depresi mayor dan agitasi yang memburuk, psykosis, insomnia, dan anoreksia akibat dari depresi berat. Nomifensine secara structural membedakan dengan jelas antidepresan yang menghambat transport norepinephrine dan dopamine; obat ini ditarik dari penggunaan klinis pada 1996 karena memiliki resiko terjadinya hemolytic anemia dan intravascular hemolysis. aromatic aminoketone bupropion dan metabolit amphetaminelike juga menginhibisi transport dopamine dan norepinephrine. MAO inhibitor tranylcypromine merupakan metabolit amphetaminelike pada strukturnya tapi, berinteraksi secara lemah denga pengangkut dopamine. Phenylpiperazine nefazodone, secara structural terkait dengan trazodone hanya memiliki efek inhibisi lemah terhadap transport serotonin, dan nefazodone juga memiliki efek minor terhadap transport norepinephrine. Agen-agen ini memiliki efek antagonis yang jelas terhadap reseptor 5-HT2A yang dapat menimbulkan efek antidepressant dan anxiolytic. Kedua obat tersebut, juga dapat menginhibisi reseptor presynaptic 5-HT1 subtype autoreceptors untuk meningkatkan pelepasan serotonin neuronal, meskipun obat-obat tersebut kemungkinan
menekan paling tidak memberikan efek partial-agonist pada
reseptor 5-HT1 postsynaptic. Trazodone juga dapat memblok reseptor 1 adrenergic cerebral dan reseptor H1-histamine, yang memungkinkan terjadinya priapism dan sedation Obat antidepressants atipikal mirtazapine dan mianserin secara struktural analog dengan serotonin dengan efek antagonis potent pada beberapa tipe reseptor serotonin postsynaptic (termasuk reseptor 5-HT2A, 5-HT2C, dan 5-HT3) dan dapat menyebabkan down-regulation dari reseptor 5-HT2A secara perlahan. Mirtazapine juga membatasi efektivitas dari inhibitor 2 adrenergic heteroceptors pada neuron serotonergic sebaik inhibisi pada autoreceptor 2 dan heteroceptor 5-HT2A pada neuron noradrenergic. Efek tersebut akan meningkatkan pelepasan amina dan menyebabkan efek antidepresan dari obat ini. Mirtazapine juga merupakan antagonis yang poten untuk reseptor histamine H1 dan relative memiliki efek sedasi sedating. Mianserin tidak digunakan di Amerika karena memiliki efek bone marrow suppression. Monoamine Oxidase Inhibitors. MAOs terdiri atas dua struktur yang berhubungan enzim yang mengandung flavin, yang menghasilkan MAO-A dan MAO-B, berbagi sekitar 70% asam amino mereka namun 33
disandi oleh gen berbeda. Mereka dilokalisir di membran mitochondrial dan secara luas terdistribuso disepanjang badan sel saraf terminal, hati, mucosa usus, platelets, dan organ lain. Pada CNS, MAO-A diekspresikan sebagian besar di neuron noradrenergic, sementara MAO-B diekspresikan di neuron serotonergic dan histaminergic. Aktivitas MAO lekat dihubungkan secara fungsional dengan aldehid reductase dan aldehid dehydrogenase, bergantung kepada jenis substrate dan jaringannya. MAO mengatur degradasi metabolic dari catecholamines, serotonin, dan amina endogin lain pada CNS dan jaringan perifer. Hepatic MAO punya satu peran defensif yang rumit dalam menonaktifkan pengedaran monoamines atau senyawanya, seperti kerja tidak langsung sympathomimetic tyramine, yang di cerna atau yang berasal pada di usus dan diserap pada sirkulasi vena porta. Inhibisi dari enzim ini oleh MAO inhibitor, yang menyebabkan satu pengurangan metabolisme dan meningkatkan konsentrasi amina biogenic. Dari kedua-duanya utama jenis molekular dari MAO, khususnya MAO-A mendeaminasi epinephrine, norepinephrine, dan serotonin, dan menghambat secara selektif oleh clorgyline. MAO-B memetabolisme phenethylamine dan dapat diinhibisi oleh selegiline. Dopamine dan tyramine , keduanya dimetabolisme oleh Isozymes MAO dan diinhibisi oleh oleh phenelzine, tranylcypromine, dan isocarboxazid. Secara eksperimental, inhibitor MAO-A selektif diperkirakan lebih efektif untuk merawat depresi major dibandingkan dengan tipe B. Inhibitor MAO-B selegiline disetujui untuk perawatan dari awal penyakit Parkinson dan bekerja melalui mempotensialkan kerja dopamine yang tersisa pada degenerasi neuron nigrostriatal(nucleus nigra) dan mungkin dengan mengurangi kerusakan neuronal sehubungan dengan produk metabolisme oxidative yang sangat reaktif dari dopamine atau neurotoxins potensial lainnya. Selegiline juga mempunyai efek antidepressant, terutama pada dosis yang lebih dari 10 mg, juga menginhibisi MAO-A atau metabolite amfitamin-like. Pemberian secara eksperimental dengan sediaan trasdermal, selegiline memiliki efek terbatas pada MAO-A di usus, yang memungkinkan terjadinya liberalisasi diet rendah tyramine yang penting untk menghindari efek dari krisis hipertensi yang fatal.
34
Beberapa inhibitor selektif MAO-A yang bekerja short-acting (seperti, brofaromine dan moclobemide) dan toloxatone memiliki efek antidepresan moderat dan sedikit kecenderungan untuk menekan kerja tyramine dan kerja tidak langsung sympathomimetic amines
dari
pada
MAO
inhibitor
non
selektif
yang
ireversibel.
Absorption and Bioavailability. Sebagian besar antidepresan di absorbsi baik pada pemberian per-oral. Pengecualian khusus pada nefazodone yang bioavailabilitasnya hanya 20%. MAO inhibitorssiap diabsorbsi saat diberikan per oral. Efek anticholinergic tricyclic antidepressants dalam dosis tinggi dapat memperlambat aktivitas gastrointestinal dan waktu pengosongan lambung, hasilnya, terjadi penyerapan obat yang tidak menentu dan menimbulkan komplikasi akut overdosis.konsentarsi serum kebanyakan tricyclic antidepressants mencapai puncak dalam beberapa jam. Injeksi IV tricyclic antidepressants (clomipramine) atau injeksi intramuscular (amitriptyline) digunakan dalam satu kali dosis, untuk merawat depresi berat, atau pasien anoreksik yang menolak pemberian obat per-oral. Distribution and Serum Level Monitoring. Setelah diabsorbsi, tricyclic antidepressants didistribusikan secara luas. Obat ini related lipophilic dan berikatan kuat dengan protein plasma dan jaringan penyokong, menyebabkan volume distribusi yang tampak jelas setinggi 10-50 L/kg. tricyclic antidepressants
cenderung
memiliki
efek
cardiotoxic,
cicin
metabolit
hydroxy
berakumulasi pada jaringan cardiac meningkatkan resiko cardiotoxic. Kadar Serum of antidepressants yang berarti secara klinis tidak stabil kecuali pada beberapas sediaan seperti amitriptyline, desipramine, imipramine, dan nortriptyline, khususnya pada konsentrasi 100250 ng/ml. efek Toxic tricyclic antidepressants dapat diperkirakan muncul pada kadar konsentrasi serum diatas 500 ng/ml, dan konsentarsi yang lebih dari 1 g/ml akan memberikan
efek
yang
sangat
fatal.
Metabolism, Half-Lives, and Duration of Action. 35
Tricyclic antidepressants di oksidasi oleh enzim microsomal hepatic, yang diikuti oleh konjugasi dengan glucuronic acid. Metabolit utama dari imipramine adalah desipramine; biotransformasi dari imiprimine atau desipramine terjadi sebagian besar oleh oksidasi menjadi metabolit 2-hydroxy, yang menyimpan kemampuan untuk memblok transport amine dan terutama memiliki efek cardiac depressant. Sebagai perbandingan, amitriptyline major demethylated by-product, nortriptyline, memalui oksidasi khusus dalam 10 posisi hydroxyl (10-hydroxy). Metabolit 10-hydroxy memiliki aktivitas biologis, yang lebih tidak cardiotoxic daripada metabolit 2-hydroxy dari imipramine atau desipramine. Konjugasi cincin metabolit hydroxyl dengan glucuronic acid menghilangkan sisa-sisa aktivitas biologisnya .metabolit N-demethyl dari beberapa obat tricyclic antidepressants secara farmakologis aktif dan dapat berakumulasi dengan konsentrasi mendekati atau melebihi dosis obat asalnya (parent drug), yang menyebabkan timbulnya efek farmokodinamik
obat
tersebut.
Amoxapine di oksidasi terutama menjadi metabolit 8-hydroxy dan kurang dari 7-hydroxy metabolite. 8-hydroxy metabolite secara farmakologis aktif, termasuk efek interaksi antagonistic dengan reseptor dopamine D2. Amoxapine memilki efek samping extrapyramidal, seperti tardive dyskinesia, yang mengingatkan pada the N-methylated congener
loxapine,
neuroleptic
yang
tipikal.
Inaktivasi dan eliminasi sebagian besar antidepressants terjadi dalam periode beberapa hari. Secara umum, secondary-amine tricyclic antidepressants dan derivate N-demethylated dari serotonin reuptake inhibitors memiliki elimination half-lives dua kali lebih panjang dari obat asalnya (parent drugs). Meskipun demikian, sebagian besar tricyclics di eliminasi sempurnadalam 7-10 hari. Terkecuali tricyclic antidepressant yang bekerja long-acting yaitu protriptyline (half-life sekitar 80 jam). Sebagian besar MAO inhibitors adalah obat yang bekerja long acting, karena pulih kembalinya dari efek MAO membutuhkan sintesis enzim baru yang butuh waktu selama 1-2 minggu. Interaksi dengan Cytochrome P450 Isoenzymes.
36
Metabolism sebagian besar antidepressants sangat tergantung pada hepatic CYPs. Sebagian besar tricyclic antidepressants sejumlah besar dioksidasi oleh CYP1A2. Metabolit Citalopram, imipramine, dan meta-chlorophenylpiperidine yang berasal dari trazodone dan nefazodone merupakan substraat bagi enzim CYP2C19, sedangkan atomoxetine, duloxetine, mirtazapine, paroxetine, trazodone, dan beberapa substrat tricyclics lain merupakan substrat untuk enzim CYP2D6. Nefazodone dan beberapa obat tricyclic dan SSRI antidepressants di oksidasi oleh CYP3A3/4.secara umum , CYP1A2 dan CYP2D6 memediasi aromatic hydroxylation, dan CYP3A3/4 memediasi reaksi N-dealkylation dan N-oxidation
dalam
metabolisme
obat
antidepressants.
Efek Samping Efek samping dari antidepressants sangat umum. Tricyclic antidepressants secara rutin menghasilkan efek sampingrespon autonomik, terkait efek antimuscarinicyang relatif kuat. Ini meliputi mulut mengeringkan dan satu asam atau rasa metalik, distress epigastric, sembelit, kepeningan, tachycardia, palpitasi, pandangan kabur (risiko ditingkatkan dari glaukoma), dan retensi urin. Efek pada cardiovasculer meliputi orthostatic hypotension, tachycardia sinus, danpemanjangan variable konduksi jantung terutama akibat overdosis. Pada absennya penyakit jantung, masalah terpenting dihubungkan dengan agen imipraminelike adalah postural hypotension, mungkin berhubungan dengan aksi anti - 1 adrenergic. Hypotension dapat sangat berat, dengan seizure dan cedera. Di Antara tricyclics, nortriptyline mempunyai resiko relatif rendah dari pengaruh darah perubahan tekanan postural. Tricyclic antidepressants dihindari pada kasusu myocardial infarction akut; adanya defek konduksi serabut purkinje dan perlambatan depolarisasi jantung, atau ketika depressant jantung lainnya (meliputi agen psychotropic lain seperti thioridazine) diberikan yang memiliki efek ntiarrhythmia kelas Iterkait dengan pembukaan kanal Na
+
dengan cepat. Meskipun demikian, nontricyclic antidepressants modern khususnya SSRIs punya risiko yang lebih rendah dan merupakan pilihan bijaksana untuk pasien dengan
penyakit
jantung.
ECT
digunakan.
37
kelemahan dan fatigue merupakan efek central dari tricyclic antidepressants, terutama golongan mine tertier dan mirtazapine,yang memiliki efek antihistaminic sentral yang poten. Trazodone dan nefazodone juga memiliki efek sedasi. Efek pada CNS yang lainnya adalah bingung atau delirium, pada tricyclic antidepressants yang memiliki bagian atropine-like. Serangan epilepsy dapat terjadi; terutama pada pemberian dosis bupropion diatas 450 mg, maprotiline diatas 250 mg, atau overdosis akut dari amoxapine atau tricyclics. Resiko intoksikasi serebral atau cardiac dapat meningkat jika agen-agen tersebut diberikan dalam dosis bersar terutama jika diberikan bersamaan dengan SSRIs. MAO inhibitors dapat menyebabkan sedasi atau eksitasi behavioral dan memiliki resiko tingi termasuk postural hypotension, kadang dengan peningkatan tekanan darah diastole. Safety Through the Life Cycle Sebagian besar obat antidepresan aman digunakan saat hamil. Tidak ditemukan efek teratogenik pada penggunaan tricyclic. Sebagian besar antidepressants dan lithium disekresikan pada ASI, setidaknya dalam kuantitas yang rendah, dan keamanan penggunaannya pada balita belum dapat diketahui dengan pasti. Anak-anak lebih rentan terhadap efek cardiotoxic dan seizure pada tricyclic antidepressants dosis tinggi. Kematian terjadi pada anak dengan antidepressant dosis tinggi akibat overdosis dan kematian yang mendadak yang tidak diketahui penyebabnya telah terjadi pada remaja. Pada anak-anak, tidak terjadi efek yang buruk mengenai metabolisme obat ini di hati. Untuk mencegah terjadi efek samping perlu dijaga agar dosis obat 5 mg/kg berat badan, pada anak usia sekolah dan 2-3 mg/kg pada orang dewasa. Pada pasien geriatric, dizziness, postural hypotension, konstipasi , terhambatnya micturition, edema, dan tremor umumnya ditemukan pada pemberian obat tricyclic antidepressants. Pasien-pasien tua lebih mentoleransi obat golongan SSRIs. Resiko pada geriatric meningkat pada peningkatan reaksi metabolisme obat dihepar dan etrutama efek terhadiap jantungnya. Drug Interactions tricyclic antidepressants terikat pada albumin plasma yang dapat menurunkan kadar obat yang terikat pada protein plasma, seperti phenytoin, aspirin, aminopyrine, scopolamine, 38
dan phenothiazines. Barbiturates dan obat-obat anticonvulsant (terutama carbamazepine), seperti halnya merokok dapat meningkatkan metabolisme hepatic obat antidepresan dan obat lainnya yang di metabolisme oleh CYPs. Penggunaan terapetik secara kombinasi dari SSRI dan tricyclic antidepressants untuk merawat pasien depresi dengan resistensi obat antidepresan sangat berbahaya, karena efek sampng dan toksisitas kedua obat. SSRI dapat berkerja sebagai inhibitor CYP sehingga menurunkan metabolisme obat tricyclic. Antidepressants meningkatkan efek dari alcohol dan obat sedatives lainnya.Efek antikolinergik
dari
tricyclic
antidepressants
dapat
digunakan
sebagai
agen
antiparkinsonism, antipsychotic potensi rendah (terutama clozapine dan thioridazine), atau komponen lainnya dengan aktivitas antimuscarinic activityyang menimbulkan efek toksik. Tricyclic antidepressants memiliki potensi yang menonjol dan berbahaya pada interaksinya dengan norepinephrine, yang normalnya dikurangi uptakenya sehingga menyebabkan efek anti hypertensive, melalui mekanisme tidak langsung dari tyramine, yang menyebabkan pelepasan
norepinephrine
lebih
banyak.
SSRI dan MAO Inhibitor sebaiknya tidak digunakan secara kombinasi karena sangat berbahaya (terutama long-acting MAO inhibitor). Obat lainnya yaitu meperidine dan phenylpiperidine analgesics, pentazocine, dextromethorphan, fenfluramine, dan jarang ditemukan dengan tricyclic antidepressants. Akibat dari interaksi tersebut adalah "serotonin syndrome." Serotonin syndrome terjadi pada pasien yang medapat obat dengan kombinasi anti serotonin lebih dari 2 tipe agen. Kombinasi MAO inhibitors dengan SSRIs, atau obat lainnya yang meningkatkan sintesis serotonin (misalnya, L-tryptophan) atau pelepasan serotonin (misalnya, amphetamines dan cocaine), serotonin agonists (misalnya buspirone, dihydroergotamine, dan sumatriptan), atau ayeng meningkatkan aktivitas serotonin (seperti, ECT dan lithium) dapat menyebabkan serotonin syndrome. syndrome ini memiliki gejala termasuk akathisia-like restlessness, kejang otot dan myoclonus, hyperreflexia, berkeringat, gangguan ereksi, menggigil , dan tremor dan jika intoksikasi meningkat akan menyebabkan koma.
Gejalanya
akan
berhenti
jika
pengobatan
dihentikan.
Untuk menghindari toksisitas dan timbulnya serotonin syndrome, durasi penggunaan 39
antidepresan harus dipertimbangkan dengan baik. Misalnya MAO inhibitor tidak boleh digunakan 5 minggu setelah penghentian fluoxetine, dan 2-3 minggu setelah penghentian nonselective MAO inhibitor baru kemudian diberikan terapi inisial tricyclic antidepressant.
40
SISTEM RUJUKAN PASIEN GANGGUAN JIWA
Apabila memerlukan tindak lanjut kegiatan maka sistem rujukan meliputi langkah-langkah sebagai berikut: diagnostik, terapi pendahuluan, feed back information (yang diharapkan kepada fasilitas yang merujuk) dari fasilitas yang menerima rujukan, serta tindak lanjut jangka panjang. Contoh jalur rujukan antara lain: RSU / RSJ ← Klinik Kesehatan Jiwa ← Puskesmas
Rumah Sakit Jiwa Pengertian Pengertian Rumah Sakit menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 031/Birhub/1972 tentang Renefal adalah suatu komplek atau rumah atau ruangan yang dipergunakan untuk menampung dan merawat orang sakit; kamar-kamar orang sakit yang berada dalam suatu perumahan khusus, seperti Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit Khusus. Sedangkan Rumah Sakit Jiwa termasuk ke dalam Rumah Sakit Khusus (Kelas E), karena melayani pasien yang menderita penyakit yang lebih dikhususkan, seperti penyakit jiwa, penyakit jantung, penyakit mata dan lainnya. Spesifikasi Rumah Sakit Jiwa Memiliki perbedaan dari rumah sakit umum, yaitu : 41
Pasien terdiri dari orang yang berperilaku abnormal walau fisiknya dalam keadaan sehat Terdapat tiga tahap penyembuhan yaitu pengobatan melalui fisik, jiwa dan sosialnya Dibutuhkan ruang-ruang bersama (lebih cendrung merupakan bangsal) baik untuk perawatan maupun untuk bersosialisasi. Dibutuhkannya ruang untuk terapi dan rehabilitasi yang dilakukan dalam ruangan. Tanah yang luas unuk penyediaan lahan bagi terapi kerja lapangan seperti pertanian, perkebunan, dan terapi lainnya yang berada di luar ruangan. Fungsi dan Tujuan Rumah Sakit Jiwa Fungsi rumah sakit jiwa berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI No. 135/Men. Kes/SK/IV/78 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Jiwa adalah : a. melaksanakan usaha pelayanan kesehatan jiwa pencegahan b. melaksanakan usaha pelayanan kesehatan jiwa pemulihan c. melaksanakan usaha kesehatan jiwa rehabilitasi d. melaksanakan usaha kesehtan jiwa kemasyarakatan e. melaksanakan sistem rujukan (sistem Renefal) Sedangkan Tujuan Rumah Sakit Jiwa : a. mencegah terjadinya gangguan jiwa pada masyarakat (promosi preventif) b. menyembuhkan penderita gangguan jiwa dengan usaha-usaha penyembuhan optimal c. rehabilitasi di bidang kesehatan jiwa. Klasifikasi Rumah Sakit Jiwa Rumah sakit jiwa dibagi dalam 3 klasifikasi : 42
a) Rumah Sakit jiwa kelas A, adalah rumah sakit jiwa yang mmpunyai spesifikasi luas dalam bidang kesehatan jiwa, serta dipergunakan untuk tempat pendidikan kesehatan jiwa intramular dan ekstramular. b) Rumah Skait Jiwa kelas B, adalah rumah sakit jiwa yang belum mempunyai spesifikasi luas, tetapi melaksanakan kesehatan jiwa intramular dan ekstramular. c) Rumah Sakit Jiwa Kelas C, adalah Rumah Sakit Jiwa yang hanya memberikan pelayanan kesehatan jiwa intramular. Di setiap Unit Rehabilitasi RSJ tersedia fasilitas untuk pelaksanaan berbagai kegiatan rehabilitasi. Kegiatan rehabilitasi ini dibagi dalam tahap-tahap: (a) Tahap persiapan: agar pasien dapat dipulangkan atau disalurkan ke masyarakat, meliputi: seleksi/evaluasi untuk menetapkan jenis terapi kerja Occupational therapy) dan
latihan kerja yang sesuai dengan keadaan pasien (cacat dan potensi-potensinya). berbagai terapi sosial untuk mempercepat proses kesembuhan dan resosialisasinya, berbagai pendidikan dan latihan serta penyuluhan dan bimbingan kejuruan; termasuk di sini pendidikan dan latihan agar dapat hidup mandiri, mengurus diri, mobilitas dan komunikasi, serta juga untuk mendapat ketrampilan kerja tertentu (kerajinan, pertukangan, pertanian, industri, dan lain-lain). (b) Tahap penyaluran berupa pemulangan pasien ke keluarga dan juga penempatan kerja (open job placement, selective, atau shelthered). (c) Tahap pengawasan yang dikerjakan oleh RSJ adalah pelayanan lanjut (aftercare service) dan kunjungan rumah (home visit) oleh petugas RSJ. Setiap kegiatan dalam tahapan rehabilitasi merupakan proses yang berkesinambungan, dilaksanakan oleh berbagai macam tenaga pelaksana (fungsional dan struktural) yang bekerjasama dalam satu team-work dibawah pimpinan psikiater. Ini terdiri dari: psikiater, dokter, psikolog, perawat, ahli okupasiterapi, pekerja sosial, instruktor latihan kerja, tenaga administrasi. Khusus untuk tahap penyaluran, pelaksanaannya uga dengan bantuan dan kerjasama instansi lain (Dinas Sosial dan Dinas lain). Demikian pula kegiatan after care 43
dapat dilaksanakan oleh RSU atau Puskesmas terdekat dengan tempat tinggal pasien, yaitu RSU dan Puskesmas yang telah menjalankan upaya kesehatan jiwa secara integratif dan berdasarkan rujukan.
ANXIETAS
OVERVIEW ANXIETAS Anxietas Normal Setiap orang mengalami kecemasan (anxietas). Anxietas dapat merupakan respon normal, adaptasi, dan menyelamatkan (livesaving). Anxietas dikarakteristikkan dengan perasaan difus, tidak menyenangkan, ragu-ragu, sering disertai dengan gejala otonom seperti sakit kepala, berkeringat, sesak, tidak nyaman di perut, dan kurang istirahat serta kesulitan duduk atau berdiri dalam waktu lama. Apakah suatu kejadian dianggap sebagai penyebab ketegangan (stressfull) tergantung pada kejadian itu sendiri dan psikologis individu. Semuanya melibatkan ego, sekumpulan abstraksi untuk proses persepsi, berpikir, dan reaksi terhadap eksternal dan internal rangsangan. Pada individu dengan ego yang berfungsi dengan tepat dapat beradaptasi seimbang dengan lingkungan internal dan eksternal. Pada individu dengan ego yang tidak berfungsi tepat, dapat timbul anxietas. Manifestasi perifer anxietas: - Diare - Dizziness, kepala terasa ringan, perasaan melayang - Hiperhidrosis - Hipertensi - Palpitasi - Midriasis - Istirahat kurang - Sinkop - Takikardi - Sensasi geli di ekstremitas - Tremor - Perut tidak nyaman - Poliuri, anyang-anyangan, urgensi
44
Ketakutan vs Kecemasan Anxietas adalah sinyal peringatan mengenai bahaya yang akan datang dan memungkinkan individu untuk melakukan perhitungan untuk menghadapi ancaman internal dan eksternal. Rasa takut juga merupakan sinyal peringatan yang sama. Namun, rasa takut merupakan respon terhadap ancaman yang diketahui, jelas, atau tidak dipertentangkan, sedangkan rasa cemas adalah respon terhadap ancaman yang tidak diketahui, internal, samar, atau dipertentangkan (conflictual). Anxietas patologis Sistem saraf otonom (SSO) Stimulasi SSO menyebabkan beberapa gejala: -
Kardiovaskular: takikardi
-
Muscular: sakit kepala
-
Gastrointestinal: diarea
-
Respirasi: takipnea
-
Peningkatan tonus simpatis
-
Adaptasi yang lampat terhadap stimulus berulang
-
Respon berlebihan terhadap stimulus sedang
Neurotransmitter
45
Terdapat 3 neurotransmitter utama yang berhubungan dengan anxietas, berdasarkan percobaan pada binatang dan respon terapi, yaitu norepinefrin (NE), serotonin, dan asam aminobitirat (GABA). a. Norepinefrin Gejala kronik yang dialami oleh pasien dengan gangguan cemas seperti serangan panik, insomnia, terkejut, dan pembangkitan otonom yang berlebihan, merupakan karakteristik dari peningkatan fungsi NE. Neuron sistem noradrenergik terletak terutama di lokus seruleus pons dan aksonnya menuju korteks serebri, sistem limbik, batang otak, dan korda spinalis. Eksperimen pada primata menunjukkan stimulasi pada lokus seruleus menghasilkan respon rasa takut. b. Kortisol Beberapa bentuk stres psikologis dapat meningkatkan CRH (corticotropin-releasing hormone),
peningkatan
sintesis
dan
sekresi
kortisol
dan
DHEA
(dehidroepiandrosterone). Kortisol berperan dalam mobilisasi dan pemeyediaan kembali simpanan energi, dan berkontribusi terhadap peningkatan kewaspadaan, perhatian terfokus, dan pembentukan memori; menghambat pertumbuhan dan sistem reproduksi; dan penahanan respon imun. Sekresi kortisol yang berlebihan dan menetap dapat menyebabkan efek samping yang serius, termasuk hipertensi, osteoporosis, imunosupresan, resistensi insulin, dislipidemia, diskoagulasi, aterosklerosis, dan penyakit kardiovaskular. c. Serotonin Tidak ada pola abnormalitas yang jelas mengenai fungsi 5-HT (reseptor serotonin) pada pasien dengan serangan panik dan anxietas. Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan antidepresan memiliki efek terapeutik pada beberapa gangguan panik, namun beberapa penelitian lain menunjukkan obat yang menyebabkan peningkatan sekresi serotonin mengakibatkan peningkatan kecemasan pada pasien dengan gangguan cemas. Neuron mayor serotonergik terletak di nukleus rafe pons. 46
d. GABA Peran GABA dalam gangguan cemas didukung oelh penelitian mengenai efikasi benzodiazepin (obat yang meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor GABA tipe A). Penggunaan obat ini pada pasien dengan gangguan cemas terbukti efektif. e. Galanin Penelitian pada tikus menunjukkan pemberian galanin secara sentral memodulasi tingkah laku yang berhubungan dengan anxietas.
KRITERIA DIAGNOSIS BERDASARKAN PPDGJ III F4 Gangguan neurotik, gangguan somatoform, dan gangguan terkait stress F40
Gangguan ansietas fobik F40.0 Agorafobia .00 Tanpa gangguan panik .01 Dengan gangguan panik F40.1 Fobia sosial F40.2 Fobia khas (terisolasi) F40.8 Gangguan anxietas fobik lainnya F40.9 Gangguan anxietas fobik YTT
F41
Gangguan anxietas lainnya F41.0 Gangguan panik (anxietas paroksismal episodik) F41.1 Gangguan anxietas menyeluruh F41.2 Gangguan campuran anxietas dan depresif F41.3 Gangguan anxietas campuran lainnya F41.8 Gangguan anxietas lainnya YDT 47
F41.9 Gangguan anxietas YTT
F40 GANGGUAN ANXIETAS FOBIK
Anxietas dicetuskan oleh situasi atau objek yang jelas (dari luar individu itu sendiri), yang sebenarnya tidak membahayakan. o Kondisi lain (dari diri individu itu sendiri) seperti perasaan akan adanya penyakit
(nosofobia)
dan
ketakutan
akan
perubahan
bentuk
badan
(dismorfofobia) yang tidak realistik dimasukkan dalam klasifkasi F45.2 (gannguan hipokondrik).
Sebagai akibatnya, objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi dengan perasaan terancam.
Secara subjektif, fisiologik dan tampilan prilaku, anxietas fobik tidak berbeda dari anxietas yang lain dan dapat dalam bentuk yang ringan sampai berat (serangan panik).
Anxietas fobik seringkali berbarengan dengan depresi. Suatu episode depresif seringkali memperburuk keadaan anxietas fobik yang sudah ada sebelumnya. Beberapa episode depresif dapat disertai anxietas fobik yang temporer, sebaliknya afek depresif seringkali menyertai berbagai fobia, khususnya agorafobia. Pembuatan diagnosis tergantung dari mana yang jelas-jelas timbul ledih dahulu dan mana yang lebih dominan pada saat pemeriksaan.
F40.0 Agorafobia Pedoman diagnostik Semua kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:
48
a. Gelaja psikosis, prilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau pikiran obsesif; b. Anxietas yang timbul harus terbatas pada (terutama terjadi dalam hubungan dengan) setidaknya dua dari situasi berikut: orang/keramaian, tempat umum, bepergian keluar rumah, dan bepergian sendiri; c. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol (penderita menjadi “house-bound”).
Karakter kelima: F40.00 Tanpa gangguan panik F40.01 Dengan gangguan panik
F40.1 Fobia sosial Pedoman diagnostik Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti: a. Gelaja psikosis, prilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau pikiran obsesif; b. Anxietas harus mendominasi atau terbatas pada situasi sosial tertentu (outside the family circle); c. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol. Bila terlalu sulit membedakan antara fobia sosial dengan agorafobia, hendaknya mengutamakan diagnosis agorafobia (F40.0).
F40.2 Fobia khas (terisolasi) Pedoman diagnostik
49
Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti: a. Gelaja psikosis, prilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau pikiran obsesif; b. Anxietas harus terbatas pada adanya objek atau situasi fobik tertentu (highly spesific situations); c. Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya. Pada fobia khas ini umumnya tidak ada gejala psikiatrik lain, tidak seperti halnya agorafobia dan fobia sosial.
F40.8 Gangguan anxietas fobik lainnya F40.9 Gangguan anxietas fobik YTT
F41
GANGGUAN ANXIETAS LAINNYA Manifestasi anxietas merupakan gejala utama dan tidak terbatas (not restricted) pada situasi lingkungan tertentu saja.
Dapat disertai gejala-gejala depresif dan obsesif, bahkan juga beberapa unsur dari anxietas fobik, asal saja jelas bersifat sekunder atau ringan.
F41.0 Gangguan panik (anxietas paroksismal episodik) Pedoman diagnostik Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila tidak ditemukan adanya gangguan anxietas fobik (F40). Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan anxietas berat (severe attack of autonomic anxiety) dalam masa kira-kira satu bulan; 50
a. Pada keadaan-keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya; b. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga sebelumnya (unpredictable situations); c. Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala anxietas pada periode di antara serangan-serangan panik (meskipun demikian, umunya dapat terjadi juga “anxietas antisipatorik”, yaitu anxietas yang terjadi setelah membayangkan sesuatu yang berbahaya terjadi).
F41.1 Gangguan anxietas menyeluruh Pedoman diagnostik Penderita harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya “free floating” atau mengambang); Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut: a. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk, sulit konsentrasi, dsb); b. Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai); c. Overaktifitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebardebar, sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering, dsb). Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan (reassurance) serta keluhan-keluhan somatik berulang yang menonjol. Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari), khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama Gangguan Anxietas Menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif (F32), gangguan anxietas fobik (F40), gangguan panik (F41.0), atau gangguan obsesif-kompulsif (F42) 51
F41.2 Gangguan campuran anxietas dan depresif Pedoman diagnostik Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, dimana masing-masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri. Untuk anxietas, beberapa gejala autonomik harus ditemukan walaupun tidak terus-menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran berlebihan. Bila ditemukan anxietas berat disertai depresi yang lebih ringan, maka harus dipertimbangkan kategori gangguan anxietas lainnya atau gangguan anxietas fobik. Bila ditemukan sindrom depresi dan anxietas yang cukup berat untuk menegakkan masing-masing diagnosis, maka kedua diagnosis tersebut harus dikemukakan, dan diagnosis gangguan campuran tidak dapat digunakan. Jika karena sesuatu hal hanya dapat dikemukakan satu diagnosis maka gangguan depresif harus diutamakan. Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stres kehidupan yang jelas, maka harus digunakan kategori gangguan penyesuaian (F43.2)
F41.3 Gangguan anxietas campuran lainnya Pedoman diagnostik Memenuhi kriteria gangguan anxietas menyeluruh (F41.1) dan juga menunjukkan (meskipun hanya dalam jangka pendek) ciri-ciri yang menonjol dari kategori gangguan F40-F49, akan tetapi tidak memenuhi kriterianya secara lengkap. Bila gejala-gejala yang memenuhi kriteria dari kelompok gangguan ini terjadi dalam kaitan dengan perubahan atau stres kehidupan yang bermakna, maka dimasukkan dalam kategori F43.2, gangguan penyesuaian.
F41.8 Gangguan anxietas lainnya YDT F41.9 Gangguan anxietas YTT 52
PENJELASAN TAMBAHAN F40.0 Agorafobia Agorafobia menunjukkan rasa takut atau kecemasan berkenaan dengan tempat atau situasi dimana meloloskan diri adalah hal yang sulit, dan memalukan. Contohnya: keramaian, pertokoan, jembatan, terowongan, bepergian dengan bus, kereta api, atau pesawat terbang, bioskop, atau ruangan kecil tertutup. Agorafobia mungkin merupakan bentuk fobia yang paling mencacatkan karena mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan individu diluar rumah, serta mengakibatkan sulitnya pasien mendaapt pengobatan. Pasien biasanya akan memaksa untuk ditemani setiap kali ia akan keluar rumah atau pada keadaan yang lebih berat pasien akan menolak keluar rumah. Prilaku ini dapat dipicu oleh perpecahan rumah tangga. Gejala depresif sering timbul pada agorafobia dan gangguan panik.
Perjalanan penyakit dan prognosis Sebagaian besar agorafobia diperkirakan disebabkan oleh gangguan panik. Ketika gangguan panik diobati, agorafobiapun ikut membaik. Agorafobia tanpa riwayat gangguan panik sering membatasi kemampuan (incapacitating) dan kronik. Depresi dan ketergantungan alkohol seringkali menyulitkan perjalanan penyakit agorafobia.
F41.0 Gangguan Panik Pasien dengan gangguan panik, 84%-nya memiliki agorafobia, 10-15% komorbid dengan gangguan depresif. Diagnosis gangguan panik menurut DSM-IV agak berbeda dengan PPDGJ III seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Menurut DSM-IV, gangguan panik memiliki dua kategori diagnostik, yaitu gangguan panik tanpa agorafobia dan gangguan panik dengan agorafobia, dan keduanya membutuhkan adanya serangan panik. Kriteria serangan panik menurut DSM-IV-TR adalah rasa takut dan tidak nyaman yang intens pada periode
53
tertentu, dimana empat atau lebih gejala berikut berkembang dengan tiba-tiba dan mencapai puncak dalam 10 menit: 1. Palpitasi, pukulan jantung, atau percepatan denyut jantung 2. Berkeringat 3. Gemetaran 4. Sensasi sesak napas 5. Rasa tercekik 6. Nyeri dada 7. Mual atau distress abdomen 8. Pusing, melayang, unsteady, atau pingsan 9. Derealisasi (perasaan tidak realistis) atau depersonalisasi (being detached from oneself) 10. Takut akan hilang kontrol atau menjadi gila 11. Takut mati 12. Parestesia (kebas) 13. Kedinginan atau kemerahan Serangan panik ini secara umum tidak diharapkan, namun daapt pula merupakan serangan yang diharapkan atau diperkirakan. Serangan umumnya berlangsung 20-30 menit dan jarang lebih dari satu jam. Serangan panik yang pertama biasanya spontan dan biasanya tidak diharapkan dapat memenuhi kriteria diagnostik DSM-IV-TR. Klinisi juga harus menyakinkan faktor apa yang memicu serangan panik pasien, seperti cafein, alkohol, nikotin, pola makan dan tidur yang tidak biasa, dan lingkungan tertentu. Perlu diketahui, serangan panik, selain terjadi di gangguan panik, dapat pula timbul pada fobia spesiifk dan fobia sosial. Gejala mental yang utama gangguan panik yaitu rasa takut yang ekstrem dan firasat akan datangnya malapetaka bahkan ajalnya. Namun pasien biasanya tidak bisa menyebutkan
sumber
rasa takutnya;
mereka
mungkin
kebingungan
dan
sulit
berkonsentrasi. Pasien sering berusaha meninggalkan situasi yang mencoba menolongnya. Diantara serangan, pasien mengalami antisipatori anxietas mengenai serangan berikutnya. Antisipatori anxietas ini akan sulit dibedakan dari anxietas menyeluruh. 54
Keluhan palpitasi dan nyeri dada diyakini oleh pasien sebagai tanda bahwa ia akan meninggal. Pasien biasanya akan ditemukan di unit gawat darurat sebagai pasien muda, normal pada pemeriksaan fisik, namun bersikeras bahwa dirinya akan meninggal oleh serangan
jantung.
Daripada
memikirkan
hipokondriasis,
dokter
seharusnya
mempertimbangkan gangguan panik.
Perjalanan penyakit dan prognosis Onset gangguan panik biasanya pada remaja akhir atau dewasa awal. Beberapa data menyebutkan terjadi peningkatan stresor psikologis berkenaan dengan onset gangguan panik, walaupun belum ada sresor psikososial yang pasti terindentifikasi. Pasien biasanya menyembunyikan serangan panik yang dialaminya, dan biasanya keluarga dan temantemannya akan merasakan adanya perubahan prilaku. Sekitar 30-30% pasien terlihat bebas gejala pada pengamatan yang lama; sekitar 50% memiliki gejala ringan yang tidak memengaruhi kehidupan pasien secara signifikan; dan sekitar 10-20% tetap memiliki gejala yang signifikan. Walaupun pasien cendrung tidak membicarakan mengenai bunuh diri, namun mereka berisiko tinggi melakukan bunuh diri. Pasien dengan fungsi premorbid yang baik dan durasi gejala singkat cendrung memiliki prognosis baik.
Terapi gangguan panik dan agorafobia Terapi yang paling efektif adalah dengan farmakoterapi dan terapi kognitif. Peran serta keluarga sangat penting, penerimaan keluarga terhadap kondisi pasien dan kesulitan psikososialnya membantu mempercepat penyembuhan. 1. Farmakoterapi Secara umum, pengalaman menunjukkan SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor) dan klomipramin lebih superior dibandingkan benzodiazepine, MAOI (monoamine oxidase inhibitor), dan trisiklik dan tetrasiklik dalam hal efektivitas dan toleransi pasien terhadap efek sampingnya. Clonazepam dapat digunakan pada pasien pada situasi antisipatif dimana panik mungkin dapat terjadi. 55
Ketika terapi farmako berhasil, maka harus dilanjutkan selama 8-12 bulan. 30-90% pasien dengan gangguan panik yang terapinya telah berhasil mengalami kekambuhan ketika obatnya diputus. 2. Terapi kognitif Fokus terapi ini adalah instruksi tentang kepercayaan pasien yang salah (terpusat pada kesalahan interpretasi pasien terhadap sensasi fisik ringan yang dialaminya sebagai serangan panik, ajal, atau kematian) dan informasi mengenai serangan panik (termasuk kapan terjadinya, durasinya singkat, dan tidak mengancam jiwa). Kombinasi antara farmakoterapi dan terapi prilaku lebih baik, daripada penggunaan secara tunggal.
Fobia Fobia berarti takut yang berlebihan pada suatu objek, keadaan sekitar, atau situasi tertentu. Ketika pasien terpapar oleh situasi atau objek tertentu, pasien mengalami anxietas berat. Pasien akan berusaha menghindari stimulus fobik, bahkan beberapa usaha penghindaran ini menjadi masalah. Sepertiga pasien fobia juga mengalami depresi. Fobia spesifik adalah rasa takut yang kuat, menetap, tidak rasional terhadap suatu objek atau situasi; Contohnya: terbang, ruangan tertutup, ketinggian, badai, binatang tertentu, injeksi, atau darah. Pada PPDGJ III, fobia spesifik disebut sebagai sebagai fobia khas. Dapat memicu respon anxietas, Sedangkan fobia sosial adalah rasa takut yang kuat dan menetap terhadap suatu situasi dimana keadaan yang memalukan dapat terjadi, situasi dimana ia merasa diamati dengan seksama oleh orang lain. Contohnya: berbicara depan umum, menulis, makan, atau minum depan umum, atau berbincang-bincang. Ketakutan akan penghinaan dan rasa malu dapat bermanifestasi sebagai anxietas (wajah memerah, berkeringat).
Perjalanan penyakit dan prognosis 56
Fobia spesifik memiliki onset bimodal: puncak pada anak-anak untuk fobia binatang, fobia lingkungan natural, blood-injection-injury fobia; puncak pada dewasa awal untuk fobia lainnya seperti fobia situasional. Data mengenai perjalanan penyakit dan prognosis fobia spesifik dan fobia sosial terbatas. Beberapa data yang tersedia menyatakan kebanyakan fobia spesifik yang mulai pada saat anak-anak dan menetap hingga dewasa akan terus menetap selama beberapa tahun. Keparahan gejala relatif konstan. Onset fobia sosial cendrung pada masa anak-anak akhir atau remaja awal. Fobia sosial cendrung menjadi kronik dan dapat mengacaukan kehidupan pasien termasuk mengacaukan pencapaian di sekolah atau pencapaian akademis, mengganggu pelaksanaan pekerjaan dan perkembangan sosial.
Terapi a. Terapi prilaku Terapi prilaku merupakan terapi yang paling efektif untuk fobia. Kunci keberhasilan terapi ini adalah komitmen pasien terhadap terapi. Identifikasi masalah yang jelas, dan tersedianya strategi alternatif untuk mengatur perasaan. Tekhnik yang paling umum digunakan adalah desensitisasi sistemik. Dengan metode ini pasien dipaparkan secara serial terhadap stimulus yang memicu kecemasan dengan bertingkat mulai dari yang minimal hingga yang paling menakutkan. Melalui penggunaan antianxietas, hipnosis, dan instruksi relaksasi otot, pasien diajarkan menginduksi dirinya untuk tenang secara mental dan fisik. Setelah pasien mahir, selanjutnya pasien diajarkan untuk menginduksi relaksasi saat menghadapi stimulus yang memprovokasi kecemasannya. Setelah pasien menjadi desensitisasi terhadap stimulus ringan, selanjutnya desensitisasi dilakukan pada stimulus yang lebih berat hingga akhirnya stimulus yang paling mencemaskan dapat dihadapi pasien tanpa efek tersiksa. b. Terapi farmakologi Pada fobia spesifik dapat diberikan benzodiazepine.
57
Pada fobia sosial, kebenyakan klinisi, mempertimbangkan SSRI sebagai terapi farmako lini pertama. Terapi lainnya dengan bezodiazepine, venlafaxine, dan buspirone. Kombinasi antara farmakoterapi dan terapi prilaku lebih baik, daripada penggunaan secara tunggal.
58
OBSESIF KONFULSIF Definisi Obsesi adalah pikiran, perasaan, ide, atau sensasi yang mengganggu (intrusive). Kompulsi adalah pikiran atau perilaku yang disadari, dilakukan dan direkuren, seperti menghitung, memeriksa atau menghindari. Obsesi meningkatkan kecemasan seseorang, sedangkan konpulsi menurunkan kecemasan seseorang. Tetapi, jika seseorang memaksa untuk melakukan suatu kompulsi, kecemasan adalah meningkat. Seseorang dengan gangguan obsesif-konpulsif biasanya menyadari irasionalitas dari obsesi dan merasakan bahwa obsesi dan kompulsi sebagai ego-distonik. Gangguan obsesif-konpulsif dapat merupakan gangguan yang menyebabkan ketidakberdayaan, karena obsesif dapat menghabiskan waktu dan dapat mengganggu secara bermakna pada rutinitas normal seseorang, fungsi pekerjaan, aktivitas social yang biasanya atau hubungan dengan teman dan anggota keluarga.
Etiologi Faktor Biologis: Neurotransmitter dari banyak penelitian didapatkan
hipotesis bahwa suatu
disregulasi serotonin adalah terlibat di dalam pembentukan gejala obsesi dan kompulsi dari gangguan. Data menunjukkan obat serotonergik adalah lebih efektif dibandingkan obat yang mempengaruhi system neurotransmitter lainnya. Tetapi, apakah serotonin terlibat di dalam penyebab gangguan obsesif-konpulsif adalah tidak jelas pada saat ini. Penelitian klinis telah mengukur konsentrasi metabolic serotonin sebagai contoh, 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA) di dalam cairan serebrospinalis, dan afinitas serta jumlah tempat ikatan trombosit pada pemberian imipramin (yang berkaitan dengan tempat ambilan kembali serotonin) dan telah melaporkan berbagai temuan pengukuran tersebut pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif.
59
Penelitian pencitraan otak dari berbagaipenelitian pencitraan otak fungsional contohnya, Tomografi Emisi Positron (PET, Positron Emission Tomography)- telah menemukan peningkatan aktivitas (sebagai contoh, metabolism dan aliran darah) di lobus frontalis, ganglia basalis (khususnya kaudata), dan singulum pada pasien dengan gangguan obsesif-konpulsif. Baik Tomografi computer (CT) dan pencitraan resonansi magnetic (MRI) telah menemukan adanya penurunan ukuran kaudata secara bilateral pada pasien dengan gangguan obsesif-konpulsif. Genetic penurunan gangguan obsesif-konpulsif memiliki suatu komponen genetika yang bermakna. Penelitian kesesuaian pada anak kembar untuk gangguan obsesif-konpulsif telah secara konsisten menemukan adanya angka kesesuaian yang lebih tinggi secara bermakna pada kembar monozigot dibandingkan kembar dizigotik. Penelitian pada keluarga pasien obsesif konpulsif telah menemukan bahwa 35% sanak saudara derajat pertama pasien gangguan obsesif konpulsif jug menderita gangguan. Data biologis lainnya penelitian elektrofisiologis, penelitian elektroensefalogram (EEG) tidur, dan penelitian neuroendokrin telah menemukan data yang menyatakan adanya kesamaan antara gangguan depresi dan gangguan obsesif konpulsif. Factor Perilaku objek dan pikiran yang sebelumnya netral menjadi stimuli yang terbiasakan yang mampu menimbulkan kecemasan atau gangguan. Kompulsi dicapai dalam cara yang berbeda tindakan tertentu menurunkan kecemasan yang berkaitan dengan pikiran obsesional. Jadi, strategi menghindari yang aktif dalam bentuk perilaku konpulsi atau ritualistic dikembangkan untuk mengendalikan kecemasan. Secara bertahap, karena manfaat perilaku tersebut menurunkan dorongan sekunder yang menyakitkan (kecemasan), strategi menghindar menjadi terfiksasi sebagai pola prilaku konpulsif yang dipelajari. Factor Psikososial: •
Factor kpribadian sebagian besar pasien gangguan obsesif konpulsif tidak memiliki gejala konpulsif pramorbid; dengan demikian, sifat kepribadian tersebut tidak diperlukan atau tidak cukup untuk perkembangan gangguan obsesif-konpulsif. 60
Hanya kira-kira 15-35% pasien gangguan obsesif-konpulsif memiliki sifat obsesional pramorbid. •
Factor psikodinamik Sigmund Freud menjelaskan 3 mekanisme pertahanan psikologis utama yang menentukan bentuk dan kualitas gejala dan sifat karakter obsesif-konpulsif; isolasi, meruntuhkan (undoing) dan pembentukan reaksi. o Isolasi mekanisme pertahanan yang melindungi seseorang dari afek dan impuls yang mecetuskan kecemasan. Jika terjadinya isolasi, afek dan impuls yang didapatkan adalah dipisahkan dari komponen ideasional dan dikeluarkan dari kesadaran. Jika isolasi terjadi sepenuhnya, impuls dan afeks yang terkait seluruhnya terepresi, dan pasien secara sadar hanya menyadari gagasan yang tidak memiliki afek yang berhubungan dengannya. o Meruntuhkan (undoing) suatu tindakan konpulsif yang dilakukan dalam usaha untuk mencegah atau meruntuhkan akibat yang secara irasional akan dialami pasien akibat pikiran atau impulse obsesional yang menakutkan. o Pembentukan reaksi menyebabkan pembentukan sifat karakter, bukannya gejala. Pembentukan reaksi melibatkan pola prilaku yang bermanifestasi dan sikap yang secara sadar dialami yang jelas berlawanan dengan impuls dasar. Sering kali pola yang terlihat oleh pengamatan adalah sangat dilebih-lebihkan dan tidak sesuai. o Factor psikodinamika lainnya jika pasien dengan obsesif-konpulsif merasa ternacam oleh kecemasan tentang pembalasan dendam atau kehilangan objek cinta yang penting, mereka mundur dari posisi oedipaldan beregresi ke stadium emosional yang sangat ambivalen yang berhubungan dengan fase anal. Ambivalensi adalah dihubungkan dengan menyelesaikan fusi yang halus antara dorongan seksual dan agresif yang karakteristik dari fase oedipal. Adanya benci dan cinta secara bersama-sama kepada orang yang sama menyebabkan pasien dilumpuhkan oleh keragu-raguan dan kebimbangan. 61
Satu ciri yang melekat pada pasien dengan gangguan obsesif-konpulsif adalah derajat di mana mereka terpaku dengan agresi dan kebersihan, baik secara jelas dalam isi gejala mereka atau dalam hubungan yang terletak dibelakangnya. •
Ambivalensi akibat langsung dan perubahan dalam karakteristik kehidupan impuls. Hal ini adalah cirri yang penting pada anak normal selama fase perkembangan analsadistik; yaitu anak merasakan cinta dan kebencian kepada sesuatu objek.
•
Pikiran magis regresi yang mengungkapkan cara piker awal, ketimbang impuls; yaitu fungsi ego, dan juga fungsi id, dipengaruhi oleh regresi. Yang melekat pada pikiran magis adalah pikiran kemahakuasaan.
Gambaran Klinis Obsesif dan kompulsi memiliki ciri tertentu secara umum yaitu: a. Suatu gagasan atau impuls yang memaksakan dirinya secara bertubi-tubi dan terus menerus ke dalam kesadaran seseorang. b. Suatu perasaan ketakutan yang mencemaskan yang menyertai manifestasi sentral dan sering kali menyebabkan orang melakukan tindakan kebalikan melawan gagasan atau impuls awal. c. Obsesi dan kompulsi adalah asing ego (ego-elian); yaitu dia dialami sebagai asaing bagi pengalaman seseorang tentang dirinya sendiri sebagai makhluk psokologis. d. Tidak peduli bagaimana jelas dan memaksanya obsesi atau konpulsi tersebut, orang biasanya menyadarinya sebagai mustahil dan tidak masuk akal. e. Orang menderita akibat obsesi konpulsi biasanya merasakan sesuatu dorongan yang kuat untuk menahannya.
62
Tetapi, kira-kira separuh dari semua pasien memiliki pertahanan yang yang kecil terhadap konpulsi. Kira-kira 80% dari semua pasien percaya bahwa konpulsi adalah irasional. Kadang-kadang obsesi adalah kunpulsi menjadi pegangan (overvalued) bagi pasien sebagai contoh, pasien mungkin bertahan bahwa kebesihan konpulsi adalah benar secara moral, kendatipun mereka kehilangan pekerjaan karena waktu yang digunakan untuk membersihkan. Gejala pasien individual mungkin bertumpang tindih dan berubah dengan berjalannya waktu, tetapi gangguan obsesif konpulsif memiliki empat pola gejala utama. Pertama :
suatu obsesi akan kontaminasi, iikuti oleh mencuci atau disertai oleh
penghindarann obsesif terhadap objek yang kemungkinan terkontaminasi. Walaupun kecemasan adalah respons emosional yang paling sering terhadap objek yang ditakuti, rasa malu dan kejijikan yang obsesif juga sering ditemukan. Pasien dengan obsesif kontaminasi biasanya percaya bahwa kontaminasi adalah ditularkan dari objek ke objek atau orang ke orang oleh kontak ringan. Kedua : obsesi keragu-raguan, diikuti oleh pengecekan yang konpulsi. Obsesi seringkali melibatkan suatu bahaya kekerasan (seperti lupa mematikan kompor, atau tidak mengunci pintu). Pasien memiliki keragu-raguan terhadap diri sendiri (self-doubt) yang obsesional, saat mereka selalu merasa bersalah karena melupakan atau melakukan sesuatu. Ketiga : pola dengan semata-mata pikiran obsesional yang mengganggu tanpa suatu konpulsi. Obsesi tersebut biasanya berupa pikiran berulang akan suatu tindakan seksual atau agresi yang dicela oleh pasien. Keempat : kebutuhan akan simetrisitas atau ketepatan, yang dapat menyebabkan perlambatan konpulsi. Pasien secara harfiah menghabiskan waktu berjam-jamm untuk makan atau mencukur wajahnya.
Diagnosis Criteria diagnosis menurut DSM-IV A. Salah satu obsesi atau konpulsi 63
Obsesi seperti yang didefinisikan oleh (1), (2), (3), dan (4): (1.) Pikiran, impulse atau bayangan-bayangan yang recurrent dan persisten yang dialami, pada suatu saat selama gangguan, sebagai intrusive dan tidak sesuai, dan menyebabkan kecemasan dan penderitaan yang jelas. (2.)Pikiran, impulse atau bayangan-bayangan tidak semata-mata kekhawatiran yang berlebih tentang masalah kehidupan yang nyata. (3.) Orang berusaha untuk mengabaikan atau menekan pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan tersebut untuk menetralkannya dengan pikiran atau tindakan lain. (4.) Orang menyadari bahwa pikran, impuls, atau bayangan-bayangan obsesif adalah keluar dari pukirannya sendiri (tidak disiapkan dari luar seperti penyisipan pikiran). Kompulsi seperti yang didefinisikan oleh (1) dan (2) (1.) Perilaku (misalnya mencuci tangan, mengurutkan atau memeriksa) atau tindakan mental (misalnya berdo’a, menghitung, mengurangi kata-kata dalam hati) yang berulang yang dirasanya mendorong untuk melakukannya sebagai respons terhadap suatu obsesi, atau menurut dengan aturan yang harus dipatuhi secara kaku. (2.)Perilaku atau tindakan mental ditujukan untuk mencegah atau menurunkan penderitaan atau mencegah sesuatu kejadian atau situasiyang menakutkan, tetapi perilaku atau tindakan mental tersebut tidak dihubungkan dengan cara yang realistic dengan apa mereka anggap untuk menetralkan atau mencegah, atau jelas berlebihan. B. Pada suatu waktu selama perjalanan gangguan, orang telah menyadari bahwa obsesi atau konpulsi adalah berlebihan atau tidak beralasan. Catatan : tidak berlaku untuk anak-anak. C. Obsesi atau konpulsi menyebabkan penderitaan yang jelas; menghabiskan waktu (menghabiskan lebih dari 1 jam sehari); atau secara bermakna mengganggu 64
rutinitas normal orang, fungsi pekerjaan (atau akademik), atau aktivitas atau hubungan social yang biasanya. D. Jika terdapat gangguan Aksisi I lainnya, isi obsesi atau konpulsi tidak terbatas padanya (misalnya preokupasi dengan makanan jika terdapat gangguan makan; menarik rambut jika terdapat trikotilomania; permasalahan pada penampilan jika terdapat gangguan dismorfik tubuh; preokupasi dengan obat jika terdapat suatu penyakit serius yang jika terdapat hipokondriasis, preokupasi (dengan dorongan atau fantasi seksual jika terdapat parafilia; atau perenungan bersalah jika terdapat gangguan depresif berat). E. Tidak disebabkan oleh efek langsung suatu zat (misalnya, obat yang disalah gunakan, medikasi) atau kondisi medis umum. Sebutkan jika: Dengan tilikan buruk : jika selama sebagian besar waktu selama episode Terakhir, orang tidak menyadari bahwa obsesi dan konpulsi adalah berlebihan atau beralasan. Pedoman Diagnosis menurut PPDGJ III
Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif konpulsif atau tindakan konpulsif, atau kedua-duanya, harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya 2 minggu berturut-turut.
Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau mengganggu aktivitas penderita.
Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut: o Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri. o Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita.
65
o Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut diatas bukan merupakan hal yang member kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari ketegangan atau anxietas, tidak dianggap sebagai kesenangan seperti dimaksud diatas). o Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive).
Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif, dengan
depresi. Penderita gangguan obsesif konpulsif sering kali juga menunjukkan gejala depresif, dan sebaliknya penderita gangguan depresi berulang dapat menunjukkan pikiran-pikiran obsesif selama episode depresifnya. Dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut, meningkat atau menurunnya gejala depresif umumnya dibarengi secara parallel dengan perubahan gejala obsesif. Bila terjadi episode akut dari gangguan tersenut, maka diagnosis diutamakan dari gejala-gejala yang timbul lebih dahulu. Diagnosis gangguan obsesif-konpulsif ditegakkan hanya bila tidak ada gangguan depresif pada saat gejala obsesif kompulsif tersebut timbul. Bila dari keduanya tidak ada yang menonjol, maka lebih baik menggenggam depresi sebagai diagnosis primer. Pada gangguan menahun, maka prioritas diberikan pada gejala yang paling bertahan saat gejala yang lain menghilang.
Gejala obsesif “sekunder” yang terjadi pada gangguan skizofrenia, sindrom
Tourette, atau gangguan mental organic, harus dianggap sebagai bagian dari kondisi tersebut. Gangguan obsesif konpulsif ini dibagi menjadi 3 yaitu: F42.0 Predominan Pikiran Obsesif atau Pengulangan Pedoman Diagnostik Keadaan ini dapat berupa: gagasan, bayangan pikiran, atau impuls (dorongan perbuatan), yang sifatnya mengganggu (ego alien).
66
Meskipun isi pikiran tersbut berbeda-beda, umumnya hampir selalu menyebabkan penderitaan (distress). F42.1 Predominan Tindakan Kompulsi [Obsessional Rituals] Pedoman Diagnostik
Umumnya tindakan konpulsif berkaitan dengan: Kebersihan (khususnya
mencuci tangan), memeriksa berulang untuk meyakinkan bahwa suatu situasi yang dianggap berpotensi bahaya tidak terjadi, atau masalah kepribadian dan keteraturan. Hal tersebut dilator-belakangi perasaan takut terhadap bahaya yang mengancam dirinya atau bersumber dari dirinya, dan tindakan ritual tersebut merupakan ikhtiar simbolis dan tidak efektif untuk menghindari bahaya tersebut.
Tindakan ritual konpulsif tersebut menyita banyak waktu sampai beberapa
jam dalam sehari dan kadang-kadang berkaitan dengan ketidak-mampuan mengambil keputusan dan kelambanan. F42.2 Campuran Pikiran dan Tindakan Obsesif
Kebanyakan dari penderita obsesif konpulsif memperlihatkan pikiran
obsesif serta tindakan konpulsif.
Diagnosis ini digunakan dimana kedua hal tersbut sama-sama menonjol,
yang umumnya memang demikian.
Apabila salah satu memang jelas dominan, sebaiknya dinyatakan dalam
diagnosis dua diatas. Hal ini berkaitan dengan respons yang berbeda terhadap pengobatan. Tindakan konpulsif lebih respon terhadap terapi perilaku. F42.8. Gangguan Obsesif-Konpulsif Lainnya F42.9. Gangguan Obsesif-Konpulsif YTT Pemeriksaan Status Mental Pasien dengan gangguan obsesif-konpulsif menunjukkan gejala gangguan depresif. Gejala tersebut ditemukan pada kira-kira 50% pasien dari semua pasien. Beberapa pasien
67
gangguan obsesif-konpulsif memiliki sifat karakter yang mengarah pada gangguan kepribadian obsesif-konpulsif, tetapi sebagian besar tidak.
Terapi Dalam mentatalaksana pasien dengan obsesif konpulsif dilakukan dengan beberapa cara yaitu: a. Farmakologis untuk pengobatan farmakologi obat yang biasa digunakan adalah Chlomipramine atau obat golongan SSRI. b. Terapi perilaku c. Psikoterapi
REAKSI DISOSIATIF 68
Reaksi disosiatif adalah suatu kelompok gangguan dengan gejala utama kehilangan seluruh atau sebagian fungsi integrasi normal (di bawah kesadaran) antara ingatan masa lalu, kesadaran identitas, dan penginderaan segera, serta control terhadap gerakan tubuh. Yang termasuk gangguan disosiatif (konversi) adalah: -
Amnesia disosiatif
-
Fugue disiosiatif
-
Stupor disiosiatif
-
Trans / kesurupan
-
Gangguan motorik disiosiatif
-
Konvulsi disiosiatif
-
Anastesia dan kehilangan sensoris
-
Gangguan disiosiatif campuran
-
Gangguan disiosiatif lainnya.
Pedoman Diagnostik •
Diagnosis tergantung pada evaluasi terhadap hubungan antara :
(a) Bentuk, isi, dan beratnya gejala; (b) Riwayat sebelumnya dan corak kepribadian; dan (c) Kejadian, situasi yang “stressful”, atau krisis kehidupan. •
Adanya faktor ketiga diatas (c) harus jelas dan bukti yang kuat bahwa gangguan
tersebut tidak akan terjadi seandainya tidak mengalami hal tersebut. •
Manifestasi dari gangguan bervariasi, dan mencakup afek depresif, enxietas,
campuran anxietas-depresif, gangguan tingkah laku, disertai adanya disabilitas dalam 69
kegiatan rutin sehari-hari. Tidak ada satupun dari gejala tersebut yang spesifik untuk mendukung diagnosis. •
Onset biasanya terjadi dalam 1 bulan setelah terjadinya kejadian yang “stressful”,
dan gejala-gejala biasanya terjadi bertahan melebih 6 bulan, kecuali dalam hal reaksio depresif berkepanjangan. •
Untuk diagnosis pasti akan hal-hal dibawh ini harus ada :
(a) Gambaran klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang tercantum pada F44.Misalnya F44.0 Amnesia Disosiatif). (b) Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala berikut; (c) Bukti adanya penyebab psikologis, dalam bentuk hubungan kurun waktu yang jelas dengan problem dan kejadian-kejadian yang “stressful” atau hubungan interpersonal yang terganggu (meskipun hal tersebut disangkal oleh penderita). Amnesia Disosiatif Pedoman Diagnostik •
Ciri utama adalah hilangnya daya ingat, biasanya mengenai kejadian penting yang
baru terjadi (selective), yang bukan disebabkan oleh gangguan mental organic dan selalu luas untuk dapat dijelaskan atas dasar kelupaan yang umum terjadi atau atas dasar kelelahan. •
Diagnosis pasti memerlukan :
(a) Amnesia, baik total atau parsial, mengenai kejadian yang “stressful” atau traumatic yang baru terjadi (hal ini mungkin hanya dapat dinyatakan bila ada saksi yang memberi informasi. (b) Tidak ada gangguan mental organik, intoksikasi atau kelelahan berlebihan (sindrom amnestik organik, F04, F1x.6). •
Yang paling sulit dibedakan adalah “amnesia buatan” yang disebabkan oleh
simulasi secara sadar (malingering). Untuk itu penilaian secara rinci dan berulang mengenai kepribadian premorbid dan motivasi diperlukan. Amnesia buatan (conscious 70
simulation of amnesia) biasanya berkaitan dengan problema yang jelas mengenai keuangan, bahaya kematian dalam peperangan, atau kemungkinan hukuman penjara atau hukuman mati. Fugue Disosiatif Pedoman Diagnostik •
Untuk diagnosis pasti harus ada :
(a) Ciri-ciri amnesia disosiatif (F44.0); (b) Melakukan perjalanan tertentu melampaui hal yang umum dilakukannya seharihari; dan (c) Kemampuan mengurus diri yang dasar tetap ada (makan, mandi, dan sebagainya) dan melakukan interaksi sosial sederhana dengan orang-orang yang belum dikenalnya (misalnya membeli karcis atau bensin, menanyakan arah, memesah makanan). •
Harus dibedakan dari “postictal fugue” yang terjadi setelah serangan epilepsi lobus
temporalis, biasanya dapat dibedakan dengan cukup jelas atas dasar riwayat penyakitny, tidak adanya problem atau kejadian yang “stressful”, dan kurang jelasnya tujuan (fragmented) berkepergian serta kegiatan dari penderita epilepsi tersebut. Stupor Disosiatif Pedoman Diagnostik •
Untuk diagnosis harus ada :
(a) Stupor, sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan-gerakan volunteer dan respon normal terhadap rangsangan luar seperti misalnya cahaya, suara, dan perabaan (sedangkan kesadaran tidak hilang); (b) Tidak ditemukan adanya gerakan gangguan fisik ataupun gangguan jiwa lain yang dapat menjelaskan keadaan stupor tersebut; (c) Adanya problem atau kejadian-kejadian baru yang “stressful” (psychogenic causation). •
Harus dibedakan dari stupor katatonik (pada skizofrenia), dan stupor depresif atau
manik (pada gangguan afektif, berkembang sangat lambat, sudah jarang ditemukan). 71
Gangguan Trans dan Kesurupan Pedoman Diagnostik •
Gangguan ini menunjukkan adanya kehilangan sementara aspek penghayatan akan
identitas diri dan kesadaran terhadap lingkungannya; dalam beberapa kejadian, individu tersebut berprilaku seakan-akan dikuasai oleh kepribadian lain, kekuatan gaib, malaikat atau “kekuatan lain”.. •
Hanya gangguan trans yang “involunter” (diluar kamauan individu) dan bukan
merupakan aktivitas yang biasa, dan bukan merupakan kegiatan keagamaan ataupun budaya, yang boleh dimasukkan dalam pengertian ini. •
Tidak ada penyebab organic (misalnya, epilepsi lobus temporalis, cedera kepala,
intoksikasi zat psikoaktif) dan bukan bagian dari gangguan jiwa tertentu (misalnya, skizofrenia, gangguan kepribadian multiple). •
Bentuk yang paling umum dari gangguan ini adalah ketidak mampuan untuk
menggerakkan seluruh atau sebagian dari anggota gerak (tangan atau kaki). •
Gejala tersebut seringkali menggambarkan konsep dari penderita mengenai
gangguan fisik yang berbeda dengan prinsip fisiologik maupun anatomik. Konvulsi Disosiatif •
Konvulsi disosiatif (pseudo seizures) dapat sangat mirip dengan kejang epileptic
dalam hal gerakan-gerakannya, akan tetapi sangat jarang disertai lidah tergigit, luka serius karena jatuh saat serangan dan mengompol. Juga tidak dijumpai kehilangan kesadaran atau hal tersebut diganti dengan keadaan seperti stupor atau trans. Anestesia dan Kehilangan Sensorik Disosiatif •
Gejala anestesi pada kulit seringkali mempunyai batas-batas yang tegas
(menggambarkan
pemikiran
pasien
mengenai
fungsi
tubuhnya
dan
bukan
menggambarkan kondisi klinis sebenarnya. •
Dapat pula terjadi perbedaan antara hilangnya perasaan pada berbagai jenis
modalitas peng-inderaan yang tidak mungkin disebabkan oleh kerusakan neurologist, misalnya hilangnya perasaan dapat disertai dengan keluhan parestesia. 72
•
Kehilangan penglihatan jarang bersifat total, lebih banyak berupa gangguan
ketajaman penglihatan, kekaburan atau “tunnel vision” (area lapangan pandangan sama, tidak tergantung pada perubahan jarak mata dari titik focus). Meskipun ada gangguan penglihatan, mobilitas penderita dan kemampuan motoriknya seringkali masih baik. •
Tuli disosiatif dan anosmia jauh lebih jarang terjadi dibandingkan dengan hilang
rasa dan penglihatan.
73
Reaksi Terhadap Stress Berat dan Gangguan Penyesuaian Karakteristik dari kategori ini adalah tidak hanya di atas identifikasi dasar simtomatologi dan perjalanan penyakit, akan tetapi juga atas dasar salah satu dari dua faktor pencetus: -
Suatu stress kehidupan yang luar biasa, yang menyebabkan reaksi stress akut atau
-
Suatu perubahan penting dalam kehidupan, yang menimbulkan situasi tidak nyaman yang berkelanjutan, dengan akibat terjadi suatu gangguan penyesuaian.
Etiologi Respon subyektif terhadap trauma lebih berperan daripada beratnya stress. Faktor predisposisi yang membuat orang menjadi rentan adalah: a. Trauma psikis masa kanak-kanak b. Sifat gangguan kepribadian c. System pendukung yang tidak adekuat d. Kerentanan genetic e. Perubahan hudup yang penuh stress f. Persepsi lokus control eksternal, bukan internal g. Penggunaan alcohol yang baru
Manifestasi Klinis
74
Gambaran Klinis utama adalah pengalaman berulang peristiwa yang menyakitkan, suatu pola menghindar dan kekakuan emosional, serta kesadaran yang berlebihan yang hamper menetap. Karakteristik dari kategori ini tidak hanya identifikasi atasidentifikasi dasar simptomatologi dan perjalanan penyakit, akan tetapi juga atas dasar salah satu dari faktor pencetus: -
Suatu stress kehidupan yang luar biasa, yang menyebabkan reaksi stress akut atau
-
Suatu perubahan penting dalam kehidupan, yang menimbulkan situasi tidak nyaman yang berkelanjutan, dengan akibat terjadi suatu gangguan penyesuaian. Gangguannya merupakan konsekuensi langsung dari stress akut atau stress berat. Stress yang berkelanjutan dan tidak nyaman merupakan faktor utama penyebab
terjadinya, tanpa stress berat, maka kejadian ini tidak akan terjadi. Gangguan ini merupakan gangguan respon maladaptive terhadap stress berat dan berkelanjutan sehingga menimbulkan gangguan sosialnya.
Diagnosis -
Harus ada kaitan waktu kejadian yang jelas antara terjadinya pengalaman stressor luar biasa (fisik atau mental) dengan onset dari gejala, biasanya setelah beberapa menit atau segera setelah kejadian.
-
Selain itu ditemukan gejala-gejala: o Terdapat gambaran gejala campuran yang biasanya berubah-ubah selain gejala permulaan berupa kejadian terpaku (daze), semua hal berikut dapat terlihat: depresi, ansietas, kecemasan, kemarahan, kecewa, overaktivitas, dan penarikan diri. Akan tetapi tidak satupun dari gejala tersebut yang mendominasi gambaran klinisnya untuk waktu yang lama. 75
o Pada kasus-kasus yang dapat dialihkan dari lingkup stresornya, gejalagejala dapat menghilang dengan cepat (dalam beberapa jam); dalam hal di mana stress menjadi berkelanjutan atau tidak dapat dialihkan, gejala-gejala biasanuya mereda setelah24-48 jam dan biasanya hamper menghilang setelah 3 hari. -
Diagnosis ini tidak boleh digunakan untuk keadaan kambuhan mendadak dari gejala-gejala pada individu yang sudah menunjukkan gangguan psikiatrik lainnya.
-
Kerentanan individual dan kemampuan menyesuaikan diri memegang peranan dalam terjadinya atau beratnya suatu reaksi stress akut.
Gangguan Stres Pasca-Trauma Pedoman Diagnostik •
Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktau 6
bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya. •
Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan baying-bayang atau
mimpi-mimpi dari kejadian traumatic tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks). •
Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat
mewarnai diagnosis tetapi tidak khas. •
Suatu “sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar biasa,
misalnya saja beberpa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).
76
Gangguan Penyesuaian
Gangguan penyesuaian adalah reaksi maladaptive jangka pendek terhadap nasib malang pribadi atau yang disebut dengan stressor psikososial.
Gejala Klinis
Sampai tiga bulan mungkin ditemukan stressor dan perkembangan gejala. Gejala tidak selalu menghilang segera setelah stressor hilang. Jika stressor berlangjut, maka gangguan bisa menjadi kronis. Bisa terjadi pada semua usia.
Gejala bervariasi dengan depresi dan kecemasan. Gejala termasuk juga sikap menyerang, kebut-kebutan di jalanan, minum beralkohol berlebihan, lari dari hukum, dan menarik diri.
GANGGUAN SOMATOFORM Soma berarti tubuh. Pada gangguan somatoform, masalah psikologis tampak dalam bentuk fisik. Gejala fisik dari gangguan somatoform, dimana tidak ada penjelasan secara fisiologis dan tidak dapat dikontrol secara sadar, berkaitan dengan faktor psikologis, biasanya kecemasan, dan untuk itu diasumsikan bahwa gangguan ini disebabkan oleh faktor psikologis. Pada bagian ini akan lebih dibahas mengenai dua gangguan somatoform yakni gangguan conversion dan gangguan somatization. Akan tetapi sebelumnya juga perlu diketahui bahwa dalam kategori DSM-IV-TR terdapat tiga bentuk lain dari gangguan somatoform, yakni pain disorder, body dysmorphic disorder, dan hypochondriasis.
A. Pain Disorder
77
Pada pain disorder, penderita mengalami rasa sakit yang mengakibatkan ketidakmampuan secara signifikan;faktor psikologis diduga memainkan peranan penting pada kemunculan, bertahannya dan tingkat sakit yang dirasakan. Pasien kemungkinan tidak mampu untuk bekerja dan menjadi tergantung dengan obat pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat berhubungan dengan konflik atau stress atau dapat pula terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan yang tidak menyenangkan dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati yang sebelumnya tidak didapat. Diagnosis akurat mengenai pain disorder terbilang sulit karena pengalaman subjektif dari rasa nyeri selalu merupakan fenomena yang dipengaruhi secara psikologis, dimana rasa nyeri itu sendiri bukanlah pengalaman sensoris yang sederhana, seperti penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, memutuskan apakah rasa nyeri yang dirasakan merupakan gangguan nyeri yang tergolong gangguan somatoform, amatlah sulit. Akan tetapi dalam beberapa kasus dapat dibedakan dengan jelas bagaimana rasa nyeri yang dialami oleh individu dengan gangguan somatoform dengan rasa nyeri dari individu yang mengalami nyeri akibat masalah fisik. Individu yang merasakan nyeri akibat gangguan fisik, menunjukkan lokasi rasa nyeri yang dialaminya dengan lebih spesifik, lebih detail dalam memberikan gambaran sensoris dari rasa nyeri yang dialaminya, dan menjelaskan situasi dimana rasa nyeri yang dirasakan menjadi lebih sakit atau lebih berkurang. Terapi untuk Pain Disorder Secara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari apa yang tidak dapat dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya, tetapi mengajari penderita bagaimana caranya menghadapi stress, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau ketidaknyamanan yang penderita rasakan. Pengobatan yang efektif cenderung memiliki hal-hal berikut : •
memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan hanya ada dalam pikiran penderita
•
relaxation training
•
memberi reward kepada mereka yang berperilaku tidak seperti orang yang mengalami rasa nyeri 78
B. Body Dysmorphic Disorder Pada body dysmorphic disorder, individu diliputi dengan bayangan mengenai kekurangan dalam penampilan fisik mereka, biasanya di bagian wajah, misalnya kerutan di wajah, rambut pada wajah yang berlebihan, atau bentuk dan ukuran hidung. Wanita cenderung pula fokus pada bagian kulit, pinggang, dada, dan kaki, sedangkan pria lebih cenderung memiliki kepercayaan bahwa mereka bertubuh pendek, ukuran penisnya terlalu kecil atau mereka memiliki terlalu banyak rambut di tubuhnya. Beberapa individu yang mengalami gangguan ini secara kompulsif akan menghabiskan berjam-jam setiap harinya untuk memperhatikan kekurangannya dengan berkaca di cermin. Ada pula yang menghindari cermin agar tidak diingatkan mengenai kekurangan mereka, atau mengkamuflasekan kekurangan mereka dengan, misalnya, mengenakan baju yang sangat longgar. Beberapa bahkan mengurung diri di rumah untuk menghindari orang lain melihat kekurangan yang dibayangkannya. Hal ini sangat mengganggu dan terkadang dapat mengerah pada bunuh diri; seringnya konsultasi pada dokter bedah plastik dan beberapa individu yang mengalami hal ini bahkan melakukan operasi sendiri pada tubuhnya. Sayangnya, operasi plastik berperan kecil dalam menghilangkan kekhawatiran mereka. Body dysmorphic disorder muncul kebanyakan pada wanita, biasanya dimulai pada akhir masa remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi, fobia social, gangguan kepribadian. Faktor social dan budaya memainkan peranan penting pada bagaimana seseorang merasa apakah ia menarik atau tidak, seperti pada gangguan pola makan.
C. Hypochondriasis Hypochondriasis adalah gangguan somatoform dimana individu diliputi dengan ketakutan memiliki penyakit yang serius dimana hal ini berlangsung berulang-ulang meskipun dari kepastian medis menyatakan sebaliknya, bahwa ia baik-baik saja. Gangguan ini biasanya dimulai pada awal masa remaja dan cenderung terus berlanjut. Individu yang mengalami hal ini biasanya merupakan konsumen yang seringkali menggunakan pelayanan kesehatan; bahkan terkadang mereka manganggap dokter mereka tidak kompeten dan tidak perhatian. Dalam teori disebutkan bahwa mereka bersikap berlebihan pada sensasi fisik yang umum dan gangguan kecil, seperti detak jantung yang tidak teratur, berkeringat, batuk yang 79
kadang terjadi, rasa sakit, sakit perut, sebagai bukti dari kepercayan mereka. Hypochondriasis seringkali muncul bersamaan dengan gangguan kecemasan dan mood. Terapi untuk Hypochondriasis Secara umum, pendekatan cognitive-behavioral terbukti efektif dalam mengurangi hypochondriasis. Penelitian menujukkan bahwa penderita hypochondriasis memperlihatkan bias kognitif dalam melihat ancaman ketika berkaitan dengan isu kesehatan. Cognitivebehavioral therapy dapat bertujuan untuk mengubah pemikiran pesimistis. Selain itu, pengobatan juga hendaknya dikaitkan dengan strategi yang mengalihkan penderita gangguan ini dari gejala-gejala tubuh dan meyakinkan mereka untuk mencari kepastian medis bahwa mereka tidak sakit.
D. Conversion disorder Pada conversion disorder, gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya penglihatan atau kelumpuhan secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang berkaitan dengan rusaknya sistem saraf, padahal organ tubuh dan sistem saraf individu tersebut baik-baik saja. Aspek psikologis dari gejala conversion ini ditunjukkan dengan fakta bahwa biasanya gangguan ini muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang tidak menyenangkan. Biasanya hal ini memungkinkan individu untuk menghindari beberapa aktivitas atau tanggung jawab atau individu sangat ingin mendapatkan perhatian. Istilah conversion, pada dasarnya berasal dari Freud, dimana disebutkan bahwa energi dari instink yang di repress dialihkan pada aspek sensori-motor dan mengganggu fungsi normal. Untuk itu, kecemasan dan konflik psikologis diyakini dialihkan pada gejala fisik. Gejala conversion biasanya berkembang pada masa remaja atau awal masa dewasa, dimana biasanya muncul setelah adanya kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup. Prevalensi dari conversion disorder kurang dari 1 %, dan biasanya banyak dialami oleh wanita. Conversion disorder biasanya berkaitan dengan diagnosis Axis I lainnya seperti depresi dan penyalahgunaan zat-zat terlarang, dan dengan gangguan kepribadian, yaitu borderline dan histrionic personality disorder. Teori Psikoanalisis dari Conversion Disorder
80
Pada Studies in Hysteria (1895/1982), Breuer dan freud menyebutkan bahwa conversion disorder disebabkan ketika seseorang mengalami peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang besar, namun afeknya tidak dapat diekspresikan dan ingatan tentang peristiwa tersebut dihilangkan dari kesadaran. Gejala khusus conversion disebutkan dapat berhubungan seba-akibat dengan peristiwa traumatis yang memunculkan gejala tersebut. Freud juga berhipotesis bahwa conversion disorder pada wanita terjadi pada awal kehidupan, diakibatkan oleh Electra complex yang tidak terselesaikan. Berdasarkan pandangan psikodinamik dari Sackheim dan koleganya, verbal reports dan tingkah laku dapat terpisah satu sama lain secara tidak sadar.Hysterically blind person dapat berkata bahwa ia tidak dapat melihat dan secara bersamaan dapat dipengaruhi oleh stimulus visual. Cara mereka menunjukkan bahwa mereka dapat melihat tergantung pada sejauh mana tingkat kebutaannya. Teori Behavioral dari Conversion Disorder Pandangan behavioral yang dikemukakan Ullman&Krasner, menyebutkan bahwa gangguan konversi mirip dengan malingering, dimana individu mengadopsi simtom untuk mencapai suatu tujuan. Menurut pandangan mereka, individu dengan conversion disorder berusaha untuk berperilaku sesuai dengan pandangan mereka mengenai bagaimana seseorang dengan penyakit yang mempengaruhi kemampuan motorik atau sensorik, akan bereaksi. Hal ini menimbulkan dua pertanyaan : (1) Apakah seseorang mampu berbuat demikian? (2) Dalam kondisi seperti apa perilaku tersebut sering muncul? Berdasarkan bukti-bukti yang ada, maka jawaban untuk pertanyaan (1) adalah ya. Seseorang dapat mengadopsi pola perilaku yang sesuai dengan gejala klasik conversion. Misalnya kelumpuhan, analgesias, dan kebutaan, seperti yang kita ketahui, dapat pula dimunculkan pada orang yang sedang dalam pengaruh hipnotis. Sedangkan untuk pertanyaan (2) Ullman dan Krasner mengspesifikasikan dua kondisi yang dapat meningkatkan kecenderungan ketidakmampuan motorik dan sensorik dapat ditiru. Pertama, individu harus memiliki pengalaman dengan peran yang akan diadopsi. Individu tersebut dapat memiliki masalah fisik yang serupa atau mengobservasi gejala tersebut pada orang lain. Kedua, permainan dari peran tersebut harus diberikan reward. Individu akan menampilkan ketidakampuan hanya jika perilaku itu diharapkan dapat mengurangi stress
81
atau untuk memperoleh konsekuensi positif yang lain. Namun pandangan behavioral ini tidak sepenuhnya didukung oleh bukti-bukti literatur. Faktor Sosial dan Budaya pada Conversion Disorder Salah satu bukti bahwa faktor social dan budaya berperan dalam conversion disorder ditunjukkan dari semakin berkurangnya gangguan ini dalam beberapa abad terakhir. Beberapa hipotesis yang menjelaskan bahwa gangguan ini mulai berkurang adalah misalnya terapis yang ahli dalam bidang psikoanalisis menyebutkan bahwa dalam paruh kedua abad 19, ketika tingkat kemunculan conversion disorder tinggi di Perancis dan Austria, perilaku seksual yang di repress dapat berkontribusi pada meningktnya prevalensi gangguan ini. Berkurangnya gangguan ini dapat disebabkan oleh semakin luwesnya norma seksual dan semakin berkembangnya ilmu psikologi dan kedokteran pada abad ke 20, yang lebih toleran terhadap kecemasan akibat disfungsi yang tidak berkaitan dengan hal fisiologis daripada sebelumnya. Selain itu peran faktor sosial dan budaya juga menunjukkan bahwa conversion disorder lebih sering dialami oleh mereka yang berada di daerah pedesaan atau berada pada tingkat sosioekonomi yang rendah. Mereka mengalami hal ini dikarenakan oleh kurangnya pengetahuan mengenai konsep medis dan psikologis. Sementara itu, diagnosis mengenai hysteria berkurang pada masyarakat industrialis, seperti Inggris, dan lebih umum pada negara yang belum berkembang, seperti Libya. Faktor Biologis pada Conversion Disorder Meskipun faktor genetic diperkirakan menjadi faktor penting dalam perkembangan conversion disorder, penelitian tidak mendukung hal ini. Sementara itu, dalam beberapa penelitian, gejala conversion lebih sering muncul pada bagian kiri tubuh dibandingkan dengan bagian kanan. Hal ini merupakan penemuan menarik karena fungsi bagian kiri tubuh dikontrol oleh hemisfer kanan otak. Hemisfer kanan otak juga diperkirakan lebih berperan dibandingkan hemisfer kiri berkaitan dengan emosi negatif. Akan tetapi, berdasarkan penelitian yang lebih besar diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang dapat diobservasi dari frekuensi gejala pada bagian kanan versus bagian kiri otak.
E. Somatization Disorder
82
Menurut DSM-IV-TR kriteria dari somatization disorder adalah memiliki sejarah dari banyak keluhan fisik selama bertahun-tahun; memiliki 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala sexual, dan 1 gejala pseudoneurological; gejala-gejala yang timbul tidak disebabkan oleh kondisi medis atau berlebihan dalam memberikan kondisi medis yang dialami. Prevalensi dari somatiation disorder diperkirakan kurang dari 0.5% dari populasi Amerika, biasanya lebih sering muncul pada wanita, khususnya wanita African American dan Hispanic dan pada pasien yang sedang menjalani pengibatan medis. Prevalensi ini lebih tinggi pada beberapa negara di Amerika Selatan dan di Puerto Rico. Somatizaton disorder biasanya dimulai pada awal masa dewasa. Etiologi dari Somatization Disorder Diketahui bahwa individu yang mengalami somatization disorder biasanya lebih sensitive pada sensasi fisik, lebih sering mengalami sensasi fisik, atau menginterpretasikannya secara berlebihan. Kemungkinan lainnya adalah bahwa mereka memiliki sensasi fisik yang lebih kuat dari pada orang lain. Pandangan behavioral dari somatization disorder menyatakan bahwa berbagai rasa sakit dan nyeri, ketidaknyamanan, dan disfungsi yang terjadi adalah manifestasi dari kecemasan yang tidak realistis terhadap sistem tubuh. Berkaitan dengan hal ini, ketika tingkat kecemasan tinggi, individu dengan somatization disorder memiliki kadar cortisol yang tinggi, yang merupakan indikasi bahwa mereka sedang stress. Barangkali rasa tegang yang ekstrim pada otot perut mengakibatkan rasa pusing atau ingin muntah. Ketika fungsi normal sekali terganggu, pola maladaptif akan diperkuat dikarenakan oleh perhatian yang diterima. Terapi untuk Somatization Disorder Para ahli kognitif dan behavioral meyakini bahwa tingginya tingkat kecemasan yang diasosiasikan dengan somatization disorder dipicu oleh situasi khusus. Akan tetapi semakin banyak pengobatan yang dibutuhkan, bagi orang yang “sakit” sekian lama maka akan tumbuh kebiasaan akan ketergantungan untuk menghindari tantangan hidup sehari-hari daripada menghadapi tantangan tersebut sebagai orang dewasa. Dalam pendekatan yang lebih umum mengenai somatization disorder, dokter hendaknya tidak meremehkan validitas dari keluhan fisik, tetapi perlu diminimalisir penggunaan tes-tes diagnosis dan
83
obat-obatan, mempertahankan hubungan dengan mereka terlepas dari apakah mereka mengeluh tentang penyakitnya atau tidak
GANGGUAN NEUROTIK LAINNYA 1.
NEURESTENIA
Pedoman Diagnostik •
Diagnosis pasti memerlukan hal-hal berikut :
(a) Adanya keluhan-keluhan yang menetap dan mengganggu berupa meningkatnya rasa lelah setelah suatu kegiatan mental, atau keluhan mengenai kelemahan badaniah dan kehabisan tenaga hanya setelah kegiatan ringan saja. (b) Paling sedikit ada dua dari hal-hal tersebut dibawah ini: -
Perasaan sakit dan nyeri otot-otot,
-
Pusing kepala (dizziness),
-
Sakit kepala (tension headaches),
-
Gangguan tidur,
-
Tidak dapat bersantai (inability to relax), 84
-
Peka/mudah tersinggung (irritability), dan
-
Dispesia.
(c) Bila ditemukan gejala otonomik ataupun depresif, keadaan tersebut tidak cukup menetap dan berat untuk dapat memenuhi kriteria gangguan tersebut agar dapat didiagnosis secara tersendiri. (d) Harus diusahakan terlebih dahulu menyingkirkan kemungkinan gangguan depresif atau gangguan anxietas.
SINDROM DEPERSONALISASI-DEREALISASI Pedoman Diagnostik •
Untuk diagnosis pasti, harus ada salah satu atau dua-duanya dari (a) dan (b),
ditambah (c) dan (d) : (a) Gejala depersonalisasi, yaitu individu merasa bahwa perasaannya dan/atau pengalamannya terlepas dari dirinya (detached), jauh, bukan dari dirinya, hilang, dan sebagainya; (b) Gejala derealisasi, yaitu objek, orang dan/atau lingkungan menjadi seperti tidak sesungguhnya (unreal), jauh, semu, tanpa warna, tidak hidup dan sebagainya; (c) Memahami bahwa hal tersebut merupakan perubahan spontan dan subjektif, dan bukan disebabkan oleh kekuatan luar atau orang lain (insight cukup baik); (d) Peng-inderaan tidak terganggu (clear sensorium) dan tidak ada “toxic confusional state” atau epilepsi. •
Harus dapat dibedakan gangguan lain dengan gejala “Change of Personality”,
seperti Skizofrenia (F20.-); Gangguan disosiatif (F44.-), Epilepsi lobus temporalis (Pre/post-ictal).
85
SKIZOFRENIA
Definisi Skizofrenia adalah suatu sindrom klinis dengan variasi psikopatologi, biasanya berat, berlangsung lama dan ditandai oleh penyimpangan dari pikiran, persepsi serta emosi.
Epidemiologi Prevalensi skizofrenia di Amerika Serikat dilaporkan bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5 persen dengan angka insidens 1 per 10.000 orang per tahun. Berdasarkan jenis kelamin prevalensi skizofrenia adalah sama, perbedaannya terlihat dalam onset dan perjalanan penyakit. Onset untuk laki laki 15 sampai 25 tahun sedangkan wanita 25-35 tahun. Prognosisnya adalah lebih buruk pada laki laki dibandingkan wanita.
86
Beberapa penelitian menemukan bahwa 80% semua pasien skizofrenia menderita penyakit fisik dan 50% nya tidak terdiagnosis. Bunuh diri adalah penyebab umum kematian diantara penderita skizofrenia, 50% penderita skizofrenia pernah mencoba bunuh diri 1 kali seumur hidupnya dan 10% berhasil melakukannya. Faktor risiko bunuh diri adalah adanya gejala depresif, usia muda dan tingkat fungsi premorbid yang tinggi. Komorbiditas Skizofrenia dengan penyalahgunaan alkohol kira kina 30% sampai 50%, kanabis 15% sampal 25% dan kokain 5%-10%. Sebagian besar penelitian menghubungkan hal ini sebagai suatu indikator prognosis yang buruk karena penyalahgunaan zat menurunkan efektivitas dan kepatuhan pengobatan. Hal yang biasa kita temukan pada penderita skizofrenia adalah adiksi nikotin, dikatakan 3 kali populasi umum (75%-90% vs 25%-30%). Penderita skizofrenia yang merokok membutuhkan anti psikotik dosis tinggi karena rokok meningkatkan kecepatan metabolisme obat tetapi juga menurunkan parkinsonisme. Beberapa laporan mengatakan skizofrenia lebih banyak dijumpai pada orang orang yang tidak menikah tetapi penelitian tidak dapat membuktikan bahwa menikah memberikan proteksi terhadap Skizofrenia.
Etiologi Model diatesis –stress. Menurut teori ini skizofrenia timbul akibat faktor psikososial dan lingkungan. Model ini berpendapat bahwa seseorang yang memiliki kerentanan (diatesis) jika dikenai stresor akan lebih mudah menjadi skizofrenia. Faktor Biologi Komplikasi kelahiran Bayi laki laki yang mengalami komplikasi saat dilahirkan sering mengalami skizofrenia, hipoksia perinatal akan meningkatkan kerentanan seseorang terhadap skizofrenia.
87
Infeksi Perubahan anatomi pada susunan syaraf pusat akibat infeksi virus pernah dilaporkan pada orang orang dengan skizofrenia. Penelitian mengatakan bahwa terpapar infeksi virus pada trimester kedua kehamilan akan meningkatkan seseorang menjadi skizofrenia. Hipotesis Dopamin Dopamin merupakan neurotransmiter pertama yang berkontribusi terhadap gejala skizofrenia. Hampir semua obat antipsikotik baik tipikal maupun antipikal menyekat reseptor dopamin D2, dengan terhalangnya transmisi sinyal di sistem dopaminergik maka gejala psikotik diredakan. Berdasarkan pengamatan diatas dikemukakan bahwa gejala gejala skizofrenia disebabkan oleh hiperaktivitas sistem dopaminergik.
Hipotesis Serotonin Gaddum, wooley dan show tahun 1954 mengobservasi efek lysergic acid diethylamide (LSD) yaitu suatu zat yang bersifat campuran agonis/antagonis reseptor 5-HT. Temyata zatini menyebabkan keadaan psikosis berat pada orang normal. Kemungkinan serotonin berperan pada skizofrenia kembali mengemuka karena penetitian obat antipsikotik atipikal clozapine yang temyata mempunyai afinitas terhadap reseptor serotonin 5-HT~ lebih tinggi dibandingkan reseptor dopamin D2. Struktur Otak Daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah sistem limbik dan ganglia basalis. Otak pada pendenta skizofrenia terlihat sedikit berbeda dengan orang normal, ventrikel teilihat melebar, penurunan massa abu abu dan beberapa area
terjadi
peningkatan
maupun
penurunan
aktifitas
metabolik. 88
Pemenksaaninikroskopis dan jaringan otak ditemukan sedikit perubahan dalam distnbusi sel otak yang timbul pada masa prenatal karena tidak ditemukannya sel glia, biasa timbul pada trauma otak setelah lahir. Genetika Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia diturunkan, 1% dari populasi umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai hubungan derajat pertama seperti orang tua, kakak laki laki ataupun perempuan dengan skizofrenia. Masyarakat yang mempunyai hubungan derajat ke dua seperti paman, bibi, kakek / nenek dan sepupu dikatakan lebih sering dibandingkan populasi umum. Kembar identik 40% sampai 65% berpeluang menderita skizofrenia sedangkan kembar dizigotik 12%. Anak dan kedua orang tua yang skizofrenia berpeluang 40%,
satu
orang
tua
12%.
Gambaran klinis Perjalanan penyakit Skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase prodromal, fase aktif dan fase residual. Fase prodromal biasanya timbul gejala gejala non spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi : hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri. Semakin lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya. Pada Fase aktif gejala positif / psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua individu datang berobat pada fase ini, bila tidak mendapat pengobatan gejala gejala tersebut dapat hilang spontan suatu saat mengalami eksaserbasi atau terus bertahan. Fase aktif akan diikuti oleh fase residual. Fase residual dimana gejala gejalanya sama dengan fase prodromal tetapi gejala positif / psikotiknya sudah berkurang. 89
Diagnosis Pedoman Diagnostik PPDGJ-lll •
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas): a. - “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama,
namun
kualitasnya
berbeda
;
atau
- “thought insertion or withdrawal” = isi yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari
luar
dirinya
(withdrawal);
dan
- “thought broadcasting”= isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya; b. - “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu
dari
luar;
atau
- “delusion of passivitiy” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara jelas merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan
khusus);
- “delusional perception” = pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasnya bersifatmistik atau mukjizat; c. Halusinasi auditorik:
suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau
mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau
jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di
90
atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain) •
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas: a. halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (overvalued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau berbulan-bulan terus menerus; b. arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme; c. perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor; d. gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
•
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal)
•
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
Prognosis Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu ada, kebanyakan orang mempunyai gejala sisa dengan keparahan yang bervariasi. Secara umum 25% individu sembuh sempurna, 40% mengalami kekambuhan dan 35% mengalami perburukan. Sampai 91
saat ini belum ada metode yang dapat memprediksi siapa yang akan menjadi sembuh siapa yang tidak, tetapi ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya seperti : usia tua, faktor pencetus jelas, onset akut, riwayat sosial / pekerjaan pramorbid baik, gejala depresi, menikah, riwayat keluarga gangguan mood, sistem pendukung baik dan gejala positif ini akan memberikan prognosis yang baik sedangkan onset muda, tidak ada faktor pencetus, onset tidak jelas, riwayat sosial buruk, autistik, tidak menikah/janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia, sistem pendukung buruk, gejala negatif, riwayat trauma prenatal, tidak remisi dalam 3 tahun, sering relaps dan riwayat agresif akan memberikan prognosis yang buruk.
INSOMNIA Definisi Insomnia adalah kesulitan untuk memulai atau menjaga tidur. Keluhan ini muncul kadang kadang atau bisa bersifat persisten. Insomnia primer mengindikasikan bahwa insomnianya tersebut tidak tergantung dengan keadaan fisik maupun psikologis yang lain. Ada tiga pembagian insomnia: 1. Inisial insomnia adalah kesulitan untuk tidur 2. Middle insomnia adalah bangun dari tidur setelah tidur tanpa kesulitan kemudian tidak dapat memulai tidur kembali. 3.
Terminal insomnia adalah bangun tidur yang terlalu cepat sekurang-kurangnya 2 jam lebih awal dari yang direncanakan.
Etiologi Penyebab-penyebab dari insomnia adalah sebagai berikut: 92
Diagnosis Berdasarkan DSM IV diagnosis untuk insomnia adalah sebagai berikut: A. Masalah utama yang muncul adalah kesulitan untuk memulai dan menaga tidur, atau atau tidur yang tidak menyegarkan, dialami selama sekurang-kurangnya 1 bulan. B. Gangguan tidur (atau berkaitan dengan daytime fatigue) menybabkan distress yang berarti secara klinis atau masalah dalam social, jabatan, atau fungsi area penting lainnya. C. Gangguan tidur tidak muncul sendiri (tunggal) selama serangan narcolepsy, gangguan tidur akibat kesulitan nafas, gangguan irama circadian tidur, atau parasomnia D. Gangguan tidur tidak muncul sendiri (tunggal) selama serangan gangguan mental yang lain (gangguan depresi mayor, gangguan kecemasan menyeluruh, delirium)
93
E. Gangguan tidur bukan karena efek langsung fisiologi
dari suatu substansi
(misalnya, penyalahgunaan obat, atau dalam masa pengobatan) atau pengobatan general.
Perawatan dan Terapi Pasien diminta untuk tidur di tempat tidurnya. Jika tidak tidur selama 5 menit, instruksikan pasien untuk bangan dari tempat tidurnya dan melakukan sesuatu. Suatu waktu, pindah ke tempat tidur lain atau kamar lain dapat berguna. Terapi farmakologi yang dapat diberikan adalah benzodi azepines, zolpidem, zaleplon (sonata), dan hypnotics lain. Secara umum pemberian obat untuk tidur tidak boleh diresepkan lebih dari 2 minggu karena akan menimbulkan withdrawal effect.
94
KESIMPULAN Berdasarkan dari pembahasan yang telah dijabarkan maka kelompok kami mengkaitkan dengan masalah pasien di scenario. Kelompok kami sepakat bahwa pasien di skenario mengalami gangguan jiwa jenis neurosis. Hal ini ditandai dengan tes realitas yang masih intak meski fungsi sosialnya sedikit terganggu yaitu sering kadang-kadang ngomel tanpa sebab dan bicara kadang tidak nyambung. Orientasi masih baik yaitu pasien masih mengenali suaminya meski sering berselisih paham. Selain itu, pasien masih memahami bahwa dirinya mengalami gangguan (insight/ tilikan diri masih baik), yaitu pasien mengaku bahwa ia sering gelisah terutama jika memikirkan anaknya yang baru berumur 5 tahun meski ia sendiri bingung hal apa yang sebenarnya dicemaskannya mengenai anaknya. Tidak dijumpai adanya waham atau halusinasi sebagaimana yang sering dijumpai pada pasien psikotik. Bicara yang kadang tidak nyambung sehingga sering berselisih paham dengan suaminya dan sering ngomel tanpa sebab lebih menunjukkan arus pikir pasien yang termasuk kategori irrelevansi. Adapun keluhan berupa badan yang sering gemetaran, sering tegang, dan sulit berkonsentrasi, serta nyeri ulu hati timbul akibat hiperaktivitas otonomik yang sering dijumpai pada anxietas. Hal ini didukung dengan pengakuan bahwa pasien sering gelisah terutama saat memikirkan anaknya, kemungkinan pasien cemas berlebihan terhadap anaknya. Selain itu, keluhan sulit tidur (insomnia) yang dirasakan sejak 2 bulan yang lalu, kami menduga pasien mungkin mengalami inisial insomnia yaitu pasien sukar untuk memulai tidur yang juga merupakan gejala khas pada pasien anxietas.
95
DAFTAR PUSTAKA 1. Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 220/MENKES/SK/III/2002.
Pedoman Umum Tim Pembina, Tim Pengarah, Tim Pelaksana, Kesehatan Jiwa Masyarakat
(TP-KJM).
Available
in
:
www.depkes.go.id/.../Lamp%20SK
%20No.220%20Th.2002.pdf
2. Maslim, Rusdi. 2001. PPDGJ III. Jakarta.
3. N. A, Luana. 2007. Simposium Sehari Kesehatan Jiwa dalam Rangka Menyambut
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Jakarta
4. Nugroho, Satrio. 2003. Perancangan Kompleks Rumah Sakit Jiwa di Semarang dengan Penekanan Desain Pendekatan Terapi. Available in : eprints.undip.ac.id/5941/1/65-ucik.pdf 5. Othmer E, Othmer SC. The Clinical Interview Using DSM – IV. Volume I :
Fundamentals. Washington : American Psychiatric Press. Inc. 1994
96
6. Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatri. 9th
ed. Philadelpia : Lippincott William & Wilkins. 2003
7. Sadock BJ, Kaplan HI. Kaplan – Sadock. 2010. Sinopsis Psikiatri. Binarupa
Aksara.
97