PANCASILA SEBAGAI PENDIDIKAN KARAKTER: SEBUAH STRATEGI 1 Oleh: Surono,M.A. Peneliti Pusat Studi Pancasila UGM
[email protected]
Pada saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami masalah yang serius dalam hal karakter bangsa. Karakter bangsa Indonesia yang sejak jaman dahulu dibangun para pendiri bangsa seolah menguap tanpa bekas. Maraknya praktik korupsi sudah tidak bisa di nalar dengan akal sehat mulai dari orang-orang yang menganggap dirinya “terhormat” hingga rakyat biasa. Bahkan, sebagian akademisi, “pejuang” anti korupsi, sampai dengan oknum-oknum yang memproklamirkan dirinya sebagai pengawal moral bangsa sering tidak kuasa menghadapi nafsu korup. Ditambah lagi dengan semakin hilangnya rasa persaudaraan sesama anak bangsa, menurunnya rasa persatuan, melemahnya etika-sopan santun, sampai dengan terkikisnya upaya pendekatan diri kepada Tuhan menjadi fenomena yang semakin menyesakkan. Berkaca pada hal tersebut maka sudah tidak alasan lagi untuk sesegera mungkin melakukan pembangunan karakter bangsa terhadap seluruh anak bangsa. Dan nampaknya upaya untuk pembangunan karakter bangsa ini sudah dan terus dilakukan oleh berbagai kalangan. Meski menggunakan istilah yang berbeda namun bermuara pada hal yang sama, yakni terbentuknya bangsa Indonesia yang berkarakter. Sebut saja pendidikan budi pekerti, revolusi mental, pendidikan karakter, pelatihan kecerdasan holistik, revolusi spiritual, dan sebagainya. Apapun namanya, mereka harus di dukung dengan sekuat tenaga. Karena semuanya memiliki tujuan yang sama yakni menjadikan bangsa Indonesia menjadi berkarakteri, siapapun yang melaksanakannya dan apapun namanya. Akan tetapi kemudian muncul perdebatan baru, yakni ketika berbicara tentang karakter apa yang akan dibangun dan ditanamkan pada bangsa Indonesia?
Dari
pertanyaan ini kemudian bermunculan berbagai tawaran tentang karakter yang dating 1
Makalah narasumber dialog Budaya yang diselenggarakan Dewan Kebudayaan Kota Yogya (3 Desember 2014)
dari berbagai pihak. Salah satunya adalah 18 nilai usulan dari DIKTI yang merupakan kumpulan kata-kata mulia (religius, jujur,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komuniktif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung-jawab). Dan, masih banyak lagi ahli maupun lembaga juga melakukan hal yang sama. Kemunculan berbagai versi pendidikan karakter tersebut bukan menjadikan masyarakat semakin paham, namun justru semakin membingungkan dan mengaburnya arah pendidikan karakter yang akan kita laksanakan. Jika melihat berbagai rumusan pendidikan karakter yang ada sampai saat ini, hampir semua tidak menunjukkan karakter Indonesia asli. Yang terjadi adalah pencomotan dan kumpulan nilai-nilai universal kemanusiaan yang juga dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Apabila menggunakan konsep-konsep tersebut maka arah pendidikan karakter Indonesia nantinya tidak akan sampai pada karakter ke Indonesiaan. Misalnya nilai kejujuran, tentunya setiap bangsa dan negara di berbagai belahan di dunia berusaha untuk menanamkannya kepada warganya. Sehingga kita tidak bisa mengklaim bahwa nilai kejujuran adalah milik bangsa Indonesia. Demikian seterusnya. Meski demikian kita tetap dipersilakan untuk mengambil nilai-niali tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai ke Indonesiaan. Selain itu, (kedua) dari berbagai indikator pendidikan karaker yang sudah bermunculan nampak sekali jika mayoritas dari kita masih terjebak dalam pandangan bahwa pendidikan karakter tidak jauh berbeda dengan mata pelajaran lainnya, yakni mengedepankan sisi kognisi. Akibatnya ketika membahas pendidikan karakter maka yang pertama kali terpikirkan adalah bagaimana memperlakukannya seperti pelajaran IPA, Matematika, IPS, dan lain sebagainya. Hal ini tentu saja memiliki implikasi yang sangat jauh terhadap perilaku orang-orang yang terlibat di dalamnya. Bukan hal yang mustahil jika di kemudian hari pendidikan karakter kita akan mengalami nasib yang sama dengan mata pelajaran lainnya, yaitu sekedar hafalan. Dan kemudian akan 2
diujikan secara nasional dalam bentuk pilihan ganda. Dan terjadilah yang namanya distorsi pendidikan. Melihat permasalahan di atas, sebelum terlambat maka sebaiknya pendidikan karakter di Indonesia harus didesain kembali. Terutama dari sisi konsepnya. Pendidikan karakter adalah suatu sifat khusus yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dalam kata lain bahwa pendidikan karakter seharusnya menonjolkan sifat-sifat atau nilai-nilai ke-Indonesiaan. Semua nilai yang diajarkan harus berbasiskan pada nilainilai luhur bangsa Indonesia meski tidak menutup kemungkinan melengkapinya dengan nilai-nilai universal kemanusiaan dan agama. Nilai-nilai ke Indonesiaan yang di maksud adalah Pancasila. Sebagaimana kita ketahui bersama, Pancasila digali dari nilai-nilai, norma, dan kearifan yang berkembang dan dimiliki bangsa Indonesia. Sehingga sangatlah tepat jika pendidikan karakter Indonesia harus berparadigma dan berwawasan pada nilai-nilai Pancasila. Karakter Pancasila adalah sebuah karakter yang berasal dari kristalisasi nilai-nilai luhur yang dimiliki bangsa Indonesia. Karakter Pancasila secara ringkas dapat dikatakan sebagai karakter Ketuhanan yang menaungi nilai-nilai Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Sehingga pendidikan karakter Indonesia harus bermuara pada suatu kondisi masyarakat yang berkeadilan, berkerakyatan, bersatu, berperikemanusiaan, dan penuh pengabdian kepada Tuhan.
Apa itu Pancasila? Saat ini pemahaman bangsa Indonesia terhadap Pancasila sangat beragam. Bahkan bisa dikatakan masing-masing orang hampir memiliki pahamnya sendirisendiri terhadap Pancasila. Salah satu penyebabnya adalah sumber atau referensi Pancasila yang dijadikan acuan sering bersumber dari orang kedua, ketiga, bahkan keempat dan seterusnya. Akibatnya yang terjadi adalah tafsir atas tafsir. Berbicara masalah Pancasila maka bagaimanapun kita tidak bisa melepaskan diri dari Soekarno. Dalam pidato Lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1945 di hadapan sidang 3
Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, dengan tegas Bung Karno menyatakan bahwa keberadaan Pancasila tidak bisa terlepas dasar didirikannya Negara Indonesia yaitu dasar kebangsaan. Bukan negara milik kelompok tertentu. Negara Indonesia yang berlandaskan semangat kebangsaan ini didirikan diatas lima dasar2: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa saya meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama. Ada yang Islam, ada yang Kristen ada yang Budha dan ada yang tidak menganut sesuatu agama. Meskipun demikian untuk delapan puluh lima persen dari sembilan puluh dua juta rakyat kami, bangsa Indonesia terdiri dari para pengikut Islam. Berpangkal pada kenyataan ini, dan mengingat akan berbeda-beda tetapi bersatunya bangsa kami, kami menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dalam filsafah hidup kami. Bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhanpun, karena toleransinya yang menjadi pembawaan, mengakui bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa merupakan karakteristik dari bangsanya, sehingga mereka menerima Sila pertama ini. 2. Nasionalisme Kemudian sebagai nomor dua ialah Nasionalisme. Kekuatan yang membakar dari nasionalisme dan hasrat akan kemerdekaan mempertahankan hidup kami dan memberi kekuatan kepada kami sepanjang kegelapan penjajahan yang lama, dan selama berkobarnya pejuangan kemerdekaan. Dewasa ini kekuatan yang membakar itu masih tetap menyala-nyala didada kami dan tetap memberi kekuatan hidup kepada kami! Akan tetapi nasionalisme kami sekali-kali bukanlah Chauvinisme. Kami sekali-kali tidak menganggap diri kami lebih unggul dari bangsabangsa lain. Kami sekali-kali tidak pula berusaha untuk memaksakan kehendak kami kepada bangsa-bangsa lain. Saya mengetahui benar-benar bahwa istilah “nasionalisme” dicurigai, 2
Berdasarkan pidato Bung Karno (sebagai pencetus nama Pancasila), Pancasila merupakan kumpulan lima sila yang merupakan satu kesatuan nilai. Supaya tidak terjadi penafsiran yang beraneka ragam maka berikut akan saya kutipkan beberapa bagian pidato Bung Karno. Pidato ini merupakan intisari dari nilai-nilai Pancasila.
4
bahkan tidak dïpercayai di negara-negara Barat. Hal ini disebabkan karena Barat telah memperkosa dan memutar balikan nasionalisme. Padahal nasionalisme yang sejati masih tetap berkobar-kobar di negara-negara Barat. Jika tidak demikian, rnaka Barat tidak akan menantang dengan senjata chauvinisme Hitler yang agresif. Tidakkah nasionalisme ? sebutlah jika mau, patriotisme – mempertahankan kelangsungan hidup semua bangsa? Siapa yang berani menyangkal bangsa, yang melahirkan dia? Siapa yang berani berpaling dari bangsa, yang menjadikan dia? Nasionalisme adalah mesin besar yang menggerakkan dan mengawasi semua kegiatan internasional kita; nasionalisme adalah sumber besar dan inspirasi agung dari kemerdekaan. Di Indonesia kami menganggap inti sosial itu sebagai pendorong untuk mencapai keadilan dan kemakmuran. Bukankah itu tujuan yang baik yang dapat diterima oleh semua orang? Saya tidak berbicara hanya tentang kami sendiri di Indonesia, juga tidak hanya tentang Saudara-saudara saya di Asia dan Afrika serta Amerika Latin. Saya berbicara tentang seluruh dunia. Masyarakat adil dan makmur dapat merupakan cita-cita dan tujuan semua orang. Mahatma Gandhi pernah berkata: “Saya seorang nasionalis, akan tetapi nasionalisme saya adalah perikemanusiaan”. Kamipun berkata demikian. Kami nasionalis, kami cinta kepada bangsa kami dan kepada semua bangsa. Kami nasionalis karena kami percaya bahwa bangsabangsa adalah sangat penting bagi dunia dimasa sekarang ini, dan kami tetap demikian, sejauh mata dapat memandang kemasa depan. Karena kami nasionalis, maka kami mendukung dan menganjurkan nasionalisme dimana saja kami jumpainya. 3. Internasionalisme. Sila
yang
ketiga
kami
adalah
Internasionalisme,
Antara
Nasionalisme
dan
Internasionalisme tidak ada perselisihan atau pertentangan. Memang benar, bahwa internasionalisme tidak akan dapat tumbuh dan berkembang selain diatas tanah yang subur dari nasionalisme. Bukankah Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa itu merupakan bukti yang nyata dari hal ini? Dahulu ada Liga Bangsa-Bangsa. Kini ada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Nama-nama itu sendiri menunjukan bahwa bangsa-bangsa mengingini dan membutuhkan suatu badan internasional, dimana setiap bangsa mempunyai kedudukan yang sederajat. 5
Internasionalisme sama sekali bukan kosmopolitanisme, yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme, yang anti-nasional dan memang bertentangan dengan kenyataan. 4. Demokrasi Sila keempat adalah Demokrasi. Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat. Lebih tegas, demokrasi tampaknya merupakan keadilan asli dari manusia, meskipun diubah untuk disesuaikan dengan kondisi-kondisi sosial yang khusus.Selama beriburibu tahun dari peradaban Indonesia, kami telah mengembangkan bentuk-bentuk demokrasi Indonesia. Kami percaya bahwa bentuk-bentuk ini mempunyai pertalian dan arti internasional. Ini adalah soal saya bicarakan kemudian. 5. Keadilan Sosial Akhirnya, Sila yang penghabisan dan yang terutama ialah Keadilan Sosial. Pada Keadilan Sosial ini kami rangkaikan kemakmuran sosial, karena kami menganggap kedua hal ini tidak dapat dipisah-pisahkan. Benar, hanya suatu masyarakat yang makmur dapat merupakan masyarakat yang adil, meskipun kemakmuran itu sendiri bisa bersemayam dalam ketidak-adilan sosial. Demikianlah Panca Sila kami. Ketuhanan Yang Maha Esa, Nasionalisme, Internasionalisme, Demokrasi dan Keadilan Sosial.3
Menurut bung Karno, jika kita menyukainya maka ditawarkan alternatifnya yang sudah beliau pikirkan bertahun-tahun. Kelima sila tersebut bisa diperas lagi ke dalam Tri Sila. Tri Sila terdiri dari: 1. Socio-nationalisme:
yang
berasal
dari
Kebangsaan-Internasionalisme
dan
Kebangsaan- Perikemanusiaan 2. Socio-democratie: yang merupakan perasan dari demokrasi politik dan sociale rechtvaardigheid (keadilan sosial) Bisa dibaca lengkap pada buku “Pancasila Dasar Negara, Kursus Pancasila oleh Presiden Soekarno” Penerbit PSP Press 2013. Dikutip dari makalah Surono yang berjudul Internalisasi nilai-nilai Pancasila menghadapi MEA (2014) 3
6
3. Ketuhanan: yang menghormati satu sama lain.
Jikapun masih kurang suka maka ditawarkan lagi menjadi satu sila, yaitu Gotong Royong. Dasar pemikiran ini adalah bahwa: Sebagai tadi telah saya katakan, kita mendirikan Negara Indonesia, yangkita semua harus mendukungnya. Semua buat semua. Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia. Semua buat semua. Jika saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan GOTONG ROYONG. Negara yang kita dirikan haruslah Negara gotong royong. Alangkah hebatnya begara gotong royong”4 Catatan mendasar dari karakter Pancasila adalah selalu menjunjung tinggi nilainilai Ketuhanan dalam segala pikiran, sikap, dan perilakunya. Karakter Pancasila bukanlah sebuah capaian fisik dan materi saja, namun suasana kebatinan yang berketuhanan yang menaungi segala pikiran, sikap, dan perilaku. Akan menjadi sebuah kegagalan jika bangsa dan negara Indonesia mampu menjadikan dirinya semakin maju namun justru melupakan nilai-nilai KeTuhanan. Tidak ada artinya jika semua prestasi bisa diraih namun capaian tersebut semakin menjauhkan diri dari Tuhan. Keseimbangan antara kesuksesan lahir-batin-KeTuhanan inilah yang merupakan inti dari karakter Indonesia dan sekaligus menjadi cita-cita para pendiri bangsa. Karakter bangsa Indonesia tidak cukup berhenti pada perilaku baik terhadap diri sendiri dan sesama namun juga harus diiringi dengan ritual yang baik kepada Tuhan. Kita selama ini masih terkagum-kagum dengan konsep-konsep nilai-nilai kebaikan yang ditawarkan bangsa di luar Indonesia. Mereka selalu menganggap cukup jika seseorang bisa memperlakukan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan dengan baik. Jarang sekali menyinggung bagaimana memperlakukan Tuhan dengan baik, bagaimana memposisikan diri sebagai makhluk Tuhan yang benar. Ketika seseorang sudah berperilaku baik terhadap sesama dan lingkungannya maka sudah dianggap 4Pancasila
Dasar Negara, Kursus Pancasila oleh Presiden Soekarno” Penerbit PSP Press 2013 (hal 25).
7
cukup. Atau sebaliknya banyak juga bangsa yang selalu berusaha menjaga hubungan baik dan memposisikan diri secara tepat terhadap Tuhan namun tidak membinanya kepada sesama makhluk. Inilah yang membedakan karakter Indonesia dengan karakter selain Indonesia. Selain bersikap dan perilaku baik terhadap sesama juga harus diiringi dengan ritual ke-Tuhanan yang baik.
Strategi Pembudayaan Pancasila Setelah memiliki pemahaman yang baik terhadap Pancasila maka berikutnya adalah bagaimana strategi kita untuk membudayakannya kepada Bangsa Indonesia. Pancasila hanya bisa dicintai, “dimiliki” dan bertahan kokoh sebagai ideology bangsa apabila ia mampu memecahkan berbagai masalah-masalah sosial kebangsaan yang ada. Oleh sebab itu sudah tepat bila Notonagoro5 kurang lebih mengatakan bahwa “isi Pancasila dapat ditemukan melalui berbagai kajian ilmiah” Pandangan ini cukup maju di jamannya, karena melihat Pancasila sebagai ideology terbuka yang terus menerus mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan masyarakat pendukungnya. Kerangka dasar filosofis untuk mengembangkan moralitas dalam pendidikan karakter adalah dengan memertimbangkan pembentukan kebiasaan, pembelajaran, pemodelan6 Untuk mencapai tujuan besar itu maka dibutuhkan berbagai konsep, langkah dan tahapan, diantaranya memperkenalkan pentingnya membentuk dan mengembangkan sikap moralitas tertentu. Maka diperlukan strategi bagaimana agar nilai-nilai Pancasila tersebut bisa membudaya pada masyarakat Indonesia. Upaya pembudayaan Pancasila inti telah dilakukan oleh Tim peneliti Strategis Nasional UGM (2011 – 2013). Dari kegiatan tersebut, tim peneliti melakukan pembudayaan Pancasila melalui beberapa kajian: 1. Materi : menemukan materi nilai-nilai ke Pancasilaan yang paling strategis untuk generasi muda. 5
Notonagoro, Pancasila, Bina Aksara, Jakarta: 1987 “Format Pendidikan Anti Korupsi di UIN/IAIN: Review Atas Kurikulum dan Proses Pembelajaran” dalam Saiful Amin Ghofur, 2009, Merancang Kurikulum Anti Korupsi, Jurnal Pendidikan Islam, No.01, Vol.01, hal 30-35. 5
8
2. Evaluasi: mencari kelemahan dan penyebab kelemahan
tersebut dalam
membudayakan Pancasila juga mencari best practice di masyarakat 3. Media Budaya: Mencari media budaya pembudayaan Pancasila yang sesuai dengan generasi muda 4. Media TIK: Mencari media TIK pembudayaan Pancasila yang sesuai dengan generasi muda 5. Lingkungan Komunikasi: memperoleh gambaran lingkungan komunikasi yang dapat menjadi gangguan atau kemudahan penyampaian pesan nilai-nilai Pancasila pada generasi muda.
Dari penelitian ini dihasilkan berbagai metode dan model pembudayaan Pancasila kepada generasi muda Indonesia. Misalnya model pembudayaan Pancasila luar sekolah tingkat lanjut (TKB), berbagai modul pembudayaan Pancasila, film pendek ke Pancasilaan, web ke-Pancasilaan, buku, souvenir, karya-karya ilmiah, dan lain sebagainya. Upaya yang dilakukan oleh tim peneliti dari UGM ini merupakan langkah yang luar biasa dalam upaya membangun karakter bangsa. Namun ada beberapa hal yang masih perlu dilakukan dan disempurnakan agar pembudayaan Pancasila yang memiliki tujuan akhir pembangunan karakter bangsa Indonesia bisa tercapai. Catatan mendasar dari penelitian ini adalah belum maksimalnya kerjasama pembudayaan Pancasila lintas lembaga dan sektoral. Sehingga efek yang dihasilkannya pun belum maksimal. Padahal produk penelitian yang dihasilkan sudah sangat bagus.
Penutup dan Rekomendasi Pembudayaan Pancasila tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, namun harus dilakukan dengan semangat kerjasama dan gotong royong. Masing-masing pihak melakukan pembudayaan sesuai dengan kemampuan dan kompetensinya masingmasing. Pancasila harus dibudayakan dengan cara yang sistematis dan menyeluruh 9
dan didukung dengan metode-metode yang menarik, melalui berbagai jalur mulai dari formal sampai dengan informal, melalui berbagai jenjang pendidikan mulai dari pra sekolah, dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi, memanfaatkan berbagai potensi dan kearifan lokal. Untuk itulah, penulis merekomendasikan agar pembudayaan Pancasila dilakukan secara tersistematis dan kerjasama yang masif antara berbagai pihak. Semua pihak yang ingin membudayakan Pancasila harus didukung sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya masing-masing. Jangan sampai antara satu lembaga dan lembaga lain, antara satu kegiatan dan kegiatan lain saling tidak peduli, saling bersaing, apalagi saling menjatuhkan. Ingat bahwa semua pihak memiliki satu tujuan yang sama MEMBANGUN KARAKTER BANGSA.
Referensi Soekarno, 2013. Pancasila Dasar Negara, Kursus Pancasila oleh Presiden Soekarno. Penerbit PSP Press Surono. 2014. “Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menyongsong Masyarakat Ekonomi Asean (Mea 2015)”. Seminar Wawasan Kebangsaan “Implementasi Nilai-nilai Pancasila dalam Menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN” tanggal 1 November 2014 di Universitas Mercu Buana Yogya Notonagoro, 1987. Pancasila, Bina Aksara, Jakarta Saiful Amin Ghofur, 2009, Merancang Kurikulum Anti Korupsi, Jurnal Pendidikan Islam, No.01, Vol.01, hal 30-35.
10