LAPORAN PENDAHULUAN
I.
Konsep Tumor Sinonasal
1.1 Definisi Tumor rongga hidung dan sinus paranasal disebut juga sebagai tumor sinonasal. Tumor ini berasal dari dalam rongga hidung tumor atau sinus paranasal di sekitar hidung. Tumor sinonasal terbagi atas jinak dan tumor ganas (Rangkuti, 2013). Tumor jinak sinonasal adalah penyakit usia tua yang dikenal manusia sejak zaman Mesir kuno. Tumor ini cenderung tumbuh secara lambat dan dapat timbul dari salah satu daerah di dalam hidung atau sinus, termasuk lapisan pembuluh darah, saraf, tulang, dan tulang rawan (Yale, 2013).
1.2 Etiologi Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh banyak faktor (multifaktor) dan bersifat individual atau tidak sama pada setiap orang. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tumor sinonasal antara lain : 1. Penggunaan tembakau Penggunaan tembakau (termasuk di dalamnya adalah rokok, cerutu, rokok pipa, mengunyah tembakau, menghirup tembakau) adalah faktor resiko terbesar penyebab kanker pada kepala dan leher. 2. Alkohol Peminum alkohol berat dengan frekuensi rutin merupakan faktor resiko kanker kepala dan leher.7 3. Inhalan spesifik Menghirup substansi tertentu, terutama pada lingkungan kerja, mungkin dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker kavum nasi dan sinus paranasal, termasuk diantaranya adalah : a. Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan kulit/kulit sintetis, dan tepung. b. Debu logam berat : kromium, asbes c. Uap isoprofil alkohol, pembuatan lem, formaldehyde, radium d. Uap pelarut yang digunakan dalam memproduksi furniture dan sepatu.
4. Sinar ionisasi : Sinar radiasi; Sinar UV 5. Virus
: Virus HPV, Virus Epstein-barr
6. Usia Penyakit keganasan ini lebih sering didapatkan pada usia antara 45 tahun hingga 85 tahun. 7. Jenis Kelamin Keganasan pada kavum nasi dan sinus paranasalis ditemukan dua kali lebih sering pada pria dibandingkan pada wanita. Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap setelahnya. Paparan terhadap thorotrast, agen kontras radioaktif juga menjadi faktor resiko tambahan.
1.3 Tanda dan Gejala Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar, sehingga mendesak atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi, orbita atau intrakranial (Efiaty, 2007). Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Gejala nasal. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Jika ada Sekret, sering sekret yang timbul bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik. 2. Gejala orbital Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplo pia, proptosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.
3. Gejala oral Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut. 4. Gejala fasial Perluasan tumor akan menyebabkan penonjolan pipi,disertai nyeri, anesthesia atau parestesia muka jika sudah mengenai nervus trigeminus. 5. Gejala intrakranial Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung ini terjadi apabila tumor sudah menginvasi atau menembus basis cranii. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak lainn ya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.
1.4 Patofisiologi Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor seperti yang sudah dipaparkan diatas dan bersifat individual. Faktor resiko terjadinya tumor sinonasal semisal bahan karsinogen seperti bahan kimia inhalan, debu industri, sinar ionisasi dan lainnya dapat menimbulkan kerusakan ataupun mutasi pada gen yang mengatur pertumbuhan tubuh yaitu gen proliferasi dan diferensiasi. Dalam proses diferensiasi ada dua kelompok gen yang memegang peranan penting, yaitu gen yang memacu diferensiasi (proto-onkogen) dan yang menghambat diferensiasi (anti-onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu sel normal menjadi sel kanker oleh karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu fase inisiasi dan fase promosi serta progresi. Pada fase inisiasi terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang memancing sel menjadi ganas akibat suatu onkogen, sedangkan pada fase promosi
sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi ganas akibat terjadinya kerusakan gen. Sel yang tidak melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh promosi sehingga tidak berubah menjadi sel kanker. Inisiasi dan promosi dapat dilakukan oleh karsinogen yang sama atau diperlukan karsinogen yang berbeda. Sejak terjadinya kontak dengan karsinogen hingga timbulnya sel kanker memerlukan waktu induksi yang cukup lama yaitu sekitar 15-30 tahun. Pada fase induksi ini belum timbul kanker namun telah terdapat perubahan pada sel seperti displasia. Fase selanjutnya adalah fase in situ dimana pada fase ini kanker mulai timbul namun pertumbuhann ya masih terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh dan belum menembus membran basalis. Fase in situ ini berlangsung sekitar 5-10 tahun. Sel kanker yang bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane basalis dan masuk ke jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga dengan fase invasif yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi (penyebaran) sel-sel kanker menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe regional dan atau ke organ-organ jauh dalam kurun waktu 1-5 tahun. Sel-sel kanker ini akan tumbuh terus tanpa batas sehingga menimbulkan kelainan dan gangguan. Sel kanker ini akan mendesak (ekspansi) ke selsel normal sekitarnya, mengadakan infiltrasi, invasi, serta metastasis bila tidak didiagnosis sejak dini dan di berikan terapi.
1.5 Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Biopsi Biopsi adalah pengangkatan sejumlah kecil jaringan untuk pemeriksaan dibawah mikroskop. Apusan sampel di ambil untuk mengevaluasi sel, jaringan, dan organ untuk mendiagnosa penyakit. Ini merupakan salah satu cara untuk mengkonfirmasi diagnosis apakah tumor tersebut jinak atau ganas. Untuk yang ukuran kecil, tumor dapat diangkat seluruhnya, sedangkan untuk ukuran besar maka tumor hanya diambil sebagian untuk contoh pemeriksaan tumor yang sudah diangkat. Hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) dengan cara seperti inilah yang dijadikan gold standart atau diagnosis pasti suatu tumor. Bila hasilnya jinak, maka selesailah pengobatan tumor tersebut, namun
bila ganas atau kanker, maka ada tindakan pengobatan selanjutnya apakah berupa operasi kembali atau diberikan kemoterapi atau radioterapi. b. Pemeriksaan Endoskopi Pemeriksaan endoskopi menggunakan alat endoskop yaitu berupa pipa fleksibel yang ramping dan memiliki penerangan pada ujungnya sehingga dapat membantu untuk melihat area sinonasal yang tidak dapat terjangkau dan terevaluasi dengan baik melalui pemeriksaan rhinoskopi. Pemeriksaan endoskopi dapat merupakan pemeriksaan penunjang sekaligus dapat berfungsi sebagai media biopsi dan juga terapi bedah pada tumor sinonasal yang jinak. c. Pemeriksaan X-ray Normal sinus x-ray dapat menunjukkan sinus dipenuhi dengan gambaran seperti udara.. Tanda-tanda kanker pada pemeriksaan xray sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT scan. d. CT - Scan CT scan lebih akurat dari pada plain film untuk menilai struktur tulang sinus paranasal. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal dan dengan gejala persisten setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya dilakukan pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras. CT scan merupakan pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri karotis. e. Pemeriksaan MRI MRI
menggunakan
membedakan
daerah
medan sekitar
magnet. tumor
Dipergunakan
dengan
jaringan
untuk lunak,
membedakan sekret di dalam nasal yang tersumbat yang menempati rongga nasal, menunjukkan penyebaran perineural, membuktikan temuan imaging pada sagital plane, dan tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image terdepan untuk mengevaluasi foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale dan kanalis
optik.
Sagital
image
berguna
untuk
menunjukkan
replacement signal berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave signal berintensitas tinggi dari lemak di dalam fossa pterygopalatine oleh signal tumor yang mirip dengan otak. f.
Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET) PET scan adalah cara untuk membuat gambar organ dan jaringan dalam tubuh. Sejumlah kecil zat radioaktif disuntikkan ke tubuh pasien. Zat ini diserap terutama oleh organ dan jaringan yang menggunakan lebih banyak energi. Karena kanker cenderung menggunakan energi secara aktif, sehingga menyerap lebih banyak zat radioaktif. Scanner kemudian mendeteksi zat ini untuk menghasilkan gambar bagian dalam tubuh. Sering digunakan untuk keganasan kepala dan leher untuk staging dan surveillance.
1.6 Komplikasi Komplikasi
keganasan
sinus
terkait
dengan
pembedahan
dan
rekonstruksi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi yaitu : 1. Perdarahan : untuk menghindari perdarahan arteri etmoid anterior dan posterior dan arteri sfenopalatina dapat dikauter atau diligasi. 2. Kebocoran cairan otak : cairan otak dapat bocor dekat dengan basis cranii. Tanda dan gejala yang terjadi termasuk rinorhea yang jernih, rasa asin dimulut, dan tanda halo. Perawatan konservatif dengan tirah baring dan drainase lumbal dapat dilakukan selama 5 hari bersama antibiotik. Jika gagal, harus dilakukan intervensi pembedahan. 3. Epifora : hal ini sering terjadi saat pembedahan disebabkan oleh obstruksi pada aliran traktus lakrimalis. Endoskopik lanjutan dan tindakan dakriosisto rhinostomi mungkin perlu dilakukan. 4. Diplopia : perbaikan dasar orbita yang tepat adalah kunci untuk menghindari komplikasi ini. Jika terjadi diplopia, penggunaan kacamata prisma merupakan terapi yang paling sederhana.
1.7 Penatalaksanaan Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim spesialis menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Setiap pasien menerima rencana pengobatan yang disesuaikan untuk memenuhi
kebutuhannya. Pilihan pengobatan utama untuk tumor sinus paranasal meliputi: 1. Pembedahan Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan reseksi bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan staging dari masing-masing tumor. Secara umum, terapi bedah dilakukan pada lesi jinak atau lesi dini (T1-T2). Terkadang, pembedahan dengan margin/batas yang luas tidak dapat dilakukan karena dekatnya lokasi tumor dengan struktur-struktur penting pada daerah kepala, serta batas tumor yang tidak jelas. Radiasi post operatif sangat dianjurkan untuk mengurangi insiden kekambuhan lokal. Pada beberapa kasus eksisi paliatif ataupun debulking perlu dilakukan untuk mengurangi nyeri yang hebat, ataupun untuk membebaskan dekompresi saraf optik dan rongga orbita, serta untuk drainase sinus paranasalis yang mengalami obstruksi. Jenis reseksi dan pendekatan bedah yang akan dilakukan bergantung pada ukuran tumor dan letaknya/ekstensinya. Tumor yang berlokasi di kavum nasi dapat dilakukan berbagai pendekatan bedah seperti reseksi endoskopi nasal, transnasal, sublabial, sinus paranasalis, lateral rhinotomy atau kombinasi dari bedah endoskopi dan bedah terbuka (open surgery). Tumor tahap lanjut mungkin membutuhkan tindakan eksenterasi orbita, total ataupun parsial maksilektomi ataupun reseksi anterior cranial base, dan kraniotomi. Maksilektomi kadang-kadang direkomendasikan untuk tatalaksana kanker sinus paranasal, dan umumnya dapat menyelamatkan organ vital seperti mata yang berada dekat dengan kanker sedangkan reseksi kraniofasial atau skull base surgery sering direkomendasikan untuk keganasan pada sinus paranasal. Terapi ini mengharuskan untuk membebaskan beberapa jaringan tambahan disamping dilakukannya maksilektomi. Kontraindikasi absolut untuk terapi pembedahan adalah pasien dengan gangguan nutrsi, adanya metastasis jauh, invasi tumor ganas ke fascia prevertebral, ke sinus kavernosus, dan keterlibatan arteri karotis pada pasien-pasien dengan resiko tinggi, serta adanya invasi bilateral tumor ke nervus optik dan chiasma optikum. Keuntungan
dari pendekatan bedah endoskopik adalah mencegah insisi pada daerah wajah, angka morbiditas rendah, dan lamanya perawatan di rumah sakit lebih singkat. Reseksi luas dari tumor kavum nasi dan sinus paranasalis dapat menyebabkan kecacatan/kerusakan bentuk wajah, gangguan berbicara dan kesulit an menelan. Tujuan utama dari rehabilitasi post pembedahan adalah penyembuhan luka, penyelamatan/preservasi dan rekonstruksi dari bentuk wajah, restorasi pemisahan oronasal, hingga memfasilitasi kemampuan berbicara, menelan, dan pemisahan kavum nasi dan kavum cranii. 2. Radioterapi Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan sendiri pada stadium I dan II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam setiap tahap penyakit sebagai adjuvant radioterapi (terapi radiasi yang diberikan setelah dilakukannya terapi utama seperti pembedahan). Pada tahap awal kanker sinus paranasal, radioterapi dianggap sebagai terapi lokal alternatif untuk operasi. Radioterapi melibatkan
penggunaan
energi
tinggi,
penetrasi
sinar
untuk
menghancurkan sel-sel kanker di zona yang akan diobati. Terapi radiasi juga digunakan untuk terapi paliatif pada pasien dengan kanker tingkat lanjut. Jenis terapi radiasi yang diberikan dapat berupa teleterapi (radiasi eksternal) maupun brachyterapi (radiasi internal). 3. Kemoterapi Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadium lanjut. Selain terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel kanker beredar dalam tubuh adalah dengan menggunakan terapi sistemik (terapi yang mempengaruhi seluruh tubuh) dalam bentuk suntikan atau obat oral. Bentuk pengobatan ini diseb ut kemoterapi dan diberikan dalam siklus (setiap obat atau kombinasi obat-obatan biasanya diberikan setiap tiga sampai empat minggu). Tujuan kemoterapi untuk terapi tumor sinonasal adalah sebagai terapi tambahan (baik sebagai adjuvant maupun neoadjuvant), kombinasi dengan radioterapi (concomitant), ataupun sebagai terapi paliatif. Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri akibat tumor, mengurangi obstruksi, ataupun untuk debulking pada lesi-lesi masif eksternal.
Pemberian kemoterapi dengan radiasi diberikan pada pasien-pasien dengan resiko tinggi untuk rekurensi seperti pasien dengan hasil PA margin tumor positif setelah dilakukan reseksi, penyebaran perineural, ataupun penyebaran ekstrakapsular pada metastasis regional.
1.8 Pathway
II.
Rencana asuhan klien dengan tumor nasal
2.1 Pengkajian 2.1.1 Riwayat Keperawatan Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan dalam penegakkan diagnosis keganasan di hidung dan sinus paranasal. Kurang lebih 9-12 % keganasan di hidung dan sinus paranasal stadium awal bersifat asimptomatis. Riwayat terpapar bahan-bahan kimia karsinogen yang dihubungkan dengan pekerjaan atau lingkungan perlu diketahui untuk mencari kemungkinan faktor resiko. Gejala-gejala khas tergantung ukuran tumor, kegansan d an stadium penyakit, antara lain: Gejala hidung:
Buntu hidung unilateral dan progresif.
Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya.
Skret hidung bervariasi, purulen dan berbau bila ada infeksi.
Sekret
yang
tercampur
darah
atau
adanya
epistaksis
menunjukkan kemungkinan keganasan.
Rasa nyeri di sekitar hidung dapat diakibatkan oleh gangguan ventilasi sinus, sedangkan rasa nyeri terus-menerus dan progresif umumnya akibat infiltrasi tumor ganas.
Gejala lainnya dapat timbul bila sinus paranasal juga terserang tumor seperti:
Pembengkakan pipi
Pembengkakan palatum durum
Geraham atas goyah, maloklusi gigi
Gangguan mata bila tumor mendesak rongga orbita.
Pada tumor ganas didapati gejala sistemik:
Penurunan berat badan lebih dari 10 %
Kelelahan/malaise umum
Napsu makan berkurang (anoreksia)
2.1.2 Pemeriksaan fisik Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila.
Pemeriksaan
nasoendoskopi
dan
sinuskopi
dapat
membantu menemukan tumor pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar leher.
2.1.3
Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan Biopsi b. Pemeriksaan Endoskopi c. Pemeriksaan X-ray d. CT - Scan e. Pemeriksaan MRI f.
Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET)
2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul Diagnosa 1 : Nyeri akut 2.2.1
Definisi
:
Pengalaman
sensori
dan
emosi
yang
tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau yang digambarkan dengan istilah seperti (International Association for the Study of Pain); awitan yang tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari 6 bulan. 2.2.2
Batasan karakteristik : Subjektif Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan [nyeri] dengan isyarat
Objektif Posisi untuk menghindari nyeri Perubahan tonus otot Respon autonomik Perubahan selera makan Perilaku ekspresif Gangguan tidur 2.2.3
Faktor yang berhubungan Agens-agens penyebab cedera (misalnya, biologis, fisik, kimia dan psikologis)
Diagnosa 2 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh 2.2.4 Definisi : Asupan nutrisi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolik 2.2.5 Batasan karakteristik : Penggunaan diagnosis ini hanya jika terdapat satu diantara tanda NANDA berikut : -
Berat badan kurang dari 20 % atau lebih dibawah berat badan ideal untuk tinggi badan dan rangka tubuh
-
Asupan makanan kurang dari kebutuhan metabolik, baik kalori total maupun zat gizi tertentu
-
Kehilangan berat badan dengan asupan makanan yang adekuat
Subjektif Kram abdomen Nyeri abdomen Menolak makan Melaporkan perubahan sensasi rasa Merasa cepat kenyang setelah mengonsumsi makanan Objektif Pembuluh kapiler rapuh Diare Kehilangan rambut yang berlebihan Bising usus hiperaktif Membran mukosa pucat Kelemahan otot yang berfungsi untuk menelan atau mengunyah
2.2.6 Faktor yang berhubungan Penyakit kronis Kesulitan mengunyah atau menelan Faktor ekonomi Intoleransi makanan Hilang nafsu makan Mual dan muntah Gangguan psikologis
2.3 Perencanaan Diagnosa 1 : Nyeri akut 2.3.1 Tujuan dan kriteria hasil : Tujuan : - Klien akan melaporkan nyeri berkurang/terkontrol/hilang Kriteria hasil : - Mengungkapkan metode yang memberikan penghilangan - Mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas hiburan.
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional : a. Evaluasi keluhan nyeri (skala, lokasi, frekuensi, durasi) Rasional : Menilai perkembangan masalah klien. b. Lakukan
tindakan
kenyamanan
dasar
(reposisi,
masase
punggung) dan pertahankan aktivitas hiburan (koran, radio) Rasional : Meningkatkan relaksasi dan mengalihkan fokus perhatian klien dari nyeri. c. Ajarkan kepada klien manajemen penatalaksanaan nyeri (teknik relaksasi, napas dalam, visualisasi, bimbingan imajinasi) Rasional : Meningkatkan partisipasi klien secara aktif dalam pemecahan masalah dan meningkatkan rasa kontrol diri/kemandirian. d. Berikan analgetik sesuai program terapi. Rasional: Analgetik mengurangi respon nyeri.
Diagnosa 2 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh 2.3.3 Tujuan dan kriteria hasil : Tujuan : Pemenuhan kebutuhan klien tercukupi Kriteria hasil :
Intake nutrisi tercukupi.
Asupan makanan dan cairan tercukupi
Klien mengalami peningkatan berat badan
2.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional : a. Dorong klien untuk meningkatkan asupan nutrisi (tinggi kalori tinggi protein) dan asupan cairan yang adekuat. Rasional : Asupan nutrisi dan cairan yang adekuat diperlukan untuk mengimbangi status hipermetabolik pada klien dengan keganasan. b. Dampingi klien pada saat makan, identifikasi keluhan klien tentang makan yang disajikan. Rasional : Mencegah masalah kekurangan asupan yang disebabkan oleh diet yang disajikan. c. Timbang berat badan dan ketebalan lipatan kulit trisep (ukuran antropometrik lainnya) sekali seminggu Rasional : Menilai perkembangan masalah klien d. Kolaborasi dengan tim gizi untuk menetapkan program diet pemulihan bagi klien. Rasional : Kebutuhan nutrisi perlu diprogramkan secara individual dengan melibatkan klien dan tim gizi bila diperlukan.
III. Daftar Pustaka
Doenges et al .(2000). Rencana Asuhan Keperawatan Ed.3. Jakarta : EGC Hilger PA, Adam GL. Buku Ajar Penyakit THT : edisi 6 . Jakarta : EGC. Roezin A, Armiyanto. (2007). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher: edisi 6 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Salim, Agus. (2006). Tumor Sinonasal. Universitas Sumatera Utara. Termuat dalam:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24571/.../Chap ter%20II.pdf Walkinson, Judith M. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan: diagnosis NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Ed.9. Jakarta: EGC
Banjarmasin,
Desember 2016
Perseptor akademik,
Perseptor klinik,
(..................................................)
(..................................................)