Fiqh Muamalah
(Teori Akad dalam Perspektif Fiqh Muamalah)
MAKALAH
Disusun dalam Rangka Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Fiqih Muamalah
yang Dibimbing Oleh Nashihul Ibad Elhas, S.H.I., M.S.I
Kelompok 2
1. Yusrothul Roshidah NIM E20151003
2. Maliva Farah N NIM E20151007
3. Fitri Febrianti NIM E20151012
PRODI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
MARET 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akad merupakan suatu ikatan dan kesepakatan antara dua orang atau
lebih untuk melakukan suatu perjanjian. Tidak semua perjanjian dapat
dikatakan sebagai akad karena akad juga memiliki syarat-syarat tertentu
untuk menjadi dasaran akad yaitu dengan adanya ijab qobul sesuai dengan
ketentuan syariat islam. Ijab qobul itu sendiri merupakan suatu ungkapan
atau kesepakatan dua orang maupun lebih untuk melakukan kontrak. Suatu
akad akan terpenuhi jika rukun terpenuhi dengan adanya akid (orang yang
berakad) dan Ma'qud Alaih (suatu yang diakadkan).
Di Indonesia akad sudah sering dilakaukan oleh masyarakat bahkan
mayoritas masyrakat menggunakan akad dalam hal jual beli. Kata akad
sering terdengar dikalangan masyarakat bahkan sudah sering dilakukan,
akan tetapi masih ada beberapa masyarakat yang belum mengerti dan
memahami tentang syarat-syarat serta rukun dalam melakukan akad sehingga
dengan adanya masalah tersebut maka perlunya makalah ini dibuat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian akad?
2. Apa saja rukun-rukun akad?
3. Apa saja syarat-syarat akad?
4. Bagaimana tahap akad dalam perspektif fiqih muamalah?
5. Apa saja unsur dan dampak dari akad?
6. Apa saja pembagian dan sifat akad didalam pespektif fiqih muamalah?
C. Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penulisan makalah ini
dimaksudkan untuk menginformasikan dan menjelaskan tentang teori akad
dalam prespektif fiqh muamala. Secara khusus makalah ini akan
menginformasikan dan menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan tentang pengertian akad.
2. Untuk menjelaskan rukun-rukun akad.
3. Untuk menjelaskan syarat-syarat akad.
4. Untuk menjelaskan tahap akad dalam prespektif fiqh muamalah.
5. Untuk menjelaskan unsur dan dampak akad.
6. Untuk menjelaskan pembagian dan sifat akad.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akad
Akad secara bahasa berarti sambungan, janji, dan mengikat. Akad
menurut pendapat wahbah Al-Suhaily akad adalah ikatan antara dua
perkara, ikatan secara nyata maupun secara maknawi dari satu segi
maupun dua segi dengan kata lain, akad adalah suatu perikatan yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih berdasarkan ijab dan qobul dengan
adanya ketentuan syar'i. tidak semua jenis perikatan atau perjanjian
dapat di sebut sebagai akad, karena akad itu sendiri memiliki beberapa
syarat yang harus di penuhi seperti ijab qobul dan beberapa ketentuan
syari'at islam.
Akad menurut terminologi ulama fiqih, akad dapat ditinjau dari dua
segi, yaitu secara umum dan secara khusus.
1. Pengertian umum
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan
pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi'iyah,
malikiyah, dan hanabilah, yaitu
كُلُّ ماَ عَزَمَ اْلَمرْءُعَلَى فِعْلِهِ سَوَاءٌصَدَرَباِرَاَدةٍ مٌنْفَرِدَةٍكاَلْوَقْفِ وَاْلاءِبْرَاءِ
وَالطّلاَ قِ والْيَمِيْنِ امْ اِحْتاَجَ الىَ ارَادَتَيْنِ فىِ انْشاَئِهِ كاَلْبَيْعِ
وَاْلاِيْجاَرِوَالتَّوْكِيْلِ وَالرَّهْنِ
Artinya: " segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan
keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu
yang pembentukannya membutukan keingina dua orang seperti jual beli,
perwakilan, dan gadai."
2. Pengertian khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqih, antara
lain:
ارْتِباَطُ ايُجاَبٍ بِقَبُوْلٍ عَلىَ وَجْهٍ مَشْرُوْءٍيَثْبُتُ اثَرُهُ فىِ مَحَلِهِ
Artinya: " perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qobul berdasarkan
ketentuan syara' yang berdampak pada objeknya."
Dengan demikian, ijab-qobul merupakan suatu perbuatan atau
pernyataan untuk menujukan sesuatu keridohan dalam berakad diantara dua
orang atau lebih untuk terhidar dari suatu ikatan yang tidak sesuai
berdasarkan syaro'.
Contohnya ijab dari pernyataan seorang penjual seperti :
"Saya telah menjual barang ini kepadamu" atau "saya serahkan barang ini
kepadamu."
Contohnya qobul dari pernyataan seorang pembeli seperti :
" Saya beli barangmu." Atau " Saya terima barangmu."
B. Rukun Akad
Dalam pengertian fuqahâ' rukun adalah: asas, sendi atau tiang.
Yaitu Sesuatu yang menentukan sah (apabila dilakukan) dan tidaknya
(apabila ditinggalkan) suatu pekerjaan tertentu dan sesuatu itu termasuk
di dalam pekerjaan itu. Seperti ruku' dan sujud merupakan sesuatu yang
menentukan sah atau tidaknya shalat; keduanya merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari perbuatan "shalat". Dalam mu'amalah, seperti: ijab dan
qabul dan orang yang menyelenggarakan akad tersebut. Menurut Jumhur
ulama rukun akad ada tiga; yaitu âqid (orang yang menyelenggarakan akad
seperti penjual dan pembeli), harga dan barang yang ditransaksikan
(ma'qûd alaih) dan shighatul 'aqd (bentuk [ucapan] akad) .
Ijab adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna
demikian yang datang dari orang yang memiliki barang. Qabul adalah
ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang
dari orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang tersebut kepadanya.
Jika transaksi itu jual-beli, maka ucapan si penjual kepada pembeli :
"Saya jual buku ini kepada anda" adalah ijab sekalipun hal itu diucapkan
belakangan. Dalam transaksi jual-beli di sini, qabul adalah ucapan si
pembeli kepada si penjual: "Saya beli buku ini" sekalipun ucapan itu
dikeluarkan di depan. Jika ijab dan qabul ini sudah diikat satu sama
lain sementara keduanya diucapkan oleh orang yang sehat akalnya maka
akan terjadi perubahan status hukum ke atas barang yang diselenggarakan
akad atasnya (dalam hal ini adalah buku yang dijual).
Perubahan status hukum di sini adalah perpindahan kepemilikan; yaitu
sebelum akad, buku tersebut milik si penjual dan setelah akad status
kepemilikannya berpindah kepada si pembeli setelah membayar sejumlah
uang sebagai harga dari buku itu.
Ijab dan qabul ini sangat penting karena menjadi indikator kerelaan
mereka yang melakukan akad. Dalam fikih mu'amalah, ijab dan qabul ini
adalah komponen dari shighatul 'aqd yaitu ekspresi dari dua pihak yang
menyelenggarakan akad atau âqidain (pemilik barang dan orang yang akan
dipindahkan kepemilikan barang kepadanya) yang mencerminkan kerelaan
hatinya untuk memindahkan kepemilikan dan menerima kepemilikan.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam
setiap akad, shighat akad harus selalu diekspresikan karena merupakan
indikator kerelaan dari âqidain. Pertanyaan yang kemudian muncul,
"bagaimanakah kedudukan hukum jual-beli saat ini yang tidak melibatkan
shighat akad dari kedua belah pihak? Pihak pembeli hanya membayar harga
dan penjual memberikan barang tanpa mengucapkan lafal atau ungkapan apa-
apa. Pada umumnya para ulama memperbolehkan jual-beli atau akad semacam
ini dan mereka menyebutnya 'aqd bit ta'athi karena tradisi dan kebiasaan
hidup manusia ('urf) menginginkan hal-hal yang praktis dan tidak bertele-
tele dalam bisnis. Di samping itu kebiasaan yang sudah menjadi fenomena
biasa ini juga menjadi standar dan ukuran bahwa praktik demikian telah
diterima oleh semua pihak dan tak seorangpun dari mereka yang merasa
keberatan. Bahkan sebagian fuqahâ' (madzhab Hanafi) membolehkan tidak
saja dalam jual-beli yang remeh seperti telur, roti dan lain-lain tetapi
juga membolehkannya pada semua transaksi besar seperti rumah dan mobil.
Sementara itu madzhab Maliki tidak mensyaratkan 'urf sebagai patokan
indikator kerelaan pihak yang melakukan akad. Baginya akad adalah sah
apabila terselenggara secara suka rela. Tentu pendapat ini lebih luas
dan lebih mudah dari pendapat Hanafi.
Meskipun pada umumnya para fuqahâ' menyepakati akad bit ta'athi
dalam semua lapangan muamalah tetapi mereka menyepakati bahwa untuk
kawin (zawâj) dikecualikan. Hal ini disebabkan karena kawin merupakan
hal yang agung dan sakral dan memiliki konsekuensi abadi pada pihak
wanita. Karena itu diperlukan kehati-hatian dan kesempurnaan dengan
menjadikan ucapan sebagai bukti terkuat untuk mengekspresikan kehendak.
1. Orang yang menyelenggarakan akad (âqidain)
Pihak yang menyelenggarakan akad ini dapat sebagai pembeli atau
penjual atau orang yang memiliki hak dan yang akan diberi hak.
Keduanya mempunyai syarat yang sama yaitu, pertama, berakal atau
mumayyiz. Berakal di sini adalah tidak gila sehingga mampu memahami
ucapan orang-orang normal. Mumayyiz artinya mampu membedakan antara
baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara
merugikan dan menguntungkan. Kedua, orang yang menyelenggarakan akad
haruslah bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihan
bebasnya.
Dalam keadaan tertentu banyak dijumpai hambatan-hambatan psikis
atau fisik yang membuat orang tidak dapat melakukan transaksi atau
mengurangi kapabilitasnya untuk menjalankan transaksi. Dalam fikih
muamalah hambatan-hambatan demikian disebut 'awâridh ahliyyah. Ada dua
jenis 'awâridh ahliyyah yaitu samawiyyah dan muktasibah.
Samawiyyah adalah jenis hambatan yang tidak disebabkan oleh
kehendak orang yang terkena hambatan tersebut, tetapi terjadi di luar
kehendak manusia dan bukan merupakan pilihannya seperti gila, pingsan
dan tidur. Muktasibah adalah hambatan yang terjadi karena ulah orang
itu sendiri seperti mabuk dan utang. Dalam mu,amalah hambatan
samawiyah memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan dengan
hambatan muktasibah dan ini tentunya kembali kepada kenyataan bahwa
dalam hal tersebut orang tidak memiliki pilihan karena itu transaksi
yang dilakukan oleh orang yang terkena hambatan ini menjadi batal
Sedangakan Rukun akad sendiri merupakan sesuatu yang ada didalam
akad yang mempengaruhi sah tidaknya suatu akad. Ulama Hanafiah
berpendapat bahwa rukun akad itu adalah ijab dan qobul. Menurut Jumhur
Ulama selain Hanafiah berpendapat bahwasanya akad memiliki tiga rukun
yaitu :
a. Akid (orang yang berakad) seperti penjual dan pembeli. Akid adalah
pihak-pihak yang malakukan transaksi. Akid didalam fiqih memiliki dua
syarat yang pertama Ahliyyah, orang yang dianggap cakap melakukan
transaksi. Didalam fiqih Ahliyyah itu adalah seorang mukallaf atau
mumayis. Akid kedua yang disyaratkan yaitu harus memiliki wilayah.
Wilayah adalah hak dan kewenangan seseorang yang mendapatka legalitas
sya'i untuk melakukan transaksi atas suatu objek tertentu.
b. Ma'qud Alaih (suatu yang diakadkan) baik berupa harga atau yang
dihargakan. Ma'qud alaih memiliki beberapa syarat barang yang
diakadkan yaitu harus ada ketika akad dilakuakan, harus berupa Mal
mutaqawim, harus dimiliki penuh pemiliknya, bisa diserah terimakan
dan berupa barang yang suci (tidak najis). Dimana jika persyaratan
itu tidak dipenuhi maka jual beli tidak sah.
c. Ijab Qobul adalah ungkapan yang menunjukkan kerelaan atau
kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak atau akad.ijab qobul
menurut Ulama fiqih memiliki beberapa syarat yaitu : adanya
kejelasan maksud dari kedua pihak, adanya kesesuaian antara ijab
daan qobul, berurutan, adanya satu majlis dan tidak ada penolakan.
Dimana ijab qobul dinyatakan batal jika : penjual menarik kembali
ucapannya sebelum ada qobul pembeli, adanya penolakan, berakhirnya
majlis akad dan salah satu atau kedua pihak hilang ahliyahannya,
barang yang ditransaksikan rusak sebelum ada kesepakatan.
C. Syarat-Syarat Akad
Didalam syarat-syarat akad Ada beberapa macam syarat akad, yaitu
syarat terjadinya akad, syarat Sah, syarat memberikan, dan syarat
keharusan (lujum).
1. Syarat Terjadinya Akad
Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk
terjadinya akad secara syara'. Jika tidak memenuhi syarat tersebut,
akad menjadi batal. Syarat ini terbagi menjadi dua bagian:
a. Umum, yakni syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad.
b. Khusus, yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad, dan
tidak disyaratkan pada bagian bagian lainnya.
2. Syarat Sah Akad
Syarat syah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara'
untuk menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad
tersebut rusak.
Ada kekhususan syarat sah akan pada setiap akad. Ulama Hanafiyah
mensyaratan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual
beli, yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada
ungsur kemadaratan, dan syarat-syarat jual beli rusak (fasid).
3. Syarat Pelaksanaan Akad
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan
kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang
sehingga ia bebas beraktivitas debgan apa-apa yang dimilikinya sesuai
dengan aturan syara'. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang
dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketetapan syara', baik secara asli,
yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai pengantian ( menjadi
wakil seseorang ).
Dalam hal ini, disyaratkan antara lain:
a. Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika
dijadikan, maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli.
b. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain.
4. Syarat Kepastian Hukum (Luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian. Di antara syarat luzum dalam
jual-beli adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti
khiyarsyarat, khiyar aib, dal lain-lain. Jika luzum tampak, maka akad
batal ata dikembalikan.
D. Tahapan Akad
1. Al-'ahdu (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya
dengan kemauan orang lain. janji ini mengikat orang yang
menyatakannya untuk melaksanakan janjinya. (qs. ali imran : 76).
2. Persetujuan, yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji
yang dinyatakan oleh pihak pertama. persetujuan tersebut harus sesuai
dengan janji pihak pertama.
3. Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya para pihak, maka
terjadilah apa yang dinamakan 'aqdu. (qs. al-maidah : 1)
E. Unsur Akad
1. Pertalian ijab dan qabul.
2. Dibenarkan syara'.
3. Mempunyai akibat hukum
F. Dampak Akad
Setiap akad memiliki dua dampak, yaitu umum dan khusus.
1. Dampak Khusus
Dampak khusus adalah hukum akad, yakni dampak asli dalam pelaksanaan
suatu akad atau maksud utama dilaksanakannya suatu akad, seperti
pemindahan kepemilikan dalam jual-beli, hibah, wakaf, upah, dan lain-
lain.
2. Dampak Umum
Segala sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagaian besar akad, baik
dari segi hukum maupun hasil.
G. Pembagian Dan Sifat Akad
Akad dibagi menjadi beberapa macam, dan setiap macamnya sangat
bergantung pada sudut pandangnya, diantaranya yaitu :
1. Berdasarkan ketentuan syara'
a. Akad sahih adalah akad yang memenuhi unsur dan syarat yang telah
ditetapkan oleh syara'. Dalam istila ulama Hanafiyyah, akad sahih
adalah akad yang memenuhi ketentuan syarat pada asalnya dan sifatnya.
b. Akad tidak sahih adalah akad yang tidak memenuhi unsur dan syaratnya.
Akad ini tidak berdampak hukum atau tidak sah. Jumhur ulama selain
Hanafiyyah menetapkan bahwa akad yang batil atau fasid termasuk
golongan akad yang tidak sahih, sedangkan ulama Hanafiyyah membedakan
antara fasid dan batal. Menurut ulama Hanafiyyah akad yang batal
adalah akad yang tidak memenuhi rukun atau tidak ada barang yang
diakadkan, seperti akad yang telah dilakukan oleh salah seorang yang
bukan golongan ahli akad, seperti gila.
c. Akad fasid adalah akad yang memenuhi persyaratan dan rukun, tetapi
dilarang syara', seperti menjual barang yang tidak diketahui sehingga
akan menimbulkan percekcokan.
2. Berdasarkan penamaanya.
a. Akad yang telah dinamai syara', seperti jual beli, hibah, gadai,
dan lain sebaginya.
b. Akad yang belum dinamai syara', tetapi disesuaikan dengan
perkebangan zaman.
3. Berdasarkan maksud dan tujuan akad.
a. Kepemilikan
b. Menghilangkan kepemilikan
c. Kemutlakan, yaitu seseorang mewakilkan secara mutlak kepada wakilnya.
d. Perikatan, yaitu larangan kepada seseorang untuk beraktivitas, seperti
orang gila.
e. Penjagaan
4. Berdasarkan zatnya
a. Benda yang berwujud (al-'ain)
b. Benda tidak berwujud (gharib al-'ain)
H. Sifat-Sifat Akad.
Segala bentuk tasharuf ( aktivitas hukum ) termasuk akad yang
memiliki dua keadaan umum diantaranya yaitu :
1. Akad tanpa syarat( akat munjiz) yaitu suatu akad yang di ucapkan
seseorang, tanpa memberi batasan dengan suatu khaidah dan tanpa
menetapkan suatu syarat. Akat seperti ini di hargai syara' sehingga
menimbulkan damapak hukum .
Contoh : seseorang yang berkata, " saya membeli rumah kepadamu." Lalu
di kabulkan oleh seorang lagi, maka berwujudlah akad dan berakhibat
pada hukum saat waktu itu juga, yakni pembeli memiliki rumah dan
penjual memiliki uang.
2. Akad bersyarat ( akad ghair munjiz ) yaitu akad yang diucapkan oleh
sesorang dan dikaitkan dengan sesuatu, yakni apabila syarat itu tidak
ada akad pun tidak jadi, baik dikaitkan dengan wujud sesuatu atau
ditangguhkan pelaksanaannya
Contoh : seorang berkata, " saya jual mobil ini dengan harga Rp
40.000.000,- jika disetujui oleh atasa saya. " atau berkata, " saya
jual mobil ini dengan syarat saya boleh memakainya selama satu bulan,
sesuda itu saya serahkan kepadamu.
Akad ghair munjiz terbagi menjadi tiga macam :
a. Ta'liq syarat
b. Taqyid syarat
c. Syarat idhafah
d. Ta'liq syarat
3. Syarat idhofah maknanya menyandarkan kepada suatu masa yang akan
datang atau idhofa mustaqbal
تَأْخِيْرُحُكْمِ التَّصَرُّفِ الْقَوْلِيِّ إِلىَ زَماَنٍ مُسْتَقْبَلٍ مُعَيَّنٍ.
Artinya : " melambatkan hukum tasharruf qauli ke masa yang akan
datang."
Seperti dikatakan, "saya menjadikan anda sebagai wakil saya mulai
awal tahun depan."
Contohnya syarat yang di-idhafa-kan ke masa yang akan datang.
Zaman mustaqabal ini adakalahnya malhudh dapat dirasakan
sendiri atau terpahami sendiri dari akal, separti pada wasiat. Wasiat
memberi pengertian bahwa wasiat itu berlaku sesudah yang berwasiat
wafat.
Adapun tabarru' (derma) muanjiz yang berlangsung berlaku ialah
seperti hibah dan sedekah.
I. Akhir Akad
Akad dapat berakhir dengan pembatalan, meninggal dunia, atau
tanpa adanya izin dalam akad mauquf (ditangguhkan).
1. Akad Habis dengan Pembatalan
Akad dengan pembatalan, terkadang dihilangkan dari asalnya,
seperti pada masa khiyar, terkadang dikaitkan pada masa yang akan
datang, seperti pembatalan dalam sewa-menyewa dan pinjam-meminjam yang
telah disepakati selama 5 bulan, tetapi sebelum sampai lima bulan,
telah dibatalkan.
Pada akad ghair lazim, yang kedua pihak dapat membatalkan akad,
pembatalan ini sangat jelas, seperti pada penitipan barang,
perwakilan, dan lain-lain, atau yang ghair lazim pada satu pihak dan
lazim pada pihak lainnya, seperti gadai. Orang yang menerima gadai
dibolehkan membatalkan akad walaupun tanpa sepengetahuan orang yang
menggadaikan barang.
Adapun pembatalan pada akad lazim, terdapat dalam beberapa hal
berikut :
a. Ketika akad rusak
b. Adanya khiyar
c. Pembatalan akad
d. Tidak mungkin melaksanakan akad
e. Masa akad berakhir
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas adapat disimpulkan bahwa akad secara
bahasa berarti sambungan, janji, dan mengikat. Rukun-rukun dalam
melakukan akad yaitu dengan adanya akid orang yang berakat, Ma'qud Alaih
(suatu yang diakadkan), dan adanya ijab qobul. Akad juga memilii rukun-
rukun yaitu syarat terjadinya akad, syarat sah akad, syarat pelaksanaan
akad, dan syarat kepastian hukum (luzum). Tahap akad diantaranya yaitu
Al-'ahdu (perjanjian) dan persetujuan. Di dalam akad juga memiliki unsur
yaitu pertalian ijab dan qabul, dibenarkan syara', dan mempunyai akibat
hukum. Dampak akad terbagi menjadi dua yaitu dampak khusus dan dampak
umum. Sifat-sifat akad yaitu akad tanpa syarat( akat munjiz), akad
bersyarat ( akad ghair munjiz), dan akad syarat idhofa.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan diatas, ada sejumlah saran
yang perlu disampaikan kepada semua pihak agar lebih memahami tentang
pengertian akad itu sendiri, serta memahami tentang rukun-rukun, syarat-
syarat, tahap, unsur, dampak , serta sifat-sifat dari akad.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe'i Rachmat, Fiqih Muamalah ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2001 )
Harisudin Noor, Fiqih Muamalah 1 (Surabaya: Pena Salsabila, 2014 )