LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN ARDS (ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME)
I.
KONSEP DASAR TEORI
A. DEFINISI
ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas membrane alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan dalam parenkim paru yang mengandung protein. Sindrom distress pernapasan dewasa (adult (adult respiratory distress syndrome, syndrome, ARDS) adalah suatu penyakit yang ditandai oleh kerusakan luas alveolus dan atau membran kapiler paru. ARDS selalu terjadi setelah suatu gangguan besar pada sistem paru, kardiovaskuler, atau tubuh secara luas. (Elizabeth J. Corwin, 2009, hal. 552). ARDS adalah sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. (Brunner & Suddarth, 2001, hal : 615). ARDS adalah bentuk khusus gagal napas yang ditandai dengan hipoksemia yang jelas dan tidak dapat diatasi dengan penanganan penangan an konvensional. (Sylvia A. price. 2005. Hal: H al: 835). Dasar definisi yang dipakai consensus Komite Konferensi ARDS Amerika-Eropa tahun 1994 terdiri dari : 1) Gagal napas (respiratory failure/distress) dengan onset akut. 2)
Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding fraksi oksigen yang diinspirasi (PaO2 / FiO2 ) <200 mmHg-hipoksemia berat
3) Radiografi dada; infiltrate alveolar bilateral yang sesuai dengan edema paru. 4)
Tekanan baji kapiler pulmoner (pulmonary capillary wedge pressure) < 18 mmHg, tanpa tanda klinis (rontgen, dan lain-lain) adanya hipertensi atrial kiri/ (tanpa adanya tanda gagal jantung kiri).
Bila PaO2 / FIO2 antara 200-300 mmHg, maka disebut Acute Lung Injury (ALI). Konsensus juga mensyaratkan terdpatnya factor resiko terjadinya ALI dan tidak adanya penyakit paru kronik yang bermakna.
B. ETIOLOGI
ARDS dapat terjadi akibat cedera langsung kapiler paru atau alveolus. Namun, karena kapiler dan alveolus berhubungan sangat erat, maka destruksi yang luas pada salah satunya biasanya menyebabkan estraksi yang lain. Hal ini terjadi akibat pengeluaran enzimenzim litik oleh sel-sel yang mati, serta reaksi peradangan yang terjadi setelah cedera dan kematian sel. Contoh-contoh kondisi yang mempengaruhi kapiler dan alveolus disajikan di bawah ini. Destruksi kapiler, apabila kerusakan berawal di membran kapiler, maka akan terjadi pergerakan plasma dan sel darah merah ke ruang interstisium. Hal ini meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbon dioksida untuk berdifusi, sehingga kecepatan pertukaran gas menurun. Cairan yang menumpuk di ruang interstisium bergerak ke dalam alveolus, mengencerkan surfaktan dan meningkatkan tegangan permukaan. Gaya yang diperlukan untuk mengembangkan alveolus menjadi sangat meningkat. Peningkatan tegangan permukaan ditambah oleh edema dan pembengkakan ruang interstisium dapat menyebabkan atelektasis kompresi yang luas. Destruksi Alveolus apabila alveolus adalah tempat awal terjadinya kerusakan, maka luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran gas berkurang sehingga kecepatan pertukaran gas juga menurun. Penyebab kerusakan alveolus antara lain adalah pneumonia, aspirasi, dan inhalasi asap. Toksisitas oksigen, yang timbul setelah 24-36 jam terapi oksigen tinggi, juga dapat menjadi penyebab kerusakan membran alveolus melalui pembentukan radikal-radikal bebas oksigen. Tanpa oksigen, jaringan vaskular dan paru mengalami hipoksia sehingga semakin menyebabkan cedera dan kematian sel. Apabila alveolus dan kapiler telah rusak, maka reaksi peradangan akan terpacu yang menyebabkan terjadinya edema dan pembengkakan ruang interstitium serta kerusakan kapiler dan alveolus di sekitarnya. Dalam 24 jam setelah awitan ARDS, terbentuk membran hialin di dalam alveolus. Membran ini adalah pengendapan fibrin
putih yang bertambah secara progesif dan semakin mengurangi pertukaran gas. Akhirnya terjadi fibrosis menyebabkan alveolus lenyap. Ventilasi, respirasi dan perfusi semuanya terganggu. Angka kematian akibat ARDS adalah sekitar 50%. (Elisabeth J. Cowin, 2001, hal. 420-421)
Selain itu, adapun penyebab lain dari ARDS adalah : 1. Syok karena berbagai sebab ( terutama hemorragik,pancreatitis acut hemorragik, sepsis gram negative ). 2. Sepsis tanpa syok, dengan atau tanpa koagulasi intravascular diseminata (DIC ). 3. Pneumonia virus yang berat. 4. Trauma yang berat ( cedera kepala, cedera dada langsung, trauma pada berbagai organ dengan syok hemorragik, fraktur majemuk dimana emboli lemak terjadi berkaitan dengan fraktur femur ). 5. Cedera aspirasi / inhalasi ( aspirasi isi lambung, hampir tenggelam, inhalasi asap, inhalasi gas iritan ). 6. Toksik O2 overdosis narkotika. 7.
Post perfusi pada pembedahan pintas kardiopulmonar.
C. EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan ada 150.000 orang yang menderita ARDS tiap tahunnya dan tingkat mortilitasnya 50 %.Sepsis sistemik merupakan penyebab ARDS terbesar sekitar 50%, trauma 15 %, cardiopulmonary baypass 15 %, viral pneumoni 10 % dan injeksi obat 5 %.
D. TANDA DAN GEJALA
ARDS biasaya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan awal pada paru. Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti dengan pernapasan yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan tanda yang khas pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah diberi oksigen. Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui ronkhi basah kasar, serta kadang wheezing .
Diagnosis dini dapat ditegakkan jika pasien mengeluhkan dispnea, sebagai gejala pendahulu ARDS. Diagnosis presumtif dapat ditegakkan dengan pemeriksaan analisa gas darah serta foto toraks. Analisa ini pada awalnya menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO2 sangat rendah, PaCO2 normal atau rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks biasanya memperlihatkan infiltrat alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau batas batas jantung, namun siluet jantung biasanya normal. Bagaimanapun, belum tentu kelainan pada foto toraks dapat menjelaskan perjalanan penyakit sebab perubahan anatomis yang terlihat pada gambaran sinar X terjadi melalui proses panjang di balik perubahan fungsi yang sudah lebih dahulu terjadi. PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun konsentrasi oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan indikasi adanya pintas paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi unit paru yang tidak terjadi ventilasi. Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru pasien sudah mengalami bocor di sana-sini, bentuk yang tidak karuan, serta perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat. Setelah dilakukan perawatan hipoksemia, diagnosis selanjutnya ditegakkan dengan bantuan beberapa alat. Untuk menginvestigasi adanya gagal jantung dapat dipasang kateter Swan-Ganz, dari sini dapat dilihat bahwa pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) akan terukur rendah (<18 mmHg) pada ARDS serta meningkat (>20 mmHg) pada gagal jantung. Jika terdapat emboli paru (keadaan yang menyerupai ARDS) mesti dieksplorasi hingga pasien stabil sambil mencari sumber trombus yang mungkin terdapat pada pasien, misalnya dari DVT. Pneumosystis carinii dan infeksi-infeksi paru lainnya patut dijadikan diagnosis diferensial, terutama pada pasien-pasien imunokompromais.
E. STADIUM
1. Eksudatif Ditandai dengan adanya perdarahan pada permukaan parenkim paru, edema interstitial atau alveolar, penekanan pada bronkiolus terminalis dan kerusakan pada sel alveolar tipe 1.
2. Fibroproliferatif Ditandai dengan adanya kerusakan pada sel alveolar tipe II, peningkatan tekanan puncak inspirasi, penurunan compliance paru (static dan dinamik), hipoksemia,
penurunan
fungsi
kapasitas
residual,
fibrosis
interstitisial,
dan
peningkatan ruang rugi ventilasi.
F. FAKTOR RESIKO
Kerusakan (injury) langsung pada epitel alveolus : 1. Aspirasi isi gaster 2. Infeksi paru difus 3. Kontusio paru 4. Tenggelam 5. Inhalasi toksik Kerusakan injury tidak langsung : 1. Sepsis 2. Trauma nontoraks 3. Transfusi produk darah berlebihan 4. Pankreatitis 5. Pintas Kardiopulmoner
G. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
ALI/ARDS
dimulai
dengan
kerusakan
pada
epitel
alveolar
dan
endotel
mikrovaskular. Kerusakan awal dapat diakibatkan injury langsung atau tidak langsung. Kedua hal tersebut mengaktifkan kaskade inflamasi, yang dibagi dalam 3 fase yang dapat dijumpai secara tumpang tindih : insiasi, amplifikasi, dan injury. Pada fase insiasi, kondisi yang menjadi factor resiko akan menyebabkan sel-sel imun dan non imun melepaskan mediator-mediator dan modulator-medulator inflamasi di dalam paru dan ke sistemik. Pada fase amplifikasi, sel efektor seperti netrofil teraktivasi, tertarik ke dan tertahan di dalam paru. Di dalam rongga target tersebut mereka melepaskan mediator
inflamasi, termasuk oksidan dan protease, yang secara langsung merusak paru dan mendorong proses inflamasi selanjutnya. Fase ini disebut fase injury. Kerusakan pada membrane alveolar- kapiler menyebabkan peningkatan permeabilitas membrane, dan aliran cairan yang kaya protein masuk ke ruang alveolar. Cairan dan protein tersebut merusak integritas surfaktan di alveolus, dan terjadi kerusakan lebih jauh. Terdapat 3 fase kerusakan alveolus : 1. Fase eksudatif : ditandai edema interstisial dan alveolar, nekrosis sel pneumosit tipe I dan denudasi/terlepasnya membrane basalis, pembengkakan sel endotel dengan pelebaran intercellular junction, terbentuknya membrane hialin pada duktus alveolar dan ruang udara, dan inflamasi neutrofil. Juga ditemukan hipertensi pulmoner dan berkurangnya compliance paru 2. Fase poliferatif paling cepat timbul setelah 3 hari sejak onset, ditandai poliferasi sel epitel pneumosit tipe II 3. Fase fibrosis : kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena fibrosis.
H. DIAGNOSIS KLINIS
Onset akut umumnya adalah 3-5 hari sejak adanya diagnosis kondisi yang menjadi factor resiko ARDS. Tanda pertama ialah takipnea. Dapat ditemui hipotensi, febris. Pada auskultasi ditemukan ronki basah.
I.
KOMPLIKASI
Kegagalan pernapasan dapat timbul seiring dengan perkembangan penyakit dan individu harus bekerja lebih kerja untuk mengatasi penurunan compliance paru. Akhirnya individu kelelahan dan ventilasi melambat. Hal ini menimbulkan asidosis respiratorik karena terjadi penimbunan karbon dioksida di dalam darah. Melambatnya pernapasan dan penurunan PH arteri adalah indikasi akan datangnya kegagalan pernapasan dan mungkin kematian. Pneumonia dapat timbul setelah ARDS, karena adanya penimbunan cairan di paru dan kurangnya ekspansi paru. Akibat hipoksia dapat terjadi gagal ginjal dan tukak saluran cerna karena stress (stress ulcers). Dapat timbul koaguiasi intravaskular diseminata akibat banyaknya jaringan yang rusak pada ARDS. (Elizabeth J. Cowin, 2001, hal. 422)
J. PROGNOSIS
Mortalitas sekitar 40%. Prognosis dipengaruhi oleh : 1.
Faktor risiko, ada tidaknya sepsis, pasca trauma, dan lain-lain
2.
Penyakit dasar
3.
Adanya keganasan
4.
Adanya atau timbulnya disfungsi organ multiple
5.
Usia
6.
Riwayat penggunaan alkohol
7.
Ada atau tidaknya perbaikan dalam indeks pertukaran gas, seperti rasio PaO2 / FiO2 dalam 3-7 hari pertama Pasien yang membaik akan mengalami pemulihan fungsi paru dalam 3 bulan dan
mencapai fungsi maksimum yang dapat dicapai pada bulan keenam setelah ekstubasi. 50% pasien tetap memiliki abnormalitas, termasuk gangguan restriksi dan penurunan kapasitas difusi. Juga tejadi penurunan kualitas hidup.
K. PEMERIKSAAN DIGNOSTIK
Analisis gas darah arteri akan memperlihatkan penurunan konsentrasi oksigen arteri. Terapi oksigen tidak efektif untuk ARDS, berapa pun jumlah oksigen yang diberikan, karena difusi gas terbatas akibat penimbunan fibrin, edema, dan rusaknya kapiler dan alveolus.
L. PENATALAKSANAAN
Pengobatan ARDS yang pertama-tama adalah pencegahan, karena ARDS tidak pernah merupakan penyakit primer tetapi timbul setelah penyakit lain yang parah. Apabila ARDS tetap timbul, maka pengobatannya adalah: 1.
Diuretik untuk mengurangi beban cairan, dan obat-obat perangsang jantung untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan volume sekuncup agar penimbungan cairan di paru berkurang. Penatalaksanaan cairan dan obat-obat jantung digunakan untuk mengurangi kemungkinan gagal jantung kanan.
2.
Terapi oksigen dan ventilasi mekanis sering diberikan.
3.
Kadang-kadang digunakan obat-obat anti-inflamasi untuk mengurangi efek merusak dari proses peradangan, walaupun efektifitasnya masih dipertanyakan.
II.
1.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
a. Lakukan pengkajian fisik anak 1) Status penampilan kesehatan : lemah dan lesu 2) Tingkat kesadaran kesehatan : komposmentis atau apatis 3) Tanda-tanda vital : a) Frekuensi nadi dan tekanan darah : takikardi, hipertensi. b) Frekuensi pernapasan : takipnea ( di awal kemudian apnea), retraksi substernal, krekels inspirasi, mengorok , pernapasan cuping hidung eksternal, sianosi, pernapasan sulit. c) Suhu Tubuh : Hipertermi akibat penyebaran toksik mikroorganisme yang direspon oleh hipotalamus. 4) Berat badan dan tinggi badan : Kecenderungan berat badan anak mengalami penurunan. 5) Integumen a) Warna
: Pucat sampai sianosis.
b) Suhu
: Pada hipertermi kulit teraba panas setelah hipertermi teratasi kulit
anak akan teraba dingin. c) Turgor
: Menurun pada dehidrasi
6) Kepala dan Mata a) Perhatikan bentuk dan kesimetrisan b) Palpasi tengkorak akan adanya nodus atau pembengkakan yang nyata. c) Periksa hygiene kulit kepala, ada tidaknya lesi, kehilangan rambut, perubahan warna 7) Thorax dan Paru-paru a) Inspeksi
: frekuensi irama, kedalaman dan upaya bernafas antara lain:
takipnea, dispnea progresif, pernapasan dangkal, pektus ekskavatum (dada corong), paktus karinatum (dada burung), barrel chest.
b) Palpasi
: Adanya nyeri tekan, massa, peningkatan vocal fremitus pada
daerah yang terkena. c) Perkusi
: Pekak terjadi bila terisi cairan pada paru, normalnya timpani
(terisi udara) resonansi. d) Auskultasi : Suara pernapasan yang meningkat in tensitasnya :
Suara mengi (wheezing)
Suara pernapasan tambahan ronchi
b. Pemeriksaan Penunjang 1) Foto rontgen dada (Chest X-Ray) : tidak terlihat jelas pada stadium awal atau dapat juga terlihat adanya bayangan infiltrate yang terletak di tengah region perihilar paru. Pada stadium lanjut terlihat penyebaran di interstitisial secara bilateral dan infiltrate alveolar, menjadi rata dan dapat mencakup keseluruh lobus paru. Tidak terjadi pembesaran pada jantung. 2) ABGs : hipoksemia (penurunan PaO2), hipokapnea (penurunan nilai CO2 dapat terjadi terutama pada fase awal sebagai kompensasi terhadap hiperventilasi), hiperkapnea (PaCO2 > 50) menunjukkan terjadi gangguan pernapasan. Alkalosis respiratori (Ph > 7,45) dapat timbul pada stadium awal, tetapi asidosis dapat juga timbul pada stadium lanjut yang berhubungan dengan peningkatan dead space dan penurunan ventilasi alveolar. Asidosis metabolic dapat timbul pada stadium lanjut yang berhubungan dengan peningkatan nilai laktat darah, akibat metabolisme anaerob. 3) Tes Fungsi Paru (Pulmonary Function Test) : Compliance paru dan volume paru menurun, terutama FRC, peningkatan dead space dihasilkan oleh pada area terjadinya vasokonstriksi dan mirkroemboli timbul. 4)
Asam laktat : didapatkan peningkatan pada kadar asam laktat.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan:
Menurunnya fungsi silia pada jalan napas (hipoperfusi)
Peningkatan jumlah/ kekentalan sekresi pulmonal
Peningkatan resistensi jalan udara (edema interstisial)
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan :
Alveolar Hipoventilasi
Penumpukan cairan di permukaan alveoli
Hilangnya surfaktan pada permukaan alveoli
3. Risiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan : Penggunaan diuretic Perubahan bagian cairan (kompartemental) 4. Ansietas/ ketakutan (spefisikkan), yang berhubungan dengan : Krisis situasi Pengobatan Perubahan status kesehatan Ketakutan akan mati Faktor fisiologis (efek hipoksemia)
3) RENCANA TINDAKAN Hari/Tgl No. Dx
Ttd
Rencana Perawatan
Tujuan dan
Intervensi
Rasional
Kriteria Hasil
1
Setelah
diberikan 1. Catat perubahan 1. Penggunaan otot-
tindakan
dalam bernafas dan otot
keperawatan
pola nafasnya
selama
…
x
24
jam,
diharapkan
jalan
nafas
interkostal
/abdominal/leher dapat meningkatkan usaha
dalam
bernafas
menjadi
efektif, 2. Observasi dari 2.
dengan
criteria penurunan
Pengembangan
dada dapat menjadi
hasil :
pengembangan
Px
dapat dada
mempertahan kan
jalan
dengan
peningkatan
cairan
dan adanya cairan
nafas fremitus
dapat meningkatkan
bunyi
fremitus 3.Catat
dan ronchi (-)
karakteristik
bebas
3.
Suara
nafas
dari terjadi
dari suara nafas
karena
adanya aliran udara
dispnea Px
dari
dan akumulasi
napas yang jernih
Px
batas
melewati dapat
tracheo
batang branchial
mengeluarkan
dan
secret
adanya
cairan,
mukus
atau
tanpa
kesulitan Px
dapat
juga
karena
sumbatan lain dari
memperlihatkan
saluran nafas
tingkah
4.
laku 4. Catat
mempertahanka jalan nafas
karakteristik
Karakteristik
dari batuk
batuk
dapat
merubah
RR = 20 x/menit ;
ketergantungan
HR = 75
pada penyebab dan
–
100
x/menit
etiologi dari jalan nafas.
Adanya
sputum dapat dalam jumlah
yang
banyak, tebal dan purulent 5.
Pertahankan
posisi tubuh/posisi kepala dan gunakan jalan
nafas
tambahan bila perlu
5.
Pemeliharaan
jalan nafas bagian nafas dengan paten
6. Kaji kemampuan 6.
Penimbunan
batuk, latihan nafas sekret mengganggu dalam,
perubahan ventilasi
dan
posisi dan lakukan predisposisi suction
bila
ada perkembangan
indikasi
atelektasis
dan
infeksi 7. Peningkatan oral 7. intake
paru Peningkatan
jika cairan
memungkinkan
per
oral
dapat mengencerkan sputum
2
Setelah
diberikan 1.
Kaji
tindakan
pernafasan,
keperawatan
peningkatan
selama
jam,
…
x
24
respirasi
diharapkan perubahan
gangguan pertukaran
nafas gas 2.
status 1. Takipneu adalah catat mekanisme kompensasi
untuk
atau hipoksemia
dan
pola peningkatan
usaha
nafas Catat
ada 2.
Suara
tidak
terjadi, tidaknya
dengan
criteria nafas dan adanya sama atau tidak ada
hasil : Pasien
bunyi dapat tambahan
memperlihatkan ventilasi oksigenasi
crakles,
dan wheezing yang
adekuat Bebas dari gejala
suara mungkin
nafas tidak
nafas ditemukan. Crakles seperti terjadi
karena
dan peningkatan cairan di
permukaan
jaringan
yang
disebabkan
oleh
peningkatan
distress pernafasan
permeabilitas
RR = 20 x/menit ;
membran alveoli
–
HR = 75
–
100
kapiler.
x/menit
Wheezing
terjadi
karena
bronchokontriksi atau adanya mukus pada 3.
Kaji
adanya 3.
cyanosis
jalan
nafas
Selalu
bila
berarti
diberikan
oksigen (desaturasi 5
gr
dari
Hb)
sebelum
cyanosis
muncul.
Tanda
cyanosis
dapat
dinilai pada mulut, bibir yang indikasi adanya hipoksemia sistemik,
cyanosis
perifer seperti pada kuku
dan
ekstremitas
adalah
vasokontriksi. 4. Observasi adanya 4. somnolen, confusion,
Hipoksemia
dapat menyebabkan apatis, iritabilitas
dan
dari
miokardium
ketidakmampuan beristirahat 5. Berikan istirahat 5. yang
cukup
nyaman
Menyimpan
dan tenaga mengurangi penggunaan oksigen
pasien,
3
Setelah
diberikan 1.
Monitor
vital 1.Berkurangnya
tindakan
signs
keperawatan
tekanan darah, heart cairan
selama
…
x
24
rate,
seperti volume/keluarnya
denyut
jam,
diharapkan (jumlah
tidak
terjadinya volume)
nadi meningkatkan heart dan rate,
tinggi
defisit
volume
cairan,
dengan 2. Amati perubahan 2.
-
Pasien
volume denyut nadi menurun.
kesadaran, dapat kulit,
menunjukkan keadaan
volume dan
cairan
normal sputum tanda
tekanan
darah,
:
Penurunan
turgor cardiac
output
kelembaban mempengaruhi
membran
dengan
menurunkan
tekanan darah, dan
resiko
criteria hasil :
dapat
mukosa perfusi/fungsi karakter cerebral.
Defisit
cairan
dapat
diidentifikasi dengan penurunan
turgor
berat badan, urine
kulit,
membran
output pada batas
mukosa
normal.
sekret kental.
kering,
- TD = 110/65 3.
mmHg RR = 20 x/menit ; HR = 75
–
100
Hitung
intake,
output dan balance cairan.
Amati
3.Memberikan informasi status
tentang
cairan
dan
“insesible loss”
x/menit
keseimbangan cairan negatif
merupakan
indikasi
terjadinya
defisit cairan. 4. Timbang berat badan setiap hari
4.Perubahan drastis
yang
merupakan
tanda
penurunan
total body water
4
Setelah
diberikan 1.Observasi
1.Hipoksemia dapat
tindakan
peningkatan
keperawatan
pernafasan, agitasi, kecemasan
selama
jam,
…
x
24
(spefisikkan)
dengan
kegelisahan
dan
diharapkan kestabilan emosi.
ansietas/ketakutan
dapat
menyebabkan
2.
Pertahankan 2. Cemas berkurang
px lingkungan
berkurang, tenang
yang oleh
dengan relaksasi
criteria meminimalkan
hasil : -Pasien
dan
pengawetan
energi
stimulasi. Usahakan yang digunakan. dapat perawatan
mengungkapkan
prosedur
perasaan cemasnya menggaggu secara verbal
meningkatkan
dan tidak waktu
istirahat
-Ketakutannya,dan 3. Bantu dengan 3.Memberi rasa cemasnya teknik relaksasi, kesempatan mulai berkurang meditasi. pasien
untuk untuk
mengendalikan kecemasannya merasakan
dan
sendiri
dari pengontrolannya 4.Identifikasi
4.
Menolong
persepsi pasien dari mengenali pengobatan dilakukan
asal
yang kecemasan/ketakutan yang dialami
5. Dorong pasien 5.
Langkah
awal
untuk
dalam
mengekspresikan
mengendalikan
kecemasannya
perasaan-perasaan yang
teridentifikasi
dan 6.
Membantu 6. Menerima stress
menerima dan
terekspresi.
hal
situasi yang sedang dialami tersebut tanpa denial, bahwa
harus
segalanya
akan
ditanggulanginya
menjadi lebih baik.
7.
Berikan 7. Menolong pasien
informasi
tentang untuk menerima apa
keadaan
yang yang sedang terjadi
sedang dialaminya
dan
dapat
mengurangi kecemasan/ketakutan apa
yang
tidak
diketahuinya. Penentraman yang
hati
palsu
tidak
menolong tidak
ada
sebab perawat
maupun pasien tahu hasil
akhir
dari
permasalahan itu 8.Identifikasi tehnik pasien yang digunakan sebelumnya untuk menanggulangi rasa cemas
8. Kemampuan yang dimiliki pasien akan meningkatkan sistem pengontrolan terhadap kecemasannya
D. IMPLEMENTASI
Implementasi disesuaikan dengan intervensi keperawatan.
E. EVALUASI
DX 1
Pasien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang jernih dan ronchi (-)
Pasien bebas dari dispneu
Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan
Memperlihatkan tingkah laku mempertahankan jalan nafas DX 2
Pasien dapat memperlihatkan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
Bebas dari gejala distress pernafasan DX 3
Pasien dapat menunjukkan keadaan volume cairan normal dengan tanda tekanan darah, berat badan, urine output pada batas normal. DX 4
Pasien dapat mengungkapkan perasaan cemasnya secara verbal
Mengakui dan mau mendiskusikan ketakutannya, rileks dan rasa cemasnya mulai berkurang
Mampu menanggulangi, mampu menggunakan sumber-sumber pendukung untuk memecahkan masalah yang dialaminya
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, H. dan A. Mukty. 1995. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru . Surabaya: Airlangga University Press. Asher M.I. dan P.H. Beadry. 1990. Lung Abscess in Infections of Respiratory Tract . 3rd ed. Kanada: Prentice Hall Inc. Bunner, Suddath, dkk . 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 1. Jakarta : EGC. Carpenito, Lynda Juall.2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisin 8. Jakarta : EGC.
Corwin J. Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta : EGC. Doenges, Marilyn. E. 1999, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan & Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi : 3. Jakarta : EGC. Mansjoer, Arif.2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Jakarta : Mediaesculapius Price, Sylvia. A. 2004. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC. Wong, Donna. L. 2004. Pedoman Klinis Perawatan Pediatrik . Jakarta : EGC.