BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh ini berbentuk tinja (faeces), air seni (urine), dan CO2 sebagai hasil dari proses pernapasan. Saat ini akses masyarakat terhadap sarana sanitasi khususnya jamban, masih jauh dari harapan. Berbagai kampanye dan program telah banyak dilakukan, terakhir dengan pemberlakuan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Berbagai upaya tersebut sebetulnya bermuara pada terpenuhinya akses sanitasi masyarakat, khususnya jamban. Namun akses tersebut selain berbicara kuantitas yang terpenting a dalah kualitas. Berdasarkan hasil penelitian yang ada, seorang yang normal diperkirakan menghasilkan tinja rata-rata sehari 970 gram dan menghasilkan air seni 970 gram. Jadi bila penduduk Indonesia dewasa saat ini 200 juta maka setiap hari tinja yang dikeluarkan sekitar 194.000 juta gram (194.000 ton). Maka bila pengelolaan tinja tidak baik, jelas penyakit akan mudah tersebar. Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sebanding dengan area pemukiman, masalah pembuangan kotoran manusia meningkat. Dilihat dari segi
kesehatan
masyarakat,
masalah
pembuangan
kotoran
manusia
merupakan masalah yang pokok untuk sedini mungkin diatasi. Kurangnya perhatian terhadap pengelolaan tinja disertai dengan cepatnya pertambahan penduduk, jelas akan mempercepat penyebaran penyakit-penyakit yang ditularkan melalui tinja. Karena kotoran manusia (faeces)
adalah
sumber
penyebaran
penyakit
yang
multikompleks.
Penyebaran penyakit yang bersumber pada faeces dapat melalui berbagai macam jalan atau cara.
B. TUJUAN Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui pengelolaan tinja di daerah pemukiman. pemukiman.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.
Pengertian Tinja
Tinja merupakan semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Tinja (faeces) merupakan salah satu sumber penyebaran penyakit yang multikompleks. Orang yang terkena diare, kolera dan infeksi cacing biasanya mendapatkan infeksi ini melalui tinja (faeces). Seperti halnya sampah, tinja juga mengundang kedatangan lalat dan hewan-hewan lainnya. Lalat yang hinggap di atas tinja (faeces) yang mengandung kuman-kuman dapat menularkan kuman-kuman itu lewat makanan yang dihinggapinya, dan manusia lalu memakan makanan tersebut sehingga berakibat sakit. Beberapa penyakit yang dapat disebarkan akibat tinja manusia antara lain tipus, disentri, kolera, bermacam-macam cacing (gelang, kremi, tambang, pita), schistosomiasis, dan sebagainya. Sumber Tinja y
Manusia sebagai Individu Manusia sebagai individu dalam hal ini adalah seorang manusia yang hidup sendiri dalam suatu tempat tinggal terpisah dari individu yang menempati tempat tinggal lain, atau kelompok manusia yang satu individu dengan individu lainnya terikat dalam satu hubungan kekeluargaan atau kekerabatan yang menempati satu tempat tinggal sebagai satu keluarga. Tinja yang dihasilkan dari sumber ini biasanya ditangani
secara
perorangan
oleh
individu
atau
keluarga
yang
bersangkutan dengan menggunakan sarana pembuangan tinja berupa jamban perorangan atau jamban keluarga. y
Manusia sebagai Kelompok Manusia sebagai kelompok adalah kumpulan manusia yang bertempat tinggal di satu wilayah geografis dengan batas-batas tertentu. Individu dalam kelompok terikat oleh satu hubungan kemasyarakatan yang memiliki norma kelompok yang disepakati bersama. Masalah
penanganan tinja pada kelompok ini sering bersifat sangat kompleks. Berbagai faktor penyebab, yaitu keterbatasan penyediaan lahan, kepentingan yang berbeda antara individu, faktor sumber daya, faktor fisibilitas pengelolaan dan sebagainya sangat menentukan keberhasilan penanganan tinja dari manusia sebagai kelompok ini. Penanganan tinja dari manusia sebagai kelompok biasanya dilakukan secara kolektif dengan menggunakan jamban umum.
Dekomposisi Tinja
Tinja dimana dimana saja saja berada berada atau ditamp ditampung ung akan segera segera mulai mulai mengalami penguraian (decompotition), yang pada akhirnya akan berubah menjadi bahan yang stabil, tidak berbau, dan tidak mengganggu mengganggu.. Aktifitas utama dalam proses dekomposisi adalah : 1.
Pemecahan senyawa senyawa organic kompleks, kompleks, seperti seperti protein dan urea, menjadi menjadi bahan yang lebih sederhana dan lebih stabil;
2.
Penguranga n volume dan dan massa (kadang (kada ng ± kadang kada ng sampai 80%) dari bahan yang mengalami dekomposisi, dengan hasil gas metan, karbon dioksida, amoniak, dan nitrogen yang dilepaska n ke atmosfer; Bahan ± bahan yang terlarut yang dalam keadaan tertentu meresap kedalam tanah di bawahnya; dan
3.
Penghancuran organisme pathogen pathogen yang dalam beberapa beberapa hal tidak mampu hidup dalam proses dekomposisi, atau diserang oleh banyak jasad renik didalam massa yang tengah mengalami dekomposisi. Bakteri memegang peranan penting dalam dekomposisi. Aktifitas
bakteri dapat berlangsung dalam suasana aerobik, yakni dalam keadaan terdapat udara, atau ata u anaerobic dalam keadaan tida k terdapat oksigen. Seluruh proses dapat berlangsung secara anaerobik, seperti yang terjadi pada kakus air (aqua privy), tangki pembusukan (septic tank), atau pada dasar lubang yang dalam; atau secara aerobik, seperti pada dekomposisi tertentu. Disamping itu, dekomposisi dapat terdiri lebih dari satu tahap, sebagian aerobic dan sebagian lainnya anaerobik, tergantung pada kondisi fisik yang
ada.
Sebagai
contoh,
proses
anaerobik
berlangsung
dalam
tangki
pembusukan, efluen cair meresap kedalam tanah melalui saluran peresapan dan meninggalkan banyak bahan organik pada lapisan atas tanah. Bahan organik itu diuraikan secara aerobic oleh bakteri saprofit yang mampu menembus tanah sampai sedalam sedala m 60cm. Proses dekomposisi dekomposisi berlangsung pada semua bahan organic mati yang ya ng berasal dari tumbuhan atau hewan, terutama pada komponen nitrat, sulfat, atau karbonat yang dikandungnya. Pada kotoran manusia yang merupakan campuran tinja dan air seni yang relative kaya akan senyawa nitrat, proses dekomposisi terjadi melalui siklus nitrogen. Pada siklus ini, pertama ± tama, senyawa dipecahkan menjadi amonia dan bahan sederhana lainnya. Kemudian, diubah oleh bakteri nitrit (nitrifying bacteria) menjadi nitrit dan nitrat. Bau merangsang yang timbul selama dekomposisi air seni disebabkan oleh amonia yang tetrlepas sebelum berubah menjadi bentuk yang lebih stabil. Dekomposisi dapat berlangsung sangat cepat, dari beberapa hari pada dekomposisi mekanis yang sangat terkendali sampai dengan beberapa bulan, bahkan hamper satu ta hun pada kondisi rata ± rata lubang jamban. Pada umunya, kondisi yang terjadi pada dekomposisi tinja tidak menguntungkan bagi kehidupan organism pathogen. Bukan hanya karena temperatur dan kandungan airnya yang menghambat pertumbuhan organisme pathogen itu, melainkan kompetisi antara flora bakteri dan protozoa, yang bersifat predator dan merusak. Pathogen cenderung cenderung cepat mati apabila produk akhir dekomposisi yang berbentuk seperti humus itu di hamparkan diluar dan mengering. Bakteri pathogen tidak dapat hidup lebih lama dari 2 bulan pada isi lubang lubang jamban yang dibiarkan dibiarkan begitu begitu saja. Telur cacing cacing tambang akan tetap hidup lebih lama, tergantung pada kelembaban dan temperature udara, smapai 5 bulan pada iklim dingin, dan lebih pendek waktunya pada kondisi tropis. Mereka bahkan menetas dalam kondisi ada udara, dan akan menghasilkan larva yang dapat hidup selama beberapa minggu pada tanah yang lembab dan berpasir. Telur ascaris dapat hidup 2 atau 3 pekan dalam bahan yang terdapat pada lubang jamban.
Hasil akhir proses dekomposisi mengandung nutrient tanah yang bermanfaat dan dapat memberikan keuntungan bila digunakan sebagia pupuk penyubur tanaman (fertilizer). Kadang ± kadang petani mengeluh karena sedikitnya
kandungan
nitrogen
pada
tinja
yang
telah
memngalami
dekomposisi. Tinja segar memang mengandung lebih banyak bahan nitrogen, namun bahan itu tidak dapat digunakan oleh tanaman pada susunan nya yang asli. Tanaman hanya dapat menggunaan nitrogen sebagia amonia, nitrit, atua nitrat yang mana dihasilkan selama dekomposisi tahap lanjutan. Bila tinja segar dihamparkan diatas tanah, kebanyakan nitrogen akan berubah menjadi bahan padat yang menguap ke udara sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
2.
Pengelolaan Pembuangan Kotoran Tinja
Untuk mencegah, sekurang-kurangnya mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik, maksudnya pembuangan kotoran harus di suatu tempat tertentu atau jamban yang sehat. Suatu jamban disebut sehat untuk daerah pedesaan apabila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut : a.
Tidak mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban tersebut.
b.
Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya.
c.
Tidak mengotori air tanah di sekitarnya.
d.
Tidak dapat dapat terjangkau oleh serangga serangga terutama terutama lalat dan kecoa dan binatang - binatang lainnya.
e.
Tidak menimbulkan bau.
f.
Mudah digunakan dan dipelihara (maintenance).
g.
Sederhana desainnya. desainnya.
h.
Murah
i.
Dapat diterima oleh pemakainya. Agar
persyaratan-persyaratan
diperhatikan antara lain sebagai berikut :
ini
dapat
dipenuhi
maka
perlu
a.
Sebaiknya jamban tersebut tertutup, artinya bangunan jamban terlindung dari panas dan hujan, serangga dan binatang-binatang lain, terlindung dari pandangan orang (privacy) dan sebagainya.
b.
Bangunan jamban sebaiknya mempunyai mempunyai lantai lantai yang kuat, tempat berpijak yang kuat, dan sebagainya.
c.
Bangunan jamban sedapat mungkin mungkin ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu pandangan, tidak menimbulkan menimbulkan bau, ba u, dan sebagainya. sebagainya.
d.
Sedapat mungkin mungkin disediakan alat pembersih seperti air atau kertas kertas pembersih.
3.
Metode
Pengelolaan Tinja
a. Memisahkan Sampah/Kotoran dari Lumpur Tinja Lumpur tinja (septage) yang diambil dari dasar tangki septik di rumah kita. Warnanya hitam, baunya sangat menyengat, menyerupai telur busuk, karena di dalamnya terkandung banyak gas Hidrogen Sulfida (H2S), dan gas lainnya yang terkandung dalam lumpur tinja tersebut. Apabila ditempatkan dalam bentuk lapisan titpis diatas dasar padat yang poreous. Seperti lapisan pasir padat, misalnya, maka air yang dikandungnya dikandungnya dapat diserap oleh dasar poreous tersebut dan lumpur tinja ini dapat dikeringkan. Tetapi mengingat baunya yang tidak sedap, sangat mengganggu lingkungan maka sebelum dikeringkan, lumpur tinja ini harus diolah lebih lanjut dalam Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT). Jangan dibuang langsung ke sungai karena akan menimbulkan pencemaran lingkungan yang lebih parah, dan menimbulkan bakteri pathogen ke mana-mana. Lumpur tinja yang disedot oleh truk tinja, banyak mengandung sampah padat lainnya yang dibuang kedalam lubang kakus sehingga sesampainya di IPLT, perlu dilewatkan saringan berjeruji besi, agar sampah dan kotoran lain dapat dipisahkan tersendiri. Banyak tipe saringan, yang diperlengkapi dengan dengan alat mekanis yang bergerak otomatis
mengeruk sampah yang tersangkut pada jeruji besi tersebut, atau yang secara mekanis/elektris, menghancurkan sampah sa mpah tersebut (³comminutor´) (³comminutor´) dengan gerakan seperti mengunyah makanan. Untuk pemakaian di Indonesia, sebaiknya digunakan saja saringan dengan pembersih sampah secara manual.
b. Mengolah Lumpur Karena lumpur akan memasuki perpipaan, pompa lumpur, dll, maka dilakukan upaya untuk memeperlancarkan jalannya lumpur didalam menjalani proses selanjutnya. s elanjutnya. Karaktristik lumpur lumpur dibuat lebih ´uniform´, ´u niform´, sama jenis, lembut, agar tidak menyumbat peralatan instalasi. Beberapa proses ini biasanya berhasil baik : y
Sludge Grinding, dengan peralatan mekanis bongkahan lumpur yang besar atau panjang dipotong menjadi partikel kecil, atau digerus. Jangan sampai lumpur ini menyumbat atau merangkak didalam pipa, pompa, dll.
y
Sludge Blending, mencampur bermacam-macam komposisi lumpur yang terdiri dari endapan kimiawai atau biologi, menjadi suatu adukan yang uniform, agar memudahkan aliran bagian hilir instalasi. Apalagi kalau lumpur ini harus mengalami suatu ³waktu inap´ yang tertentu. Adukan yang uniform memudahkan terselenggaranya operasional ini.
c.
roses P roses
Stabilisasi Lumpur
Lumpur diproses lebih lanjut dengan melakukan stabilisasi, agar volumenya menyusut (reduksi), mengalami stabilisasi dan masa lumpur menjadi berkurang. Beberapa proses dibawah ini dapat meningkatkan kualitas lumpur karena : (i). Bakteri pathogen berkurang jumlahnya (ii). Bau yang menyengat bisa berkurang (iii). Mencegah, dan mengurangi potensi pembusukan. Keberhasilan untuk mencapai ketiga tujuan diatas, tergantung pada proses stabilisasi yang dilakukan terhadap bagian zat
organik
dari
lumpur
yang
mudah
menguap
(³volatile´).
Kalau
mikroorganisme dibiarkan mengerumuni bagian zat organik dari lumpur yang diolah, maka stabilisasi, boleh dikatakan kurang berhasil. Secara nyata dapat dikatakan, bahwa suatu proses stabilisasi merupakan upaya untuk melakukan y
Reduksi secara biologis terhadap kadar zat organik volatile volatile
y
Oksidasi secara kimiawi terhadap bahan volatile yang ada dalam lumpur
y
Penambahan zat kimia tertentu untuk menciptakan kondisi dimana mikroorganisme tidak memiliki ketahanan untuk hidup lagi, sehingga akan mati dan berkurang jumlahnya
y
Pemanasan terhadap lumpur tersebut, sebagai langkah untuk sterilisasi/desinfectant
Didalam prakteknya, proses stabilisasi dilakukan dengan berbagai cara seperti : y
penambahan kapur tohor, dengan membubuhkan kapur tohor kedalam lumpur, agar tercipta lingkungan yang tidak kondusif untuk ketahanan hidup dari mikroorganisme. Dengan demikian pH diharapkan mencapai angka 12 atau lebih. Bilamana pH dapat dipertahankan pada tingkatan ini, maka lumpur tidak akan membusuk, dan tidak menimbulkan bau menyengat, serta tidak mengganggu kesehatan.
y
pemanasan dimana lumpur dipanaskan sampai 260o C, pada tekanan 2
sekitar 2760 kN/m , untuk jangka pendek (misalnya 30 menit). Dengan demikian aktivitas panas yang ditimbulkannya melepakan air yang terikat dalam lumpur dan menimbulkan koagulasi zat padatnya. Selain itu terjadi juga hidrolisis terhadap bahan protein, sehingga sel mengalami kehancuran, dan menimbulkan senyawa organik dan a mmonia mmonia nitrogen. y
anaerobic digestion, melakukan penguraian bahan organik dan anorganik tanpa kehadiran molekul zat asam. Dalam hal ini bahan
organik dirubah secara biologis dalam kondisi anaerobik menjadi gas methan (CH4 ), dan zat asam arang (CO2). Dengan demikian zat organik berkurang jumlahnya, bakteri yang patogen juga semakin hilang, dan lumpur tidak bisa membusuk lagi. y
composting
merupakan
suatu
proses
dimana
bahan
organik
mengalami proses penguraian secara biologis, menjadi suatu produk yang lebih stabil, tidak berbau, hygienic, dan berbentuk menyerupai humus. Sekitar 20 sampai 30 persen dari bahan yang mudah menguap volatile dirubah menjadi karbondioksida dan air. Panas yang ditimbulkan selama proses ini bisa mencapai 50 sampai 70 derajad Celcius, sehingga mematikan organis me enteric pathogenic.
d.
roses P emisahan emisahan P roses Setelah
Kandungan Air dalam Lumpur
lumpur
menjadi
stabil,
maka
diupayakan
untuk
memisahkan kandungan air a gar keluar dari lumpur tersebut. Adapun cara yang dipergunakan tergantung pada kondisi setempat, yaitu: y
thickening (concentration), menggunakan peralatan mekanik untuk menekan, memutar, atau menyembuhkan udara sehingga lumpur mengapung di atas air dan dipisahkan ters endiri.
y
Conditioning, dengan membubuhkaan zat kimia (besi klorida, kapur, polimer organik), ata u memanaskan lumpur pada tekanan tertentu dalam waktu yang relatif pendek, sehingga lumpur mengalami koagulasi, dan airnya terpisah. Pengeringan lumpur yang dilakukan dengan bantuan panas matahari, atau sumber panas lainnya.
y
Dewatering, bisa dilakukan dengan udara vakum yang bisa memisahkan air dari lumpur, putaran sentrifugal, sehingga airnya terlontar meninggalkan lumpur oleh gaya yang ditimbulkannya. Bisa juga lumpur dihimpit diantara dua buah silinder yang berputar, sehingga airnya keluar.
y
Sludge Drying Bed, mengeringkan lumpur yang dituangkan rata diatas pelataran yang luas, sehingga sinar matahari menguapkan
airnya. Cara ini termasuk murah, hanya memerlukan sedikit perhatian dari operator, dan menghasilkan zat padat yang terbanyak.
4.
Proses yang Paling Cocok untuk Mengolah Lumpur Tinja di Indonesia
roses Anaerobic Digestion P roses Dilakukan didalam suasana tertutup, tanpa zat asam (suasana anaerobic). Lumpur tinja dimasukkan kedalam suatu tanki tertutup. Adapun waktu inap yang diperlukan tergantung jenis proses yaitu: Pencernaan Lumpur Berkecepatan Standar
y
Lumpur disimpan dalam tangki tertutup, dan diperlukan waktu inap relatif lama, yaitu berkisar antara 30 ± 60 hari. Tipe ini sangat cocok untuk IPLT di Indonesia, karena fungsi untuk mencerna sludge thickening dan pembentukan supernatant, dilakukan secara simultan dalam tangki ini. Gas terkumpul dibawah tutup tangki, dan berturutturut dibawah gas ini ada lapisan :
Scuat yang berasal dari minyak dan baha n padat lainnya
Supernatant, limbah limbah cair yang ya ng masih harus diolah tersendiri
Lumpur yang sedang dicerna, dimana inlet lumpur baru harus masuk melalui lapisan ini.
Lumpur yang sudah selesai dicerna berada pada lapisan paling bawah
dan
sudah
dapat
diambil
untuk
dilakukan
proses
pengeringan pengeringan airnya. y
Pencernaan Lumpur Berkecepatan Tinggi Lumpur didalam tangki, dicampur dan dipanaskan sehingga waktu inap dapat dikurangi menjadi kurang dari 15 hari. Pencampuran dilakukan dengan sirkulasi gas, alat pencampur mekanis, pompa, sehingga tidak cocok untuk IPLT di Indonesia. Tentu saja, lapisan supernatant dan scum tidak terbentuk sama sekali. Selain itu, lumpur dipanaskan dengan pemanas dari luar, untuk mencapai kecepatan optimum dari pencernaan. Semburan gas harus merata disemua sudut.
Jangan ada sudut mati yang tidak menerima semburan. Oleh karena itu, tangki harus lebih dalam, dan pengambilan lumpur yang selesai dicerna dan supernatant yang dihasilkan harus dibatasi agar tidak terlalu sering. Untuk merubah bahan organic dalam lumpur menjadi gas Methana dan gas Karbon Dioksida, diperlukan beberapa tahapan kerja berbagai kelompok mikroorganisme dalam beberapa kondisi kondisi zat asam. y
Tahapan Hidrolisis dalam suasana a naerobic: naerobic: Polimer organik dan lemak dirubah menjadi struktur dasar seperti monosacharida, asam amino dan senyawa yang terkait lainnya.
y
Tahapan Fermentasi dalam suasana fakultatip Melanjutkan kelompok terdahulu, maka dihasilkan asam organic, berupa asam acetic
y
Tahapan
Terakhir,
Methanogenik
untuk
oleh
Kelompok
menghasilkan
Mikroorganisme
Methana
dan
Karbon
Dioksida. Kelompok ini dapat dijumpai pada lambung beberapa jenis binatang, atau berupa sedimen organis didasar danau dan s ungai.
Tahapan
proses
menghasilkan
biologis
lumpur
yang
dengan
anaerobic
warnanya
hitam
digestion
akan
kecoklatan,
dan
mengandung banyak gas didalamnya, tetapi baunya tidak terlalu menyengat, hanya menyerupai bau aspal panas, karet terbakar atau lilin cair. Kalau diletakkan diatas dasar yang poreous (menyerap air), seperti pasir rata misalnya, maka gasnya segera keluar bersama air bening sehingga lumpur terbenam mencapai per mukaan dasar poreous tersebut. Dengan sistem drainase yang baik, air segera meninggalkan lumpur, dan oleh sinar matahari, misalnya lumpur ini bisa mulai kering kemudian retak-retak dan menimbulkan aroma seperti lumpur taman didepan rumah kita. Produk akhir sudah aman untuk
lingkungan, dan bisa dipakai untuk pupuk tanaman atau untuk mengurung lahan yang dirasa kurang tinggi.
engeringan P engeringan
Lumpur yang Sudah Stabil
Untuk IPLT di Indonesia, cara paling cocok untuk mengeringkan lumpur lumpur yang ya ng sudah mengalami stabilisasi dalam tangki anaerobic digestion adalah Sludge Drying Bed memakai penyinaran matahari, karena cara lain, yaitu thickening, conditioning, dewatering memerlukan peralatan mekanis dan elektris yang mahal perawatannya. Cara ini memerlukan lahan yang relatif luas. Lumpur dari dasar tangki anaerobic digestion dialirkan melalui pipa
berdiameter
6
inchi
(sedapat
mungkin
secara
gravitaasi).
Sesampainya pada kawasan Sludge Drying Bed yang berupa petak yang masing-masing berukuran sekitar 8 x 30 meter, lumpur ditumpahkan (melalui keran pembagi) kedalam saluran pembagi lumpur yang kemudian mencurahkan kedalam petak yang tersedia melalui suatu ambal peluap. Pada waktu pengerukan lumpur yang sudah kering, ambal ini bisa disekat dengan sehelai papan. Lumpur dibiarkan menggenangi permukaan petak, samapi setebal 20 ± 30 cm, sehingga air yang terkandung dalam lumpur meresapi dasar petak yang terdiri dari pasir halus (paling atas), dan didukung oleh lapisan dibawahnya yang terdiri dari kerikil halus sampai kasar. Tentu saja ada air yang menguap karena sinar matahari, atau diterpa oleh tiupan angin, meskipun jumlahnya tidak banyak. Meskipun lumpur yang dikeringkan sudah mengalami proses stabilisasi, tetapi sebaiknya lokasi kawasan Sludge Drying Bed ini diletakkan paling sedikit 100 meter dari hunian warga. Sementara lumpur dikeringkan oleh sinar matahari, air meresap kedalam lapisan bawah pada petak yang ada, dan kemudian ditampung oleh pipa perforasi (badan pipa dilubangi dan dibalut dengan ijuk). Kemiringan pipa perforasi ini jangan kurang dari 1% dan air dikumpulkan bersama dengan supernatant dari tangki untuk selanjutnya menerima
pengolahan lanjutan, selama BOD5 belum memenuhi persyaratan untuk dibuang kebadan air penerima. Lumpur Lumpur yang sudah dikeringkan dikeringkan sampai sa mpai 10 hari berhasil berkurang kadar airnya sampai 40% dan siap diangkut dengan truk. Oleh karena itu, pada area Sludge Drying Bed ini harus disediakan jalanan truk berikut tempat parkir, antara 30% ± 40% dari luas petak pengering. Adapaun kebutuhan luas petak pengeringan, biasanya dihitung perkapita penduduk yang dilayani, yaitu berkisar antara 0,04 ± 0,07 m 2/orang.
engolahan P engolahan
Lanjutan dari Supernatant
Supernatant berupa air yang masih memiliki kandungan BOD 5 karena air ini berasal dari tangki septik yang tersedot airnya bersama lumpur. Sewaktu berada didalam tangki anaerobic digestion air supernatant ini tidak ikut mengalami proses stabilisasi, karena boleh dikatakan air ini segera meninggalkan tangki sebelum meengendap dalam waktu inap yang cukup. Dalam hal ini hanya lumpur yang mengalami stabilisasi. Oleh karena itu, air supernatant ini harus diolah lebih lanjut sebelum dibuang ke badan air penerima. Stabilisasi anaerobic semacam ini, menggantungkan menggantungkan perannya pada bakteri dan ganggang, sehingga kita kenal dua macam kolam aerobic, aerobic, yaitu :
Kolam dangkal (15 ± 45 cm), yang mengandalkan produksi ganggang / lumut.
Kolam dalam (1,5 meter), yang mengandalkan bakteri aerobic untuk mencerna bahan organik. Oleh karena itu, kolam ini diberi zat asam secara berkesinambungan. Kalau perlu diaduk airnya dengan aerator atau pompa.
Dalam kolam aerobic yang mengandalkan photosynthetic zat asam dipasok dari udara bebas, dan oleh ganggang/lumut yang melakukan photosynthetic, dimana zat asam dilepas oleh ganggang, dan dikonsumsi oleh bakteri untuk melakukan pembusukan zat organik. Hasil dari proses
ini adalah zat makanan (nutrient) dan karbondioksida. Keduanya langsung dimakan oleh ganggang / lumut, sehingga terjadilah simbiose yang saling menguntungkan. Selain bakteri, terdapat juga protozoa, dan mikroorganisme lainnya, yang berfungsi memperluas effluent yang dihasilkan. Tentu saja kehadiran mereka dalam kolam aerobic ini dipengaruhi oleh beberapa factor, seperti:
Masuknya Masuknya zat organic, sebagai makanan mereka.
Kadar zat asam dala m kolam.
Sinar matahari, pH.
Suhu air memiliki pengaruh paling paling dominan terhadap keberadaan zat asam, yang dengan sendirinya mempengaruhi populasi populasi bakteri maupun ganggang/lumut. ganggang/lumut.
5.
Teknik Pembuangan Tinja dengan Sistem Jamban
Terdapat tiga kelompok teknik pembuangan tinja dengan system jamban, yaitu : 1) Teknik yang menggunakan jamban tipe uta ma, 2) Teknik yang menggunakan menggunakan jamban tipe yang kurang kurang dianjurkan, dan 3) Teknik yang menggunakan jamban untuk situasi khusus. Teknik yang menggunakan Jamban Tipe Uta ma Dua jenis jamban tipe utama yang paling memenuhi ketujuh persyaratan tetrsebut diatas adalah jamban ja mban cubluk dan jamban air. amban J amban
Cubluk
Jamban Cubluk digunakan secara luas di Negara barat tremasuk Eropa, dan Negara di Afrika, serta Timur Tengah. Dengan perhatian sedikit pada penempatan dan konstruksi, jenis jamban itu tidak akan mencemari tanah ataupun mengkontaminasi air permukaan serta air tanah. Tinja tidak akan dapat dicapai oleh lalat apabila lubang jamban selalu tertutup. Bahkan, meskipun lubang dibiarkan terbuka, masalah lalat tidak terlalu gawat karena lalat tidak akan tertarik pada lubang luba ng dan permukaan yang ya ng gelap. Rumah jamban ja mban ynag baik akan akan membantu mencegah masuknya sinar matahari kedalam lubang. Dengan jamban cubluk, tidak akan terjadi penanganan langsung tinja. Bau dapat diabaikan dan tinja biasanya tidak terlihat. Jamban cubluk mudah direncanakan, digunakan, dan tidak memerlukan pengoperasian. Maa penggunaannya bervariasi, dari 5 sampai 15 tahun, tergantung pada kapasitas lubang dan penggunaan bahan pembersih yang dimasukkan kedalamnya. Keuntungan yang utama dari jenis jamban itu adalah dapat dibuat dengan biaya rendah, dapat dibuat di setiap tempat didunia, dapat dibuat dengan bahan yang tersedia. Jenis jamban itu mempunyai sedikit kelemahan, tapi dapat berperan utama dalam pencegahan penyakit yang disebarkan melalui tinja.
Jamban cubluk terdiri dari lubang dalam tanah yang digali dengan tangan, dilengkapi dengan lantai tempat berjongkok, dan dibuat rumah jamban diatasnya. Lubang berfungsi untuk mengisolasi dan menyimpan tinja manusia sedemikian rupa sehingga bakteri yang berbahaya tidak dapat berpindah ke inang yang baru. Lubang biasanya berbentuk bulat atau bujur sangkar untuk instalasi jamban keluarga, dan empat persegi panjang untuk jamban umum. Lubang mempunyai diameter atau panjang sisi bervariasi, dari 90 sampai 120 cm. Jamban umum dengan lubang lubang berbentuk empat persegi persegi panjang, biasanya biasanya berukuran lebar lebar 90 100 cm, dan panjangnya berganntung pada jumlah lubang pemasukan tinja. Kedalaman lubang sekitar 2,5 meter, tetapi dapat bervariasi, dari 1,8 meter sampai 5 meter. Penentuan volume dan ukuran ukuran lubang jamban untuk untuk periode penggunaan penggunaan tertentu perlu memperhatikan tipe lubang yang dipakai : apakah tipe lubang basah yang menembus permukaan air tanah atau lubang kering yang tidak menembus permukaan air tanah. Volume dan kedalaman lubang jamban dengan luas penampang melintang 0,8361 m2, untuk satu keluarga yang terdiri dari lima orang. Pada tanah yang mudah runtuh, dinding lubang perlu diperkuat dengan pasangan bata, batu kali, atau anyaman bamboo. Lantai jamban harus dibuat dari bahan yang kuat, tahan lama, kedap air dengan permukaan yng keras, dan mudah dibersihkan. Bahan untuk lantai lantai dapat berupa beton bertulang atau susunan kayu yang diisi dengan campuran semen. Rumah jamban perlu dibuat dengan memperhatikan
persyaratan
yang
menyangkut
factor
ukuran,
ventilasi,
pencahayaan, serta kebersihan. Bahan untuk rumah jamban disesuaikan dengan biaya yang tersedia. Dindingnya dapat dibuat dari pasangan bata, kayu, atau bamboo. Atapnya dapat dibuat dari genting, sirap, atau ilalang, amban J amban
Air
Jamban air merupakan modifikasi jamban yang menggunakan tangki pembusukan, yang berasal dari Amerika Serikat kira ± kira Sembilan puluh tahun yang lalu. Kini, jenis jamban itu banyak digunakan di negara ± negara di Afrika,
Timur Tengah, dan Asia Tenggara. Apabila tangkinya kedap air, maka tanah, air tanah, serta air permukaan tidak akan terkontaminasi. Lalat tidak akan tertarik pada isi tangki, tidak ada bau, ataupun kondisi yang tidak sedap dipandang. Jenis jamban itu dapat dibangun di dekat rumah. Tinja dan lumpur bersama ± sama dengan batu, batang kayu, kain bekas, dan sampah lain yang mungkin terbuang kedalamnya akan tertumpuk dalam tangki. Sudah barang tentu, benda itu harus dihilangkan pada periode tertentu. Apabila kapasitas tangki cukup besar, penanganan isi tangki dapat diusahakan minimum. Jamban air memerlukan penambahan air setiap hari agar dapat beroperasi sebagaimana mestinya. Air itu biasanya berasal dari air yang digunakan untuk pembersih anus dan untuk pembersih lantai jamban, serta pipa atau corong pemasukan tinja. Jenis jamban ini memerlukan sedikit pemeliharaan dan merupakan jenis instalasi yang permanen. Jamban ini lebih mahal pembuatannya dibandingkan dengan jamban cubluk. Jamban air terdiri dari sebuah tangki berisi air, di dalamnya terdapat pipa pemasukan tinja yang tergantung pada lantai jamban. Tinja dan air seni jatuh melalui pipa pemasukan ke dalam tangki dan mengalami dekomposisi anaerobik, seperti pada tangki pembusukan. Lumpur hasil dekomposisi, yang hanya mengandung sekitar 25% dari volume tinja yang dimasukkan, akan berakumulasi dalam tangki dan harus dipindahkan secara berkala. Ukuran tangki jamban air bervariasi sesuai dengan jumlah orang yang akan menggunakan. Kapasitas tangki untuk jamban air keluarga sebaiknya tidak 3
kurang dari 1 m untuk periode pengurasan enam tahun atau lebih. Untuk jamban umum, kapasitas tangki dapat dibuat dengan pedoman angka 115 liter per orang dikalikan jumlah maksimum pemakai. Kedalaman cairan dalam tangki dapat dibuat antara 1,0 dan 1,5 m. Efluen limbahan dari tangki yang potensial mengandung bakteri pathogen pathogen serta telur cacing parasit harus diresapkan ke dala m tanah melalui sumur atau parit peresapan.
amban J amban
Leher Angsa
Jamban leher angsa atau jamban tuang siram yang menggunakan sekat air bukanlah jenis instalasi pembuangan tinja yang tersendiri, melainkan lebih merupakan modifikasi yang penting dar i slab atau lantai jamban biasa. Lantai dengan sekat air dapat dipasang diatas lubang pada jamban cubluk atau diatas tangki air pada jamban air. Jamban leher angsa terdiri dari lantai beton biasa yang dilengkapi leher angsa. Slab itu dapat langsung dipasang diatas lubang galian, lubang hasil pengeboran, atau tangki pembusukan. Satu sampai tiga liter air cukup untuk menggelontor tinja kedalam lubang. Dengan adanya sekat air pada leher angsa, lalat tidak dapat mencapai bahan yang terdapat pada lubang jamban, dan bau tidak dapat keluar dari lubang itu.
Teknik yang Menggunakan J amban amban untuk Situasi Khusus Beberapa jenis jamban yang cocok untuk situasi khusus adalah jamban kompos, jamban kimia, jamban kolam dan jamban gas bio. Kakus kompos digunakan didaerah yang penduduknya yang suka membuat kompos dari campuran tinja dan sampah organik di jamban yang digunakannya. Prosedur pembuatan dan pengopeerasian kakus kompos adalah sebagai berikut: 1.
Galilah lubang sesuai dengan ukuran yang diperlukan. Dasar lubang harus selalu diatas permukaan air tanah.
2.
Sebelum slab atau lantai diletakkan diatasnya, tutuplah dasar lubang setinggi 50 cm dengan potongan rumput, dan daunan yang kecil, sampah daun, kertas, dan sebagainya.
3.
Tempatkanlah slab dan rumah jamban sedemikian rupa sehingga dipindahkan secara berkala ke tempat lain.
4.
Selain tinja manusia, masukkan juga sampah daun ± daunan yang dihasilkan setiap hari ke dalam lubang, kemudian kotoran sapi, tanah atau jerami yang terkena rembesan air seni. Bahan yang disebut terakhir penting karena air seni kaya akan nitrogen nutrient utama bagi tanaman.
5.
Kurang lebih seminggu sekali masukkanlah kedalam lubang beberapa kilogram guntingan rumput dan daun ± daunan yang berstektur halus.
6.
Apabila isi lubang telah mencapai ketinggian 50 cm dibawah permukaan tanah, galilah sebuah lubang baru pada jarak 1,5 ± 2 m dari lubang itu dan slab serta rumah jamban dipindahkan keatasnya. Lubang pertama ditutup, pertama ± tama dengan guntingan rumput dan daun ± daunan setinggi 15 cm kemudian tanah setebal 35 cm.
7.
Apabila lubang kedua penuh, lubang pertama dibuka dan komposnya dikeluarkan. Kompos ini bersifat stabil dan akan menjadi pupuk bagus yang dapat segera digunakan di kebun atau disimpan.
Volume lubang tergantung pada kebutuhan akan pupuk dan jumlah orang yang akan menggunakan jamban. Proporsi volume tinja yang dapat ditambahkan pada volume sampah, agar pembuatan kompos berlangsung memuaskan, kira ± kira 1 : 5. Jamban kimia merupakan instalasi pembuangan tinja yang efisien dan memenuhi semua kriteria jamban saniter tersebut diatas. T eknik pembuangan pembuangan tinja dengan jamban kimia dapat dikatakan mahal, baik biaya awal maupun pengoperasiannya.
Keuntungan
utama
dari
jamban
kimia
adalah
dapat
ditempatkan didalam rumah. jamban itu sering digunakan dirumah dan sekolah didaerah yang tingkat ekonominya memungkinkan, serta pada sarana transportasi jarak jauh, baik darat, laut maupun udara. Jamban kimia terdiri dari sebuah tangki logam yang berisi larutan soda kaustik. Tempat duduk atau tempat jongkok dengan penutupnya ditempatkan langsung diatas tangki. Tangki dilengkapi dengan pipa ventilasi yang ujunganya
menjorok sampai ke atas atap rumah. larutan soda kaustik yang dimasukkan tersusun dari 11,3 kg soda kaustik dilarutkan dalam 50 liter air untuk tiap tempat duduk atau tempat jongkok. Tinja yang tertampung dalam tangki akan dicairkan dan disterilkan oleh bahan kimia itu, yang akan menghancurkan pula bakteri pathogen dan telur cacing. Untuk memudahkan pengoperasiannya, tangki biasanya dilengkapi dengan pengaduk yang akan membantu menghancurkan bahan padat dan mempercepat penghancurannya oleh bahan kimia. Setelah beberapa bulan penggunaan, bahan kimia yang telah digunakan serta cairan yang dihasilkan dibuang atau dialirkan keluar, dan dipindahkan ke kolam pembuangan rembes air. Untuk sarana transportasi kapal, pesawat udara, kereta api, bus dan sebagainya jamban kimia dapat dibuat dengan kapasitas kira ± kira 40 liter agar dapat dipindah ± pindahkan. Jamban kolam banyak dijumpai di berbagai daerah di Indonesia, terutama didaerah yang penduduknya banyak mengusahakan kolam atau tambak ikan. Orang yang menggunakan jamban itu memanfaatkan tinja yang dibuangnya secara langsung untuk makanan ikan yang dipeliharanya. Namun, penggunaan jamban kolam ini dapat menimbulkan pencemaran yaitu terjadinya pencemaran bakteriologis pada air permukaan yang mengandung resiko besar terjadinya penularan penyakit melalui tinja dan a ir, dari penderita kepada orang yang sehat. Apabila jamban kolam akan digunakan, ketentuan berikut harus diperhatikan dan dilaksanakan. 1. Air kolam tidak boleh digunakan untuk keperluan sehari ± hari seperti mandi, cuci dan minum. 2. Kolam harus selalu penuh dengan air. 3. Kolam harus cukup luas, selalu mendapatkan sinar matahari dan tidak terdapat pohon rindang didekatnya. 4. Letak jamban harus sedemikan rupa sehingga tinja selalu jatuh ke air. 5. Ikan yang diperoleh dari kolam terssebut tidak boleh dimakan mentah atau setengah masak.
6. Aman dalam pemakaiannya. 7. Tidak terdapat sumur air minum yang terletak dibawah kolam atau yang sejajar dengan jarak kurang dari 15 meter. 8. Tidak terdapat tanaman ta naman yang tumbuh diatas permukaan air kolam. Jamban
gas
bio
merupakan
instalaasi
pembuangan
tinja
yang
membeerikan keuntungan ganda. Apabila dibuat, dioperasikan, dan dipelihara sebagaimana mestinya dengan memperhatikan persyaratan sanitasi pembuangan tinja, teknik pembuangan tinja akan mencegah penularan penyakit saluran pencernaan. Selain itu, teknik yang sama akan menghasilkan dua bahan yang bermanfaat, yakni gas bio yang dapat digunakan sebagai bahan bakar dan kompos yang berguna untuk menyuburkan tana man. Jamban gas bio terdiri dari rumah jamban, tangki pencerna, penampung gas, dan system perpipaan untuk menyalurkan gas bio dari tangki pencerna ke penampungan gas dan dari penampungan gas ke tempat pemakaian gas (kompor, alat penerangan dan sebagainya). Ke dalam tangki pencerna, setiap hari dimasukkan tinja, sampah organic yang berupa sampah daun, dan kotoran kandang. Dalam tangki pencerna, bahan isian yang merupakan campuran bahan organic akan mengalami dekomposisi secara anaerobic dan menghasilkan gas bio. Gas bio adalah campuran berbagai gas yang dihasilkan dari suatu proses fermentasi bahan organic oleh bakt eri dalam keadaan tanpa oksigen. Teknik P embuangan embuangan Tinja dengan Sistem Aliran Air Metode ini memenuhi semua criteria sanitasi dan keindahan bagi sarana pembuangan tinja. Dengan metode itu, kontaminasi tanah dan air permukaan dapat dihindari. Buangan yang potensial berbahaya diupayakan untuk tidak dicapai oleh lalat, tikus dan hewan peliharaan. Dengan demikian mekanisme penularan penyakit saluran pencernaan dapat dicegah. Berbagai metode dapat digunakan untuk membuang limbah cair metode itu mencakup :
1. Pembuangan dengan pengenceran di badan a ir yang besar 2. Penggunaan kolam pembuangan 3. Penggunaan sumur peresapan 4. Penggunaan system tangki pembusukan yang terdiri dari tangki pengendapan ruang tunggal atau ruang ganda, diikuti bidang irigasi bawah tanah, parit penyaring, penyaring, pasir penyaring, dan penyaring tetes.
embuangan Dengan P embuangan
Sistem P engenceran engenceran
Bila disuatu wilayah terdapat badan air permukaan yang besar seperti laut, telaga dan sungai besar, limbah cair dari perumahan atau dari masyarakat dapat dibuang ke badan air itu secara langsung atau setelah melalui pengolahan pada tangki pembusukan. pembusukan. Dalam Dala m hal ini, pipa pemasukan limbah cair ke badan air harus bermuara pada satu titik yang benar ± benar berada dibawah permukaan air atau air laut yang terendah, atau biasanya didekat dasar badan air penerima. Hal ini untuk menjamin pengenceran secara sempurna limbah cair yang dihasilkan pada musim panas, atau limbah lebih ringan yang biasanya akan a kan naik dan tersebar keseluruh badan air pelarut.
P enggunaan enggunaan
Kolam Buangan
Kolam pembuangan merupakan lobang tertutup yang menerima buangan limbah cair pasar. Kolam buangan dapat berupa tipe kedap air atau tipe rembes air. Kolam pembuangan kedap air digunakan untuk menampung limbah cair yang harus dipindahkan secara berkala, kira ± kira setiap 6 bulan. Tipe yang rembes air digali sampai kelapisan tanah yang rembes air agar limbah cair yang masuk kedalam nya meresap kedalam tanah. Bahan padat yang tertahan pada kolam pembuangan pembuangan akan a kan berakumulasi dalam lubang dan secara berangsur ± angsur akan menutup pori ± pori tanah. Kolam pembuangan harus ditempatkan lebih rendah dari sumur, yaitu dengan jarak minimum 15 meter untuk mencegah pencemaran bakteriologis pada sumur. Untuk mencegah pencemaran kimiawi, jarak antara sumur dan kolam pembuangan yang terletak lebih tinggi tidak boleh kurang dari 45 meter. Kolam
pembuangan pembuangan tipe rembes r embes air harus ditempatkan sekurang s ekurang-kurngnya -kurngnya pada jarak 6 m di luar fondasi rumah. Dinas Kesehatan tidak mengizinkan pembuatan kolam pembuangan di daerah yang padat penduduknya karena di daerah padat ini sumur digunakan sebagai sumber penyediaan air minum. minum.
enggunaan P enggunaan
Sumur P eresapan eresapan
Sumur peresapan menerima efluen dari jamban air, kolam pembuangan dan tangki pembusukan dan meresapkannya ke dalam tanah. sumur peresapan dapat juga dibuat pada ujung terendah dari saluran peresapan efluen di bawah permukaan tanah untuk menangkap efluen tangki pembusukan yang tidak meresap di sepanjang saluran. Penempatan sumur peresapan harus hati ± hati. Sumur peresapan harus ditempatkan pada ta nah yang ya ng lebih rendah, sekurang ± kurangnya pada jarak 15 meter dari sumber air minum dan sumur. Sama halnya dengan kolam pembuangan, pembuatan sumur resapan biasanya tidak diizinkan oleh petugas kesehatan di daerah yang padat penduduknya penduduknya karena karena
air tanahnya digunakan
untuk keperluan rumah tangga.
P enggunaan enggunaan
Sistem Tangki Resapan
Tangki pembusukan merupakan unit sarana yang paling bermanfaat dan memuaskan di antara unit sarana pembuangan tinja dan limbah cair lain yang menggunakan system aliran air, yang digunakan untuk untuk menangani buangan dari rumah perorangan, kelompok kecil rumah, atau kantor yang terletak diluar jangkauan system saluran limbah cair kota praja. Unit sarana itu terdiri dari sebuah tangki pengendapan yang tertutup. Limbah cair kasar dimasukkan kedalamnya melalui saluran saluran limbah cair bangunan. bangunan. Proses yang terjadi didalam tangki pembusukan merupakan pengolahan tahap pertama, sedangkan yang terjadi di bidang peresapan efluen merupakan pengolahan tahap kedua. Perlu di catat bahwa semua limbah cair, termasuk yang berasal dari kamar mandi dan dapur, dapat dimasukkan ke dalam tangki pembusukan tanpa membahayakan proses normal yang terjadi. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa bertentangan dengan
keyakinan sebelumnya, limbah cair rumah tangga yang tidak mengandung tinja dapat dan harus dibuang ke tangki pembusukan.
enangkap Lemak P enangkap Limbah cair dari dapur besar, seperti dapur hotel, rumah sakit, dan kantor, kemungkinan mengandung banyak lemak yang dapat masuk ke tangki pembusukan bersama ± sama dengan efluen dan dapat menyumbat pori ± pori media penyaringan pada bidang peresapan. Dalam keadaan demikian, bak penangkap atau perangkap lemak dapat dipasang diluar gedung, pada saluran limbah cair gedung. Penangkap lemak itu berupa tangki pengapungan kecil dengan inlet yang masuk kebawah permukaan cairan, dan outlet yang ujungnya dipasang di dekat dasar. Pengoperasian penangkap lemak berdasarkan prinsip bahwa limbah cair yang masuk lebih panas daripada cairan yang sudah ada dalam bak dan didinginkan oleh nya. Akibatnnya, kandungan lemak akan membeku dan naik ke permukaan, yang nantinya akan diambil secara berkala. Oleh karena itu, penangkap
lemak
harus
dibuat
sedemikian
rupa
untuk
mempermudah
pemeriksaan dan pembersihan. Penangkap lemak tidak perlu dibuat untuk penanganan limbah cair dari perumahan atau instalasi kecil lainnya.
Saluran Limbah Cair Bangunan Saluran limbah cair bangunan adalah bagian dari perpipaan horizontal dari sitem drainase bangunan yang membentang mmulai dari satu titik yang berjarak 1,5 m di luar sisi dalam pondasi tembok bangunan rumah sampai ke sambungan saluran limbah cair umum atau unit pengolahan limbah cair perorangan (tangki pembusukan, kolam pembuangan atau tipe sarana pembuangan lainnya). Saluran limbah cair bangunan dapat dibuat dari beton atau tanah liat yang di glasir dengan diameter minimum 15 cm, atau besi cor dengan diameter minimum 10 cm. kemiringan minimum 1%, bila mungkin diusahakan 2%. Kemiringan pada saat saluran memasuki tangki pembusukan minimum 2%. Semua sambungan harus kedap air dan dilindungi dari kerusakan kerusaka n akibat akar tumbuh tumbuh ± tumbuhan. tumbuhan.
Tangki P embusukan embusukan Kapasitas tangki pembusukan ditentukan dengan mempertimbangkan faktor berikut. 1. Volume aliran limbah li mbah cair rata ± rata per hari. 2. Waktu penahanan, 1 ± 3 hari, biasanya 24 ja m. 3. Volume ruang penyimpanan lumpur yang cukup besar, untuk pengurasan setiap 2 ± 3 tahun. Volume aliran limbah cair rata ± rata per hari tergantung pada konsumsi air rata ± rata didaerah yang bersangkutan. Pada umumnya, daerah pedesaan lebih rendah daripada daerah perkotaan. Untuk daerah pedesaan, angka volume aliran aliran limbah cair rata ± rata per hari sebesar 100 liter / orang. Untuk tangki pembusukan perumahan yang terdiri dari satu ruangan, kapasitas efektif sebaiknya tidak kurang dari 1900 liter. Tangki Ruang Ganda Tangki
pembusukan pembusukan rumah tangga dengan dengan tangki ruang ganda yang yang
direncanakan dengan semestinya mempunyai kinerja sama atau bahkan lebih baik daripada tangki ruang tunggal dengan kapasitas sama, terutama pada tangki kecil. Pengaruh fluktuasi aliran dan aliran balik mengurangi efisiensi proses pengolahan primer pada tangki pembusukan kecil ruang tunggal. Oleh karena itu, tangki pembusukan pembusukan rumah tangga kecil, yang melayani kurang dari 20 sampai sampai 25 orang, sebaiknya menggunakan dua ruangan. Dalam hal ini, bagian ruang inlet harus mempunyai kapasitas setengah sampai dua pertiga kapasitas tangki, dan untuk instalasi kecil, kapasitas cairan pada bagian ruang inlet tidak boleh kurang dari 1900 lliter. Untuk tangki besar, yang melayani lebih dari 20 sampai 25 orang, kebutuhan untuk membagi ruang tangki pembusukan tergantung pada derajat pengolaahan yang dipersyaratkan dipersyaratkan oleh pejabat pejabat kesehatan setempat dan derajat permeabilitas tanah. Hasil penelitian itu menyatakan tidak banyak keuntungan yang dicapai dengan pembagian ruang tangki pembusukan, dan tangki ruang
tunggal yang direncanakan dengan baik aka n menghasilkan efisiensi penghilangan bahan padat t ersuspensi lebih dari 60%.
engaturan P engaturan
Outlet dan Inlet
Kedalam pemasukan inlet dan outlet ke dalam cairan tangki sangat penting karena akan mempengaruhi volume ruang bebas dan akumulasi lumpur. Untuk memperoleh hasil yang baik, outlet harus masuk ke bawah permukaan sampai 40% dari kedalaman cairan. Pada tangki horizontal dan berbentuk silinder, angka tersebut harus dikurangi menjadi 35%. Penahan inlet atau tee harus masuk sedalam 30 cm dibawah permukaan air. Pemasangan inlet dan outlet harus harus menjamin adanya ventilasi yang bebas pada seluruh tangki, pipa inlet, dan pipa outlet. Inlet serta outlet harus muncul sekurang ± kurangnya 15 cm di atas garis air, dan harus menyisakan sekurang ± kurangnya 2,5 cm ruang bebas di bawah tutup tangki untuk keperluan ventilasi. Penahan biasanya ditempatkkan pada jarak 20 ± 30 cm dari pipa inlet dan outlet, dan ujung ± ujungnya ditempelkan pada dinding tangki. Masuknya pipa inlet harus pada ketingggian 2,5 cm ± 7,5 cm di atas permukaan air. Penghubungan dua ruangan sebaiknya dilakukan dengan menggunakan dengan menggunakan pipa L yang ujung bawahnya tidak lebih rendah dari ujung bawah outlet.
Bentuk Tangki Benntuk tangki penting karena berpengaruh pada kecepatan aliran yang melaluinya, kedalaman akumulasi lumpur, dan ada atau tidaknya sudut mati. Tangki menjadi kecil yang menimbulkan aliran langsung dari inlet ke outlet, dan mempersingkat waktu penahan. Tangki yang terlalu dangkal menyebabkan ruang bebas lumpur menjadi terlalu kecil dan penampang melintang efektif tangki terkurangi. Tangki yang terlalu lebar membentuk kantung mati dalam ukuran yang besar di sudut ± sudut tangki karena gerakan air menjadi kecil. Tangki yang terlalu sempit meningkatkan kecepatan aliran dan mengurangi efisiensi sedimentasi. Menurut hasil penelitian, tidak ada perbedaan kinerja antara tangki berbentuk empat persegi panjang dengan tangki berbentuk silinder yang besarnya
dan kapasitas penampungan lumpurnya sama. Tangki berbentuk empat persegi panjang harus dibuat dengan panjang dua sampai tiga ka li lebar tangki, kedalaman cairan 1,2 ± 1,7 m. Ruang bebas di atas permukaan air biasanya di buat setinggi 30 cm.
enempatan P enempatan
Tangki
Tangki pembusukan harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga memudahkan penyaluran limbah cair dari rumah ke system pembuangan efluen. Apabila system pembuangan efluen menggunakan system saluran bawah tanah, lokasi tangki harus menjamin tersedianya tanah yang cukup luas untuk pembuangan efluen, peletakan saluran dengan kemiringan cukup, dan kedalaman setiap titik maksimum 75 cm. Tangki tidak boleh tertanam dalam tanah lebih dari 30 ± 45 cm karena perlu dilakukan pemeriksaan secara berkala. Lubang pemeriksa harus dibuat sampai ke permukaan tanah, namun harus dicegah masuknya air permukaan dan air hujan ke dalam tangki. Tangki harus ditempatkan lebih rendah dan pada jarak sekurang ± kurangnya 15 meter dari sumur dan su mber mber penyediaan air bersih lain karena ada kemungkinan terjadi kebocoran , terutama di sekitar pipa inlet dan outlet.
Konstruksi Tangki Tangki biasanya dibuat dari beton yang menjamin dan kerapatan air yang memadai. Dasar dan tutup tangki dibuat dari beton. Dinding dibuat dari pasangan batu bata, batu pecah, atau blok semen, dengan spasi dan plesteran sisi dalam tangki dari dar i campuran semen dan pasir (1:3). (1: 3). Campuran beton yang diguna digunakan kan harus terdiri dari semen, pasir, kerikil (1:2:4) dengan kandungan 23 liter air per sak (43 kg) semen. Dinding dan tulang beton beton memadai. Ukuran lubang pemeriksa pemeriksa yang berbentuk bujur sangkar panjang sisinya minimum 50 cm dan untuk yang berbentuk bulat diameter 61 cm.
embuangan P embuangan
Tangki
Efluen tangki pembusukan tidak boleh dibuang ke saluran terbuka atau dibuang ke atas tanah untuk mengairi tanaman atau ke kolam ikan tanpa izin pejabat kesehatan setempat. Untuk daerah pedesaan dan masyarakat kecil, metode yang dapat dipilih untuk mengolah dan membuang efluen terbatas pada : a. Metode pengenceran; b. Metode yang menggunakan sumur peresapan; c. Metode yang menggunakan saluran peresapan; d. Metode yang menggunakan parit penyaring; e. Metode yang menggunakan pasir peyaring; dan f.
Metode yang menggunakan penyaring tetes. Untuk menentukan metode yang paling cocok untuk kondisi khusus
daerah, perlu diketahui : 1. Sifat tanah; 2. Kedalaman permukaan air tanah; 3. Tingkat permeabilitas tanah; 4. Jarak system pembuangan efluen dari sumur dan sumber penyediaan penyediaan air lain; 5. Volume dan kecepatan aliran air permukaan yang ada untuk pengenceran (di sungai, kolam, dan badan air lain); 6. Penggunaan air permukaan (untuk penyediaan air, memancing, mandi, dan sebagainya); 7. Luas tanah yang ya ng tersedia untuk pembuangan efluen; 8. Jarak antar rumah; 9. Kecenderungan arah angin; 10. Tanaman penutup yang ada di tanah; dan 11. Kemungkinan Kemungki nan perluasan system syst em pada masa yang akan datang. datang.
embuangan P embuangan
Efluen Melalui Saluran P eresapan eresapan
Metode ini dilakukan dengan meresapkan efluen ke lapisan atas tanah melalui pipa ± pipa saluran dengan sambungan terbuka, yang ditempatkan pada parit dan ditutup. Dengan cara ini, efluen dibersihkan oleh aktivitas bakteri saprofitik aerobic dala m tanah dan merembeskan merembeskan nya ke dala m tanah. Namun metode ini tidak dapat digunakan pada : 1. Tanah yang tidak berpori; 2. Tanah yang permukaan air tanahnya dapat naik sampai 1,2 meter dari permukaan tanah; 3. Tanah yang mengandung resiko bahaya pencemaran sumber penyediaan air; 4. Tanah yang terdiri dari tanah liat kedap; dan 5. Tanah yang lembab. Bak P embagi embagi Bak pembagi adalah bagian dari system pembuangan efluen yang menjamin terbaginya efluen dari tangki pembusukan secara merata ke saluran peresapan. Bak ini juga dapat berfungsi sebagai sebagai bak pemeriksa, untuk mengetahui banyaknya bahan padat tersuspensi pada efluen dan adanya pembagian yang merata dari efluen.
Saluran P eresapan eresapan Saluran peresapan biasanya dibuat dari pipa berujung datar dengan diameter 10 cm dan panjang 30 ± 60 cm, dapat juga digunakan pipa yang satu ujungnya rata dan ujung lainnya melengkung. Pipa harus dipasang secara bersambungan pada saluran dengan jarak 0,6 ± 1,2 cm supaya efluen dapat keluar dari pipa. Kedalaman pipa dalam tanah 30 ± 75 cm. Kemiringan saluran tidak boleh terlalu kecil atau terlalu besar. Biasanya digunakan kemiringan 0,16 ± 0,32% atau 16,66 ± 33,32 cm per 100 m dengan kemiringan maksimum 5%.
Luas dasar parit yang diperlukan harus dihitung dengan memperhatikan besarnya angka peresapan dan angka kebutuhan kebutuhan luas bidang peresapan. Parit tida k boleh terlalu panjang. Panjang maksimum yang dianjurkan adalah 30 m. parit harus diletakkan lurus. Saluran peresapan harus diletakkan dengan jarak minimum 7,5 m dari pohon besar untuk menghindari hambatan aliran akibat masuknya air ke dalam pipa. Oleh karena itu, tanah di atas bidang peresapan tidak boleh di tanami pepohonan. Tanaman yang boleh ditanam di atasnya hanya rumput yang berakar pendek.
emeliharaan Sarana P embuangan embuangan P emeliharaan
Tinja
Sarana pembuangan tinja, baik yang menggunakan system jamban maupun yang menggunakan system aliran air, perlu dipelihara dengan baik. Apabila tidak, maka sarana tersebut akan menjadi sumber penyakit, karena : 1. Apabila tidak dibersihkan / di gelontor setiap selesai di pakai, tinja yang tertinggal pada sisi lubang pembuangan atau pada leher angsa akan menarik kedatangan lalat, menimbulkan bau, serta pemandangan ynag tidak sedap; 2. Jamban yang tidak dirawat akan menimbulkan kesan kotor sehingga orang akan segan bahkan takut untuk menggunakannya; 3. Lubang jamban yang terlambat di kuras akan menimbulkan kesulitan bagi pemakai karena sulit di gelontor / di bersihkan. Beberapa
kegiatan
yang
dianjurkan
dalam
pemeliharaan
sarana
pembuangan pembuangan tinja adalah sebagai berikut berikut : 1. Pembersihan halaman di sekitar rumah jamban dari sampah dan tumbuhan rumput atau semak yang tida k di kehendaki. 2. Pembersihan lantai, dinding, dan atap rumah jamban secara teratur, minimal satu mingggu sekali, dari lumut, debu, tanah, atau sarang laba ± laba. 3. Penggelontoran tinja pada lubang pemasukan tinja atau leher angsa setiap selesai penggunaan. penggunaan.
4. Pemantauan isi lubang jamban pada jamban cubluk, jamban air, jamban bor, dan jamban kompos secara berkala terutama pada akhir periode pemakaian yang direncanakan. 5. Pemantauan isi tangki pembusukan secara berkala (tiap 12 ± 18 bulan pada tangki pembusukan rumah tangga dan tiap 6 bulan pada tangki pembusukan sekollah dan kantor pelayanan umum) untuk menjaga efisiensi kerjanya. Lakukan pengurasan bila kedalaman busa serta lumpur sudah melebihi batas yang dipersyaratkan. 6. Hindarkan pemasukan sampah padat yang sukar atau tidak bisa di uraikan (kain ± kain bekas, pembalut wanita, logam, gelag dan sebagainya) dan bahan kimia yang beracun bagi bakteri (karbol, Lysol, formalin, dan sebagainya) ke dalam lubang jamban atau ata u tangki pembusukan. Dalam pemantauan tangki pembusukan dilakukan pengukuran jarak dasar busa ke dasar outlet, dan kedalaman akumulasi lumpur di atas dasar tangki. Jarak antara busa ke dasar outlet out let minimal mini mal 7,5 cm dan kedalama keda laman n akumulasi lumpur lumpur maksimal 50 cm.
BAB III PENUTUP 1.
KESIMPULAN Tinja berpotensi besar sebagai media penularan penyakit, terutama penyakit saluran pencernaan. Oleh karena itu, berbagai faktor teknis dan non teknis harus diperhatikan atau dipertimbangkan dalam perencanaan sarana pembuangan tinja. Pembuangan tinja dengan sistem jamban banyak digunakan oleh masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah karena bersifat sederhana dan bukan merupakan tipe permanen. Teknik pembuangan tinja dengan sistem aliran air (pengenceran, kolam pembuangan, sumur peresapan, dan tangki pembusukan) dapat diterapkan di daerah di mana terdapat persediaan air dan aliran air yang cukup besar.
2.
SARAN Adapun saran yang ya ng dapat diberikan a dalah sebagai berikut: berikut: 1. Pembuangan tinja sebaiknya dilakukan dengan baik dan memperhatikan kondisi lingkungan sekitar sehingga tidak mencemari lingkungan sekitarnya seperti badan air dan tanah. 2. Sebaiknya limbah tinja jangan dibuang ke badan air seperti sungai atau waduk, karena dapat menimbulkan penyakit bagi masyarakat yang mengkonsumsi mengkonsumsi air di sungai atau ata u waduk tersebut. ter sebut. 3. Pemeliharaan sarana pembuangan tinja seharusnya dilakukan secara terus menerus sejak mulai digunakan sampai a khir periode penggunannya. penggunannya.
DAFTAR PUSTAKA
Daryanto. 2004. 2004. Masalah P encemaran. encemaran. Bandung. PT. Tarsito. Hindarko,S. 2003. Mengolah Air Limbah Sungai Tidak Mencemari Orang Lain. Jakarta. ESHA. Yandang. 2010.
P embuangan embuangan
Kotoran Manusia . www.yandang.blogspot.com.
Tanggal Akses 14 Maret 2010.