Vol. 4 No. 4 Th. 2007 ISSN 1693-6027
JURNAL HAM 2007
Diterbitkan oleh :
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA ©2007
JURNAL HAM • Vol. 4 No. 4 Th. 2007
i
Vol. 4 No. 4 Th. 2007 ISSN 1693-6027
JURNAL HAM 2007
Diterbitkan oleh :
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA ©2007
JURNAL HAM • Vol. 4 No. 4 Th. 2007
i
JURNAL HAM
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Semua artikel dalam Jurnal HAM ini dapat digandakan untuk keperluan pemajuan hak asasi manusia dengan dengan menyebutkan sumbernya. Pemberitahuan Pemberitahuan akan sangat dihargai. dihargai.
Penanggung Jawab : Yose oseph ph Adi Adi Praset Prasetyo yo Saharudin Daming Pemimpin Redaksi
: At Atik ikah ah Nu Nura rain inii
Redaktur Pelaksana : S.M S.M.Gu .Gusri srini ni Tamb Tambuna unan n Dewan Redaksi
: Rusm Rusman an Wid idod odoo Kurniasari Novita Dewi Sasanti Amisani
Distribusi
: Ba Banu nu Abd Abdil illa lah h
Rancangan sampul
: J. Ed Eddy dy Ju Juwo wono no
Tata Letak Let ak
: J. Ed Eddy dy Ju Juwo wono no
162 halaman, 16 x 24 cm
Diterbitkan oleh
: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) JL. Latuharhary No. 4 B Menteng Jakarta 10310 Tel. +62-21-3925230 ext 218/219 Fax. +62-21-3912026 Email:
[email protected] Website: http://www.komnasham.go.id
Dicetak oleh
: Pe Perk rkum umpu pula lan n Omega Omega
ii
JURNAL HAM • Vol. Vol. 4 No. 4 Th. 2007
Daftar Isi
Editorial .................................................................................................... Yosep Adi Prasetyo
1
Kovenan HAM Internasional : Pandangan Umum mengenai Signifikasi dan Perkembangan................................................................ Henry Simarmata
4
Pelaksanaan ICCPR dan ICESCR dalam Konteks Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 2004-2009 ........................... Adhi Santika
12
Bukan Sekedar Menandatangani: Obligasi Negara Berdasarkan Kovenan Hak Ekosob ............................................................................... A. Patra M. Zen dan Andik Hardiyanto
22
Kewajiban Negara dalam ICCPR ............................................................ Jonny Sinaga
38
Prospek dan Tantangan Implementasi ICCPR ....................................... Hendardi
48
Hak Asasi Manusia di Dunia yang Terglobalisasi : Paradoks Janji-janji Kosong .................................................................... Emilie M. Hafner-Burton & Kiyoteru Tsutsui
68
Lembar Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 30 Sistem Perjanjian Hak Asasi Manusia: Pengantar terhadap Perjanjian Hak Asasi Manusia Utama dan Badan-Badan Perjanjian .......................................................................... 102 Resensi Buku ............................................................................................ 152 Tentang Penulis ........................................................................................ 155
JURNAL HAM • Vol. 4 No. 4 Th. 2007
iii
iv
JURNAL HAM • Vol. 4 No. 4 Th. 2007
Editorial Yosep Adi Prasetyo*
Memperbaiki kualitas hidup manusia Indonesia kini bukan sekadar slogan saja. Atau sekadar janji-janji kampanye pada saat menjelang pemilihan presiden. Pemerintah tak boleh lagi berleha-leha menjalankan tugas-tugasnya, tapi harus bekerja keras untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sejalan dengan amanat Pembukaan UUD 45 yaitu mewujudkan negara yang adil-makmur berdasarkan Pancasila. Tentunya ini bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Pada 2005, United Nation Development Program (UNDP) mengumumkan temuan mereka akan kemajuan berbagai negara dalam mensejahterakan masyarakatnya yang ditunjukkan melalui Human Development Index (HDI). Dalam catatan UNDP, HDI Indonesia adalah sebesar 0,692 dan berada di urutan 111. Negara yang memiliki HDI tertinggi dan berada di urutan satu adalah Norwegia. Disusul oleh Swedia (urutan 2) dan Australia (urutan 3). Yang mengejutkan adalah negara sosialis yang mengalami pengucilan semacam Kuba mampu menempati uturan ke-52. Negara yang baru ke luar dari cengkraman konflik seperti Bosnia Herzegovina berada pada urutan ke-66. Sejumlah negara tetangga kita seperti Singapura berada pada urutan ke-25, Malaysia urutan ke-59, Thailand urutan ke-76, dan Filipina urutan ke-83. Menyedihkan memang mendapatkan kenyataan bahwa Indonesia terpuruk di bawah dan berada dalam peringkat yang hampir sama dengan negara seperti Vietnam, Moldova, Bolivia, dan Honduras. Apa yang salah dengan proses pembangunan yang digembar-gemborkan selama ini? Tak mudah menjawabnya. Yang jelas sejak didera krisis ekonomi melanda JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
kawasan Asia pada Juni 1997, Indonesia adalah negeri satu-satunya yang masih merangkak dan berupaya ke luar dari belitan krisis. Negara tetangga seperti Korea, Filipina, Thailand, Malaysia sudah terlebih dulu bangkit. Di berbagai wilayah di Indonesia masih banyak terdapat kantong-kantong kemiskinan. Angka-angka optimisistis tentang pertumbuhan ekonomi ternyata tak berbanding lurus dengan kenyataan kemiskinan. Jumlah orang miskin justru terus membengkak. Memecahkan persoalan kemiskinan ternyata bukan sekadar menciptakan lapangan kerja, menarik investor luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia, menekan angka inflasi, menjaga kestabilan ekonomi makro, atau mendorong komoditi ekspor semata. Bila diteliti lebih mendalam faktor-faktor penentu kemiskinan secara esensial ternyata memiliki korelasi dengan hal-hal yang lebih mendasar. Antara lain, sulitnya masyarakat memperoleh pendidikan, sulitnya akses pekerjaan (akibat praktek kolusi dan nepotisme), sulitnya akses terhadap pelayanan dan infrastuktur dasar, diskrimansi gender, tak meratanya pembangunan infrasutruktur. Wacana hak asasi manusia kini bukan lagi sekadar wacana tentang kebebasan sipil. Tapi sudah sudah meliputi hak ekonomi, sosial, dan budaya, serta hak atas pembangunan. Upaya perwujudan kesejahteraan masyarakat ini harus dilakukan pemerintah yang telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya ( International Covenant * Komisioner Komnas HAM, Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan periode 2007-2012
1
on Economic, Social and Cultural Rights – ICESCR) pada 30 September 2005 melalui proses legislasi yang disetujui DPR. Selain ICESCR, pemerintah juga meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik ( International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR) pada 28 Oktober 2005. ICESCR disahkan men jadi UU No. 11/2005 dan ICCPR menjadi UU No. 12/2005. Bukan hanya itu, selain bertugas mengimplementasikan ICESCR, pemerintah Indonesia harus membuat laporan yang bertalian dengan penyesuaian hukum, langkah-langkah, kebijakan dan tindakan yang dilakukan. Juga hasil-hasil yang dicapai dalam implementasi perjan jian tersebut kepada badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam hal ini kepada sebuah komite ditunjuk untuk menangani perjanjian tersebut Secara regular, pemerintah Indonesia harus membuat laporan dalam periode empat tahun sekali. Laporan tersebut harus memuat langkah-langkah dan model kebi jakan yang telah diambil, serta hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia. Bisa saja yang terjadi adalah kemajuan dalam langkah-langkahnya, tapi lemah atau gagal dalam implementasinya. Dalam implementasi ini akan tampak apakah pemerintah memang tidak mampu (inability) atau tidak mau (unwilling) untuk menunaikan kewajibannya. Pemerintah punya pekerjaan untuk mencermati kembali berbagai peraturan daerah (perda) yang kini jumlahnya telah melebihi angka 1.000. Baik yang berupa perda otonomi, perda syariah, maupun perda ketertiban yang berpotensi menghambat pelaksanaan UU No. 11/2005 dan UU No. 12/2005. Berbagai macam perda yang tumpang-tindih dan bertabrakan dengan kedua undang-undang tersebut harus segera dicabut karena berpotensi
2
menghambat pelaksanaan hak ekosob dan juga sipol. Contoh yang paling aktual adalah pemberlakuan Perda Ketertiban Umum oleh Pemda DKI Jakarta pada 8 September 2007 lalu. Perda ini secara nyata tak mencantumkan UU No. 39/Th 1999, UU No. 11/Th 2005, dan UU No 12/Th 2005 sebagai salah satu konsideransnya. Bukan hanya itu, pasal-pasal dalam perda ini ternyata berlepotan dan bertentangan dengan ketiga undang-undang tersebut. Juga bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 serta nilai-nilai sebagaimana pernah diajarkan dalam pelajaran mengenai Pancasila. Perda Ketertiban Umum ini bila diimplementasikan bukan tak mungkin bukan hanya akan mengabaikan hak-hak masyarakat, tapi juga akan menghambat tujuan dan upaya pemerintah. Khususnya dalam merealisasikan kewajiban pemerintah Indonesia untuk memenuhi dan menjalankan kewajibannya sebagai negara yang telah meratifikasi ICESCR dan ICCPR. Bagaimana mencermati ini semua? Negara yang meratifikasi kovenan ICESCR dan ICCPR harus menghormati hak-hak manusia. Negara yang melakukan tindakan yang dilarang atau bertentangan ICCPR melalui campur tangannya akan dikenai tuduhan melakukan pelanggaran melalui tindakan (violation by action). Yang lain, negara harus aktif untuk melindungi hakhak – melalui tindakannya. Apabila negara justru tak melakukan apa-apa baik karena lalai dan lupa maupun absent, negara bisa dituduh telah melakukan pelanggaran melalui tindakan pembiaran (violation by omission). Dan apabila negara terus saja memberlakukan ketentuan hukum yang bertentangan dengan ICCPR dan ICESCR maka negara akan dikenai tuduhan telah melakukan pelanggaran melalui hukum (violation by judicial). Jurnal edisi ini sengaja mengangkat masalah dan konsekuensi yang bakal me-
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
nyertai implementasi UU No. 11/Tahun 2005 dan UU No. 12/Tahun 2005. Patra M. Zen dan Andik Hardiyanto melalui tulisan “ Bukan Sekedar Menandatangani: Obligasi Negara Berdasarkan Kovenan Hak Ekosob” mengangkat masalah obligasi (kewajiban) internasional yang melekat pada Negara pasca meratifikasi kedua kovenan tersebut. Juga pembahasan mengenai tema “pelanggaran hak ekosob”, termasuk indikator keberhasilan dan kegagalan, yang dapat digunakan untuk menilai pelaksanaan obligasi negara. Pada tulisan yang lain, Hendardi melalui tulisan “ Pelaksanaan ICCPR dan ICESCR dalam Konteks Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 2004-2009” konsekuensi yang muncul sebagai akibat diratifikasinya dua kovenan internasional tersebut oleh pemerintah Indonesia. Persoalan hak-hak manusia di Indonesia telah memasuki tahap di mana kebutuhan untuk menerapkannya telah melampaui kepentingan untuk memperdebatkannya. Serangkaian kontradiksi dalam realitas sosio-ekonomi dan sosio-politik yang sebelumnya hanya dibahas dan diprediksi secara akademis di lembaga-lembaga studi, kini telah meningkat menjadi kenyataan sosiologis yang keras dan konkrit seperti yang dirasakan sebagian orang dalam kasus-kasus perselisihan perburuhan. Juga konflik pertanahan atau penghancuran rumah-rumah penduduk dan pendidikan maupun kebebasan bergerak, berpendapat, berkumpul, berserikat, partisipasi dalam politik, serta penyiksaan, hukuman mati atau pembunuhan di luar proses hukum.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Tulisan Adhi Santika, “Pelaksanaan ICCPR dan ICESCR dalam Konteks Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 2004-2009” , lebih banyak menguraikan gambaran seputar RANHAM. Pembuatan RANHAM tak lain merupakan sebuah upaya pembuatan pedoman dan rancangan kebijakan untuk mendorong upaya penerapan, penghormatan, pemajuan pemenuhan, dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia. Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 20042009 sesungguhnya merupakan kelanjutan dari Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia sebelumnya yang dibuat untuk tahun 1998-2003, sehingga berbagai sasaran yang belum dapat dipenuhi pada periode yang lalu dapat dilanjutkan pada periode berikutnya. Di Jurnal HAM edisi 2007 ini juga disajikan tulisa karya Emilie M. Hafner-Burton dari Oxford University dan Kiyoteru Tsutsui dari State University of New York, Stony Brook. Dengan suatu sistem penilaian tertentu keduanya mencoba melihat sejauhmana perjanjian internasional hak asasi manusia ketika perjanjian tersebut dapat atau tidak dapat memperbaiki praktik-praktik hak asasi manusia di tingkat negara-negara pihak, dan sudah seharus rejim hak asasi manusia internasional memperbaiki sistem dan mekanisme perlindungan HAM di tingkat internasional. Semua tulisan dalam edisi ini diharapkan bisa menyumbangkan sebuah wacana konkrit tentang cara pengimplementasian, persoalan, dan tantangan bagi penerapan ICESCR sebagai UU No. 11/2005 dan ICCPR sebagai UU No. 12/2005. Selamat membaca.
3
Kovenan HAM Internasional: Pandangan Umum mengenai Signifikasi dan Perkembangan Henry Simarmata*
Abstract Indonesia has just ratified the two most important international human rights covenants, namely, the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) and the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). The implications of these ratifications are enormous, either for the government and other state’s institutions or for the victims of human rights violation as well as human rights defenders. The two Covenants could become part of the effort of legal reform to improve human rights condition in Indonesia. The two Covenants are related with the history of the world organization, namely, the United Nations, in developing the what so called the international law, in this regard the international human rights law. The human rights law was developed as mechanisms, either Charter-based or Treaty-based. The main purposes of the Indonesian are to maintain peace and prevent violence.
Dua Kovenan HAM internasional, yang sekarang ini sudah diratifikasi dengan Undang-Undang 11 tahun 2005 (untuk Kovenan Ekonomi, Sosial, Budaya), dan dengan Undang-Undang 12 tahun 2005 (untuk Kovenan Sipil dan Politik), mempunyai muatan sejarah dan ‘otoritas yang mengikat’, yang membuat dua Kovenan ini sebagaimana adanya sekarang. Fakta pertama yang paling jelas adalah bahwa 2 (dua) Kovenan Internasional ini terkait dengan mekanisme Komisi HAM PBB, dan disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966, dengan resolusi 2200a (XXI). Setelah resolusi itu, Kovenan itu diberlakukan masing-masing 3 Januari 1976 untuk Kovenan Internasional Ekonomi, Sosial, Budaya (selanjutnya disebut Kovenan Ekosob), dan 23 maret 1976 untuk Kovenan Internasional Sipil dan Politik (selanjutnya disebut Kovenan Sipol). Sejak saat itu, 4
kovenan ini menjadi mekanisme yang bersifat mengikat. Sejak tahun 1976, semakin banyak negara yang menjadi ‘pihak’ dalam 2 kovenan tersebut. Sebanyak 148 negara atau lebih menjadi pihak Kovenan Ekosob, dan sebanyak 150 negara atau lebih men jadi pihak Kovenan Ekosob.
Otoritas 2 Kovenan: Mengapa perlu? Dua kovenan ini menjadi bagian yang integral dari sistem PBB, dan sistem PBB ini mengikat semua negara anggota PBB. Lebih khusus lagi, negara pihak (artinya ne* Riwayat Singkat Penulis: 1995-2002 bekerja di Institut Sosial Jakarta, 2003-2006 bekerja di Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi manusia Indonesia; 1999 dan 2005 mengikuti sesi sidang Komisi HAM; 2004-2006 menjadi anggota Komite Eksekutif Forum Asia sebagai wakil PBHI – termasuk menjadi Ketua Komite Eksekutif (November 2005-Februari 2006) JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
gara yang meratifikasi) terikat dengan mekanisme dalam Komisi HAM PBB, yang mulai Juni 2006 akan penuh menjadi Dewan HAM (dengan demikian sejajar, misalnya, dengan Dewan Keamanan PBB, minus otoritas veto).
bukan hanya batas kemanusiaan, tetapi juga batas ‘akal sehat’, terutama dengan peristiwa Holocaust (dan ini yang kedua terbesar, setelah Pembantaian Masyarakat Armenia di masa Perang Dunia I). Pendiri PBB, dan kemudian anggota PBB menyadari bahwa perlu ada satu rejim yang dapat memberikan promosi dan perlindungan terhadap perdamaian dan kemanusiaan warga dunia. Hal itu diwujudkan dengan pendirian PBB, dan tentu dengan mekanismenya yang diharapkan bisa lebih efektif, terutama dibandingkan dengan Liga Bangsa-Bangsa. Melihat hal ini, ada 2 hal yang dapat dipenuhi dengan pendirian PBB dan mekanismenya, yaitu terbentuknya rejim perdamaian dan deterrent (daya tangkal) atas kekerasan.
Dalam tulisan lain dalam jurnal ini, dijelaskan secara lebih rinci mengenai soal kewajiban negara pihak, implementasi, dan tantangan dari masing-masing Kovenan. Namun, jelas bahwa yang menjadi penghubung dari kesemuanya itu adalah persoalan otoritas 2 kovenan itu. Bagaimana Dewan HAM PBB, antara lain, akan menjalankan mekanisme tersebut, akan membuat kovenan itu efektif mencegah dan/atau menangani pelanggaran HAM. Dengan ini, baik jika dapat kita ulas dan lihat secara khusus sisi lain dalam tulisan ini. Untuk itu, ada beberapa hal yang patut dilihat untuk menggali dimensi “mengapa”nya.1
1.
Mendorong terwujudnya rejim dan deterrent PBB dibentuk semasa akhir Perang Dunia II. Artinya, PBB didirikan dengan kesadaran bawah Liga BangsaBangsa tidak efektif, baik sebagai organisasi dunia maupun dalam mempromosikan perdamaian. Perang II yang jauh lebih dahsyat dan jauh lebih sistematis dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa ditolerir, karena melewati
1 Dalam penulisan artikel ini, ada alasan untuk me-
naruh pertanyaaan ‘mengapa’ di bagian terakhir artikel, karena sifatnya yang evaluatif. Namun, dalan tulisan ini, ijinkan saya untuk menaruhnya di depan, mengingat tulisan ini ditaruh dalam bagian pertama bunga rampai (dalam jurnal). Dengan ini, setidaknya, saya berharap pembaca mendapat ‘clue’ terhadap artikel-artikel berikutnya. Artikel ini, dengan ini, mempunyai struktur sebagai berikut: 1. fakta dasar (yang singkat) 2. signifikasi dari 2 kovenan (‘mengapa’) 3. dinamika dalam enforcement 4. evaluasi terhadap indivisibility dari 2 kovenan (dengan mengelaborasi pemikiran Amartya Sen) JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
2.
Mendorong terwujudnya hukum internasional Penjelasan di atas juga berlaku dalam hal kedua ini. Lebih lanjut dapat dijabarkan bahwa sistem hukum dunia yang fractured dianggap sebagai salah satu masalah yang harus ditangani dengan mendorong efektivitas PBB. Hukum internasional dapat secara terus-menerus bertentangan dengan hukum nasional. Persoalannya adalah bahwa jika kemudian kekerasan dilakukan dan menjadi pola, amat sulit untuk menanganinya karena ada pertentangan tersebut. Persoalan seperti human trafficking, agresi bersenjata, perdagangan gelap senjata, antara lain, adalah suatu fenomena transnasional. Tidak ada satu negarapun yang sanggup menanganinya secara sendiri. Dalam konteks hak asasi manusia, kemerosotan kondisi hak asasi manusia yang terjadi amat cepat menjadi bahan ekspos media. Jika tidak ada
5
mekanisme dan hukum internasional maka kondisi hak asasi manusia yang merosot dapat menjadi spekulasi bertahun-tahun. Kondisi inilah yang membuat banyak pembela hak asasi manusia mencita-citakan suatu mekanisme. Mekanisme ini dimulai dan dikembangkan, terutama sebagai mekanisme PBB, dan lama-kelamaan, menjadi hukum internasional.
3. Inform-consentdan public action Ijinkan juga saya menggunakan pemikiran Amartya Sen (Sen, 2000) untuk melihat soal ‘mengapa’. Sen menunjuk bahwa tersedianya informasi membuat suatu hal dapat direspon dengan segera (sooner than later). Kasus kelaparan dijadikan contoh dalam penelitiannya bersama Jean Dreze. Kelaparan sering berkepanjangan karena tidak ada informasi yang dapat diakses. Informasi yang dapat diakses menjadi dasar public action.
6
but menghasilkan comment. Dari informasi dan proses acara ini kemudian dilaksanakan special session 2 di dalam sidang Komisi HAM PBB di tahun 1992. (Untuk proses acara special session, dalam kasus lain, East Timor pernah dijadikan agenda di tahun 1999)
4.
Tindakan remedial Informasi dan rejim (point 1) kemudian mendorong tindakan, apakah itu tindakan diarahkan pada pelaku ( perpetrator), pada situasi, dan pada korban. Dua kovenan ini mempunyai seperangkat instrumen yang memungkinkan untuk diambilnya suatu tindakan – apalagi ada implikasi ‘naik’nya mekanisme HAM PBB dari komisi (Commission) ke dewan (Council). Khususnya menyangkut korban, amat penting ada suatu tindakan remedial dimana pemerintah negara anggota dan atau negara pihak wajib untuk menyediakannya. Kasus serdadu anak (child soldiers) di DRC/Kongo (dalam istilah setempat dikenal dengan istilah kadogo), misalnya, dibahas baik di dalam Komisi HAM PBB, maupun dalam badan treaty untuk ICCPR serta hak anak. Tindakan remedial muncul dalam kebijakan PBB untuk melakukan demobilisasi serdadu anak dan Pemerintah Negara Kongo dipaksa untuk turut dalam kebijakan PBB tersebut. (Witness, sebuah NGO yang mengembangkan dokumentasi HAM, memotret
Dalam hal hak asasi manusia secara umum, secara sederhana, dapat dikatakan bahwa pelanggaran HAM seringkali terjadi berlarut-larut karena tidak ada informasi. Peran dan sumbangan terbesar mekanisme HAM PBB, terutama dalam hal 2 kovenan ini, adalah bahwa tersedia informasi yang diusahakan secara teratur, dapat dengan mudah diakses masyarakat luas, disertai dengan catatan-catatan penting dari mekanisme yang dijalankan.
2 Special Session ini adalah suatu sesi dimana hanya
Contoh yang menarik misalnya bisa dirujuk pada persoalan Bosnia-Herzegovina (Michael O’Flaherty, dalam Alston 2000). Mekanisme di dalam Human Rights Committee (badan treaty yang menjalankan enforcement ICCPR) menyediakan informasi. Proses acara ( proceeding) HRC terse-
dibahas satu item selama persidangan. Jika saat itu sedang terjadi persidangan dengan agenda reguler, maka special session berarti bahwa pembahasan reguler berhenti, dan masuk pada proses acara special session (misalnya, di tahun 1999, saat penulis menjadi seorang intern dalam sidang ke-55 Komisi HAM PBB, Kosovo menjadi special session dan itu menghentikan pembahasan reguler yang waktu itu sedang berlangsung). Jika sedang tidak ada sidang, maka seluruh diplomat akan dipanggil untuk untuk datang dalam sidang special session. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
fenomena demobilisasi serdadu anak ini dengan amat tajam).
contoh, seringkali diajukan secara bersamaan, baik dalam proses pidana domestik di Inggris maupun di mekanisme PBB. Terutama karena muatan ‘hukum darurat Irlandia Utara’ yang membuat terjadi pelonggaran enforcement kovenan sipol, maka proses di PBB menjadi pelecut yang efektif.
Otoritas 2 Kovenan: Mengapa ditolak? Mengapa diterima? Seberapa efektif? Pertanyaan berikut adalah apakah mekanisme dari 2 kovenan tersebut memang efektif. Dengan otoritasnya yang terbatas, apakah badan treaty PBB (yang menjalankan fungsi monitoring dan semi-judisial) memang punya gigi sehingga hasilnya akan segera diangkat ke tingkat sidang Komisi HAM PBB untuk dijadikan pembahasan secara lebih ‘panas’. Kalau memang dibahas dalam sidang komisi, apakah pemerintah negara pelaku kekerasan memang akan comply pada mekanisme PBB?
Dengan situasi yang sama, justru karena sistem hukum pidana domestik sudah lebih efektif, penetapan dari PBB seringkali tidak begitu berpengaruh. Artinya, hukum domestik lebih cepat, sehingga proses di PBB lebih menjadi ‘catatan’ atas proses domestik.
Negara yang bukan pihak dalam kovenan sipol tentu saja luput dari enforcement kovenan sipol. Hal ini membuat proses enforcement dari kovenan tidak efektif dalam merespon kasus tertentu (tetapi masih bisa menjadi bahan bahasan yang panas dalam sidang Komisi HAM dan sub-Komisi HAM).
Kovenan sipol amat persis dan ta jam dalam menganalisis konteks pidana, tetapi bagaimana jika kasus itu kemudian menjadi amat banyak (terutama jika membahas kasus kejahatan perang) sehingga amat makan waktu dalam melakukan pembahasannya. Karena memakan waktu yang lama, maka negara pelaku pelanggaran seringkali tidak merasa ditekan, dan tidak melakukan tindakan penanganan, atau tindakan remedial.
Tentu saja, seperti penetapan PBB yang lain, ada suatu relativitas dari 2 kovenan ini terhadap hukum atau kebijakan di tingkat domestik. Dinamikanya, sebagai gambaran dan contoh, dapat dilihat sebagai berikut di bawah ini :
1.
Kovenan Sipol (ICCPR) Contoh di bawah ini sekedar memberikan gambaran soal efektivitas kovenan (tentu masih banyak contoh lain)
Dalam mekanisme PBB, boleh dibilang, negara Eropa-Amerika Utara mempunyai perangkat hukum pidana yang lebih efektif dibandingkan negara di kawasan lainnya. Hal ini memungkinkan mekanisme kovenan Sipol dapat dengan cepat memberikan pengaruh terhadap kasus yang bersangkutan. Kasus yang dibahas dalam HRC- Human Rights Committee (badan enforcement kovenan sipol) akan melecut negara pihak untuk serius baik dengan proses domestik maupun dengan proses di PBB. Kasus Irlandia Utara, sebagai
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
2.
Kovenan Ekosob Contoh untuk penggambaran efektivitas kovenan ekosob.
Sebagai kebalikan dari kovenan sipol, kovenan ekosob seringkali
7
8
dipakai oleh negara berkembang untuk mengangkat kasus ‘kemaslahatan’. Masalah seperti hutang luar negeri, beras, lapangan kerja, beberapa hal di antaranya, men jadi masalah penting. Alasan yang dipakai, dan dalam hal ini mempunyai tingkat keabsahan yang memadai, adalah bahwa kondisi kemaslahatan masyarakat negara mereka tidak luput dari situasi pascakolonialisme dan tingkah-polah pelaku privat dari negara Eropa-Amerika Utara.
lah itu tidak absah dibahas oleh ‘badan HAM PBB. Kewenangan dan penanganan dalam soal hutang ada dalam IMF (Badan Moneter Dunia) atau murni masalah bilateral. Rumusan odius debt 3 dianggap tidak memadai untuk masuk dalam kerangka pemecahan masalah hutang. Seringkali hal ini menimbulkan efek kebijakan luar negeri yang kira-kira berbunyi ‘emang gue pikirin’.
Namun juga, menjadi catatan kritis pula, bahwa pemerintah negara berkembang juga tidak mengatakan apapun mengenai kelalaiannya (omission) dan kesengajaan (commission) dalam menciptakan masalah kemaslahatan warga negaranya. Dalam persoalan Afrika, misalnya, kondisi pascakolonial seringkali diangkat dengan mengorbankan fakta bahwa pemerintah negara yang bersangkutan tidak melakukan kebijakan yang perlu dalam persoalan ekosob. Penjualan permata, atau ladang minyak adalah bagian dari tindakan pemerintah negara yang bersangkutan yang menimbulkan masalah menurunya kualitas hidup warga negaranya.
Indivisibility 2 Kovenan: komentar evaluatif
Dalam kasus yang amat contentious, negara berkembang justru membawa persoalan kemaslahatan sebagai pembahasan publik, dengan sengaja. Persoalan penghapusan hutang, misalnya, negara berkembang tidak ragu-ragu mempergunakan mekanisme PBB termasuk mekanisme kovenan ekosob untuk memecahkan masalah tersebut. Negara pemberi hutang, sebaliknya, melihat masa-
1.
Gagasan Amartya Sen Perkenankanlah, sekali lagi, saya mempergunakan gagasan Amartya Sen untuk membahasa bagaimana dua dimensi hak (sipol dan ekosob) sebenarnya utuh. Mekanisme enforcement baik dalam tingkat PBB maupun di dalam tingkat domestik berbeda lebih karena alasan sejarah perang dingin (blok barat mementingkan sipol, dan blok komunis mementingkan ekosob) dan lebih karena alasan presisi dan profesionalitas. Secara khusus, saya memakai argumen Sen ini untuk menjelaskan, dan juga untuk berargumen apakah memang sipol dan ekosob ini memang bisa secara filosofi dan hukum dijelaskan. Atau juga untuk berargumen bahwa pelanggaran hak ekosob, di tingkat masyarakat, sebenarnya juga adalah pelanggaran hak sipol. Sen membuat argumen yang kuat dan tajam (com pelling argument) meski dia tidak secara khusus menggeluti mekanisme
3 Sebagai suatu masalah, Universitas Harvard per-
nah membuat studi soal odious debt. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
dan hukum hak asasi manusia internasional.
Tindakan spekulasi (penimbunan beras, perdagangan valuta asing, perdagangan senjata, eksploitasi sumber daya alam) semuanya tidak tahan dengan argumen bahwa itu semua justru menjadi penyebab kehidupan manusia – kalau tidak dalam jangka pendek, bisa dalam jangka panjang).
Tindakan spekulasi (penimbunan beras, perdagangan valuta asing, perdagangan senjata, eksploitasi sumber daya alam) jutru sering dilakukan dengan sadar dan sengaja di atas (at the expense) kehidupan dan penghidupan masyarakat. Menarik mengamati ketika Enron kolaps, dinamika ekonomi AS juga mengalami downturn karenanya.4 Dengan ini, dapat dilihat bahwa tindakan privat dapat menyebabkan kesengsaraan banyak orang.
Sen melakukan usaha terus-menerus berusaha memecahkan conundrum antara 2 hal: freedom dan justice. Freedom menjadi dasar argumen dari kovenan sipol, dan justice menjadi dasar argumen kovenan ekosob. Freedom dalam pengertian klasik, mengarah pada konsep individu yang biasanya merujuk pada pemikiran Adam Smith, David Hume, dan dalam bagian tertentu John Locke). Lebih lanjut, secara intelektual freedom dirumuskan (dengan amat sukses) oleh Robert Nozick ( Anarchy, State and Uto pia), dan Friederich von Hayek (road to serfdom). Dalam sejarah Indonesia, sebagian perdebatan ini dicerminkan pada perdebatan founding fathers dalam merumuskan antara hak individu dan pemajuan sosial dalam konstitusi (UUD ’45) – dengan rumusan pertanyaan “untuk apa individu dilindungi kalau hal tersebut tidak mema jukan kemakmuran masyarakat” Hayek melihat bahwa sebenarnya layanan publik negara (bahkan jika itu memang bertujuan melindungi warga negara) hanya akan membuat warga negara hidup dalam perbudakan modern (serfdom). Sedang Nozick melihat bahwa hak milik adalah mutlak, tidak soal bagaimana manusia mendapatkan hak miliknya itu. Kelemahan terbesar dari konsep ini adalah sifatnya yang indifferent terhadap pewujudan freedom dalam kehidupan praktis dan sehari-hari, dan terhadap fenomena free rider. Penggambarannya adalah sebagai berikut:
Menjadi pengetahuan umum bahwa freedom juga dapat digunakan untuk merugikan orang lain, bahkan jika hal itu atas nama kebaikan.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Dalam soal justice, John Rawls (juga dengan amat sukses) membantah kemutlakan hak milik, dan mendorong konsep prioritas keadilan. Konsep prioritas keadilan membawa pada tindakan khusus (special tretment). Kelemahan argumen, menurut Sen, ada baik dalam prioritas itu sendiri maupun dalam eksesnya bersifat draconian dan/atau pemaksaan. Keadilan yang dirumuskan dalam prioritas itu memang tidak perlu diperdebatkan. Ambil contoh, misalnya, Singapura yang amat makmur secara ekonomi dengan welfare-state yang nyaris sempurna, namun dalam konteks hak ber4 Salah satu penyebab penting adalah bahwa diha-
puskannya regulasi pembatasan bank, asuransi, sekuritas (dengan Glass-Steagal Act), dan bertemu dengan derivatif market yang tidak diregulasi. Barulah setelah Enron kolaps dengan segala akibatnya, kemudian dilakukan regulasi dan penegasan indikator keamanan investasi.
9
pendapat dan berpolitik dibatasi dengan amat tajam. Ada anggapan bahwa ekonomi dan welfare yang sudah diwu judkan dengan otomatis akan mewu judkan hak sipol. Argumen Sen dalam merumuskan indivisibility hak sipol dan ekosob dapat dirumuskan sebagai berikut: p.8 “…[i]t also pointed to the remarkable fact that economic unfreedom, in the form of extreme poverty, can make a person a helpless prey in the violation of other kinds of freedom. …Economic unfreedom can breed social unfreedom, just as social or political unfreedom can also foster economic unfreedom” 5 Sen, dengan ini, juga menyatakan pentingnya ‘perdebatan publik’ (public discourse) dan proses komunikasi yang menghasilkan nilai dan norma sosial.
2.
Nulla Crimen Sine Lege Dua kovenan ini pun sebenarnya masih dalam perkembangan progresif untuk menerjemahkan persoalan pidana. Seperti kita tahu bahwa setiap pelanggaran HAM termunculkan (im plies) bentuk-bentuk pidana, dari yang mild sampai yang serius. Dua kovenan ini berkembang seturut bentuk-bentuk pidana tersebut. Jika kita melihat dokumen dalam Human Rights Committee (HRC – badan enforcement kovenan sipol) maupun Committee on Economic, Social, Cultural Rights (badan enforcement kove-
5 (terjemahan longgar) “…dapat ditunjuk fakta yang
amat jelas bahwa tidak adanya hak ekonomi, dalam bentuk kemiskinan ekstrem, dapat membuat orang menjadi mangsa pelanggaran hak yang lain …tidak adanya hak ekonomi dapat memunculkan tidak adany hak sosial, sebagaimana juga bahwa tidak adanya hak sosial dan politik dapat menimbulkan tidak adanya hak ekonomi”
10
nan ekosob), maka kita bisa melihat bahwa mekanisme 2 kovenan ini memunculkan banyak implikasi pada hukum internasiona, dan kemudian pada hukum domestik. Jika ada keberatan dari negara pihak, atau negara anggota PBB pada umumnya, maka para judiciary justru berargumen bahwa hal ini membuat perkembangan hukum berlangsung secara sehat, karena segala sesuatunya selalu dibahas (contested) dan terukur, dan dengan ini sebenarnya ditegaskan prinsip imparsialitas dari hak asasi manusia. Nulla Crimen Sine Lege, tidak ada kejahatan yang ditindak di luar hukum.
Mekanisme HAM Regional: Perkembangan Mekanisme 2 Kovenan Perkembangan terbaru saat ini yang patut diamati adalah proses ASEAN untuk merurmuskan Piagam ASEAN (ASEAN Charter). Dengan alasan bahwa sekarang sudah saatnya bagi ASEAN untuk mempunyai piagam, dan dengan ini mendorong akuntabilitas pemerintah negara anggota dengan warga negara anggota. Salah satu yang menjadi pengembangan di dalam soal mekanisme HAM regional ASEAN.6 Sebagai titik mula, menurut pengamatan, Hak Perempuan-Anak dan Masalah Migran akan menjadi 2 isu yang dikembangkan untuk dibahas (ini karena dibentuk 2 kelompok kerja di ASEAN untuk membahas 2 hal tersebut). Mekanisme HAM regional di ASEAN adalah sesuatu yang perlu didorong, meski tentu kita tidak bisa langsung ‘menikmati’ pembahasan mekanisme 2 kovenan (mungkin suatu saat nanti sampai ke sana). Sebagai benchmarking, kita dapat melihat mekanisme serupa di Uni-Eropa ( Europan 6 Di akhir bulan Juni 2006, ada rencana penyeleng-
garaan pembahasan mekanisme HAM regional ini di Kuala Lumpur. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Convention on Human Rights, beserta courtnya ) dan di kawasan Amerika Latin ( Inter American Human Rights Mechanism ). Mekanisme regional ini penting sebagai pengembangan dari enforcement 2 kovenan tersebut. Seperti yang kita lihat dalam proses dan dokumentasi European Court on Human Rights, kasus-kasus di dalam negeri ini dibahas juga di tingkat Eropa – sehingga korban dan pekerja HAM dapat semakin menegaskan compliance negara terhadap ketentuan HAM internasional. Indonesia yang dipilih dengan angka voting kedua tertinggi di Asia (sesudah In-
DAFTAR PUSTAKA Alston, Philip and Crawford (ed.), James, The Future of UN Human Rights Treaty Monitoring, Cambridge University Press, Cambridge 2000. Alston, Philip, with Bustelo, Mara, and Heenan (ed.), James, The EU and Human Rights, Oxford University Press, Oxford 1999. Cole, Wade M., Sovereignty Relinquished: Ex plaining Commitment to International Human Rights, Centre on Democracy, Development, and The Rule of Law, Stanford Institute on International Studies, California 2004 Harris, David, and Joseph, Sarah (ed.), The International Covenant on Civil and Political Rights and United Kingdom Law, Clarendon Press Oxford, Oxford 1995.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
dia) di dalam Dewan HAM mempunyai kesempatan juga untuk mengembangkan mekanisme enforcement HAM di tingkat regional. (Bersama Indonesia, Filipina dan Malaysia juga menjadi anggota Dewan HAM) – bersamaan dengan implikasi dari ratifikasi 2 kovenan oleh pemerintah Indonesia Desember 2005 lalu. Bagi korban, pekerja HAM, dan Komnas HAM, untuk menyebut di antara aktor penting, harus aktif untuk menerjemahkan 2 kovenan itu dalam sistem dan praktik hukum di Indonesia, dan membuat mekanisme regional HAM ASEAN mendapatkan dampak dari enforcement domestik tersebut. Harris, David, and Livingstone, Stephen (ed.), The Inter-American System of Human Rights, Clarendon Press Oxford, Oxford 1998. Reid, Karen, A Practitioner’s Guide to the Euro pean Convention of Human Rights, Sweet & Maxwell, London 1998. Roberts, Adam, and Kingsbury, Benedict, United Nations, Divided World, The UN’s Roles in International Law, Clarendon Press Oxford, Oxford 1993. Rodley, Nigel S., The Treatment of Prisoners under International Law (second edition), Oxford University Press, Oxford 1999. Sen, Amartya, Development as Freedom, Alfred A. Knopf, New York 2000.
11
Pelaksanaan ICCPR dan ICESCR dalam Konteks Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 2004-2009 Adhi Santika*
Abstract Indonesia’s diverse geography, politics, economic, religion, culture and language contribute to wide diversity in the enjoyment of human rights. The dignity of individual cannot and should not be divided into two spheres – that of civil and political rights and that of economic, social and cultural rights. Individual must be able to enjoy freedom of wants as well as freedom from fear. The ultimate goal of ensuring respect for the dignity of individual cannot be achieved without that person’s enjoying all of his or her rights. The National Plan of Action on Human Rights in Indonesia is intended as a guidance and general plan to enhance the efforts in increasing the respect, promotion, fulfillment and protection human rights. The 2004-2009 Nation Plan of Action on Human Rights is a continuation of the Nation Plan of Action on Human Rights for the year 1998-2003. The new plan of action is intended to complete the unfinished works in the previous period.
PENDAHULUAN Keberadaan instrumen HAM internasional seperti halnya International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang keduanya telah Indonesia ratifikasi pada tahun 2005, tidak dapat dipungkiri akan dihadapkan pada keragaman masalah dalam implementasinya di Indonesia. Keragaman masalah dimaksud ternyata tidak hanya akan terjadi pada perilaku kehidupan sehari-hari setiap subyek hukum, tetapi juga pada tataran yang mengatur subyek hukum beraktivitas yang dikenal dengan peraturan-perundangan. Sekalipun ICCPR dan ICESCR telah diratifikasi masing-masing melalui UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) dan UU 12
No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), pada kenyataannya Indonesia telah memiliki peraturan perundangan yang secara implisit dan/atau eksplisit sudah menginternalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam dua kovenan tersebut. Adapun peraturan perundangan dimaksud antara lain: UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Keputusan Presiden (Keppres) No. 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2004-2009. Dalam konteks waktu, keberadaan ICCPR dan ICESCR di Indonesia merupakan hal penting untuk diketahui, dianalisis * Penulis bekerja di Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM, Departemen Hukum dan HAM JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
dan dirumuskan langkah-langkah nyata yang perlu dilaksanakan oleh berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) termasuk Pemerintah. Dalam hubungan ini Pemerintah menempati posisi strategis sesuai dengan amanat yang tercantum dalam Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: ”Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah”. Pertimbangan dimensi waktu merupakan salah satu faktor penting dalam evaluasi pelaksanaan ICCPR dan ICESCR di Indonesia, sehingga evaluasi yang dilakukan seharusnya tidak hanya dibatasi oleh waktu pascaratifikasi kedua kovenan tersebut tetapi juga mencakup semua kegiatan yang dilakukan selama kurun waktu praratifikasi. Oleh karena itu, seyogyanya evaluasi harus dilakukan sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai pascaratifikasi sekalipun ratifikasi kedua kovenan tersebut baru dilakukan pada tahun 2005. Hal ini perlu diperhatikan untuk mengetahui secara obyektif mengenai dua hal utama dalam evaluasi, yaitu kesungguhan dan kendala yang dihadapi Pemerintah selama ini. Pertimbangan dimensi waktu akan terasa benar adanya manakala mempertimbangkan beberapa instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia melalui sejumlah Undang-Undang yang dikeluarkan pemerintah sebelum Indonesia meratifikasi ICCPR dan ICESCR pada tahun 2005, seperti halnya UU No. 7 Tahun 1984 tentang CEDAW, UU No. 5 Tahun 1998 tentang CAT, UU No. 29 Tahun 1999 tentang CERD, dan Keppres No. 36 Tahun 1990 tentang CRC. Di samping itu terdapat pula beberapa kesepakatan internasional yang secara langsung atau tidak langsung bernuansa HAM, di mana Indonesia termasuk sebagai negara peserta yang turut menandatanganinya, seperti ICPD dan MDGs. Berdasarkan pertimbangan tersebut di JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
atas, maka pelaksanaan ICCPR dan ICESCR pascaratifikasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan keberadaannya dari upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM sebelum ratifikasi.
KONSEKUENSI RASIONAL DARI RATIFIKASI Secara eksplisit Lampiran I Keppres No. 40 Tahun 2004 menyebutkan, bahwa RANHAM Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan rencana umum untuk meningkatkan penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM, termasuk untuk melindungi masyarakat yang rentan terhadap pelanggaran HAM. Dari materi yang tercantum, sangat jelas diketahui bahwa RANHAM lebih berorientasi ke masa depan, dengan penetapan 6 (enam) Program Utama di dalamnya, yaitu: (1) Pembentukan dan penguatan institusi pelaksanaan RANHAM; (2) Persiapan Ratifikasi instrumen HAM internasional; (3) Persiapan Harmonisasi peraturan perundang-undangan; (4) Diseminasi dan pendidikan HAM; (5) Penerapan norma dan standar HAM; dan (6) Pemantauan, evaluasi dan pelaporan.
1.
Pembentukan dan penguatan institusi pelaksanaan RANHAM. Apabila mengamati Program Utama RANHAM dan menghubungkannya dengan ratifikasi ICCPR dan ICESCR, maka ruang lingkup keenam Program Utama merupakan rangkaian tindakan konkrit yang perlu dan akan dilakukan oleh negara dalam aktualisasi pencapaian tujuan ICCPR dan ICESCR di Indonesia. Program Utama yang pertama yaitu Pembentukan dan Penguatan Institusi Pelaksana RANHAM merupakan program yang penting dan merupakan satu syarat keharusan (a necessary condition). Persyaratan ini mengemuka karena ada alasan yang
13
sangat rasional, yaitu 5 (lima) program lainnya sangat tidak mungkin terlaksana dengan baik apabila program pertama ini tidak terwujud lebih awal. “Pembentukan” dan “penguatan” institusi merupakan dua kata penting dalam program ini, seringkali aparat negara dan masyarakat kurang bahkan tidak mampu mengetahui dan mengerti maksud keduanya. Atas dasar ini maka pelaksanaan RANHAM hanya dapat berjalan sesuai dengan rencana, apabila terdapat institusi bentukan baru dan mengalami “penguatan” sehingga memiliki kompetensi untuk melaksanakan seluruh programnya. Kompetensi merupakan satu kata kunci yang sulit untuk diwujudkan pada tataran lapangan dalam kurun waktu yang cukup singkat. “Penguatan” hanya dapat dilakukan apabila “pembentukan” institusinya sudah dilakukan. Guna membentuk institusi baru ternyata seringkali dihadapkan pada berbagai kendala yang umumnya berupa kekurangmampuan sumber daya manusia untuk mengetahui dan mengerti substansi HAM yang secara bersamaan waktunya harus memiliki kecakapan dalam mengelola organisasi untuk menggerakkan program kerja. Masalah HAM di lapangan yang ter jadi sangat bervariatif dan struktur organisasi kepemerintahan yang berbeda di setiap provinsi, kabupaten dan kota memberikan kontribusi pada cepat atau lambatnya “pembentukan” institusi pelaksana RANHAM di pusat dan daerah. Kompleksitas masalah HAM di lapangan yang memiliki karakteristik antara lain: ruang lingkup substansinya sangat luas, melibatkan lebih dari satu subyek hukum, frekuensi dan intensitas kejadiannya sangat berfluktuatif, mencakup lintas batas administratif (spatial) dan 14
mencakup lintas batas waktu (temporal), cenderung membuat orang memerlukan waktu tambahan untuk sepenuhnya mengerti permasalahan yang ada. Di samping itu struktur organisasi kepemerintahan yang cukup beragam antar wilayah administrasi sejalan dengan adanya UU No. 32 Tentang Pemerintahan Daerah, juga memberikan pengaruh pada kemampuan aparat negara dan masyarakat dalam kecepatan “pembentukan” institusi pelaksana HAM. “Penguatan” institusi pelaksana RANHAM adalah satu kegiatan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan (multi-stakeholders) karena memerlukan kerjasama dari banyak pihak dengan latar belakang yang beraneka ragam, baik dari sisi pendidikan, pekerjaan, ekonomi, sosial, maupun budaya. Keanekaragaman ini memberikan konsekuensi pada cara “penguatan” yang akan dilakukan agar materi dan pesan yang akan diberikan tepat sasaran, efisien, dan efektif. Program “penguatan” seringkali dihadapkan pada 2 (dua) masalah yang cukup serius untuk dapat segera diselesaikan dalam waktu singkat, yaitu: (1) Pemilihan dan penetapan peserta yang akan menerima materi “penguatan” agar lebih representatif, dan (2) Pemberi materi “penguatan” perlu lebih membekali diri dengan kecukupan penguasaan substansi dalam pengertian mampu menyeimbangkan materi yang bersifat konseptual dan kontekstual. Dalam hubungan ini, program “penguatan” sudah seharusnya selalu dibarengi dengan kegiatan evaluasi yang berkesinambungan berdasarkan pendekatan “ post-training evaluation”. Berdasarkan Keppres 40 Tahun 2004, Program Pembentukan dan Penguatan Institusi Pelaksana RANHAM memJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
punyai tujuan/sasaran sebagai berikut: (1) Pembentukan dan penguatan Panitia Nasional; (2) Pembentukan dan penguatan Panitia Pelaksana RANHAM Daerah; (3) Sosialisasi RANHAM kepada berbagai pihak; (4) Pembentukan dan Penguatan Kelembagaan HAM di daerah; dan (5) Meningkatkan kerja sama dengan berbagai pihak untuk memperkuat kelembagaan HAM yang telah ada. Secara garis besar, dapat diketahui bahwa cakupan kegiatan program pertama tersebut dinilai sangat berat, karena harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan (sta keholders) dengan segala keragaman karakteristiknya disamping substansi HAM merupakan hal baru bagi sebagian besar pemangku kepentingan. Berbagai kegiatan dalam rangka “penguatan” institusi, pemerintah (dalam hal ini Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, Departemen Hukum dan HAM) telah melakukan kerja sama antar negara dan dengan sejumlah lembaga internasional di bawah payung Perserikatan Bangsa Bangsa. Kerjasama pemajuan HAM telah dijalin dengan 11 (sebelas) negara dan kerjasama regional dengan ASEAN dan Asia Pasifik, yaitu: Afrika Selatan, Australia, Perancis, Swedia, Norwegia, Kanada, Swiss, Italia, Mesir, Selandia Baru, dan Jerman. Di samping itu, ker ja sama dengan lembaga internasional antara lain dilakukan dengan UNHCR, IOM, IDLO, UNICEF, dan ILO.
2.
Persiapan Ratifikasi Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional. Hukum internasional seperti halnya ICCPR dan ICESCR merupakan keseluruhan kaidah yang sangat diperlukan untuk mengatur sebagian besar hubungan antar negara. Tanpa adanya kaidah-kaidah ini sungguh tidak
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
mungkin bagi negara-negara tersebut untuk saling berhubungan secara tetap dan terus menerus. Sesungguhnya hukum internasional merupakan persoalan dengan keperluan hubungan timbal-balik antar negara. Melalui pengesahan yang diwujudkan dalam bentuk ratifikasi, perangkat-perangkat HAM internasional tersebut diharapkan akan memperkuat hukum nasional dalam upaya menjamin penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM agar sesuai dengan harapan. Sebagai anggota masyarakat internasional, apalagi setelah terpilihnya Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB, Indonesia melakukan ratifikasi instrumen-instrumen HAM internasional. RANHAM telah mengagendakan ratifikasi 12 instrumen HAM yang akan dirampungkan sebelum akhir tahun 2009, termasuk Konvensi Internasional Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Proses ini semua bukan tanpa rintangan atau halangan. Situasi perdebatan dan pro-kontra atas dasar identifikasi dan inventarisasi masalah dari setiap proses pembahasan lahirnya suatu produk perundangundangan seringkali juga menimbulkan kekecewaan masyarakat. Belum lagi dinamika masyarakat yang juga diwarnai pro-kontra terhadap suatu isu HAM tentu akan menimbulkan persoalan tersendiri dari setiap proses ratifikasi itu. Namun, semua ini merupakan bagian dari tradisi demokrasi yang harus dilalui. Berdasarkan Keppres 40 Tahun 2004, persiapan ratifikasi sejumlah instrumen HAM internasional ditetapkan dengan skala prioritas sebagai berikut, yaitu: Kovenan Internasional Hak Ekososbud (2004), Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (2004), Konvensi Penghentian Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Pros-
15
titusi (2004), Konvensi Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan anggotaanggota keluarga-nya (2005), Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (2005), Protokol Opsional Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (2005), Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata (2006), Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (2007), Protokol Opsional Konvensi Anti Penyiksaan (2008), Statuta Roma (2008), Konvensi Status Pengungsi (2009), dan Protokol Opsional Tahun 1967 Konvensi Status Pengungsi (2009). Satu hal yang paling mendasar untuk dipertimbangkan dengan seksama adalah langkah melakukan pengkajian terhadap instrumen internasional yang akan diratifikasi berupa penyempurnaan naskah akademik. Langkah dimaksud seringkali dihadapkan pada faktor pembatas berupa kemampuan melaksanakan kajian akademik yang bersifat obyektif dan cepat pelaksanaannya. Di samping itu, faktor keterbatasan pengetahuan dan jumlah pemerhati substansi instrumen yang akan diratifikasi juga merupakan hal yang kerap terjadi. Faktor keterbatasan pengetahuan ini seharusnya tidak boleh dibiarkan karena akan memperparah ketidaksiapan Pemerintah dalam menerima segala konsekuensi ratifikasi, mengingat setelah proses ratifikasi pengertian “legally binding” menjadi berlaku dengan segala konsekuensinya. Keberadaan faktor pembatas tersebut sangat mungkin dapat diatasi apabila Program Pembentukan dan Penguatan Institusi Pelaksana RANHAM terwujud dalam waktu yang tidak terlalu lama. 16
3.
Persiapan Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. Era otonomi daerah merupakan satu ciri dalam pemerintahan sekarang ini dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah landasan yuridis yang digunakan. Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian khusus adalah Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menegaskan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, yaitu: a.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
c.
Peraturan Pemerintah;
d.
Peraturan Presiden;
e.
Peraturan Daerah.
Terdapat beberapa permasalahan yang terlebih dahulu perlu dipahami sehubungan dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu: 1.
Mengapa perlu dilakukan pengharmonisasian?
2.
Aspek-aspek apa yang harus diharmonisasikan dan bagaimana pengharmonisasian tersebut dilakukan?
3.
Permasalahan apa yang dihadapi dalam pelaksanaan pengharmonisasian?
Sebelum memahami ketiga permasalahan tersebut, terlebih dahulu perlu dijelaskan pengertian dari beberapa istilah kunci, yaitu: a.
Pengharmonisasian atau kegiatan untuk mengharmonisasikan atau menyelaraskan. Atau dalam bahasa Inggrisnya “harmonize” diJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
artikan sebagai “bring into harmony” dan”“harmony” diartikan sebagai “ pleasing combination of related things”. b.
Pembulatan mengandung makna untuk membentuk menjadi bulat atau membentuk kepaduan, keutuhan sebagai suatu keseluruhan.
c.
Konsepsi diartikan sebagai pengertian, pemahaman, atau rancangan yang telah ada dalam pikiran (ide). Dalam bahasa Inggris “conception” diberi arti sebagai “conceiving of an idea”
Perlu disadari bahwa, sebenarnya masih terdapat sejumlah tantangan yang harus diatasi terlebih dahulu, sebelum proses pengharmonisasian perundangan yang ada agar sejalan dengan RANHAM dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Tantangan yang dimaksud antara lain meliputi: 1.
Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 hanya mengatur pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dan tidak mengatur rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau rancangan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
2.
Masih adanya sikap egoisme sektoral dari masing-masing instansi terkait, yang disebabkan oleh belum adanya persamaan persepsi tentang rancangan undang-undang sebagai suatu sistem yang terintegrasi. Sehingga, pembahasan oleh wakil-wakil instansi terkait tidak bersifat menyeluruh, tetapi bersifat parsial dan terfragmentasi menurut kepentingan dari masing-masing instansi.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
3.
Tenaga fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan masih terbatas jumlahnya serta belum memiliki spesialisasi pada bidang hukum yang spesifik, karena jabatan fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dianggap tidak cukup menarik untuk ditekuni oleh pegawai.
Dari pengamatan, juga terlihat bahwa peraturan perundangan di Indonesia cenderung memiliki sejumlah kelemahan yang mendasar, yaitu: (a) Antara Undang-undang yang satu dengan yang lainnya seringkali saling bertentangan; (b) Tidak jarang ditemui berbagai inkonsistensi antara satu pasal dengan pasal lainnya di dalam Undang-undang yang sama; (c) Keterlambatan penyusunan aturan pelaksanaan dari Undang-undang yang telah disahkan; dan (d) Produk hukum yang ada di Indonesia lebih cenderung bersifat reaktif dari antisipatif. Dengan demikian, pengharmonisasian peraturan perundang-undangan memiliki arti strategis dalam mewujudkan sistem hukum nasional. Sehingga, diperlukan penyelarasan, baik dengan berbagai peraturan perundang-undangan vertikal maupun horisontal, serta konvensi/ perjanjian internasional hak asasi manusia, agar menghasilkan peraturan perundang-undangan yang tidak saling bertentangan atau tumpang tindih, sejalan dengan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sehubungan dengan itu, langkah yang sedang dilakukan dalam persiapan harmonisasi peraturan perundangundangan adalah mengagendakan
17
pengkajian terhadap Kitab UndangUndang Hukum Pidana, UndangUndang tentang Hak Asasi Manusia, serta Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Selain itu, meskipun di dalam agenda RANHAM hanya 3 (tiga) undang-undang tersebut yang dikaji, namun telah dikaji pula Undang-Undang tentang Kewarganegaraan dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
4.
Diseminasi dan Pendidikan Hak Asasi Manusia Kiranya sulit dibantah, bahwa pendidikan merupakan syarat bagi pemenuhan hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi, social, dan budaya. Suatu tingkat pendidikan minimal atau setidaknya melek aksara sangat diperlukan bagi perjuangan untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak sipil dan politik, hak hukum, hak untuk turut serta dalam pemerintahan, hak untuk memilih dan dipilih, hak atas kebebasan berkumpul, berorganisasi dan berekspresi, serta hak atas kebebasan informasi dan berkomunikasi. Oleh sebab itu, aspek pendidikan men jadi elemen kunci dalam upaya melaksanakan program diseminasi Hak Asasi Manusia di Indonesia, sebagaimana yang diamanatkan dalam RANHAM 2004-2009. Menyadari hal tersebut, pemerintah berupaya melakukan sosialisasi berbagai instrumen hak asasi manusia internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, antara lain Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), Convention on the Rights of the Child (CRC), Convention on the Political Rights of Women, Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD), dan
18
Convention Against Torture, Other Cruel and Inhumance or Degrading Treatment or Punishment (CAT). Dalam hubungan ini, kegiatan simposium hak asasi manusia tingkat nasional dan daerah untuk promosi pendidikan hak asasi manusia yang dilaksanakan oleh anggota Panitia Nasional RANHAM, lembaga nonpemerintah, dan perguruan tinggi merupakan langkah yang sangat strategis untuk mendukung diseminasi dan pendidikan HAM di Indonesia. Di samping itu, pengembangan dan penyebarluasan bahan pengajaran hak asasi manusia yang dilaksanakan oleh anggota Nasional RANHAM, lembaga nonpemerintah, dan perguruan tinggi juga merupakan hal yang harus dilaksanakan secara terus menerus. Pelaksanaan pendidikan hak asasi manusia yang difasilitasi oleh Direktorat Jenderal Perlindungan HAM Departemen Hukum dan HAM meliputi pembentukan dan perpustakaan HAM di Universitas dan Komnas HAM, program studi S2 HAM (Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, Universitas Samratulangi, dan Universitas Pelita Harapan), pelatihan HAM di luar negeri (Swedia, Norwegia, Australia, Afrika Selatan, dan Perancis bagi pegawai negeri, tenaga pengajar/ dosen perguruan tinggi, aktivis HAM, dan tokoh masyarakat/agama), pelatihan bagi aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, hakim, dan petugas pemasyarakatan), pendidikan di luar jalur sekolah, kurikulum HAM untuk SD s/d SMA, dan pendidikan HAM di Fakultas Hukum, serta lokakarya dan diskusi HAM dengan organisasi sosial dan LSM.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
5. Penerapan Norma dan Standard Hak Asasi Manusia Dalam perspektif hukum tata negara, norma yang terkandung dalam UUD merupakan sumber hukum (rechtsgulle) bagi aturan yang ada di bawahnya. Konstruksi ini merupakan makna bahwa norma-norma yang ada dalam UUD harus mengalir dalam perundang-undangan di bawahnya, apakah berupa norma original atau norma jabaran yang lebih konkrit. Norma tersebut dapat mengalir dalam perundangundangan yang lebih rendah hierarki atau perundangan yang lebih rendah dapat memberikan norma tafsiran dari peraturan perundangan yang lebih tinggi tersebut. Dengan kata lain, meminjam istilah dari Rudolf Steammler, seorang ahli filsafat yang beraliran Neo Kantian, norma HAM yang terdapat dalam UUD adalah sebagai bintang pemandu (leitstren) bagi pembuat undang-undang di bawahnya agar selaras dengan nilai-nilai HAM. Pandangan keliru bahwa HAM identik dengan pandangan dunia barat, tidak boleh menjadi alasan untuk tidak melaksanakan HAM. Hak asasi manusia adalah persoalan universal, tetapi sekaligus juga kontekstual. Sebagaimana dikatakan Magnis Suseno (1994: 11-12), HAM merupakan pengertian modern. Dalam masyarakat tradisional, HAM tidak banyak dipertanyakan karena struktur sosial tradisional itu masih mampu melindungi hak-hak individu di dalamnya. Indonesia sebagai negara modern tidak mungkin menghindar dari realitas bahwa masyarakatnya menjadi lebih individual daripada masyarakat tradisional. Jika diamati lebih jauh, HAM justru tidak memuat individualisme. Sebaliknya, jaminan terhadap HAM merupakan tanda solidaritas dan kepedulian sosial JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
dalam masyarakat yang bersangkutan, seperti perlindungan terhadap mereka yang kurang beruntung secara sosial dan ekonomi. Dengan demikian, secara substansi, HAM adalah universal, sedangkan dikatakan kontekstual apabila sudah berbicara tentang relevansinya (aktualisasi). Saat ini, Pemerintah Indonesia sedang melakukan proses penyusunan norma dan standar perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM, pedoman pemenuhan hak anak, dan tenaga kerja, dan mekanisme kerjasama pemajuan hak sipil dan politik. Selain itu, juga dibentuk Tim Konsultasi Hak Asasi Manusia. Selain itu, beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh Departemen Hukum dan HAM dalam mendukung pelaksanaan RANHAM, antara lain: (a) Menghasilkan sejumlah buku saku mengenai HAM yang diperuntukkan, antara lain, bagi pegawai Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM, pengawas ketenagakerjaan, polisi, pamong praja dan petugas pemasyarakatan berdasarkan hasil kegiatan yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM; (b) Penyampaian rekomendasi kepada instansi terkait atas pengaduan masyarakat tentang pelanggaran hak asasi manusia (yang tidak termasuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat); (c) Berpartisipasi dalam pelaksanaan Nota Kesepahaman Pemerintah Indonesia dengan GAM dalam bentuk memfasilitasi pelaksanaan amnesti dan integrasi anggota GAM bekerjasama dengan IOM dan;
19
(d) Pelaksanaan Focus Group Discussion di beberapa daerah pasca konflik (Kalimantan Barat, NAD, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, Ambon, dan Maluku Utara), dengan tujuan terciptanya perdamaian yang abadi.
6. Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Pemantauan, evaluasi dan pelaporan merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari seluruh rangkaian kegiatan RANHAM, terutama untuk menjamin terlaksananya program kegiatan RANHAM sesuai dengan yang telah direncanakan. Untuk itu, dipandang perlu untuk mengembangkan suatu mekanisme yang tepat untuk melakukan kegiatan pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Sebagai konsekuensi dari telah diratifikasinya instrumen hak asasi manusia internasional, berarti Pemerintah Republik Indonesia telah terikat secara hukum untuk menerima kewajiban membuat laporan penerapan norma dan standar Hak Asasi Manusia yang terkandung dalam instrumen hak asasi manusia internasional yang telah diratifikasi tersebut kepada badan PBB yang terkait. Pada kenyataannya, penyusunan laporan perkembangan pelaksanaan HAM di Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan yang cukup berat yaitu:
20
(a) Pengumpulan data dan informasi yang akurat, terkini, objektif dan dapat dipertanggung jawabkan. (b) Pengorganisasian data dimaksud serta mekanisme pelaporannya. Oleh karena itu, upaya pembentukan dan penguatan kelembagaan RANHAM merupakan satu prasyarat utama yang harus dipenuhi demi menghasilkan laporan pelaksanaan dan perkembangan HAM di Indonesia.
PENUTUP Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi ini menjadi dasar hak dan kewa jiban yang lain. Menjadi kewajiban pemerintah atau negara hukum untuk mengatur pelaksanaan hak-hak asasi ini yang berarti menjamin pelaksanaannya, mengatur pembatasan-pembatasannya demi kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara. Penandatanganan yang dilakukan Indonesia atas 2 (dua) Kovenan HAM Internasional (ICCPR dan ICESCR) untuk saat ini harus dinilai penting. Paling tidak pemerintah mempunyai ikatan moral dan ikatan hukum untuk menerapkan kewajibankewajiban dalam Kovenan tersebut ke dalam hukum nasional. Pemerintah harus terus mengupayakan agar perlindungan terhadap setiap subyek hukum dapat dilakukan sebagaimana tercantum dalam RANHAM.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
DAFTAR PUSTAKA Bahan Rapat Kerja Komisi III DPR-RI Dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Tanggal 12 Juni 2006, Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, 2006. Circle of Rights, Economic, Social and Cultural Rights Activism: A Training Resource, Forum Asia, 2000. Darmodihardjo, Darji dan Shidarta. Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia; PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004. Department of Foreign Affairs and Trade, Human Rights Manual, Australia, 1998.
Mahendra, A.A. Oka, Harmonisasi dan Sinkronisasi Rancangan Undang-undang dalam Rangka Pemantapan dan Pembulatan Konsepsi, Jurnal Legislasi Indonesia , Vol. 2 No. 3, hal. 123–134, September 2005. Mardiniah, Naning; Wibowo, Harry; Anharudin, et.al., Meneropong Hak Atas Pendidikan dan Layanan Kesehatan : Analisis Situasi di Tiga Kabupaten : Indramayu, Sikka dan Jayapura; CESDA-LP3ES, Jakarta, 2005. Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional, edisi kesepuluh, Bambang Iriana Djajaatmaja, S.H. (terj.), Sinar Grafika, Jakarta, 2003.
Firdaus, Implikasi Pengaturan HAM Dalam UUD terhadap Ius Constituendum, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Impli kasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, hal. 9-13, PT Refika Aditama, Bandung, Januari 2005.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Human Rights in Asia, Annual Human Rights Report 2000. Forum Asia, 2001.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Juwana, Hikmahanto, Konvensi Pekerja Migran: Perlukah Indonesia Meratifikasi?, Seminar “Memperkuat Sinergi Antar Pemangku Kepentingan Perlindungan HAM Pekerja Migran Perempuan Indonesia”, Jakarta, 11 Juli 2006.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan- International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya).
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2004-2004.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
Kumpulan Makalah dan Tanggapan Fraksi fraksi DPR-RI Mengenai Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 , Diterbitkan atas kerjasama Forum Parlemen Indonesia dan Kependudukan Pembangunan, DPR-RI dan Yayasan Kesehatan Perempuan, Jakarta, 2004.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Wibisono, Makarim, Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, Seminar “Memperkuat Sinergi Antar Pemangku Kepentingan Perlindungan HAM Pekerja Migran Perempuan Indonesia”, Jakarta, 11 Juli 2006.
21
Bukan Sekedar Menandatangani:
Obligasi Negara Berdasarkan Kovenan Hak Ekosob A. Patra M. Zen dan Andik Hardiyanto*
Abstract After incorporation of International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights by Law No. 11/2005, Indonesia are legally binding to implement all state parties obligation as contained in the Covenant. This article describes and analyzes as well as shows example and practical illustration regarding State’s obligation. It’s formulated into 4 section, explain definition and mean of State obligation; violation of the obligation, including its indicators, and; monitoring procedure and mechanism based on the Covenant.
Pembuka Babak baru itu, ditandai dengan persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah pada 30 September 2005. Dalam sidang Paripurna, dibacakan hasil sidang untuk meratifikasi piagam hak asasi manusia: International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Selanjutnya, pada 28 Oktober 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan UU No. 11 dan No. 12 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya – selanjutnya dalam tulisan ini disingkat dengan Kovenan Hak Ekosob – dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Ratifikasi terhadap the bill of human rights ini membangkitkan harapan baru bagi lahirnya tindakan yang lebih nyata bagi pemajuan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia di negeri ini. Tentu saja pengesahan tersebut, dilakukan dengan sadar, terdapat obligasi (kewajiban) internasional yang melekat pada Negara pasca meratifikasi kedua kovenan tersebut. Dalam tulisan ini, pembahasan 22
akan difokuskan pada obligasi Negara pasca ratifikasi Kovenan Ekosob. Artikel ini disusun kedalam 4 bagian. Di bagian pertama, akan dipaparkan “kelirumologi” 3 sesat pendapat berkaitan dengan ketentuan dan implentasi Kovenan Hak Ekosob, khususnya berkaitan dengan tema “realisasi bertahap” (“ progresif realization”) dan “sumber daya” (“resources”). Selanjutnya, bagian kedua, akan dideskripsikan dan dianalisis obligasi (kewajiban) Negara berdasarkan ketentuanketentuan dalam Kovenan Ekosob. Dibagian ini akan dicakup rumpun obligasi pokok Negara dan secara khusus membahas obligasi negara berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak Ekosob. Bagian ketig a, dimuat tema “pelanggaran hak ekosob”, termasuk indikator keberhasilan dan kekagalan, yang dapat digunakan untuk menilai pelaksanaan obligasi Negara. Dibagian ini, kemudian, dibahas juga mekanisme pelaksanaan obligasi negara berdasarkan klausula Kovenan Hak Ekosob. * Kedua penulis saat ini bekerja di Yayasan Lembaga Batuan Hukum Indonesia JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Di bagian akhir, merupakan catatan penutup, memuat harapan: peristiwa peratifikasian Kovenan Hak Ekosob, dipaku untuk tonggak upaya mewujudkan keadilan sosial dan kebebasan masyarakat.
A. Keliru Pandang Ketentuan dalam Kovenan Hak-Ekosob Meminjam istilah “kelirumologi”-nya Djaya Suprana, paling tidak ada 3 kesalahan dan sesat pandang yang berkaitan dengan implementasi hak ekosob.
A.1. Seluruh prinsip dan pemenuhan Hak Ekosob dipenuhi secara bertahap ( progressive realization ) Prinsip non-diskriminasi merupakan sebuah prinsip yang secara otomatis menjadi kewajiban negara dalam pemenuhannya. Tidak dikenal implementasi prinsip non-diskriminasi secara bertahap. Karenanya, pemenuhannya dilakukan secara seketika. Obligasi Negara dalam Pasal 2 ayat (2) Kovenan adalah menjamin hak-hak dalam Kovenan Hak Ekosob dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau status sosial, kekayaan atau lainnya. Obligasi Negara dalam konteks ini adalah pernyataan “komitmen” dan “kemauan baik”, yang tidak mengenal “setengah komitmen” atau “komitmen setengah-setengah” melainkan “komitmen penuh” untuk menjamin prinsip non-diskriminasi, termasuk memastikan persamaan laki-laki dan perempuan menikmati semua hak-hak ekosob yang dijamin dalam Pasal 3 Kovenan. Selain obligasi dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut, obligasi dalam Pasal 5 Kovenan
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
juga dapat dipenuhi oleh Negara secara seketika, yakni: menghancurkan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diakui dan melakukan pembatasan-pembatasan melebihi prinsip yang diperbolehkan Kovenan. Negara dalam hal ini dapat mengimplementasikan obligasinya dengan seketika.
A.2. Semua pemenuhan hak ekosob membutuhkan biaya Ilustrasi ini dapat dijadikan contoh: jika pemerintah daerah (Pemda) belum mampu untuk memberikan fasilitas perumahan yang layak dalam bentuk apapun, sebagaimana menjadi obligasi Negara berdasarkan Pasal 11 Kovenan maka Pemda jangan melakukan penggusuran!1 Tidak melakukan penggusuran paksa merupakan sebuah praktik yang tidak membutuhkan dana. Baru-baru ini Pemda DKI Jakarta dan Pemda Bandung sibuk mencari wilayah untuk tempat pembuatan akhir sampah-sampah penduduk kota. Artinya, pemerintah memberikan perhatian dan mencarikan tempat untuk sampah; sebaliknya apakah masyarakat miskin kota lebih hina dari sampah, sehingga pemerintah daerah hanya main gusur; tanpa mencarikan solusi agar mereka mendapatkan tempat untuk bernaung?
A.3. Semua pemenuhan hak ekosob mesti menunggu sumber daya yang berlimpah Komite Hak Ekosob pernah menyatakan dalam pemenuhan hak ekosob, seluruh sumber daya yang ada harus 1 Lihat juga CESCR. Sixth session (1991). General
Comment No. 4: The right to adequate housing (art. 11(1) of the Covenant), paras. 8 (a), 13 and 18. Lihat juga secara khusus CESCR. Sixteenth session (1997). General Comment No. 7: The right to adequate housing (art. 11 (1) of the Covenant): Forced Evictions.
23
digunakan dengan cara yang paling efektif (all existing resources must be devoted in the most effective way). 2 Dalam konteks ini, paling baik untuk mencontoh apa yang dilakukan I Gde Winarsa, Bupati Jembrana: sebuah kabaputen yang “tidak gemuk” PADnya (lihat tabel 1), tetapi mampu men jalankan core-obligation dalam pemenuhan hak-hak ekosob, utamanya hak atas pendidikan dan kesehatan.
Tabel 1 Jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Jembrana (2000 – 2004) Tahun
APBD
PAD
(dalam Rupiah) 2000
66.911.688.691
2.551.526.749
2001
131.599.246.286
5.540.224.419
2002
171.703.401.395
11.555.147.609
2003
193.157.562.548
11.055.956.008
2004
205.000.287.634
9.785.500.000
Sumber: Dharma Santika Putra dan Nanoq da Kansas. 2004: 218.
Dengan jumlah APBD dan PAD tersebut, Bupati I Gde Winarsa, pada dasarnya telah memenuhi obligasi yang dinyatakan dalam Pasal 10 Kovenan – memberikan perlindungan dan fasilitas bantuan pada keluarga. Juga perwujudan obligasi yang ditentukan oleh Pasal 13 Kovenan, utamanya hak anak-anak untuk mendapatkan akses pendidikan dasar: menurunkan angka drop-out pelajar (lihat Tabel 2).
2 Lihat OHCHR. Fact Sheet No. 16 (Rev. 1), The Com-
mittee on Economic, Social and Cultural Rights.
24
Tabel 2 Contoh Indikator Pemenuhan Hak-hak Ekosob di Kabupaten Jembrana Tahun
Indikator
2001
2002
Perubahan
Keluarga Miskin
19,4% 10,9% Berkurang 44%
Kematian Bayi (per 1.000 lahir hidup)
15.25
8,39
Berkurang 45%
Tingkat kegagalan 0,08% 0,02% Berkurang menyelesaikan 75% sekolah (drop-out) Sekolah Dasar Sumber: Diolah dari Yayasan TIFA,. 2005: 5.
Selain itu, I Gde Winarsa, tercatat sebagai pimpinan daerah yang mendapat pengakuan rekognisi publik, seperti mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI), yakni: (1) menjadi pelopor perwujudan program pendidikan dasar yang diwajibkan dan cuma-cuma (compulsory and free of charge); (2) memenuhi hak kesehatan masyarakat: menyediakan dan memfasilitasi pelayanan kesehatan gratis melalui program. Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ); (3) dalam skala tertentu berupaya menyediakan air bersih, dengan menjalankan proyek pengolahan air mineral dari air laut; (3) untuk mendukung hak atas pekerjaan, di kabupaten ini, juga membebaskan pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi lahan sawah. Implementasi obligasi pemerintah dalam memenuhi hak ekosob, sebagaimana contoh-contoh tersebut, suka atau tidak, langsung dan tidak langsung: menghantarkan I Gde Winarsa mencapai rekor MURI baru: memperoleh prosentase suara terbanyak dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 12 Oktober 2005, mencapai 88,56 JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
persen dari total suara yang sah. Selanjutnya, lagi-lagi langsung dan tidak langsung menghantarkan Ratna Ani Lestari, sebagai Bupati Banyuwangi. MURI mencatat rekor: I Gde Winarsa dan Ratna Ani Lestari sebagai pasangan suami-isteri (Pasutri) pertama yang menjadi Kepala Daerah. 3
B. Obligasi Negara Berdasarkan Ketentuan Kovenan Hak Ekosob Dengan pengikatan Indonesia sebagai Negara Pihak Kovenan Hak Ekosob, maka penafsiran pasal-pasal dalam Kovenan, maka penafsiran tentang isi kovenan ini tidak dapat “secara sewenang-wenang” diklaim oleh lembaga-lembaga Negara, termasuk DPR dan Pemerintah, namun mesti merujuk pada naskah asli dan sumber-sumber yang diakui, seperti penjelasan yang diadopsi Komite Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya (Komite Hak Ekosob) yang dibentuk berdasarkan ketentuan Kovenan. Dalam konteks ini, UU No. 11/ 2005, Penjelasan Pasal 1 ayat (2) dinyatakan, jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa Indonesia, naskah yang berlaku adalah naskah asli dalam bahasa Inggris serta pernyataan (declaration) terhadap Pasal 1 Kovenan Hak Ekosob. Hal tersebut penting kembali diingatkan. Sebagai contoh berkaitan dengan “hak atas air” sebagai “hak asasi manusia”– sebagai elemen hak yang utama dalam Pasal 11 dan 12 Kovenan, maka DPR dan Pemerintah, mesti merujuk pada pengertian – “the 3 Tentang hal tersebut, lihat antara lain A. Patra M.
Zen. “Cara Mudah Menjadi Kepala Daerah: Dari Komitmen Pemenuhan Hak Ekosob Rakyat”, paper pada Pendidikan Kritis untuk Aktivis Partai Politik (Penegakan Demokrasi dan Pemenuhan Hak Ekosob), kerjasama LBH Bandar Lampung dan FES Jakarta, Bandar Lampung, 23-25 Februari 2006. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
right to water” sebagaimana dijabarkan dalam Komentar Umum (General Comment) Komite Ekosob No. 15 yang menjelaskan Pasal 11 dan 12 Kovenan. 4 DPR dan Pemerintah tidak dapat semena-mena menafsirkan hak atas air sebagai “water rights” a la Bank Dunia (World Bank) atau penafsiran yang dianut UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, yang mengizinkan hak guna pakai dan hak guna usaha atas air, yang pada prinsipnya memperbolehkan komersialisasi air untuk keuntungan orang seorang dan badan usaha privat. Jika didalami, Kovenan Hak Ekosob disusun, tidak lain dan tidak bukan untuk perlindungan dan pemenuhan hak, agar setiap orang dan kelompok masyarakat dapat menikmati semua katalog hak ekosob, setinggi-tingginya dan semaksimal mungkin, yang bisa dicapai manusia. Disinilah kerangka kerja Negara mesti disusun agar meningkatkan penikmatan hak-hak ekosob semua orang, bukan sebaliknya malah Negara berkontribusi terhadap penurunan (degradasi) penikmatan hak ekosob warga-negaranya. Untuk tujuan tersebut, disiplin hukum internasional hak asasi manusia mengenalkan “minimum core obligation” atau obligasi pokok yang paling minimum yang harus dipatuhi dan diimplementasikan Negara.5 Karenanya, apakah terjadi pelanggaran obligasi Negara atau tidak, akan dieksaminasi dan diperiksa apakah negara yang bersangkutan telah melakukan segala upaya menggunakan segala sumber daya untuk melakukan obligasi pokoknya dalam pemenuhan hak ekosob.
4 Lihat UN doc. CESCR.Twenty-ninth session (2002).
General Comment No. 15: The right to water (arts. 11 and 12 of the Covenant). 5 Lihat UN doc. CESCR. Fifth Session (1990). General Comment No. 3: The Nature of State parties’ obligations (art. 2, para. 1, of the Covenant), para. 10.
25
Contoh dalam pemenuhan hak atas pendidikan dasar yang diwajibkan dan cuma-cuma sebagaimana dijamin dalam Pasal 14 Kovenan.6 Ironis, anak-anak dari keluarga miskin tidak dapat menikmati pendidikan dasar, sebaliknya para anggota DPR dan DPRD malah menikmati studi banding yang menghabiskan bukan saja ratusan juga bahkan miliar rupiah setiap periode 5 tahun keanggotaan sebagai “wakil rakyat”. Dalam Komentar Umum Komite Ekosob No. 11, dinyatakan: “Article 14 …requires each State party which has not been able to secure com pulsory primary education, free of charge, to undertake, within two years, to work out and adopt a detailed plan of action for the progressive implementation, within a reasonable number of years, to be fixed in the plan, of the principle of compulsory primary education free of charge for all”. 7
B.1. Lima Layer Obligasi Pokok: Rumpun Obligasi yang Saling Berkait Atas jasa International Law Commission, disiplin hukum hak asasi manusia mengenal 2 bentuk obligasi Negara yang pokok berdasarkan Kovenan Hak Ekosob: obligations of conduct dan obli gation of result.8 Obligation of conduct, merupakan obligasi atau kewajiban Negara untuk melakukan sesuatu, semua upaya dan segala tindakan untuk menerima (to mempromosikan (to promote), menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) – memfasilitasi (to facilitate) 6 Periksa juga CESCR. Twentieth session (1999). Ge-
neral comment No. 11: Plans of action for primary education (art. 14). 7 Ibid., para. 1. 8 Lihat UN doc. CESCR. General Comment No. 3. Op.cit., para. 1.
26
dan menyediakan (to provide) – penikmatan hak-hak ekosob.
a.
Mengakui (to recognize)
Klasifikasi obligasi Negara dalam mengakui bahwa hak ekosob merupakan hak asasi manusia. Sehingga, seperti jika terjadi pelanggaran atau kejahatan hak-hak sipil politik, maka semestinya Negara mengakui semua mekanisme dan konsekwensi yang mesti ditanggung para pelaku pelanggaran hak ekosob. Misalnya: jika banyak keluarga miskin yang tidak dapat memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan; tidak dapat memasukan anak-anaknya ke sekolah karena mahalnya biaya pendidikan, maka, pejabat yang berkompeten dalam hal ini, mesti mempertanggunjawabkannya dalam sistem hukum di Indonesia ( justiciable).9 Obligasi Negara dalam hal mengakui prinsip-prinsip pemenuhan hak ekosob, juga secara tegas dinyatakan dalam hal upaya-upaya bantuan teknis internasional. Sebagai contoh, Negara berkewajiban untuk menerima “the essential importance of international cooperation based on free consent” .10
b.
Mempromosikan (to promote)
Aparat Negara, termasuk aparat penegak hukum dan birokrasi mesti melakukan promosi hak-hak ekosob. Promosi bukan saja dilakukan melalui penyebaran iklan layanan masyarakat 9 Ibid., paras. 7, 9; 10-11; Lihat juga A. Patra M. Zen.
“Justisiabilitas Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Menarik Pengalaman Internasional, Mempraktikannya di Indonesia.” dalam Jurnal HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Vol. 1 No. 1 Oktober 2003., pp. 36-47. 10 UN doc. CESCR. Sixth session (1991). General Comment No. 4: The right to adequate housing (art. 11 (1) of the Covenant), para. 19. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
tetapi juga melalui pelibatan masyarakat sipil secara aktif. Program-program promosi atau seringkali disebut dengan sosialisasi mutlak wajib dilakukan. Hal ini agar dimungkinkan adanya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan distribusi manfaat atau hasil-hasil yang ingin dicapai oleh program pemenuhan hak ekosob. Partisipasi masyarakat semacam ini ( full and meaningful participation), dimungkinkan jika Negara mensosialisasikan rencana, peraturan atau kebi jakan “pembangunan” secara luas agar dapat diketahui dan dipahami oleh publik.11 Pentingnya Negara dalam menjalankan obligasi promosi, telah menjadi perhatian yang pokok oleh Komite Hak Ekosob, termasuk dalam hal Pelaporan yang dilakukan Negara Pihak. 12
c.
Menghormati (to respect)
Obligasi penghormatan yang mesti dilakukan Negara, mempunyai makna, negara tidak melakukan tindakan yang justru membatasi sebagian atau seluruhnya hak-hak ekosob masyarakat. Pembatasan hanya dapat dilakukan dengan maksud agar terpenuhinya hak-hak itu sendiri. Dalam klasifikasi ini, antara lain, Negara wajib menghormati persetu11 Bahasan yang rinci tentang prinsip full and mean-
ingful participation dalam proses pembangunan, antara lain lihat A. Patra M. Zen, “A critical contextual human rights analysis of Kedung Ombo Large Dam Project in Indonesia”. Dissertation for LL.M in International Human Rights Law, University of Essex (2002). Tidak Dipublikasikan, h. 2628; lihat juga “What does the rights to participate mean”, paper diskusi pada “Development and Human Rights”, Essex University, 26 September 2002. 12 Lihat UN doc. CESCR. Third session (1989). General Comment No. 1: Reporting by States parties, para. 9. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
juan sukarela calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 10 ayat (1) Kovenan). Contoh lain, Negara tidak diperkenankan untuk melakukan intervensi baik melalui peraturan perundangan atau kebijakan, maupun campur tangan langsung hak seseorang atau kelompok untuk membentuk serikat buruh/pekerja atas pilihannya sendiri atau melakukan pemogokan (Pasal 8 Kovenan)
d.
Melindungi (to protect)
Salah satu contoh yang paling prudent obligasi Negara untuk melindungi hak ekosob, yakni memastikan adanya “le gal security of tenure”,13 keamanan hukum kepemilikan atas tanah. Keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 35/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Untuk Kepentingan Umum, pada dasarnya bertentangan dengan obligasi Negara untuk melindungi hak atas tanah: karena tidak diatur dengan jelas mekanisme perlindungan bagi seseorang atau kelompok masyarakat yang tanahnya diambilalih.14 Dalam Perpres ini seharusnya dimuat jaminan reparasi (rehabilitasi, restitusi dan kompensasi) bagi si pemilik tanah. 13 Lihat UN doc. CESCR. General Comment No. 4.
Op.cit., para. 8(a). 14 Lihat antara lain Siaran Pers Bersama Yayasan
LBH Indonesia, Walhi, KSPA dan ELSAM, 9 Mei 2005 tentang Penetapan Peraturan Presiden No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. “Pemerintahan SBY-Kalla Menunjukkan Watak Aslinya: Mendahulukan Kepentingan Pemilik Modal Daripada Kepentingan Masyarakat”; Lihat juga Kompas. 10 Mei 2005. “Lebih Represif, Perpres Nomor 36/2005 Harus Dibatalkan”; Suara Pembaruan. 10 Mei 2005. “Perpres tentang Pengadaan Tanah. Pemerintah Dinilai Lebih Represif”; Kompas. 6 Juni 2006. “Selesai, Revisi Perpres Tanah. Sejumlah Kalangan Nilai yang Direvisi Tak Signifikan”; Kompas. 7 Juni 2006. “YLBHI Minta Revisi Perpres Diwaspadai”;
27
Contoh lain adalah memberikan perlindungan dalam bentuk peraturan perundang-undangan agar setiap orang dapat menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, termasuk memastikan pekerja/buruh memperoleh upah yang adil, yang dapat menghidupi keluarganya secara layak, kondisi kerja yang aman dan sehat, kesempatan memperoleh promosi ke jenjang yang lebih tinggi, serta menikmati istirahat, liburan dan pembatasan kerja yang wajar dan hak-hak yang melekat didalamnya (Pasal 7 Kovenan). Selanjutnya, Negara berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Kovenan wajib memberikan perlindungan khusus kepada para ibu selama jangka waktu yang wajar sebelum dan sesudah melahirkan, karenanya berhak mendapat cuti dengan upah/gaji dan jaminan sosial yang memadai. Sementara Pasal 10 ayat (3) Kovenan, meminta Negara untuk melakukan perlindungan bagi anak-anak dan remaja dari semua bentuk eksploitasi ekonomi dan sosial. Perlindungan, sebagai obligasi Negara, juga dilakukan seperti memastikan setiap orang bebas dari kelaparan (Pasal 11 ayat (2) Kovenan) dan bebas untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya (Pasal 15 ayat (1) Kovenan).
e.
Menyediakan lapangan kerja dan memfasilitasi bimbingan teknis, program-program pelatihan, dan kegiatan ekonomi produktif (Pasal 6 Kovenan);
Menyediakan dan memfasilitasi jaminan sosial termasuk asuransi sosial bagi setiap warga negara (Pasal 9 Kovenan);
Menyediakan bantuan kepada keluarga untuk merawat dan mendidik anak-anak yang masih dalam tanggungannya (Pasal 10 Kovenan);
Dengan kerjasama internasional, Negara menyediakan dan memfasilitasi (akses) atas pangan, sandang dan perumahan, dan perbaikan kondisi hidup semua orang secara terus menerus (Pasal 11 Kovenan);
Menyediakan dan memfasilitasi (akses) atas standar kesehatan fisik dan mental setinggi-tingginya yang dapat dicapai (Pasal 12 Kovenan);
Menyediakan dan memfasilitasi (akses) atas pendidikan, termasuk memenuhi hak setiap orang menikmati pendidikan dasar yang wajib dan cuma-cuma (com pulsory and free of charge) (Pasal 13 dan 14 Kovenan). Tidak seperti sekarang, “cuma” bayar SPP, “cuma” bayar buku, dan seterusnya pungutan yang membebani siswa dan orang tua murid;
Menyediakan dan memfasilitasi (akses) semua orang untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya (Pasal 15 ayat (1) Kovenan);
Memenuhi: memfasilitasi dan menyediakan (to fulfill: to facilitate and to provide)
Obligasi untuk memenuhi hak asasi manusia secara inheren mempunyai makna Negara melakukan upaya untuk memfasilitasi dan menyediakan hak-hak ekosob setiap warga negaranya. Perwujudan obligasi Negara untuk pemenuhan hak ekosob, sebagaimana dimuat dalam Kovenan sebagai berikut: 28
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
B.2. Mengenal Lebih Dekat: Obligasi Negara Menurut Pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak Ekosob Pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak Ekosob menyatakan: “Setiap Negara Peserta Kovenan ini berupaya untuk mengambil langkahlangkah, secara sendiri maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya dalam bidang ekonomi dan teknis, sejauh dimungkinkan oleh sumberdaya yang tersedia, yang mengarah pada pencapaian secara bertahap demi realisasi sepenuhnya dari hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini dengan semua cara yang tepat, termasuk pada khususnya dengan mengadopsi langkah-langkah legislatif” .
susnya dengan mengadopsi langkah-langkah legislatif (by all appropriate means including particularly adoption of legislative measures)’ adalah bersifat unik dan tidak terdapat, atau tidak digunakan dalam obligasi yang dimuat dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol). Penggunaan istilah “Setiap Negara Peserta... berupaya mengambil langkahlangkah” sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 (1) Kovenan Hak Ekosob, memang biasanya ditafsirkan dengan kandungan arti implementasi Kovenan secara bertahap. Namun demikian, Komite Hak Ekosob melalui Komentar No. 3 telah menjelaskan bahwa, “…walaupun realisasi sepenuhnya atas hak-hak yang relevan bisa dicapai secara bertahap, namun langkahlangkah kearah itu harus diambil dalam waktu yang tidak lama setelah Kovenan berlaku bagi Negara Peserta bersangkutan.” 16
Menurut Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Komite Hak Ekosob), Pasal 2 tersebut mengandung kepentingan khusus untuk mencapai pemahaman seutuhnya atas Kovenan dan harus dilihat dalam hubungannya yang dinamis dengan semua ketentuan Kovenan lainnya. Pasal 2 ini menjelaskan sifat dari kewajiban yang umum ditempuh oleh Negara Peserta Kovenan.15
Langkah-langkah tersebut haruslah dilakukan secara terencana, konkrit dan diarahkan kepada sasaran-sasaran yang dirumuskan sejelas mungkin dalam rangka memenuhi kewajiban-kewajiban Kovenan.’
Selain itu, nampak penting di sini untuk memahami arti dari istilah-istilah yang digunakan dalam Pasal 2 Kovenan untuk memahami bagaimana implementasi kewajiban Negara seharusnya dijalankan. Istilah-istilah seperti: berupaya mengambil langkah-langkah (undertakes to take steps), sejauh dimungkinkan oleh sumberdaya yang tersedia (to the maximum available resources) , pencapaian secara bertahap demi realisasi sepenuhnya (achieving pro gressively the full realization), dan dengan semua cara yang tepat, termasuk pada khu-
Komite Hak Ekosob mengakui bahwa negaralah yang harus memutuskan langkah-langkah yang tepat dan hal tersebut bergantung pada hak yang hendak diimplementasikan. Selanjutnya Komite menegaskan bahwa, laporan Negara Peserta harus menyebutkan tidak hanya langkah-langkah yang telah ditempuh namun juga alasan mengapa langkah-langkah tersebut dianggap sebagai paling tepat berikut situasisituasinya.17 Interpretasi Komite terhadap istilah ‘all appropriate measures’ jelas berkaitan baik dengan kewajiban melakukan
15 UN doc. CESCR. General Comment No. 3. Op.cit.,
para. 1. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
16 Ibid., para. 2. 17 Ibid., para. 4.
29
(obligations of conduct) maupun kewajiban hasil (obligation of result). Sementara itu berkait istilah ‘mengadopsi langkah-langkah legislatif’’(adoption of legislative measures) Komite memberi peringatan bahwa keberadaan hukum jelas penting tetapi hal tersebut belumlah cukup membuktikan Negara Peserta telah menjalankan kewajibannya sesuai Kovenan. Berdasarkan pengalaman Komite ketika membahas laporan Kanada menyatakan, jika laporan difokuskan secara sempit pada aspek-aspek legal semata, maka kecurigaan biasanya akan muncul berkenaan dengan adanya kesenjangan antara peraturan perundang-undangan dengan praktik. Dalam kenyataan, pembelajaran dan ekspresi dari banyak Negara Peserta dalam mengimplementasikan kewajibannya telah mendorong pentingnya aplikasi pendekatan berbasis hak dalam “pembangunan”. Suatu kebijakan ekonomi atau pembangunan memang untuk mencapai kesejahteraan warganegaranya, tetapi mereka tidak dapat dibuat menunggu pemenuhan hak-hak asasinya sampai klaim “pertumbuhan ekonomi” memungkinkan hal itu. Kini ratifikasi Kovenan Hak Ekosob memberi pemahaman mendasar bahwa peningkatan ekonomi haruslah secara nyata didasarkan pada penghormatan dan realisasi hak asasi manusia. Pada titik ini, Komite sekali lagi memberi peringatan bahwa klausul realisasi secara progresif sepatutnya juga dicerminkan pada pelaksanaan kewajiban yang menjamin agar tidak ter jadi perkembangan regresif atau kemunduran. Jika hal itu pun terpaksa dilakukan dan terjadi, maka harus dijalankan dengan pertimbangan yang sangat hati-hati, dibutuhkan justifikasi penuh dengan mengacu pada inti hak yang ditentukan dalam Kovenan dan dalam konteks pemanfaatan se jauh mungkin atas sumberdaya yang ada. 30
Komite mengakui pentingnya sumberdaya bagi pemenuhan hak-hak ini, tetapi tidak menganggap bahwa ketersediaan sumberdaya sebagai alasan untuk lepaskan kewa jibannya. Dalam kasus semacam ini, Komite menyatakan bahwa, dalam kasus dimana sejumlah cukup signifikan rakyat hidup dalam kemiskinan dan kelaparan, maka Negara harus membuktikan bahwa kegagalannya memenuhi hak-hak orangorang ini memang diluar kendali. Disinilah konteks gagasan kewajiban minimum (minimum core obligation) yang dikembangkan oleh Komite. Komite melihat bahwa setiap Negara Peserta mempunyai kewajiban minimum untuk memenuhi tingkat pemenuhan yang minimum dari setiap hak yang terdapat dalam Kovenan. Komentar Umum No. 3 memberi ilustrasi yang sangat jelas untuk hal ini. Sebagai contoh, jika terdapat penduduk secara massal, menderita kelaparan, tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan, tak mempunyai tempat bernaung dan perumahan, atau tidak menikmati pendidikan dasar, maka dapat dinyatakan Negara gagal menjalankan obligasinya berdasarkan Kovenan.18 Lebih jauh Komite menjelaskan bahwa sekalipun didapati kenyataan tidak cukupnya sumberdaya yang ada, kewajiban Negara tetap dijalankan untuk menjamin pemenuhan hak yang seluas-luasnya dalam kondisi yang sangat terbatas itu. Bahkan, pada saat terjadi keterbatasan sumberdaya yang akut, anggota masyarakat yang rentan dapat dan memang harus mendapatkan perlindungan dengan diadopsinya programprogram yang dirancang relatif murah. Pasal 2 ayat (1) Kovenan, juga menegaskan tentang perlunya kerjasama dan bantuan internasional berkait dengan upaya realisasi hak. Pada kenyataannya 18 Ibid., para. 10.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
memang Negara Peserta mengalami kesulitan dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi dan memenuhi hak secara penuh. Dibutuhkan keterlibatan pihak ketiga, yang biasanya menunjuk pada keterlibatan lembaga atau badan pembangunan multilateral dan keuangan internasional, untuk mendukung bantuan teknis dan pin jaman dana. Problemnya, pada banyak Negara, bahwa pada akhirnya mereka menjadi sangat tergantung pada aliran dana luar negeri, terjebak pada hutang luar negeri yang sangat besar, dan sementara itu sebagian besar penduduknya tetap dan jatuh miskin. Kesulitan utama dari persoalan ini adalah operasional dari lembaga atau badan pembangunan multilateral dan keuangan internasional itu lepas dari kerangka kerja hak asasi manusia, dan Negara pengutang tidak berdaya karena situasi ketergantungan dan keterjebakan hutang yang dialaminya. Pada suatu titik momentum ketika kelaparan dan kemiskinan menjadi musuh nomor satu dari semua Negara di dunia ini, kerjasama pembangunan internasional ditandai oleh berbagai perubahan cara pandang dan kebijakan yang merujuk pada pemahaman bahwa realisasi hak asasi manusia merupakan kunci untuk lepas dari situasi ini. Tetapi terpisahnya logika globalisasi ekonomi dengan kerangka kerja hak asasi manusia menjadikan harapan akan membaiknya situasi derita dunia menjadi pupus kembali.19
C.
Pelanggaran Hak dalam Kovenan Hak Ekosob dan Monitoring Obligasi Negara
19 Andik Hardiyanto., et.al., Empat Pilar Demokrati-
sasi Melawan Kemiskinan dan Pemiskinan, GAPRI, Jakarta, 2005. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
C.1.Pelanggaran Hak Ekosob: Indikator Keberhasilan dan Kegagalan Obligasi Negara Komite menegaskan bahwa Negara Peserta yang penduduknya dalam jumlah yang signifikan mengalami kekurangan bahan pangan, kekurangan pelayanan kesehatan dasar, tiada akses terhadap pemukiman dan perumahan yang layak, atau tiada akses terhadap pendidikan dasar merupakan petunjuk awal bagi kegagalan Negara untuk memenuhi kewajiban sebagaimana diatur Kovenan. Pemahaman ini didasarkan pada keberadaan gagasan kewajiban minimum (minimum core obligation) yang dikembangkan oleh Komite. Konsep kewajiban minimum diajukan oleh Komite untuk menyangkal alasan tidak adanya sumberdaya sebagai faktor yang mencegah pemenuhan kewajiban. Komite menegaskan bahwa Negara mempunyai kewajiban minimum guna memenuhi realisasi setiap hak yang terdapat dalam Kovenan pada tingkat yang minimum. Kegagalan untuk memenuhi kewajiban minimum dapat disebut sebagai pelanggaran terhadap hak yang termuat dalam Kovenan Hak Ekosob. Dalam perkembangannya, penguatan konsep pelanggaran Hak Ekosob terus dilakukan oleh banyak ahli hukum hak asasi manusia internasional yang kemudian dituangkan dan dikenal sebagai Prinsip-Prinsip Limburg (the Limburg Principles). Prinsip-prinsip ini memberikan kerangka dasar bagi pengembangan lebih lanjut atas berbagai asumsi dan konsep pelanggaran Hak Ekosob.20 Tetapi yang penting dipahami di sini adalah bahwa kegagalan Negara Peserta untuk memenuhi kewajiban yang terkandung dalam Kovenan jelas merupakan pelanggaran terhadap Kovenan.
31
Pelanggaran terhadap Kovenan tersebut, dapat dimaknai, dalam situasi dan kondisi dimana Negara Peserta: (i)
gagal mengambil langkah-langkah seperti yang disyaratkan dalam Kovenan;
(ii) gagal menyingkirkan segera atas berbagai hambatan yang menghalangi realisasi hak secara penuh; (iii) gagal untuk mengimplementasikan hak yang perlu segera direalisasikan; (iv) menerapkan pembatasan atas hak yang diakui dalam Kovenan dengan alasan-alasan yang tidak sesuai seperti yang disyaratkan Kovenan; (v) sengaja menghambat atau menghalangi realisasi bertahap atas hak-hak yang diakui dalam Kovenan;
mentar Umum No.3 telah mengidentifikasi beberapa ketentuan Kovenan yang bisa ditangani segera oleh pihak yudikatif, seperti:
non-diskriminasi dalam realisasi hak (Pasal 3 Kovenan);
upah yang adil dan setara; upah yang sama bagi pekerjaan yang sama antara laki-laki dan perempuan (Pasal 7 huruf (a) angka (i) Kovenan);
hak untuk membentuk serikat buruh dan hak mogok (Pasal 8 Kovenan);
perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi dan sosial (Pasal 10 ayat (3) Kovenan);
pendidikan dasar (Pasal 13 angka (2) huruf (a) Kovenan);
hak orang tua untuk memilihkan sekolah bagi anak-anaknya guna menjamin pendidikan agama serta moral yang sesuai dengan keyakinan mereka (Pasal 13 ayat (3) Kovenan);
hak untuk mendirikan dan mengarahkan sekolah (Pasal 13 ayat (4) Kovenan);
kebebasan melakukan penelitian ilmu pengetahuan serta kegiatan kreatif (Pasal 15 ayat (3) Kovenan).
(vi) gagal menyampaikan laporan sebagai ditentukan dalam Kovenan. Sementara itu, di sisi lain, karena pengembangan konsep pelanggaran hak banyak difokuskan pada pemenuhan kewajiban, maka pemahaman akan penegakan realisasi hak ekonomi, sosial, dan budaya merupakan wilayah eksekutif dengan berbagai kebijakan dan programnya. Komite jelas menolak pemahaman ini. Komite menyatakan bahwa hak ekosob juga menjadi urusan pengadilan. Dengan begitu, menurut Komite, penegakan hak-hak yang terkandung dalam Kovenan Hak Ekosob ini bisa ditangani oleh pihak yudikatif. Komite Hak Ekosob melalui Ko20 The Limburg Principles on the Implementation of
the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, atau lebih dikenal dengan Limburg Principles, dihasilkan dalam sebuah pertemuan pakar hukum internasional di Maastricht, Belanda pada Juni 1986. Human Rights Quarterly, Vol. 9, No. 2, May 1987, p. 122. Dapat juga ditemukan pada UN doc. E/CN.4/1987/17, annex.
32
Untuk mengukur apakah Negara berhasil atau sebaliknya gagal dalam menjalankan obligasinya, seperti termuat dalam Kovenan Hak Ekosob, dapat menggunakan kebijakan dan standard yang sudah ada. Jika belum maka, perlu dibuat blue-print untuk masing-masing pemenuhan hak ekosob, yang dimuat dalam katalog hak Kovenan – utamanya dalam Bab III (Pasal 6 sampai dengan 15 Kovenan) Sebagai contoh, dalam rangka pemeJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
nuhan hak setiap orang untuk menikmati standard hidup yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk ketercukupan pangan, pakaian dan perumahan yang layak, serta peningkatan kondisi kehidupan secara terusmenerus, pemerintah misalnya telah merumuskan kebijakan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SPNK). Menariknya, dokmen ini disusun dengan perspektif, yang memandang problem kemiskinan berkait langsung dengan tidak terpenuhinya hak-hak dasar, utamanya hak-hak ekosob. Dalam dokumen ini juga ditegaskan, peristiwa kemiskinan adalah masalah hak asasi manusia. Selain itu, SPNK juga memuat rekomendasi caracara penghapusan kemiskinan dan pencapaian tujuan Millenium Development Goals (MDGs) dengan mekanisme implementasi yang diadopsi oleh Kovenan Hak Ekosob. Memeriksa, dokumen SNPK ini, dapat dikatakan, kebijakan ini merupakan bentuk pengakuan, di satu sisi, kualitas kehidupan seseorang sangat bergantung pada realisasi hak-hak asasinya, dan di sisi lain adalah menjadi kewajiban Negara untuk melaksanakan realisasi hak-hak asasi itu sepenuhnya.21 SPNK dapat dikatakan berhasil antara lain jika peringkat Indonesia, dalam Human Development Index (HDI) naik dan terjadi peningkatan indikatorindikator kesejahteraan. Karenanya, 21 Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK), Stra-
tegi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, Oktober 2005. Dokumen kebijakan ini menggunakan pendekatan berbasis hak untuk memahami kemiskinan dan mengembangkan upaya-upaya penanggulangannya. Menjadi menarik di sini, karena dokumen ini kemudian dijadikan rujukan bagi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, dan termasuk pula sebagai rujukan penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) dan RPJM Daerah JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
dokumen SPNK mesti diletakan pada dokumen yang semestinya membawa implikasi bukan saja ekonomi, tapi juga politik dan hukum. Para penanggungjawab dan aparat Negara yang terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi semestinya dapat dimintai pertanggunjawaban secara politik dan hukum.
C.2. Mekanisme Monitoring Pelaksanaan Obligasi Negara Selain memberikan penafsiran dan elaborasi terhadap pasal-pasal dalam Kovenan, fungsi utama Komite Ekosob, melakukan pemantauan terhadap implementasi obligasi Negara Pihak dalam mempromosikan, menghormati, melindungi dan memenuhi (memfasilitasi dan menyediakan) hak-hak ekosob masyarakat. Mekanisme monitoring implementasi ketentuan dalam Kovenan Hak Ekosob, dilakukan antara lain melalui pengawasan yang dilakukan Komite Hak Ekosob yang dibentuk berdasarkan Kovenan, atau disebut dengan mekanisme berdasarkan perjanjian (treatybased mechanism). Walaupun “terlambat” lahir, dibandingkan “Komite Hak Asasi Manusia”, Komite Hak Ekosob mulai menjalankan fungsinya sebagai lembaga pengawas pada 1986, menggantikan sebuah Kelompok Kerja (Working Group) yang dibentuk Dewan Ekonomi dan Sosial – Economic and Social Council (ECOSOC). Komite ini terdiri dari 18 pakar independen yang bekerja untuk memeriksa (mengeksaminasi) laporan Negara Pihak dalam menjalankan obligasi (kewajiban) yang tercantum di Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kovenan Hak Ekosob).
33
Dalam menjalankan fungsinya, Komite bekerjasama dengan lembaga-lembaga khusus PBB yang lain. Sebagai contoh, dalam memeriksa laporan yang berkaitan dengan obligasi negara untuk memenuhi hak atas pangan, seperti dinyatakan dalam Pasal 11 Kovenan, Komite bekerja sama dengan Organisasi Pangan dan Pertanian – Food and Agriculture Organisation (FAO). Contoh lain, dalam memeriksa obligasi pemenuhan hak atas pendidikan, Komite mengambil manfaat dan bekerjasama dengan para pakar yang bekerja pada Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB – United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO). Demikian juga kerjasama dengan Organisasi Buruh Internasional – International Labor Organisation (ILO) dalam kaitan dengan hak-hak buruh atau bekerjasama dengan UN Centre for Human Settlement (Habitat) berkaitan dengan hak setiap orang untuk menikmati perumahan yang layak. Dialog yang terjadi antara Komite dengan perwakilan Negara dikembangkan, untuk selanjutnya Komite memberikan rekomendasi tentang hal-hal yang perlu dilakukan Negara selanjut-
nya. Dalam hal ini, Komite dituntut selalu mengembangkan praktik kreatif untuk mendorong Negara Pihak benarbenar menjalankan kewajibannya. Dalam melaksanakan fungsinya, Komite juga memperhatikan dokumen yang berkaitan dengan hak-hak ekosob, seperti Prinsip-prinsip Limburg ( Limburg Principles), yang kemudian dikembangkan di Maastricht pada 1986.22 Selain treaty-based mechanism tersebut, maka dimungkinkan juga pengawasan dilakukan berdasarkan nontreaty based seperti prosedur khusus (special procedure) dibawah Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) – yang sekarang diganti oleh Dewan Hak Asasi Manusia ( Human Rights Council). Komite Hak Ekosob dalam menjalankan fungsinya juga mendengarkan pendapat dan masukan dari para pelapor khusus ini (lihat Tabel 3).
22 Lihat UN doc. E/CN.4/1987/17, annex. Limburg
Principles on the Implementation of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. Dokumen ini dirumuskan dan disetujui oleh kelompok ahli dalam pertemuan hukum internasional di Maastricht Belanda.
Tabel 3 Prosedur Khusus dibawah Komisi Hak Asasi Manusia, dengan Mandat Tematik yang relevan dengan Hak-hak Ekosob (Per 1 Februari 2006) Nama/Mandat
Dasar Pemberian Nama dan asal negara Mandat pemegang mandat Tahun Nomor Resolusi
Pelapor khusus untuk perumahan yang layak – sebagai komponen hak atas standar hidup yang tinggi
2000
2000/9
Mr. Miloon KOTHARI (India)
Pelapor Khusus untuk hak atas pendidikan
1998
1998/33
Vernor MUOZ VILLALOBOS (Kosta Rika)
Pakar independen tentang masalah hak asasi manusia dan kemiskinan yang ekstrim
1998
1998/25
Arjun SENGUPTA (India)
34
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Pelapor khusus untuk hak atas pangan
2000
2000/10
Jean ZIEGLER (Swis)
Pelapor khusus tentang hak setiap orang menikmati standar fisik dan mental tertinggi yang dapat dicapai
2002
2002/31 (untuk 3 tahun)
Mr. Paul HUNT (Selandia Baru)
Pelapor khusus tentang situasi hak asasi manusia dan kebebasan fundamental penduduk asli/adat
2001
2001/57
Mr. Rodolfo STAVENHAGEN (Meksiko)
Perwakilan Sekretaris Jenderal untuk hak-hak asasi pengungsi didalam negeri
2004
2004/55 (untuk 2 tahun)
Mr. Walter K‰lin (Swis)
Pelapor Khusus tentang hak-hak penduduk migran
1999
1999/44
Jorge A. BUSTAMANTE (Meksiko)
Pakar independen untuk isu-isu minoritas
2005
2005/79 (2 tahun)
Gay MCDOUGALL (Amerika Serikat)
Pakar independen tentang hak asasi manusia dan solidaritas internasional
2005
2005/55 (untuk 3 tahun)
Rudi Muhammad RIZKI (Indonesia)
Pakar independen untuk dampak pembaharuan kebijakan ekonomi dan utang luar negeri
2000
2000/82
Bernards Andrew NYAMWAYA MUDHO (Kenya)
Pelapor khusus tentang dampak yang ditimbulkan pemindahan dan pembuangan produk dan limbah beracun dan berbahaya terhadap penikmatan hak asasi manusia
1995 Resolution 1995/81
Okechukwu IBEANU (Nigeria)
Pelapor khusus tentang perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak
2004
2004/110 (untuk 3 tahun)
Sigma HUDA (Bangladesh)
Perwakilan khusus Sekretaris Jenderal tentang hak asasi manusia dan korporasi trans-nasional dan perusahaan bisnis lainnya
2005
2005/69 (untuk 2 tahun)
John Ruggie (Amerika Serikat)
D. Penutup: Preferensi Ideologi Kerakyatan, Keadilan Sosial dan Kebebasan Masyarakat
Begitu juga obligasi atau kewajiban dari Negara dalam pemenuhan hak ekosob. Namun, bahan bakar pemenuhan hak ekosob ini, tidak lain tidak bukan adalah ideologi yang mendasari orde ekonomi, politik dan hukum. Tanpa kehadiran atau absennya pilihan idelogi yang benar-benar hendak membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik: kesejateraan rakyat dan keadilan sosial, maka norma dan standar hak asasi manusia hanya menjadi tumpukan kertas tebal yang dibinding apik: sebagai bahan rujukan tanpa tindakan.
Secara normatif, dapat dikatakan, jelas apa yang menjadi hak setiap warga negara.
Tidak hanya pemerintah yang tengah berkuasa, DPR dan lembaga yudikatif, sa-
Penting untuk diingatkan lagi, partisipasi dan keterlibatan masyarakat dimungkinkan secara penuh, berdasarkan Kovenan Hak Ekosob, dimana Komite senantiasa meminta atau terbuka untuk menerima masukan dari organisasi-organisasi non-pemerintah ketika memeriksa laporan yang disampaikan Negara Pihak.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
35
lah satunya dapat membawa masalah tersendiri dalam upaya pemenuhan hak ekosob. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, atau putusan-putusan Mahkamah Agung juga membawa implikasi terhadap jaminan hak-hak ekosob. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan pengujian UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, misalnya justeru malah melapangkan jalan bagi komersialisasi air dan mampetnya akses masyarakat terhadap sumber-sumber air. Sebaliknya putusan Mahkamah Agung yang memenangkan pengujian Peraturan Daerah (Pemda) yang merubah status sejumlah rumah sakit umum daerah (RSUD) Jakarta – menjadi Perseroan Terbatas (PT) justru dapat dikatakan sebagai sebuah benteng terhadap
komersialisasi pelayanan kesehatan, yang seharusnya menjadi obligasi Negara.
Daftar Pustaka
—————. “Justisiabilitas Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Menarik Pengalaman Internasional, Mempraktikannya di Indonesia.” dalam Jurnal HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Vol. 1 No. 1 Oktober 2003., pp. 36 – 47.
Peraturan Perundang-undangan UU No. 11/2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air Peraturan Presiden No. 35/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Untuk Kepentingan Umum Kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SPNK).
Artikel/paper A. Patra M. Zen. “Cara Mudah Menjadi Kepala Daerah: Dari Komitmen Pemenuhan Hak Ekosob Rakyat” , paper pada Pendidikan Kritis untuk Aktivis Partai Politik (Penegakan Demokrasi dan Pemenuhan Hak Ekosob), kerjasama LBH Bandar Lampung dan FES Jakarta, Bandar Lampung, 23”– 25 Februari 2006.
36
Sebagai akhir, perlu dicatat, dalam UU No. 11/2005, dinyatakan bahwa pertimbangan Indonesia menjadi Negara Pihak Kovenan Hak Ekosob karena “Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada 1945 menjunjung tinggi HAM” . Tantangannya tidak lain: melahirkan kembali para pemimpin, para anggota parlemen, dan para hakim yang menyadari benar dan mampu menyelami suasan kebatinan dan tujuan berdirinya Republik ini, antara lain: menentang imperialisme dan menyejahterakan semua rakyat Indonesia. Mudah-mudahan janin yang ada tak lama lagi lahir!
—————. “A critical contextual human rights analysis of Kedung Ombo Large Dam Project in Indonesia” . Dissertation for LL.M in International Human Rights Law, University of Essex (2002). Tidak Dipublikasikan —————.“What does the rights to participate mean”, paper diskusi pada”“Development and Human Rights”, Essex University, 26 September 2002. Andik Hardiyanto., et.al., 2005. Empat Pilar Demokratisasi Melawan Kemiskinan dan Pemiskinan. GAPRI: Jakarta. UN docs. UN doc. GA Res. 2200A (XXI), 16 December 1966. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. Entry into force 3 January 1976, in accordance with article 27. —————. E/CN.4/1987/17, annex. The Limburg Principles on the Implementation of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
General Comment Committee on Economic, Social and Cultural Rights
CESCR. Third session (1989). General Comment No. 1: Reporting by States parties. ————. Fifth Session, 1990. General Comment 3: The Nature of States partie’s obligations (art. 2, para. 1 of the Covenant). ————. Sixth session (1991). General Comment No. 4: The right to adequate housing (art. 11 (1) of the Covenant). ————. Sixteenth session (1997). General Comment No. 7: The right to adequate housing (art. 11 (1) of the Covenant): Forced Evictions. ————. Nineteenth session (1998). General Comment No. 9: the domestic application of the Covenant. ————. Twentieth session (1999). General comment No. 11: Plans of action for primary education. ————. Twenty-ninth session (2002). General Comment No. 15: The right to water (arts. 11 and 12 of the Covenant).
Fact sheet
OHCHR. Fact Sheet No. 16 (Rev. 1), The Committee on Economic, Social and Cultural Rights.
Lainnya Siaran Pers Bersama Yayasan LBH Indonesia, Walhi, KSPA dan ELSAM, 9 Mei 2005 tentang Penetapan Peraturan Presiden No. 36/ 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. “Pemerintahan SBY-Kalla Menunjukkan Watak Aslinya: Mendahulukan Kepentingan Pemilik Modal Daripada Kepentingan Masyarakat”; Suara Pembaruan. 10 Mei 2005. “Perpres tentang Pengadaan Tanah. Pemerintah Dinilai Lebih Represif” . Kompas. 10 Mei 2005. “Lebih Represif, Perpres Nomor 36/2005 Harus Dibatalkan” . Kompas. 6 Juni 2006. “Selesai, Revisi Perpres Tanah. Sejumlah Kalangan Nilai yang Direvisi Tak Signifikan” . Kompas. 7 Juni 2006. “YLBHI Minta Revisi Perpres Diwaspadai” .
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
37
KEWAJIBAN NEGARA DALAM ICCPR Jonny Sinaga* Abstract The ratification of the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) has brought new obligations for the Government of the Republic of Indonesia. These obligations consist of general obligation and specific obligation. The general obligation of the Indonesian Government is to take appropriate measures and to develop appropriate policies so as to give effects to the rights in the Cov enant. In addition, the Indonesian Government is also expected to fulfill its reporting obligations to the Secretary General of the United Nations with regard to the implementation of the Covenant.
I.
Pendahuluan
Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada seseorang dan kalau diambil, orang tersebut akan menjadi manusia yang tidak normal lagi. Pembahasan mengenai HAM ini semakin mengemuka setelah berdirinya PBB tahun 1945 yang dilatarbelakangi kesadaran masyarakat internasional untuk menghentikan perang yang ternyata hanya menimbulkan penderitaan bagi umat manusia. Menurut catatan sejarah Perang Dunia II saja menelan korban 60 juta jiwa. Berdirinya PBB diharapkan akan dapat mengurangi penderitaan umat manusia melalui penghormatan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Karena itu tidak mengherankan sedikitnya 7 ketentuan Piagam PBB yang menyangkut HAM dan kebebasan mendasar. Tahun 1946 PBB membentuk sebuah Komisi khusus menangani upaya pemajuan dan perlindungan HAM dan tahun 1948 berhasil menyusun Deklarasi Universal HAM. Ketentuan dalam Deklarasi tersebut kemudian dituangkan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang diterima Majelis Umum PBB tahun 1966. 38
a.
Latar Belakang Ratifikasi ICCPR Gagasan pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) secara resmi dapat dilihat dari RAN-HAM 1998-2003 di mana disebutkan bahwa kovenan itu akan diratifikasi pada tahun ke-lima (2003) 1 sedangkan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) pada tahun pertama. Namun dalam perkembangannya terutama setelah memperoleh masukan dari berbagai lapisan masyarakat akhirnya kedua kovenan disepakati untuk diratifikasi pada tahun ketiga yakni tahun 2001.2 Namun hingga RAN-HAM pertama tersebut berakhir tahun 2003 ICCPR belum dapat diratifikasi. Dalam RAN-HAM periode 2004-2009 kedua kovenan kembali dicantumkan sebagai
* Penulis adalah Kepala Sub-Direktorat Hak Sipil dan Politik, Direktorat Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan, Direktorat Jenderal Multilateral, Departemen Luar Negeri. 1 The Indonesian National Plan of Action on Human Rights 1998-2003, Jakarta 25 June 1998. Direktorat Organisasi Internasional. 2 Revisi The Indonesian National Plan of Action on Human Rights 1998-2003, Jakarta 25 Juni 1998. Direktorat Organisasi Internasional. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
prioritas ratifikasi yang dijadwalkan diratifikasi tahun 2004.3 Sebagaimana dimaklumi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang disahkan oleh Majelis Umum PBB tahun 1966 4 merupakan dokumen internasional penting yang mengikat secara hukum bagi negara-negara yang telah mengesahkannya. Segera setelah Deklarasi Universal HAM diterima oleh Majelis Umum PBB tahun 1948, upaya menyusun sebuah kovenan tunggal HAM dimulai tetapi karena dominasi negara-negara tertentu di Komisi HAM, maka terpaksa disusun dua kovenan. 5 Kedua kovenan tersebut baru pada tahun 1966 dapat disepakati oleh sidang Majelis Umum PBB.
b.
Berlakunya ICCPR bagi Indonesia Indonesia mengesahkan Kovenan tersebut melalui UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik) tanggal 28 Oktober 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 nomor 119). Pemerintah kemudian menyerahkan piagam pengesahan kepada Sekjen PBB tanggal 23 Februari 2006. 6 Sesuai dengan penegasan Sekjen PBB ter-
3 Rencana Aksi Hak Asasi Manusia Indonesia 2004-
2009, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, Departemen Hukum dan HAM. 4 Resolusi Majelis Umum PBB No. 2200A (XXI) tanggal 16 Desember 1966. 5 Indonesia and the United Nations: Working for Peace and Development. Permanent Mission of the Republic of Indonesia to the United Nations. New York. Initial edition 2005. 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri. 2006. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
tanggal 3 Maret 2006, Kovenan tersebut berlaku bagi Indonesia mulai tanggal 23 Mei 2006 yakni 3 bulan setelah Sekjen PBB menerima piagam pengesahannya.7 Negara-negara pihak pada ICCPR di dalam pertimbangannya menyatakan bahwa sesuai dengan Piagam PBB negara mempunyai kewajiban untuk memajukan penghargaan universal dan pengasawan hak dan kebebasan manusia.8
II. Kewajiban Negara Pihak pada ICCPR Dengan disahkannya 9 ICCPR maka sudah barang tentu akan menimbulkan kewajiban baru bagi negara yang mengesahkan perangkat internasional tersebut. Kewajiban negara pihak ini dapat digolongkan ke dalam dua bagian yakni kewajiban berupa langkah atau kebijakan yang harus diambil Pemerintah guna menjamin pelaksanaan hak-hak yang ditur dalam kovenan, serta kewajiban khusus negara pihak untuk menyampaikan laporan kepada Sekjen PBB mengenai pelaksanaan kovenan.
a.
Kewajiban umum negara pihak Ketika suatu negara menjadi pihak pada perangkat HAM internasional, maka Pemerintahnya mempunyai tiga kewajiban yakni menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak asasi sebagaimana diatur dalam perangkat HAM internasional dimaksud. Kewa-
7 Sesuai dengan pasal 49 (2) Kovenan Internasional
Hak-hak Sipil dan Politik. Depositary notification tanggal 3 Marte 2006. Reference: C.N. 206.2006. TREATIES-6. 8 Paragraf 4 pembukaan Kovenan. 9 Pengesahan mencakup dua hal yakni ratifikasi (mengesahkan dan ikut sebagai penanda-tangan) dan aksesi (mengesahkan tetapi tidak ikut sebagai penanda-tangan). Baik ratifikasi maupun aksesi mempunyai dampak hukum yang sama.
39
jiban menghormati hak asasi manusia berarti negara berkewajiban untuk menahan diri dari tindakan yang mencampuri atau mengurangi pemenuhan hak-hak warga negaranya. Artinya negara tidak boleh melakukan tindakan yang bertentangan dengan hak-hak asasi manusia warganya. Kewajiban melindungi hak asasi manusia berarti negara berkewajiban untuk melakukan tindakan tindakan guna mencegah pelanggaran HAM terhadap warga negara. Dalam kewajiban ini termasuk upaya untuk mendorong warga negara untuk menghormati HAM orang lain, dan mengatur sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan individu atau kelompok. Kewajiban memenuhi hak asasi manusia berarti negara berkewa jiban untuk mengambil tindakan guna mewujudkan pelaksanaan HAM secara penuh. Dalam hal ini termasuk pembuatan peraturan, langkah anggaran atau ekonomi, badan peradilan dan administratif, pembentukan komisi-komisi nasional.10 Menurut PBB, ketika negara-negara mengesahkan suatu perangkat HAM internasional, maka negara-negara itu biasanya akan memasukkan ketentuan-ketentuan di dalamnya ke dalam hukum domestik secara langsung, atau dengan cara lain sebagai pelaksanaan kewajiban yang diatur di dalam perangkat HAM dimaksud. Dengan demikian, standar dan noma HAM yang universal saat ini dapat dilihat dalam ketentuan hukum domestik hampir di seluruh negara-negara anggota PBB. 11 Dengan demikian dapat dipahami bahwa hingga bulan Juni 2006 baru 156 negara12 yang mengesahkan kovenan dimaksud karena memang negara-negara yang mengesahkan tersebut akan mempunyai kewajiban baru sebagaimana disebutkan dalam Kovenan. Hal 40
ini tentunya sekaligus merupakan salah satu jawaban terhadap pertanyaan yang sering muncul di kalangan masyarakat yakni mengapa Indonesia baru mengesahkan kovenan penting dimaksud pada tahun 2005 padahal kovenannya sudah diterima tahun 1996 dan kovenan itu memuat berbagai ketentuan penting dalam upaya pemajuan dan pelindungan HAM. Artinya selama ini Pemerintah Indonesia belum dalam keadaan siap untuk mengemban kewajiban baru yang timbul akibat pengesahasan kovenan dimaksud. Tentunya akan lebih baik menunggu sampai suatu negara pihak siap melakukan isi suatu perangkat internasional, daripada negara itu terburu-buru mengesahkannya padahal setelah disahkan sesungguhnya belum siap untuk melaksanakannya. ICCPR yang mulai berlaku tanggal 23 Maret 1976 sesuai dengan pasal 49 ICCPR, terdiri dari enam bagian dan memuat 53 pasal. Dari ke-53 pasal tersebut terdapat beberapa ketentuan yang meminta negara pihak untuk menjamin hak-hak sipil dan politik warganya. Karena ketentuan dalam ICCPR ini adalah ketentuan pokok, maka di dalam perkembangannya beberapa jaminan itu dikembangkan lagi di kemudian hari ke dalam beberapa konvensi baru. Sebagai contoh Deklarasi Universal HAM tahun 1948 13 yang sudah diter10 Disadur dari : Promoting and Defending Economic,
Social and Cultural Rights: A Handbook, Chapter 2, by Allan McChesney, published by AAAS and HURIDOCS, 2000 Washington, DC, online: AAAS Huridocs: http://shr.aaas.org/escr/handbook/. 11 Fact Sheet No.19, National Institutions for the Promotion and Protection of Human Rights. Office of the High Commissioner for Human Rights. (http:// www.unhchr.ch/html/menu6/2/fs19.htm). 12 http://www.ohchr.org/english/countries/ratification/ 4.htm. 13 Paragraf 5 Deklarasi Universal HAM Tahun 1948. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
jemahkan ke dalam lebih 300 bahasa (termasuk bahasa Bali, Jawa, Madura, Sunda, dan Bahasa Indonesia) antara lain memuat deklarasi atau pernyataan yang menyatakan persamaan hak antara pria dan wanita. Pasal 16 DUHAM juga menyatakan bahwa wanita dewasa mempunyai hak yang sama untuk kawin dan membentuk keluarga, serta mempunyai hak yang sama di dalam perkawinan, baik sewaktu perkawinan maupun setelah perkawinan, termasuk apabila bercerai. Namun pernyataan tersebut tidak mengikat secara hukum, sehingga diperlukan suatu ketentuan yang bersifat mengikat secara hukum. Ketentuan yang berupada pernyataan dalam DUHAM tersebut kemudian diatur dalam Pasal 3 ICCPR yang mengikat secara hukum yang menjamin bahwa antara pria dan wanita tidak boleh dilakukan diskriminasi. Sekalipun sudah mengikat secara hukum, namun ketentuan ICCPR tersebut ternyata oleh masyrakat internasional dianggap belum cukup memadai untuk menjamin tidak adanya diskriminasi tersebut. Akhirnya pada tahun 1979 Majelis Umum PBB menerima Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita (CEDAW) yang memuat 30 pasal mengenai ketentuan yang menjamin hak-hak wanita, melalui Resolusi Ma jelis Umum PBB Nomor 34/180 tanggal 18 Desember 1979. Kewajiban lain bagi Pemerintah dengan mengesahkan ICCPR adalah menjamin agar semua bangsa berhak untuk menentukan nasibnya sendiri. 14 Pasal ini mempunyai arti yang sangat penting pada saat perumusan Kovenan tahun 1966, karena ketika itu banyak negara atau bangsa yang masih dijajah dan penjajahan nampaknya masih dianggap sesuatu yang lumrah. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Selanjutnya negara pihak pada ICCPR mempunyai kewajiban untuk menghormati hak-hak asasi manusia sebagaimana diakui oleh Kovenan dan menjamin bahwa pelaksanaannya tidak akan diskriminatif baik berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik ataupun pandangan lainnya, asal usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran atau status lainnya. 15 Begitu pentingnya ketentuan ini sehingga pada tahun 1966 lahirlah Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial Dalam Segala Bentuknya. 16 Negara pihak juga diharapkan memberikan perlindungan atas hak untuk hidup,17 hak untuk tidak disiksa; 18 pelarangan terhadap perbudakan, 19 penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang;20 perlakuan yang manusiawi,21 kebebasan bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggal,22 dan batasan-batasan untuk melakukan pengusiran orang-orang asing secara hukum dari negara pihak. 23 Di samping itu ICCPR memberikan kewajiban bagi negara pihak untuk menerapkan persamaan setiap orang di depan hukum, pelarangan peraturan perundang-undangan kriminal yang bersifat retroaktif,24 pelarangan campur tangan tanpa dasar hukum atas privasi, keluarga, rumah, suratmenyurat seseorang dan serangan 14 Pasal 1 ICCPR. 15 Pasal 2 ICCPR. 16 Diterima oleh Majelis Umum PBB melalui resolusi
no.2106 (XX) tanggal 21 Desember 1965. 17 Pasal 6 ICCPR. 18 Pasal 7 ICCPR. 19 Pasal 8 ICCPR. 20 Pasal 9 ICCPR. 21 Pasal 10 ICCPR. 22 Pasal 11 ICCPR. 23 Pasal 13 ICCPR. 24 Pasal 14 ICPPR.
41
tanpa dasar hukum atas kehormatan dan reputasinya,25 perlindungan terhadap hak untuk kebebasan berpikir, hati nurani (conscience) dan agama,26 serta kebebasan berpendapat dan berekspresi.27 Selanjutnya ICCPR mengharapkan negara pihak untuk mengakui hak berkumpul secara damai,28 hak kebebasan untuk bersekutu, 29 hak pria dan wanita atau usia kawin untuk menikah dan mendirikan suatu keluarga dan prinsip persamaan atas hak-hak dan kewajiban pasangan suatu perkawinan juga diatur dalam bagian ini. 30 Di samping itu ICCPR juga meletakkan landasan bagi perlindungan hakhak untuk anak-anak, 31 pengakuan terhadap hak dari setiap warga negara untuk mengambil bagian dalam pelayanan umum, serta memilih dan dipilih.32 Selanjutnya diatur agar semua orang mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum,33 serta perlindungan terhadap kelompok minoritas.34 Jika Negara pihak pada ICCPR belum memiliki peraturan perundang-undangan atau kebijakan yang mengatur jaminan terhadap hak-hak tersebut, maka Negara dimaksud diwajibkan untuk membuat ketentuan atau kebi jakan baru sehingga hak-hak yang ditaur dalam kovenan dapat dijamin atau dilindungi. Hal ini akan menjadi tantangan bukan saja bagi Indonesia, tetapi bagi negara manapun yang telah meratifikasi kovenan dimaksud.
b. Kewajiban Pelaporan Pelaksanaan ICCPR Salah satu kewajiban Pemerintah yang timbul akibat pengesahan ICCPR 35 adalah kesediaan Pemerintah menyampaikan laporan pelaksanaannya 42
kepada Sekjen PBB. Sekjen PBB kemudian akan menyerahkan laporan tersebut kepada Komite Hak Asasi Manusia36 yang dibentuk para negara pihak untuk mengawasi pelaksanaan kovenan.37 Tahun 2006 Komite HAM yang terdiri dari 18 anggota dalam kapasitas pribadi, diketuai oleh Ms Christine Chanet (Perancis) yang masa keanggotaannya berakhir tanggal 31 Desember 2006. 38 Sesuai dengan pasal 40 ICCPR, Laporan Pendahuluan (initial report) pelaksanaan Kovenan sudah harus disampaikan kepada Sekjen PBB dalam kurun waktu satu tahun setelah Kovenan berlaku bagi negara pihak. Setelah itu kewajiban pelaporan Negara pihak tergantung pada permintaan Komite. Terdapat pemikiran di kalangan masyarakat hukum Indonesia bahwa dengan mengesahkan suatu perangkat hukum internasional seperti traktat, 25 Pasal 17 ICCPR. 26 Pasal 18 ICCPR. 27 Pasal 19 ICCPR. 28 Pasal 21 ICCPR. 29 Pasal 22 ICCPR. 30 Pasal 23 ICCPR. 31 Pasal 24 ICCPR. 32 Pasal 25 ICCPR. 33 Pasal 26 ICCPR. 34 Pasal 27 ICCPR. 35 Pasal 40 ICCPR. 36 Komite HAM berbeda dengan Komisi HAM. Komite
HAM merupakan Komite yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan ICCPR oleh negara-negara pihak pada ICCPR dan anggotanya merupakan individu-individu dalam kapasitas pribadi. Sedangkan Komisi HAM adalah badan PBB di bawah ECOSOC di bidang HAM yang terdiri dari 53 negara anggota. Komisi HAM ini kemudian dibubarkan tanggal 16 Juni 2006 dan digantikan oleh Dewan HAM di bawah Majelis Umum PBB dengan 47 negara anggota. 37 Pasal 28 ICCPR. 38 http://www.ohchr.org/english/bodies/hrc/members.htm. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
konvensi atau kovenan internasional, bukan berarti bahwa perangkat internasional tersebut sudah berlaku bagi Indonesia; masih diperlukan peraturan pemerintah untuk melaksanakannya. Pendapat semacam ini sesungguhnya dapat merugikan Negara pihak karena dapat dianggap tidak sungguh-sungguh atau tulus melaksanakan isi perangkat internasional. Sebaliknya terdapat pandangan lain yang mengatakan bahwa kalau perangkat hukum internasional sudah disahkan melalui peraturan perundangundangan yang sah, maka perangkat internasional tersebut sudah berlaku. Terlepas dari kebenaran dua pandangan di atas, namun di dalam kenyataannya dengan adanya kewajiban negara pihak untuk menyampaikan laporan pelaksanaan perangkat internasional tersebut, maka sesungguhnya ada atau tidaknya peraturan pemerintah sebagai pelaksana undang-undang dimaksud tidak merupakan masalah mengingat di dalam penyusunan laporan dimaksud tedapat ukuran atau patokan yang sangat rinci yang dibuat oleh Komite pengawas mengenai pelaksanaan perangkat internasional tersebut.
peraturan pemerintah sebagai pelaksanaannya. Yang lebih penting adalah bagaimana seoptimal mungkin menerapkan, bahkan memanfaatkan perangkat tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak. ICCPR juga memuat ketentuan-ketentuan mengenai pembentukan Komite Hak-hak Asasi Manusia. 39 Para anggotanya dipilih dari calon-calon negaranegara pihak dalam kapasitas pribadi, secara rahasia dan calon-calon negara pihak (dua tiap negara) berhak untuk dipilih kembali. Proses pencalonan pemilihan calon dengan suara terbanyak oleh wakil-wakil negara-negara pihak didasarkan pada keseimbangan geografis, peradaban dan sistem hukum. Bagian ini juga memuat berbagai ketentuan tentang Komite yang akan mengawasi pelaksanaan ICCPR, termasuk di dalamnya mengenai nominasi anggota, fasilitas, tempat pertemuan, pengambilan sumpah, pemilihan pegawai, pembuatan anggaran rumah tangga, dan penetapan quorum, serta kewajiban negara pihak untuk menyampaikan laporan pelaksanaan kovenan satu tahun setelah berlakunya kovenan di negara pihak.
Bahkan bukan saja Komite akan menganggap negara pihak hanya men jadikan upaya pengesahan sebagai retorika saja, tetapi sekalipun negara pihak sudah berupaya optimal, namun Komite akan melihat secara kritis apa yang dilakukan oleh negara pihak dan apa kekurangannya. Hal itu kemudian akan tercermin dalam kesimpulan Komite mengenai pelaksanaan kovenan di negara yang bersangkutan.
Di samping itu, bagian ini juga memuat kewajiban Komite untuk memperoleh hasil penelitian atas laporan kepada Sekjen PBB dan tanggapan negara pihak atas laporan Komite tersebut. Bagian ini juga meminta negara pihak mendeklarasikan pengakuan kepada Komite untuk menerima pengaduan, pembentukan Komisi Konsiliasi (conciliation commission) oleh Komite.
Sebaiknya Indonesia tidak perlu mempertentangkan apakah perangkat internasional yang sudah disahkan sudah berlaku atau belum tanpa adanya
Selanjutnya bagian ini memuat ketentuan tentang anggota-anggota Komite
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
39 Bagian IV (Pasal 28-47) ICCPR.
43
dan Komisi Konsiliasi, fasilitas, imunitas dan keistimewaan mereka sesuai dengan Konvensi mengenai keistimewaan dan imunitas PBB. Ketentuan untuk pelaksanaan kovenan tidak dipertentangkan dengan ketentuan-ketentuan HAM yang telah ada di dalam peraturan perundang-undangan, laporan kegiatan tahunan Komite kepada Sidang Umum PBB, ketentuan-ketentuan kovenan agar tidak dipisahkan dari Piagam PBB dan konstitusi badan-badan PBB lainnya, serta pen jelasan mengenai keberadaan kovenan yang tidak boleh dipertentangkan dengan hak-hak rakyat untuk menikmati kekayaan alam mereka.
c. Indonesia dan ICCPR Membicarakan latar belakang sejarah dan perkembangan HAM di Indonesia selalu tidak mudah. Namun menjelang berdirinya Indonesia sebenarnya para pendiri bangsa telah melakukan perdebatan tentang HAM yang kemudian tercermin dari diterimanya beberapa pasal mengenai HAM dalam UUD 1945.40 Awal-awal kehidupan bernegara sesungguhnya merupakan saatsaat penentuan sekaligus pelaksanaan hak-hak sipil dan politik di Indonesia. Masyarakat Indonesia patut bersyukur bahwa para pendiri bangsa mampu mempunyai pemikiran yang luas dan jauh ke depan sehingga sejak kemerdekaan tahun 1945 telah meletakkan dan memikirkan hak-hak sipil dan politik warga negara Indonesia yang kiranya sejalan, atau setidaknya tidak bertentangan, dengan jiwa Deklarasi Umum HAM maupun ICCPR. Pelaksanaan HAM dalam sejarah Indonesia menunjukkan grafik naik turun. Segera setelah merdeka Indonesia dianggap negara yang menghormati HAM. Bahkan di masa Republik 44
Indonesia Serikat (RIS) (27 Desember 1949-15 Agustus 1950) pengakuan dan penghormatan HAM sangat maju dengan dicantumkannya 35 pasal dalam konstitusi RIS dari keseluruhan 197 pasal, atau sekitar 18 persen yang mengatur HAM. Dalam masa UndangUndang Dasar Sementara RI (UUDSRI), 15 Agustus 1950-4 Juli 1959 bahkan lebih maju lagi dengan dicantumkannya 38 pasal dalam UUDS RI (dari keseluruhan 146 pasal, atau sekitar 26 persen). Namun sejak berlakunya kembali UUD 1945 pada 5 Juli 1959 Indonesia mengalami kemunduran dalam penikmatan HAM-nya. Bahkan sejak 1966 hingga akhir Orde Baru bangsa Indonesia mengalami kemunduran dalam penikmatan HAM-nya di semua bidang yang diakui oleh UUD 1945.41 Barulah sejak era reformasi tahun 1997 penghormatan HAM di tanah ai semakin membaik. Melihat berbagai kemajuan di Tanah Air di berbagai bidang kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya, terutama setelah era reformasi tahun 1999, banyak negara yang menganggap bahwa Indonesia sudah sejak lama meratifikasi kedua kovenan tersebut. Karena itu banyak negara yang meminta dukungan Indonesia terhadap pencalonannya di Komite HAM yang pemilihannya hanya ditentukan oleh negara-ne40 Dr. N. Hassan Wirajuda. Pandangan Dunia Inter-
nasional Terhadap Perkembangan HAM di Indonesia. pidato pada Rapat Koordinasi Panitia RAN HAM Daerah Kawasan Timur Indonesia, Surabaya 2006. 41 Dr Enny Soeprapto. Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Makalah guna memenuhi permintaan Dewan Perwakilan Rakyat RI sehubungan dengan pembahasan dan pemilihan Calon Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 11 Maret 2002. (http:/ /72.14.203.104/search?q=cache:mEqseaJ3zCIJ:portal.komnasham.go.id/pls/portal/url/ITEM/ FCB23A753754E5BFE030010A3001576D+ komnas+ham+iccpr&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=4)
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
gara yang sudah menjadi pihak pada kovenan tersebut. Hal itu terjadi mungkin karena melihat sendiri berbagai contoh nyata yang sering dianggap sebagai pencerminan kedua kovenan tersebut di tanah air. Misalnya pelaksanaan pemilu yang demokratis khususnya tahun 2004 lalu, membuat mereka berpikir bahwa Indonesia pasti sudah menjadi pihak pada kedua kovenan sehingga mampu melaksanakan pemilu sedemokratis itu. Termasuk ketika Indonesia sempat dianggap sebagai negara paling bebas di bidang pers di kawasan Asia.42 Sebagaimana diketahui, Indonesia dibangun berlandaskan pada penghormatan HAM. Indonesia telah berjuang selama kurang lebih 350 tahun untuk melawan penjajahan atau memperjuangkan hak untuk merdeka yang kemudian diakui oleh PBB sebagai salah satu HAM penting. HAM penting tersebut kemudian dipatrikan dalam kedua Kovenan ini pada tahun 1966 sebagai hak menentukan nasib sendiri (selfdetermination). Sesungguhnya perjuangan dan perlindungan HAM di Indonesia tidak pernah berubah. Namun hanya pelaksanaannya yang berbeda bahkan timbul kesan seolah-olah penghormatan HAM itu tidak penting bagi Indonesia. Namun pandangan ini sebenarnya keliru karena upaya pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia sebenarnya telah dilaksanakan sejak Republik ini berdiri dengan dibangunnya landasan konstitusional UUD 1945 dan landasan idiil Pancasila. 42 Dalam Siaran Pers Freedom House New York tang-
gal 19 Desember 2005 status kebebasan pers Indonesia untuk tahun 2006 meningkat dari “sebagian bebas” menjadi “bebas.” (http://www.freedomhouse.org/template.cfm?page=70&release=317).
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Gerakan reformasi yang dimulai tahun 1997 telah membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk melakukan koreksi terhadap sistem dan praktekpraktek masa lalu, terutama untuk kembali menjunjung tinggi dan menegakkan penghormatan HAM sebagaimana telah diamanatkan MPR dalam ketetapannya tahun 1998 yang juga memuat Piagam HAM Indonesia (TAP MPR No. VII/MPR/1998). Sayangnya TAP MPR ini kemudian dicabut dan dianggap tidak berlaku karena materinya dianggap telah diatur dalam peraturan perundang-undangan khususnya Amandemen UUD 1945, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan menetapkan peraturan tersebut Indonesia semakin mengokohkan upaya pemajuan dan perlindungan HAM yakni dengan menjamin bahwa setiap pelaku pelanggaran HAM akan diajukan ke pengadilan khusus (Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). Masih dalam semangat reformasi itu pula, Indonesia mencanangkan Rencana Aksi Nasional di bidang HAM 1998-2003 (melalui Keppres No. 129 tahun 1998). Selain itu, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat pada tanggal 28 September 1998 (melalui UU Nomor 5 Tahun 1998). Komitmen Indonesia untuk pemajuan dan perlindungan HAM juga telah ditunjukkan melalui pengesahan beberapa Konvensi Internasional di bidang HAM lainnya seperti Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial pada
45
tanggal 25 Mei 1999 (melalui UndangUndang No. 29 tahun 1999). Hal yang tidak kalah penting dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia adalah perhatian khusus para anggota MPR untuk memasukkan pasal-pasal tambahan menyangkut HAM pada amendemen ke4 UUD 1945. Dengan demikian secara konstitusi dan peraturan perundangundangan, jaminan penghormatan HAM di Indonesia kini sudah sangat baik. Dengan demikian, apabila masyarakat internasional mempunyai prasasti HAM internasional, maka Indonesia juga kiranya memiliki prasasti HAM nasional yakni UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Prasasti HAM nasional ini merupakan modal penting bagi generasi mendatang dalam upaya memajukan dan melindungi HAM bagi seluruh warga Indonesia. Dalam semangat ingin menerapkan ICCPR yang sudah menjadi bagian hukum nasional melalui UU No. 12 Tahun 2005, Pemerintah saat ini telah menyiapkan laporan pelaksanaan ICCPR dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan HAM di tanah air. Sebuah Tim interdepartemen plus telah disiapkan sejak Februari 2006 dengan demikian diharapkan laporan dimaksud dapat disampaikan Pemerintah tepat pada waktunya.
III. Penutup Langkah yang diambil oleh Pemerintah dan DPR untuk mengesahkan ICCPR tahun 2005 kiranya sudah tepat dan pasti akan sangat bermanfaat bagi upaya pema juan dan perlindungan HAM di tanah air, sekaligus peningkatan citra Indonesia di mata masyarakat internasional. Namun pengesahan ICCPR tersebut sekalipun merupakan langkah yang sangat penting dan telah melewati rintangan yang tidak ringan, namun masih banyak yang perlu ditindak-lanjuti oleh seluruh pemangku kepentingan HAM di tanah air, khususnya Pemerintah. Sebagaimana dikemukakan oleh Menlu RI bahwa terpilihnya Indonesia dalam Dewan HAM tahun 2006 merupakan pengakuan internasional atas kemajuan demokrasi dan HAM di tanah air, termasuk langkah-langkah yang diambil Pemerintah seperti pengesahan konvensi HAM internasional. Namun keanggotaan Indonesia pada Dewan HAM ini juga membawa kewajiban bagi Pemerintah Indonesia untuk bersama-sama semua pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya memperkuat upaya pemajuan dan perlindungan HAM di dalam negeri.43 Guna menindak-lanjuti pelaksanaan ICCPR yang sudah disahkan tahun 2005 tersebut kiranya seluruh aparat pemerintah, pengusaha dan lapisan masyarakat perlu melakukan upaya optimal agar mengetahui dan memahami serta menjamin pelaksanaan hak-hak sipil dan politik yang diatur dalam ICCPR tersebut.
43 Media Indonesia, 12 Mei 2006.
46
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
DAFTAR PUSTAKA Fact Sheet No.19, National Institutions for the Promotion and Protection of Human Rights. Office of the High Commissioner for Human Rights. (http://www.unhchr.ch/html/menu6/ 2/fs19.htm). Indonesia and the United Nations: Working for Peace and Development. Permanent Mission of the Republic of Indonesia to the United Nations. New York. Initial edition 2005. Media Indonesia, 12 Mei 2006. Promoting and Defending Economic, Social and Cultural Rights: A Handbook, Chapter 2, by Allan McChesney, published by AAAS and HURIDOCS, 2000 Washington, DC, online: AAAS Huridocs: http://shr.aaas.org/escr/ handbook/. Rencana Aksi Hak Asasi Manusia Indonesia 2004-2009, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, Departemen Hukum dan HAM. Resolusi Majelis Umum PBB No. 2200A (XXI) tanggal 16 Desember 1966. Siaran Pers Freedom House New York tanggal 19 Desember 2005 tentang status kebebasan pers Indonesia untuk tahun 2006 meningkat dari “sebagian bebas” menjadi “bebas”. (http:/ /www.freedomhouse.org/template.cfm? page=70 & release=317).
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Soeprapto, Enny. Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Makalah guna memenuhi permintaan Dewan Perwakilan Rakyat RI sehubungan dengan pembahasan dan pemilihan Calon Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 11 Maret 2002.(http://72.14.203. 104/search? q=cache:mEqseaJ3z CIJ: portal. komnasham.go.id/pls/portal/url/ITEM/ FCB23A753754E5BFE030010A3001 576D+ komnas+ham+iccpr&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=4) The Indonesian National Plan of Action on Human Rights 1998-2003, Jakarta 25 June 1998. Direktorat Organisasi Internasional. The Indonesian National Plan of Action on Human Rights 1998-2003 (Revisi), Jakarta 25 Juni 1998. Direktorat Organisasi Internasional. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri. 2006. Wirajuda, N. Hassan. Pandangan Dunia Internasional Terhadap Perkembangan HAM di Indonesia. Pidato pada Rapat Koordinasi Panitia RAN HAM Daerah Kawasan Timur Indonesia, Surabaya 2006.
47
PROSPEK DAN TANTANGAN IMPLEMENTASI ICCPR Hendardi
Abstract Ratification of the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) is considered as an important achievement of the human rights struggle in Indonesia. Despite of this progressive episode in the history of human rights development in Indonesia, the prospect of its implementation remains uncertain, whereas the victims of human rights violations in this country still await for the settlement of their cases. The challenges faced by the Indonesian Government to comply with its international legal obligations has to be dealt with the continuity of legal reform and immediate realization of the provisions in ICCPR as well as the socialization of the Covenant itself. In doing so, necessary infrastructure should be provided and further promotion of the Covenant should be advanced. Negara Republik Indonesia (RI) telah meratifikasi dua perjanjian internasional tentang hak-hak manusia (human rights)1 – Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya ( International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights – ICESCR) serta Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik ( International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR) – pada 30 September 2005 melalui proses legislasi yang disetujui DPR.2 Pada 28 Oktober 2005, ICESCR disahkan menjadi UU No. 11/2005 dan ICCPR menjadi UU No. 12/2005. 3 Selain menjadi bagian dari sistem hukum nasional, kedua kovenan ini sekaligus melengkapi empat perjanjian pokok yang telah diratifikasi sebelumnya, yaitu CEDAW (penghapusan diskriminasi perempuan), CRC (anak), CAT (penyiksaan), dan CERD (penghapusan diskriminasi rasial). Ratifikasi itu menimbulkan konsekuensi terhadap pelaksanaan hak-hak manusia, karena Negara RI telah mengikatkan diri secara hukum.4 Pertama, kewajiban untuk mengadopsi perjanjian yang telah dirati48
fikasi ini ke dalam perundang-undangan baik yang dirancang maupun yang telah diberlakukan sebagai UU. Kedua, mengambil langkah-langkah dan kebijakan dalam melaksanakan kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfil) hak-hak manusia. Ketiga, membuat laporan yang bertalian dengan penyesuaian hukum, langkah-langkah, kebijakan dan tindakan yang dilakukan 1 Terjemahan yang tepat dari human rights adalah hak-
hak manusia tanpa kata “asasi”, agar menghilangkan kesan seolah-olah ada hak-hak yang “tak asasi”. 2 Lihat “Dua Kovenan HAM Diratifikasi, Dengan Reservasi pada Hak Menentukan Nasib Sendiri,” Kompas, Sabtu, 1 Oktober 2005; “Indonesia Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik,” Suara Pembaruan, Sabtu, 1 Oktober 2005. 3 Pengesahan ini ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin. UU No. 11 tercantum dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 118 3 serta UU No. 12 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119 3. 4 Ratifikasi adalah tingkatan paling kuat dalam perikatan yang dilakukan setiap negara. Selain mengikat secara hukum, juga ada ikatan lainnya, yaitu terikat secara moral (deklarasi) dan secara politik (menandatangani). JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
maupun hasil-hasil yang dicapai dalam implementasi perjanjian tersebut kepada badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) – disebut Komite – yang menangani perjan jian tersebut. 5 Perihal yang akan dibahas dalam tulisan ini bertalian dengan hambatan atau tantangan atas pelaksanaan ICCPR di Indonesia. Apakah terdapat hambatan dari aparat negara (state apparatus)? Apakah ada kemungkinan diambil langkah yang lebih maju untuk meratifikasi Protokol Opsional ICCPR? Setelah itu, akan dibayangkan bagaimana prospek dalam pelaksanaan kewa jiban negara untuk menghormati dan melindungi hak-hak sipil dan politik sebagaimana yang terkandung dalam ICCPR atau UU No. 12/2005?
Konsekuensi ratifikasi ICCPR Kini persoalan hak-hak manusia di Indonesia telah memasuki tahap di mana kebutuhan untuk menerapkannya telah melampaui kepentingan untuk memperdebatkannya. Serangkain kontradiksi dalam realitas sosio-ekonomi dan sosio-politik yang sebelumnya hanya dibahas dan diprediksi secara akademis di lembaga-lembaga studi, kini telah meningkat menjadi kenyataan sosiologis yang keras dan kongkrit seperti yang dirasakan sebagian orang dalam kasus-kasus perselisihan perburuhan, konflik pertanahan atau penghancuran rumahrumah penduduk dan pendidikan maupun kebebasan bergerak, berpendapat, berkumpul, berserikat, partisipasi dalam politik, serta penyiksaan, hukuman mati atau pembunuhan di luar proses hukum. 6 Setelah diratifikasinya ICCPR menjadi UU – perjanjian internasional yang diadopsi PBB pada 16 Desember 1966 dan mulai berlaku sejak 1976 – maka segera dengan itu ia menjadi ketentuan hukum yang berlaku di seluruh Indonesia. RI sendiri menjadi negara peserta (state party) dalam perjanjian JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
ini yang bersifat mengikat secara hukum. 7 Dalam konsep dan norma hak-hak manusia, wilayah relasi hak (right) dan kewajiban (obligation) diletakkan dalam hubungan hukum antara individu sebagai pemegang hak dengan negara sebagai pengemban/pelaksana kewajiban.8 Di sinilah prinsip kewajiban negara (state obligation) diletakkan dengan beberapa konsekuensinya. Dengan begitu, tanggung jawab dalam implementasi hak-hak sipil dan politik – sebagaimana juga hak-hak ekonomi, sosial dan budaya – berada di pundak negara. Pertama, setiap orang dapat berpegang pada UU No. 12/2005 sebagai hak-hak sipil dan politik yang dijamin, terlepas UUD 1945 (telah diamandemen empat kali) dan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) maupun ratifikasi CAT dan ICERD dalam memajukan atau memperjuangkan posisi individu dengan hak-hak sipil dan politiknya di hadapan kekuasaan negara (state power) maupun orang lain. Hak-hak ini mencakup mulai dari hak untuk hidup (right to life) hingga hak untuk menikah dan membentuk keluarga ataupun hak kelompok minoritas. Dalam ratifikasi ICCPR, memang terdapat pernyataan (declaration) 5 Hikmahanto Juwana, “Konsekuensi Ratifikasi
ICCPR,” Kompas, Rabu, 8 Juni 2005. 6 Lihat Rocky Gerung, “The Age of Rights,” Imparsial,
No. 2, Vol. 1, Januari 1997. Judul ini sama seperti yang ditulis Norberto Bobbio, The Age of Rights, London: Cambridge University, 1996. Bobbio mengandaikan masa kini memasuki zaman hak. 7 Dalam konsep dan norma hak-hak manusia, wilayah relasi diletakkan antara individu (manusia) dan negara (state). Dasar hukumnya adalah perjanjian internasional di mana negara-negaralah yang mengikat janji. Dari janji inilah timbul kewajiban (obligation) pada negara-negara dan sekaligus tanggung jawab (responsibility) bertalian dengan pelaksanaan kewajiban. Hak negara hanya sesama negara-negara yang menjadi peserta – bukan hak negara atas individu. 8 Relasi yang diletakkan berada dalam wilayah hukumnya adalah perjanjian internasional tentang hak-hak manusia (international law of human rights). Wilayah hukum yan lain, tentu saja lain lagi relasinya seperti halnya Konvensi (Perjanjian) Geneva yang dikenal juga sebagai hukum kebiasaan perang (humaniter).
49
yang menihilkan Pasal 1 mengenai hak untuk menentukan nasib sendiri (right (right to self-determination)) sebagai upaya menceself-determination gah disintegrasi dan sekaligus “senjata pemukul” bagi gerakan separatisme.9 Kedua, negara berkewajiban melindungi Kedua, atau menjamin hak-hak sipil dan politik yang tercantum dalam ICCPR mulai dari hak-hak untuk hidup dan tidak disiksa hingga hak-hak kelompok minoritas dan orang yang dirampas kemerdekaannya karena suatu tindak pidana.10 Kewajiban ini pertama-tama bertalian dengan langkah yang harus dijalankan untuk melakukan pembenahan secara substansial dari segi perundang-undangan atau sistem hukum. Setiap rancangan UU harus disesuaikan atau merujuk pada ICCPR, sementara ketentuan-ketentuan hukum yang tak sesuai dengannya harus dibongkar atau direvisi. Dengan begitu, seharusnya tak ada lagi kandungan dalam ketentuan hukum yang bertentangan atau menyalahi ICCPR. Di sinilah arti penting transformasi ICCPR ke dalam hukum nasional. Ketiga, selain kewajiban negara dalam Ketiga, menyesuaikan perundang-undangan dengan ICCPR setelah meratifikasi, juga kewa jiban dalam implementasinya. Negara RI beserta semua aparatnya diharapkan menunaikan kewajiban untuk menghormati dan melindungi hak-hak sipil dan politik tanpa diskriminasi. Negara menghormati hak-hak setiap orang tanpa melakukan campur tangan dengan berdasarkan atas ICCPR dan UUD (konstitusi). Campur tangan terbatas dapat dilakukan untuk melindungi hak setiap orang seperti mencegah tindakan sekelompok orang yang sewenangwenang dan menyeret orang yang diduga melakukan tindak pidana ke muka hukum. Mengenai pembatasan (limitation ( limitation)) atau pengekangan (restriction (restriction)) hak-hak dan kebebasan – tergolong hak-hak dan kebebasan rights) yang boleh ditangguhkan (derogable (derogable rights) – hanya dapat dilakukan dalam situasi atau 50
alasan tertentu berdasarkan UU. Keempat, ratifikasi juga menambah ke Keempat, wajiban pemerintah RI untuk melaporkan langkah-langkah, kebijakan dan tindakan yang dijalankan kepada Komite Hak Manusia PBB.11 Secara regular, pemerintah membuat laporan dalam periode empat tahun sekali. Isinya mencakup langkah-langkah dan kebijakan apa yang telah diambil, serta bagaimana hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan hak-hak sipil dan politik di Indonesia. Apakah terdapat kemajuan baik langkah yang telah diambil maupun pelaksanaan hak-hak sipil dan politik. Bisa saja yang terjadi adalah kemajuan dalam langkah-langkahnya, tapi lemah atau gagal dalam implementasinya. Dalam implementasi ini akan tampak apakah negara tidak mau (unwilling unwilling)) atau tidak mampu (inability (inability)) menunaikan kewajibannya. Dalam hak-hak sipil dan politik, ada batas antara hak-hak yang tak dapat ditangguhkan (non-derogable (non-derogable rights) rights ) dengan hakhak yang dapat ditangguhkan. Yang termasuk dalam kategori hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak, hak atas kebebasan berpikir dan beragama serta berkeyakinan, hak untuk diperlakukan sama di muka hukum, hak untuk tidak dipenjara karena kegagalan memenuhi kewajiban kontraktual, serta hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut (ret( retroactive). roactive ).12 Mengenai implementasi antara 9 Lihat “Ratifikasi Dua Kovenan Internasional Dinilai
Setengah Hati,” Hukumonline.com, Kamis, 29 September 2005; “Ratifikasi 2 Kovenan HAM oleh RI Dianggap Masih Setengah Hati,” detikInet, Kamis , 29/09/2005 14:25 WIB. 10 Hikmahanto Juwana, Op. cit. 11 Hikmahanto Juwana, Ibid. 12 Harry Wibowo, “Hak-hak Manusia: Menjernihkan Berbagai Konsep Dasar,” makalah yang disampaikan dalam Pelatihan Investigasi yang diselenggarakan PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia) pada 27-30 Desember 2005 di Megamendung Permai, Megamendung, Bogor. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Tabel 1: Hak-hak yang Dijamin dan Dilindungi UU No. 12/2005 No Pasal 1 Pa Passal 6 2
Pasa Pa sall 7
3
Passal 8 Pa
4
Passal 9 Pa
5
Pasa Pa sall 10
6
Pasa Pa sall 11 11
7
Pasa Pa sall 12
8
Pasa Pa sall 13
9
Pasa Pa sall 14 14
10 Pas Pasal al 15
11 Pa Pasa sall 16 12 Pas Pasal al 17
13 Pa Pasa sall 18 14 Pa Pasa sall 19
15 Pas Pasal al 20 16 Pa Pasa sall 21
Hak-hak Sipil dan Politik Hak un untu tuk k hid hidu up (ti (tida dak k dib dibun unu uh/ h/di dihu huku kum m mat matii set setid idak akn nya ba bagi gi ana nak k di bawah 18 tahun) Hak Ha k un untu tuk k ti tida dak k di disi siks ksa, a, di dipe perl rlak akuk ukan an at atau au di dihu huku kum m se seca cara ra ke keji ji,, ta tak k manusiawi atau merendahkan martabat manusia (termasuk tidak diculik/dihilangkan secara paksa, diperkosa) Hak Ha k unt untuk uk ti tida dak k dip diper erbu buda dak k (la (lara rang ngan an se sege gela la be bent ntuk uk pe perb rbud udak akan an,, perdagangan orang, dan kerja paksa,) Hak ata tass ke kebe beba basa san n dan dan ke keam ama ana nan n pri priba badi di (ti (tida dak k dit ditan angk gkap ap at ata au diditahan dengan sewenang-wenang, didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana) Hak Ha k seba sebaga gaii ters tersan angk gka a dan dan terd terdak akwa wa (di (dipe perl rlak akuk ukan an man manus usia iawi wi,, anak anak dipisahkan dari orang dewasa, sistem penjara p enjara bertujuan reformasi dan rehabilitasi) Hak Ha k untu untuk k tida tidak k dipe dipenj njar ara a atas atas keg kegag agal alan an mem memen enuh uhii kewa kewaji jiba ban n konkontraktual (utang atau perjanjian lainnya) Hak Ha k ata atass ke kebe beba basa san n be berg rger erak ak da dan n ber berdo domi misi sili li (t (ter erma masu suk k me meni ning ngga galk lkan an dan kembali ke negerinya sendiri) Hak Ha k seb sebag agai ai or oran ang g asi asing ng (d (dap apat at diu diusi sirr han hanya ya se sesu suai ai hu huku kum m ata atau u ala alasa san n yang meyakinkan mengenai kepentingan keamanan nasional) Hak Ha k ata atass ked kedud uduk ukan an ya yang ng sa sama ma di mu muka ka hu huku kum m (di (dibu bukt ktik ikan an ke kesa sala lahhannya oleh pengadilan yang berwenang dan tidak memihak, jaminan minimal, dapat ditinjau kembali, tidak diadili dua kali dalam perkara yang sama) Hak un untuk tuk tid tidak ak dip dipida idana na be berda rdasa sarka rkan n huku hukum m yan yang g berl berlak aku u sur surut ut (j (jika ika keluar ketentuan hukum sebelum tindak pidana, si pelaku harus mendapatkan keringanannya) Hak Ha k seba sebaga gaii suby subyek ek huk hukum um (ha (hak k perd perdat ata a seti setiap ap ora orang ng sep seper erti ti kew kewar arga ga-negaraan) Hak Ha k prib pribad adii (tid (tidak ak dic dicam ampu puri ri ata atau u diga digang nggu gu uru urusa san n prib pribad adii sepe sepert rtii kera kera-hasiaan, keluarga atau rumah tangga, kehormatan, surat-menyurat atau komunikasi pribadi) Hak Ha k atas atas keb kebeb ebas asan an ber berpik pikir ir,, bera beraga gama ma dan dan ber berke keya yaki kina nan n (men (menga ganu nutt ideologi atau orientasi politik, memeluk agama dan kepercayaan) Hak Ha k atas atas keb kebeb ebas asan an ber berpe pend ndap apat at (te (term rmas asuk uk men menca cari ri,, mene meneri rima ma dan dan menyebarkan informasi, dalam bentuk karya seni/ekspresi atau melalui sarana lainnya) Hak Ha k unt untuk uk be beba bass dar darii propa propaga gand nda a per peran ang g dan dan has hasut utan an ra rasi sial al (ke (kebe benc ncia ian n atas dasar kebangsaan, ras, agama atau golongan) Hak Ha k atas atas keb kebeb ebas asan an ber berku kump mpul ul (men (menga gada daka kan n pert pertem emua uan, n, ara arakk-ar arak akan an atau keramaian)
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
51
17 Pa Pasa sall 22 18 Pas Pasal al 23 19 Pa Pasa sall 24
20 Pa Pasa sall 25 21 Pa Pasa sall 26 22 Pa Pasa sall 27
Hak atas Hak atas keb kebeb ebas asan an ber berse seri rika katt (ber (berga gabu bung ng dal dalam am per perku kump mpul ulan an,, part partai ai politik atau serikat buruh) Hak Ha k unt untuk uk me meni nika kah h dan dan me memb mben entu tuk k kel kelua uarg rga a (tid (tidak ak dip dipak aksa sa,, ter terma masu suk k tanggung jawab atas anak) Hak Ha k ana anak k unt untuk uk men menda dapa patk tkan an per perlin lindu dung ngan an da dan n jam jamin inan an (s (set etia iap p kela kela-hiran anak didaftarkan dan memperoleh kewarganegaraan tanpa diskriminasi) Hak Ha k untu untuk k berp berpar arti tisi sipa pasi si dal dalam am pol polit itik ik (te (term rmas asuk uk mem memil ilih ih,, dipi dipilih lih da dan n tidak memilih) Hak Ha k untu untuk k beba bebass dari dari dis diskr krim imin inas asii dala dalam m huku hukum m (sem (semua ua ora orang ng dil dilin in-dungi hukum tanpa diskriminasi) Hak Ha k kelo kelomp mpok ok min minor orit itas as (pe (perl rlu u mend mendap apat atka kan n perl perlin indu dung ngan an khu khusu sus) s)
kedua kategori hak-hak ini juga terdapat batas-batasnya, yaitu pada batas mana negara tak melakukan intervensi dan pada batas mana pula intervensi harus dilakukan. Negara tak melakukan intervensi dalam rangka menghormati hak-hak setiap orang, terutama hak-hak yang tak dapat ditangguhkan. Karena campur tangan negara justru mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas hak-hak individu/kelompok. Sebaliknya, intervensi dapat dilakukan atas dua hal; pertama, dalam situasi atau alasan khusus untuk membatasi atau mengekang hak-hak atau kebebasan berdasarkan UU; kedua, dalam rangka untuk menegakkan hukum atau keadilan bagi korban tindak pidana. Karena itu, dalam menghormati dan melindungi hak-hak sipil dan politik, ada dua jenis pelanggaran yang bertalian dengan kewajiban negara. Pertama, seharusnya menghormati hak-hak manusia, tapi negara justru melakukan tindakan yang dilarang atau bertentangan ICCPR melalui campur tangannya dan disebut pelanggaran melalui action). Kedua, sehatindakan (violation (violation by action). rusnya aktif secara terbatas untuk melindungi hak-hak – melalui tindakannya – negara justru tak melakukan apa-apa baik karena lalai dan lupa maupun absent, disebut pelanggaran melalui pembiaran (violation ( violation 52
by omission). omission).13 Jenis pelanggaran lainnya adalah tetap memberlakukan ketentuan hukum yang bertentangan dengan ICCPR yang disebut pelanggaran melalui hukum judicial ). (violation by judicial).
Tantangan Negara Setelah ratifikasi ICCPR, membuat negara RI meningkatkan komitmennya karena telah terikat secara hukum. Segera dengan itu, negara menghadapi tantangan untuk menyiapkan beberapa langkah, dan langkah yang diambil bertalian dengan berbagai persoalan sebagai berikut. Pertama, negara harus melakukan reformasi hukum dengan menerjemahkan prinsip dan ketentuan yang terkandung dalam ICCPR ke dalam hukum nasional. Berbagai peraturan perundang-undangan yang tak sesuai dengan ICCPR haruslah dicabut dan direvisi.14 Begitu juga dengan RUU yang disiapkan seperti perdebatan sengit hingga pengerahan massa serta intimidasi dan teror bertalian bertali an RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, haruslah selaras dengan ICCPR.15 Tantangan ini bukan saja terdapat sekitar 30 persen UU justru bertentangan dengan UUD 1945,16 tapi juga karena dalam menyusun RUU tanpa didasarkan pada kajian mendalam dan berimpit dengan kepentingan politik koalisi.17 JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Tabel 2: Spektrum Hak Individu/Kelompok dan Kewajiban Negara HAK INDIVIDU/KELOMPOK Kebebasan
Kebutuhan
Kebebasan Dasar/Hak yang Tak Dapat Ditangguhkan ( freedom/right in itself )
Kebebasan/Hak Sosial ( freedom/right for itself )
Berhak atas
Mutlak: Tak boleh ditangguhkan (ditunda) maupun dibatasi atau dikekang.
Relatif: Dalam situasi dan alasan tertentu, boleh dibatasi atau dikekang berdasarkan hukum (UU)
Kemauan/niat: Batas minimum tertentu, dapat diundur pemenuhannya berdasarkan prioritas tapi direalisasikan secara bertahap
Melalui: Norma hak-hak manusia, konstitusi
Melalui: Konstitusi, UU, sistem peradilan dan pengadilan
Melalui: Perencanaan, kebijakan, atau program atas sumber daya
Menghormati
Melindungi
Memenuhi
KEWAJIBAN NEGARA (-) Tanpa intervensi (omission)
(+) Intervensi (commission)
Sumber: Harry Wibowo, 2005 13 Harry Wibowo, Ibid. 14 Lihat “Pernyataan Asian Human Rights Commis-
sion: Ratifikasi Instrumen Utama Hak Manusia Harus Ditindaklanjuti dengan Reformasi Hukum,” www.ahrchk.net, Hongkong, 14 Maret 2006. 15 Hikmahanto Juwana, Op. cit; lihat juga “Bahas RUU APP, MUI Akan Kumpulkan 1.000 Ulama di Gontor,” Detikcom, Senin, 22 Mei 2006; “MUI Sayangkan Adanya Penolakan RUU Anti Pornografi,” Detikcom, Senin, 6 Maret 2006; “Hilman Rosyad Syihab, Anggota Pansus RUU APP DPR FPKS: RUU APP Lindungi Kaum Perempuan,” www.fpksdpr.or.id, Jumat, 27 Januari 2006 19:11:53; “30 Elemen Islam Malang Demo Dukung RUU APP,” Detikcom, Rabu, 15 Maret 2006; “MMI: Jika Terus Menolak, Jadikan Bali Daerah Khusus Pornografi,” Detikcom, Rabu, 8 Maret 2006; “DPR Pusing Pro Kontra RUU APP,” Detikcom, Kamis, 9 Maret 2006; “Dari 167 Lembaga Tamu Pansus, 144 Setuju RUU APP,” Detikcom, Kamis, 16 Maret 2006; “Draf RUU APP Adalah Buah dari Sebuah Kemunafikan,” Detikcom, Kamis, 16 Februari 2006; “5000 Orang Akan Demonstrasi Tolak RUU Anti Pornografi,” TEMPO Interaktif, Rabu, 10 Mei 2006 | 13:04 WIB; “Peringati Hari Perempuan, 100 Pendemo Cantik Tolak RUU APP,” Detikcom, Rabu, 8 Maret 2006; “Ratusan Mahasiswa Yogya Demo Tolak RUU APP,” Detikcom, Rabu, 8 Maret 2006; “Aksi Seribu Tayub JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Tolak RUU APP,” Detikcom, Rabu, 15 Maret 2006; “Menolak RUU APP, Aktivis dan Artis Diteror,” Metrotvnews.com, Jumat, 28 April 2006 17:05; “Slamet Rahardjo: RUU APP Tempatkan Perempuan Seolah Hantu,” Detikcom, Minggu, 12 Maret 2006; “RUU Pornografi Berpotensi Jadi Alat Pemerasan Baru,” Detikcom, Kamis, 9 Februari 2006; dan “Gus Dur Siap Upayakan Amandemen Jika RUU APP Jadi UU,” Detikcom, Kamis, 16 Maret 2006. 16 Lihat “Hampir 30 Persen UU Bertentangan dengan Konstitusi,” Sinar Harapan, Jumat, 10 Maret 2006. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqqie melaporkan kepada DPR, dari 77 perkara peninjauan UU (PUU) yang berkenaan dengan 42 UU selama 2003-2006 yang ditangani MK, hampir 30 persen di antaranya berpotensi bertentangan dengan konstitusi. 17 Lihat “Banyak UU Tanpa Kajian: Tidak Ada Desain Besar Legislasi Nasional, Banyak yang Tumpang Tindih,” Kompas, Senin, 8 Mei 2006. Saldi Isra mengemukakan, selain banyak undang-undang lahir tanpa ada penelitian mendalam, juga dilakukan untuk mendukung kebijakan pemerintah baru sehingga banyak UU di Indonesia cepat berubah atau direvisi. Berbeda dengan di Belanda, yang terus melakukan kajian mendalam jika hendak melakukan revisi atau membuat UU. Syamsuddin Haris juga menambahkan, banyak UU tumpang tindih dan banyak yang hanya tambal sulam.
53
Kedua, implementasi berbagai peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada ICCPR. Persoalan yang dihadapi adalah bagaimana aparat penegak hukum (law enforcement officials) memahami berbagai peraturan perundang-undangannya. Tanpa pemahaman yang memadai bagi aparat penegak hukum, maka akan sulit dibayangkan efek ICCPR bagi setiap orang. 18 Satu contoh saja, setelah negara RI meratifikasi CAT (konvensi menentang penyiksaan), dalam pelaksanaannya aparat kepolisian cenderung gagal memperlakukan seorang tersangka secara manusiawi, apalagi tesangka dilumpuhkan dengan menggunakan senjata api.19 Dalam penegakan hukum seharusnya ditekankan standar minimumnya, terutama dalam penggunaan kekuatan dan senjata api.20 Di sinilah pentingnya ditempuh atau diambil langkah-langkah untuk meningkatkan profesionalisme melalui pendidikan dan pelatihan bagi polisi untuk melindungi hak-hak setiap orang yang dirampas kemerdekaannya karena suatu tindak pidana.21 Ketiga, pemerintah ditantang pula untuk melakukan sosialisasi atas ICCPR yang telah diratifikasi, sehingga banyak orang akan mengetahui apa saja hak-hak sipil dan politik yang seharusnya dinikmati. 22 UU No. 12/2005 diberlakukan secara seragam di seluruh negeri dan diharapkan tak ada yang bertentangan dengannya, termasuk yang bertalian dengan kekhawatiran mengenai kelemahan otonomi daerah atau otonomi khusus.23 Beberapa provinsi dan kabupaten pun telah menerapkan pelaksanaan syariat Islam dalam Peraturan Daerah (Perda), bahkan ada yang mengusulkannya dalam revisi KUHP.24 Persoalannya adalah banyak langkah dan kebijakan yang tak konsekuen dari pemerintah dan aparat negara dalam implementasinya, termasuk 18 Hikmahanto Juwana, Op. cit. 19 Lihat “Polisi Tembak Mati Perampas Motor,” TEM-
PO Interaktif, Sabtu, 22 November 2003; “Polisi
54
Tembak Buronan LP Saat Mencoba Melarikan Diri dari Kejaran Petugas,” Cenderawasih Pos, Rabu, 4 Maret 2004; “Polisi Tembak Penjahat Kambuhan,” Sriwijaya Post Online, Rabu, 30 Juni 2004; dan “Polisi Tembak Buron Pelaku Curas,” Republika Online, Kamis, 25 Mei 2006 10:02:05; 20 Empat instrument yang perlu diadopsi adalah (a) Code of Conduct for Law Enforcement Officials, (b) Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials, (c) Principles for Protection of All Persons under Any Form of Detention for Imprisonment, serta (d) Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners. 21 Lihat “Pernyataan Asian Human Rights Commission:…, Op. Cit. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan batu pertama dari seluruh sistem legal, dibuat pada tahun 1918, pada saat kolonial Belanda berkuasa. Di dalamnya berisi banyak pasal yang tidak jelas dan terbelakang, yang berbeda dengan banyak kategori hakhak sipil dan politik. 22 Hak atas kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan sebagai kebebasan mutlak (freedom in itself), masih saja diberlakukan ketentuan TAP MPRS No. XXV/1966 maupun pelarangan suatu ajaran (dikatakan sesat) dan pemidanaan atas orang yang menyebarkannya. 23 Lihat “Pelaksanaan Otonomi Daerah Kebablasan,” Kompas, Sabtu, 24 April 2004. Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dilakukan Syarif Hidayat dan Carunia Mulya Firdausy, Eksplorasi Perspektif Elite Penyelenggara Pemerintahan Daerah tentang Otonomi, terungkap banyak anggota DPRD tidak berkemampuan memahami konsep otonomi daerah. Akibatnya membabi buta. Banyak terjadi praktik politik uang. Pemerintah pusat dicurigai memang tak mau mengeluarkan PP untuk menciptakan kondisi yang tidak jelas di daerah. Padahal, solusinya bagaimana meningkatkan kualitas elite penyelenggara pemerintah daerah. Lihat juga “Pemerintahan Daerah: 393 Perda Bermasalah Akan Dibatalkan,” Kompas, Kamis, 6 April 2006. 24 Kasus-kasus ini dapat diperhatikan mengenai penerapan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, serta beberapa daerah kabupaten seperti Cianjur dan Tangerang. Lihat “RUU Pemerintahan Aceh: Diusulkan Polisi dan Jaksa Khusus Syariat,” Kompas, Jumat, 12 Mei 2006; “Syariat Islam dalam KUHP Bermuatan Politis,” Sinar Harapan, Kamis, 2 Oktober 2003; “Yusril Bantah Revisi KUHP Mengadopsi Syariat Islam,” Sinar Harapan, Rabu, 1 Oktober 2003; “Komnas Perempuan Tolak Perda Tangerang Tentang Pelacuran,” Detikcom, Rabu, 8 Maret 2006; “Perda Larangan Pelacuran Akan Diterapkan di Jakarta,” Detikcom, Selasa, 7 Maret 2006; dan “Direktur ICIP Syafii Anwar: Perda Syariat Bisa Picu Disintegrasi,” Sinar Harapan, Senin, 22 Mei 2006: “Syariat Islam, dari Desa Mengepung Kota,” Sinar Harapan, Senin, 22 Mei 2006.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
dalam urusan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan seperti kasus pelarangan Ahmadiyah.25 Keempat, tantangan untuk menyediakan infrastruktur pendukung bagi terlaksananya UU No. 12/2005. Kerap dijumpai aparat penegak hukum harus bekerja dengan infrastruktur pendukung hukum yang minim. Penjara dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, peraturan perundang-undangan tidak tersedia bagi para hakim dan banyak lagi persoalan lainnya. 26 Kebiasaan pemerintah tanpa menyediakan infrastruktur pendukung atas langkah-langkah implementasi hasil ratifikasi berbagai perjan jian hak-hak manusia dapat dipandang sebagai sikap tak mau (unwilling) atau abai untuk berbuat sesuatu, termasuk bagaimana seharusnya semua aparatur berperilaku yang dipertalikan dengan ICCPR tanpa kecuali pada lembaga-lembaga peradilan dan pengadilan, sehingga terasa kurang berefek pada pelaksanaannya. Kelima, lebih lanjut selain tantangan untuk memajukan praktek penghormatan dan perlindungan hak-hak sipil dan politik dengan meratifikasi Protokol Pilihan (Optional Protocol to the Covenant on Civil and Political Rights), juga campur tangan aparat penegak hukum (polisi) untuk melindungi hak dan kebebasan setiap orang dari berbagai tindakan orang atau kelompok lain. Belakangan ini adalah sering gagalnya aparat keamanan melindungi kebebasan berkumpul dan berpendapat,27 bahkan ancaman atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. 28 Persoalan kelemahan ini menjadi tantangan bagi pemerintah dan aparat penegak hukum atau keamanan pasca-ratifikasi agar hak-hak sipil dan politik setiap orang terlindungi. Keenam, seiring dengan telah diratifikasinya ICCPR, kelak pemerintah harus membuat laporan mengenai pelaksanaan hak-hak sipil dan politik yang disampaikan JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
pada Komite di PBB, tapi penting pula didesak untuk juga melakukan sosialisasi laporan-laporannya kepada warganya, termasuk laporan mengenai pelaksanaan CAT dan ICERD yang telah menjadi UU. Sejauh ini tak pernah diketahui umum atau sangat kurang disosialisasikan bagaimana sesungguhnya isi laporan pemerintah mengenai pelaksanaan setiap perjanjian internasional tentang hak-hak manusia yang telah diratifikasi. Sehingga nyaris tak diketahui umum yang bertalian dengan apa kemajuan yang dicapai, selain apa langkah-langkah yang telah diambil untuk meningkatkan penghormatan dan perlindungan hak-hak sipil dan politik.
Impunitas dan pelanggaran hak Bagi masyarakat Indonesia, tantangan besar yang dihadapi adalah mata rantai impunitas (cycle of impunity) sebagai penghalang dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak-hak. Impunitas telah men jadi penghalang yang serius bagi tegaknya 25 Lihat “SBY: Ahmadiyah Sudah Resmi Dilarang
Pemerintah,” Detikcom, Selasa, 16 Agustus 2005. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan, pada tingkat MUI dan kejaksaan sudah ada larangan terhadap kegiatan Ahmadiyah. Tapi kenyataannya masih banyak kantong-kantong Ahmadiyah di daerah. 26 Hikmahanto Juwana, Op. cit. 27 Lihat “Pernyataan PBHI Jawa Barat: Protes atas Pembubaran Paksa Pertemuan di Wisma Brantas Bandung,” Bandung, 22 Mei 2006. Panitia Penyelenggara” – INCRESS, Syarikat Indonesia dan Komnas Perempuan – serta para peserta mengalami gangguan dan perlakuan yang sewenangwenang dari sekelompok oknum yang mengaku PAGAR (Persatuan Anti Gangguan Regional) dan PPM (Patriot Panca Marga) pada 20 Mei 2006. 28 Lihat “Siaran Pers PBHI Jawa Barat tentang Pengusiran Gus Dur dan Intimidasi Kegiatan Forum Dialog Lintas Agama di Purwakarta,” Bandung, 24 Mei 2006. Lihat juga, “Gus Dur Hadapi Teror Gerombolan Islam Radikal,” gusdur.net, Selasa, 23 Mei 2006; “Buntut Teror Gerombolan Islam Radikal: Lawan Preman Berjubah,” gusdur.net, Selasa, 23 Mei 2006; dan “Dialog Lintas Etnis Nyaris Rusuh: Gus dur Tuding Gerakan Ormas Islam Ada yang Mendanai,” Pikiran Rakyat, Rabu, 24 Mei 2006.
55
keadilan, perbaikan kondisi, bahkan berlanjutnya pelanggaran hak-hak manusia.29 Secara harfiah, impunitas dapat diartikan sebagai “bebas dari hukuman”. Dalam kerangka hukum internasional, impunitas adalah ketidakmungkinan secara de facto atau de jure untuk membawa pelaku kejahatan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, baik dalam proses peradilan kriminal, sipil, administratif, atau disipliner karena mereka tidak dapat diperiksa yang memungkinkan berlangsungnya penuntutan, penahanan, pengadilan dan apabila dianggap bersalah dikenakan hukuman yang sesuai norma hukum positif. 30 Negara RI memang aneh karena merupakan satu-satunya negara yang mendirikan dan mengoperasikan pengadilan hakhak manusia (human rights court) berdasarkan UU No. 26/2000. 31 Terlepas dari kesalahannya memahami konsep hukum internasional, tapi pada intinya pengadilan HAM Ad Hoc untuk Timor Timur berlangsung dengan kegagalan untuk menghukum orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab dalam kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Sejumlah jaksa telah bertindak di luar kebiasaan karena menuntut terdakwa bebas dari hukuman. Sikap ini menampakkan tak punya itikad untuk mendakwa kendati sejumlah hakim berusaha membuktikan adanya ke jahatan. Cacat mendasar ini terjadi ketika Kejaksaan Agung mengambil alih penyelidikan setelah diterimanya laporan KPP HAM yang ditunjuk Komnas HAM. 32 Kegagalan ini diikuti pula dengan perkara-perkara Tanjungpriok dan Abepura. Persoalan dengan impunitas bukan hanya pada proses peradilan HAM saja, melainkan juga peradilan pidana. Sistem peradilan di Indonesia dituding telah dikuasai sebagian mereka yang menjalankan tugas sebagai aparat penegak hukum dan pengadilan. Mereka dijuluki sebagai “mafia pe-
56
radilan”.33 Salah satu kasus yang cukup menggegerkan adalah dugaan suap atas hakim agung yang menangani perkara penyelewengan dana reboisasi dengan terdakwa Probosutedjo. Ruang kerja Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan digeledah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 34 Kendati Probosutedjo telah memberikan keterangan dan Harini Wijoso pun disidangkan sebagai terdakwa,35 tapi para pejabat MA – termasuk hakim agungnya – mengambil keputusan yang aneh dengan memperpanjang usia pensiun Bagir Manan. Lebih dari itu mereka juga telah memilihnya 29 Lihat “Kerangka Acuan Perencanaan Strategis
Impunitas,” lokakarya yang diselenggarakan PBHI dan HOM pada 29-30 Mei 2006 di Cipayung, Bogor. 30 Martha Meijer, The Scope of Impunity in Indonesia (draft), Utrecht: The Netherlands Humanist Committee on Human Rights, 2006, hal. 21-22. 31 Kesalahan ini mungkin salah satunya terletak dari kegagalan para penyusunnya dalam memahami perbedaan antara hukum internasional tentang hak-hak manusia dan hukum humaniter internasional. Pengadilan hak-hak manusia, sekurangkurangnya pada tingkat kawasan seperti Pengadilan Eropa tentang Hak-hak Manusia (European Court of Human Rights) dan Pengadilan Antar Amerika tentang Hak-hak Manusia (Inter-American Court of Human Rights) 32 David Cohen, Intended to Fail: The Trial Before the Ad Hoc Human Rights Court in Jakarta, Berkeley: International Center for Transitional Justice, 2004, hal. vii-ix. 33 Hendardi, “Mafia Peradilan di Indonesia,” Kompas, Kamis, 2 Februari 2006. Lihat juga “Liku-liku Percaloan dan Mafia Peradilan di Indonesia,” Riau Pos Online, Sabtu, 8 Oktober 2005; “Mafia Peradilan Di Mana-mana,” Waspada Online, Senin, 23 Januari 2006 22:30 WIB; dan “Konflik MA-KY Hanya Untungkan Mafia Peradilan,” Kompas Cyber Media, Selasa, 14 Februari 2006, 13:29 WIB. 34 Lihat “KPK Geledah Ruang Kerja Bagir Manan,” Gatra.com, Kamis, 27 Oktober 2005 13:32; “Ruang Kerja Bagir Digeledah, Rapim darurat digelar saat penggeledahan berlangsung,” Republika, Jumat, 28 Oktober 2005; “KPK Terlambat Geledah Ruang Ketua MA,” Suara Pembaruan, Jumat, 28 Oktober 2005; 35 Lihat “Majelis Hakim Masih Musyawarah Bahas Soal Bagir Manan,” Suara Pembaruan, Rabu, 10 Mei 2006. Selain Harini Wijoso, juga Ketua Pengadilan Jakarta Pusat Cicut Sutiarso terkait kasus suap tersebut.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
kembali sebagai Ketua MA tanpa melalui proses seleksi lagi.36 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono – melalui Keputusan Presiden No 17/P/2006 – pun melantik Ketua MA yang dipilih oleh hakim agung.37 Lainnya yang bertalian dengan persoalan impunitas adalah situasi yang menghalangi proses perlindungan dan perbaikan kondisi hak-hak manusia. Gangguan dan ancaman hak atas kebebasan berkumpul dan berpendapat maupun kebebasan berserikat dan beragama semakin nyata. Pertemuan yang diadakan INCReS (Institute for Culture and Religion Studies), Komnas Perempuan dan Syarikat (Santri untuk Advokasi Masyarakat) Indonesia pada 20 Mei 2006 di Bandung telah menemui penghalangnya. Kegiatan mereka dibubarkan secara paksa oleh sekelompok oknum dari PAGAR (Persatuan Anti Gangguan Regional) dan PPM (Patriot Panca Marga). Selain adanya dugaan kuat mengenai campur tangan aparat militer, juga aparat Polres Bandung Tengah terlibat dalam membubarkan pertemuan, bahkan empat orang panitia dibawa dan diinterogasi ke markasnya, selain disertai dengan ancaman dan intimidasi atas panitia dan para peserta.38 Sebelumnya juga terjadi larangan seminar tentang Tuntutan Penutupan PT Freeport di Jayapura.39 Kedua peristiwa ini dapat diduga sebagai pelanggaran hak atas kebebasan berkumpul dan berpendapat. Halangan kebebasan berserikat juga menandai kasus yang menimpa Fahmina Institute di Cirebon. Massa demonstran pendukung RUU APP yang beratribut FPI (Front Pembela Islam), FUI (Forum Umat Islam) dan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) menyegel Kantor Fahmina. Menurut Ketua Dewan Kebijakan Fahmina KH Husein Muhammad, Fahmina dituduh merusak aqidah dan menjual ayat-ayat Al Quran dengan murah. Selain ditempelkan tulisan “Kantor ini disegel,” juga tulisan “LSM raJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
cun” dan “antek asing.” Fahmina menyayangkan aparat kepolisian lamban menangani kasus penyegelan itu.40 Pengalaman buruk atas kebebasan berserikat ini juga pernah dialami sebelumnya ornop LAPAR (Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat) pada 22 Februari 2006 di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Kantor mereka diserbu puluhan oknum yang berasal dari PPSI (Pemuda Penegak Syariat Islam). 41
36 Lihat “Bagir Manan Perpanjang Usia Pensiun Diri-
37
38
39 40
41
nya: Disebutkan, Tunggakan Perkara di MA Masih Banyak,” Kompas, Jumat, 20 Januari 2006; “Bagir Manan Siap Pensiun Tahun 2008,” Kompas Cyber Media, Selasa, 02 Mei 2006, 12:09 WIB; “Muladi: Perpanjangan Pensiun Bagir Manan Keliru,” Riau Pos Online, Jumat, 10 Maret 2006; “Bagir Manan: Tak Ada Alasan untuk Mundur,” Kompas Cyber Media, Rabu, 12 Oktober 2005, 15:03 WIB; “Bagir Manan Merasa Difitnah, Tolak Usulan untuk Nonaktif,” Kompas, Kamis, 13 Oktober 2005; Lihat “Presiden Lantik Bagir Manan Jadi Ketua Mahkamah Agung,” Antara News, Kamis, 18 Mei 2006; “Presiden Lantik Bagir Manan Sebagai Ketua MA,” Media Indonesia Online, Kamis, 18 Mei 2006 14:52 WIB; “Bagir Terpilih Kembali Sebagai Ketua MA,” Media Indonesia Online, Selasa, 02 Mei 2006 11:15 WIB; “Bagir Manan jadi ketua MA lagi,” BBCIndonesia.com, 02 Mei, 2006 - Published 13:11 GMT; dan “Bagir Terpilih, Bagir Ditolak,” TEMPO Interaktif, Jumat, 2 Juni 2006 | 13:05:43 WIB. Lihat “Diskusi Korban Kekerasan Perempuan Tahun 1965 Dibubarkan,” KabarBaru, Sabtu, 20 Mei 2006 22:31:32; “Komnas Perempuan akan Minta Klarifikasi Kapolri,” Republika Online, Senin, 22 Mei 2006 19:19:00; “Bangkitkan Semangat “PKI”, Seminar Incres Dibubarkan,” Rakyat Merdeka, Senin, 22 Mei 2006, 04:18:30 WIB; “Massa Bubarkan Pertemuan Perempuan Eks Napi PKI,” Media Indonesia Online, Senin, 22 Mei 2006; dan “Kapolri Harus Klarifikasi Pembubaran Kegiatan Mantan Tapol PKI,” Suara Pembaruan, Selasa, 23 Mei 2006. Lihat “Komnas HAM Sesalkan Larangan Seminar,” Kompas, Selasa, 16 Mei 2006. Lihat “Demonstran Dukung RUU APP di Cirebon Segel LSM Fahmina,” Detikcom, Minggu, 21 Mei 2006; “Massa Segel Kantor LSM, Dianggap Tolak RUU APP,” Tribun Jabar, Senin, 22 Mei 2006; “FUI Wil. Cirebon Sesalkan Sikap LSM Fahmina,” Pikiran Rakyat, Jumat, 26 Mei 2006; dan “FPI Segel Fahmina Institute Cirebon, Polisi Bengong,” Rakyat Merdeka, Jumat, 26 Mei 2006, 18:18:45 WIB. Lihat “LSM Fahmina Diserbu Massa Pendukung RUU APP,” wahidinstitute.org, Senin, 22 Mei 2006.
57
Tak hanya kebebasan berkumpul, tapi lebih dari itu ancaman serius atas kebebasan beragama pun merebak. Kasus paling hangat adalah aksi sejumlah oknum dari FPI, MMI dan HTI pada 23 Mei 2006 di Purwakarta ketika diadakan acara Forum Dialog Lintas Agama di mana Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi keynote speaker. Sejumlah oknum dari ormas Islam membuat kegaduhan dan masuk ke dalam ruangan acara untuk membubarkan forum. Sebelumnya MUI Purwakarta dilaporkan melakukan intervensi. Dalam peristiwa ini bukan saja panitia dan peserta forum dialog merasa terganggu dan terteror, melainkan juga Gus Dur diperlakukan secara tak pantas.42 Peristiwa ini bukan saja mendapat reaksi dari basis-basis massa NU dan PKB, 43 tapi juga dari beberapa kalangan lainnya yang menyatakan “lawan preman berjubah”.44 Bahkan memunculkan desakan mereka untuk membubarkan beberapa ormas Islam radikal tersebut. 45 Sebelumnya juga banyak terjadi peristiwa yang telah mengancam kebebasan beragama dari berbagai ormas Islam. Yang paling menderita adalah jamaah Ahmadiyah. MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan Ahmadiyah sebagai “aliran sesat”. Fatwa ini didukung sejumlah ormas dan partai Islam seperti PBB (Partai Bulan Bintang). 46 Fatwa ini berubah menjadi aksi kekerasan yang dilakukan ribuan orang yang mengaku dari LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) dan FPI pada Sabtu, 9 Juli 2005. Massa ormas ini menyerang ribuan jamaah di Kampus Al-Mubarok di Parung, Bogor, Jawa Barat, karena menuduh JAI bertentangan dengan ajaran Islam. Massa LPPI dan FPI melempari arena pertemuan tahunan JAI. Akibat bentrokan itu, sedikitnya delapan orang luka-luka terkena lemparan batu dan kayu. Kampus ini juga mengalami kerusakan.47 Selang enam hari, kampus ini kembali dikepung ribuan orang dari Masyarakat dan Umat Islam Parung 58
42 Lihat “Gus Dur Hadapi Teror Gerombolan Islam
Radikal,” gusdur.net, Selasa, 23 Mei 2006; “Dialog Lintas Etnis Nyaris Rusuh, Gus dur Tuding Gerakan Ormas Islam Ada yang Mendanai,” Pikiran Rakyat, Rabu, 24 Mei 2006; dan “Saat Pidato, Gus Dur Diserang Massa FPI dan HTI,” Rakyat Merdeka, Kamis, 25 Mei 2006, 10:03:13 WIB. 43 Lihat “Massa Pencinta Gus Dur Berdemonstrasi,” Liputan6.com, Kamis, 25 Mei 2006 01:54; “Gus Dur vs Ormas Radikal: Polisi Minta Semua Pihak Menahan Diri,” Rakyat Merdeka, Kamis, 25 Mei 2006, 19:16:05 WIB; “NU Tuntut FPI Minta Maaf, Ormas Islam Buat Pernyataan, Buntut Acara Dialog Lintas Etnis dan Agama,” Pikiran Rakyat, Jumat, 26 Mei 2006; Aksi FPI Cs Meresahkan: Massa NU dan Prodemokrasi Demo ke Mabes Polri,” gusdur.net, Jumat, 26 Mei 2006; “NU vs FPI: Polisi Barikade Jl KS Tubun,” Detikcom, Jumat, 26 Mei 2006; “FBR Gabung FPI Hadang NU,” Detikcom, Jumat, 26 Mei 2006; “Massa FPI-FBR Bersiap Menghadapi Serbuan Garda Bangsa,” Liputan6.com, Jumat, 26 Mei 2006; “Garda Bangsa Minta Habib Rizieq Ditangkap,” Rakyat Merdeka, Jumat, 26 Mei 2006, 14:14:51 WIB; dan “Massa NU Akan Survei di Slipi Apa FPI Lakukan Syiar Agama,” Detikcom, Jumat, 26 Mei 2006. 44 Lihat “Buntut Teror Gerombolan Islam Radikal: Lawan Preman Berjubah,” gusdur.net, Selasa, 23 Mei 2006; “Disesalkan, Polisi Biarkan FPI Bertindak Anarkis,” Suara Pembaruan, Rabu, 24 Mei 2006; “Azyumardi Azra Menuntut Pengusir Gus Dur Diusut,” Liputan6.com, Kamis, 25 Mei 2006 05:59; “Pengusiran Gus Dur, Todung: Saya Protes Keras Terhadap FPI,” Gatra.com, Kamis, 25 Mei 2006 10:26; “Aliansi Masyarakat Anti-Kekerasan Luruk Markas FPI Besok Siang,” Rakyat Merdeka, Kamis, 25 Mei 2006, 17:24:23 WIB; “Pemerintah Dikritik Tak Tegas, Aksi Kekerasan dan Perusakan Terus Dibiarkan,” Kompas, Jumat, 26 Mei 2006; dan “Banteng Jakarta Dukung Gus Dur Hadapi FPI Cs,” Rakyat Merdeka, Sabtu, 27 Mei 2006, 12:16:50 WIB. 45 Lihat “SBY-JK Didesak Bubarkan FPI,” Rakyat Merdeka, Rabu, 24 Mei 2006, 15:48:40 WIB; “GP Ansor Minta Ormas Liar Dibubarkan,” Rakyat Merdeka, Jumat, 26 Mei 2006, 11:36:46 WIB; dan “Tuntut Milisi Sipil Dibubarkan,” gusdur.net, Rabu, 31 Mei 2006. 46 Lihat “MUI Kembali Fatwakan Ahmadiyah Sebagai Aliran Sesat,” detikInet, Kamis, 28/07/2005 20:11 WIB; “MUI Tetapkan 11 Fatwa, Haram Hukumnya Perdukunan dan Peramalan,” Media Indonesia Online, Kamis, 28 Juli 2005 20:26 WIB “Fatwa-fatwa Haram Ala MUI,” TEMPO Interaktif, Jum’at, 29 Juli 2005 | 06:38 WIB; “DPP PBB Dukung fatwa MUI Soal Ahmadiyah,” elshinta.com, Sabtu, 13 Agustus 2005 19:04; WIB; “Sejumlah Ormas Islam Gelar Tabligh Akbar Dukung Fatwa MUI,” Jumat, 5 Agustus 2005 13:08 WIB 47 Lihat “Dua Kelompok Massa Islam Bentrok,” Liputan6.com, Sabtu, 9 Juli 2005 18:04; “13 Terdakwa Kasus Pengrusakan Kampus Mubarok Ahmadiyah Disidangkan di PN Cibinong Jabar,” elshinta.com, Senin, 6 Maret 2006 13:05 WIB; dan “Saat Mencoba Membubarkan Pertemuan di Kemang, Warga Bentrok dengan Pengikut Ahmadiyah,” Pikiran Rakyat, Minggu, 10 Juli 2005.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Bogor dan Jakarta. Sebagian mempersen jatai diri dengan tongkat bambu. Sejumlah massa melempari para JAI dengan batu dan kayu saat dievakuasi dari Kampus Mubarok. Kepolisian Resor (Polres) Bogor menyegel kampus setelah unsur Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Kabupaten Bogor menyetujui keputusan bersama untuk menutup kampus.48 Peristiwa ini mendapat reaksi dari berbagai kalangan. 49 Sejak peristiwa itu, memang terjadi peningkatan berbagai aksi penolakan, ancaman, intimidasi dan teror kekerasan terhadap JAI di berbagai daerah seperti yang dialami jamaah ini di Sukabumi,50 Cianjur,51 Garut,52 Kuningan, 53 serta beberapa daerah lainnya terutama yang dialami jamaah Ahmadiyah di Bulukumba (Sulsel)54 dan Lombok Barat (NTB). 55 Selain beberapa pemerintah di daerah telah melarang aktivitas JAI, juga pemerintah pusat tetap melarangnya sebagaimana yang dikemukakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.56 Pernyataan ini mungkin setelah keluar pernyataan Jaksa Agung yang menegaskan larangan atas Ahmadiyah,57 selain diperkuat oleh Menteri Agama Maftuh Basyuni.58 Pernyataan ini disesalkan oleh perwakilan Ahmadiyah. 59 Mereka menjadi korban kesewenang-wenangan atau kezaliman. 60 48 Lihat “Kampus Ahmadiyah Dikepung Massa,” Li-
putan6.com, Jumat, 15 Juli 2005 20:20; “Dievakuasi Jemaat Ahmadiyah Dilempari Batu & Kayu,” detikInet, Jumat, 15/07/2005 17:57 WIB; dan “Markas Ahmadiyah Diserbu Massa,” http://www.indomedia.com/bpost/072005/16/nusantara/nusa1.htm, Jumat, 15 Jul 2005 13:11:12. Massa yang menyerbu selain dari FPI, juga dari GUII (Gerakan Umat Islam Indonesia) yang dipimpin Habib Abdurrahman. 49 Lihat “Tokoh Antaragama Kutuk Penyerangan Jemaat Ahmadiyah,” Kompas Cyber Media, Sabtu, 16 Juli 2005, 18:05 WIB; M. Dawam Rahardjo, “Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama,” ttp://islamlib.com/id/index.php?page= article&id=850, 18 Jul 2005 19:49:51; “Fatwa MUI Dituding Melegitimasi Penyerangan Terhadap Ahmadiyah,” Media Indonesia Online, Senin, 18 Juli 2005 19:26 WIB; Abdurrahman Wahid, “Negara Hukum Ataukah Kekuasaan,” gusdur.net, Rabu, 20
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Juli 2005 (tulisan ini ditulisnya ketika dirawat di RSCM); “Gus Dur Meminta Masjid Milik Ahmadiyah Dibuka,” Liputan6.com, Jumat, 5 Agustus 2005 15:31; “Jemaah Ahmadiyah Sambut Baik Keberadaan Satgas Garda Bangsa,” elshinta.com, Minggu, 7 Agustus 2005 13:27 WIB; dan “Mengekang Kebebasan Beragama, Gus Dur: Itu Pidana,” gusdur.net, Rabu 5 April 2006. 50 Lihat “Ratusan Ulama Sukabumi Menolak Ahmadiyah,” Hidayatullah.com, Jum’at, 24 Pebruari 2006. 51 Lihat “GARIS Bertanggung Jawab Atas Serangan Perkampungan JAI,” Kapanlagi.com, Rabu, 21 September 2005; “12 Pengrusak Masjid Ahmadiyah di Cianjur Dibekuk,” Detikcom, Rabu, September 2005; “Gus Dur Sesalkan Penyerangan Masjid Ahmadiyah di Cianjur,” Detikcom, Kamis, 22 September 2005. Garis adalah singkatan dari Gerakan Reformis Islam. 52 Lihat “Rumah Ketua Ahmadiyah Kab. Garut Diamuk Massa, Kejengkelan terhadap Ketidakpastian Sikap Pemerintah,” Pikiran Rakyat, Selasa, 2 Agustus 2005; “72 Anggota Ahmadiyah Nyatakan Keluar,” Koran Tempo, 2 Agustus 2005; dan “Kejaksaan Telah Mendata Asetnya, Muspida Garut Sepakat Melarang Ahmadiyah,” Pikiran Rakyat, Selasa, 9 Agustus 2005. 53 Lihat “Teror: Belasan Rumah Ahmadiyah Dibakar,” Gatra.Com, Jumat, 14 Pebruari 2003 16:22; “Sejumlah Sarana Ibadah Ahmadiyah di Kuningan Disegel,” Metrotvnews.com, Jumat, 29 Juli 2005 20:00; “Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Kuningan-Bogor Dilarang,” detikInet, Sabtu, 30/07/2005 16:55 WIB; “Jemaah Ahmadiyah Kuningan Bantah Ada Bentrokan,” Kompas Cyber Media, Jumat, 05 Agustus 2005, 21:12 WIB. 54 Lihat “Ahmadiyah Bulukumba Diancam Demo Besar-besaran,” Tribun Timur, Jumat, 17 Februari 2006; dan “Keluarga Ahmadiyah Bulukumba Mengungsi,” Tribun Timur, Sabtu, 18 Februari 2006. 55 Lihat “Pembakaran Rumah Jama’ah Ahmadiyah NTB, Gus Dur: Yang Membakar Harus Ditangkap,” gusdur.net, Minggu, 5 Februari 2006; “Warga Ahmadiyah NTB Mengucapkan Syahadat,” Metrotvnews.com, Rabu, 22 Februari 2006 23:50; dan “Desak Pemda Lombok Tengah, 30 Pengungsi Jemaat Ahmadiyah di Lombok Tengah Ingin Kembali ke Rumah,” elshinta.com, Rabu, 26 April 2006 10:12 WIB. 56 Lihat “SBY: Ahmadiyah Sudah Resmi Dilarang Pemerintah,” Detikcom, Selasa, 16 Agustus 2005, 06:57. 57 Lihat “Jaksa Agung: Larangan Ajaran Ahmadiyah Bersifat Parsial,” detikInet, Kamis, 21 Juli 2005 18:54 WIB. 58 Lihat “Pemerintah Tetap Larang Ajaran Ahmadiyah,” Media Indonesia Online, Rabu, 20 Juli 2005 08:02 WIB. 59 Lihat “Ahmadiyah Sesalkan Pernyataan Presiden SBY Soal Kejaksaan Pernah Larang Ahmadiyah,” elshinta.com, Minggu, 21 Agustus 2005 16:17 WIB. 60 Lihat “Ahmadiyah Makin Terzalimi dengan Fatwa MUI,” Detikcom, Sabtu, 30 Juli 2005.
59
Kasus gagalnya perlindungan hak atas kebebeasan beragama juga dialami oleh pemeluk agama Protestan dan Katolik. Sekolah milik Yayasan Sang Timur yang terletak di Kabupaten Tangerang menjadi sasaran aksi penutupan gerbang oleh sekelompok orang yang mengaku dari FPI.61 Pada 12 September 2004 terjadi aksi warga berdasarkan Maklumat Forum Silahturahmi Ulama Cendikiawan Muslim (FSUCM) yang melarang ibadah di Gereja-gereja Rancaekek, Kabupaten Bandung.62 Antara Juni-Agustus 2005, sejumlah gereja ditutup, yaitu Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) di Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu dan tiga orang pembinanya ditahan di LP, Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) dan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Perum Gading Tutukan Soreang (Kab. Bandung), Gereja Kristen Pasundan (GKP) di Katapang (Kab. Bandung), Gereja Isa Almasih (GIA) di Karangroto, Kecamatan Genuk (31 Juli 2005), Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) di Kampung Warung Mekar, Desa Bungursari (Kab. Purwakarta) serta enam gereja di Kompleks Permata Cimahi, Kelurahan Tani Mulya, Kecamatan Ngamprah (Kab. Bogor). 63 Aksi penutupan gereja ini tak hanya oleh pemerintah lokal, tapi juga oleh sekelompok orang dari ormas Islam seperti AGAP (Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan) dan FPI. 64 Kasus lainnya adalah konflik pertanahan antara petani penggarap dengan pihak perkebunan yang ditandai dengan tindak kekerasan tak hanya oleh aparat keamanan, tapi juga sejumlah oknum preman seperti yang terjadi pada Kamis, 1 Juni 2006 di Garut, Jawa Barat. Selain rusak lahan garapan para petani yang berdampak pada hak atas pekerjaan dan penghasilan, juga ribuan penduduk terpaksa mengungsi akibat aksi kekerasan tersebut. 65 Selain itu, terdapat pula kasus-kasus penyerangan atas beberapa ornop/LSM seperti UPC, PBHI dan Kontras.66 Semua ini bukan saja terus 60
berlangsung kegagalan dalam melindungi hak-hak, tapi juga sekaligus menjadi bagian dari terus langgengnya impunitas.
Prospek implementasi ICCPR Kendati negara RI telah meratifikasi ICCPR, tapi kenyataannya tak ada jaminan hak-hak sipil dan politik setiap orang dihormati, terutama oleh sekelompok orang dari ormas Islam seperti FPI, AGAP, FKKU (Forum Komunikasi Kemaslahatan Umat) dan FSPI (Forum Silaturahmi Pemuda Islam) serta ormas kedaerahan seperti FBR (Forum Betawi Rempug) yang kerap melakukan penyisiran (sweeping) dan kekerasan baik atas pemeluk agama dan orang lain maupun tempat-tempat hiburan, kafe dan 61 Lihat “Penembokan Sekolah Sang Timur, Pendidik-
an Jangan Jadi Korban,” christianpost.co.id, Sabtu, 9 Oktober 2004 8:45:00 WIB; “Gus Dur Perintahkan Banser untuk Menjaga Sang Timur,” TEMPO Interaktif, Senin, 25 Oktober 2004 | 11:52 WIB; “Tembok Sang Timur Dirobohkan,” TEMPO Interaktif, Senin, 25 Oktober 2004 | 10:09 WIB; dan “Gus Dur Meminta Walikota Tangerang Memberikan Izin Membangun Gereja,” kristianipos.com, Kamis, 28 Oktober 2004 10:00:03. 62 Lihat “Pernyataan Forum Komunikasi Kristiani Indonesia Jawa Barat tentang Penutupan Kegiatan Ibadah Kristen di Perumnas Bumi Rancaekek Kencana,” Bandung, 4 Oktober 2004. Pernyataan ini ditujukan kepada Bupati Kabupaten Bandung. 63 Lihat “Camat Dayeuhkolot Tutup Gereja Ilegal,” Republika, Selasa, 23 Agustus 2005; “Gus Dur: Hentikan Aksi Penutupan Gereja,” Sinar Harapan, Selasa, 23 Agustus 2005; dan “Tokoh Agama dan Gus Dur: Hentikan Aksi Penutupan Gereja,” Crossmap News, Jumat, 26 Agustus 2005. 64 Lihat “Sejumlah Ormas Islam Tutup Gereja Ilegal,” Republika, Senin, 15 Agustus 2005; dan “Penjelasan FPI : Kronologis Kejadian Penutupan “Gereja Liar” di Bandung,” eben-network, Rabu, 7 September 2005 01:34:26. 65 Lihat “PBHI Desak Kapolri Usut Kasus Kekerasan di Garut,” Suara Pembaruan, Jumat, 2 Juni 2006. 66 Lihat “Kantor PBHI Jabar Didatangi Massa,” Kompas, Selasa, 26 Juni 2001; “Kantor Kontras Diserbu Massa,” Gatra.com, Jakarta, Selasa, 27 Mei 2003 14:52; “Massa Datangi Kontras dan PBHI,” TEMPO Interaktif , Jumat, 6 Pebruari 2004; dan “Wardah Hafidz Kecewa dengan Putusan Hakim,” TEMPO Interaktif, Senin, 31 Maret 2003. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
pedagang.67 Kasus penyerangan dan tindak kekerasan atas pekerja pers masih saja ter jadi setelah kasus Udin. 68 Apalagi jika aparat keamanan dan penegak hukum justru lebih sering gagal melindungi hak-hak tersebut.69 Kekerasan polisi tak hanya men jadi kebiasaan dalam penangkapan dan penahanan tersangka, 70 melainkan juga atas para demonstran atau orang-orang yang sedang merealisasi hak atas kebebasan berkumpul dan berpendapat.71 Memang harapan untuk mendapatkan intervensi negara untuk melindungi hakhak sipil dan politik yang terancam oleh perilaku sejumlah orang maupun halangan dari aparat militer dan kekerasan polisi, tetap tumbuh semangat dan partisipasi masyarakat dalam membela hak-haknya. Misalnya, sejumlah ornop melancarkan kampanye menolak hukuman mati,72 kalangan pekerja pers mengeluarkan pernyataan perang melawan premanisme, 73 dan mereka yang memperjuangkan dihormatinya pluralisme menyatakan lawan preman berjubah.74 Begitu juga, keluarga korban dan beberapa kalangan yang prihatin atas pelanggaran hak-hak manusia tetap mendesak proses hukum atas orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab.75 67 Lihat “FPI Rusak Kantor Komnas HAM dan Kafe
Jimbani,” Kompas, Sabtu, 24 Juni 2000; “FPI Gerebek Tempat Hiburan di Kemang,” detikInet, Sabtu, 23 Oktober 2004 01:30 WIB; “FPI: Perda Tempat Hiburan Tumpul, Sweeping Jalan Terus,” detikInet, Sabtu, 23 Oktober 2004 11:20 WIB; “Masyarakat Kemang Kutuk Aksi FPI,” TEMPO Interaktif, Sabtu, 23 Oktober 2004 | 00:00 WIB; “FPI Akan Terus Sweeping Tempat Hiburan,” TEMPO Interaktif, Kamis, 28 Oktober 2004 | 19:45 WIB; “Massa Gabungan Ormas ‘Sweeping’ Toko Miras,” Pikiran Rakyat, Senin, 25 Juli 2005; “FPI Sweeping Tempat Maksiat,” Kaltim Post, Senin, 17 Oktober 2005” – 09:46; “Diakui Sebagai Tindakan Konkret Berantas Pekat, Massa FPI Purwakarta Razia Miras dan PSK,” Pikiran Rakyat, Sabtu, 29 Oktober 2005; “Puluhan Orang Berseragam FBR Keroyok Pedagang Pasar Senen,” TEMPO Interaktif, Kamis, 10 Pebruari 2005 | 17:27 WIB; “Rusak Tempat Hiburan, Polda Metro Tindak Tegas FPI dan FBR,” detikInet, Sabtu , 23 Oktober 2004 16:13
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
WIB; “Polres Jakarta Timur ‘Diserbu’ FBR,” TEMPO Interaktif, Jumat, 3 Oktober 2003; “Tujuh Anggota FBR Divonis Enam Bulan,” TEMPO Interaktif, 31 Maret 2003; “Tawuran FBR-Benteng Banten, Lima Luka-luka,” TEMPO Interaktif, Senin, 04 April 2005 | 14:01 WIB; dan “Istri Gus Dur Dilaporkan FBR ke Polda,” Kompas Cyber Media, Rabu, 24 Mei 2006, 08:38 WIB. 68 Lihat “Pada HUT-nya Ke-56, Polisi Hajar Wartawan, 4 Luka-luka, 1 Muntah Darah,” Warta Kota, Selasa, 02 Juli 2002, 9:07 WIB; “Penyerangan Tempo: Aparat Dikangkangi Premanisme,” Hukumonline, Selasa, 11 Maret 2003; “Preman Pukul Wartawan dan Rusak Kantor Indopos,” TEMPO Interaktif, Selasa, 20 Desember 2005 | 00:20 WIB; “Wartawan TEMPO Dipukul,” TEMPO Interaktif, Jumat, 19 Maret 2004; “Polisi Nias Gelar Perkaranya Hilangnya Wartawan Berita Sore,” TEMPO Interaktif, Kamis, 17 November 2005 | 01:07 WIB; “Massa FPI Rusak kantor Playboy,” INDO POS Online, Kamis, 13 Apr 2006; dan “Wartawan Surabaya Demo UPN Veteran, Terkait Pemukulan Kontributor TV,” SeKetika.com, 26 April 2006. 69 Lihat “Kasus Wamena Tunjukkan Lemahnya Perlindungan HAM di Papua,” Sinar Harapan, Senin, 23 Juni 2003; Nadirsyah Hosen, “Demokrasi dan Perlindungan Kaum Minoritas,” islamlib.com, Rabu, 10 Mei 2006. 70 Lihat “Polisi Tembak ‘Raja Jambret’ Samarinda,” Gatra.Com, Jumat, 12 Mei 2006 09:16; dan “Polisi Tembak Buronan Pencuri Sarang Walet,” Pikiran Rakyat, Rabu, 26 Januari 2005. 71 Suryadi Radjab, “Peristiwa 12 Februari dan Kekerasan Polisi,” dalam Hendardi, Distia Aviandari dan Suryadi Radjab, Hak Manusia dan Polisi, Bandung: PBHI Jawa Barat, 2005; lihat juga “Polisi bubarkan Rapat Umum Petani, 1 Meninggal, 37 Luka Tembak,” jakarta.indymedia.org, Selasa, 20 September 2005, 12:54am; dan “Polisi Membubarkan Paksa Demonstrasi di DPRD Bengkulu,” Liputan6.com, Rabu, 31 Agustus 2005 15:00. 72 Lihat “LSM HAM Tolak Hukuman Mati,” Kompas Cyber Media, Kamis, 06 April 2006, 16:26 WIB; dan “Empat LSM Desak Moratorium Hukuman Mati Tibo Cs,” Rakyat Merdeka, Kamis, 30 Maret 2006, 17:57:46 WIB. 73 Decky Natalis Pigay, “Aksi Premanisme terhadap Pers,” Sinar Harapan, Jum’at, 14 Maret 2003; Harry Ganda Asi, “Premanisme dan Wartawan Kita,” Sinar Harapan, Rabu, 26 Maret 2003; dan “Masyarakat Solo Keluarkan Petisi Perang terhadap Premanisme,” TEMPO Interaktif , Selasa, 18 Maret 2003. 74 Lihat “Buntut Teror Gerombolan Islam Radikal: Lawan Preman Berjubah,” gusdur.net, Selasa, 23 Mei 2006; Ahmad Suaedy, “Preman Berjubah itu,” gusdur.net, Sabtu, 27 Mei 2006. 75 Lihat “Keluarga Korban Pelanggaran HAM Tuntut Soeharto Diadili,” Gatra.Com, Kamis, 18 Mei 2006 11:34; “Pelanggaran HAM Soeharto Harus Tetap Diusut,” Detikcom, Selasa, 9 Mei 2006; dan “Soeharto Perlu Juga Diadili dalam Kasus Pelanggaran HAM,” detikInet, Selasa, 16 Mei 2006 14:52 WIB.
61
Selain itu, negara – pemerintah dan aparat penegak hukum – harus selalu diingatkan dan didesak terus-menerus untuk melindungi hak-hak sipil dan politik bagi setiap orang ketika ancaman atasnya sedang berlangsung. Berbagai partisipasi, terlebih lagi konsolidasi masyarakat, sangatlah penting dalam menagih bukan saja kewajiban, tapi juga tanggung jawab negara.
Detikcom. “Gus Dur Sesalkan Penyerangan Masjid Ahmadiyah di Cianjur” Kamis, 22 September 2005. Detikcom. “Bahas RUU APP, MUI Akan Kumpulkan 1.000 Ulama di Gontor” Senin, 22 Mei 2006. Detikcom. “30 Elemen Islam Malang Demo Dukung RUU APP,” Detikcom, Rabu, 15 Maret 2006. Detikcom. “MMI: Jika Terus Menolak, Jadikan Bali Daerah Khusus Pornografi” Rabu, 8 Maret 2006. Detikcom. “DPR Pusing Pro Kontra RUU APP” Kamis, 9 Maret 2006.
DAFTAR PUSTAKA Antara News. “Presiden Lantik Bagir Manan Jadi Ketua Mahkamah Agung” Kamis, 18 Mei 2006. Asi, Harry Ganda. “Premanisme dan Wartawan Kita” dalam Sinar Harapan, Rabu, 26 Maret 2003. BBCIndonesia.com. “Bagir Manan jadi ketua MA lagi” 02 Mei, 2006 - Published 13:11 GMT. Cendrawasih Pos. “Polisi Tembak Buronan LP Saat Mencoba Melarikan Diri dari Kejaran Petugas” Rabu, 4 Maret 2004. Cohen, David. Intended to Fail: The Trial Before the Ad Hoc Human Rights Court in Jakarta, Berkeley: International Center for Transitional Justice, 2004. Crossmap News. “Tokoh Agama dan Gus Dur: Hentikan Aksi Penutupan Gereja” Jumat, 26 Agustus 2005. Detikcom. “Pelanggaran HAM Soeharto Harus Tetap Diusut” Selasa, 9 Mei 2006. Detikcom. “Massa NU Akan Survei di Slipi Apa FPI Lakukan Syiar Agama” Jumat, 26 Mei 2006. Detikcom. “Demonstran Dukung RUU APP di Cirebon Segel LSM Fahmina” Minggu, 21 Mei 2006.
Detikcom. “Dari 167 Lembaga Tamu Pansus, 144 Setuju RUU APP” Kamis, 16 Maret 2006. Detikcom. “Draf RUU APP Adalah Buah dari Sebuah Kemunafikan” Kamis, 16 Februari 2006. Detikcom. “MUI Sayangkan Adanya Penolakan RUU Anti Pornografi” Senin, 6 Maret 2006 Detikcom. “Peringati Hari Perempuan, 100 Pendemo Cantik Tolak RUU APP” Rabu, 8 Maret 2006. Detikcom. “Ratusan Mahasiswa Yogya Demo Tolak RUU APP” Rabu, 8 Maret 2006. Detikcom. “Aksi Seribu Tayub Tolak RUU APP” Rabu, 15 Maret 2006. Detikcom. “RUU Pornografi Berpotensi Jadi Alat Pemerasan Baru” Kamis, 9 Februari 2006. Detikcom. “Gus Dur Siap Upayakan Amandemen Jika RUU APP Jadi UU” Kamis, 16 Maret 2006. Detikcom. “Komnas Perempuan Tolak Perda Tangerang Tentang Pelacuran” Rabu, 8 Maret 2006. Detikcom. “Perda Larangan Pelacuran Akan Diterapkan di Jakarta” Selasa, 7 Maret 2006. Detikcom. “SBY: Ahmadiyah Sudah Resmi Dilarang Pemerintah” Selasa, 16 Agustus 2005.
Detikcom. “NU vs FPI: Polisi Barikade Jl KS Tubun” Jumat, 26 Mei 2006.
Detikcom. “Ahmadiyah Makin Terzalimi dengan Fatwa MUI,” Sabtu, 30 Juli 2005.
Detikcom. “FBR Gabung FPI Hadang NU” Jumat, 26 Mei 2006.
Detikcom. “SBY: Ahmadiyah Sudah Resmi Dilarang Pemerintah” Selasa, 16 Agustus 2005, 06:57.
Detikcom. “12 Pengrusak Masjid Ahmadiyah di Cianjur Dibekuk” Rabu, September 2005.
62
Detikcom. “Slamet Rahardjo: RUU APP Tempatkan Perempuan Seolah Hantu” Minggu, 12 Maret 2006. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
detikInet. “Soeharto Perlu Juga Diadili dalam Kasus Pelanggaran HAM” Selasa, 16 Mei 2006 14:52 WIB.
Gatra.com. “Pengusiran Gus Dur, Todung: Saya Protes Keras Terhadap FPI” Kamis, 25 Mei 2006 10:26.
detikInet. “FPI Gerebek Tempat Hiburan di Kemang” Sabtu, 23 Oktober 2004 01:30 WIB.
Gatra.com. “Kantor Kontras Diserbu Massa” Jakarta, Selasa, 27 Mei 2003 14:52.
detikInet. “Rusak Tempat Hiburan, Polda Metro Tindak Tegas FPI dan FBR” Sabtu , 23 Oktober 2004 16:13 WIB.
Gatra.com. “Polisi Tembak ‘Raja Jambret’ Samarinda” Jumat, 12 Mei 2006 09:16.
detikInet. “Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Kuningan-Bogor Dilarang” Sabtu, 30/07/2005 16:55 WIB. detikInet. “FPI: Perda Tempat Hiburan Tumpul, Sweeping Jalan Terus” Sabtu, 23 Oktober 2004 11:20 WIB. detikInet. “Jaksa Agung: Larangan Ajaran Ahmadiyah Bersifat Parsial” Kamis, 21 Juli 2005 18:54 WIB. detikInet. “Ratifikasi 2 Kovenan HAM oleh RI Dianggap Masih Setengah Hati” Kamis , 29/ 09/2005 14:25 WIB. detikInet. “MUI Kembali Fatwakan Ahmadiyah Sebagai Aliran Sesat” Kamis, 28/07/2005 20:11 WIB. detikInet. “Dievakuasi Jemaat Ahmadiyah Dilempari Batu & Kayu” Jumat, 15/07/2005 17:57 WIB. eben-network. “Penjelasan FPI : Kronologis Kejadian Penutupan “Gereja Liar” di Bandung” Rabu, 7 September 2005 01:34:26. elshinta.com. “Jemaah Ahmadiyah Sambut Baik Keberadaan Satgas Garda Bangsa” Minggu, 7 Agustus 2005 13:27 WIB.
Gatra.com. “Keluarga Korban Pelanggaran HAM Tuntut Soeharto Diadili” Kamis, 18 Mei 2006 11:34. Gatra.com. “Teror: Belasan Rumah Ahmadiyah Dibakar” Jumat, 14 Pebruari 2003 16:22. Gerung, Rocky. “The Age of Rights” Imparsial, No. 2, Vol. 1, Januari 1997. gusdur.net. “Tuntut Milisi Sipil Dibubarkan” Rabu, 31 Mei 2006. gusdur.net. “Buntut Teror Gerombolan Islam Radikal: Lawan Preman Berjubah” Selasa, 23 Mei 2006. gusdur.net. “Gus Dur Hadapi Teror Gerombolan Islam Radikal” Selasa, 23 Mei 2006. gusdur.net. “Buntut Teror Gerombolan Islam Radikal: Lawan Preman Berjubah” Selasa, 23 Mei 2006. gusdur.net. “Gus Dur Hadapi Teror Gerombolan Islam Radikal” Selasa, 23 Mei 2006. gusdur.net. Aksi FPI Cs Meresahkan: Massa NU dan Prodemokrasi Demo ke Mabes Polri” Jumat, 26 Mei 2006. gusdur.net. “Mengekang Kebebasan Beragama, Gus Dur: Itu Pidana” Rabu 5 April 2006.
elshinta.com. “DPP PBB Dukung fatwa MUI Soal Ahmadiyah” Sabtu, 13 Agustus 2005 19:04 WIB.
gusdur.net . “Pembakaran Rumah Jama’ah Ahmadiyah NTB, Gus Dur: Yang Membakar Harus Ditangkap” Minggu, 5 Februari 2006.
elshinta.com. “Desak Pemda Lombok Tengah, 30 Pengungsi Jemaat Ahmadiyah di Lombok Tengah Ingin Kembali ke Rumah” Rabu, 26 April 2006 10:12 WIB.
gusdur.net. “Masyarakat Solo Keluarkan Petisi Perang terhadap Premanisme” Selasa, 18 Maret 2003.
elshinta.com. “Ahmadiyah Sesalkan Pernyataan Presiden SBY Soal Kejaksaan Pernah Larang Ahmadiyah” Minggu, 21 Agustus 2005 16:17 WIB. elshinta.com. “13 Terdakwa Kasus Pengrusakan Kampus Mubarok Ahmadiyah Disidangkan di PN Cibinong Jabar” Senin, 6 Maret 2006 13:05 WIB. Gatra.com. “KPK Geledah Ruang Kerja Bagir Manan” Kamis, 27 Oktober 2005 13:32.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
gusdur.net. “Buntut Teror Gerombolan Islam Radikal: Lawan Preman Berjubah” Selasa, 23 Mei 2006. Hendardi, “Mafia Peradilan di Indonesia,” Kom pas, Kamis, 2 Februari 2006. Hidayatullah.com. “Ratusan Ulama Sukabumi Menolak Ahmadiyah” Jum’at, 24 Pebruari 2006. Hosen, Nadirsyah. “Demokrasi dan Perlindungan Kaum Minoritas” dalam islamlib.com, Rabu, 10 Mei 2006.
63
http://www.indomedia.com/bpost/072005/16/ nusantara/nusa1.htm. “Markas Ahmadiyah Diserbu Massa” Jumat, 15 Jul 2005 13:11:12.
Kompas. “Pemerintahan Daerah: 393 Perda Bermasalah Akan Dibatalkan” Kamis, 6 April 2006.
Hukumonline.com . “Ratifikasi Dua Kovenan Internasional Dinilai Setengah Hati” Kamis, 29 September 2005
Kompas. “RUU Pemerintahan Aceh: Diusulkan Polisi dan Jaksa Khusus Syariat” Jumat, 12 Mei 2006.
Hukumonline. “Penyerangan Tempo : Aparat Dikangkangi Premanisme” Selasa, 11 Maret 2003.
Kompas. “Pemerintah Dikritik Tak Tegas, Aksi Kekerasan dan Perusakan Terus Dibiarkan” Jumat, 26 Mei 2006.
INCRESS, Syarikat Indonesia, dan Komnas Perempuan. “Pernyataan PBHI Jawa Barat: Protes atas INDO POS Online. “Massa FPI Rusak kantor Playboy” Kamis, 13 Apr 2006.
Kompas. “Komnas HAM Sesalkan Larangan Seminar” Selasa, 16 Mei 2006.
Pembubaran Paksa Pertemuan di Wisma Brantas Bandung,” Bandung, 22 Mei 2006. jakarta.indymedia.org. “Polisi bubarkan Rapat Umum Petani, 1 Meninggal, 37 Luka Tembak” Selasa, 20 September 2005, 12:54am. Juwana, Hikmahanto. “Konsekuensi Ratifikasi ICCPR” Kompas, Rabu, 8 Juni 2005. KabarBaru. “Diskusi Korban Kekerasan Perempuan Tahun 1965 Dibubarkan” Sabtu, 20 Mei 2006 22:31:32. Kaltim Post. “FPI Sweeping Tempat Maksiat” Senin, 17 Oktober 2005 – 09:46. Kapanlagi.com. “GARIS Bertanggung Jawab Atas Serangan Perkampungan JAI” Rabu, 21 September 2005. “Kerangka Acuan Perencanaan Strategis Impunitas,” lokakarya yang diselenggarakan PBHI dan HOM pada 29-30 Mei 2006 di Cipayung, Bogor. Kompas. “Bagir Manan Perpanjang Usia Pensiun Dirinya: Disebutkan, Tunggakan Perkara di MA Masih Banyak” Jumat, 20 Januari 2006. Kompas. “Bagir Manan Merasa Difitnah, Tolak Usulan untuk Non-aktif” Kamis, 13 Oktober 2005. Kompas. “Dua Kovenan HAM Diratifikasi, Dengan Reservasi pada Hak Menentukan Nasib Sendiri” Sabtu, 1 Oktober 2005. Kompas. “Banyak UU Tanpa Kajian: Tidak Ada Desain Besar Legislasi Nasional, Banyak yang Tumpang Tindih” Senin, 8 Mei 2006. Kompas. “Pelaksanaan Otonomi Daerah Kebablasan” Sabtu, 24 April 2004.
64
Kompas Cyber Media. “Tokoh Antaragama Kutuk Penyerangan Jemaat Ahmadiyah” Sabtu, 16 Juli 2005, 18:05 WIB. Kompas. “Kantor PBHI Jabar Didatangi Massa,” Selasa, 26 Juni 2001. Kompas. “FPI Rusak Kantor Komnas HAM dan Kafe Jimbani” Sabtu, 24 Juni 2000. Kompas Cyber Media. dan “Istri Gus Dur Dilaporkan FBR ke Polda” Rabu, 24 Mei 2006, 08:38 WIB. Kompas Cyber Media. “Jemaah Ahmadiyah Kuningan Bantah Ada Bentrokan” Jumat, 05 Agustus 2005, 21:12 WIB. Kompas Cyber Media. “Bagir Manan Siap Pensiun Tahun 2008” Selasa, 02 Mei 2006, 12:09 WIB. Kompas Cyber Media. “Konflik MA-KY Hanya Untungkan Mafia Peradilan” Selasa, 14 Februari 2006, 13:29 WIB. Kompas Cyber Media. “Bagir Manan: Tak Ada Alasan untuk Mundur” Rabu, 12 Oktober 2005, 15:03 WIB. Kompas Cyber Media. “LSM HAM Tolak Hukuman Mati” Kamis, 06 April 2006, 16:26 WIB. Koran Tempo, “72 Anggota Ahmadiyah Nyatakan Keluar” 2 Agustus 2005 kristianipos.com, “Penembokan Sekolah Sang Timur, Pendidikan Jangan Jadi Korban” Sabtu, 9 Oktober 2004 8:45:00 WIB. kristianipos.com. “Gus Dur Meminta Walikota Tangerang Memberikan Izin Membangun Gereja,” Kamis, 28 Oktober 2004 10:00:03. Liputan6.com. “Gus Dur Meminta Masjid Milik Ahmadiyah Dibuka” Jumat, 5 Agustus 2005 15:31.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Liputan6.com. “Polisi Membubarkan Paksa Demonstrasi di DPRD Bengkulu” Rabu, 31 Agustus 2005 15:00.
Pikiran Rakyat. “Dialog Lintas Etnis Nyaris Rusuh: Gus dur Tuding Gerakan Ormas Islam Ada yang Mendanai” Rabu, 24 Mei 2006.
Liputan6.com. “Azyumardi Azra Menuntut Pengusir Gus Dur Diusut” Kamis, 25 Mei 2006 05:59.
Pikiran Rakyat. “FUI Wil. Cirebon Sesalkan Sikap LSM Fahmina” Jumat, 26 Mei 2006.
Liputan6.com. “Massa Pencinta Gus Dur Berdemonstrasi” Kamis, 25 Mei 2006 01:54. Liputan6.com. “Kampus Ahmadiyah Dikepung Massa” Jumat, 15 Juli 2005 20:20. Liputan6.com. “Massa FPI-FBR Bersiap Menghadapi Serbuan Garda Bangsa” Jumat, 26 Mei 2006. Liputan6.com. “Dua Kelompok Massa Islam Bentrok” Sabtu, 9 Juli 2005 18:04. Media Indonesia Online . “Fatwa MUI Dituding Melegitimasi Penyerangan Terhadap Ahmadiyah” Senin, 18 Juli 2005 19:26 WIB. Media Indonesia Online. “Pemerintah Tetap Larang Ajaran Ahmadiyah” Rabu, 20 Juli 2005 08:02 WIB. Media Indonesia Online. “Presiden Lantik Bagir Manan Sebagai Ketua MA” Kamis, 18 Mei 2006 14:52 WIB. Media Indonesia Online. “Massa Bubarkan Pertemuan Perempuan Eks Napi PKI,”, Senin, 22 Mei 2006. Media Indonesia Online. “MUI Tetapkan 11 Fatwa, Haram Hukumnya Perdukunan dan Peramalan” Kamis, 28 Juli 2005 20:26 WIB. Meijer, Martha. The Scope of Impunity in Indonesia (draft), Utrecht: The Netherlands Humanist Committee on Human Rights, 2006. Metrotvnews.com. “Sejumlah Sarana Ibadah Ahmadiyah di Kuningan Disegel” Jumat, 29 Juli 2005 20:00.
Pikiran Rakyat. “Dialog Lintas Etnis Nyaris Rusuh, Gus dur Tuding Gerakan Ormas Islam Ada yang Mendanai” Rabu, 24 Mei 2006. Pikiran Rakyat. “NU Tuntut FPI Minta Maaf, Ormas Islam Buat Pernyataan, Buntut Acara Dialog Lintas Etnis dan Agama” Jumat, 26 Mei 2006. Pikiran Rakyat . “Polisi Tembak Buronan Pencuri Sarang Walet” Rabu, 26 Januari 2005. Pikiran Rakyat. “Massa Gabungan Ormas ‘Sweeping’ Toko Miras” Senin, 25 Juli 2005. Pikiran Rakyat. “Diakui Sebagai Tindakan Konkret Berantas Pekat, Massa FPI Purwakarta Razia Miras dan PSK” Sabtu, 29 Oktober 2005. Pikiran Rakyat. “Saat Mencoba Membubarkan Pertemuan di Kemang, Warga Bentrok dengan Pengikut Ahmadiyah” Minggu, 10 Juli 2005. Pikiran Rakyat. “Rumah Ketua Ahmadiyah Kab. Garut Diamuk Massa, Kejengkelan terhadap Ketidakpastian Sikap Pemerintah” Selasa, 2 Agustus 2005. Pikiran Rakyat . “Kejaksaan Telah Mendata Asetnya, Muspida Garut Sepakat Melarang Ahmadiyah” Selasa, 9 Agustus 2005. Radjab, Suryadi. “Peristiwa 12 Februari dan Kekerasan Polisi” dalam Hendardi, Distia Aviandari dan Suryadi Radjab, Hak Manusia dan Polisi, Bandung: PBHI Jawa Barat, 2005.
Metrotvnews.com. “Warga Ahmadiyah NTB Mengucapkan Syahadat” Rabu, 22 Februari 2006 23:50.
Rahardjo, M. Dawam. “Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama” dalam http://islamlib.com/id/index.php?page= article&id=850, 18 Jul 2005 19:49:51.
Metrotvnews.com. “Menolak RUU APP, Aktivis dan Artis Diteror” Jumat, 28 April 2006 17:05.
Rakyat Merdeka “Bangkitkan Semangat “PKI”, Seminar Incres Dibubarkan,”, Senin, 22 Mei 2006, 04:18:30 WIB.
“Pernyataan Forum Komunikasi Kristiani Indonesia Jawa Barat tentang Penutupan Kegiatan Ibadah Kristen di Perumnas Bumi Rancaekek Kencana,” Bandung, 4 Oktober 2004.
Rakyat Merdeka. “FPI Segel Fahmina Institute Cirebon, Polisi Bengong” Jumat, 26 Mei 2006, 18:18:45 WIB.
Pigay, Decky Natalis. “Aksi Premanisme terhadap Pers” dalam Sinar Harapan, Jum’at, 14 Maret 2003. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Rakyat Merdeka. “Gus Dur vs Ormas Radikal: Polisi Minta Semua Pihak Menahan Diri” Kamis, 25 Mei 2006, 19:16:05 WIB.
65
Rakyat Merdeka. “Saat Pidato, Gus Dur Diserang Massa FPI dan HTI” Kamis, 25 Mei 2006, 10:03:13 WIB.
Sinar Harapan. “Yusril Bantah Revisi KUHP Mengadopsi Syariat Islam” Rabu, 1 Oktober 2003.
Rakyat Merdeka. “Garda Bangsa Minta Habib Rizieq Ditangkap” Jumat, 26 Mei 2006, 14:14:51 WIB
Sinar Harapan. “Gus Dur: Hentikan Aksi Penutupan Gereja” Selasa, 23 Agustus 2005.
Rakyat Merdeka. “Aliansi Masyarakat AntiKekerasan Luruk Markas FPI Besok Siang” Kamis, 25 Mei 2006, 17:24:23 WIB. Rakyat Merdeka. “SBY-JK Didesak Bubarkan FPI” Rabu, 24 Mei 2006, 15:48:40 WIB. Rakyat Merdeka. “GP Ansor Minta Ormas Liar Dibubarkan” Jumat, 26 Mei 2006, 11:36:46 WIB. Rakyat Merdeka. “Banteng Jakarta Dukung Gus Dur Hadapi FPI Cs.” Sabtu, 27 Mei 2006, 12:16:50 WIB. Rakyat Merdeka. “Empat LSM Desak Moratorium Hukuman Mati Tibo Cs.” Kamis, 30 Maret 2006, 17:57:46 WIB. Republika. “Sejumlah Ormas Islam Tutup Gereja Ilegal” Senin, 15 Agustus 2005. Republika., “Camat Dayeuhkolot Tutup Gereja Ilegal” Selasa, 23 Agustus 2005. Republika.“Ruang Kerja Bagir Digeledah, Rapim darurat digelar saat penggeledahan berlangsung” Jumat, 28 Oktober 2005. Republika Online “Komnas Perempuan akan Minta Klarifikasi Kapolri,”, Senin, 22 Mei 2006 19:19:00. Republika Online. “Polisi Tembak Buron Pelaku Curas” Kamis, 25 Mei 2006 10:02:05. Riau Pos Online. “Liku-liku Percaloan dan Mafia Peradilan di Indonesia” Sabtu, 8 Oktober 2005. Riau Pos Online. “Muladi: Perpanjangan Pensiun Bagir Manan Keliru” Jumat, 10 Maret 2006. SeKetika.com. “Wartawan Surabaya Demo UPN Veteran, Terkait Pemukulan Kontributor TV” 26 April 2006. “Siaran Pers PBHI Jawa Barat tentang Pengusiran Gus Dur dan Intimidasi Kegiatan Forum Dialog Lintas Agama di Purwakarta,” Bandung, 24 Mei 2006. Sinar Harapan.“Hampir 30 Persen UU Bertentangan dengan Konstitusi” Jumat, 10 Maret 2006. Sinar Harapan. “Syariat Islam dalam KUHP Bermuatan Politis” Kamis, 2 Oktober 2003. 66
Sinar Harapan. “Direktur ICIP Syafii Anwar: Perda Syariat Bisa Picu Disintegrasi” Senin, 22 Mei 2006. Sinar Harapan. “Syariat Islam, dari Desa Mengepung Kota” Senin, 22 Mei 2006. Sinar Harapan. “Kasus Wamena Tunjukkan Lemahnya Perlindungan HAM di Papua” Senin, 23 Juni 2003. Suaedy, Ahmad. “Preman Berjubah itu” dalam gusdur.net, Sabtu, 27 Mei 2006. Suara Pembaruan. “PBHI Desak Kapolri Usut Kasus Kekerasan di Garut”, Jumat, 2 Juni 2006. Suara Pembaruan. “Indonesia Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik” Sabtu, 1 Oktober 2005. Suara Pembaruan. “KPK Terlambat Geledah Ruang Ketua MA” Jumat, 28 Oktober 2005. Suara Pembaruan. “Majelis Hakim Masih Musyawarah Bahas Soal Bagir Manan” Rabu, 10 Mei 2006. Suara Pembaruan. “Kapolri Harus Klarifikasi Pembubaran Kegiatan Mantan Tapol PKI,” n, Selasa, 23 Mei 2006. Suara Pembaruan. “Disesalkan, Polisi Biarkan FPI Bertindak Anarkis” Rabu, 24 Mei 2006. Sriwijaya Post Online. “Polisi Tembak Penjahat Kambuhan” Rabu, 30 Juni 2004. TEMPO Interaktif. “5000 Orang Akan Demonstrasi Tolak RUU Anti Pornografi” Rabu, 10 Mei 2006 | 13:04 WIB. TEMPO Interaktif. “Polisi Tembak Mati Perampas Motor” Sabtu, 22 November 2003. TEMPO Interaktif. “Bagir Terpilih, Bagir Ditolak” Jumat, 2 Juni 2006 | 13:05:43 WIB. TEMPO Interaktif . “Fatwa-fatwa Haram Ala MUI” Jum’at, 29 Juli 2005 | 06:38 WIB. TEMPO Interaktif. “Gus Dur Perintahkan Banser untuk Menjaga Sang Timur” Senin, 25 Oktober 2004 | 11:52 WIB. TEMPO Interaktif. “Massa Datangi Kontras dan PBHI” Jumat, 6 Pebruari 2004.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
TEMPO Interaktif. “Wardah Hafidz Kecewa dengan Putusan Hakim” Senin, 31 Maret 2003. TEMPO Interaktif. “Masyarakat Kemang Kutuk Aksi FPI,” Sabtu, 23 Oktober 2004 | 00:00 WIB. TEMPO Interaktif. “FPI Akan Terus Sweeping Tempat Hiburan” Kamis, 28 Oktober 2004 | 19:45 WIB. TEMPO Interaktif. “Puluhan Orang Berseragam FBR Keroyok Pedagang Pasar Senen” Kamis, 10 Pebruari 2005 | 17:27 WIB. TEMPO Interaktif. “Polres Jakarta Timur ‘Diserbu’ FBR” Jumat, 3 Oktober 2003. TEMPO Interaktif. “Tujuh Anggota FBR Divonis Enam Bulan” 31 Maret 2003. TEMPO Interaktif. “Tawuran FBR-Benteng Banten, Lima Luka-luka” Senin, 04 April 2005 | 14:01 WIB. TEMPO Interaktif. “Tembok Sang Timur Dirobohkan” Senin, 25 Oktober 2004 | 10:09 WIB. TEMPO Interaktif. “Preman Pukul Wartawan dan Rusak Kantor Indopos” Selasa, 20 Desember 2005 | 00:20 WIB. TEMPO Interaktif. “Wartawan TEMPO Dipukul” Jumat, 19 Maret 2004. TEMPO Interaktif. “Polisi Nias Gelar Perkaranya Hilangnya Wartawan Berita Sore” Kamis, 17 November 2005 | 01:07 WIB. Tribun Timur. “Ahmadiyah Bulukumba Diancam Demo Besar-besaran” Jumat, 17 Februari 2006.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Tribun Timur. “Keluarga Ahmadiyah Bulukumba Mengungsi” Sabtu, 18 Februari 2006. Tribun Jabar. “Massa Segel Kantor LSM, Dianggap Tolak RUU APP” Senin, 22 Mei 2006. Wahid, Abdurrahman, “Negara Hukum Ataukah Kekuasaan,” dalam gusdur.net, Rabu, 20 Juli 2005. wahidinstitute.org. “LSM Fahmina Diserbu Massa Pendukung RUU APP” Senin, 22 Mei 2006. Warta Kota. “Pada HUT-nya Ke-56, Polisi Hajar Wartawan, 4 Luka-luka, 1 Muntah Darah” Selasa, 02 Juli 2002, 9:07 WIB. Waspada Online. “Mafia Peradilan Di Manamana”, Senin, 23 Januari 2006 22:30 WIB. Wibowo, Harry. “Hak-hak Manusia: Menjernihkan Berbagai Konsep Dasar” makalah yang disampaikan dalam Pelatihan Investigasi yang diselenggarakan PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia) pada 27-30 Desember 2005 di Megamendung Permai, Megamendung, Bogor. www.ahrchk.net. “Pernyataan Asian Human Rights Commission: Ratifikasi Instrumen Utama Hak Manusia Harus Ditindaklanjuti dengan Reformasi Hukum”, Hongkong, 14 Maret 2006. www.fpks-dpr.or.id. “Hilman Rosyad Syihab, Anggota Pansus RUU APP DPR FPKS: RUU APP Lindungi Kaum Perempuan” Jumat, 27 Januari 2006 19:11:53.
67
Hak Asasi Manusia di Dunia yang Terglobalisasi:
Paradoks Janji-janji Kosong 1 Emilie M. Hafner-Burton - Oxford University Kiyoteru Tsutsui - State University of New York, Stony Brook
Abstract The authors examine the impact of the international human rights regime on governments’ human rights practices. They propose an explanation that highlights a “paradox of empty promises”. Their core arguments are that the global institutionalization of human rights has created an international context in which (1) governments often ratify human rights treaties as a matter of window dressing, radically decoupling policy from practice and at times exacerbating negative human rights practices, but (2) the emergent global legitimacy of human rights exerts independent global civil society effects that improve states’ actual human rights practices. The authors’ statistical analyses on a comprehensive sample of government repression from 1976 to 1999 find support for their argument.
PENDAHULUAN Perlindungan hak asasi manusia yang mendasar adalah tujuan yang paling mendesak tetapi paling sulit dicapai oleh masyarakat internasional. Sebelum Perang Dunia II, hukum internasional yang melindungi hak asasi manusia sangat jarang ada. Negara-negara membatasi kewajiban hukum internasional dengan menyatakan keinginan untuk membatasi kewajibannya berdasarkan sejumlah perjanjian dan konvensi. 2 Namun, adopsi Piagam PBB 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tiga tahun kemudian membuka suatu jendela kesempatan bagi berbagai negara, organisasi internasional, dan aktor masyarakat serta aktor organisasi sipil untuk menempatkan hak asasi manusia dalam agenda hukum internasional. Saat ini, upayaupaya tersebut telah terakumulasi dalam pembentukan dan perluasan suatu sistem hukum internasional mendunia yang dirancang untuk mengidentifikasi dan melin68
1 Para penulis membagi tanggung jawab yang sama
dalam pekerjaan ini; nama mereka diurut berdasarkan abjad. Para penulis sangat berterima kasih kepada para peserta Comparative Workshop di Stanford University, dan khususnya kepada John Meyer dan Francisco Ramirez (dan juga peserta Global Research Seminar di Stony Brook University) atas komentar-komentar mereka yang penuh pemahaman. Proyek ini didukung oleh bantuan dana dari National Science Foundation (SES 2CDZ414) dan Bechtel Center di Stanford’s Institute for International Studies. Emilie Hafner-Burton juga menerima dukungan yang besar dari National Science Foundation (SES 0135422), Stanford’s Center for Security and Cooperation, dan Nuffield College, Oxford. Kiyoteru Tsutsui menerima dukungan yang besar dari Stony Brook University. Korespondensi langsung kepada Emilie Hafter-Burton, Nuffield College, Universitas Oxford, New Road, Oxford OXI 1 NF, Inggris. E-mail:
[email protected] atau Kiyoteru Tsutsui di
[email protected]. 2 Contoh-contoh mencakup pelarangan formal terhadap perdagangan budak oleh Perjanjian Wina (1815) dan General Act of Brussel. Diciptakan setelah kehancuran yang disebabkan oleh Perang Dunia II, sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara-negara anggotanya untuk pertama kalinya membangun suatu dasar bagi upaya bersama untuk melindungi hak asasi manusia semua orang. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
dungi sejumlah hak asasi manusia mendasar yang terus bertambah. Bagi banyak ilmuwan dan aktivis, komitmen hukum dari negara-negara untuk melindungi hak asasi manusia yang terus meningkat menandakan adanya suatu pergeseran yang fundamental dalam struktur masyarakat internasional. Kebanyakan negara sekarang mengikat dirinya pada suatu rejim internasional yang dirancang untuk melindungi hak-hak mendasar setiap anak, perempuan, dan laki-laki melalui hukum. Dengan bertambah banyaknya bangsa yang secara sukarela mengikat diri pada rejim internasional ini, rejim tersebut juga memperluas dirinya untuk mengikutsertakan hak-hak asasi manusia utama yang baru (lihat tabel 1). Perjanjian-perjanjian ini menyediakan berbagai lembaga pengawasan yang bekerja untuk memperbaiki praktik-praktik pemerintah dalam bidangbidang hak asasi manusia tertentu melalui pengumpulan dan diseminasi informasi, dan seringkali melalui kerja sama dengan aktivis nonpemerintah. Namun, pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah bersifat epidemis. Diagram 1 membandingkan prosentase perjanjian hak asasi manusia internasional yang ada saat ini yang rata-rata telah diratifikasi oleh negara-negara dengan prosentase negara-negara yang dilaporkan bersifat refresif dalam jangka waktu tertentu. Jelas terlihat bahwa (1) rata-rata terjadi peningkatan prosentase negara yang telah meratifikasi sejumlah perjanjian hak asasi manusia, sementara (2) prosentase negara-negara yang dilaporkan melanggar hak asasi manusia juga bertambah dari waktu ke waktu, walaupun pertambahan jumlah tersebut mulai berkurang selama beberapa tahun belakangan ini. Meningkatnya kesenjangan antara keinginan negara untuk bergabung dalam rejim hak asasi manusia internasional dan untuk JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
membawa praktik hak asasi manusianya agar sesuai dengan rejim tersebut, menantang efektivitas hukum internasional dan menimbulkan pertanyaan akan keabsahan komitmen hukum negara-negara untuk melindungi kehidupan warga negaranya. Ada banyak contoh. Sebagai yang pertama, Guatemala meratifikasi perjanjian hak asasi manusia internasional guna melindungi perempuan dari diskriminasi pada 1982, suatu masa di mana Pemerintah Guatemala dilaporkan telah melakukan pemenjaraan, penghukuman mati, dan pembunuhan politik secara meluas, serta penahanan karena pandangan politik. Menjelang 1992, Pemerintah Guatemala telah meratifikasi seluruh enam perjanjian penting hak asasi manusia (lihat tabel 1), memperluas komitmennya untuk melindungi semua warga negaranya dari pelanggaran atas hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; untuk menjamin kebebasan dari penyiksaan dan perlindungan terhadap kelompok ras minoritas dan anak-anak. Namun, praktik-praktik hak asasi manusia tetap tidak berubah, di mana pelanggaran hak asasi manusia mencapai puncaknya pada 1994 dan 1995. Contoh lain yang relevan adalah Irak. Ketika pemerintah Irak meratifikasi perjanjian internasional pertamanya pada 1970 serta berkomitmen terhadap penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial, pelanggaran hak asasi manusia di Irak adalah suatu hal yang umum terjadi. Pada 1994, pemerintah telah meratifikasi lima dari enam perjan jian inti yang melindungi hak asasi manusia. Namun, pada tahun yang sama Amnesty International juga melaporkan bahwa tindakan represif telah menjadi begitu ekstrim, sistematis, dan tersebar-luas (Amnesty International, 1994). 3 Dengan demikian, apa gunanya perjanjian internasional hak asasi manusia ketika perjanjian tersebut tidak dapat memperbaiki praktik-praktik hak asasi manusia? 3 Irak belum meratifikasi atau menandatangani CAT.
69
Tabel 1 PERJANJIAN HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Perjanjian
Nama
Badan Pengawas
Tahun Tahun Negara diadopsi diberla- Pihak* kukan
CERD
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Rasial
Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial
1965
1969
157
ICESCR
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
1966
1976
144
ICCPR
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
Komite Hak Asasi Manusia
1966
1976
147
CEDAW
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan
1979
1981
167
CAT
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Segala Bentuk Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia
Komite Menentang Penyiksaan
1984
1987
124
CRC
Konvensi tentang Hak Anak
Komite Hak Anak
1989
1990
191
SUMBER. – Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa 2001. * Per tahun 2001
Para ilmuwan hubungan internasional, khususnya yang mengembangkan tradisi realisme dan neoliberalisme, telah memperkirakan kesenjangan antara komitmen negara-negara terhadap hukum internasional dengan praktik negara-negara tersebut. Pengarusutamaan perspektif hubungan internasional ini seringkali menganggap bahwa perkembangan proses legalisasi prinsipprinsip hak asasi manusia sebagai suatu epiphenomenal [suatu fenomena yang muncul sebagai akibat dari suatu hal yang lain] (Mearsheimer 1994/1995); atau, mereka mengasumsikan bahwa negara-negara hanya taat pada prinsip-prinsip hukum internasional ketika hal tersebut sesuai dengan kepentingan nasional mereka dan ketika ada institusi-institusi internasional yang dibentuk untuk menegakkan ketaatan terhadap hukum (Downs, Rocke, dan Barsoom 1996). Pendeknya, tradisi rasionalis telah 70
membuat para ilmuwan menganggap bahwa rejim hak asasi manusia hanya berdampak sedikit pada praktik hak asasi manusia secara nyata. Perjanjian-perjanjian pada dasarnya tidak dirancang untuk membuat pemerintah-pemerintah yang meratifikasinya dapat dimintai pertanggungjawaban atas komitmen mereka. Banyak ilmuwan hukum internasional dan konstrukvisionis hubungan internasional justru sangat menentang hal-hal di atas: negara-negara pada dasarnya berusaha untuk menaati prinsip-prinsip hukum internasional yang mereka dukung (Henkin, 1979). Hal tersebut juga berlaku untuk rejim hak asasi manusia internasional. Organisasi internasional dan aktor-aktor nonpemerintah dapat mengajarkan dan mensosialisasikan kepada para pemimpin pemerintahan agar mengadopsi praktik-
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Diagram 1. Ratifikasi perjanjian hak asasi manusia versus praktik hak asasi manusia pada periode 1976 sampai 1998.–% perjanjian yang diratifikasi (treaties ratified) mengukur prosentase perjanjianperjanjian internasional hak asasi manusia yang tersedia yang telah diratifikasi oleh negara pada periode tersebut. Data ratifikasi dijelaskan secara detil pada bagian data dari tulisan ini. % represif (repressive) mengukur prosentase negara-negara yang dilaporkan melanggar hak asasi manusia pada periode tersebut. Kami mendefinisikan suatu pelaku tindakan represif sebagai negara mana pun yang memiliki nilai 1, 2, atau 3 dari ukuran standar represif kami yang dijelaskan secara lengkap pada bagian data dari tulisan ini.
praktik baru (Finnemore 1966a). Misalnya, tekanan internasional turut menyumbang pada penurunan tingkat kasus penghilangan paksa di Argentina (Keck dan Sikkink 1998, hal. 103-110), ratifikasi terhadap per janjian hak asasi manusia internasional mengarah pada pengurangan hambatan legal bagi orang-orang Korea di Jepang (Iwasawa 1986), dan Konvensi Menentang Penyiksaan telah mengubah cara yang digunakan oleh Pemerintah Israel dalam menginterogasi orang-orang yang dicurigai sebagai teroris (Ron 1997). Cerita-cerita seperti di atas, yang banyak terdapat di berbagai literatur (Risse, Ropp, dan Sikkink 1999; Lutz dan Sikkink 2000; Clarck 2001), menunjukkan bahwa institusionalisasi hak asasi manusia secara global memiliki dampak langsung dan positif terhadap praktikpraktik negara. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Persoalan dalam penelitian ini sangatlah jelas: sudut pandang teoritis mengarah pada kedua pandangan tersebut, dan jarang ada bukti empiris yang sistematis untuk mendukung kedua pandangan tersebut. Kemudian, kecenderungan untuk mengisolasi kedua aspek utama dari proses penaatan telah membuat para ilmuwan gagal melihat gambaran yang lebih besar. Perhatian terhadap dampak langsung dari ratifikasi per janjian formal telah mengarah pada kekhawatiran yang pesimis pada kesenjangan yang ada antara ratifikasi dan praktikpraktik domestik. Kepercayaan bahwa advokasi masyarakat sipil internasional dapat mendorong praktik-praktik yang lebih baik telah mengarah pada kepedulian yang lebih optimis ketimbang sifat dari kegiatan itu sendiri.
71
Kami menarik pandangan-pandangan dari rasional institusionalisme dalam hubungan internasional dan pendekatan masyarakat dunia dalam sosiologi untuk menjelaskan temuan-temuan yang kelihatannya saling bertentangan serta untuk merekonsiliasi kedua prediksi yang bertentangan tersebut. Argumentasi utama kami adalah bahwa institusionalisasi hak asasi manusia secara global telah menjadi pedang yang memiliki dua ujung. Di satu sisi, per janjian hak asasi manusia internasional memang memiliki suatu mekanisme institusional yang lemah untuk memonitor dan menegakkan norma-norma rejim, yang kemudian menawarkan insentif yang kuat untuk meratifikasi perjanjian internasional kepada pemerintah-pemerintah hanya untuk menciptakan image publik yang penuh kepura-puraan (window dressing) ketimbang sebagai suatu komitmen yang serius untuk melaksanakan praktik penghormatan terhadap hak asasi manusia. Kemudian, setelah diratifikasi, perjanjian internasional ini terkadang digunakan oleh pemerintah sebagai tameng atas perilaku yang semakin represif karena ratifikasi perjanjian tersebut memberikan suatu legitimasi hak asasi manusia yang justru mempersulit pihak-pihak lain untuk melakukan penekanan agar pemerintah-pemerintah semacam itu mau melakukan tindakan yang lebih baik. Ketika tekanan dari pihak luar menurun, maka pemerintah seringkali menjadi lebih represif setelah melakukan ratifikasi, dan rejim hukum hak asasi manusia tetap tidak memiliki kekuasaan lebih untuk menghentikan hal tersebut. Di sisi lain, hak asasi manusia yang diadvokasi secara regular justru bergerak di seputar per janjian-perjanjian tersebut, yang mengatur semakin meningkatnya legitimasi hak asasi manusia sebagai norma global perilaku negara yang selayaknya dalam rangka menekan negara-negara untuk memperbaiki praktik-praktik hak asasi manusianya.4
72
Sebagai akibatnya, kami menjelaskan dampak perjanjian hak asasi manusia sebagai suatu “paradoks janji-janji kosong”. Ketika negara bangsa membuat komitmen legal formal untuk menjadikan penaatan terhadap hak asasi manusia sebagai suatu simbol sementara mereka justru melakukan pelanggaran hak asasi manusia, maka komitmen institusional yang “kosong” atas rejim yang lemah tersebut justru terlihat ironis, dalam hal rejim tersebut memberikan kekuatan bagi advokasi aktor-aktor nonnegara melalui alat-alat untuk menekan pemerintah-pemerintah agar menaati perjanjian-perjanjian tersebut. Oleh karenanya, pendekatan kami menjadi bertentangan dengan pandangan-pandangan teoritis saat ini, yang tidak satu pun menjelaskan tentang kedua proses tersebut dalam satu model yang sama dan oleh karenanya gagal untuk menjelaskan dampak yang bersifat bertentangan dari institusi-institusi hak asasi manusia global atas praktik-praktik lokal.5 Di bagian berikutnya, kami akan menjelaskan tentang pendekatan teoritis dalam konteks perspektif saat ini yang menggambarkan tentang represi pemerintah atas hak asasi manusia. Kemudian, kami meninjau nilai-nilai empiris dari argumentasi 4 Dalam kajian ini, kami menggunakan istilah “insti-
tusi” untuk merujuk pada pengharapan normatif yang luas, aturan, dan praktik-praktik yang dikembangkan di seputar struktur organisasional dan hukum internasional (March dan Olsen 1998). Dengan demikian, istilah “institusi” mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada, perjanjian-perjanjian internasional. 5 Hasil pekerjaan terbaru Daniel Thomas (2001) merupakan sesuatu yang khusus dan menawarkan argumentasi yang hampir sama. Kajian tersebut memeriksa dampak Helsinki Final Act 1975 pada perkembangan politik setelahnya di negara-negara sosialis dengan menggunakan teknik kualitatif dan menyatakan bahwa partisipasi pemerintah dalam perjanjian hak asasi manusia internasional cenderung merupakan komitmen yang “kosong”, namun aktor-aktor nonnegara dapat mengambil keuntungan dengan menggunakan tekanan pada pemerintah dan menghasilkan perubahan politik. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
kami dengan menggunakan analisa periode waktu praktik hak asasi manusia dengan jangka waktu panjang yang berbeda dari pekerjaan-pekerjaan yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu mulai periode 1976 sampai 1999. Untuk pertama kalinya, data kami memungkinkan dilakukan penyelidikan yang menyeluruh atas politik hak asasi manusia di negara-negara pasca Perang Dingin dan adanya dasar untuk analisa komparatif terhadap perilaku represi pemerintah di berbagai masa. 6 Secara menyeluruh, kami menekankan pada bagaimana kekuatan global telah membentuk perilaku represif pemerintah pada hak asasi manusia yang paling mendasar: yaitu hak atas keamanan.7
TEORI-TEORI Dibagian ini kami membandingkan perspektif-perspektif teoritis yang saling bertentangan mengenai ketaatan terhadap hukum internasional. Kami mendiskusikan bagaimana pendekatan kami dapat menjelaskan dinamika ketaatan terhadap perjan jian-perjanjian hak asasi manusia internasional yang diinterpretasikan dengan dua cara (bersifat double-edge) dengan lebih baik, dan kami meninjau kontribusi kajian empiris lintas-negara yang ada tentang hak asasi manusia untuk mengidentifikasikan variabel kontrol bagi analisa empiris kami.
Teori-teori tentang Ketaatan secara Umum dalam Hubungan Internasional dan Hukum Internasional Pertanyaan tentang apakah hukum hak asasi manusia internasional mempengaruhi praktik hak asasi manusia pemerintah mengandung suatu pertanyaan politik yang lebih dalam mengenai ketaatan negara terhadap rejim hak asasi manusia internasional. Kebanyakan ilmuwan politik menekankan pada peran negara, kepentingan nasional, dan posisi tawar-menawar di tingkat JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
domestik, dengan argumentasi bahwa pemerintah tunduk pada hukum internasional hanya ketika hukum tersebut sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Bagi beberapa negara, hukum internasional adalah bersifat epiphenomenal [suatu fenomena yang muncul sebagai akibat dari suatu hal yang lain] bagi kekuasaan negara: sehingga tunduknya negara pada kewajiban hukum mereka untuk melindungi hak asasi manusia hanya merupakan suatu kebetulan belaka. Perilaku negara dimotivasi oleh kepentingan-pribadi mereka, dan kepentingan ini ditentukan oleh struktur kekuasaan dalam sistem internasional (Waltz 1979). Perjanjian hak asasi manusia internasional hanyalah sekedar sarana yang diciptakan oleh negara-negara liberal yang berkuasa untuk memajukan kepentingan mereka, dan hanya ada sedikit harapan bahwa per janjian ini dapat mengubah perilaku negara, terutama ketika perjanjian ini tidak memiliki mekanisme penegakan (HafnerBurton dalam cetakan). Bagi yang lain, rejim hukum internasional dapat mempengaruhi perilaku negara dalam beberapa hal penting: rejim memfasilitasi kerja sama antar negara-negara berdaulat dengan meyediakan suatu mekanisme koordinasi dan mekanisme komitmen yang mengidentifikasi kewajiban negara 6 Kami mencatat bahwa beberapa kajian terbaru
mencakup data di masa pasca Perang Dingin. Misalnya, Richards dkk. (2001) memeriksa dampak masuknya ekonomi asing pada perilaku represif pemerintah dengan menggunakan sample 43 negara-bangsa dalam jangka waktu 1981–1995. Kemudian, Apodaca (2001) menguji hipotesis tentang dampak globalisasi ekonomi pada periode 1990–1996. Untuk lebih lanjutnya, lihat HafnerBurton (2005). 7 Kami menekankan pada hak-hak ini karena hakhak ini sangat mendasar bagi martabat manusia – hak untuk bebas dari pembunuhan, penyiksaan, atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia; bebas dari penghilangan atau penahanan yang tidak sesuai dengan hukum; dan bebas dari pelanggaran lain yang disengaja atas hak untuk hidup dan kebebasan seseorang.
73
serta menyediakan suatu sarana untuk penegakan kewajiban tersebut. Namun demikian, negara-negara hanya bergabung dengan dan tunduk pada rejim ketika hal tersebut sesuai dengan kepentingan rasional mereka (Keohane 1984; Downs dkk. 1996). Oleh karenanya, walaupun rejim hak asasi manusia internasional dapat mendorong kerja sama antarnegara dan membatasi perilaku represif pemerintah terhadap hak asasi manusia, namun jumlah negara yang menyatakan komitmennya pada institusi semacam itu tetap harus dibatasi, dan ketaatan pada rejim akan sangat tergantung pada rancangan rejim tersebut. Pihak lain juga menyatakan bahwa ketaatan negara pada hukum internasional adalah suatu fungsi dari preferensi negara yang ditentukan oleh posisi tawar-menawar politik di tingkat domestik: institusi politik dan aktor negara menentukan apakah pemerintah dapat menyatakan komitmennya pada hukum internasional dan apakah negara dapat tunduk pada komitmen tersebut dalam jangka waktu panjang (Moravcsik 1997). Perjanjian hak asasi manusia internasional merupakan institusi yang dihasilkan dari permainan tawar-menawar kolektif semacam itu (Moravcsik 2000). Karena konfigurasi kepentingan dan kekuasaan politik di dalam dan di seputar negara berubah seiring waktu, maka ratifikasi terhadap perjanjian hak asasi manusia internasional tidak dapat selalu diterjemahkan sebagai ketaatan terhadap perjanjian tersebut. Apakah negara sungguh-sungguh menaati komitmen mereka pada perjanjian ini tergantung pada mobilisasi para aktor di tingkat domestik yang mendukung ketaatan terhadap perjanjian hak asasi manusia internasional, yang oleh karenanya sulit untuk diperkirakan sebelumnya. Pendekatan pengarusutamaan seperti ini dalam hubungan internasional menekankan pada kekuasaan dan kepentingan sebagai faktor pendorong negara untuk me74
ratifikasi perjanjian hak asasi manusia internasional dan menganggap bahwa ratifikasi tersebut hanya akan berdampak sedikit terhadap praktik-praktik hak asasi manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Walaupun pendekatan ini tidak pernah diuji secara sistematis, kami menganggap bahwa argumentasi kelompok rasionalis mengenai dampak langsung ratifikasi tetap memiliki nilai yang berarti. 8 Sebagaimana argumentasi kami di bawah ini, rejim hak asasi manusia tidak dirancang untuk menyediakan sarana institusional yang kuat bagi anggotanya untuk menegakkan ketaatan terhadap perjanjian hak asasi manusia internasional. Negara-negara mengetahui tentang kekurangan ini, dan para pemimpin pemerintahan menyadari bahwa rejim tersebut lemah serta bahwa berbagai badan monitoring tidak memiliki alat untuk menegakkan hukumnya (Cleveland 2001). Oleh karenanya, kami melihat bahwa kesenjangan antara ratifikasi dan perilaku untuk melaksanakan perjanjian hak asasi manusia internasional disebabkan karena adanya insentif bagi pemerintah yang meratifikasi perjanjian tersebut, walaupun pemerintah tersebut sebenarnya tidak memiliki keinginan ataupun kapasitas untuk melaksanakan kewa jiban berdasarkan perjanjian hak asasi manusia internasional tersebut (HafnerBurton, Tsutsui, dan Meyer 2004). Namun demikian, kami berargumen bahwa persoalan utama dalam pendekatan ini adalah bahwa pendekatan ini tidak melihat dampak positif dari institusionalisasi rejim hak asasi manusia internasional terhadap praktik-praktik di tingkat lokal yang bekerja bukan melalui sistem perjanjian namun melalui aktor-aktor nonpemerintah. Memang, pendekatan ini sepenuhnya mengabaikan aktor-aktor nonpemerintah dan menghasilkan penjelasan yang bersifat 8 Lihat Hafner-Burton dalam cetakan.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
sangat pesimistis tentang dampak rejim hak asasi manusia. Pendekatan teoritis lain dalam literatur yang relevan membuat asumsi-asumsi yang berbeda. Para ilmuwan konstruksivionis hak asasi manusia menekankan pada caracara di mana organisasi internasional dapat mensosialisasikan atau mengajarkan negara-negara agar menerima tujuan dan nilai-nilai yang tertanam dalam hukum internasional. Berangkat dari asumsi utama mereka bahwa kepentingan negara didefinisikan dalam konteks norma-norma internasional yang dipegang oleh negara tersebut – yaitu norma-norma yang seringkali tertanam dalam hukum internasional dan dilaksanakan oleh pemerintah serta aktoraktor nonpemerintah – maka para konstruktivionis berpendapat bahwa negaranegara tunduk pada hukum internasional ketika para elit pemerintahan dapat belajar menerima dan memasukkan norma-norma dan nilai-nilai bersama yang membentuk kehidupan politik internasional (Finnemore 1996a; Keck dan Sikkink 1998; Risse dkk. 1999). Organisasi internasional tidak hanya membatasi perilaku negara melalui sanksisanksi hukum yang diterapkan oleh hukum internasional, tetapi juga mensosialisasikan negara-negara agar menerima norma dan nilai-nilai baru seperti hak asasi manusia yang diabadikan dalam hukum internasional di masa ini. Para ilmuwan hukum internasional seringkali mengira bahwa negara-negara cenderung menaati komitmen mereka atas perjanjian internasional. Salah satu model hukum yang paling berpengaruh saat ini, yang disajikan oleh Chayes dan Chayes (1995), menyatakan bahwa ada tiga alasan untuk mengharapkan ketaatan negara pada perjanjian internasional. Pertama, organisasi yang tidak aktif tersebut menyebabkan penaatan menjadi lebih tidak mahal dan menjadi pilihan yang lebih menarik karena ketika tidak ada alasan-alasan yang JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
kuat untuk tidak tunduk pada rejim tersebut. Kedua, perjanjian internasional merupakan hasil negosiasi komprehensif yang mencerminkan kepentingan nasional negara-negara anggota; di mana hal ini mencerminkan proses tawar-menawar di tingkat domestik. Karena pemerintah hanya meratifikasi perjanjian ketika hal tersebut sesuai dengan kepentingan nasionalnya, mereka cenderung tunduk pada perjanjian yang mereka pilih. Akhirnya, berbagai dampak normatif hukum terhadap individu yang terdokumentasi dengan baik dapat diterapkan terhadap perilaku pemerintahan di tingkat nasional (Kratochwill 1989; Young 1979). Sebagaimana orang-orang cenderung mengikuti hukum ketika tidak ada insentif untuk melakukan sebaliknya, maka negara-negara cenderung tunduk pada perjanjian hak asasi manusia internasional ketika tidak ada hambatan yang signifikan bagi penaatan tersebut. Sejauh ini, kecenderungan global yang diringkas dalam diagram 1 berlawanan dengan argumentasi-argumentasi tersebut, karena mereka gagal untuk menguraikan dua dimensi utama dari dinamika dari ketaatan terhadap perjanjian hak asasi manusia internasional – yaitu, sistem perjanjian formal dan kegiatan aktor nonpemerintah. Berangkat baik dari pendekatan rasionalis maupun pendekatan masyarakat dunia, untuk pertama kalinya, kami mengusulkan suatu argumentasi sosiologis yang membedakan antara sistem perjanjian dan aktor nonpemerintah guna menjelaskan dinamika ketaatan pada perjanjian hak asasi manusia yang bersifat kompleks.
Pendekatan Masyarakat Dunia Pada satu atau dua dekade terakhir ini, dimensi normatif dan budaya politik internasional telah semakin menarik perhatian ilmu-ilmu sosial. Suatu aliran teori yang disebut sebagai neo-institusionalisme dalam sosiologi telah mempengaruhi kecen-
75
derungan tersebut. Berkembang dari kajian organisasional, pendekatan neo-institusionalisme mengacu pada suatu pendekatan teoritis yang memberikan perhatian khusus terhadap dimensi kognitif, budaya, dan normatif dari realita organisasional (Meyer dan Rowan 1977; Meyer dan Scoot 1992; Scott 2000). Pendekatan ini menantang asumsi rasionalitas tujuan perilaku organisasional dan berargumentasi bahwa organisasi secara rutin mengikuti model dan standar yang telah ada apa pun kebutuhan fungsionalnya. Elemen utama pendekatan ini adalah legitimasi, karena organisasi membuat naskah yang memuat elemen-elemen standar yang dianggap sah di lingkungannya. Institusionalisasi semacam ini cenderung mengurangi adanya keragaman dalam organisasi karena kebanyakan dari mereka tunduk pada standar-standar yang telah diterima. Sebagaimana para peneliti kemudian berusaha mengembangkan upaya yang dipelopori oleh Meyer dan Rowan (1977), pendekatan teoritis ini telah mempengaruhi banyak bidang dalam penelitian ilmiah sosial (Thomas dkk. 1987; Powell dan DiMaggio 1991; Meyer dkk. 1992; Soysal 1994; Finnemore 1996b; Katzenstein 1996; Jacobson 1998; Berkovitch 1999; Boli dan Thomas 1999). Penerapan pendekatan ini dalam pengkajian tentang proses politik internasional, seringkali disebut sebagai pendekatan masyarakat dunia atau perspektif politik dunia, mempunyai pengaruh tersendiri. Beberapa topik dari penelitianpenelitian pendekatan ini antara lain, penelitian tentang gelombang dekolonisasi, penelitian tentang penyebaranluasan pemberian hak suara kepada perempuan, penelitian tentang diseminasi kurikulum sekolah (Meyer dkk. 1992), dan penelitian tentang ekspansi rejim lingkungan hidup di tingkat global (Meyer, Frank, dkk. 1997). Penelitian-penelitian semacam ini menjelaskan tentang bagaimana standar global 76
dan model-model yang telah ada dan diterima begitu saja membatasi politik nasional. Argumentasi utamanya adalah bahwa model dan norma yang terinstitusionalisasi di tingkat global mendapatkan status yang diinginkannya setelah jangka waktu tertentu dan mempengaruhi pembuat kebijakan di tingkat nasional. Karena kemudian banyak pemerintah yang mengorganisir dan merestrukturisasi politik nasionalnya di seputar model global dan standar perilaku yang selayaknya, maka semakin banyak pula negara-negara yang sama-sama menerapkan struktur politik dan sosial yang memiliki tampilan yang sama namun asalnya berbeda [bersifat isomorphic] (atau yang menyatukan diri dari asal yang berbeda-beda) pada berkesesuaian dengan model internasional (McNeely 1995; Meyer, Boli, dkk. 1997; Boli dan Thomas 1999). Kecenderungan semakin meningkatnya tindakan bersatunya negara-negara dari arah yang berbeda-beda atas dasar struktur domestik yang sama ini seiring dengan semakin meningkatnya integrasi negaranegara ke dalam suatu masyarakat internasional. Sementara prediksi hasil yang bersifat isomorphic ini seringkali terbatas pada bentuk organisasional dan adopsi kebijakan, literatur menunjukkan kemungkinan ter jadinya pemisahan antara kebijakan dan praktik; yaitu bahwa perubahan kebijakan formal seringkali bersifat nominal dan tidak memiliki dampak yang diharapkan pada praktik nyata (Meyer dan Rowan 1977; Brunsson 1989; Meyer, Boli, dkk. 1997); Krasner 1999). Dalam hal ratifikasi perjan jian-perjanjian internasional, pendekatan masyarakat dunia beranggapan bahwa keputusan untuk meratifikasi perjanjian hak asasi manusia internasional seringkali hanya merupakan sikap simbolis guna menunjukkan bahwa pemerintah bukanlah aktor yang menyimpang, dan bahwa ratifikasi tersebut tidak sepenuhnya mengarah JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
pada praktik-praktik ketaatan pada per janjian tersebut. Dengan kata lain, elit yang berkuasa mungkin meratifikasi suatu per janjian untuk memperoleh legitimasi di masyarakat internasional, dengan hanya melakukan sedikit upaya untuk menyesuaikan perilaku mereka dengan ketentuanketentuan dalam perjanjian tersebut. Oleh karena itu, tindakan ratifikasi suatu per janjian seringkali tidak seiring dengan praktik yang relevan, terutama ketika per janjian tersebut tidak memiliki mekanisme penegakan yang efektif dan pemerintah nasional dibiarkan begitu saja untuk melaksanakan perjanjian tersebut di tingkat domestik – ini merupakan hal yang pada umumnya terjadi dalam kebanyakan per janjian internasional. Ketika legitimasi suatu perjanjian mengalami perkembangan sampai pada suatu tingkat di mana negaranegara yang tidak meratifikasi terlihat sebagai sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan yang normal, maka pemerintah-pemerintah akan cenderung meratifikasi tanpa adanya keinginan dan kapasitas untuk tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam per janjian hak asasi manusia internasional, yang oleh karenanya semakin meningkatkan kemungkinan terjadinya pemisahan sebagaimana disebutkan di atas. Seperti halnya pendekatan nasional dalam hubungan internasional, penelitian dalam pendekatan masyarakat dunia telah cenderung menekankan pada proses pemisahan ini, yang menggarisbawahi kurangnya dampak dari model global terhadap praktik nyata. Dalam upaya menjelaskan dinamika penaatan yang bersifat tidak konsisten ini, kami memperluas pendekatan ini pada kajian hak asasi manusia dan membuat dua prediksi utama.
ARGUMENTASI Pertama, kami memperluas konsep pemisahan (decoupling) kepada proses instiJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
tusional dan hal-hal yang terjadi secara kebetulan dalam sejarah politik hak asasi manusia global. Dengan demikian terbentuk suatu dasar yang kuat atas apa yang disebut sebagai “pemisahan (decoupling) yang radikal”, di mana perjanjian-perjan jian memiliki dampak yang terbalik dengan apa yang diinginkan sebelumnya. Kami berargumen bahwa perjanjian hak asasi manusia internasional tidak cukup memiliki mekanisme penegakan yang dapat memberikan insentif bagi pemerintahpemerintah agar tidak menyimpang dari kebijakan mereka untuk berkomitmen pada perjanjian-perjanjian tersebut (Hathaway 2002; Downs dkk. 1996; Tsutsui dan Wotipka 2001). Dari waktu ke waktu, kedua sifat rejim ini – yaitu, legitimasi negara tanpa adanya penegakan – dapat mengarahkan pemerintah untuk menggunakan hukum internasional sebagai tameng bagi semakin meningkatnya perilaku kekerasan di tingkat domestik. Pada dasarnya, rejim hak asasi manusia dibuat untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi hak-hak mana yang sah di tingkat global, untuk menyediakan suatu forum guna pertukaran informasi berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia, dan untuk meyakinkan pemerintah serta pelaku pelanggaran bahwa hukum yang memberikan perlindungan bagi hak asasi manusia cukup untuk membatasi perilaku negara-bangsa sehingga oleh karenanya hukum tersebut harus dihormati. Selama beberapa tahun ini, rejim hak asasi manusia internasional telah membuktikan bahwa rejim ini semakin kompeten dalam menyediakan instrumen-instrumen yang dibutuhkan guna mengumpulkan dan bertukar informasi tentang pelanggaran hak asasi manusia, serta untuk mendiseminasikan informasi tersebut di tingkat global. 9 9 Perjanjian-perjanjian utama melengkapi komite-
komite PBB yang memberikan pelaporan formal dan melakukan fungsi monitoring.
77
Namun, di samping kapasitas penyebarmereka terhadap ide-ide hak asasi manusia, luasan informasi tersebut, rejim ini tidak baik dengan mengkritik kekuatan-kekuatmemberikan suatu mekanisme penegakan an poros dalam Perang Dunia II atau dengformal guna menyediakan atau mengacauan memperjuangkan kemerdekaan dari kan pertukaran informasi yang berharga pihak penjajah, dan secara retoris, telah didengan negara target (Cottier 2002; Goodtempatkan pada posisi mendukung perjanman dan Jinks dalam cetakan). Perjanjian- jian hak asasi manusia (Lauren 1998). perjanjian tidak menawarkan adanya komDengan semakin bertambahnya jumlah pensasi materi, hukum, maupun politik negara yang mendapatkan keuntungan dari atas praktik-praktik hak asasi manusia legitimasi atas ratifikasi perjanjian hak yang lebih baik, dan perjanjian-perjanjian asasi manusia internasional namun gagal ini juga tidak dapat menghukum pelaku untuk memenuhi komitmennya, maka kepelanggaran secara langsung dengan melasenjangan antara kebijakan dan praktik ini kukan penahanan atas barang-barang bertelah mengarah pada proses pemisahan harga. Yang terbaik yang dapat dilakukan yang semakin gawat dan radikal. Ratifikasi adalah bahwa instrumen hukum dari rejim atas perjanjian hak asasi manusia internaini dapat mempengaruhi praktik-praktik sional mengarah pada kemungkinan adasecara langsung dengan memberikan infornya hubungan yang negatif antara kebimasi kepada negara-negara yang represif jakan dan praktik.10 Pemerintah-pemerinagar termotivasi untuk mengadopsi normatah, yang dipersenjatai dengan banyak innorma baru agar berperilaku lebih baik formasi bahwa komitmen mereka terhadap (Hafner-Burton dalam cetakan). Namun, rejim tidak akan mengarah pada penegakan sebagaimana akan kami bahas di bawah ini, yang serius tetapi justru memberikan mebentuk pengaruh yang langsung ini bersifat reka legitimasi di mata negara-negara lain, lemah dan seringkali tidak efektif. sekarang bebas untuk menyembunyikan Permasalahan dalam upaya penegakan praktik-praktik hak asasi manusia domesini semakin diperkuat oleh kenyataan histiknya di belakang hukum internasional. toris bahwa kebanyakan perjanjian hak Praktik-praktik yang bersifat represif ini asasi manusia utama mulai diberlakukan semakin diperburuk setelah ratifikasi perpada saat Perang Dingin, yaitu suatu masa janjian hak asasi manusia internasional, di mana banyak pemerintahan menganggap dan sementara itu, rejim perjanjian hak ratifikasi terhadap perjanjian semacam ini asasi manusia internasional tidak berdaya hanya sebagai suatu hal politik yang tidak untuk mengubahnya. signifikan, yang berada di bawah payung Kemungkinan proses pemisahan yang suatu kekuatan superpower yang mungkin radikal ini membawa kita pada dua dampak membela atau mengabaikan kebijakan doyang dapat diamati: ratifikasi perjanjian mestik mereka berkaitan dengan hak asasi hak asasi manusia internasional akan memanusia. Oleh karena itu, rejim hak asasi miliki baik (1) dampak positif terhadap manusia internasional sebenarnya telah 10 Beberapa kajian empiris digunakan untuk mendumemberikan kesempatan bagi pemerintah kung bukti-bukti argumentasi ini. Dalam analisa untuk mendapatkan legitimasi internasiodata antarbangsa, Camp Keith (1999) menemukan nal dengan mendukung prinsip-prinsip hak bahwa tidak terdapat hubungan antara ratifikasi asasi manusia tanpa benar-benar melaksaICCPR dengan praktik-praktik hak asasi manusia, dan Hathaway (2002) melaporkan suatu dampak nakan praktik-praktik hak asasi manusia negatif dari ratifikasi perjanjian atas praktikdi negaranya (Mullerson 1997). Banyak praktik hak asasi manusia pemerintah di beberapa pemerintah yang menyatakan dukungan contoh. 78
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
praktik-praktik domestik atau (2) dampak negatif, karena pemerintah yang represif meratifikasi lebih banyak lagi perjanjian hak asasi manusia internasional dan semakin melakukan pelanggaran hak asasi manusia di mana rejim perjanjian hak asasi manusia tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan hal tersebut. Dampak negatif ini dapat bersifat langsung – yaitu ketika pemerintah secara sengaja menggunakan komitmennya terhadap rejim perjanjian hak asasi manusia internasional sebagai tameng bagi praktik-praktik hak asasi manusia mereka yang semakin memburuk dari pemeriksaan yang cermat dunia internasional – atau secara tidak langsung – yaitu ketika rejim perjanjian hak asasi manusia internasional tidak memiliki kapasitas untuk menghentikan negara yang meratifikasi dari perilaku represif yang semakin meningkat, namun rejim perjanjian itu sendiri bukan merupakan penyebab perilaku tersebut. Kedua, menurut kami, janji kosong ini seringkali tidak konsisten. Walaupun terdapat kesenjangan institusional antara per janjian hak asasi manusia dengan insentif bagi pemerintah-pemerintah untuk tunduk pada perjanjian tersebut, semakin meningkat dan meluasnya komitmen negaranegara pada rejim hak asasi manusia global telah mengarah pada meningkatnya prinsip-prinsip hak asasi manusia yang pada saat yang sama mengubah perilaku pemerintah melalui upaya-upaya penekanan secara normatif. Semakin banyaknya jumlah negara yang meratifikasi perjanjian hak asasi manusia, maka ide-ide yang dikodifikasi dalam perjanjian-perjanjian ini telah mendapatkan status yang bersifat biasa (taken-for-granted) dalam politik global. Proses ini dibantu oleh kegiatankegiatan aktor nonpemerintah, yang bekerja melalui organisasi nonpemerintah internasional yang menyebarluaskan dan memajukan prinsip-prinsip hak asasi maJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
nusia di tingkat global (Tsutsui dan Wotipka 2004). Legitimasi prinsip hak asasi manusia yang semakin berkembang ini membawa dua akibat. Pertama, semakin banyak organisasi nonpemerintah internasional menggunakan norma-norma hak asasi manusia global sebagai alat untuk melakukan lobi dan menekan pemerintah di tingkat nasional agar memperbaiki praktik-praktik hak asasi manusia mereka (Ron 1997; Keck dan Sikkink 1998; Tsutsui 2004). Organisasi nonpemerintah internasional, seperti Amnesty International dan Human Rights Watch, aktif dalam mempublikasikan pelanggaran hak asasi manusia guna menekan pemerintah yang represif. Kelompokkelompok di tingkat domestik juga meminta pertolongan aktor-aktor eksternal untuk mempublikasikan pelanggaran yang terjadi di negaranya. Misalnya, para aktivis Chili, dengan bantuan Amnesty International dan kelompok-kelompok lainnya, mempublikasikan kasus-kasus penghilangan paksa yang dilakukan oleh pemerintahnya (Clarck 2001, hal. 73-74), dan kelompok-kelompok hak asasi manusia di Indonesia bertukar informasi dengan International Commission of Jurists dan organisasi-organisasi internasional lainnya dalam mengkampanyekan pembebasan para tahanan politik (Jetschke 1999, hal. 140-141). Kedua, legitimasi prinsip-prinsip hak asasi manusia menyebabkan pemerintah yang menjadi target rentan terhadap rasa malu yang mungkin timbul dan kehilangan legitimasi dalam masyarakat internasional sebagai hasil dari ketidaktaatannya pada hukum hak asasi manusia internasional. Dalam lingkungan politik global baru yang dicirikan oleh semakin meningkatnya kesadaran akan prinsip-prinsip hak asasi manusia, menjadi semakin tidak layak, jika tidak dimungkinkan, bagi pemerintah di tingkat nasional untuk menganggap tuduhan atas pelanggaran hak asasi manusia hanya seba-
79
gai intervensi terhadap persoalan domestik mereka. Walaupun sulit bagi badan-badan internasional untuk melakukan penuntutan hukum terhadap pelanggaran di tingkat domestik, publisitas yang buruk yang dilakukan oleh aktor nonpemerintah seringkali memaksa pemerintah untuk menangani persoalan-persoalan hak asasi domestik mereka (Risse dkk. 1999; Keck dan Sikkink 1998). Dengan demikian, sebagai akibatnya, masyarakat sipil menyediakan mekanisme penegakan yang tidak dimiliki oleh perjan jian hak asasi manusia internasional, dan masyarakat sipil seringkali dapat menekan semakin banyak pemerintahan yang rentan agar tunduk pada rejim hak asasi manusia internasional. Ratifikasi pemerintah terhadap hukum internasional tidak cukup untuk memperbaiki praktik-praktik hak asasi manusia, tetapi hubungan suatu negara dengan masyarakat sipil internasional (melalui keanggotaan dalam organisasi nonpemerintah internasional) dapat mempengaruhi pemerintah untuk memperbaiki praktik-praktik hak asasi manusianya. Jika suatu negara memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat sipil global, maka aktor nonpemerintah internasional akan sangat mungkin dapat mengetahui dan melaporkan pelanggaran yang terjadi dalam negara tersebut. Aktor-aktor di tingkat domestik dalam negara yang memiliki hubungan erat dengan masyakat sipil global tersebut cenderung memiliki kesadaran lebih atas hakhak yang mereka miliki dan akan sangat mungkin menemukan cara-cara untuk mempublikasikan persoalan-persoalan mereka serta menekan pemerintahnya agar menangani persoalan-persoalan tersebut. Dengan demikian, negara-negara yang lebih melekat pada masyarakat sipil internasional (misalnya, negara yang memiliki jumlah keanggotaan dalam lebih banyak organisasi nonpemerintah internasional) akan lebih menghormati hak asasi manusia 80
masyarakatnya.11 Kesimpulannya, kami memgunakan pemahaman dari institusionalisasi rasional dalam hukum internasional dan pendekatan masyarakat dunia dalam sosiologi. Kami berargumen bahwa perluasan rejim hak asasi manusia internasional telah menciptakan suatu konteks global di mana (1) pemerintah mungkin meratifikasi perjanjianperjanjian hak asasi manusia walaupun mereka tidak siap untuk tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam perjanjian, sehingga menyebabkan terjadinya pemisahan yang radikal antara kebijakan dan praktik, serta dalam jangka waktu pendek seringkali memperburuk pelanggaran hak asasi manusia. Namun, (2) meningkatnya legitimasi prinsip-prinsip hak asasi manusia yang ditawarkan oleh masyarakat sipil internasional telah memberikan tekanan pada pemerintah-pemerintah agar memperbaiki praktik-praktik hak asasi manusia baik apakah mereka telah meratifikasi per janjian hak asasi manusia atau pun tidak. Dengan demikian, kami berpendapat bahwa ratifikasi terhadap perjanjian hak asasi manusia mungkin bisa tidak memiliki dampak yang signifikan atau pun memiliki dampak negatif terhadap praktik-praktik hak asasi manusia, tetapi secara bertentangan, hubungan negara dengan masyarakat internasional memiliki dampak positif. Untuk memastikannya, kami sepakat dengan pengarusutamaan teori hubungan internasional bahwa perjanjian memiliki 11 Patut dicatat bahwa dampak dari masyarakat sipil
internasional terjadi di banyak negara baik apakah pemerintahnya telah meratifikasi perjanjian hak asasi manusia atau belum. Proses utamanya adalah tema utama yang dikemukakan oleh Durkheim ([1985] 1982, [1912] 1995). Ritual, tradisi, dan norma-norma bersama pada umumnya mendasari kegiatan orang-orang dan kelompok-kelompok orang, tanpa mempertimbangkan apakah mereka secara individual menyepakati prinsip-prinsip yang tercakup di dalamnya. Tema ini digunakan dan ditekankan dalam pekerjaan Randall Collins (1992).
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
mekanisme penegakan institusional yang lemah dan oleh karenanya tidak mungkin memiliki dampak positif terhadap perilaku hak asasi manusia. Namun, argumentasi kami berbeda dari pengarusutamaan teori hubungan internasional karena kami memprediksikan bahwa ratifikasi akan seringkali diamati memiliki dampak negatif dengan praktik-praktik hak asasi manusia dan meningkatkan perilaku represif, namun demikian, praktik-praktik tersebut dipengaruhi secara positif oleh hubungan dengan masyarakat internasional. Kami tidak sepakat dengan argumentasi konstruktivis dan hukum internasional, karena kami membedakan dua dimensi dari rejim hak asasi manusia internasional yang dibaurkan dalam tulisan ini – sistem perjanjian dan hubungan dengan organisasi nonpemerintah internasional – dan prediksi bahwa sistem perjanjian tidak memiliki dampak atau memiliki dampak negatif serta organisasi nonpemerintah internasional memiliki dampak positif.
Teori-teori Praktik Hak Asasi Manusia Dalam beberapa dekade terakhir, telah muncul beberapa kajian komparatif yang melihat banyak faktor yang membentuk praktik-praktik hak asasi manusia di tingkat lokal. Dari kajian seminal McKinlay dan Cohan (1975) dan Strouse dan Claude (1976) sampai analisa periode-waktu kolektif yang rumit dari Poe, Tate, dan Camp Keith (1999), kajian-kajian komparatif ini menunjukkan keragaman faktor-faktor yang diperlukan untuk menjelaskan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah. Faktor-faktor ini kemudian kami sertakan dalam analisis empiris yang dijelaskan di bagian berikut ini. Faktor-faktor ekonomi. – Banyak pengkajian tentang praktik-praktik hak asasi manusia mengkaji tentang dampak pembaJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
ngunan ekonomi. Mitchell dan McCormick (1988, hal. 478) menawarkan suatu “tesis kemiskinan yang sederhana”, yaitu suatu pandangan yang diterima secara umum bahwa kurangnya sumber daya ekonomi merupakan dasar subur bagi konflik politik, yang dalam banyak kasus mendorong pemerintah-pemerintah untuk melakukan represi politik. Dalam perekonomian maju di mana hanya sedikit orang yang merasa diperlakukan tidak adil, stabilitas politik seringkali lebih mudah dicapai, yang mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (Henderson 1991). Hipotesis ini memperoleh dukungan dalam beberapa kajian tambahan (Mitchell dan McCormick 1988; Park 1987; Poe dan Tate 1994; Poe dkk. 1999; Pritchard 1989). Faktor-faktor politik. – Berbagai kajian menemukan bahwa demokrasi sangat kecil kemungkinannya melakukan pelanggaran hak asasi manusia ketimbang otokrasi. Jeane Kirkpatrick (1979) berargumen bahwa rejim totalitarian kiri lebih mungkin melakukan pelanggaran hak asasi manusia karena mereka hampir memiliki kontrol penuh atas kehidupan warga negaranya, serta Howard dan Donelly (1986) bersikeras bahwa perlindungan hak asasi manusia membutuhkan suatu rejim negara yang liberal yang menghormati “konsepsi substantif dari martabat manusia”. Henderson (1991) juga menyatakan bahwa pemerintahan yang demokratis akan lebih responsif terhadap warga negaranya ketimbang pemerintahan yang otoriter, dan oleh karenanya akan lebih mengakomodir permintaan warga negaranya tanpa konflik kekerasan. Walaupun terdapat banyak variasi analisis, para ilmuwan ini berargumen bahwa negara-negara demokratis akan lebih kecil kemungkinannya merepresi hak asasi manusia. Sejumlah kajian berikutnya juga menegaskan variasi dari prediksi-prediksi tersebut, yang menunjukkan dampak positif demokrasi terhadap praktik hak asasi
81
manusia (Mitchell dan McCormick 1988; Poe dan Tate 1994; Poe dkk 1999). Beberapa kajian juga mengidentifikasi hubungan antara keterlibatan dalam perang dengan pelanggaran hak asasi manusia. Kajian awal menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat antara partisipasi negara dalam perang internasional dan peningkatan kekerasan politik di tingkat domestik (Rasler 1986; Stohl 1975). Pada saat perang internasional, pemerintah akan lebih mungkin menerapkan kontrol yang kuat terhadap warga negaranya dan oleh karenanya akan lebih mudah menggunakan kekuatan untuk mempertahankan kekuasaan domestiknya (Poe dan Tate 1994; Poe dkk. 1999). Pada saat perang sipil, pemerintah juga cenderung lebih koersif dalam mempertahankan kekuasaan mereka dari ancaman-ancaman internal terhadap negara. Faktor-faktor demografi. – Akhirnya, Henderson (1993) berargumen bahwa tekanan populasi dapat mengarah pada tekanan terhadap sumber daya, yang akan meningkatkan kemungkinan pemerintah menggunakan tindakan-tindakan represif. Ketika suatu negara mengalami peningkatan populasi yang cepat, kurangnya sumber daya akan cepat menjadi masalah yang serius, yang oleh karenanya menekan pemerintah untuk menjadi otoritarian. Kajian-kajian berikutnya melaporkan bahwa besarnya populasi juga mempengaruhi represi politik; negara-negara dengan tingkat populasi yang lebih besar lebih mungkin melanggar hak asasi manusia (Poe dan Tate 1994; Poe dkk 1999). Faktor-faktor global. – Sebagai tambahan dari faktor-faktor domestik tersebut, para ilmuwan mengindentifikasi sejumlah kecil faktor global yang dapat mempengaruhi represi pemerintahan. Dua kajian terkemuka memeriksa tentang dampak faktorfaktor ekonomi ekternal terhadap hak asasi 82
manusia. Mitchell dan McCormick (1988) memperkenalkan suatu argumentasi Marxis yang diambil dari argumentasi Chomsky dan Herman bahwa negara-negara kapitalis, didorong oleh kepentingan ekonominya, lebih menginginkan adanya stabilitas politik di negara-negara berkembang dan oleh karenanya memperkuat rejim-rejim yang ada walaupun pada saat represi pemerintahan bersifat endemik (Chomsky dan Herman 1979). Ketika pemerintah negara berkembang di Dunia Ketiga menerima bantuan ekonomi dari negara kapitalis yang tujuan utamanya adalah untuk mempertahankan kondisi yang lebih menguntungkan bagi investasi, kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia meningkat. Berangkat dari analisa ini, Mitchell dan McCormick (1988) membuat hipotesa bahwa ekonomi yang terkait dengan Amerika Serikat dan negara kapitalis maju lainnya mendorong pelanggaran hak asasi manusia di negara-negara pinggiran ( periphery). Dalam analisa pemeriksaan datanya, mereka mendapatkan dukungan bagi hipotesa tersebut – yaitu bahwa sejumlah besar pemerintahan dengan catatan hak asasi manusia yang buruk ternyata tergantung secara ekonomi kepada negara-negara kapitalis. Berbeda dengan pendapat di atas, Meyer (1996) memeriksa dampak perusahaan multinasional terhadap praktik-praktik hak asasi manusia. Analisa regresinya mendukung sebagian dari “tesis mesin pembangunan”, yang menyatakan bahwa perusahaan multinasional mendorong baik hak sosio-ekonomi maupun hak sipil dan politik. Perusahaan multinasional memiliki dampak langsung terhadap hak ekonomi dan sosial, yaitu mendorong pembangunan dan oleh karenanya memperbaiki kualitas hidup. Perusahaan multinasional juga secara tidak langsung memperbaiki hak politik sebab perusahaan multinasional mendorong perluasan kelas menengah masyaraJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
kat kota yang stabil secara politik, yang oleh karenanya meningkatkan stabilitas dan toleransi politik dalam masyarakat yang lebih luas. Namun, Smith, Bolyard, dan Ippolito (1999) melaporkan temuan-temuan yang bertentangan dengan hal tersebut, yang memperingatkan para ilmuwan bahwa pandangan optimistis tentang peran perusahaan multinasional mungkin tidak terjustifikasi. Dari upaya-upaya penting tersebut kami mencoba untuk memahami penyebab domestik dan global dari perilaku represif pemerintah. Dengan melakukannya, kami berupaya mengisi aspek utama politik global hak asasi manusia yang terlewatkan oleh semua literatur kuantitatif yang ada – yaitu pengaruh rejim global hak asasi manusia dan masyarakat sipil.
ANALISA EMPIRIS Tujuan mendasar kami di bagian ini adalah untuk menguji hipotesis kami: Hipotesis 1. – Ratifikasi terhadap perjanjian hak asasi manusia tidak memiliki dampak positif langsung terhadap ketaatan negara dalam praktik dan bahkan memiliki dampak negatif yang signifikan berkaitan dengan meningkatnya perilaku represif. Hipotesis 2. – Hubungan dengan masyarakat sipil internasional memiliki dampak positif terhadap perilaku hak asasi manusia dari negara-negara, dengan menurunkan perilaku represif. Untuk menguji hipotesis tersebut, kami mengembangkan kajian klasik dari Poe, Tate, dan Camp Keith (1999) yang mencoba menjelaskan keragaman negara dalam perilaku represif pemerintah. Karena baik ratifikasi negara terhadap perjanjian hak asasi manusia maupun perilaku represif negara terhadap hak asasi manusia beragam anJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
tarnegara dan antarwaktu, maka sampel yang komprehensif dari para pengarang tersebut menawarkan suatu titik awal yang ideal bagi analisa empiris kami. Kemudian, suatu kumpulan literatur kuantitatif penting yang semakin berkembang sangat bergantung pada kajian Poe dan kawan-kawan tersebut. Oleh karenanya, kami mengembangkan data mereka guna mendorong perbandingan antara temuan-temuan kami tentang dampak perjanjian internasional terhadap penjelasan-penjelasan sebelumnya tentang perilaku represif pemerintah. Walaupun kami meminjam beberapa data dari Poe dan kawan-kawan, kami memperbaharui data periode-waktu yang bersifat lintas-negara ini dengan memasukkan periode Pasca Perang Dingin, dan kami memperkenalkan variabel-variabel baru untuk mengukur partisipasi 153 negara dalam masyarakat internasional sejak 1976 sampai 1999. Data-data ini memampukan kami untuk menilai dampak ratifikasi negara terhadap perjanjian hak asasi manusia di jangka waktu dan lingkup yang lebih luas ketimbang kajian-kajian sebelumnya, sambil secara berkesinambungan mengontrol kemungkinan bahwa ketaatan negara terhadap hukum internasional dapat saja beragam berdasarkan tipe negara yang berbeda-beda.
Analisa Dalam rangka menentukan dampak hukum internasional dan institusi masyarakat sipil global terhadap praktik hak asasi manusia, kami mengembangkan suatu model tunggal proses pengumpulan data yang kami ukur berdasarkan analisa berikut ini dengan menggunakan ordered probit yang layak bagi struktur ordinal dari variabel dependen kami (Long 1997): Y it = a + ßY Y it-1 + ß P Zit + ß X X it + µ it
(1)
Y adalah tingkat perilaku represif
83
pemerintah terhadap hak asasi manusia yang diamati, ßS adalah matriks pengukuran parameter, i dan t adalah tulisan di bawah garis (subscript) yang mewakili negara dan tahun pengamatan, a adalah intercept term, dan m adalah stochastic term. Kami mempertimbangkan dua kelompok variabel sustantif utama untuk menguji teori kami. Z adalah matriks variabel hukum internasional dan masyarakat sipil yang kami tawarkan untuk menguji teori paradoks kami, sementara X adalah matriks dari semua faktor kontrol lainnya yang digunakan oleh para ilmuwan sebelum kami mengenai pengaruhi perilaku represif terhadap hak asasi manusia. Kami menin jau kelompok-kelompok variabel ini secara lebih detil di bawah ini. Dengan demikian, persamaan ( equation) 1 menegaskan bahwa represi terhadap hak asasi manusia bagi setiap negara di setiap tahun pengamatan merupakan suatu fungsi tentang pengalaman masa lalu negara tersebut berkaitan dengan represi, ratifikasi terhadap perjanjian hak asasi manusia, keanggotaan dalam organisasi nonpemerintah internasional, suatu serial variabel kontrol, suatu intercept term, dan suatu stochastic term. Kami memulai dengan menguji dua dalil utama dari teori kami: (1) apakah ratifikasi negara terhadap perjanjian hak asasi manusia internasional mempengaruhi ketaatan negara terhadap norma-norma hak asasi manusia, dan (2) apakah hubungan negara dengan organisasi nonpemerintah internasional mempengaruhi perilaku hak asasi manusia. Dengan demikian, dalam model 1, matriks- Z mencakup ratifikasi negara terhadap perjanjian dan keanggotaan dalam organisasi nonpemerintah internasional, dan matriks- X mencakup GDP(log), perdagangan, demokrasi, dan populasi(log): Y it = a + ßY Y it-1 + ß P Zit + ß X X it + µ it
84
(1)
Represi pemerintah terhadap hak asasi manusia it = a + ß y-1 (praktik masa laluit) + ß z1 (ratifikasi perjanjian oleh Negara it) + ß z2 (keanggotaan pada organisasi nonpemerintah internasionalit) + ß x1 ([log] GDPit) + ß x2 ([log] perdaganganit) + ß x3 (demokrasiit) + ß x4 (populasiit) + µ it Walaupun kami menawarkan hipotesis yang berhubungan langsung – khususnya bahwa ratifikasi terhadap perjanjian hak asasi manusia internasional akan mengarah pada tidak adanya perubahan atau semakin memburuknya perilaku hak asasi manusia – kami melakukan pengujian duaakhir bagi setiap dalil untuk mempertimbangkan hipotesis-hipotesis yang bertentangan yang ditawarkan oleh banyak ilmuwan politik. Kami mengontrol faktor-faktor lain yang dipercayai oleh kebanyakan ilmuwan hak asasi manusia membentuk perilaku represif pemerintah guna memahami apakah perjanjian hak asasi manusia internasional, serta masyarakat sipil internasional, mempengaruhi perilaku represif pemerintah di luar dan melebihi (above and be yond) penjelasan yang ada dalam literaturliteratur saat ini. Dalam model 2 – model 7 kami melihat sifat dari ratifikasi terhadap perjanjian oleh negara secara lebih detil. Untuk melakukannya, kami membagi atau memisahkan variabel kompleks ratifikasi terhadap per janjian oleh negara sebagaimana yang dilaporkan di model 1 menjadi beberapa komponen variabel yang baru dan menganalisa apakah ratifikasi negara terhadap enam perjanjian inti PBB mempengaruhi ketaatJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
an pemerintah terhadap norma-norma hak asasi manusia. Dalam melakukannya, kami menambahkan beberapa variabel baru ke dalam matriks- Z, dan kami menggambarkan data-data tersebut di bagian berikut ini. Akhirnya, kami mempertimbangkan suatu susunan argumentasi alternatif yang dibuat oleh para ilmuwan hak asasi manusia dengan memodifikasi matriks- X . Dalam model 8 dan model 9, kami menguji apakah pengalaman negara dalam perang sipil atau internasional dapat menjelaskan ketaatan pemerintah terhadap norma-norma hak asasi manusia. Dalam model 10, kami men jelaskan dampak potensial dari usia negara, dengan menguji apakah bangsa-bangsa yang usianya lebih tua dan lebih mapan akan lebih menghormati hak-hak warga negaranya.12 Dalam model 11, kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa temuan-temuan kami adalah suatu benda peninggalan akhir Perang Dingin, sementara dalam model 12, kami memperkirakan dampak waktu tetap untuk menjamin bahwa dampak tahuntahun individual dalam sampel kami tidak berpengaruh terhadap hasil temuan. 13 (Oleh karenanya, kami mengubah misalnya, [1] memasukkan intercept variasi-waktu: ai.) Dalam semua kasus kami memasukkan variabel dependen keterlambatan ai (kecuali dampak tetap), melaporkan standar kesalahan Huber/White untuk menggantikan perhitungan tradisional, dan mengelompokkan negara-negara guna membahas persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh heteroscedasticity yang umum terjadi pada data kami (Beck dan Katz 1995).14 Data Hak asasi manusia (Y). – Untuk mengestimasi model-model, kami mengukur perilaku represif pemerintah terhadap rasa aman seseorang, dan kami melakukannya sebagai suatu kombinasi tingkatan negara dalam hal pembunuhan, penyiksaan, penghilangan paksa, dan pemenjaraan JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
politik pada setiap tahunnya. 15 Secara khusus, kami melanjutkan pendapat para ilmuwan hak asasi manusia yang lain dalam menggunakan skala ordinal standardasar perilaku represif yang digambarkan secara sistematis dalam laporan hak asasi manusia tahunan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat (dan, kedua, dari Amnesty International) yang menggunakan analisa isi.16 Kami meng-kode-kan lima nilai-nilai variabel dependen berikut ini seba12 Kami mengucapkan terima kasih pada para pem-
baca AJS yang membawa variabel ini pada perhatian kami. 13 Beberapa rekan kerja mengusulkan agar kami memasukkan ukuran jumlah ratifikasi negara-negara di tingkat-dunia untuk semua perjanjian hak asasi manusia internasional dalam jangka waktu tertentu guna mempertimbangkan dampak diperolehnya legitimasi hak asasi manusia pada periode waktu tertentu. Kami tidak memasukkan ukuran ini dalam temuan-temuan di tabel akhir karena variabel ini memberikan fungsi struktural yang sama seperti halnya dampak waktu tetap, yang kami masukkan sebagai kontrol standar bagi varian tingkat-dunia pada periode waktu tertentu. Namun, kami tetap menghitung dan mengukur variabel legitimasi dunia yang diusulkan pada dampak waktu tetap dan menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal dampak antara kedua pengukuran tersebut. 14 Melalui pengelompokan ini kami mengasumsikan bahwa pengamatan kami bersifat independen untuk jenis-jenis negara (atau kelompok negara) yang berbeda tetapi tidak hanya di suatu negara pada periode waktu tertentu. 15 Para ilmuwan lain yang memeriksa integritas hakhak tersebut termasuk, diantaranya: Cingranelli dan Pasquarello (1985), Stohl dan Carleton (1985), McCormick dan Mitchell (1988), Poe (1991), Gibney, Dalton, dan Vockell (1992), dan Hafner-Burton (dalam cetakan). 16 Dalam kajian terbaru, Poe, Carey, dan Vazquez (2001) menganalisa perbedaan laporan hak asasi manusia yang dibuat oleh Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat dengan Amnesty International guna menentukan apakah terhadap bias yang jelas dalam kedua sumber tersebut. Para pengarang ini menemukan bahwa kecenderungan Amnesty International untuk melaporkan kondisi hak asasi manusia di negara yang catatan hak asasi manusianya paling buruk telah menurun dalam periode waktu belakangan ini, dan bahwa laporan-laporan Amnesty International dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat telah menjadi hampir serupa dalam periode waktu belakangan ini.
85
gaimana diilustrasikan di diagram 2 dan digambarkan di lampiran A: 1.
Y = 5 (represi yang jarang atau rare repression). – Ketika negara-negara berada pada kondisi aturan hukum yang aman, penahanan politik dan penyiksaan jarang terjadi, dan pembunuhan politik sangat jarang terjadi.
2.
Y = 4 (represi yang terbatas atau limited repression). – Ketika penahanan atas kegiatan politik yang bersifat nonkekerasan terbatas, penyiksaan dan pemukulan bersifat sangat khusus, dan pembunuhan politik jarang terjadi.
3.
4.
5.
Y = 3 (represi yang meluas atau widespread repression). – Ketika penahanan politik bersifat massif, hukuman mati dan pembunuhan politik mungkin sering terjadi, dan penahanan (dengan atau tanpa pengadilan) akibat pandangan politik dapat diterima.
Berkaitan dengan perjanjian-perjanjian hak asasi manusia internasional, kami mempertimbangkan enam perjanjian utama (yang diuraikan di tabel 1): ICCPR, ICESCR, CAT, CRC, CEDAW, dan CERD. Kami menawarkan beberapa pengukuran yang berbeda terhadap ratifikasi perjanjian oleh negara untuk menguji hipotesis-hipotesis yang diusulkan.
Pertama, kami menghitung suatu ukuran ordinal dari variabel perjanjian yang menghitung total jumlah perjanjian yang Y = 2 (represi yang massif atau extensif diratifikasi oleh suatu negara dalam suatu repression). – Ketika praktik-praktik tahun tertentu. Kami menggunakan variadi tingkat 3 diperluas ke sejumlah bel ini dalam model dasar kami (model 1). besar populasi, pembunuhan dan peng- Angka nol menunjukkan bahwa suatu negahilangan paksa sering terjadi, tetapi ra tidak meratifikasi perjanjian hak asasi teror hanya mempengaruhi mereka internasional utama mana pun, sedangkan yang berkepentingan dalam hal prak- angka enam menunjukkan bahwa suatu tik atau ide politik. negara telah meratifikasi seluruh perjan jian hak asasi manusia utama. 17 Y = 1 (represi yang sistematis atau systematic repression). – Ketika tingkat Kami juga membagi atau memisahkan teror bersifat meluas di masyarakat variabel perjanjian menjadi komponendan pengambil kebijakan tidak memkomponen konstituennya dan memberikan batasi sarana yang mereka gunakan kode pada enam indikator yang berbeda untuk mendapatkan tujuan pribadi yang menangkap jangka waktu sejak suatu atau tujuan ideologi. negara meratifikasi setiap salah satu dari
Banyak dari data ini berasal dari kolaborasi sejumlah hasil para ilmuwan hak asasi manusia ternama. Kami telah memperbaharui data yang ada, jika dimungkinkan, dengan menggunakan metode analisa isi yang sesuai dengan metode pengumpulan data sebelumnya.
86
Paradoks janji-janji kosong (Z). – Kami memperkenalkan delapan variabel baru dari ratifikasi negara terhadap hukum hak asasi manusia internasional dan keanggotaan negara dalam organisasi nonpemerintah internasional yang kami kumpulkan dari sumber-sumber primer dan sekunder perjanjian dan perkumpulan internasional. Pengukuran ini disimpulkan dalam tabel 2 di bawah ini.
17 Kami juga mengukur dan memeriksa apakah waktu
rata-rata ratifikasi perjanjian oleh negara – yaitu jumlah total tahun di mana suatu negara telah meratifikasi suatu perjanjian – mempengaruhi ketaatan pemerintah terhadap norma-norma hak asasi manusia. Hasilnya yang berkaitan dengan indikasi dan signifikasi konsisten dengan tingkatan ratifikasi negara terhadap perjanjian hak asasi manusia internasional (model 1).
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
1200 1000 800 #
600 400 200 0 1 Systematic Repression
2 Extensive Repression
3 Widespread Repression
4 Limited Repression
5 Rare Repression
Diagram 2. – Variabel dependen: represi terhadap hak asasi manusia (pengamatan tahun-negara). Batang yang solid mewakili jumlah tahun-negara yang diamati dalam kumpulan data periode waktu lintas-seksi bagi setiap dari lima tingkat penghormatan negara terhadap hak asasi manusia yang diukur.
enam perjanjian hak asasi manusia internasional.18 Kami menyebut variabel-variabel ini ICCPR, ICESCR, CAT, CERD, CEDAW, dan CRC, sesuai dengan urutannya. Akhirnya, kami menawarkan suatu ukuran kalkulasi keanggotaan negara dalam organisasi nonpemerintah internasional dalam suatu periode tertentu (misalnya, jumlah warga negara-negara yang tergabung dalam organisasi nonpemerintah internasional).19 Pengukuran ini dikumpulkan dari data yang tersedia dalam Buku Tahunan Organisasi-organisasi Internasional, suatu publikasi tahunan dari Union of International Associations. Faktor-faktor kontrol (X). – Kami mengikuti para ilmuwan hak asasi manusia lain dalam menggunakan ukuran Bank Dunia tentang Gross Domestic Product atau GDP pada nilai pasar dan perdagangan (sebagai persentase GDP), dan kami mencatat keduanya. Ukuran-ukuran ini adalah data konvensional yang dikumpulkan dari Bank Dunia dan hanya membutuhkan sedikit koJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
mentar. Kami juga menerapkan pengukuran demokrasi dan tingkat perilaku represif pemerintah di masa lalu. 20 Khususnya, kami mengambil data dari proyek Polity IV dan menggunakan demokrasi berdasarkan karakteristik institusionalnya. Yang sangat penting bagi tujuan kami adalah lima karakteristik institusional utama yang membedakan antara demokrasi dengan otokrasi: tingkat kompetitif dari proses pemilihan pemimpin, keterbukaan proses tersebut 18 Kami juga melakukan analisa dengan mengguna-
kan variabel pura-pura (dummy) guna menggambarkan ratifikasi yang bertentangan dengan lama waktu keanggotaan. 19 Lihat Buku Tahunan Organisasi Internasional (Yearbook of International Organizations), http:// www.uia.org.website.htm dan http://www.hrweb. org/legal/undocs.html. 20 Walaupun baik pembangunan dan demokrasi seringkali diklaim sebagai hak asasi manusia yang mendasar, kami mengikuti yang lain dalam membedakan konseptual yang penting antara tingkat pembangunan negara, sistem pemerintahan negara, dan perilaku represif negara atas hak-hak mendasar untuk bebas dari pembunuhan, penyiksaan, penghilangan paksa, dan penahanan secara sewenang-wenang. Khususnya lihat Apodaca (2001).
87
TABEL 2 DESKRIPSI VARIABEL: PARADOKS JANJI-JANJI KOSONG Variabel
Isi
Model
Rata-rata Minimum Maksimum
Perjanjian....... Jumlah ratifikasi keseluruhan enam perjanjian : ICCPR, ECESCR, CAT, CERD, CEDAW, CRC
Model 1
1,88
0
6
ICCPR............
Jangka waktu sejak ratifikasi ICCPR
Model 2
0,34
0
33
ICESCR.........
Jangka waktu sejak ratifikasi ICESCR Model 3
0,35
0
33
CAT................
Jangka waktu sejak ratifikasi CAT
Model 4
0,16
0
15
CERD.............
Jangka waktu sejak ratifikasi CERD
Model 5
0,45
0
39
CEDAW........
Jangka waktu sejak ratifikasi CEDAW
Model 6
0,27
0
27
CRC................
Jangka waktu sejak ratifikasi CRC
Model 7
0,2
0
19
INGO.............
Jumlah organisasi nonpemerintah internasional (INGO) di mana warga negara menjadi anggota
Model 1-7
495,17
0
3.127
bagi kelompok-kelompok sosial, tingkat hambatan institusional atas kewenangan pengambilan keputusan pimpinan, tingkat kompetitif dari partisipasi politik, dan tingkatan di mana aturan-aturan yang mengikat mengatur partisipasi politik (Jaggers dan Gurr 1995). Pengukuran ini mulai dari -10 (paling otokratis) sampai 10 (paling demokratis). Dalam analisa, kami mempertimbangkan berbagai ragam variabel tambahan yang mungkin telah digunakan di kajiankajian sebelumnya mengenai perilaku represif pemerintahan. Data-data ini mencakup keterlibatan negara dalam perang sipil atau perang internasional (proyek Correlates of War), populasi negara pada tahun tertentu (diambil dari Bank Dunia), serta usia negara dan data tambahan yang dikumpulkan oleh Poe dkk. (1999). Walaupun kami tidak memasukkan semua variabel kontrol tambahan yang ada dalam model kami karena alasan-alasan teoritis, namun kami tetap melaporkan dampak signifikan dari variabel-variabel ini terhadap model kami tentang perilaku represif pemerintah di catatan kaki. 88
Hasil Tabel 3 di bawah menunjukkan temuantemuan utama kami. Ada dua hasil temuan yang sangat luas biasa. Pertama, komitmen negara terhadap rejim hukum hak asasi manusia internasional tidak secara otomatis dapat diterjemahkan menjadi penghormatan pemerintah terhadap hak asasi manusia. Negara yang meratifikasi sejumlah besar perjanjian hak asasi manusia tidak sepenuhnya melindungi hak asasi manusia ketimbang negara yang hanya meratifikasi sejumlah kecil perjanjian tersebut. Sebaliknya, model 1 mengusulkan bahwa ratifikasi seringkali berkaitan dengan perilaku tidak taat negara-negara dan bahwa komitmen negara terhadap rejim hukum hak asasi manusia internasional dari waktu ke waktu mengarah pada pemisahan (decoupling) yang radikal, yang justru memperburuk pelanggaran hak asasi manusia. 21 21 Adalah mungkin bahwa temuan-temuan ini menun-
jukkan bahwa sejumlah perjanjian utama menginstitusionalisasikan norma-norma yang tidak termasuk dalam kategori-kategori hak asasi manusia mendasar yang diteliti di sini. Namun demikian, baik CAT maupun ICCPR secara eksplisit menga-
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
TABEL 3 ANALISA KUMPULAN PERIODE WAKTU LINTAS-SEKSI TENTANG PRAKTIK HAK ASASI MANUSIA DARI NEGARA, 1978 – 1999 Model 1
Model 2
Model 3
Model 4
Model 5
Model 6
Model 7
GDP per kapita (log)
0,112** (0,035)
0,139*** (0,33)
0,138*** (0,34)
0,116** (0,036)
0,136*** (0,033)
0,109** (0,037)
0,117** (0,036)
Demokrasi
0,025*** (0,0006)
0,022*** (0,05)
0,023** (0,005)
0,022*** (0,006)
0,021*** (0,005)
0,024*** (0,006)
0,024*** (0,006)
Populasi (log)
-0,27*** (0,047)
-0,284*** -0.283*** -0,27*** (0,045) (0,045) (0,047)
-0,275*** -0,261*** -0,262*** (0,044) (0,049) (0,049)
Praktik masa lalu
1,46*** (0,063)
1,47*** (0,064)
1.47*** (0,064)
1,46*** (0,064)
1,48*** (0,064)
1,45*** (0,063)
1,45*** (0,063)
Perdagangan (log)
0,02 (0,072)
0,024 (0,069)
0.026 (0,07)
0,038 (0,068)
0,01 (0,067)
0,045 (0,072
0,049 (0,069)
Organisasi nonpemerintah internasional
0,0003** (0,0001)
0,0002* (0,0001)
0,0002* (0,0001)
0,0004** (0,0001)
0,0002* (0,0001)
0,0003*** 0,0002* (0,0001) (0,0001)
Perjanjian
-0,069** (0,02)
ICCPR
-0,012* (0,005)
ICESCR
-0,013* (0,006)
CAT
-0,063*** (0,012)
CERD
-0,005 (0,004)
CEDAW
-0,032*** (0,009)
-0,64* (0,017)
CRC N Pengamatan
2,058
2,042
2,042
2,042
2,058
2,058
2,058
Log kemungkinan
- 1.543,7
- 1.537,2
- 1.536,5
- 1.529,9
- 1.550,6
1.542,3
1.546,2
+
P < 0,10 * P < 0,05 ** P < 0,01 *** P < 0,001
kui hak-hak utama untuk hidup, kebebasan, dan keamanan seseorang yang digambarkan oleh variabel dependen kami, yang mewajibkan negaranegara yang meratifikasi untuk menghormati hakhak ini. Bukti yang ditunjukkan di tabel 3 menun jukkan bahwa negara yang meratifikasi kedua perjanjian ini akan lebih mungkin melakukan tindakan represif terhadap hak-hak warga negaranya ketimbang negara yang bukan anggota pada per janjian. Temuan ini konsisten dengan kajian CAT JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
sebelumnya (Hathaway 2002), yang juga menunjukkan dampak negatif ratifikasi perjanjian. Kajian sebelumnya tentang ICCPR menunjukkan tidak adanya dampak ratifikasi terhadap perjanjian (Camp Keith 1999), sementara temuan kami menunjukkan adanya dampak negatif. Kami juga mencatat bahwa ketika kami memasukkan dampak waktu tetap, maka dampaknya tetap negatif tetapi kehilangan signifikansinya.
89
Temuan ini sangat konsisten ketika kami memisahkan keseluruhan komitmen pada rejim hak asasi manusia dan meneliti ratifikasi terhadap perjanjian PBB yang spesifik (model 2 – model 7). Tidak satu kasus pun menunjukkan bahwa ratifikasi negara terhadap enam perjanjian hak asasi manusia utama dari PBB yang mana pun dapat memperkirakan kemungkinan penghormatan pemerintah terhadap hak asasi manusia. Namun, ratifikasi terhadap keseluruhan enam perjanjian tersebut memiliki dampak negatif terhadap perilaku negaranegara penandatangan: pihak-pihak pada perjanjian akan lebih mungkin melakukan represi terhadap warga negaranya ketimbang negara yang tidak meratifikasi. 22 Secara bersamaan, temuan-temuan ini menunjukkan suatu gambaran yang mengkhawatirkan: perjanjian hak asasi manusia internasional hanya sedikit mendorong praktik-praktik yang lebih baik dan tidak dapat menghentikan banyak pemerintah dari suatu spiral perilaku represif yang meningkat, dan mungkin bahkan memperburuk praktik-praktik yang tidak baik tersebut.23 Kami menggunakan probabilitas yang diperkirakan untuk membongkar dampak-dampak negatif ini lebih jauh lagi di lampiran B. Kedua, hubungan negara dengan masyarakat sipil internasional menciptakan kekuatan lawan yang besar bagi pemisahan (decoupling) yang radikal tersebut: negaranegara yang warga negaranya menjadi anggota sejumlah besar organisasi non pemerintah internasional akan lebih mung kin melindungi hak-hak warga negaranya . Konsistensi dampak ini di lintas model menunjukkan bahwa dampak institusional umum masyarakat sipil global cukup stabil. Walaupun kami menemukan bahwa institusionalisasi hak asasi manusia global tidak memiliki dampak positif yang sistematis melalui sistem perjanjian, kami juga menemukan bahwa norma-norma global hak 90
asasi manusia, yang melekat pada perjan jian hak asasi manusia internasional dan ditawarkan oleh masyarakat sipil internasional memberikan kontribusi terhadap perbaikan praktik-praktik hak asasi manusia secara nyata. Tabel 3 juga menegaskan bahwa perkiraan kami konsisten dengan temuan-temuan umum dalam berbagai literatur hak asasi manusia mengenai variabel kunci. Demokrasi adalah pelindung yang paling baik dari hak asasi manusia – menyepakati mayoritas ilmuwan hak asasi manusia (Henderson 1991; Mitchell dan McCormick 1988; Poe dan Tate 1994; Poe dkk. 1999) – sebagaimana halnya dengan negara-negara yang memiliki tingkat keterbukaan yang lebih tinggi terhadap ekonomi internasional (Meyer 1996; Richards, Gelleny, dan Sacko 2001) dan negara-negara yang tingkat pembangunan ekonominya lebih tinggi. Konsisten dengan penelitian terbaru di bidang ini, salah satu ramalan ( predictors) yang paling penting dari represi adalah sejarah negara dalam kondisi represif (Apodaca 2001; Poe dkk. 1999). Di tabel 4 kami memverifikasi bahwa temuan-temuan kami sifatnya kuat bagi sejumlah penjelasan alternatif terhadap represi pemerintah terhadap hak asasi manusia. 24 Walaupun perang sipil memang 22 Ketika kami menambahkan dummy pasca Perang
Dingin dan dampak waktu tetap dalam model 11 dan model 12, dampak perjanjian menjadi kurang signifikan tetapi tetap negatif. 23 Namun, kami tidak dapat membedakan antara dampak negatif langsung – ketika ratifikasi justru memberikan insentif lebih bagi perilaku represif yang lebih jauh – dan dampak negatif tidak langsung – ketika ratifikasi tidak memiliki dampak pada praktik-praktik negara yang mengarah pada semakin kuatnya perilaku kekerasan. 24 Kami mempertimbangkan sejumlah variabel kontrol tambahan untuk menguji kekuatan temuantemuan ini. Variabel ini tidak mengubah temuantemuan kami dan oleh karenanya tidak dilaporkan di sini. Kemudian, kami mempertimbangkan sejumlah pengukuran alternatif bagi variabel-variabel yang kami laporkan di sini.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
sangat mendorong perilaku represif negara, dampak ini berada di luar temuan-temuan kami bahwa negara yang meratifikasi hukum hak asasi manusia internasional cenderung tidak menaati hukum tersebut dalam praktiknya. Bertentangan dengan hal tersebut, perang internasional dan usia negara tidak memiliki dampak apa pun terhadap perilaku represif pemerintah, yang tidak mengubah hasil kami. Akhirnya, periode sejarah tampaknya memberikan perubahan, walaupun hasil substantif kami pada umumnya konsisten ketika kami memasukkan dampak waktu tetap. Negaranegara di dunia pasca-Perang Dingin lebih kecil kemungkinannya tunduk pada komitmen terhadap rejim hak asasi manusia internasional, suatu fenomena yang mungkin dapat dijelaskan oleh munculnya banyak negara baru yang relatif lemah. 25 Dipertimbangkan bersama, temuantemuan ini menawarkan dukungan yang besar terhadap argumentasi kami. 26 Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa terdapat korelasi sistematis yang positif antara penerimaan pemerintahan secara resmi terhadap hukum internasional untuk melindungi hak asasi manusia dengan perilaku nyata dari para elit pemerintahan untuk melindungi hak-hak tersebut. Yang lebih mengkhawatirkan adalah bukti yang menyatakan bahwa ratifikasi terhadap per janjian hak asasi manusia internasional justru memperburuk ketaatan negara terhadap norma-norma hak asasi manusia yang dilindungi oleh perjanjian tersebut, setidaknya pada jangka pendek. Di sisi lain, bukti juga menunjukkan bahwa hubungan dengan masyarakat sipil global memperbaiki praktik-praktik hak asasi manusia. Walaupun perjanjian-perjanjian seringkali tidak secara langsung memberikan kontribusi pada perbaikan di tingkat praktik, namun norma-norma yang dikodifikasi dalam perjanjian ini menyebarluas di kalangan organisasi nonpemerintah internasional JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
yang secara strategis mempengaruhi rejim hukum hak asasi manusia untuk menekan pemerintah agar mengubah perilaku hak asasi manusia mereka. Akhirnya, sejumlah ilmuwan telah mengidentifikasi kemungkinan yang sangat nyata bahwa temuan-temuan kami dipengaruhi oleh suatu “dampak informasi”; bahwa sumber-sumber laporan kami yang menjadi sumber data kami tentang perilaku represif terhadap hak asasi manusia lebih memberikan perhatian pada negara-negara yang lebih terbuka terhadap pertukaran informasi atau yang baru saja menandatangani suatu perjanjian hak asasi manusia internasional. Kami mempertimbangkan kemungkinan ini dengan serius dan oleh karenanya telah melakukan suatu proses pemeriksaan terhadap kelayakannya. Walaupun kami tidak bisa menawarkan suatu jawaban yang pasti terhadap pertanyaan tersebut, kami dapat menawarkan bukti awal yang menyatakan bahwa temuantemuan kami tidak hanya sekedar hasil dari perhatian media yang meningkat terhadap pelanggaran hak asasi manusia setelah ratifikasi terhadap perjanjian.
25 Dalam rangka mempertimbangkan kemungkinan
suatu dampak pilihan, kami menunda semua variabel independen selama satu tahun dan menguji kembali model ini. Kami menemukan bahwa model yang mengalami penundaan sama persis secara subtantif dengan model yang kami laporkan di tabel 3. Kami mengulangi penundaan atau interval ini selama beberapa tahun kemudian untuk menjamin kekuatan temuan-temuan tersebut. Dalam rangka mempertimbangkan kemungkinan bahwa dampak Perang Dingin dihasilkan oleh suatu bias praktik-praktik hak asasi manusia oleh pemerintahan-pemerintahan beraliran kiri (Poe dkk. 2001), kami memasukkan suatu dummy variabel pengukuran mengenai apakah suatu pemerintahan dikuasi oleh rejim beraliran kiri. Variabel ini tidak signifikan dan tidak mengubah hasil temuan secara substantif. 26 Temuan-temuan ini bukan merupakan hasil karya multicollinearity, dan matriks korelasi ini tersedia dari para pengarang atas dasar permintaan.
91
TABEL 4 ANALISA KUMPULAN PERIODE WAKTU LINTAS-SEKSI TENTANG PRAKTIK HAK ASASI MANUSIA DARI NEGARA DENGAN VARIABEL INDEPENDEN TAMBAHAN, 1978-99 Model 8
Model 9
Model 10
Model 11
Model 12a
GDP per kapita (log)
0,092* (0,037)
0,1** (0,035)
0,121** (0,036)
0,092* (0,038)
0,074+ (0,041)
Demokrasi
0,028*** (0,007)
0,022*** (0,006)
0,026*** (0,006)
0,027*** (0,006)
0,027f (0,006)
Populasi (log)
- 0,626*** (0,047)
- 0,267*** (0,05)
- 0,279*** (0,048)
- o,256*** (0,049)
- 0,257*** (0,052)
Praktik masa lalu
1,4*** (0,067)
1,45*** (0,048)
1,46*** (0,064)
1,44*** (0,065)
Perdagangan (log)
- 0,002 (0,083)
0,024 (0,079)
- 0,003 (0,072)
0,077 (0,075)
0,082 (0,077)
Organisasi nonpemerintah internasional
0,0004** (0,0001)
0,0005* (0,0001)
0,0004** (0,0001)
0,0004** (0,0001)
0,0005** (0,0001)
Perjanjian
- 0,065** (0,025)
- 0,071** (0,022)
- 0,069** (0,021)
- 0,043+ (0,023)
- 0,034 (0,024)
Perang sipilb
- 0,913*** (0,16)
Perang internasionalb
- 0,16 (0,135)
Usia negara
- 0,0006 (0,0005)
Dummy pasca Perang Dingin
- 0,279*** (0,080)
Dampak waktu yang tetap (1976-99)c N Pengamatan
1.815
1.819
2.058
2.058
2.058
Log kemungkinan
- 1.328,4
- 1.356,2
- 1.542,8
- 1.525,7
- 1.524,5
a
Perhatikan bahwa model 12 termasuk dampak waktu tetap tidak memasukkan variabel interval yang dependen. Ukuran perang sipil dan internasional dibatasi pada periode waktu 1976 ––1993. c Melalui konvensi, koefisien dampak waktu tetap tidak dilaporkan secara individual untuk menghemat tempat + P < 0,10 * P < 0,05 ** P < 0,01 *** P < 0,001 b
92
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Bukti-bukti ini dikumpulkan melalui suatu percobaan kecil. Pertama, kami mengambil sampel acak 15 negara dari sampel yang lebih besar yaitu 153 bangsa. Kami menganalisa laporan tahunan hak asasi manusia dari Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat untuk setiap negara yang telah meratifikasi CAT. Kami meneliti tiga periode waktu untuk setiap negara: tiga tahun sebelum ratifikasi terhadap CAT, periode saat ratifikasi terhadap CAT, dan tiga tahun setelah ratifikasi terhadap CAT. Untuk setiap negara, kami membandingkan isi dari sumber laporan tersebut berdasarkan jumlah kata-kata yang didedikasikan terhadap isu penyiksaan, dan juga jenis informasi yang diberikan oleh laporan – informasi yang luas, menengah, atau terbatas. Kami menemukan bahwa, sebagaimana dipresentasikan di lampiran C, tidak ada bias sistematik pada meningkatnya jumlah kata dalam pelaporan atau dalam jenis informasi setelah ratifikasi terhadap perjanjian, walaupun sumber laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia bervariasi setiap tahunnya. Sifat dari laporanlaporan ini kelihatannya tidak mengalami perubahan yang signifikan setelah ratifikasi, yang oleh karenanya menyarankan bahwa kecil kemungkinannya temuantemuan kami merupakan hasil yang unik dari meningkatnya pelaporan yang ada setelah dilakukannya ratifikasi.
KESIMPULAN Dasar analisa kami adalah dua set pengharapan dan bukti yang saling bertentangan tentang berkembangnya dampak rejim hak asasi manusia internasional. Sementara para ilmuwan pengarusutamaan hubungan internasional berargumentasi bahwa rejim hak asasi manusia internasional tidak memperbaiki praktik hak asasi manusia, namun para ilmuwan konstruktivis dan hukum internasional menunjukkan
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
sejumlah bukti bahwa rejim tersebut memiliki dampak positif terhadap praktikpraktik lokal. Kami mencoba menemukan tentang dua aspek rejim hak asasi manusia yang ditemukan dalam kebanyakan literatur yang ada: yaitu sistem perjanjian hak asasi manusia internasional dan masyarakat sipil internasional. Kerangka teori kami, yang didasari oleh pendekatan institusional rasional dan masyarakat dunia, memperkirakan bahwa rejim hukum tidak memiliki dampak atau memiliki dampak negatif terhadap praktik hak asasi manusia, tetapi masyarakat sipil global memliki dampak positif terhadap praktik hak asasi manusia. Analisis empiris kami memperkuat tesis paradoks janji-janji kosong ini. Tidak terdapat bukti sistematik yang menunjukkan bahwa ratifikasi terhadap per janjian hak asasi manusia dalam sistem PBB memperbaiki praktik-praktik hak asasi manusia, tetapi semakin berkembangnya legitimasi ide-ide hak asasi manusia dalam masyarakat internasional, yang pembentukannya didukung oleh rejim hukum internasional, memberikan kekuatan lebih bagi aktor-aktor nonpemerintah untuk menekan pemerintah-pemerintah yang melanggar hak asasi manusia agar mengubah perilaku mereka. Temuan kunci pertama kami tentang dampak perjanjian hak asasi manusia mengulangi temuan-temuan kajian terbaru mengenai topik yang sama, tetapi juga mengembangkan lebih jauh dari hasil temuan tersebut dalam hal cakupan waktu dan jumlah perjanjian hak asasi manusia internasional. Sebagai akibatnya, kami menemukan bahwa dampak negatif dari ratifikasi terhadap perjanjian hak asasi manusia internasional terhadap hak atas keamanan individu berlaku bagi keenam perjanjian hak asasi manusia utama, dan bahwa kecenderungan ini berlanjut sampai akhir 1990an. Temuan-temuan ini menggambarkan beberapa keraguan tentang argumen-
93
tasi-argumentasi optimis yang dikemukakan oleh para ilmuwan hukum internasional dan konstruksivionis. Karena adanya tekanan kuat untuk meratifikasi perjanjian hak asasi manusia dan relatif rendahnya biaya ratifikasi, banyak pemerintah meratifikasi perjanjian hak asasi manusia internasional tanpa adanya keinginan ataupun kapabilitas untuk menyelaraskan perilaku domestik mereka dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian hak asasi manusia internasional. Tindakan ratifikasi memberikan suatu karakter legitimasi pada pemerintah; yang jika digabungkan dengan kurangnya institusionalisasi mekanisme penegakan, maka tindakan ratifikasi tersebut juga memberikan suatu penyamaran atas pelanggaran hak asasi manusia warga negaranya. Temuan kunci kedua kami tentang dampak positif hubungan dengan masyarakat global merupakan kontribusi penting baik bagi kajian empiris politik hak asasi manusia dan, dari sudut pandang teoritis, bagi pendekatan masyarakat dunia. Walaupun banyak studi kasus telah mendokumentasikan dampak prinsip-prinsip hak asasi manusia global dan aktor-aktor internasional yang mendukung prinsip-prinsip ini dalam praktik-praktik lokal, namun hanya sedikit yang telah mengkaji dampak kegiatan internasional di luar sistem perjanjian ini secara sistematis. Analisis statistik kami memberikan dukungan kuat bagi para ilmuwan dan pengamat yang berargumen bahwa kegiatan-kegiatan hak asasi manusia global berkontribusi pada perbaikan dalam praktik-praktik hak asasi manusia di tingkat lokal. Kedua temuan menunjukkan pentingnya untuk memisahkan mekanisme-mekanisme yang berbeda di mana kekuatan-kekuatan global beroperasi guna memberikan dampak pada tindakan-tindakan di tingkat lokal. Dengan memeriksa hubungan dengan masyarakat sipil internasional secara 94
terpisah dari hubungan dengan rejim hak asasi manusia global, kami menggarisbawahi dampak yang berbeda dari kedua jenis hubungan tersebut terhadap praktikpraktik hak asasi manusia di tingkat lokal. Para ilmuwan dan aktivis seringkali mengkritisi kurangnya mekanisme penegakan yang efektif dalam perjanjian hak asasi manusia internasional. Namun, temuan kami menunjukkan bahwa walaupun institusinya lemah, masyarakat sipil internasional telah menggunakan legitimasi norma-norma hak asasi manusia yang dinyatakan dan dikodifikasi dalam perjanjianperjanjian hak asasi manusia internasional tersebut untuk menekan pemerintah-pemerintah agar memperbaiki praktik-praktik hak asasi manusianya. Aktor-aktor masyarakat sipil pada dasarnya melakukan fungsi mekanisme penegakan yang sangat diperlukan tersebut, walaupun aktor-aktor ini bukan merupakan pengganti bagi institusi yang lebih kuat yang dapat melindungi hak asasi manusia. Aktor-aktor masyarakat sipil ini, yang semakin berkembang dalam hal jumlah dan kekuatan, seringkali mengubah arah dari “janji-janji kosong” pemerintah-perintah nasional yang ada di kepala mereka menjadi suatu “paradoks” global: yaitu perbaikan praktik-praktik hak asasi manusia.
LAMPIRAN A
Kumpulan Data tentang Hak Asasi Manusia (Y ) Kami telah memperbaharui data yang ada tentang perilaku represif terhadap hak asasi manusia yang dikumpulkan oleh sejumlah ilmuwan sebelum kami dan yang ditawarkan oleh Steven Poe, 1976-1993. Berdasarkan pada panduan pengkodean yang diberikan oleh Poe dan Tate (1994), kami menerapkan metode analisis isi pada laporan tahunan hak asasi manusia dari Departemen Dalam Negeri Amerika Seri-
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
kat. Bagi semua kasus negara dari 1994 sampai 1999, kami menempatkan suatu nilai hak asasi manusia dengan skala lima, yang awalnya diterapkan dalam Gastil (1980) dan digambarkan di bagian tentang data. Guna menjamin konsistensi dengan metode pengkodean sebelumnya, kami menggunakan dua coders dalam menganalisa isi dari setiap sumber dan menggunakan suatu nilai angka. Konsistensi antar coder dicatat sekitar 90%, dan kami menggunakan pihak ketiga untuk menyelesaikan persoalan ketidakkonsistenan antar coders. Sejak saat itu, Mark Gibney dengan baik hati berbagi datanya (1980-2000) dengan kami, dan kami telah menggunakannya sebagai pengujian ketika pada pengkodean kami.27
nya, otokrasi – ketimbang jenis lainnya – misalnya, demokrasi. Jika demikian, temuan-temuan kami mungkin tidak sama bagi semua negara secara signifikan dan, didorong oleh pengalaman dari jenis negara tertentu, mungkin tidak bisa digeneralisasi begitu saja. Oleh karena itu kami mencoba memahami apakah dampak yang telah diidentifikasi dalam analisa serial-waktu berlaku untuk jenis-jenis negara yang berbeda secara konsisten. Dalam rangka melakukan hal tersebut, kami menggunakan prosedur statis yang dibahas secara detil dalam Long (1997) untuk menghitung probabilitas-probabilitas yang diperkirakan bahwa suatu negara rata-rata biasa diamati jarang menggunakan represi [prob(Y p 5F X )] dan menggunakan represi secara luas [prob(Y p 3F X )].28
LAMPIRAN B
Tabel B1 melaporkan probabilitas-probabilitas yang diperkirakan (berdasarkan model dan data kami) yang kami amati dari negara demokratis rata-rata yang jarang menggunakan represi atau yang menggunakan represi secara luas, dan yang pada saat yang bersamaan mempertimbangkan variasi dalam hal tingkatan ratifikasi per janjian hak asasi manusia oleh negara dan hubungan dengan organisasi nonpemerintah internasional.29 Kami mengintepretasikan tabel tersebut sebagai berikut. Baris dan kolom pertama menunjukkan bahwa suatu negara demokratis yang tidak meratifikasi satu pun perjanjian hak asasi manusia (0) dan tidak berhubungan dengan ma-
Probabilitas yang Diperkirakan ( Predicted Probabilities) Dalam rangka membongkar temuantemuan empiris utama lebih jauh, kami mengukur probabilitas-probabilitas yang diperkirakan dari estimasi yang digambarkan di model 1 (tabel 3 di atas). Prediksi-prediksi ini merupakan alat yang berguna untuk memeriksa apakah argumentasi kami konsisten di seluruh kategori variabel dependen untuk jenis-jenis negara yang berbeda-beda. Analisis ini sangat bernilai karena sejumlah ilmuwan telah dengan benar menyatakan bahwa ratifikasi terhadap perjanjian dan hubungan dengan masyarakat sipil internasional mungkin memiliki dampak yang lebih besar bagi beberapa jenis pelanggaran hak asasi manusia tertentu – misalnya, pelaku represi yang jarang (Y p 5) – ketimbang untuk jenis-jenis yang lain – seperti misalnya pelaku represi yang luas (Y p 3). Kami mengakui bahwa argumentasi institusional kami mungkin juga menawarkan pengaruh bagi beberapa jenis kebijakan negara yang dapat lebih dijelaskan – misal-
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
27 Kami mengucapkan terima kasih kepada Steven
Poe dan Mark Gibney atas data yang mereka berikan pada kami. 28 Walaupun kami memperhitungkan probabilitasprobabilitas yang diperkirakan pada kelima kategori variabel dependen, kami hanya melaporkan dua kategori saja untuk menunjukkan argumentasi kami sesederhana mungkin. 29 Untuk tujuan perhitungan atau kalkulasi, kami mengartikan suatu negara “rata-rata” sebagai Negara yang memiliki nilai rata-rata GDP, perdagangan, populasi, dan praktik masa lalu.
95
syarakat sipil internasional (tidak satu pun) maka semakin lebih mungkin perbaikan memiliki 21% kemungkinan melakukan praktik hak asasi manusia di negara ini. i ni. tindakan represif secara meluas dan hanya Hasil ini menjelaskan tentang temuan12% kemungkinan jarang melakukan tintemuan kami bahwa ratifikasi terhadap dakan represif. Ketika negara tersebut seperjanjian hak asasi manusia internasional makin banyak meratifikasi perjanjian hak terpisah secara radikal dari ketaatan neasasi manusia (yang dijelaskan di tabel oleh gara terhadap norma-norma hak asasi mapergeseran horisontal dari kiri ke kanan), nusia, namun hubungan dengan masyaranegara tersebut secara bertahap lebih kat sipil internasional memperbaiki prakmungkin untuk melakukan tindakan repretik-praktik tik-prakt ik hak asasi manusia. Tabel B1 dan sif secara meluas dan lebih kecil kemungB2 membawa perhatian pada tiga aspek kinannya untuk jarang melakukan tindakdari paradoks ini. an represif. Ketika negara tersebut semakin Pertama, dampak negatif perjanjian hak berhubungan dengan masyarakat sipil inasasi manusia lebih besar pada negaraternasional (yang dijelaskan di tabel oleh negara yang melakukan tindakan represif pergeseran vertikal dari atas ke bawah), nesecara meluas ketimbang pada negara-negara tersebut secara bertahap lebih mungkin untuk melakukan tindakan represif gara yang jarang melakukan tindakan represif. Negara-negara represif yang bergasecara meluas dan lebih kecil kemungbung dalam rejim hak asasi manusia menkinannya untuk jarang melakukan tindakan represif. Probabilitas-probabibilitas ini jadi semakin represif ketika mereka meratifikasi lebih banyak perjanjian hak asasi mengijinkan kami untuk memeriksa besarmanusia internasional. Bahkan dalam nya pergeseran tersebut. banyak kasus, tabel-tabel ini menunjukkan Tabel B2 melaporkan probabilitas-probahwa lebih dari 10% negara lebih mungkin babilitas yang diperkirakan untuk negara menggunakan tindakan represif yang meotokratis rata-rata. Kami mengintepreluas ketika mereka telah meratifikasi ketasikan tabel tersebut dengan cara yang enam perjanjian hak asasi manusia ketimsama seperti tabel sebelumnya: suatu nebang ketika mereka tidak meratifikas meratifikasii satu gara otokratis rata-rata yang diambil dari pun perjanjian hak asasi manusia. Dampak sampel yang tidak meratifikasi satu pun negatif pada rejim yang nonrepresif, yang perjanjian hak asasi manusia (0) dan tidak ditunjukkan dengan menurunnya probabiliberhubungan dengan masyarakat sipil tas-probabilitas yang diperkirakan bagi internasional (tidak satu pun) memiliki 32% kategori negara yang jarang melakukan kemungkinan melakukan tindakan represif tindakan represif, dimulai dari tiga sampai secara meluas dan hanya 6% kemungkinan sembilan persen perubahan. p erubahan. Temuan sema jarang melakukan tindakan represif. Jika cam ini berguna untuk memverifikasi bahdilakukan pergeseran secara horisontal wa dampak yang telah kami identifikasi dalam baris tabel, dapat dilihat bahwa bersifat sangat besar. semakin banyak negara ini meratifikasi Kedua, dampak positif hubungan neperjanjian hak asasi manusia internasional, gara dengan masyarakat sipil internasional maka semakin lebih mungkin negara melebih besar pada perilaku hak asasi manulakukan praktik hak asasi manusia yang sia negara-negara yang melakukan tindakburuk. Jika dilakukan pergeseran secara an represif secara meluas ketimbang negavertikal dalam kolom tabel, dapat dilihat ra-negara yang jarang melakukan tindakan bahwa semakin banyak negara ini berhurepresif. Ketika negara-negara represif bungan dengan masyarakat sipil global, 96
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
membuka perbatasan mereka dan mengi jinkan warga negaranya untuk bergabung dengan semakin banyak organisasi nonpemerintah internasional, maka negaranegara ini akan lebih kecil kemungkinannya menggunakan tindakan represif. Dampak pada rejim yang represif adalah tujuh sampai sembilan persen, sedangkan dampak pada negara-negara nonrepresif mulai dari dua sampai enam persen. Ketiga, dengan mengherankan hasilhasil ini konsisten bagi negara-negara demokratis maupun otokrasi (tabel B1 dan tabel B2). Walaupun pemerintahan-pemerintahan demokratis lebih mungkin menghormati hak asasi manusia ketimbang pemerintahan-pemerintahan otokratis (dan oleh karenanya adalah negara-negara yang jarang melakukan tindakan represif), namun kedua jenis pemerintahan tersebut mengalami paradoks janji-janji kosong yang sama. Temuan Temuan ini mungkin tidak diperkirakan oleh mereka yang percaya bahwa pemerintahan demokratis lebih responsif terhadap hukum hak asasi manusia internasional ketimbang pemerintahan otokratis, dan hal ini mengarah pada dukungan lebih terhadap ide bahwa paradoks tersebut merupakan fenomena global yang nyata.
LAMPIRAN C
Dampak dari Informasi Dalam tabel C kami menyediakan data yang dikumpulkan untuk memeriksa kemungkinan bahwa temuan-temuan kami dipengaruhi oleh dampak dari informasi. Kami memilih 15 negara secara acak dari sampel yang ada dan memeriksa laporan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat untuk memilih data dari tiga jangka waktu: tiga tahun sebelum ratifikasi, tahun ratifikasi, dan tiga tahun setelah ratifikasi. Untuk setiap jangka waktu, kami melaporkan jumlah total kata-kata yang ada dalam laporan hak asasi manusia tentang PenyikJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
saan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Amnesty International, berbagai tahun), serta jenis informasi yang diberikan dalam laporan tersebut. Kami mempertimbangkan tiga kategori: (1) pelaporan yang luas, luas, yang memberikan informasi detil mengenai individu tertentu yang disiksa, individu atau unit pemerintahan tertentu yang dituduh melakukan penyiksaan, atau kondisi-kondisi khusus penyiksaan seperti demonstrasi dan kerusuhan, serta pengesahan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia, komisi hak asasi manusia, kebijakan tentang hak asasi manusia, dan program hak asasi manusia lainnya di tingkat nasional; (2) pelaporan menengah,, yang memberikan informasi menengah yang cukup detil mengenai individu yang mengalami penyiksaan ataupun yang dituduh melakukan penyiksaan, serta pengesahan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia; terbatas, yang dan (3) pelaporan yang terbatas, memberikan informasi berkaitan dengan peristiwa penyiksaan secara umum tanpa memberikan informasi secara detil mengenai individu tertentu yang mengalami penyiksaan, individu atau unit pemerintahan tertentu yang dituduh melakukan penyiksaan, atau kondisi-kondisi khusus penyiksaan seperti demonstrasi dan kerusuhan, serta pengesahan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia, komisi hak asasi manusia, kebijakan tentang hak asasi manusia, dan program hak asasi manusia lainnya. Kami juga memberikan laporan tentang nilai variabel independen untuk setiap kasus. Hasil menunjukkan bahwa tidak ada hubungan sistematik yang dapat diamati antara ratifikasi negara terhadap CAT dengan panjang ataupun jenis informasi yang dilaporkan oleh sumber hak asasi manusia tahunan Departemen Dalam Negeri
97
Amerika Serikat yang kami gunakan untuk tidak melakukan tindakan represif, laporan mengkodekan variabel dependen kami, wamenjadi lebih pendek, dan jenis informasi laupun negara-negara terkadang dilaporyang diberikan dengan demikian menjadi kan telah meningkatkan perilaku represif lebih terbatas. Percobaan ini menunjukka menunjukkan n mereka setelah ratifikasi, sebagaimana tebahwa perubahan dalam nilai praktik hak lah kami prediksikan. Baik panjang mauasasi manusia tidak bisa dikaitkan dengan pun jenis informasi lebih berhubungan peningkatan atau penurunan perhatian dengan tingkat represi ketimbang ratifikasi sebagai suatu hasil ratifikasi terhadap pernegara terhadap CA CAT T: ketika pelanggaran janjian dan lebih menekankan pada pennegara terhadap hak asasi manusia sangat tingnya paradoks yang kami temukan besar, maka laporan cenderung lebih pandalam analisa data kami. jang dan lebih detil. Ketika pemerintah
DAFTAR PUSTAKA Amnesty International. 1994. Amnesty 1994. Amnesty International Report. Report. London: Amnesty International Publications. –. Berbagai tahun. Amnesty tahun. Amnesty International Report . London: Amnesty International Publications. Publica tions. Apodaca, Clair. 2001. “Global Economic Patterns and Personal Integrity Rights after the Cold War.” International Studies Quarterly 45:587–602. Beck, Nathaniel, and Jonathan N. Katz. 1995. “What To Do (and Not To Do) with–TimeSeries Cross-Section Data.”– American Political Science Review 89:634–50. Berkovitch, Nitza. 1999. From Motherhood to Citizenship: Women’s Rights and International Organizations. Organizations . Baltimore: Johns Hopkins University Press. Boli, John, dan George M. Thomas, eds. 1999. Constructing World Culture: International Nongovernmental Organizations Organizations since 1875 . Stanford, Calif.: Stanford University Press. Brunsson, Nils. 1989. The Organization of Hy pocrisy: Talk, Decisions and Actions in Or ganizations.. Crichester: John Wiley and ganizations Sons. Camp Keith, Linda. 1999. “The United Nations International Covenant on Civil and Political Rights: Does it Make a Difference in Human Rights Behavior?” Journal Behavior?” Journal of Peace Research 36:95–118.
Chayes, Abram, dan Antonia Chayes. 1995. The New Sovereignty: Compliance With International Regulatory Agreements. Agreements. Cambridge, Mass.: Harvard University Press. Chomsky, Noam, dan Edward S. Herman. Chomsky, Her man. 1979. The Political Economy of Human Rights: The Washington Connection and Third World Fascism.. Boston: South End Press. Fascism Cingranelli, David, dan Thomas Pasquarello. 1985. “Human Rights Practices and the Distribution of U.S. Foreign Aid to Latin American Countries.” American Countries.” American Journal of Political Science 27:539–63. Clark, Ann Marie. 2001. Diplomacy of Conscience: Amnesty International and Changing Human Rights Norms. Norms . Princeton, N.J.: Princeton University Press. Cleveland, Sarah H. 2001. “Human Rights Sanctions and the World Trade Organization.” In Environment, Human Rights and International Trade rade,, edited by F. Francioni. Portland, Ore.: Hart Publishing. Collins, Randall. 1992. Sociological Insight: An Introduction to Non-obvious Sociology . Edisi kedua. New York: Oxford University Press. Cottier, Thomas. 2002. “Trade and Human Rights: A Relationship toDiscover.” Journal of International Economic Law 5:111–32. Downs, George, David M. Rocke, dan Peter Barsoom. 1996. “Is the Good News about Compliance Good News for Cooperation?” International Internati onal Organizatio Organization n 50:379–406. Durkheim, Emile. (1895) 1982. The Rules of Sociological Methods. Methods. New York: Free Press.
98
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
–. (1912) 1995. The Elementary Forms of Reli gious Life. New York: Free Press. Finnemore, Martha. 1996a. National Interest in International Society. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press. –. 1996b. “Norms, Culture, and World Politics: Insights from Sociology’s’ Institutionalism.” International Organization 50:325–47.
Howard, Rhoda, dan Jack Donnelly. 1986. “Human Dignity, Human Rights, and Political Regimes.” American Political Science Review 80:801–18. Iwasawa, Yuji. 1986. “Legal Treatment of Koreans in Japan: The Impact of International Human Rights Law on Japanese Law.” Human Rights Quarterly 18: 131–79.
Gastil, Raymond. 1980. Freedom in the World: Political Rights and Civil Liberties, 1980. New Brunswick, N.J.: Transaction Books.
Jacobson, David. 1998. Rights Across Borders: Immigration and the Decline of Citizenship . Rep. ed. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Gibney, Mark, Vanessa Dalton, dan Marc Vockell. 1992. “USA Refugee Policy: A Human Rights Analysis Update.” Journal of Refugee Studies 5:33–46.
Jaggers, Keith, dan Ted Robert Gurr. 1995. “Tracking Democracy’s Third Wave with’the Polity III Data.” Journal of Peace Research 32:469–82.
Goodman, Ryan, dan Derek Jinks. Dalam cetakan. “Mechanisms of Social Influence and Regime Design in Human Rights Law: Toward a Sociological Theory of International Law.” Duke Law Journal 54. Hafner-Burton, Emilie. 2005. “Right or Robust? The Sensitive Nature of Government Repression in an Era of Globalization.” Journal of Peace Research 42(6). –. Dalam cetakan. “Trading Human Rights? How Preferential Trade Agreements Influence Government Repression.” International Or ganization. Hafner-Burton, Emilie, Kiyoteru Tsutsui, dan John Meyer. 2004. “Even Bad States Do Good Things: International Human Rights Law and the Politics of Legitimation.” Makalah dipresentasikan pada pertemuan tahunan American Sociological Association, San Francisco, August. Hathaway, Oona A. 2002. “Do Human Rights Treaties Make a Difference?” The Yale Law Journal 111:1935–2042. Henderson, Conway W. 1991. “Conditions Affecting the Use of Political Repression.” Journal of Conflict Resolution 35:120–42. –. 1993. “Population Pressures and Political Repression.”—Social Science Quarterly74:322– 33. Henkin, Louis. 1979. How Nations Behave: Law and Foreign Policy. New York: Columbia University Press.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Jetschke, Anja. 1999. “Linking the Unlinkable? International Norms and Nationalism in Indonesia and the Philippines.” Dalam The Power of Human Rights: International Norms and Domestic Change, diedit oleh Thomas Risse, Stephen C. Ropp, dan Kathryn Sikkink. New York: Cambridge University Press. Katzenstein, Peter J., ed. 1996. The Culture of National Security: Norms and Identity in World Politics. New York: Columbia University Press. Keck, Margaret E., dan Kathryn Sikkink. 1998. Activists Beyond Borders: Advocacy Networks in International Politics. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press. Keohane, Robert O. 1984. After Hegemony. Princeton, N.J.: Princeton University Press. Kirkpatrick, Jeane. 1979. “Dictatorships and Double Standards.” Commentary 68: 34–45. Krasner, Stephen D. 1999. Sovereignty: Organized Hypocrisy. Princeton, N.J.: Princeton University Press. Kratochwil, Friedrich V. 1989. Rules, Norms, and Decisions: On the Conditions of Practical and Legal Reasoning in International Relations and Domestic Affairs. Cambridge: Cambridge University Press. Lauren, Paul Gordon. 1998. The Evolution of International Human Rights: Visions Seen. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
99
Long, J. Scott. 1997. Regression Models for Cat egorical and Limited Dependent Variables. Thousand Oaks, Calif.: Sage Publications.
Meyer, William H. 1996. “Human Rights and MNCs: Theory Versus Quantitative Analysis.” Human Rights Quarterly 18:368–97.
Lutz, Ellen L., dan Kathryn Sikkink. 2000. “International Human Rights Law and Practice in Latin America.” International Organization 54:633–59.
Mitchell, Neil, dan James McCormick. 1988. “Economic and Political Explanations of Human Rights Violations.” World Politics 40:476–98.
March, James G., dan Johan P. Olsen. 1998. “The Institutional Dynamics of International Political Orders.” International Organization 52:943–69.
Moravcsik, Andrew. 1997. “Taking Preferences Seriously: A Liberal Theory of International Politics.” International Organization 51:514– 55.
McCormick, James M., dan Neil Mitchell. 1988. “Is U.S. Aid Really Linked to Human Rights in Latin America?” American Journal of Political Science 32:231–39.
–. 2000. “The Origins of Human Rights Regimes: Democratic Delegation in Postwar Europe.” International Organization 54:217–52.
McKinlay, R. D., dan A. S. Cohan. 1975. “A Comparative Analysis of the Political and Economic Performance of Military and Civilian Regimes.” Comparative Politics 8:1–30. McNeely, Connie L. 1995. Constructing the Nation-State: International Organization and Prescriptive Action . Westport, Conn.: Greenwood Press. Mearsheimer, John J. 1994/1995. “The False Promise of International Institutions.” International Security 19:5–49. Meyer, John W., John Boli, George M. Thomas, dan Francisco O. Ramirez. 1997. “World Society and the Nation-State.” American Journal of Sociology 103:144–81. Meyer, JohnW., David John Frank, Ann Hironaka, Evan Schofer, dan Nancy Brandon Tuma. 1997. “The Structuring of a World Environmental Regime, 1870–1990.” International Organization 51:623–51. Meyer, John W., David Kamens, dan Aaron Benavot. 1992. School Knowledge for the Masses: World Models and National Primary Curricular Categories in the Twentieth Century. London: Falmer Press. Meyer, John W., dan Brian Rowan. 1977. “Institutionalized Organizations: Formal Structure as Myth and Ceremony.” American Journal of Sociology 83:340–63. Meyer, John W., dan W. Richard Scott. 1992. Organizational Environments: Ritual and Rationality. 2d ed. Beverly Hills, Calif.: Sage Publications.
100
Mullerson, Rein. 1997. Human Rights Diplomacy. New York: Routledge. Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights. 2002. Status of Ratifications of the Principal International Human Rights Treaties. http://www.unhchr.ch/pdf/ report.pdf. Park, Han S. 1987. “Correlates of Human Rights: Global Tendencies.” Human Rights Quarterly 9:405–13. Poe, Steven. 1991. “Human Rights and the Allocation of U.S. Military Assistance.” Journal of Peace Research 28:205–16. Poe, Steven C., Sabine C. Carey, dan Tanya C. Vazquez. 2001. “How Are These Pictures Different? A Quantitative Comparison of the U.S. State Department and Amnesty International Human Rights Reports, 1976– 1995.” Human Rights Quarterly 23: 650–77. Poe, Steven C., dan C. Neal Tate. 1994. “Repression of Human Rights to Personal Integrity in the 1980s: A Global Analysis.” The American Political Science Review 88:853–72. Poe, Steven C., C. Neal Tate, dan Linda Camp Keith. 1999. “Repression of the Human Right to Personal Integrity Revisited: A Global Cross-National Study Covering the Years 1976–1993.” International Studies Quarterly 43:291–313. Powell, Walter W., dan Paul J. DiMaggio, eds. 1991. The New Institutionalism in Organi zational Analysis. Chicago: University of Chicago Press.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Pritchard, Kathleen. 1989. “Human Rights and Development: Theory and Data.” Pp. 329– 45 in Human Rights and Development: International Views, edited by D. P. Forsythe. London: Macmillan. Rasler, Karen. 1986. “War, Accommodation, and Violence in the United States, 1890–1970.” American Political Science Review 80:921– 45. Richards, David L., Ronald D. Gelleny, dan David H. Sacko. 2001. “Money with a Mean Streak? Foreign Economic Penetration and Government Respect for Human Rights in Developing Countries.” International Studies Quarterly 45:219–39. Risse, Thomas, Stephen C. Ropp, dan Kathryn Sikkink. 1999. The Power of Human Rights: International Norms and Domestic Change. New York: Cambridge University Press. Ron, James. 1997. “Varying Methods of State Violence.” International Organization 51:275–301. Scott, W. Richard. 2000.– Institutions and Organizations. 2d ed. Thousand Oaks, Calif.: Sage Publications. Smith, Jackie, Melissa Bolyard, dan Anna Ippolito. 1999. “Human Rights and the Global Economy: A Response to Meyer.” Human Rights Quarterly 21:207–19. Soysal, Yasemin. 1994. Limits of Citizenship: Mi grants and Postnational Membership in Europe. Chicago: University of Chicago Press. Stohl, Michael. 1975. “War and Domestic Violence: The Case of the United States, 1890– 1970.” Journal of Conflict Resolution 19:379– 416.
Strouse, James C., dan Richard P. Claude. 1976. “Empirical Comparative Rights Research: Some Preliminary Tests of Development Hypotheses.” In Comparative Human Rights, edited by R. P. Claude. Baltimore: Johns Hopkins University Press. Thomas, Daniel C. 2001. The Helsinki Effect: International Norms, Human Rights, and the Demise of Communism. Princeton, N.J.: Princeton University Press. Thomas, George M., John W. Meyer, Francisco O. Ramirez, dan John Boli. 1987. Institutional Structure: Constituting State, Society, and the Individual. Beverly Hills, Calif.: Sage Publications. Tsutsui, Kiyoteru. 2004. “Global Civil Society and Ethnic Social Movements in the Contemporary World.” Sociological Forum 19:63–88. Tsutsui, Kiyoteru, dan Christine MinWotipka. 2001. “Global Human Rights and State Sovereignty: Nation-States’ Ratification of International Human Rights Treaties,’1965– 1999.” Paper presented at the annual meeting of the American Sociological–Association, Anaheim, August.– –. 2004. “Global Civil Society and the International Human Rights Movement: Citizen Participation in International Human Rights Nongovernmental Organizations.” Social Forces 83:587–620. Waltz, Kenneth. 1979. Theory of International Politics. Reading, Mass.: Addison- Wesley. Young, Oran R. 1979. Compliance and Public Authority: A Theory with International Ap plications. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Stohl, Michael, dan David Carleton. 1985. “The Foreign Policy of Human Rights: Rhetoric and Reality from Jimmy Carter to Ronald Reagan.” Human Rights Quarterly 7:205–29.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
101
Lembar Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 30
Sistem Perjanjian Hak Asasi Manusia: Pengantar terhadap Perjanjian Hak Asasi Manusia Utama dan Badan-Badan Perjanjian Lembar Fakta ini merupakan suatu pengantar umum terhadap perjanjian dan komite internasional hak asasi manusia (HAM) utama, atau “badan perjanjian” yang memonitor pelaksanaan perjanjian oleh Negara-negara Pihak. 1 Tujuh perjanjian utama hak HAM menetapkan standar-standar internasional bagi perlindungan dan pemajuan HAM di mana Negara-negara dapat mendaftarkan diri menjadi pihak pada setiap perjanjian tersebut. Setiap Negara Pihak memiliki kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang menjamin bahwa setiap orang di Negara tersebut dapat menikmati hak-hak yang diatur dalam perjanjian. Badan perjanjian membantu Negara-negara Pihak melakukan hal tersebut dengan memonitor pelaksanaannya dan merekomendasikan langkah-langkah selan jutnya. Walaupun setiap perjanjian merupakan instrumen hukum yang terpisahpisah, yang mana setiap Negara dapat memilih untuk menerima ataupun tidak menerimanya, dan walaupun setiap badan per janjian merupakan suatu komite yang ter1 Penyebutan komite yang dibentuk berdasarkan
perjanjian sebagai “badan perjanjian” HAM telah diterima secara luas, walaupun ketentuan-ketentuan di setiap perjanjian merujuk secara spesifik pada “komite”nya. Harus diperhatikan bahwa Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Committee on Economic, Social and Cultural Rights/ CESCR) secara teknis bukan merupakan suatu badan perjanjian karena tidak secara langsung dibentuk berdasarkan Kovenannya, melainkan dibentuk oleh resolusi Dewan Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Economic, Social and Cultural Council/ECOSOC). Namun demikian, istilah “badan perjanjian” diadopsi untuk tujuan-tujuan berikut ini, yaitu untuk menggambarkan setiap komite yang memonitor pelaksanaan perjanjian HAM.
102
diri dari para ahli yang independen dari komite-komite lainnya, buku ini menggambarkan tentang suatu “sistem perjanjian” HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sejauh mana perjanjian dan badan perjan jian dapat bekerja bersama-sama sebagai suatu sistem tergantung pada dua faktor: pertama, Negara harus menerima semua perjanjian HAM internasional utama secara sistematis dan melaksanakan ketentuanketentuannya (ratifikasi universal dan efektif); dan, kedua, badan-badan perjanjian harus mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan mereka untuk menghasilkan suatu pendekatan yang konsisten dan sistematis terhadap monitoring pelaksanaan HAM di tingkat nasional. Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (Office of the High Commissioner for Human Rights /OHCHR) telah menerbitkan lembar fakta yang spesifik mengenai ketujuh perjanjian utama, yang setiap lembar faktanya mencantumkan informasi mengenai badan perjanjiannya. Bagi mereka yang tertarik pada suatu perjanjian atau badan perjanjian tertentu dapat merujuk pada terbitan-terbitan tersebut. Lembar fakta ini menggunakan pendekatan yang lebih umum, yang meninjau semua perjanjian dan badan perjanjian, dengan tujuan untuk melihat sejauh mana mereka dapat berfungsi atau bekerja bersama sebagai suatu sistem yang menyatu, holistik, dan terintegrasi bagi pemajuan dan perlindungan HAM. Bagian I menggambarkan tentang tujuh perjanjian HAM utama yang saat ini JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
berlaku. Perjanjian-perjanjian ini merupakan produk lebih dari setengah abad elaborasi atau penjelasan yang berkesinambungan sejak adopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau DUHAM (Universal Declaration of Human Rights) dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB pada 1948. Bagian II menjelaskan tentang peker jaan tujuh badan perjanjian HAM yang dibentuk berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian. Badan perjanjian ini memonitor pelaksanaan hak-hak yang diatur dalam perjanjian tersebut oleh Negaranegara yang telah menerimanya. Sistem badan perjanjian terdiri dari hal-hal utama yang wajib dilakukan oleh Negara-negara di forum internasional, dalam suatu dialog antarnegara yang bersifat keras tetapi konstruktif, mengenai pelaksanaan HAM di negara-negara mereka. Semua badan per janjian akan dipertimbangkan secara sama, dengan berfokus pada elemen-elemen yang serupa dalam mandat dan metode kerja mereka; perbedaan-perbedaan dalam praktik dapat ditemukan di lembar fakta yang spesifik. Bagian III menggambarkan tentang tantangan-tantangan yang dihadapi oleh sistem perjanjian HAM. Termasuk di dalamnya, upaya-upaya untuk meningkatkan efektivitas sistem, khususnya melalui pengarusutamaan (streamlining) prosedur pelaporan Negara. Selain itu juga didiskusikan tentang dampak penekanan baru atas pembentukan dan dukungan sistem perlindungan di tingkat nasional terhadap sistem perjanjian di tingkat internasional. Suatu glossary mengenai istilah-istilah teknis yang digunakan berkaitan dengan baik perjanjian-perjanjian maupun badanbadan perjanjian juga disediakan guna membantu pembaca dalam hal terminologi yang digunakan berkaitan dengan perjan jian-perjanjian dan badan-badan perjanjian. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
DUHAM menyatakan dengan jelas bahwa semua HAM bersifat tidak terbagi (indivisible) dan saling berkaitan (interrelated), dan bahwa setiap hak harus ditekankan kepentingannya secara sama. Semua Negara memiliki komitmen untuk memajukan penghormatan bagi hak dan kebebasan yang dicantumkan dalam Deklarasi dan untuk mengambil langkah-langkah untuk menjamin pengakuan dan ketaatan terhadap hak dan kebebasan tersebut secara universal dan efektif, baik di tingkat nasional maupun internasional. Ketujuh perjanjian HAM menjelaskan lebih lanjut suatu kerangka hukum yang komprehensif di mana setiap Negara dapat memenuhi komitmennya dalam pemajuan dan perlindungan HAM secara universal dengan bantuan badanbadan perjanjian.
BAGIAN I Membangun standar-standar HAM: perjanjian dan protokol opsionalnya Pada awal abad ke-20, perlindungan HAM telah mulai berkembang sebagai suatu wacana penting bagi masyarakat internasional. Upaya-upaya telah dilakukan oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang dibentuk pada akhir Perang Dunia Kedua untuk membangun suatu kerangka hukum internasional guna melindungi kelompok minoritas, termasuk mekanisme monitoring internasionalnya. Kekejaman dan ketakutan yang terjadi pada Perang Dunia Kedua telah memotivasi masyarakat internasional untuk berupaya menjamin bahwa kekejaman seperti itu tidak lagi terulang dan menyediakan daya pendorong bagi gerakan modern untuk membentuk suatu sistem perlindungan HAM internasional yang bersifat mengikat.
103
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) Piagam PBB 1945 memproklamasikan bahwa salah satu tujuan PBB adalah untuk memajukan dan mendorong penghormatan terhadap HAM dan kebebasan mendasar bagi semua orang. Dengan dorongan yang kuat dari Elenor Roosevelt, bersama dengan tokoh-tokoh lain seperti Rene Cassin, Charles Malik, Peng Chun Chang, dan John Humphrey, maka untuk pertama kalinya Negara-negara berupaya mencari jalan untuk membuat suatu dokumen tunggal yang berisikan berbagai hak dan kebebasan mendasar yang dimiliki oleh setiap individu karena status mereka sebagai manusia. Upaya ini telah menghasilkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang diadopsi dengan suara bulat oleh Ma jelis Umum PBB pada 10 Desember 1948, yang kemudian dikenal sebagai Hari Hak Asasi Manusia Internasional. Dokumen ini, yang digambarkan sebagai “suatu standar umum bagi pencapaian semua orang dan semua bangsa”, menetapkan serangkaian hak yang mencakup semua aspek kehidupan. Pasal pertamanya dengan terkenal menggambarkan ide hak asasi manusia yang mendasar, yaitu: “Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama”.
Apakah Deklarasi merupakan Hukum Kebiasaan? Telah diterima secara luas bahwa beberapa ketentuan dalam Deklarasi saat ini telah menjadi aturan dalam hukum kebiasaan internasional. Contohnya termasuk larangan terhadap penyiksaan dan diskriminasi rasial. Ini adalah norma-norma yang, walaupun tidak ditentukan dalam suatu perjanjian, telah menjadi aturan-aturan yang mengikat secara hukum melalui praktikpraktik di Negara-negara. Dengan de-
104
mikian, beberapa komentator berkomentar bahwa keseluruhan Deklarasi ini memiliki status demikian. Setelah membuat suatu ketentuan umum mengenai diskriminasi, Deklarasi menyebutkan satu demi satu pengelompokan hak-hak secara spesifik: sipil, budaya, ekonomi, politik, dan sosial. Pasal 3 sampai pasal 21 menggambarkan hak sipil dan politik yang klasik (termasuk hak suaka dan hak atas kepemilikan). Pasal 22 sampai pasal 28 menjamin sejumlah hak ekonomi, sosial, dan budaya, dengan pengakuan penting di pasal 28 bahwa “Setiap orang berhak atas ketertiban sosial dan internasional, di mana hak dan kebebasan yang diatur dalam Deklarasi ini dapat diwujudkan sepenuhnya”. Sebagaimana tercerminkan dalam namanya, walaupun Deklarasi bukan merupakan perjanjian yang mengikat secara hukum, namun pentingnya dokumen ini tidak boleh diremehkan. Dokumen ini memiliki kekuatan moral yang tinggi, yang merepresentasikan sebagaimana disepakati untuk pertama kalinya secara internasional definisi hak-hak semua orang, yang diadopsi dalam bayang-bayang masa pelanggaran yang sedemikian masif terhadap hak-hak yang dicantumkan dalam dokumen tersebut. Deklarasi juga menyediakan secara tegas dasar bagi struktur perjanjian untuk ditegakkan di dekade-dekade berikutnya. Tidak hanya itu, melalui penggambarannya yang komprehensif mengenai berbagai jenis hak, Deklarasi menekankan pada kesatuan, kesaling-terkaitan, dan interdependensi semua hak tersebut. Hal ini merupakan suatu penekanan yang kemudian diafirmasikan kembali bertahun-bertahun kemudian pada Deklarasi Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia di Wina pada 1993.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
n ai
W
n CI
a
id
a
n
d
o
9 P
p
1
r
u
a
L
e p
kr vi
s a
ni e
g a e P
u
k
a
h
lar e
b
k a
e
i
et
aj n
m
o e
k
gi
al 7
d
9
aj
u
a
ar
M
j
l a
0
n
u n
n n
) r 7 l a
m
s dr
ar e
b a
n
m P e
e
P
e
b
c ul
M
K ul
p
e g
r
b et i
b(
T A m o C
P C k
P b
O A
n a d a
9 R C
k
o
H A
m L
K
a
n a
P
a C
a
p
1
d
k
o
9
a
i
=
et ar
8
t
* S
n
C
b
O u
n S
P C O S
m n a d
4 9
n aj
g
ar ju
p
* P O
e W
k
D
9 E
1
a K
&
g
di
l
e
d
a
ai s
oi
n
nr
a
is A
a ut
k a
A
e
N M
K
U
H
I I A
1
n
aj L
K
e E
H D
a
n
d
s a
e P
s
m p
K
a in
dr e
s B
l
a
r
mi
ni
a a
s
s e k
g
R
a si
n g e
b
ai
al h
o a
P i
p
l
vi g
e D
P S
H
i
ai
i s
n
K
u
u a
iv
d
id g d n nI e
C o
S
K N E M U R T S N I
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
n
et
o l
L
E
a ai d
d y a
n i
C
a m
O a
L O L K A N O T O I O S R P P O
,i
O p
1
a H
ar
9 HI
k
n
6
M
o
a
P
E
a A
n
6
u a
m
L
S
s s
et
1
A K
di
u
n
e
ut
i 1
a
B
A
r
a
d
k
et
kr
4
p
et
A
n
u
a
P
R
S
K
S
j
u
a
n
a
9
A
ai
l a
O
S
n
er et
si
a
n
o
S
n
p
ar
HI at
et
D
m hr
r
k
6
n
N VI
S
6
g n
E
e
p a
n
n
P H
U
A
si
a
S R
et
O
h
mi
P
n
S
m
A k
AI
as
P
2 s
nI
L
e
u d
a
n
L
a et
M
nI
a
s
a
P
p
i
k
a
y
1
M
u
e
o
CI
s
n
iv
9
a
g
a p
P
6
n n
di
d
ar
E
a
u
a
ik
5
u
P
a
n
R
l
ni
n
a
K
l u
m B
p
u
s s
o
&
O
s
i a
n
n
P
D
n m
L
e
P
i a
n
e M
p
p
u B
e
e p
n
K
S L
a
ai
b
n
n a
y
o
s e
e
e
dr
ki
m
o
C
:
a
y
s n
l
et
9
n
2
i
ar
7
uj
l
a at
n
A
k
a
et di
s
a n
C
n u
p
2
n g
a
P o
n
r a
P
a
ki
a in
e n
d
d n
a n
kr di
g L
n a
vi
p
1
n a
a o
C
n
u
n a
d
8
j
u ar
A
ai
l a
n
T
n
n
o m k o E K
N A D A B
u s o S
B
N A J R N E A I P J
105
Nondiskriminasi dalam penikmatan hak asasi manusia Semua perjanjian hak asasi manusia utama mencerminkan prinsip umum yang diadopsi oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia bahwa hak-hak yang diatur dalam perjanjian-perjan jian harus dapat dinikmati tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun. Pasal 2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menentukan suatu daftar yang bersifat non-exhaustive mengenai dasar-dasar yang dilarang bagi diskriminasi: Ras atau warna kulit; Jenis kelamin; Bahasa; Agama; Pendapat politik atau lainnya; Asal-usul kebangsaan atau sosial; Status kepemilikan, kelahiran, atau lainnya.
Daftar yang sama tercantum di pasal 2 dari kedua Kovenan Internasional. Per janjian-perjanjian selanjutnya memperluas daftar tersebut lebih lanjut. Dua perjanjian, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dibuat secara spesifik untuk menghapuskan bentuk-bentuk khusus diskriminasi, yaitu diskriminasi rasial dan diskriminasi terhadap perempuan. Informasi lebih lanjut mengenai DUHAM dapat ditemukan di Lembar Fakta No. 2: Ketentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia
106
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1965) Ketika DUHAM diadopsi, ada kesepakatan bersama bahwa hak-hak yang tercantum di dalamnya harus diterjemahkan pada bentuk legal sebagai perjanjian-per janjian, yang secara langsung mengikat Negara-negara yang menyetujui ketentuanketentuan di dalamnya. Hal ini mengarah pada negosiasi-negosiasi yang panjang di Komisi Hak Asasi Manusia, yaitu suatu badan politik yang terdiri dari perwakilan Negara-negara, yang bertemu setiap tahunnya di Jenewa untuk membicarakan berbagai persoalan HAM. Mengingat pentingnya secara politis kebangkitan rejim apartheid di Afrika Selatan, perjanjian pertama yang disepakati mengatur tentang fenomena khusus diskriminasi rasial: Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, yang diadopsi oleh Majelis Umum pada Desember 1965. Setelah mendefinisikan diskriminasi rasial, yang melarang pembedaan berdasarkan ras, warna kulit, keturunan serta asal usul kebangsaan dan etnis, Konvensi ini mengatur kewajiban Negara-negara Pihak secara detil untuk memerangi momok tersebut dalam enam pasal. Selain kewajiban yang nyata bahwa Negara harus menahan diri dari tindakan-tindakan semacam itu di semua tingkatan, Konvensi juga mewajibkan untuk mengambil langkah-langkah yang selayaknya untuk mencegah diskriminasi rasial mengakar di masyarakat, termasuk dilakukannya propaganda ide-ide rasial yang dilakukan oleh kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi. Konvensi juga menetapkan suatu rangkaian hak asasi manusia spesifik yang ekstensif – baik dalam bidang sipil dan politi serta ekonomi, sosial, dan budaya dan kebanyakan diantaranya disebutkan satu per satu dalam Deklarasi – yang harus dijamin tanpa pembedaan JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
berdasarkan ras. Akhirnya, Konvensi juga menentukan perbaikan (remedy) yang efektif terhadap tindakan diskriminasi rasial sebagai suatu hak mendasar, baik melalui pengadilan ataupun institusi-institusi lainnya.
Apa yang dimaksud dengan diskriminasi rasial? “segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pengutamaan berdasarkan ras, warna kulit, keturunan atau kebangsaan atau suku bangsa, yang mempunyai maksud atau dampak meniadakan atau merusak pengakuan, pencapaian atau pelaksanaan, atas dasar persamaan, hak asasi manusia, dan kebebasan mendasar dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang kehidupan masyarakat yang lain” (pasal 1) Bagian II Konvensi mewajibkan semua Negara Pihak untuk melapor kepada Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial secara berkala, yang dibentuk oleh Konvensi untuk memonitor pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian. Berdasarkan pasal 14, Negara-negara juga dapat memilih untuk mengakui kompetensi Komite untuk mempertimbangkan pengaduan dari individual (pasal 14). Informasi lebih lanjut mengenai Konvensi ini dapat ditemukan di Lembar Fakta No. 12: Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.
Ketentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia Pada saat yang sama dengan disepakatinya Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, negosiasi sedang berlanjut mengenai dua perjanjian utama: Kovenan Interna-
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
sional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB). Proses pembuatan suatu instrumen yang mengikat secara hukum yang mengabadikan hak-hak yang ada dalam DUHAM telah dimulai segera setelah diadopsinya Deklarasi pada 1948. Pada awalnya, dibayangkan adanya suatu kovenan tunggal yang mencakup semua HAM. Namun, setelah diskusi yang panjang, Majelis Umum meminta Komisi Hak Asasi Manusia untuk membuat dua kovenan yang terpisah, yang meminta agar kedua instrumen tersebut sedapat mungkin memuat sebanyak mungkin ketentuan-ketentuan yang sama guna “menekankan kesatuan dari tujuan yang ada”. 2 Kedua Kovenan akhirnya diadopsi oleh Majelis Umum pada Desember 1966 dan mulai berlaku pada 1976. Bersama dengan DUHAM, kedua Kovenan ini dirujuk sebagai “Ketentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia atau International Bill of Human Rights”. Kedua Kovenan memiliki struktur yang sama dan mengadopsi kata-kata yang sama atau serupa di beberapa pasal. Bagian mukadimah atau pembukaan kedua instrumen mengakui kesalingtergantungan semua HAM, dengan menyatakan bahwa HAM yang ideal hanya bisa dicapai jika dibentuk kondisi-kondisi di mana setiap orang bisa menikmati hak ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politiknya. Bagian I dari kedua Kovenan sama-sama menentukan tentang hak semua orang untuk menentukan nasibnya sendiri dan untuk secara bebas mengelola kekayaan dan sumber daya alamnya. Bagian II dari kedua Kovenan mencantumkan ketentuan-ketentuan umum yang melarang diskriminasi (pasal 2 (1) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan pasal 2 (2) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, 2 Resolusi 543 (V), paragraf 1.
107
dan Budaya), dan menegaskan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan (pasal 3 kedua Kovenan), berkaitan dengan penikmatan hak-hak Kovenan sebagaimana juga pembatasan yang diijinkan terhadap penikmatan tersebut. Bagian III dari setiap Kovenan memuat ketentuan-ketentuan yang substantif, yang menjelaskan lebih lanjut mengenai hak-hak yang tercantum dalam DUHAM.
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik menjelaskan mengenai hak sipil dan politik yang tercantum dalam Deklarasi, dengan pengecualian hak atas kepemilikan dan hak suaka (yang dilindungi terpisah dalam Konvensi tentang Status Pengungsi pada 1951). Kovenan ini juga memasukkan hak-hak tambahan, seperti hak-hak tahanan di pasal 10, dan perlindungan terhadap minoritas di pasal 27. Sebagai tambahan terhadap pasal 2 (1) dan pasal 3 tentang nondiskriminasi (yang sama dengan di Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), pasal 26 menjamin kesetaraan di depan hukum dan nondiskriminasi atas perlindungan hukum yang pada umumnya diberlakukan di suatu Negara. Sebagai tambahan, seperti halnya Konvensi Internasional tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial, pasal 2 menyediakan hak atas perbaikan (remedy) efektif terhadap pelanggaran hakhak yang dijamin oleh Kovenan, termasuk suatu forum yang mandiri dan imparsial di mana tuduhan-tuduhan terhadap pelanggaran-pelanggaran semacam itu bisa dima jukan. Kovenan juga memuat suatu katalog yang panjang mengenai hak dan kebebasan sipil dan politik utama. Pasal 25 memuat jaminan terhadap hak politik: hak untuk mengambil bagian dalam urusan-urusan publik, khususnya melalui pemilihan yang 108
adil dan berkala. Bagian IV dari Kovenan mewajibkan semua Negara untuk melapor secara berkala kepada Komite Hak Asasi Manusia, yang dibentuk untuk memonitor pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam Kovenan. Dua protokol opsional tambahan pada Kovenan, mengijinkan Negara-negara untuk menerima kewajiban-kewajiban tambahan. Protokol Opsional Pertama 1966 menyediakan hak atas pengaduan individual kepada Komite Hak Asasi Manusia; Protokol Opsional Kedua 1989 memajukan penghapusan hukuman mati. Informasi lebih lanjut mengenai Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik ini dapat ditemukan di Lembar Fakta No. 15: Komite Hak Asasi Manusia.
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (1966) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, seperti halnya Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, membangun hak-hak yang sesuai dengan DUHAM dalam detil yang lebih lengkap, yang menentukan langkahlangkah yang harus diambil guna realisasinya secara penuh. Oleh karena itu, misalnya, mengenai hak atas pendidikan, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya meniru bahasa yang digunakan dalam DUHAM, tetapi menyediakan dua pasal (pasal 13 dan pasal 14) bagi dimensi-dimensinya yang berbeda, yang menentukan kewajiban bagi pendidikan dasar yang bersifat wajib dan tersedia secara cuma-cuma serta untuk mengambil langkah-langkah guna mencapai pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi yang tersedia secara cuma-cuma. Hak atas kesehatan yang dicakup oleh DUHAM sebagai suatu aspek dari standar kehidupan yang JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
layak, dalam Kovenan diberikan pasal tersendiri: pasal 12 yang mengakui hak atas standar tertinggi yang dapat dicapai dalam hal kesehatan fisik dan mental, serta termasuk persoalan-persoalan spesifik yang berkaitan dengan kesehatan seperti kesehatan lingkungan serta penyakit-penyakit menular dan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan. Pasal 6 mengenai hak atas pekerjaan dilengkapi oleh pasal 7 yang memuat ketentuan tentang hak atas kondisi kerja yang adil dan baik, yang menjamin keselamatan dan kesehatan dalam pekerjaan, kesetaraan dalam hal promosi ke jenjang yang lebih tinggi, dan pembayaran pada saat hari-hari libur umum.
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya utama:
Hak atas nondiskriminasi Hak atas pekerjaan Kondisi pekerjaan yang adil dan baik Hak-hak pekerja Hak atas jaminan sosial Perlindungan terhadap keluarga Hak atas standar kehidupan yang layak Hak atas kesehatan Hak atas pendidikan Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya
Salah satu perbedaan yang terlihat diantara kedua Kovenan adalah prinsip pencapaian secara bertahap ( progressive realization) di Bagian II dari Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Pasal 2 (1) menyatakan bahwa Negara Pihak “mengambil langkah-langkah, [...] sepanjang tersedia sumber dayanya, dengan maksud untuk mencapai secara bertahap perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui dalam [Kovenan]”. Prinsip pencapaian secara bertahap mengakui hamJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
batan-hambatan yang mungkin dihadapi oleh Negara-negara Pihak berkaitan dengan keterbatasan sumber daya. Namun demikian, Kovenan juga menentukan suatu kewajiban segera (immediate obligation) untuk mengambil langkah-langkah yang disengaja, konkret, dan bertarget yang mengarah pada perwujudan penuh hak-hak yang diatur dalam Kovenan. Kovenan juga mengakui peran yang lebih luas dari masyarakat internasional (pasal 2 (1), pasal 11 (2), pasal 15 (4), pasal 22, dan pasal 23) yang dibangun dari prinsip-prinsip di pasal 22 dan 28 DUHAM. Informasi lebih lanjut mengenai Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya ini dapat ditemukan di Lembar Fakta No. 16: Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) Pada 1979 masyarakat internasional mengadopsi suatu perjanjian baru yang menangani fenomena khusus: diskriminasi terhadap perempuan atas dasar jenis kelamin. Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, seperti halnya diskriminasi rasial, dilarang di dalam kedua Kovenan. Namun demikian, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan mengatur secara detil mengenai apa yang dimaksud dengan pelarangan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dari perspektif kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Konvensi ini memuat berbagai aspek kebijakan dan program dari persoalan-persoalan spesifik. Konvensi mengadopsi suatu bentuk yang diperagakan dalam Konvensi Internasional tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial, tetapi Konvensi ini memuat sejumlah inovasi yang mencerminkan perkembangan selama lima belas tahun setelah
109
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial diadopsi. Seperti halnya Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan memulai dengan mendefinisikan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Pasal-pasal awal mewajibkan Negara-negara untuk menahan diri dari diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam penyelenggaraan Negara dan mengambil langkah-langkah guna mencapai kesetaraan yang faktual dan legal dalam segala bidang kehidupan, termasuk dengan memusnahkan perilaku, kebiasaan, dan praktik-praktik diskriminasi dalam masyarakat. Pasal 6 secara eksplisit mewajibkan Negara-negara untuk memberangus segala bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi pelacuran, walaupun fenomena ini secara implisit dapat termasuk dalam pelarangan perbudakan dan kerja paksa yang termuat di instrumen lain. Pasal 7 dan pasal 8 merinci kewajiban-kewajiban untuk menjamin partisipasi yang setara antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan publik dan politik. Pasal 9 dan pasal 10 memperluas konsep kesetaraan dalam hal kewarganegaraan dan pendidikan, sementara pasal 11, pasal 12, dan pasal 13 menjelaskan tentang hak-hak perempuan atas pekerjan, kesehatan, dan bidang-bidang lain dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Dengan mengaplikasi prinsip-prinsip umum dalam suatu fenomena khusus, pasal 14 adalah satu-satunya ketentuan dalam perjanjian-perjanjian yang menangani persoalan-persoalan khusus yang dihadapi oleh perempuan di daerah-daerah pedesaan. Pasal 15 dan pasal 16 memperluas hakhak atas kesetaraan di hadapan hukum serta dalam hal perkawinan dan hubungan keluarga.
110
Apa yang dimaksud dengan diskriminasi terhadap perempuan? “pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang berakibat atau atau bertu juan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan mendasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau lainnya oleh kaum perempuan” (pasal 1) Bagian V dari Konvensi mewajibkan semua Negara Pihak untuk melapor secara berkala kepada Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, yang dibentuk untuk memonitor pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian. Informasi lebih lanjut mengenai Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan ini dapat ditemukan di Lembar Fakta No. 22: Diskriminasi terhadap Perempuan: Konvensi dan Komite.
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat (1984) Pada 1984 perjanjian lain diadopsi yang mengatur tentang suatu fenomena spesifik: penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya. Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik memuat larangan terhadap penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, tetapi Konvensi yang memiliki nama yang sama dengan lebih lanjut membangun suatu skema hukum yang ditujukan baik untuk pelarangan maupun penghukuman JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
terhadap praktik-praktik tersebut. Setelah mendefinisikan penyiksaan, Konvensi menyatakan dengan jelas bahwa tidak ada kondisi apa pun, termasuk perintah atasan, dapat menjustifikasi suatu tindak penyiksaan – larangan ini bersifat absolut. Yang secara dekat berkaitan dengan hal ini adalah pelarangan utama yang termuat dalam pasal 3 berkaitan dengan pengembalian atau ekstradisi “non-refoulment”: jika terdapat alasan yang kuat untuk percaya bahwa seorang individu akan mengalami penyiksaan di suatu negara, maka orang tersebut tidak boleh diekstradisi, deportasi, atau dikembalikan ke negara tersebut. Negara Pihak harus mengkriminalisasi penyiksaan dan menghukumnya secara layak.
Apa yang dimaksud dengan penyiksaan? “setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi, apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat pemerintah” (pasal 1). Ketika kebutuhan untuk menghukum penyiksaan mulai melintasi batas negara, pasal 4 dan pasal 9 membentuk suatu skema di mana suatu Negara di mana penyiksaan telah terjadi, atau yang warga negaranya terlibat sebagai pelaku atau korban, maka Negara tersebut memiliki yurisdiksi JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
terhadap tindak pidana tersebut. Negara tersebut dapat meminta ekstradisi terhadap orang yang dituduh sebagai pelaku dari negara lain, yang – jika permintaan ekstradisi ditolak – maka negara lain tersebut harus melakukan proses hukum terhadap orang yang dituduh sebagai pelaku tersebut. Tujuan dari ketentuan-ketentuan ini adalah untuk menjamin bahwa tidak ada tempat bersembunyi bagi pelaku tindakantindakan yang dilarang oleh perjanjian. Pasal 10 dan pasal 11 memuat tentang pendidikan bagi para penegak hukum dan peninjauan terhadap metode-metode mereka. Ketimbang memuat tentang “hak atas perbaikan (remedy) yang efektif” yang umum bagi pelanggaran-pelanggaran sebagaimana tercantum dalam perjanjian-per janjian lain, Konvensi Menentang Penyiksaan dalam pasal 12 sampai pasal 14 mengatur hak atas penyelidikan yang segera dan imparsial terhadap tuduhan terjadinya penyiksaan, dengan kompensasi yang adil dan layak sebagaimana juga rehabilitasi penuh kepada korban penyiksaan. Berdasarkan pasal 15, bukti-bukti yang dikumpulkan melalui penyiksaan tidak boleh digunakan di pengadilan. Kemudian, pasal 16 mewajibkan Negara-negara untuk mencegah perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat agar tidak meningkat menjadi penyiksaan. Bagian II dari Konvensi mewajibkan setiap Negara Pihak untuk melapor secara berkala kepada Komite Menentang Penyiksaan, yang dibentuk untuk memonitor pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi. Berdasarkan pasal 21 dan pasal 22, Negara-negara juga dapat memilih menerima kompetensi Komite untuk mempertimbangkan pengaduan dari Negara-negara lain atau pengaduan individual. Sebuah protokol opsional pada Konvensi disepakati pada 2002 dan akan mulai berlaku ketika telah diterima oleh 20 Ne-
111
gara. Protokol opsional ini menyediakan suatu sistem kunjungan berkala oleh badan-badan internasional dan nasional ke tempat-tempat penahanan dengan tujuan untuk mencegah penyiksaan dan perlakuan kejam lainnya. Informasi lebih lanjut mengenai Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat dapat ditemukan di Lembar Fakta No. 17: Komite Menentang Penyiksaan.
Konvensi Hak Anak (1989) Perjanjian pertama yang menangani secara komprehensif hak suatu kelompok khusus adalah Konvensi Hak Anak. Sementara anak-anak, sebagai manusia yang berusia kurang dari 18 tahun, memang menikmati semua HAM yang diatur dalam per janjian-perjanjian lain, pernyataan kembali hak-hak ini dengan penekanan pada situasi-situasi khusus anak-anak dalam satu dokumen yang komprehensif memberikan suatu kesempatan untuk membentuk ketentuan-ketentuan tambahan yang relevan dengan anak-anak. Baik pasal 24 dari Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan pasal 10 dari Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya menentukan bahwa anak-anak berhak atas langkah-langkah perlindungan khusus yang mereka butuhkan sebagai anak-anak. Konvensi Hak Anak mengatur langkahlangkah ini secara lebih detil. Oleh karena itu, misalnya, ketentuan-ketentuan tertentu mencakup hak anak atas identitas (pasal 7 dan pasal 8), perpisahan dari orang tua (pasal 9), penyatuan kembali dengan keluarga (pasal 10), perpindahan secara gelap (pasal 11), perlindungan dari penganiayaan (pasal 19), dan adopsi (pasal 21). Pasal 22 menyebutkan mengenai situasi khusus anak-anak pengungsi. Mengakui kerentan112
an khusus pada anak-anak, perlindungan dari eksploitasi ekonomi (pasal 32), penyalahgunaan obat-obatan (pasal 33), eksploitasi seksual (pasal 34), serta penculikan, penjualan, dan perdagangan anak-anak (pasal 35) secara eksplisit diatur dalam Konvensi ini. Pasal 23 mengatur secara khusus perawatan anak-anak penyandang cacat. Pasal 38 menegaskan kembali kewa jiban Negara-negara Pihak dalam konflik bersenjata berdasarkan hukum humaniter internasional, dan mewajiban mereka untuk tidak merekrut maupun menggunakan anak-anak di bawah usia 15 tahun, jika dimungkinkan, sebagai prajurit dalam konflik.
Empat “Prinsip-Prinsip Umum” bagi implementasi hak anak Komite Hak Anak telah mengidentifikasikan empat prinsip-prinsip umum yang termuat dalam Konvensi yang dapat memandu Negara-negara dalam melaksanakan hak anak:
1. Nondiskriminasi: kewajiban Negara-negara untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diatur dalam Konvensi bagi setiap anak di wilayah yurisdiksi mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun (pasal 2); 2. Kepentingan terbaik bagi seorang anak: bahwa kepentingan terbaik bagi seorang anak harus menjadi pertimbangan utama dalam semua tindakan berkaitan dengan seorang anak (pasal 3); 3. Hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan: hak yang melekat pada seorang anak untuk hidup dan kewajiban Negara-negara Pihak untuk menjamin semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan perkembangan anak (pasal 6);
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
4. Pendapat anak tentang situasinya sendiri: hak anak untuk mengungkapkan pendapatnya secara bebas “dalam semua hal yang mempengaruhi anak tersebut”, pendapat tersebut harus menjadi pertimbangan : sesuai dengan usia dan kematangan anak” (pasal 12). Informasi lebih lanjut, lihat Komentar Umum Konvensi Hak Anak No. 5 (CRC/GC/2003/5) Di luar ketentuan-ketentuan yang menegaskan hak anak dalam hal perlindungan, Konvensi Hak Anak juga menyediakan dasar baru dengan mengelaborasi perspektif anak-anak berkaitan dengan hak sipil dan politik klasik yang termuat dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, serta hak ekonomi, sosial, dan budaya yang diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Oleh karena itu, misalnya, anakanak memiliki hak penuh atas kebebasan berekspresi (pasal 13), kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama (pasal 14), kebebasan berserikat dan berkumpul dengan damai (pasal 15) dan privasi (pasal 16), akses terhadap informasi (pasal 17), dan juga kesehatan (pasal 24), jaminan sosial (pasal 26), serta standar kehidupan yang layak (pasal 27), apa pun usia dan kematangan mereka. Persoalan keterlibatan anak-anak dalam konflik bersenjata, serta penjualan anak, pelacuran anak, dan pronografi anak, diatur secara detil dalam dua protokol opsional Konvensi, yang diadopsi pada 2000. Bagian II Konvensi mewajibkan semua Negara Pihak untuk melapor secara berkala kepada Komite Hak Anak, yang dibentuk oleh Konvensi untuk memonitor pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian. Informasi lebih lanjut mengenai Kon-
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
vensi Hak Anak dapat ditemukan di Lembar Fakta No. 10: Hak Anak.
Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (1990) Perjanjian HAM yang terbaru adalah Konvensi Pekerja Migran, yang mengatur tentang hak-hak kelompok tertentu yang membutuhkan perlindungan: semua peker ja migran dan anggota keluarganya. Konvensi ini berlaku bagi seluruh proses migrasi, termasuk persiapan migrasi, keberangkatan, transit, dan keseluruhan masa tinggal dan kegiatan yang mendapatkan pembayaran di Negara yang mempekerjakan, serta saat kembali ke Negara asal atau Negara tempat tinggal asalnya. Mayoritas hak-hak dalam Konvensi ini berkaitan dengan Negara penerima, walaupun hak-hak ini juga memberikan kewajiban-kewajiban khusus kepada Negara-negara pengirim. Konvensi diawali dengan laranganlarangan diskriminasi yang sudah dikenal terhadap penikmatan hak-hak dalam Konvensi. Konvensi kemudian diatur dalam dua bagian hak yang terpisah, pertama, semua pekerja migran dan anggota keluarganya, apa pun status migrasi mereka, dan, kedua, hak-hak tambahan pekerja migran dan keluarganya yang memiliki dokumen. Dalam mendefinisikan hak sipil dan politik pekerja migran, Konvensi mengikuti bahasa dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Beberapa pasal menyatakan kembali hak-hak yang dipertimbangkan dalam situasi khusus pekerja migran, seperti hak atas pemberitahuan konsuler berkaitan dengan penangkapan dan ketentuan-ketentuan khusus berkaitan dengan pelanggaran terhadap hukum migrasi dan pemusnahan dokumen-dokumen identitas serta larangan pengembalian secara kolektif. Sebagai tambahan, hak atas
113
kepemilikan, yang pada awalnya dilindungi dalam Deklarasi tetapi tidak termuat dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, secara spesifik disebutkan secara satu persatu bagi pekerja migran. Konvensi mendefinisikan hak ekonomi, sosial, dan budaya pekerja migran dalam hal situasi khusus mereka. Oleh karena itu, misalnya, setidaknya harus disediakan perawatan medis sebagaimana hal tersebut disediakan bagi seorang warga negara, dan anak-anak pekerja migran memiliki hak dasar atas akses terhadap pendidikan apa pun status hukum mereka. Hak-hak tambahan berlaku bagi pekerja-pekerja yang memiliki dokumen yang sah, dan bagi kelompok pekerja migran tertentu seperti pekerja frontier, pekerja musiman, pekerja yang berpindah-pindah (itinerant), dan pekerja yang berbasis-proyek. Bagian VII dari Konvensi mewajibkan semua Negara Pihak melapor secara berkala kepada Komite Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, yang dibentuk untuk memonitor pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian. Pasal 76 dan pasal 77 juga menyediakan suatu hak atas pengaduan oleh Negara-negara Pihak lain atau pengaduan individu, selama Negara Pihak menerima kompetensi Komite dalam hal tersebut. Informasi lebih lanjut mengenai pekerja migran dan Konvensinya dapat ditemukan di Lembar Fakta No. 24: Hak Pekerja Migran.
Membaca keseluruhan perjanjian sebagai suatu kesatuan Untuk sepenuhnya memahami kewa jiban-kewajiban Negara berdasarkan per janjian-perjanjian ini, adalah penting untuk membaca seluruh perjanjian HAM di mana suatu Negara menjadi pihak sebagai suatu kesatuan. Ketimbang sebagai perjanjian114
perjanjian yang terpisah-pisah, berdiri sendiri-sendiri, sebenarnya perjanjian-perjan jian tersebut saling melengkapi satu sama lain, dengan sejumlah prinsip yang mengikat mereka bersama-sama. Setiap perjan jian mencantumkan baik secara eksplisit maupun implisit prinsip-prinsip dasar nondiskriminasi dan kesetaraan, perlindungan efektif atas pelanggaran terhadap hak-hak, perlindungan khusus bagi kelompok rentan tertentu, dan pemahaman bahwa manusia adalah mahluk yang aktif dan merupakan partisipan yang terlibat dalam kehidupan publik dalam Negara di mana ia berlokasi dan dalam keputusan-keputusan yang mempengaruhinya, ketimbang sebagai obyek pasif dari keputusan-keputusan pihak berwenang. Semua perjanjian tersebut, berdasarkan prinsip-prinsip bersama tersebut, saling bergantung, saling berkaitan, dan saling menguatkan, dengan hasil bahwa tidak ada satu hak pun yang dapat dinikmati sepenuhnya jika terisolasi, tetapi tergantung pada penikmatan semua hak lainnya. Kesalingtergantungan ini adalah salah satu alasan untuk membuat suatu pendekatan yang lebih terkoordinasi oleh badan perjanjian HAM atas kegiatankegiatan mereka, khususnya dengan mendorong Negara-negara untuk memandang pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam semua perjanjian tersebut sebagai bagian dari tujuan yang satu. Ketujuh perjanjian PBB tidak dimaksudkan menjadi suatu katalog yang pasti mengenai kewajiban HAM suatu Negara. Kebanyakan Negara, di luar keterlibatan mereka dalam sistem perjanjian HAM PBB, dapat memperluas lebih lanjut perlindungan yang ditawarkan kepada orang-orang dalam yurisdiksi Negara tersebut. Sebagai tambahan, perjanjian-perjanjian lain, termasuk Konvensi tentang Status Pengungsi dan Konvensi-konvensi ILO, seperti Konvensi ILO 182 tentang pelarangan bentukbentuk terburuk pekerjaan anak, atau KonJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
vensi ILO 169 tentang hak-hak masyarakat adat, merupakan instrumen-instrumen yang jelas-jelas memiliki dimensi HAM. Semua kewajiban hukum internasional ini harus dipertimbangkan bersama ketika mengevaluasi tanggung jawab suatu Negara untuk melindungi HAM.
BAGIAN II Monitoring pelaksanaan standarstandar HAM: badan perjanjian Badan perjanjian adalah komite para ahli yang memonitor pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian HAM utama oleh Negara-negara Pihak. Bagian II menjelaskan pekerjaan badan perjanjian tersebut dan mengapa pekerjaan mereka berkaitan dengan kehidupan orang-orang di seluruh dunia.
perjanjian membentuk suatu komite internasional yang terdiri dari ahli-ahli independen guna memonitor, melalui berbagai sarana, pelaksanaan dari ketentuan-ketentuannya. Pelaksanaan ketujuh perjanjian hak asasi manusia utama dimonitor oleh tujuh badan monitoring perjanjian hak asasi manusia:
1.
K om it e P en gh ap us an S eg al a Bentuk Diskriminasi Rasial (Committee on the Elimination of Racial Discrimination /CERD), merupakan badan perjanjian pertama yang dibentuk, yang memonitor pelaksanaan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial sejak 1969.
2.
Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Committee on Economic, Social and Cultural Rights/CESCR) dibentuk pada 1987 untuk melaksanakan mandat monitoring Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
3.
Komite Hak Asasi Manusia (Committee on Human Rights /HRC) dibentuk pada 1976 untuk memonitor pelaksanaan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
4.
Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Committee on the Elimination of Discrimination against Women/ CEDAW) telah memonitor pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan oleh Negara-negara Pihaknya sejak 1982.
5.
Komite Menentang Penyiksaan (Committee against Torture/CAT), dibentuk pada 1987, memonitor pelaksanaan Konvensi Menentang Penyik-
Apa yang dimaksud dengan badan-badan perjanjian? Ketujuh perjanjian HAM internasional utama menciptakan kewajiban hukum bagi Negara-negara Pihak untuk memajukan dan melindungi HAM di tingkat nasional. Ketika suatu negara menerima salah satu dari perjanjian-perjanjian ini melalui ratifikasi, aksesi, maupun suksesi, maka Negara tersebut memikul suatu kewajiban hukum untuk melaksanakan hak-hak yang diatur dalam perjanjian tersebut. Tetapi hal ini hanya merupakan langkah pertama, karena pengakuan terhadap hak-hak di atas kertas tidak cukup untuk menjamin bahwa hak-hak ini akan dapat dinikmati dalam praktiknya. Ketika perjanjian pertama diadopsi, perjanjian tersebut mengakui bahwa Negara-negara Pihak membutuhkan dorongan dan bantuan dalam memenuhi penikmatan hak-hak yang diatur dalam perjanjian oleh setiap orang yang ada di Negara tersebut. Oleh karenanya, setiap JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
115
saan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat.
6.
Komite Hak Anak (Committee on the Rights of the Child atau CRC), sejak 1990 telah memonitor pelaksanaan Konvensi Hak Anak oleh Negara-negara Pihaknya, sebagaimana juga kedua protokol opsionalnya yang berkaitan dengan tentara anak dan eksploitasi anak.
7.
Komite Pekerja Migran (Committee on Migrant Workers /CMW) menyelenggarakan pertemuan pertamanya pada Maret 2004 dan akan memonitor pelaksanaan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
Setiap komite terdiri dari ahli-ahli independen (dengan jumlah anggota antara 10 sampai 23 orang) yang kompetensinya di bidang hak asasi manusia diakui, yang dinominasikan dan dipilih untuk jangka waktu empat tahun (tetap dan dapat diperbaharui) oleh negara-negara Pihak. CEDAW bertemu di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York; badanbadan perjanjian lainnya pada umumnya bertemua di Kantor Perserikatan BangsaBangsa di Jenewa, walaupun Komite Hak Asasi Manusia biasanya menyelenggarakan pertemuan bulan Maret-nya di New York. Semua badan perjanjian menerima dukungan dari Perwakilan Perjanjian dan Komisi (Treaties and Commissions Branch) Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR) di Jenewa, dengan pengecualian CEDAW yang dilayani oleh Bagian Pengembangan Perempuan ( Division for the Advancement of Women atau DAW) di New York.
116
Komposisi badan-badan perjanjian CERD HRC CESCR CEDAW CAT CRC CRC CMW
: : : : : : : :
18 anggota 18 anggota 18 anggota 23 anggota 10 anggota 18 anggota 18 anggota 10 anggota
Anggota-anggota dipilih untuk jangka waktu empat tahun. Pemilihan bagi setengah dari jumlah anggota diselenggarakan setiap dua tahun sekali.
Apa yang dilakukan oleh badan perjanjian? Badan perjanjian melaksanakan sejumlah fungsi yang ditujukan pada monitoring bagaimana perjanjian dilaksanakan oleh Negara-negara Pihak. Semua badan perjanjian diberikan mandat untuk menerima dan mempertimbangkan laporanlaporan yang diserahkan secara berkala oleh Negara-negara Pihak yang memberikan secara detil pelaksanaan ketentuanketentuan dalam perjanjian di negara yang bersangkutan. Badan-badan perjanjian mengeluarkan panduan guna membantu Negara-negara dalam persiapan pembuatan laporannya, mengelaborasi komentar umum yang mengintepretasikan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian, serta menyelenggarakan diskusi tentang tema-tema yang berkaitan dengan perjanjian. Beberapa, namun tidak semua, badan perjanjian juga melaksanakan sejumlah fungsi tambahan yang ditujukan untuk memperkuat pelaksanaan perjanjian oleh Negara-negara Pihak. Beberapa badan perjanjian dapat mempertimbangkan pengaduan atau komunikasi individual yang mengadukan bahwa hak-hak mereka telah dilanggar oleh
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
suatu Negara Pihak, dengan ketentuan bahwa Negara tersebut telah menerima prosedur ini. Beberapa badan perjanjian juga dapat melakukan penyelidikan. Berikut ini diuraikan mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh badan perjanjian sesuai dengan mandat individual mereka. Walaupun ketujuh badan perjan jian dijelaskan bersama sebagai bagian dari suatu sistem koordinasi perjanjian, namun harus dicatat bahwa setiap badan perjanjian adalah suatu komite para ahli yang independen yang memiliki suatu mandat untuk memonitor pelaksanaan suatu per janjian yang khusus. Walaupun badan per janjian melanjutkan upaya mereka untuk mengkoordinasikan kegiatannya, prosedur dan praktik dapat berbeda-beda antara satu komite dengan komite lainnya sebagai akibat variasi mandat setiap komite berdasarkan perjanjian dan protokol opsional yang berkaitan.3
Pertimbangan terhadap laporan Negara Pihak oleh badan per janjian Mandat utama badan-badan perjanjian, berlaku umum bagi semua komite, adalah memonitor pelaksanaan perjanjian yang bersangkutan melalui peninjauan terhadap laporan-laporan yang diserahkan secara berkala oleh Negara-negara Pihak sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut. Dalam mandat menda-
sar ini, badan-badan perjanjian membentuk praktik dan prosedur yang telah terbukti cukup efektif untuk menganalisa sejauh mana Negara telah memenuhi, dan mendorong lebih lanjut pelaksanaan, kewajiban mereka berdasarkan perjanjian HAM di mana mereka menjadi pihak. Berikut ini diuraikan mengenai elemen-elemen umum yang utama dari proses pertimbangan terhadap laporan-laporan Negara oleh badanbadan perjanjian.
Kewajiban Negara untuk melapor Sebagai tambahan kewajiban mereka untuk melaksanakan ketentuan substantif dalam perjanjian, setiap Negara Pihak juga memiliki kewajiban untuk menyerahkan laporan secara berkala kepada badan per janjian yang bersangkutan tentang bagaimana hak-hak telah dilaksanakan. Ide monitoring HAM melalui peninjauan laporan ini berawal dari resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial pada 1956 yang meminta Negara-negara Anggota PBB untuk menyerahkan laporan berkala mengenai perkembangan yang dibuat dalam rangka pemajuan HAM di negaranya masing-masing.4 Model tersebut digunakan dalam Kovenan Internasional tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial 1965, kedua Kovenan Internasional 1966, dan setiap konvensi hak asasi manusia internasional utama setelah itu.
3 Mereka yang tertarik pada prosedur yang seleng-
kapnya dari suatu badan perjanjian disarankan untuk melihat lembar fakta bagi komite tersebut. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
4 E/Res/624 B (XXII), 1 Agustus 1956.
117
Periode pelaporan berdasarkan perjanjian-perjanjian Perjanjian
Laporan awal dalam
Laporan berkala setiap
Kovenan Internasioanl tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
1 tahun
2 tahun
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya*
2 tahun
5 tahun
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
1 tahun
4 tahun +
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
1 tahun
4 tahun
Konvensi Menentang Penyiksaan
1 tahun
4 tahun
Konvensi Hak Anak
2 tahun
5 tahun
Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya
1 tahun
5 tahun
Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak (CRC-OPSC)
2 tahun
5 tahun atau bersama dengan laporan CRC berikutnya
Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Tentara Anak (CRC-OPAC)
2 tahun
5 tahun atau bersama dengan laporan CRC berikutnya
* Pasal 17 dari Kovenan tidak menentukan adanya pelaporan yang bersifat berkala, tetapi pasal ini memberikan Dewan Ekonomi dan Sosial diskresi untuk membuat program pelaporannya sendiri. +
Pasal 41 dari Kovenan memberikan diskresi kepada Komite Hak Asasi Manusia untuk menentukan kapan laporan berkala harus diserahkan. Pada umumnya, laporan tersebut disyaratkan setiap empat tahun sekali.
Guna memenuhi kewajiban pelaporanperjanjian (biasanya antara empat sampai nya, setiap Negara Pihak harus menyerahlima tahun) mengenai langkah-langkah kan suatu laporan awal yang komprehensif lebih lanjut yang telah diambil guna melakbiasanya satu tahun setelah perjanjian sanakan perjanjian tersebut. Laporanmulai diberlakukan di Negara tersebut (dua laporan harus memuat langkah-langkah tahun dalam kasus Kovenan Internasional hukum, administratif, dan yudisial yang ditentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya ambil oleh Negara untuk memberikan damserta Konvensi Hak Anak). Laporan itu kepak pada ketentuan-ketentuan dalam permudian harus ditindaklanjuti dengan lapor- janjian, dan juga harus menyebutkan fakan berkala sesuai dengan ketentuan dalam tor-faktor atau hambatan-hambatan yang 118
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
dihadapi dalam melaksanakan hak-hak tersebut. Dalam rangka menjamin bahwa laporan memuat informasi yang cukup bagi komite agar dapat melaksanakan pekerjaannya, setiap badan perjanjian mengeluarkan panduan mengenai bentuk dan isi laporan Negara. Panduan-panduan ini dihasilkan dalam suatu dokumen kompilasi (HRI/GEN/3) yang diperbaharui secara berkala. Badan-badan perjanjian saat ini sedang dalam proses menyiapkan suatu draft panduan yang terharmonisasi dalam pelaporan berdasarkan perjanjian HAM internasional.
Tujuan pelaporan Negara-negara Pihak didorong untuk melihat proses persiapan pembuatan laporan mereka bagi badan perjanjian, tidak hanya sebagai suatu pemenuhan kewajiban internasional, tetapi juga sebagai suatu kesempatan untuk memeriksa kondisi perlindungan HAM di dalam yurisdiksi mereka dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan kebijakan. Proses persiapan pembuatan laporan menawarkan suatu kesempatan bagi setiap Negara Pihak untuk:
(d) Menilai kebutuhan dan tujuan di masa mendatang bagi pelaksanaan perjan jian yang lebih efektif; dan (e) Merencanakan dan membentuk kebi jakan yang lebih layak guna mencapai tujuan-tujuan tersebut. 5 Dilihat dari hal tersebut, sistem pelaporan adalah suatu alat yang penting bagi suatu Negara dalam melakukan penilaian mengenai apa yang telah dicapai, dan apa yang harus dilakukan lebih lanjut, guna memajukan dan melindungi HAM di negaranya. Proses pelaporan harus mendorong dan memfasilitasi partisipasi publik, penilaian publik terhadap kebijakan-kebijakan dan program-program pemerintah, dan keterlibatan yang konstruktif dari masyarakat sipil yang dilakukan dalam semangat kerja sama dan saling menghormati di tingkat nasional, dengan tujuan untuk memajukan penikmatan semua hak yang dilindungi oleh konvensi yang bersangkutan. Beberapa Negara memasukkan komentar dan kritik dari organisasi nonpemerintah dalam laporan mereka; beberapa menyerahkan laporannya terlebih dahulu kepada parlemen untuk dikritisi sebelum akhirnya diserahkan kepada Sekretaris Jenderal PBB guna dipertimbangkan oleh badan perjanjian yang bersangkutan.
(a) Melakukan peninjauan yang komprehensif mengenai langkah-langkah yang telah diambil untuk mengharmonisasikan hukum dan kebijakan nasional dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian HAM yang bersangkutan di mana Negara tersebut menjadi pihak;
Bagaimana setiap badan perjan jian memeriksa laporan suatu Negara Pihak?
(b) Memonitor perkembangan yang dibuat dalam rangka pemajuan penikmatan hak-hak yang diatur dalam perjanjian dalam konteks pemajuan HAM secara umum;
Walaupun terdapat variasi dalam prosedur yang diadopsi oleh setiap komite dalam mempertimbangkan laporan suatu Negara Pihak, tahap-tahap mendasar berikut ini adalah umum bagi semua badan
(c) Mengidentifikasi persoalan dan kegagalan dalam pendekatannya untuk melaksanakan perjanjian;
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
5 Tujuan-tujuan ini diambil dari dokumen HRI/MC/
2004/3. Penjelasan lebih lengkap mengenai tujuantujuan pelaporan dapat ditemukan di komentar umum Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya No. 1.
119
perjanjian. Informasi yang lebih lengkap mengenai prosedur badan perjanjian tertentu dapat ditemukan di lembar fakta yang berkaitan dengan komite tersebut. Keba-
nyakan komite juga menyebutkan metode kerja mereka dalam laporan tahunannya, yang dapat diakses dari situs Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR).
Siklus pelaporan berdasarkan perjanjian hak asasi manusia 1. Negara Pihak menyerahkan laporannya
6. Prosedur tindak lanjut pelaksanaan rekomendasi badan perjanjian
2. Badan perjanjian memberikan daftar persoalan dan pertanyaan kepada Negara Pihak berdasarkan persoalan yang ditimbulkan oleh laporan Kesempatan bagi masukan dari sistem PBB, komisi nasional, dan LSM
5. Badan perjanjian mengeluarkan kesimpulan pengamatannya mengenai laporan, termasuk rekomendasi
3. Negara Pihak dapat menyerahkan jawaban tertulis terhadap daftar persoalan dan pertanyaan
4. Dialog konstruktif antara Komite dan delegasi Negara Pihak pada saat pertemuan Siklus dimulai satu tahun setelah perjanjian mulai diberlakukan (dua tahun untuk Konvensi Hak Anak dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) dan berulang sesuai dengan periodenya: setiap dua tahun untuk Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, setiap empat tahun untuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan Konvensi Menentang Penyiksaan, dan setiap lima tahun untuk Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Konvensi Hak Anak, dan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
120
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
1.
Penyerahan laporan awal
gara, tetapi Negara-negara harus memastikan bahw ainformasi di dokumen inti/utamanya sudah ter-up-to-date atau mereka harus menyerahkan laporan yang baru. Badan-badan perjanjian saat ini sedang mempertimbangkan suatu proposal untuk memperluas ruang lingkup dokumen inti/utama mengenai informasi tentang hak-hak substantif yang relevan dengan lebih dari satu perjanjian.
Laporan harus diserahkan kepada Sekretaris Jenderal dalam salah satu dari enam bahasa resmi PBB. Laporan tersebut akan diproses oleh Sekretariat, dan diterjemahkan ke bahasabahasa kerja komite. Akan terdapat banyak variasi bentuk laporan. Banyak laporan bentuknya panjang, yang menimbulkan pertanyaan apakah harus diberlakukan pembatasan jumlah halaman. Pada saat diproses, laporan dijadwalkan untuk pertimbangan komite pada salah satu pertemuan berkalanya. Mungkin saja terdapat penundaan sebelum suatu laporan dapat dipertimbangkan, karena beberapa badan per janjian menghadapi backlog sampai dua tahun masa laporan yang menunggu untuk dipertimbangkan. Kebanyakan komite mencoba untuk memberikan prioritas pada laporan awal atau laporan dari Negara-negara yang tidak melaporkan dalam jangka waktu yang lama.
Apa yang dimaksud dengan dokumen inti/utama? Beberapa informasi – fakta-fakta mendasar dan statistik tentang negara, sistem konstitusi dan hukumnya, dan lain-lain – dicantumkan dalam laporan Negara-negara kepada badan perjan jian yang berkaitan dengan semua per janjian. Guna menghindari Negaranegara harus mengulang-ulang informasi yang sama di setiap laporan, pada 1991 badan-badan perjanjian memutuskan mengijinkan Negara untuk menyerahkan suatu “dokumen inti/utama” yang membentuk laporan awal yang sama bagi setiap laporan badan perjan jian mana pun. Hal ini membantu mengurangi volume laporan Negara-ne-
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
2.
Daftar persoalan dan pertanyaan Sebelum pertemuan di mana komite akan mempertimbangkan laporan secara formal, komite membuat suatu daftar persoalan dan pertanyaan, yang diserahkan kepada Negara Pihak. Daftar persoalan menyediakan suatu kesempatan kepada komite untuk meminta informasi tambahan dari Negara Pihak yang mungkin tidak dimasukkan dalam laporannya atau yang dipandang perlu oleh anggota komite guna menilai negara tersebut berkaitan dengan pelaksanaan perjan jian di negara yang bersangkutan. Daftar persoalan juga mengijinkan komite untuk memulai proses pengajuan pertanyaan kepada Negara Pihak secara lebih detil mengenai persoalanpersoalan khusus yang muncul dalam laporan yang menjadi perhatian utama para anggota komite. Banyak Negara Pihak menganggap bahwa daftar persoalan dapat menjadi panduan yang berguna bagi kemungkinan adanya pertanyaan-pertanyaan yang muncul ketika laporan mereka dipertimbangkan secara formal. Hal ini mengijinkan delegasi Negara Pihak untuk mempersiapkan diri dan membuat dialog antara Negara Pihak dengan komite menjadi lebih konstruktif, informatif, dan konkret.
121
Bahasa resmi dan bahasa kerja
3.
Bahasa resmi Perserikatan BangsaBangsa adalah bahasa Arab (A), bahasa Cina (C), bahasa Inggris (E), bahasa Perancis (F), bahasa Rusia (R), dan bahasa Spanyol (S). Badan-badan perjanjian telah mengadopsi semua bahasa tersebut sebagai bahasa resmi mereka, kecuali Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial yang tidak menggunakan bahasa Arab, dan Komite Menentang Penyiksaan tidak menggunakan bahasa Arab dan bahasa Cina. Lima komite juga mengadopsi sejumlah kecil bahasa kerja sebagai berikut: Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: A, E, F, R &S; Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dan Komite Menentang Penyiksaan: E, R, R & S; Komite Hak Asasi Manusia dan Komite Hak Anak: E, F & S. Dokumen-dokumen komite pada umumnya hanya diterjemahkan ke bahasa kerja, kecuali jika komite secara terbuka memutuskan bahwa suatu dokumen harus disediakan dalam semua bahasa resmi. Daftar persoalan dibuat sebelum sesi pertemuan di mana laporan akan dipertimbangkan. Tergantung pada badan perjanjiannya, daftar persoalan dibuat baik dalam kelompok kerja prapertemuan yang diselenggarakan segera sebelum atau setelah suatu sesi pertemuan berkala atau pada saat pertemuan-pertemuan pleno. Kebanyakan komite menunjuk salah seorang dari anggotanya untuk bertindak sebagai pelapor negara (country rapporteur) untuk memimpin pembuatan daftar persoalan untuk suatu negara tertentu. 122
Tanggapan tertulis terhadap daftar persoalan Seringkali Negara Pihak dapat memberikan tanggapan terhadap daftar persoalan dan pertanyaannya dalam bentuk tertulis. Tanggapan tertulis akan menjadi suplemen atau lampiran pada laporannya, dan sangat penting ketika terdapat penundaan yang cukup panjang antara tanggal laporan asli diserahkan dan tanggal ketika komite akhirnya dapat mempertimbangkan laporan tersebut secara formal.
4.
Sumber-sumber informasi lain yang tersedia bagi komite Sebagai tambahan terhadap laporan Negara Pihak, badan perjanjian dapat menerima informasi mengenai situasi HAM di suatu negara dari sumbersumber lain, termasuk badan-badan PBB, organisasi antarpemerintah lainnya, organisasi nonpemerintah (baik internasional maupun nasional), institusi-institusi akademis, dan media massa. Kebanyakan komite mengalokasikan waktu di pertemuan plenonya untuk melakukan dengar pendapat dengan badan-badan PBB dan kebanyakan juga menerima organisasi nonpemerintah. Tergantung pada kapan informasi tersebut diserahkan, persoalan-persoalan yang dimunculkan oleh organisasi-organisasi ini dapat dimasukkan dalam daftar persoalan atau menginformasikan pertanyaan yang diajukan oleh anggota-anggota ketika bertemu dengan delagasi Negara. Berdasarkan semua informasi yang tersedia, komite memeriksa suatu laporan. Sejumlah perjanjian menyediakan suatu peran khusus bagi badan-badan PBB tertentu dalam proses pertimJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
bangan terhadap laporan-laporan. Pasal 45 Konvensi Hak Anak secara spesifik menyebutkan peran Dana Bantuan Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Children’s Fund atau UNICEF), bersama dengan badan-badan PBB lainnya. Pasal 74 dari Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya juga memungkinkan partisipasi Kantor/Organisasi Buruh Internasional ( International Labour Office/Organization atau ILO).
5.
diakan dorongan dan nasihat kepada Negara-negara. Negara tidak diwajibkan mengirimkan delegasi untuk menghadiri sesi pertemuan, walaupun mereka didorong untuk melakukannya. Beberapa badan perjanjian dapat melanjutkan pertimbangan terhadap laporan suatu Negara Pihak walaupun tanpa kehadiran delegasi dari Negara tersebut; sementara badan perjanjian lainnya membutuhkan kehadiran delegasi.
6.
P er ti mb an ga n fo rm al t er ha da p laporan: dialog konstruktif antara badan perjanjian dengan Negara Pihak Semua badan perjanjian telah membangun praktik, yang dimulai oleh Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, mengundang Negara-negara Pihak untuk mengirimkan delegasinya untuk menghadiri pertemuan di mana komite mempertimbangkan laporannya guna mengi jinkan mereka menanggapi pertanyaan anggota komite dan menyediakan informasi tambahan mengenai upaya mereka untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian yang bersangkutan. Prosedur ini tidak bertentangan dan komite tidak melakukan penilaian mengenai Negara Pihak berdasarkan prosedur ini. Tujuannya adalah untuk terlibat dalam suatu dialog konstruktif guna membantu Pemerintah dalam upayanya melaksanakan perjanjian secara penuh dan seefektif mungkin. Gagasan mengenai dialog yang konstruktif mencerminkan kenyataan bahwa badan-badan perjanjian bukan merupakan badan yudisial, tetapi diciptakan untuk memonitor pelaksanaan perjanjian serta menye-
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Kesimpulan pengamatan dan rekomendasi Pemeriksaan terhadap laporan mencapai puncaknya pada adopsi “kesimpulan pengamatan atau concluding observation” (disebut sebagai “komentar kesimpulan atau“concluding comment” oleh beberapa komite) dimaksudkan untuk memberikan nasihat praktis kepada Negara yang melaporkan dan mendorong langkah-langkah lebih lanjut dalam melaksanakan hak-hak yang tercantum dalam perjanjian. Dalam concluding observation-nya, badan perjanjian mengakui langkahlangkah positif yang telah diambil oelh Negara, tetapi juga mengidentifikasi bidang-bidang yang membutuhkan tindakan lebih lanjut guna mengefektifkan ketentuan-ketentuan dalam per janjian. Badan perjanjian mencoba membuat rekomendasinya se-konkret dan se-praktis mungkin. Negaranegara diminta untuk mempublikasikan concluding observation di negaranya guna menginformasikan pada debat publik mengenai bagaimana cara bergerak maju dalam pelaksanaan HAM.
7.
Pelaksanaan kesimpulan pengamatan dan penyerahan laporan berkala berikutnya
123
Adopsi concluding observation oleh komite mengakhiri pertimbangan formal terhadap laporan; tetapi prosesnya tidak berhenti di situ. Karena disadari, dan oleh karenanya dapat dinyatakan, bahwa ketentuan-ketentuan dalam suatu perjanjian tidak sepenuhnya bisa dilaksanakan, maka proses pelaksanaan hak-hak yang termuat dalam perjanjian membutuhkan upaya-upaya berkelanjutan dari Negara-negara. Setelah penyerahan laporan awal, Negara diminta untuk menyerahkan laporan lebih lanjut kepada badan per janjian dalam jangka waktu tertentu. Hal ini disebut sebagai “laporan berkala”. Laporan berkala pada umumnya tidak sepanjang dan se-komprehensif laporan awal, tetapi harus memuat semua informasi yang dibutuhkan oleh komite untuk melanjutkan pekerjaan monitoringnya terhadap kelanjutan pelaksanaan perjanjian di negara yang bersangkutan. Sebuah elemen penting dalam laporan berkala adalah pelaporan kembali kepada komite mengenai langkah-langkah yang telah diambil oleh Negara Pihak berkaitan dengan pelaksanaan rekomendasi badan per janjian dalam concluding observation di laporan sebelumnya, yang membawa siklus pelaporan ke titik awalnya.
Pentingnya tindak lanjut terhadap rekomendasi badan perjanjian Badan perjanjian tidak memiliki sarana untuk menegakkan rekomendasi mereka. Namun demikian, kebanyakan Negara memperhatikan dengan serius proses pelaporan ini, dan komite telah terbukti berhasil dalam mengangkat persoalan berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian di banyak Negara.
Lokakarya tindak lanjut Lokakarya regional yang melibatkan perwakilan Negara-negara yang laporannya baru saja dipertimbangkan oleh suatu badan perjanjian, sebagaimana juga perwakilan komisi-komisi nasional hak asasi manusia, pengadilan, organisasi nonpemerintah, dan badan-badan lainnya yang tertarik dengan hal ini, telah diselenggarakan di sejumlah negara guna membangun dialog bagi tindak lanjut concluding observations. Lokakarya pertama diselenggarakan di Quito, Ekuador pada Agustus 2002 mengenai concluding observations Komite Hak Asasi Manusia. Dua lokakarya berfokus pada concluding observations Komite Hak Anak telah diselenggarakan di Damaskus, Republik Arab Syria, dan di Bangkok, Thailand. Laporan-laporan dari lokakarya ini tersedia di situs Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR). Lokakarya-lokakarya lebih lanjut sedang dalam tahap persiapan untuk badan-badan perjanjian lainnya. Dalam rangka membantu Negara dalam melaksanakan rekomendasinya, badan perjanjian telah mulai memperkenalkan prosedur guna menjamin tindak lanjut yang efektif terhadap concluding observationsnya. Beberapa komite menyebutkan dalam concluding observations-nya agar Negara melaporkan kembali ke negaranya atau menindaklanjuti pelapor (rapporteur) dalam jangka waktu yang disepakati mengenai langkah-langkah yang diambil sebagai tanggapan terhadap rekomendasi spesifik atau “keprihatinan utama”. Rapporteur kemudian melaporkan kembali kepada komite. Beberapa anggota badan perjanjian telah melakukan kunjungan ke negara-ne-
124
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
gara, atas undangan Negara Pihak, untuk menindaklanjuti laporan dan pelaksanaan concluding observations.
Apa yang terjadi jika Negara tidak melapor? Pelaporan pada badan perjanjian dapat dianggap sebagai suatu tantangan oleh Negara-negara Pihak. Negara yang telah meratifikasi ketujuh perjanjian HAM utama diharapkan membuat lebih dari 20 laporan HAM dalam jangka waktu 10 tahun: berarti satu setiap enam bulannya. Negaranegara juga harus membuat respon terhadap daftar persoalan dan mempersiapkan diri untuk menghadiri pertemuan badan perjanjian, serta kemudian mungkin harus menyerahkan laporan lebih lanjut mengenai tindak lanjut terhadap concluding observations. Hal ini menjadi beban yang sangat besar, sehingga mungkin tidak mengherankan jika Negara-negara seringkali terlambat dalam jadwal pelaporan mereka, atau bahkan dalam beberapa kasus gagal melaporkan. Badan perjanjian mengakui kesulitan yang dihadapi oleh banyak Negara dalam memenuhi kewajiban pelaporan mereka, dan telah berupaya mencari cara-cara memfasilitasi tugas ini (lihat Bagian III di bawah). Namun demikian, sebagaimana kewajiban-kewajiban lainnya yang muncul dari ratifikasi terhadap perjanjian internasional, maka kewajiban untuk melapor adalah kewajiban hukum internasional yang dipilih oleh Negara secara bebas. Badan perjanjian mencoba mendorong Negara-negara untuk melaporkan dengan tepat waktu. Negara-negara dapat meminta bantuan teknis dari Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Divisi Pengembangan Perempuan (DAW) ketika mereka menghadapi kesulitan tertentu. Tetapi, dalam hal Negara telah gagal melaporkan dalam jangka waktu yang panjang JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
dan tidak merespon permintaan komite untuk melapor, maka badan perjanjian telah mengadopsi prosedur untuk mempertimbangkan situasi di suatu negara tanpa adanya laporan – seringkali disebut sebagai “prosedur peninjauan” (“review procedure” ).
“Prosedur Peninjauan” – pertimbangan terhadap pelaksanaan di suatu negara jika tidak terdapat laporan Berdasarkan prosedur ini, komite yang bersangkutan dapat melanjutkan dengan pemeriksaan kondisi pelaksanaan perjanjian yang bersangkutan oleh Negara Pihak walaupun belum ada satu pun laporan Negara yang diterima. Komite dapat membuat daftar persoalan dan pertanyaan untuk Negara Pihak, yang diundang untuk mengirim delegasinya guna menghadiri pertemuan. Informasi dapat diterima dari rekanan PBB dan organisasi nonpemerintah serta, berdasarkan informasi tersebut dan dialog dengan Negara Pihak, komite akan mengeluarkan concluding observations-nya, termasuk rekomendasi. Peninjauan dapat dilan jutkan bahkan jika Negara Pihak menolak mengirimkan delegasi ke pertemuan. Prosedur peninjauan hanya digunakan untuk kasus-kasus istimewa; dalam banyak kasus, pemberitahuan oleh komite bahwa komite berniat untuk mempertimbangkan situasi di suatu negara tanpa adanya suatu laporan adalah cukup untuk mendorong Negara Pihak agar membuat laporan dalam jangka waktu yang pendek.
125
Pertimbangan terhadap pengaduan individual yang menyatakan bahwa hak-hak mereka telah dilanggar oleh Negara Pihak Dalam kondisi tertentu, empat badan perjanjian (Komite Hak Asasi Manusia, Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Komite Menentang Penyiksaan, dan Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) dapat mempertimbangkan pengaduan atau komunikasi dari individu yang percaya bahwa hak-hak mereka telah dilanggar oleh Negara Pihak:
Komite Hak Asasi Manusia dapat mempertimbangkan komunikasi individual terhadap Negara Pihak pada Protokol Opsional Pertama Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik;
Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dapat mempertimbangkan komunikasi individual terhadap Negara Pihak pada Protokol Opsional Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan;
Komite Menentang Penyiksaan dapat mempertimbangkan komunikasi individual terhadap Negara Pihak yang telah membuat deklarasi yang disyaratkan berdasarkan pasal 22 Konvensi Menentang Penyiksaan; dan
Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dapat mempertimbangkan komunikasi individual terhadap Negara Pihak yang telah membuat deklarasi yang disyaratkan berdasarkan pasal 14 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial;
126
Konvensi Pekerja Migran juga memuat ketentuan-ketentuan yang mengijin-
kan komunikasi individual untuk dipertimbangkan oleh Komite Pekerja Migran; ketentuan-ketentuan ini akan mulai berlaku ketika sepuluh Negara Pihak telah membuat deklarasi yang diperlukan berdasarkan pasal 77.6 Prosedur ini bersifat opsional (pilihan) bagi Negara-negara Pihak: badan perjanjian tidak bisa mempertimbangkan pengaduan berkaitan dengan suatu Negara Pihak kecuali jika Negara tersebut telah secara terbuka mengakui kompetensi badan per janjian yang bersangkutan, baik melalui deklarasi berdasarkan pasal yang relevan dari perjanjian atau dengan menerima protokol opsional yang relevan. Walaupun dalam beberapa hal prosedur ini bersifat “quasi-yudisial”, keputusan-keputusan komite tidak bisa dipaksakan. Namun dalam banyak kasus, Negara-negara Pihak telah melaksanakan rekomendasi-rekomendasi Komite dan memberikan perbaikan (rem edy) kepada si pengadu.
Siapa yang dapat mengadu? Setiap individu yang menyatakan bahwa hak-haknya berdasarkan kovenan atau konvensi telah dilanggar oleh Negara Pihak pada perjanjian tersebut dapat membawa komunikasinya di hadapan komite yang bersangkutan, dengan persyaratan bahwa Negara tersebut telah mengakui kompetensi komite untuk menerima komunikasi semacam itu. Pengaduan juga dapat diajukan oleh pihak ketiga atas nama individuindividu, selama mereka telah memberikan ijin tertulis (written consent) atau ketika mereka tidak dapat memberikan ijin semacam itu. 6 Saat ini protokol opsional pada Kovenan Internasio-
nal tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya sedang dalam pertimbangan dan dapat menghasilkan keputusan bahwa Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya diberikan mandat untuk mempertimbangkan komunikasi individual berkaitan dengan Kovenan. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Bagaimana saya mengadu?
Prosedur penyelidikan
Informasi lebih lengkap mengenai prosedur pengaduan individual dari badanbadan perjanjian, termasuk nasihat dan instruksi tentang bagaimana cara mengadu, dapat ditemukan di Lembar Fakta No. 7: Prosedur Pengaduan atau di situs Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR).
Pasal 20 Konvensi Menentang Penyiksaan dan pasal 8 sampai pasal 10 Protokol Opsional Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan menetapkan prosedur mendasar berikut ini bagi komite yang bersangkutan untuk melakukan penyelidikan yang mendesak: 1.
Prosedur dapat dilakukan jika komite menerima informasi yang dapat dipercaya tentang indikasi bahwa hak-hak yang termuat dalam konvensi telah dilanggar secara sistematis oleh Negara Pihak. Dalam hal Konvensi Menentang Penyiksaan, informasi harus memuat indikasi-indikasi yang kuat bahwa penyiksaan telah dipraktikkan secara sistematis di wilayah suatu Negara Pihak; dalam hal Protokol Opsional Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, informasi harus mengindikasikan pelanggaran yang berat atau sistematis terhadap hak-hak yang diatur dalam Konvensi oleh Negara Pihak;
2.
Langkah pertama adalah komite mengundang Negara Pihak untuk bekerja sama dalam pemeriksaan mengenai informasi tersebut dengan menyerahkan hasil pengamatan;
3.
Berdasarkan hasil pengamatan Negara Pihak dan informasi lain yang tersedia yang dapat dipercaya, Komite dapat memutuskan untuk menugaskan satu atau lebih anggotanya guna melakukan penyelidikan secara konfidensial dan melaporkan kepada komite dengan segera. Prosedur Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan secara spesifik mengijinkan kunjungan ke wilayah Negara yang bersangkutan, jika hal tersebut dibenarkan
Penyelidikan Atas dasar inisiatif mereka, dua badan perjanjian – Komite Menentang Penyiksaan dan Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan – dapat melakukan penyelidikan jika komite menerima informasi yang dapat dipercaya mengenai indikasi yang kuat bahwa telah terjadi pelanggaran yang serius, berat, atau sistematis terhadap konvensi oleh suatu Negara Pihak.
Negara mana saja yang dapat men jadi subyek penyelidikan? Penyelidikan hanya dapat dilakukan terhadap Negara-negara Pihak yang telah mengakui kompetensi komite yang bersangkutan. Pada saat ratifikasi atau aksesi, Negara-negara Pihak pada Konvensi Menentang Penyiksaan dapat menghindarkan diri dengan membuat deklarasi berdasarkan pasal 28; Negara-negara Pihak pada Protokol Opsional Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan juga dapat meniadakan kompetensi Komite yang bersangkutan dengan membuat deklarasi berdasarkan pasal 10. Negara mana pun yang memilih untuk menghindari prosedur dapat memutuskan untuk menerima prosedur tersebut di masa mendatang.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
127
dan dilakukan dengan persetujuan Negara; kunjungan juga diperkirakan dapat dilakukan berdasarkan prosedur Konvensi Menentang Penyiksaan; 4.
Hasil-hasil temuan dari anggota (atau anggota-anggota) komite kemudian diperiksa oleh komite dan diserahkan kepada Negara Pihak bersama dengan komentar atau saran/rekomendasi yang selayaknya;
5.
Prosedur Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan menetapkan tenggat waktu enam-bulan kepada Negara Pihak untuk menanggapi hasil temuan, komentar, dan rekomendasi komite tersebut dengan hasil pengamatannya sendiri dan untuk menginformasikan kepada komite mengenai langkah-langkah yang telah diambil sebagai respon terhadap penyelidikan jika diminta oleh Komite;
6.
Berdasarkan konsultasi dengan Negara Pihak, komite dapat memutuskan memasukkan suatu kesimpulan akhir (summary account) dari hasil prosiding tersebut di laporan tahunannya.
Dalam kedua kasus, prosedur ini bersifat rahasia dan harus diperoleh kerja sama dari Negara Pihak selama keseluruhan prosiding.
Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan dan Subkomite Pencegahan Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan (OPCAT), yang akan diberlakukan ketika telah memiliki 20 Negara Pihak, memperkenalkan suatu mekanisme baru guna pencapaian tujuan-tujuan Konvensi yaitu mencegah penyiksaan dan bentuk-bentuk perlakuan kejam lainnya. OPCAT membentuk suatu sistem
128
kunjungan berkala ke tempat-tempat penahanan yang dilakukan oleh badan internasional dan nasional tambahan. Suatu badan internasional yang baru, yang disebut “Subkomite Pencegahan”, yang terdiri dari sepuluh praktisi independen di bidang administrasi peradilan atau penahanan, dapat melakukan kunjungan-kunjungan ke tempat-tempat penahanan di semua Negara Pihak. Subkomite akan menyerahkan laporan konfidensialnya yang memuat rekomendasi kepada Negara-negara Pihak. Bersama dengan badan internasional ini, Negara-negara Pihak harus membentuk suatu mekanisme pencegahan nasional yang independen (seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, lembaga ombudsman, atau komisi parlementer) yang akan melakukan kunjungan berkala ke tempat-tempat penahanan sesuai dengan Protokol tersebut. Informasi lebih lanjut megnenai OPCAT dan Subkomite Pencegahan, lihat Lembar Fakta No. 17: Komite Menentang Penyiksaan.
Pengaduan antarnegara Walaupun prosedur ini tidak pernah digunakan, empat dari perjanjian HAM memuat ketentuan-ketentuan yang mengijinkan Negara-negara Pihak untuk mengajukan pengaduan kepada badan perjanjian tentang tuduhan pelanggaran terhadap perjanjian oleh Negara Pihak lain. Pasal 21 Konvensi Menentang Penyiksaan dan pasal 76 Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Semua Anggota Keluarganya menetapkan suatu prosedur bagi komite yang bersangkutan untuk mempertimbangkan pengaduan dari satu Negara pihak yang menganggap bahwa Negara Pihak lain tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam konvensi. Prosedur ini mensyaratkan bahwa perbaikan di tingkat domestik (domestic remedies) JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
harus exhausted (sudah dilakukan seluruhharus exhausted nya tanpa membuahkan hasil) lebih dahulu dan prosedur hanya berlaku pada Negaranegara Pihak yang telah membuat deklarasi menerima kompetensi komite dalam hal ini. Pasal 11 sampai pasal 13 Kovenan Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dan pasal 41 sampai pasal 43 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik menetapkan suatu prosedur yang lebih terperinci untuk menyelesaikan pertikaian antarNegara Pihak mengenai pemenuhan satu Negara terhadap kewajibannya berdasarkan konvensi/kovenan yang relevan melalui pembentukan suatu komisi konsiliasi ad hoc. hoc. Prosedur ini juga mensyaratkan bahwa perbaikan domestik (domestic ( domestic remedies) remedies ) exhausted lebih dahulu. Prosedur ini harus exhausted harus pada umumnya tidak hanya berlaku bagi semua Negara Pihak pada Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, tetapi hanya berlaku bagi Negara-negara Pihak pada Kovenan Internasioal Internasioal tentang Hak Sipil dan Politik yang telah membuat deklarasi menerima kompetensi Komite dalam hal tersebut.
Penyelesaian pertikaian antar Negara berkaitan dengan interpretasi atau aplikasi konvensi Pasal 29 Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, pasal 30 Konvensi Menentang Penyiksaan, dan pasal 92 Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya menyatakan bahwa pertikaian antarNegara berkaitan dengan interpretasi atau aplikasi konvensi akan diselesaikan pertama melalui negosiasi atau, jika negosiasi gagal, melalui arbitrasi. Salah satu Negara yang terlibat dalam pertikaian dapat merujuk pertikaian tersebut Internakepada Pengadilan Internasional ( InternaJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
tional Court of Justice) Justice ) jika pihak-pihak yang bertikai gagal menyepakati ketentuan-ketentuan dalam arbitrasi dalam jangka waktu enam bulan. Negara-negara Pihak dapat menarik diri dari prosedur semacam ini dengan membuat deklarasi pada saat ratifikasi atau aksesi, yang mana sesuai dengan prinsip timbal-balik (resiprositas), maka mereka tidak diperkenankan mengajukan kasus-kasus menentang Negara Pihak lainnya. Prosedur ini, seperti halnya prosedur pengaduan antarNegara, tidak pernah digunakan.
Komentar-komentar Komentar-kom entar umum Setiap badan perjanjian mempublikasikan interpretasinya tentang ketentuanketentuan dalam perjanjian HAM yang dimonitornya dalam bentuk komentar umum (Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dan Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan menggunakan istilah “rekomendasi umum”). Komentar umum dari badan perjanjian mencakup berbagai subyek, mulai dari interpretasi yang komprehensif mengenai ketentuan-ketentuan substantif, seperti hak hidup atau hak atas makanan yang cukup, sampai panduan umum tentang informasi yang harus diberikan dalam laporan Negara berkaitan dengan pasal-pasal tertentu dari perjanjian. Komentar umum juga menangani persoalan-persoalan yang saling bertabrakan (cross-cutting issues) issues) yang lebih luas, seperti peran institusi-institusi nasional HAM, hak orang-orang penyandang cacat, kekerasan terhadap perempuan, dan hak kelompok minoritas. Suatu kompilasi komentar umum dan rekomendasi umum diadopsi oleh badan perjanjian dihasilkan dan diperbaharui secara berkala (lihat revisi terakhir dokumen HRI/GEN/1).
129
Diskusi umum atau debat tematis Sejumlah badan perjanjian menyelenggarakan diskusi umum mengenai suatu tema atau persoalan tertentu bagi badan perjanjian tersebut selama beberapa hari. Diskusi tematis ini biasanya terbuka bagi partisipan dari luar, seperti rekanan PBB, delegasi Negara Pihak, organisasi nonpemerintah, dan para ahli individual. Hasil dari diskusi dapat membantu badan perjan jian dalam membuat komentar umum yang baru.
Pertemuan Negara-negara Pihak dan pertemuan dengan Negaranegara Pihak Setiap perjanjian (kecuali Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) menyelenggara menyelenggarakan kan pertemuan formal Negara-negara Pihak setiap dua tahun sekali, biasanya di Markas Besar PBB, guna memilih setengah dari anggota badan perjanjiannya. Pasal 50 Konvensi Hak Anak menyelenggarakan suatu konferensi Negaranegara Pihak guna menentukan usulan amendemen terhadap Konvensi. Kebanyakan komite juga mengadopsi praktik penyelenggaraan pertemuan informal secara berkala dengan Negara-negara Pihak pada perjanjian mereka guna mendiskusikan persoalan-persoalan bersama berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian dan pekerjaan badan perjanjian.
Koordinasi antara badan-badan perjanjian Pertemuan tahunan para ketua badan perjanjian Kebutuhan akan koordinasi antara badan-badan perjanjian HAM diakui oleh Majelis Umum pada 1983, yaitu ketika Ma130
jelis Umum meminta para ketua badan bada n per janjian HAM untuk bertemu guna membahas tentang bagaimana mereka bisa meningkatkan kinerja mereka. Pertemuan pertama pada ketua ini berlangsung pada 1984. Sejak 1995, para ketua badan perjan jian telah melakukan pertemuan setiap tahunnya. Pertemuan ini merupakan suatu forum bagi para ketua ketujuh badan perjanjian HAM untuk membahas mengenai pekerjaan mereka dan mempertimbangkan cara-cara guna meningkatkan efektivitas sistem badan perjanjian sebagai suatu kesatuan. Persoalan-persoalan yang diangkat dalam pertemuan ini antara lain: pengarusutamaan dan perbaikan secara menyeluruh prosedur pelaporan HAM; harmonisasi metode kerja komite-komite; tindak lanjut Konferensi Dunia; dan persoalan finansial. Konsultasi-konsultasi informal dengan Konsultasi-konsultasi Negara-negara Pihak sebagaimana juga dengan rekanan PBB dan organisasi nonpemerintah juga telah menjadi suatu ciri khas dalam pertemuan antara para ketua badan perjanjian. Sejak 1999, para ketua badan perjanjian telah bertemua dengan pemegang mandat prosedur khusus (baik mandat tematis maupun mandat negara) Komisi Hak Asasi Manusia. Pembahasannya berfokus pada pertanyaan-pertanyaan p ertanyaan-pertanyaan teknis, seperti meningkatkan pertukaran informasi antara badan perjanjian dan prosedur khusus. Persoalan-persoalan substantif, termasuk dampak globalisasi terhadap penikmatan HAM (2003) serta langkahlangkah penanganan terorisme (counter-ter(counter-terrorism)) dan HAM (2004), juga telah dirorism bahas.
Pertemuan antarkomite Sejak 2002, pertemuan tahunan para ketua badan perjanjian telah dilengkapi dengan suatu “pertemuan antarkomite”, yang termasuk di dalamnya para ketua dan tamJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
bahan dua anggota dari setiap komite. Harmonisasi metode kerja di antara para komite menjadi fokus utama pertemuan antarkomite pertama. Pelaksanaan pertemuan antarkomite disambut baik oleh Negaranegara Pihak. Meningkatnya keterlibatan setiap komite telah membuka pembahasan yang lebih detil tentang rekomendasi terhadap persoalan-persoalan berkaitan dengan metode kerja ketimbang yang dibahas dalam pertemuan para ketua badan perjan jian. Pertemuan antarkomite dan pertemuan para ketua badan perjanjian biasanya dipimpin oleh orang yang sama, yaitu seseorang yang menjadi ketua badan perjanjian HAM atas dasar rotasi.
BAGIAN III Perkembangan lebih lanjut dari sistem perjanjian HAM PBB Walaupun DUHAM telah dibuat lebih dari 50 tahun yang lalu, dan proses p roses pembuatan ketentuan internasional HAM atau International Bill of Human Rights (DUHAM dan kedua Kovenan) telah diselesaikan pada 1966, sistem perjanjian HAM internasional telah terus berkembang dengan adanya adopsi instrumen baru dan pembentukan badan perjanjian yang baru. Berbagai instrumen dan badan perjanjian yang semakin luas tersebut telah menjamin adanya perlindungan HAM yang lebih besar di sejumlah bidang yang menjadi perhatian utama masyarakat internasional, dan juga telah memberikan suatu tantangan penting bagi sistem perjanjian HAM internasional: bagaimana cara terbaik untuk menjamin bahwa perbedaan elemen-elemen dalam sistem yang semakin berkembang ini bisa bekerja secara efektif secara bersama-sama bagi pemajuan dan perlindungan HAM.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Perluasan sistem perjanjian HAM: membuat instrumen baru Sejak 2000, sejumlah instrumen HAM yang baru telah disepakati atau telah mulai berlaku. Pada Mei 2000, dua protokol opsional pada Konvensi Hak Anak diadopsi, tentang penjualan anak, pelacuran anak, dan pornografi anak (CRC-OPSC) dan tentang keterlibatan anak-anak dalam konflik bersenjata (CRC-OPAC). (CRC-OPAC). Keduanya mulai berlaku pada 2002. Pada Desember 2002, Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan diadopsi (OPCAT). Protokol ini akan mulai berlaku ketika sudah diterima oleh 20 Negara Pihak. Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya mulai berlaku pada Juli 2003, dan Komite Pekerja Migran telah menyelenggarakan pertemuan pertamanya pada Maret 2004. Instrumen-instrumen HAM internasioInstrumen-instrumen nal lainnya sedang dibahas oleh Negaranegara dan dapat diadopsi pada tahuntahun mendatang. Suatu komite ad hoc Majelis Umum telah dibentuk pada 2002 dengan tujuan membuat “suatu konvensi internasional yang komprehensif dan integral tentang perlindungan dan pemajuan hak-hak dan martabat orang-orang penyandang cacat”. Komite” Ad Hoc ini bertujuan untuk mengadopsi suatu konvensi, yang akan memasukkan mekanisme monitoring pada akhir 2005. Pada 2002, Komisi Hak Asasi Manusia memutuskan untuk membentuk “kelompok kerja terbuka dengan tujuan untuk mempertimbangkan pilihanpilihan berkaitan dengan elaborasi protokol opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya”.7 Protokol opsional tersebut akan memberikan kompetensi pada Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya untuk mempertimbangkan pengaduan individual dan melakukan penyelidikan. Suatu kelompok kerja menge7 Resolusi Komisi 2002/24 dan 2003/18.
131
nai rancangan instrumen tentang penghilangan paksa juga mungkin akan menghasilkan suatu instrumen baru.
Meningkatkan efektivitas sistem perjanjian Dengan perkembangan yang berkelan jutan dalam sejumlah instrumen HAM internasional, maka penting agar ditekankan bahwa instrumen-instrumen tersebut saling melengkapi satu sama lain, serta bahwa perjanjian dan badan yang dibentuk untuk memonitor pelaksanaannya dapat bekerja bersama-sama secara efektif sebagai suatu sistem yang terintegrasi guna pemajuan dan perlindungan HAM. Dalam laporannya tahun 2002, “Memperkuat Perserikatan Bangsa-Bangsa: suatu agenda untuk perubahan lebih lanjut”,8 Sekretaris Jenderal PBB mengidentifikasi pembaruan lebih lanjut terhadap sistem perjanjian sebagai elemen utama dalam tujuan PBB untuk memajukan dan melindungi HAM. Ia meminta badan-badan perjanjian HAM untuk mempertimbangkan dua langkah: pertama, untuk membuat suatu pendekatan yang lebih terkoordinasi dalam hal kegiatan dan membuat standardisasi ketentuan pelaporan mereka yang bervariasi; dan kedua, untuk mengijinkan Negara menghasilkan suatu laporan tunggal yang menyimpulkan semua ketaatannya pada sejumlah perjanjian HAM di mana Negara tersebut menjadi pihak. Badan-badan perjanjian menanggapi hal ini dengan melakukan suatu proses konsultasi dan reformasi yang ditujukan untuk menjawab dua bidang persoalan yang diangkat oleh usulan Sekretaris Jenderal: (1) meningkatkan koordinasi antara badan-badan perjanjian, termasuk pengarusutamaan metode kerja; dan (2) pengembangan proses pelaporan perjan jian, termasuk harmonisasi ketentuan pelaporan.
(1) Meningkatkan koordinasi antara badan-badan perjanjian Badan-badan perjanjian telah dengan sukses mengerjakan mandat mereka, khususnya melibatkan Negara-negara dalam diskusi yang terbuka mengenai persoalan dalam melaksanakan perjanjian HAM melalui proses pelaporan. Namun demikian, sampai baru-baru ini, setiap badan perjan jian cenderung melakukan pekerjaannya secara independen dari badan perjanjian lainnya, walaupun kegiatan-kegiatan mereka saling tumpang tindih di banyak bidang. Cara ad hoc di mana setiap komite dibentuk berdasarkan perjanjiannya berarti bahwa mereka memiliki kekebebasan untuk membangun prosedur dan praktiknya sendiri, dan walaupun ada banyak kesamaan dalam hal fungsi badan-badan per janjian, juga terdapat banyak keragaman; yang seringkali mengarah pada kebingungan dan ketidak-konsistenan. Badan-badan perjanjian telah terlibat secara berkelanjutan dalam pencarian cara untuk meningkatkan efektivitas melalui pengarusutamaan dan harmonisasi metode kerja dan praktik selama beberapa tahun. Saran Sekretaris Jenderal telah memberikan motivasi baru bagi proses ini. Proposalproposal di bidang seperti standardisasi terminologi dan simbol-simbol dokumen telah dibahas dalam pertemuan antarkomite dan pertemuan para ketua badan per janjian, dan setiap komite secara individual telah meninjau metode kerjanya dengan tujuan untuk mengadopsi praktik-praktik terbaik dari komite lain. Pada saat yang sama, juga diakui bahwa beberapa variasi dalam praktik dapat dibenarkan, atau bahkan diperlukan karena sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian yang bersangkutan.
8 A/57/387.
132
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
(2) Pengembangan sistem pelaporan perjanjian Fokus utama upaya untuk menjamin pelaksanaan perjanjian HAM yang lebih efektif di tahun-tahun belakangan ini adalah pelaporan Negara. Sebagaimana sistem berkembang, tantangan-tantangan muncul dari keterlambatan penyerahan dan/atau pertimbangan terhadap laporan, terlambat dan tidak-melaporkan, serta duplikasi ketentuan pelaporan di antara badan-badan perjanjian. Memperbaiki efektivitas sistem perjanjian HAM telah menjadi perhatian yang berkelanjutan masing-masing badan perjanjian, pertemuan para ketua badan perjanjian, Komisi Hak Asasi Manusia, dan Majelis Umum. Menanggapi permintaan Sekretaris Jenderal untuk ketentuan pelaporan yang terharmonisasi dan kemungkinan penyerahan suatu laporan tunggal, badan-badan perjanjian mulai membuat panduan harmonisasi pelaporan berdasarkan ketujuh per janjian HAM utama. Panduan ini mendorong Negara-negara Pihak untuk memenuhi sejumlah kewajiban perjanjian HAM di mana mereka telah menjadi bagian dari suatu sistem yang terkoordinasi, ketimbang memperlakukan masing-masing perjanjian secara terpisah-pisah. Laporan-laporan yang dikompilasi sesuai dengan panduan dapat menyediakan suatu kerangka pelaporan yang seragam di mana komite-komite dapat menghindari duplikasi dalam peker jaannya dan menetapkan suatu standar pelaporan yang konsisten bagi semua komite. Setelah konsultasi yang mendalam dengan Negara Pihak, badan-badan PBB, organisasi nonpemerintah, dan pihak-pihak lain yang berminat, maka badan-badan perjanjian menyimpulkan bahwa laporan tunggal justru akan menjadi tantangan yang begitu besar bagi Negara-negara Pihak dan tidak akan dapat memenuhi tujuan yang memotivasi usulan Sekretaris JendeJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
ral tersebut. Mereka memilih untuk memperluas ruang lingkup dokumen inti/utama dengan memasukkan presentasi penuh kerangka hukum bagi pemajuan dan perlindungan HAM secara umum di Negara, sebagaimana juga informasi mengenai pelaksanaan ketentuan-ketentuan substantif HAM yang serupa dalam beberapa perjanjian. Dokumen inti/utama yang diperluas ini harus diserahkan kepada semua badan perjanjian bersama dengan laporan target (targeted report) bagi setiap badan perjanjian yang berisi informasi spesifik mengenai perjan jian tersebut. Laporan Negara-negara kepada badan-badan perjanjian oleh karenanya akan terdiri dari suatu dokumen umum yang menggambarkan pandangan yang holistik dari pelaksanaan HAM dan suatu dokumen perjanjian yang spesifik yang berfokus pada persoalan-persoalan yang men jadi perhatian komite berkaitan dengan perjanjiannya.
Peran sistem perjanjian HAM dalam memperkuat sistem perlindungan HAM di tingkat nasional Perjanjian-perjanjian HAM adalah instrumen hukum yang menetapkan standarstandar internasional bagi pemajuan dan perlindungan HAM di dunia. Dengan meratifikasi perjanjian, Negara menjanjikan dirinya pada standar-standar ini dan mewa jibkan dirinya untuk melaksanakan hakhak tersebut di tingkat nasional. Badan perjanjian mendorong dan mendukung Negara dalam upaya ini. Sistem perjanjian HAM ini kelihatannya terfokus pada tingkat internasional; tetapi jelas bahwa pema juan dan perlindungan HAM merupakan persoalan paling penting di tingkat nasional. Standar-standar internasional yang telah disepakati dalam perjanjian memerlukan adanya pelaksanaan yang efektif di tingkat nasional guna menjamin bahwa hak-hak tersebut dinikmati oleh semua
133
laki-laki, perempuan, dan anak-anak di setiap negara. Karena badan perjanjian dibentuk untuk memonitor pelaksanaan standarstandar HAM internasional yang ditentukan oleh perjanjian HAM, maka badan perjanjian memiliki peranan penting dalam membantu upaya memperkuat perlindungan HAM di tingkat nasional. Pertama, proses pelaporan kepada badan perjanjian itu sendiri merupakan bagian yang penting dalam pembentukan suatu sistem perlindungan HAM di tingkat nasional. Kedua, badan perjanjian memberikan pada Negara-negara nasihat-nasihat praktis dan bantuan tentang bagaimana melaksanakan perjanjian dengan baik.
Pentingnya proses pelaporan di tingkat nasional Upaya mendorong Negara-negara untuk mengambil pendekatan yang holistik dalam pelaporan dengan melihat pada serangkaian kewajiban pada perjanjian yang mana mereka menjadi pihak tidak hanya ditujukan untuk mempermudah Negara dalam membuat pelaporan kepada badan perjanjian internasional. Walaupun badan internasional memang meminta laporan-laporan, namun proses pembuatan laporan di tingkat nasional juga penting. Dalam memenuhi kewajiban pelaporan mereka berdasarkan perjanjian internasional, Negara-negara terlibat dalam suatu proses penilaian terhadap dirinya sendiri (self-assessment) guna menentukan sejauh mana HAM telah dilindungi di negaranya. Proses pengumpulan informasi mengenai pelaksanaan HAM di tingkat nasional men jadi alat yang penting untuk membantu Pemerintah merencanakan dan menempatkan program-program pembangunan berdasarkan HAM (rights-based development). Banyak Negara terlibat dalam proses paralel, yaitu pelaporan perjanjian, pembuatan 134
rencana aksi nasional HAM, dan pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional. Mengaitkan proses-proses tersebut dapat menjamin bahwa HAM ditempatkan di tengah-tengah perencanaan strategis nasional, yang oleh karenanya akan menjamin pelaksanaan standar HAM nasional yang lebih efektif. Proses pelaporan, dari mulai persiapan pembuatan laporan, melalui proses pertimbangan di tingkat internasional, sampai tanggapan negara terhadap rekomendasi badan perjanjian, juga dapat digunakan untuk menstimulasi debat nasional mengenai HAM dengan masyarakat sipil dan menciptakan konstituensi HAM yang baru.
Nasihat praktis dan bantuan dari badan perjanjian Hasil dari badan perjanjian, sebagaimana halnya tim negara dan donor PBB, dapat memberikan bantuan yang berguna bagi tindakan-tindakan yang diperlukan guna memperkuat perlindungan HAM. Ketika telah dihasilkan suatu laporan Negara Pihak dan telah dipertimbangkan oleh badan perjanjian, maka concluding observations dan rekomendasi yang praktis dan bertarget dapat memberikan nasihat yang tepat tentang bidang-bidang tertentu yang perlu diperhatikan oleh Negara yang bersangkutan. Pendapat-pendapat yang diungkapkan oleh komite sebagai tanggapn terhadap pengaduan individual juga merupakan sumber panduan yang lain, yang berfokus pada bidang persoalan tertentu yang memerlukan tindakan. Komentar umum dari badan perjanjian menyediakan informasi tambahan untuk suatu sifat yang lebih terelaborasi mengenai bagaimana perjanjian harus dilaksanakan.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Tujuan Pembangunan Millenium ( Millenium Development Goals ) dan Hak Asasi Manusia Pada 2000, negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa menyepakati delapan tujuan – atau Millenium Development Goals (MDGs) – di mana semua bangsa, baik yang maju maupun berkembang, akan bekerja bersamasama untuk mencapainya pada 2015. Keseluruhan delapan MDGs dapat dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan perjanjian hak asasi manusia atau komentar-komentar umum badan-badan perjanjian (GCs).
Tujuan 1 untuk menghapuskan kemiskinan dan kelaparan: Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (pasal 11 dan Komentar Umum 12), Konvensi Hak Anak (pasal 24(2) dan pasal 27(3)); Tujuan 2 untuk mencapai pendidikan dasar universal: Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (pasal 13 dan pasal 14, serta Komentar Umum 11), Konvensi Hak Anak (pasal 28(a) dan Komentar Umum1), Konvensi Internasional tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial (pasal 5 dan pasal 7); Tujuan 3 untuk memajukan kesetaraan genjer dan pemberdayaan perempuan: Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (pasal 3 dan pasal 7(a) (i)), Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (pasal 3, pasal6(5), dan pasal 32(2), Konvensi Hak Anak (pasal 2), Konvensi Internasional tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial (Komentar Umum 25); Tujuan 4 untuk mengurangi tingkat kematian anak-anak: Konvensi Hak
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Anak (pasal 6 dan pasal 24(2)(a)), Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (pasal 12(2)(a)) dan Komentar Umum 14);
Tujuan 5 untuk memperbaiki tingkat kesehatan maternal: Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (pasal 10(h), pasal 11(f), pasal 12(1), pasal 14(b), dan Komentar Umum 24), Konvensi Internasional tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial (pasal 5(e)(iv)), Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Komentar Umum 14), Konvensi Hak Anak (pasal 24(d)); Tujuan 6 untuk memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit-penyakit lainnya: Panduan Internasional tentang HIV/AIDS dan Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Komentar Umum 14), dan Konvensi Hak Anak (pasal 24(c) dan Komentar Umum 3); Tujuan 7 untuk menjamin keberlangsungan lingkungan. Air minum yang aman dikonsumsi: Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Komentar Umum 15 dan 14). Tempat tinggal kumuh: Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Komentar Umum 4 dan 7), Konvensi Hak Anak (pasal 24(c)); Tujuan 8 untuk membangun suatu kemitraan global untuk pembangunan: Piagam PBB (pasal 1(3)), Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (pasal 2), Konvensi Hak Anak (pasal 4). Hasil badan perjanjian dapat memiliki dampak yang signifikan bagi Negara, yaitu membantu menjamin pelaksanaan perjan jian-perjanjian yang lebih efektif, misalnya melalui usulan legislasi baru atau keten-
135
tuan tentang pelatihan HAM bagi pejabat/ pegawai Negara. Perluasan dampak tergantung tidak hanya pada Pemerintah, tetapi juga pada aktor-aktor lain yang mampu mempengaruhi cara di mana HAM dilindungi dan dimajukan di negara tersebut, termasuk parlemen nasional dan regional, institusi nasional HAM, hakim-hakim, dan pengacara, serta masyarakat sipil.
Informasi lebih lanjut mengenai sistem perjanjian HAM PBB Untuk informasi lebih lanjut mengenai perjanjian dan badan perjanjian, kunjungi situs Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan masuk ke “badanbadan perjanjian” (“human rights bodies” ). Situs ini memuat informasi mengenai proses pelaporan Negara, termasuk status pelaporan oleh negara. Dokumen-dokumen badan perjanjian, termasuk laporan-laporan Negara Pihak dan concluding observations dapat diperoleh di situs ini. Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR) juga mempublikasi beberapa Lembar Fakta berkaitan dengan pekerjaan badan-badan perjanjian: Prosedur Pengaduan (No. 7);
about/publications/sheets/htm.
Pemberitahuan melalui e-mail mengenai rekomendasi badan perjan jian Jika anda tertarik pada pekerjaan badan-badan perjanjian dan ingin mendapatkan informasi mengenai kegiatankegiatan mereka, kenapa tidak mendaftarkan diri ke “listserv” badan perjanjian secara cuma-cuma? Anda akan menerima pemberitahuan berkala melalui e-mail mengenai rekomendasi badan perjanjian, termasuk concluding observations yang dikeluarkan setelah pemeriksaan terhadap laporan Negara Pihak, komentar umum yang menginterpretasikan perjanjian yang bersangkutan, keputusan yang diambil mengenai pengaduan individual (jika tersedia), dan kegiatan-kegiatan lainnya. Untuk mendaftarkan diri, kunjungi situs Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia OHCHR di http://www.ohchr. org/english/bodies/treaty/subscribe. htm.
Istilah-istilah teknis berkaitan dengan badan perjanjian
Hak Anak (No. 10); Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (No. 12);
Backlog
Di samping persoalan keterlambatan dan tidak-adanya pelaporan oleh Negara-ne Hak Sipil dan Politik: Komite Hak gara Pihak, beberapa badan perjanjian juga Asasi Manusia (No. 15); menghadapi kesulitan untuk menangani Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan jumlah laporan yang harus mereka pertim Budaya (No. 16); bangkan setiap tahun. Backlog terhadap Komite Menentang Penyiksaan (No. 17); begitu banyak laporan yang yang menung Diskriminasi terhadap Perempuan: gu untuk dipertimbangkan oleh komite dapat berarti penundaan sampai dua tahun Konvensi dan Komite (No. 22); dan lamanya dari tanggal penyerahan laporan Hak Pekerja Migran (No. 24). tersebut oleh Negara Pihak sampai waktu Lembar Fakta ini tersedia secara cumakomite memulai pemeriksaan terhadap isi cuma dari kantor publikasi OHCHR, atau dari laporan. Kebutuhan untuk meminta online di http://www.ohchr.org/english/ informasi yang terkini adalah salah satu 136
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
alasan mengapa praktik pembuatan daftar pertanyaan diadopsi oleh kebanyakan badan perjanjian. Metode kerja yang lebih efisien dapat mengurangi backlog tersebut, misalnya, pertemuan secara paralel di dua tempat untuk mempertimbangkan laporanlaporan dari tahun 2005.
Biro Biro biasanya terdiri dari ketua, wakil ketua, pelapor (rapporteur) atau anggota lain yang ditugaskan oleh komite, yang bertemu untuk memutuskan tentang persoalan-persoalan prosedural dan administratif yang berkaitan dengan pekerjaan komite.
Ketua Setiap badan perjanjian memilih salah satu anggotanya untuk bertindak sebagai ketua untuk jangka waktu dua tahun. Orang tersebut mengetuai pertemuan sesuai dengan peraturan tata tertib yang telah disepakati. Para ketua badan perjanjian bertemu setiap tahunnya untuk mengkoordinasikan kegiatan badan perjanjian, dan juga berpartisipasi bersama dua orang anggota komite lainnya dalam pertemuan antarkomite.
Dokumen umum Istilah alternatif untuk “dokumen inti/ utama yang diperluas”.
Komentar kesimpulan ( c oncluding comments ) Lihat “concluding observations”.
Concluding observations Pengamatan dan rekomendasi yang dikeluarkan oleh suatu badan perjanjian setelah mempertimbangkan laporan Negara Pihak. Concluding observations mengacu baik pada aspek positif pelaksanaan perjanjian oleh suatu negara maupun bidang-bidang di mana badan perjanjian merekomendasiJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
kan bahwa tindakan lebih lanjut perlu diambil oleh Negara. Badan perjanjian bertugas menghasilkan concluding observations yang konkret, terfokus, dan dapat dilaksanakan, serta harus memberikan perhatian bagi langkah-langkah guna menjamin tindak lanjut efektif terhadap concluding observations-nya. Juga dirujuk sebagai “concluding comments” oleh beberapa komite sesuai dengan pengistilahan di perjanjiannya.
Pertimbangan terhadap kondisi negara tanpa adanya laporan Lihat “prosedur peninjauan”.
Dialog konstruktif Praktik yang diadopsi oleh semua badan perjanjian dengan mengundang Negaranegara Pihak untuk mengirimkan delegasinya guna menghadiri pertemuan di mana laporan mereka dipertimbangkan dalam rangka memberikan kesempatan kepada Negara-negara Pihak tersebut untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan anggota dan menyediakan informasi tambahan mengenai upaya mereka dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian yang relevan. Gagasan dialog konstruktif menekankan pada kenyataan bahwa badan perjanjian bukan merupakan badan yudisial (walaupun beberapa di antaranya memiliki fungsi quasi-yudisial), tetapi hanya dibentuk untuk memonitor pelaksanaan perjanjian.
Dokumen inti/utama Suatu dokumen yang diserahkan oleh Negara Pihak kepada Sekretaris Jenderal yang memuat informasi hal-hal umum mengenai negara yang relevan dengan semua perjanjian, termasuk informasi mengenai tanah dan penduduk, struktur politik umum, dan kerangka hukum umum yang melindungi HAM di Negara tersebut. Dokumen inti/utama diperkenalkan pertama kalinya pada 1991 di pertemuan para ketua
137
badan perjanjian sebagai suatu cara untuk mengurangi pengulangan informasi yang ditemukan di laporan Negara-negara ke berbagai badan perjanjian. Dokumen ini memuat suatu bagian awal yang umum di semua laporan ke badan perjanjian.
perti halnya reservasi, tidak berarti meniadakan atau memodifikasi dampak hukum dari perjanjian. Tujuan dari deklarasi interpretasi adalah untuk mengklarifikasi arti beberapa ketentuan atau keseluruhan perjanjian.
Pelapor negara (country rapporteur) Kebanyakan komite menunjuk seorang anggotanya sebagai pelapor negara untuk setiap Negara Pihak yang sedang dipertimbangkan. Pelapor negara biasanya memimpin dalam membuat daftar persoalan, mengajukan pertanyaan kepada delegasi pada saat pertemuan, dan membuat concluding observations untuk dibahas dan diadopsi oleh komite.
Deklarasi opsional dan wajib
Satuan kerja laporan Negara (country report task force) Komite Hak Asasi Manusia telah menugaskan satuan kerja laporan Negara untuk mengerjakan persiapan pertimbangan laporan-laporan yang sebelumnya dilakukan oleh kelompok kerja prapertemuan. Satuan kerja ini bertemu pada saat pertemuan pleno. Satuan kerja laporan Negara terdiri dari empat sampai enam anggota, yang dinominasikan oleh Ketua, salah satu di antara mereka adalah pelapor negara, yang secara keseluruhan bertanggung jawab terhadap pembuatan daftar persoalan.
Deklarasi Negara dapat memilih atau diwajibkan untuk membuat deklarasi berkaitan dengan perjanjian di mana Negara menjadi pihak. Ada beberapa jenis deklarasi, yaitu sebagai berikut:
Deklarasi tentang interpretasi Negara dapat membuat deklarasi tentang pemahamannya terhadap persoalan yang tercantum dalam, atau interpretasi tentang, ketentuan tertentu di perjanjian. Deklarasi tentang interpretasi seperti ini, tidak se138
Perjanjian dapat membiarkan Negara membuat deklarasi opsional dan/atau wajib. Deklarasi ini bersifat mengikat secara hukum bagi yang membuat deklarasi. Oleh karena itu, misalnya, berdasarkan pasal 41 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Negara dapat membuat deklarasi opsional bahwa Negara menerima kompetensi Komite Hak Asasi Manusia untuk mempertimbangkan pengaduan antarNegara. Hal yang sama, Negaranegara Pihak pada Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang keterlibatan anakanak dalam konflik bersenjata diharuskan membuat deklarasi wajib berdasarkan pasal 3(2) yang menetapkan usia minimum yang mengijinkan rekrutmen berdasarkan pilihan bebas (voluntary) di angkatan bersenjata nasionalnya serta suatu deskripsi jaminan yang diadopsi guna menjamin bahwa rekrutmen semacam itu tidak dipaksakan.
Derogasi Derogasi adalah langkah yang diadopsi oleh Negara Pihak yang menangguhkan sebagian pelaksanaan satu atau lebih ketentuan dari perjanjian, setidaknya untuk jangka waktu sementara. Beberapa perjanjian hak asasi manusia mengijinkan Negara-negara Pihak, dalam hal darurat publik yang mengancam kehidupan bangsa, untuk membuat derogasi yang bersifat khusus dan sementara terhadap beberapa hak sejauh yang dibutuhkan oleh situasi di Negara tersebut. Namun, Negara Pihak tidak boleh membuat derogasi terhadap hak-hak tertentu dan tidak boleh mengambil langJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
kah-langkah yang bersifat diskriminatif. Biasanya Negara-negara diwajibkan untuk menginformasikan kepada Negara Pihak lainnya tentang derogasi tersebut, memberikan alasan mengenai derogasi, dan menentukan tanggal habisnya masa berlaku derogasi tersebut. (Lihat Komentar Umum No. 29 Komite Hak Asasi Manusia)
Divisi Pengembangan Perempuan (DAW) Bertempat di Departemen Bidang Ekonomi dan Sosial ( Department of Economic and Social Affairs atau DESA), DAW berkantor di Markas Besar Perserikatan BangsaBangsa di New York dan memberikan dukungan terhadap Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, serta Komisi untuk Status Perempuan.
Dokumen inti/utama yang diperluas Gagasan untuk memperluas ruang lingkup dokumen inti/utama muncul pada saat proses konsultasi yang dilakukan oleh badan perjanjian sebagai respon terhadap usulan Sekretaris Jenderal bahwa Negaranegara diijinkan untuk menyerahkan laporan tunggal kepada semua badan perjanjian. Suatu laporan tunggal dianggap akan mempersulit prosedur dan akan sulit digunakan, serta ada kekhawatiran bahwa informasi spesifik yang biasanya ditemukan di laporan perjanjian yang terpisah akan hilang dalam suatu laporan yang menyimpulkan secara luas. Dokumen inti/utama yang diperluas bertujuan untuk semakin mengurangi pengulangan informasi dalam berbagai laporan dengan menyediakan informasi mengenai ketentuan-ketentuan tentang hak-hak yang substantif di seluruh atau beberapa perjanjian. Diprediksikan bahwa dokumen inti/utama yang diperluas akan diserahkan kepada setiap badan per janjian bersama dengan laporan khusus perjanjian yang lebih terfokus.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Tindak lanjut Prosedur yang dibuat guna menjamin bahwa Negara-negara Pihak menindaklanjuti rekomendasi yang ada dalam concluding observations badan perjanjian atau keputusan badan perjanjian terhadap kasuskasus yang diangkat dalam prosedur pengaduan. Beberapa komite telah mengadopsi prosedur tindak lanjut formal dan semua komite mewajibkan Negara-negara untuk mencantumkan tindak lanjut tersebut dalam laporan berkala mereka. Parlemen, Institusi-institusi Nasional HAM, organisasi nonpemerintah, dan masyarakat sipil memiliki peranan penting dalam tindak lanjut tersebut.
Komentar umum Interpretasi suatu badan perjanjian terhadap isi ketentuan-ketentuan HAM, baik yang terkait dengan suatu artikel khusus atau suatu persoalan tematis yang lebih luas. Komentar umum seringkali digunakan untuk memperjelas kewajiban pelaporan Negara-negara Pihak berkaitan dengan ketentuan-ketentuan tertentu dan menyarankan pendekatan-pendekatan dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian. Komentar Umum juga sering disebut “rekomendasi umum” (Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan).
Rekomendasi umum Lihat “komentar umum”.
Komunikasi individual Lihat “pengaduan individual”.
Pengaduan individual Suatu pengaduan formal, dari seorang individual yang menyatakan bahwa hakhaknya berdasarkan salah satu perjanjian telah dilanggar oleh Negara Pihak, di mana
139
beberapa badan perjanjian memiliki kompetensi untuk mempertimbangkannya. Hak yang akan dipertimbangkan dalam pengaduan individual harus dinyatakan diterima oleh Negara Pihak yang bersangkutan dengan membuat suatu deklarasi berdasarkan pasal perjanjian yang relevan (bagi Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dan Komite Menentang Penyiksaan) atau dengan meratifikasi atau mengaksesi protokol opsional pada perjanjian yang memberikan hak bagi pengaduan individual (Protokol Opsional Pertama pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Protokol Opsional Kovenan tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan). Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pengaduan individual berdasarkan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya belum berlaku. Saat ini belum ada hak pengaduan individual di Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya serta Konvensi Hak Anak.
Keterlambatan pelaporan Setiap perjanjian memperkirakan penyerahan laporan secara berkala; dalam praktiknya, banyak Negara menghadapi kesulitan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan yang sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh perjanjian di mana mereka menjadi pihak. Persoalan keterlambatan pelaporan ini diidentifikasi sebagai salah satu dari banyak tantangan yang dihadapi oleh sistem pelaporan perjanjian, dan badan perjanjian telah berupaya mencari cara untuk mempermudah Negaranegara membuat laporan, misalnya dengan pengarusutamaan proses pelaporan melalui dokumen inti/utama yang diperluas. Informasi mengenai status pelaporan Negara-negara Pihak pada setiap perjan jian tersedia dari database badan-badan perjanjian di situs Kantor Komisi Tinggi 140
Hak Asasi Manusia (OHCHR) atau dalam dokumen HRI/GEN/4, yang diperbaharui setiap tahunnya.
Daftar persoalan dan/atau pertanyaan Suatu daftar persoalan atau pertanyaan yang dibuat oleh suatu badan perjanjian berdasarkan laporan Negara Pihak dan informasi lain yang tersedia bagi badan perjanjian tersebut (informasi dari badanbadan khusus PBB, organisasi nonpemerintah, dan sebagainya), yang diserahkan kepada Negara Pihak jauh-jauh hari sebelum pertemuan di mana badan perjanjian akan mempertimbangkan laporan tersebut. Daftar persoalan menyediakan suatu kerangka bagi dialog yang konstruktif dengan delegasi Negara Pihak. Beberapa komite mendorong Negara Pihak untuk menyerahkan tanggapan tertulis sebelum pertemuan dilaksanakan, yang memungkinkan dialog membicarakan hal-hal yang spesifik dengan lebih cepat. Daftar persoalan merupakan sumber informasi yang up-to-date bagi komite berkaitan dengan Negara yang laporannya mungkin sudah menunggu selama dua tahun untuk dipertimbangkan.
Institusi-institusi Nasional HAM (National Human Rights Institutions/ NHRI) Banyak negara telah membentuk institusi nasional HAM untuk memajukan dan melindungi HAM. Institusi-institusi semacam ini semakin diakui sebagai bagian yang penting dalam sistem perlindungan HAM di tingkat nasional, tergantung pada sejauh mana independensinya dari kontrol pemerintah dapat dijamin. Suatu standar internasional yang dikenal sebagai Prinsip-prinsip Paris telah disepakati untuk mengukur independensi dan integritas institusi-institusi nasional HAM ini. Informasi lebih lanjut mengenai NHRIs. Lihat Lembar Fakta Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR) No. 19: JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Institusi-institusi Nasional untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Manusia .
Organisasi nonpemerin nonpemerintah tah Organisasi nonpemerintah dapat terlibat dalam pemajuan HAM, baik secara umum maupun berfokus pada suatu persoalan tertentu. Terdapat suatu kerangka bagi partisipasi organisasi nonpemerintah di berbagai mekanisme HAM PBB, seperti pemberian status konsultatif di Dewan Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang memberikan kesempatan kepada organisasi nonpemerintah untuk berpartisipasi dalam Komisi Hak Asasi Manusia. Organisasi nonpemerintah internasional dan nasional mengikuti pekerjaan badan-badan perjanjian dari dekat dan kebanyakan badan perjanjian memberikan kesempatan pada mereka untuk memberikan masukan dalam proses pelaporan, misalnya melalui pemberian informasi tambahan berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian di suatu negara (seringkali dirujuk sebagai laporan “bayangan” atau “paralel”). Terdapat perbedaan dalam bagaimana setiap badan perjan jian memperlakukan informasi ini. Hal ini tergantung pada apakah organisasi memiliki status konsultatif dari Dewan Ekonomi, Sosial, dan Budaya atau tidak. Organisasi nonpemerintah internasional dan nasional juga memiliki peranan penting dalam mengawasi tindak lanjut pelaksanaan rekomendasi yang di tingkat nasional termuat dalam concluding observations badan perjanjian dan dalam mendorong debat publik di tingkat nasional mengenai pelaksanaan pelaksanaa n HAM pada masa proses pembuatan laporan dan setelahnya. Organisasi nonpemerintah juga memberikan kontribusi yang penting dalam pemajuan pengesahan perjanjian-perjanjian HAM di dunia.
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Tidak-melaporkan (non-reporting) Walaupun sudah dengan bebas menerima kewajiban hukum yang melekat pada per janjian HAM yang telah mereka ratifikasi, beberapa Negara gagal menyerahkan laporan mereka kepada badan perjanjian yang bersangkutan. Terdapat banyak alasan mengapa Negara-negara Negara-nega ra gagal melapor, mulai dari adanya perang dan konflik sipil sampai pada keterbatasan sumber daya. Bantuan teknis tersedia dari Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan Divisi Pengembangan Perempuan (DAW) untuk membantu Negara-negara dalam memenuhi kewajiban pelaporan mereka. Badan perjanjian juga telah mengadopsi prosedur untuk menjamin bahwa pelaksanaan per janjian oleh Negara-negara Pihak yang tidak-melapor juga dapat ditinjau, yaitu ketika Negara tersebut tidak memberikan tanggapan terhadap permintaan informasi dari badan perjanjian. Komite juga secara khusus dapat mempertimbangkan situasi di suatu negara tanpa adanya laporan. Informasi mengenai status pelaporan Negara Pihak terhadap setiap perjanjian tersedia dari database badan perjanjian di situs Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR) atau dalam dokumen HRI/ GEN/4, yang diperbaharui setiap tahunnya. Situs tersebut juga menyediakan informasi mengenai bantuan teknis yang tersedia bagi Negara-negara Pihak.
Protokol opsional Suatu instrumen internasional yang berhubungan dengan suatu dokumen utama dan memberikan kewajiban hukum tambahan bagi Negara-negara yang memilih untuk menerimanya. Protokol opsional dapat dirancang pada saat yang bersamaan dengan perjanjian utamanya, atau dirancang setelah perjanjian utamanya mulai diberlakukan. Protokol opsional pada perjanjian HAM diadopsi untuk sejumlah alasan: memberikan kesempatan bagi Negara-negara Pihak
141
untuk mendaftarkan diri pada kewajiban tambahan berkaitan dengan monitoring internasional terhadap pelaksanaan perjanjian (Protokol Opsional Pertama pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Protokol Opsional pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan); memberikan kesempatan pada Negaranegara untuk mengambil kewajiban tambahan ketika hal-hal tersebut tidak termasuk dalam perjanjian utama (Protokol Opsional Kedua pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik); atau menanggapi persoalan-persoalan khusus secara lebih detil (kedua protokol opsional pada Konvensi Hak Anak).
Periode pelaporan Jangka waktu untuk penyerahan laporan awal dan laporan berkala oleh Negara Pihak pada badan perjanjian ditentukan di setiap perjanjian atau ditentukan oleh komite sesuai dengan jangka waktu perjan jian. Suatu laporan awal diwajibkan dalam suatu jangka waktu tertentu setelah perjan jian mulai diberlakukan di Negara yang bersangkutan; laporan berkala kemudian diwajibkan untuk jangka waktu tertentu. Periode pelaporan berbeda dari satu perjan jian ke perjanjian lainnya.
Petisi Suatu istilah kolektif yang mencakup berbagai prosedur untuk mengajukan pengaduan ke hadapan badan perjanjian yang kompeten. Petisi dapat terdiri dari pengaduan individual atau dari Negara Pihak mengenai pelanggaran terhadap ketentuan perjanjian oleh Negara Pihak lainnya. Kelompok kerja prapertemuan Suatu kelompok kerja dibentuk oleh beberapa badan perjanjian sebelum atau setelah pertemuan pleno guna merencanakan pe142
kerjaan mereka di pertemuan-pertemuan selanjutnya. Pekerjaan yang dilakukan oleh kelompok kerja prapertemuan berbeda dari satu komite ke komite lainnya: beberapa komite membuat daftar persoalan dan pertanyaan melalui kelompok kerjanya untuk kemudian diserahkan kepada setiap negara Pihak sebelum pertimbangan terhadap laporannya dilaksanakan; beberapa komite dengan kompentensi untuk mempertimbangkan pengaduan individual menggunakan kelompok kerja untuk membuat rekomendasi awal terhadap kasus dan persoalan lain yang terkait dengan prosedur pengaduan. Kelompok kerja prapertemuan biasanya dilaksanakan secara tertutup.
Rekomendasi Suatu rekomendasi atau keputusan formal yang dikeluarkan oleh badan perjanjian. Istilah ini telah digunakan secara tidak konsisten, yaitu digunakan untuk menggambarkan keputusan formal mengenai persoalan-persoalan tertentu, tertentu, atau resolusi yang lebih umum seperti yang dihasilkan dari diskusi umum. Concluding observations memuat rekomendasi spesifik, dan isitilah “rekomendasi badan perjanjian” sering digunakan secara bersamaan dengan “con“ concluding observations”. observations”. Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan juga merujuk pada komentar umum mereka sebagai “rekomendasi umum”.
Panduan pelaporan bagi Negaranegara Pihak Panduan tertulis yang dihasilkan bagi Negara-negara Pihak oleh setiap badan per janjian, yang memberikan nasihat mengenai bentuk dan isi dari laporan yang wajib diserahkan oleh Negara-negara berdasarkan perjanjian yang bersangkutan. Panduan yang terbaru bervariasi pendekatannya: beberapa komite menyediakan panduan yang detil berdasarkan pasal-per-pasal JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
sementara komite lainnya memberikan panduan secara lebih umum (lihat Kompilasi Panduan Pelaporan HRI/GEN/2/ Rev.2). Dalam laporan reformasi keduanya (A/57/387), Sekretaris Jenderal meminta badan-badan perjanjian agar mengadopsi panduan pelaporan yang terharmonisasi. Draf panduan pelaporan yang terharmonisasi ini sedang dibuat oleh komite-komite.
Reservasi Reservasi adalah suatu pernyataan yang dibuat oleh Negara yang menyatakan bahwa Negara tersebut meniadakan atau menambahkan dampak hukum beberapa ketentuan dalamperjanjian berkaitan dengan pelaksanaannya di Negara tersebut. Reservasi dapat memfasilitasi Negara untuk berpartisipasi dalam perjanjian multilateral di mana Negara tersebut dapat tidak mampu ataupun tidak bersedia melakukannya. Negara-negara dapat membuat reservasi terhadap suatu perjanjian ketika mereka menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui, atau mengaksesinya. Ketika suatu Negara membuat reservasi ketika penandatanganan, maka Negara harus menegaskan kembali reservasi tersebut pada saat ratifikasi, penerimaan, atau persetujuan. Reservasi diatur oleh Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian, dan tidak bisa bertentangan dengan tujuan perjanjian. Oleh karena itu, Negara-negara dapat membuat reservasi ketika menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui, atau mengaksesi suatu perjanjian, kecuali jika (a) reservasi dilarang oleh perjanjian; atau (b) perjanjian mensyaratkan bahwa hanya dapat dilakukan reservasi spesifik, yang tidak termasuk reservasi yang dimaksudkan. Negara-negara Pihak lain dapat mengajukan keberatan terhadap reservasi suatu negara Pihak. Kapan pun, reservasi dapat ditarik atau dibatalkan secara penuh atau sebagian oleh Negara Pihak. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Prosedur peninjauan Suatu prosedur di mana badan perjanjian akan mempertimbangkan situasi di negara tanpa adanya laporan dari Negara Pihak tersebut. Prosedur ini digunakan dalam hal ketika laporan terlambat untuk jangka waktu yang lama dan Negara Pihak tidak menanggapi permintaan badan perjanjian akan laporan tersebut. Di banyak kasus, Negara-negara Pihak menyerahkan laporan mereka untuk menghindari prosedur peninjauan; di kasus lainnya, Negara-negara memilih untuk mengirimkan delegasinya ke pertemuan badan perjanjian dan menjawab pertanyaan dari para ahli badan perjanjian walaupun mereka belum dapat menyerahkan laporannya. Prosedur penin jauan pertama kali diadopsi oleh Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial pada 1991. Komite lain menggunakan istilah “pertimbangan terhadap situasi suatu negara tanpa adanya laporan”. Beberapa Komite memberikan suatu daftar persoalan kepada Negara Pihak walaupun tidak ada laporan. Kebanyakan komite menghasilkan concluding observations di akhir proses, namun hal ini dapat dirahasiakan untuk jangka waktu tertentu jika Negara tersebut berkeinginan menyerahkan laporannya.
Peraturan tata tertib (rules of procedure) Aturan-aturan formal yang diadopsi oleh badan perjanjian guna mengatur cara-cara bagaimana badan perjanjian tersebut melakukan pekerjaannya. Setiap komite diberikan kewenangan oleh perjanjian yang bersangkutan untuk mengadopsi peraturan tata tertibnya sendiri. Peraturan tata terbit biasanya mencakup permasalahan seperti pemilihan pejabat dan prosedur pengambilan keputusan khususnya ketika tidak bisa dicapai konsensus. Peraturan tata tertib berkaitan, tetapi berbeda, dengan metode kerja.
143
Sekretaris/sekretariat Setiap perjanjian mewajibkan Sekretaris Jenderal PBB untuk menyediakan dukungan sekretariat bagi badan perjanjian tersebut. Setiap badan perjanjian memiliki sekretariat, yang terdiri dari seorang sekretaris dan pegawai internasional lainnya, yang berkantor di Sekretariat PBB, yang mengatur agenda komite dan mengkoordinasikan program kerjanya. Sekretariat Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan adalah bagian dari Divisi Pengembangan Perempuan (DAW) dalam Departemen Bidang Ekonomi dan Sosial (DESA) yang berkantor di New York. Sekretariat badan-badan per janjian lainnya berkantor di Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR) di Jenewa.
sasi Kesehatan Dunia (WHO).
Laporan Negara Pihak Laporan yang diwajibkan kepada setiap Negara Pihak pada suatu badan perjanjian, berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut, yang harus diserahkan secara berkala kepada badan perjanjian, yang mengindikasinya langkah-langkah yang diadopsi guna melaksanakan perjan jian serta faktor-faktor dan hambatan-hambatan yang ditemuinya. Setiap perjanjian mewajibkan adanya suatu laporan awal yang komprehensif dalam jangka waktu tertentu setelah ratifikasi, yang diikuti oleh laporan berkala secara periodik. Laporan bertarget atau terfokus Lihat “laporan-khusus perjanjian”.
Badan-badan khusus, dana, dan program
Perjanjian dan Cabang Komisi (Treaties and Commision Branch/TCB)
Berbagai badan khusus, dana, dan program dalam sistem PBB yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan PBB, termasuk memajukan dan melindungi HAM. Semua badan perjanjian mengijinkan partisipasi formal badan-badan PBB dalam proses pertimbangan laporan melalui ketentuan tentang informasi tambahan mengenai negara berkaitan dengan laporan Negara tersebut. Beberapa badan khusus juga memberikan bantuan teknis kepada Negara-negara, baik dalam pelaksanaan kewajiban berdasarkan perjanjian maupun dalam proses penulisan laporan bagi badan-badan perjanjian. Badan-badan khusus, dana, dan program PBB terlibat dalam sistem perjanjian HAM, termasuk FAO, Organisasi Buruh Internasional (ILO), OCHA, UNAIDS, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), UNESCO, UNFPA, UN-HABITAT, Komisi Tinggi untuk Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR), Dana Bantuan Anak-Anak Perserikatan BangsaBangsa (UNICEF), UNIFEM, dan Organi-
Di Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia(OHCHR), TCB memberikan dukungan pada sekretariat bagi semua badan per janjian kecuali Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. TCB berkantor di Palais Wilson di Jenewa. TCB juga memberikan dukungan bagi Komisi Hak Asasi Manusia, Subkomisi Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, dan Dana Sukarela Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Korban Penyiksaan. Sebelumnya disebut sebagai “Perwakilan Pelayanan Dukungan” (“Support Service Branch/SSB”).
144
Perjanjian, konvensi, kovenan, atau instrumen Secara hukum, tidak terdapat perbedaan antara perjanjian, konvensi atau kovenan. Semua merupakan instrumen hukum internasional yang mengikat secara hukum, dalam hukum internasional, Negara-negara yang memilih untuk menerima kewajiban yang termuat di dalamnya. JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Badan perjanjian atau komite Suatu komite yang terdiri dari ahli-ahli independen yang ditugaskan untuk memonitor pelaksanaan Negara-negara Pihak atas setiap perjanjian internasional hak asasi manusia yang utama. Perjanjian menggunakan istilah “komite”, tetapi komite juga dikenal sebagai “badan perjanjian” karena setiap komite dibentuk sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian yang diawasinya. Dalam banyak hal, komite bersifat independen dari sistem PBB, walaupun mereka menerima dukungan dari Sekretariat PBB dan melapor kepada Majelis Umum. Beberapa juga disebut sebagai “badan monitoring-perjanjian”.
Laporan/dokumen khusus-perjanjian Usulan dokumen inti/utama atau umum yang diperluas akan diserahkan kepada setiap badan perjanjian secara bersamaan dengan dokumen khusus-perjanjian yang berfokus pada persoalan-persoalan yang berkaitan secara khusus dengan perjanjian yang bersangkutan. Walaupun sering diru juk sebagai “laporan khusus-perjanjian”, laporan kepada setiap badan perjanjian akan terdiri dari suatu dokumen umum bagi semua komite dan suatu dokumen khusus-perjanjian bagi setiap badan perjanjian. Kedua dokumen, jika dibaca bersama, akan membentuk suatu laporan Negara Pihak.
Metode kerja Prosedur dan praktik yang dikembangkan oleh setiap badan perjanjian untuk memfasilitasi pekerjaannya. Praktik-praktik semacam itu tidak selalu diadopsi secara formal dalam peraturan tata tertib. Metode kerja setiap badan perjanjian berubah sesuai dengan beban kerja dan faktor-faktor lainnya. Akhir-akhir ini, terdapat gerakan untuk mengarusutamakan dan mengharmonisasikan metode kerja dalam pertemuan tahunan para ketua badan perjanjian, khususnya karena pendekatan-pendekatan JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
yang berbeda dari setiap komite telah menyebabkan kebingungan dan ketidak-konsistenan.
Tanggapan/jawaban tertulis terhadap daftar persoalan Jawaban tertulis Negara Pihak terhadap daftar persoalan dan pertanyaan badan perjanjian yang diserahkan sebelum pertemuan di mana laporan tersebut akan dipertimbangkan oleh komite. Tanggapan tertulis terhadap daftar persoalan merupakan lampiran atau pembaharuan dari laporan Negara Pihak.
Bagaimana suatu Negara dapat men jadi Negara Pihak pada perjanjian Berikut dijelaskan mengenai proses bagaimana suatu Negara mengikat dirinya pada ketentuan-ketentuan perjanjian dalam hukum internasional sebagai Negara Pihak. Penjelasan lebih lanjut dapat diperoleh dari Kantor Urusan Hukum Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Office of Legal Affairs (http://www.untreaty.un.org).
Negara Pihak Negara Pihak adalah suatu Negara yang sepakat untuk diikat oleh suatu perjanjian berdasarkan hukum internasional. Untuk menjadi pihak, Negara tersebut harus (1) menyatakan kesediaannya untuk diikat oleh suatu perjanjian melalui tindakan ratifikasi, penerimaan, persetujuan, atau aksesi, dan (2) tanggal mulai berlaku perjanjian yang bersangkutan di Negara tersebut. Beberapa perjanjian, seperti per janjian-perjanjian hak asasi manusia, hanya terbuka bagi Negara-negara, sementara beberapa lainnya juga terbuka bagi entitas-entitas lain yang memiliki kapasitas untuk membuat perjanjian. Kedua Kovenan dan Kovenan Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial terbuka bagi penandatanganan dan ratifikasi oleh “Negara Anggota PBB atau
145
anggota badan-badan khususnya, oleh Negara Pihak mana pun pada Statuta Pengadilan Internasional, dan oleh Negara mana pun yang telah diundang oleh Majelis Umum PBB”. Perjanjian HAM utama lainnya terbuka bagi semua Negara. Protokol opsional dibatasi hanya bagi Negara-negara Pihak pada perjanjiannya, kecuali Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang keterlibatan anak-anak dalam konflik bersenjata yang terbuka bagi Negara mana pun yang menyetujuinya.
Bagaimana caranya suatu Negara bisa menjadi pihak pada suatu perjanjian? Setiap perjanjian HAM memuat ketentuanketentuan yang menentukan, pertama, bagaimana Negara-negara harus melanjutkan proses mengikat diri terhadap ketentuanketentuan substantif perjanjian, dan kedua, kapan perjanjian tersebut akan mulai diberlakukan. Untuk menjadi pihak pada perjanjian multilateral, suatu Negara harus menun jukkan keinginannya untuk melaksanakan semua hak dan kewajiban hukum yang termuat dalam perjanjian melalui tindakan nyata. Dengan kata lain, Negara harus menyatakan persetujuannya untuk diikat oleh perjanjian. Suatu Negara dapat menyatakan persetujuannya untuk diikat oleh per janjian dengan beberapa cara, sesuai denga pasal-pasal terakhir dari perjanjian tersebut. Perjanjian HAM menentukan bahwa persetujuan dapat diberikan baik melalui penandatanganan yang diikuti dengan ratifikasi, penerimaan, atau persetu juan , atau melalui aksesi. Dalam kondisi tertentu Negara juga dapat mengikat dirinya melalui suksesi. Banyak perjanjian mensyaratkan jumlah minimum Negara Pihak sebelum per janjian tersebut mulai berlaku sebagai hukum internasional.
146
Penandatanganan Perjanjian-perjanjian multilateral, seperti halnya perjanjian-perjanjian hak asasi manusia, biasanya menjadi ditandatangani yang kemudian diikuti oleh ratifikasi, penerimaan, atau persetujuan. Dalam hal tersebut, tindakan penandatanganan tidak menentukan adanya kewajiban hukum positif terhadap Negara. Namun, penandatanganan mengindikasikan keinginan Negara untuk mengambil langkah-langkah untuk diikat oleh perjanjian di kemudian hari. Dengan kata lain, penandatanganan adalah langkah persiapan guna mencapai ratifikasi perjanjian oleh Negara. Penandatanganan juga menciptakan kewajiban untuk menahan diri dalam niatan yang baik dari tindakan-tindakan yang bertentangan dengan tujuan perjanjian dalam jangka waktu antara penandatanganan dan ratifikasi, penerimaan, atau persetujuan. Dengan mensyaratkan bahwa penandatanganan harus diikuti oleh ratifikasi maka Negara-negara memiliki waktu untuk mencari kesepakatan bagi perjanjian di tingkat domestik dan untuk menegakkan peraturan-peraturan yang diperlukan guna melaksanakan perjanjian di tingkat nasional, sebelum mengambil kewajiban hukum berdasarkan perjanjian di tingkat internasional.
Ratifikasi, penerimaan, atau persetujuan Ratifikasi, penerimaan, atau persetujuan mengacu pada tindakan definitif yang diambil di tingkat internasional, yaitu ketika suatu Negara memberikan persetujuannya untuk diikat oleh perjanjian yang telah ditandatanganinya. Negara melakukan hal tersebut dengan menyerahkan “instrumen ratifikasi” kepada Sekretaris Jenderal PBB. Untuk meratifikasi perjanjian, pertama kali, Negara harus menandatangani per janjian; jika Negara menyatakan persetu-
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
juannya untuk diikat tanpa pertama kali menandatangani perjanjian, maka proses tersebut disebut aksesi (lihat di bawah). Setelah ratifikasi, maka Negara terikat secara hukum oleh perjanjian sebagai salah satu Negara Pihaknya. Pada umumnya, tidak ada pembatasan waktu untuk meminta Negara meratifikasi perjanjian yang telah ditandatanganinya. Ketika suatu Negara telah meratifikasi perjanjian di tingkat internasional, maka Negara harus melaksanakan perjanjian tersebut di tingkat nasional. Ratifikasi di tingkat internasional, yang mengindikasikan komitmen Negara kepada masyarakat internasional untuk melaksanakan kewajibannya, tidak boleh disamakan dengan ratifikasi di tingkat nasional, yang mungkin diperlukan oleh Negara sesuai dengan ketentuan-ketentuan konstitusionalnya sebelum Negara tersebut menyatakan persetujuan untuk diikat secara internasional. Ratifikasi di tingkat nasional tidak cukup kuat sebagai pernyataan keinginan Negara untuk diikat di tingkat internasional. Tindakan yang diperlukan di tingkat internasional juga perlu dilakukan.
Aksesi Aksesi adalah tindakan ketika suatu Negara yang belum menandatangani suatu perjanjian menyatakan persetujuannya untuk menjadi pihak pada perjanjian tersebut dengan menyerahkan “instrumen aksesi” kepada Sekretaris Jenderal PBB. Aksesi memiliki dampak hukum yang sama seperti ratifikasi, penerimaan, atau persetujuan. Namun, tidak seperti ratifikasi, yang harus diawali dengan penandatanganan untuk menciptakan kewajiban hukum yang mengikat berdasarkan hukum internasional, aksesi hanya mensyaratkan satu langkah, yaitu penyerahan instrumen aksesi. Kondisi-kondisi di mana aksesi mungJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
kin terjadi dan prosedur yang dipakai tergantung pada ketentuan-ketentuan dalam perjanjian yang bersangkutan. Aksesi biasanya digunakan oleh Negara-negara yang ingin menyatakan persetujuan mereka untuk diikat oleh perjanjian ketika tenggat waktu penandatanganan telah lewat. Namun, banyak perjanjian multilateral modern dapat diaksesi bahkan pada masa perjanjian terbuka bagi penandatanganan.
Suksesi Suksesi terjadi hanya dalam kasus-kasus di mana suatu Negara yang menjadi pihak pada perjanjian mengalami transformasi konstitusional yang besar yang menimbulkan keraguan apakah pernyataan persetu juan untuk diikat oleh perjanjian yang telah diberikan sebelumnya tetap sahih. Kondisi semacam ini termasuk kemerdekaan (misalnya, melalui dekolonialisasi), penyatuan negara federasi atau serikat, dan penarikan diri suatu Negara atau entitas dari Negara atau federasi. Dalam kondisi-kondisi tersebut, Negara penggantinya dapat memilih meratifikasi atau mengaksesi perjanjian yang bersangkutan dalam kapasitasnya sendiri, atau sebagai alternatif, Negara tersebut dapat menyatakan persetujuannya untuk terus diikat oleh kewajiban hukum sebagaimana dilakukan oleh Negara Pihak yang asli yang berlaku untuk wilayah teritorial yang sama melalui tindakan suksesi. Dalam hal ini, Negara yang bersangkutan harus memberitahukan Sekretaris Jenderal PBB mengenai niatnya untuk menggantikan kewajiban hukum tersebut.
Pembedaan antara ratifikasi/aksesi dengan mulai berlaku Tindakan di mana Negara menyatakan persetujuannya untuk diikat oleh perjan jian berbeda dengan mulai berlakunya per janjian tersebut. Negara menunjukkan keinginannya untuk melaksanakan hak dan
147
kewajiban hukum berdasarkan suatu per janjian melalui penyerahan instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan, atau aksesi. Sedangkan, mulai berlakunya perjanjian berkaitan dengan suatu Negara adalah saat di mana perjanjian tersebut benar-benar mengikat secara hukum bagi Negara Pihak tersebut. Perjanjian tidak dengan serta merta mulai berlaku: biasanya ada masa tunggu yang diatur dalam perjanjian antara tanggal penyerahan instrumen dan tanggal mulai berlakunya.
Mulai berlaku Mulai berlakunya suatu perjanjian adalah saat ketika suatu perjanjian benar-benar mengikat secara hukum negara-negara yang menjadi pihaknya. Ketentuan-ketentuan perjanjian menentukan saat mulai berlaku tersebut, biasanya dengan masa tunggu satu bulan atau sekitarnya. Ada dua jenis mulai berlakunya perjanjian: mulai berlakunya perjanjian sebagai instrumen hukum internasional secara pasti; dan masa mulai berlaku khusus bagi Negara tertentu.
Mulai berlaku secara pasti Masa mulai berlakunya suatu perjanjian secara pasti adalah waktu yang menetapkan perjanjian baru tersebut sebagai instrumen hukum yang mengikat bagi Negaranegara yang telah menyatakan persetujuannya untuk diikat oleh ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut. Kebanyakan perjanjian memperkirakan bahwa per janjian akan mulai berlaku setelah adanya ratifikasi, persetujuan, penerimaan, atau aksesi yang diserahkan kepada Sekretaris Jenderal dalam jumlah tertentu. Sampai tanggal tersebut, perjanjian tidak mengikat secara hukum bagi Negara mana pun, baik yang sudah meratifikasi maupun mengaksesinya (walaupun Negara-negara tersebut tetap berkewajiban untuk menahan diri dalam niatan yang baik dari tindakan-tin148
dakan yang bertentangan dengan tujuan perjanjian tersebut).
Mengapa tanggal mulai berlaku penting? Ini adalah tanggal di mana hak-hak yang diatur dalam perjanjian mengikat Negara dalam hukum internasional. Siapa pun yang ingin mengajukan pengaduan terhadap Negara Pihak kepada badan perjanjian berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian atau protokol opsionalnya harus memastikan bahwa instrumen tersebut telah diberlakukan di Negara yang bersangkutan. Tanggal ini juga menentukan tanggal-tanggal Negara harus menyerahkan laporannya kepada badan perjanjian.
Bagaimana saya bisa mengetahui apakah suatu perjanjian sudah mulai berlaku di suatu Negara? Sumber yang pasti adalah Tempat Penyimpanan Perserikatan BangsaBangsa, yang mempunyai daftar per janjian multilateral yang diserahkan kepada Sekretaris Jenderal. Situsnya http://untreaty.un.org. Daftar ratifikasi perjanjian HAM utama tersedia di situs Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR).
Mulai berlaku bagi suatu Negara Ketika perjanjian sudah mulai berlaku secara umum, maka ketentuan-ketentuan tambahan menentukan kapan perjanjian mulai berlaku bagi Negara atau organisasi internasional tambahan yang ingin terikat dengan perjanjian tersebut.
Tanggal Sebagai konsekuensi dari hal tersebut di atas, maka mungkin akan terdapat beberapa tanggal pada perjanjian berkaitan deJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
ngan suatu Negara: Tanggal mulai berlakunya suatu per janjian secara pasti: yaitu tanggal yang ditentukan dalam perjanjian yang menun jukkan kapan perjanjian mulai berlaku secara umum dalam hukum internasional dan mulai mengikat Negara-negara yang telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Tanggal penandatanganan: yaitu tanggal kapan Negara menandatangani perjanjian. Hal ini tidak memiliki dampak hukum kecuali menahan diri dari tindakantindakan yang bertentangan dengan tujuan perjanjian.
Tanggal penyerahan instrumen ratifi kasi atau aksesi: yaitu tanggal kapan tempat penyimpanan perjanjian PBB menerima instrumen hukum yang menyatakan persetujuan Negara untuk terikat pada per janjian. Tanggal mulai berlaku bagi Negara: yaitu tanggal yang ditetapkan oleh perjan jian tentang kapan perjanjian mulai secara formal mengikat Negara dalam hukum internasional. Kebanyakan perjanjian mensyaratkan jangka waktu tertentu antara tanggal penyerahan instrumen sebelum perjanjian mulai berlaku dan mengikat secara hukum. Jangka waktu tersebut beragam antara satu perjanjian dengan perjan jian lainnya.
Kalkulasi tanggal mulai berlakunya perjanjian Perjanjian
Diadopsi
Tanggal mulai berlaku
Tanggal mulai berlaku bagi Negara Pihak
Kovenan Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
21 Desember 1965
4 Januari 1969
Pada hari ke-30 setelah tanggal penyerahan
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
16 Desember 1966
3 Januari 1976
3 bulan setelah tanggal penyerahan
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
16 Desember 1966
23 Maret 1976
3 bulan setelah tanggal penyerahan
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
18 Desember 1979
3 September 1981
Pada hari ke-30 setelah tanggal penyerahan
Konvensi Menentang Penyiksaan
10 Desember 1984
26 Juni 1987
Pada hari ke-30 setelah tanggal penyerahan
Konvensi Hak Anak
20 November 1989
2 September 1990
Pada hari ke-30 setelah tanggal penyerahan
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
149
Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya
18 Desember 1990
1 Juli 2003
Protokol Opsional Pertama Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
16 Desember 1966
23 Maret 1976
3 bulan setelah tanggal penyerahan
Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
15 Desember 1989
11 Juli 1991
3 bulan setelah tanggal penyerahan
Protokol Opsional Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
6 Oktober 1999
22 Desember 2000
3 bulan setelah tanggal penyerahan
Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Tentara Anak
25 Mei 2000
18 Januari 2002
1 bulan setelah tanggal penyerahan
Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak
25 Mei 2000
12 Februari 2002
1 bulan setelah tanggal penyerahan
Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan
18 Desember 2002
Belum diberlakukan (dibutuhkan 20 Negara Pihak)
Pada hari ke-30 setelah tanggal penyerahan
150
Pada hari pertama bulan berikutnya setelah 3 bulan setelah tanggal penyerahan
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
Daftar Lembar Fakta Hak Asasi Manusia:* No. 2 No. 3
No. 4 No. 6
: Ketentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia (Revisi 1) : Layanan Penasihat dan Kerja Sama Teknis di Bidang Hak Asasi Manusia (Revisi 1) : Metode-metode Menentang Penyiksaan (Revisi 1) : Penghilangan Orang Secara Paksa atau Tidak dengan Sukarela (Revisi 2)
No. 7
: Prosedur Komunikasi (Revisi 1)
No. 9
: Hak Penduduk Asli (Revisi 1)
No. 10 : Hak Anak (Revisi 1) No. 11 : Hukuman Mati di Luar Hukum Secara Cepat dan Sewenang-wenang (Revisi 1) No. 12 : Komite Penghapusan Dikriminasi Rasial No. 13 : Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia No. 14 : Bentuk-Bentuk Perbudakan Masa Kini No. 15 : Hak Sipil dan Politik: Komite Hak Asasi Manusia (Revisi 1) No. 16 : Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Revisi 1) No. 17 : Komite Menentang Penyiksaan No. 18 : Hak Kelompok Minoritas
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
No. 19 : Lembaga Nasional untuk Mema jukan dan Melindungi Hak Asasi Manusia No. 20 : Hak Asasi Manusia dan Pengungsi No. 21 : Hak atas Perumahan yang Layak No. 22 : Diskriminasi terhadap Perempuan: Konvensi dan Komite No. 23 : Praktik Tradisional yang Berbahaya bagi Kesehatan Perempuan dan Anak No. 24 : Hak Pekerja Migran No. 25 : Penyingkiran Secara Paksa dan Hak Asasi Manusia No. 26 : Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang No. 27 : Tujuh Belas Pertanyaan yang Sering Diajukan tentang Pelapor Khusus PBB No. 28 : Dampak Kegiatan Tentara Bayaran terhadap Hak Orang-orang Untuk Menentukan Nasibnya Sendiri No. 29 : Pegiat Hak Asasi Manusia: Perlindungan Hak Untuk Membela Hak Asasi Manusia No. 30 : Sistem Perjanjian Hak Asasi Manusia Perserikatan BangsaBangsa:Pengantar terhadap Per janjian Hak Asasi Manusia Utama dan Badan-badan Perjanjian * Lembar Fakta No. 1, No. 5, dan No. 8 tidak lagi dipublikasikan.
151
Akses Terhadap Pendidikan dan Kesehatan: Peristiwa Tiga Daerah Judul Buku : Meneropong Hak Atas Pendidikan dan Layanan Kesehatan: Analisis Situasi di Tiga Kabupaten: Indramayu, Sikka, dan Jayapura Penulis
: Naning Mardiniah, Abdul Mun’im Dz, Rahadi’T Wiratama, Harry Wibowo, Wildan Pramudya, Widodo Dwi Putro, Burhanudin.
Pengantar
: Abdul Hakim Garuda Nusantara
Editor
: Harry Wibowo dan Anharudin
Penerbit
: CESDA-LP3ES, 2005, 195+xxiv
Hasil survey yang kemudian diterbitkan menjadi buku ini, mengkonfirmasi persepsi yang berkembang selama ini mengenai pelayanan kesehatan dan pendidikan yang masih jauh dari harapan. Potret di tiga lokasi penelitian yang menjadi locus, dalam kadar serta intensitas tertentu, menggambarkan situasi umum di negeri ini. Gambaran di mana Negara, belum mampu menjamin penegakan, penghormatan dan promosi terhadap terpenuhinya Hak Ekonomi Sosial Budaya (HESB). Pendidikan dan kesehatan, merupakan hak penting yang satu sama lain saling terkait dan menentukan. Masing-masing bidang memiliki indikator. Untuk masalah hak pendidikan ada empat hal, yaitu soal kebebasan, ketersediaan, keteraksesan, dan kebersesuaian. Sementara untuk masalah pelayanan kesehatan indikatornya adalah ketersediaan, keteraksesan, keterimaan dan kualitas. Seperti diketahui bersama, Negara memiliki kewajiban untuk; pertama, menghormati, melindungi dan melaksanakan. Kedua, bertindak (obligation of conduct) dan 152
berkewajiban mencapai hasil (obligation of result). Ketiga, soal kewajiban minimum. Setiap Negara dituntut untuk memenuhi kebutuhan minimum untuk bertindak secara komisi maupun secara omisi. Penelitian dari tiga daerah ini menunjukkan bahwa terjadinya keterlambatan dalam pelayanan pendidikan, khususnya pelayanan pendidikan kepada anak. Keterlambatan ini, menunjukkan rendahnya kualitas kepedulian pemerintah daerah dan masyarakat. Angka-angka berikut mengkonfirmasi fakta itu. Tingkat layanan pendidikan di Indramayu, lebih rendah dibandingkan angka rata-rata di Jawa Barat yang 24%. Sementara di Kabupaten Sikka dan Jayapura, lebih rendah lagi. Ketersediaan sarana pendidikan masih menjadi problem. Banyak kondisi fisik bangunan sekolah dan sarana pendukung yang kurang memadai. Angka putus sekolah di Kab. Indramayu mencapai 4,5%. Angka ini jelas sangat tinggi, lebih-lebih jika dilihat bahwa angka putus sekolah itu terjadi pada jenjang pendidikan SD (h. 103). Di Kabupaten Sikka lebih parah lagi. Peluang kebebasan untuk mendirikan lemJURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
baga pendidikan tidak dimanfaatkan oleh masyarakat, sementara pemerintah sendiri belum mampu menyediakan sarana dan prasarana pendidikan dasar yang memadai (h. 107). Untuk bisa memenuhi standar minimum saja masih jauh. Gambaran lebih dramatis terjadi di Kabupaten Jayapura. Banyak faktor yang melatar belakangi mengapa pelaksanaan pelayanan pendidikan dasar belum memenuhi standar minimum. Secara lebih spesifik di Kabupaten Jayapura, banyak problem yang terjadi. Pada level masyarakat masih ditemui kasus-kasus yang menghambat pelaksanaan pendidikan, salah satunya adalah konflik status kepemilikan tanah yang tidak kunjung diselesaikan oleh Pemda. Banyak bangunan sekolah yang tanahnya dalam status sengketa dengan masyarakat adat (h.137). Kendati Pemda Jayapura, telah menghapuskan biaya pendidikan dasar, akan tetapi tidak dengan sendirinya bisa menghentikan laju angka putus sekolah. Siswa yang sudah lulus SD pun, sebagaimana ditemukan pada SD Distrik Genyem, banyak yang belum bisa baca-tulis dan berhitung (h. 149). Hal ini terjadi karena beberapa sebab, minimnya tenaga pengajar sehingga banyak kelas yang kosong, sulitnya lokasi baik untuk dijangkau tenaga pengajar maupun siswa, fasilitas buku pela jaran yang minim, buruknya ruang belajar dan banyaknya siswa yang kurang gizi sehingga sulit menangkap pelajaran dari gurunya. Dari sini, kemudian buku ini menarik benang merah, meskipun pendidikan dasar merupakan suatu yang wajib dan harus dilakukan secara gratis, akan tetapi masih jauh dari harapan. Aspek pelayanan minimumpun, tampaknya belum terpenuhi (h. 166) Hal yang sama juga terjadi dalam masalah pelayanan kesehatan. Kualitas layanan JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
kesehatan di Kabupaten Indramayu, Sikka dan Jayapura masih rendah jika diukur dari standar minumum. Temuan yang diungkapkan dalam buku ini mengindikasikan bahwa masalah kesehatan mengindikasikan pemerintah, belum memenuhi tanggung jawabnya dalam memenuhi hak-hak kesehatan dasar bagi masyarakat. Paling tidak, ada tiga kewajiban utama pemerintah terkait hal tersebut, yaitu to respect, to protect dan to fulfill. Menghargai atau menghormati, melindungi dan memenuhi. pada aspek pemenuhan ini, tanggung jawab pemerintah ini akan dilihat dari aspek ketersediaan, keteraksesan dan keberterimaan. Apa yang terjadi di Kab. Jayapura adalah gambaran yang paling menyedihkan. Dibandingkan kabupaten sekitarnya, kondisinya sangat jauh dari kabupaten lain. Di tingkat kabupetan, belum tersedia Rumah Sakit Umum dan tidak semua kecamatan memiliki Puskesmas. Tidak semua kondisi Puskesmas dalam kondisi siap pakai, ada yang kondisi bangunannya rusak berat dan tidak bisa dipakai (h. 154). Tenaga medis yang tersedia, 27 dokter umum, 7 dokter gigi dan 175 bidan desa. Jadi, problem mendasarnya adalah masalah keteraksesan dari segi jarak. Sebagian besar prasarana jalan raya di Kab. Jayapura belum selesai, dan sebagai akibatnya, masyarakat mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan (h. 159). Prasarana jalan sulit itu, menjadikan kebijakan Pemda/Pemerintah menggratiskan layanan kesehatan, menjadi tidak mengena. Di Kabupetan Sikka, problem yang menghambat terpenuhinya hak kesehatan masyarakat adalah distribusi tenaga medis yang tidak merata. Tidak semua Puskesmas memiliki tenaga dokter. Terjadi ketimpangan dalam rasio distribusi. Pada satu Puskesmas misalnya, terjadi konsentrasi te-
153
naga dokter sementara pada Puskesmas tertentu, tidak ada dokter sama sekali. Oleh karena itu, masyarakat di kecataman yang Puskesmasnya tidak tersedia tenaga dokter, untuk bisa mengakses harus ke Puskesmas Kecamatan lain. Jadi tidak akses ke pelayanan kesehatan memang masih belum merata dan bisa dibayangkan bagaimana masyarakat yang ada di desa (h. 125-131). Sementara untuk Kab. Indramayu, jika dilihat dari standard minimum. Memang lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Sikka. Dari segi infrastruktur, ketersediaan tenaga medis, akses tentu tampak lebih dibanding Kab. Jayapura maupun Sikka. Problem kesehatan yang terjadi adalah soal akses untuk hidup sehat. Salah satu kasusnya adalah akses masyarakat terhadap air bersih, sebagian besar masyarakat tidak memiliki akses terhadap air bersih sebagai akibatnya derajat kesehatan masyarakat juga rendah. Banyaknya kasus diare dan demam berdarah di Indramayu akibat sanitasi lingkungan yang buruk. Temuan di lapangan menunjukkan ada dua problem dalam akses kesehatan. Pertama, rendahnya keteraksesan masyarakat terhadap informasi tentang kesehatan yang melahirkan munculnya perilaku hidup yang tidak sehat dan rendahnya keterjangkauan masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan yang disediakan pemerintah. Kedua, Kebijakan Pemerintah dari sisi anggaran, bidang kesehatan hanya mendapat alokasi anggaran sejumlah 0,4 % dari APBD. Dan untuk pembangunan kesehatannya hanya sekitar 7 milyar per tahunnya. Dari aspek ketersediaan, setidaknya pemerintah telah menyediakan secara memadai sarana dan prasarana kesehatan. Namun dari sisi kualitas layanan, masih perlu dilihat lagi. Pasalnya, secara umum, kebijakan pemerintah masih banyak mene154
kankan aspek kuratif daripada promotif dan preventif. Karenanya, Mun’im menyarankan agar Puskesmas yang berfungsi sebagai pusat kesehatan masyarakat mengubah paradigma layanannya dari aspek kuratif ke promotif dan preventif. Laporan tiga daerah itu secara tegas menyuratkan kenyataan bahwa masalah pendidikan dan kesehatan, masih belum menjadi mainstream dalam program pembangunan di negeri ini. Pada kebijakan kesehatan; pembangunan kesehatan belum menjadi arus utama pembangunan; pembangunan kesehatan masih bersifat kuratif, sosialisasi kebijakan kesehatan masih rendah, dan perlindungan bagi masyarakat miskin juga masih rendah. Sementara dalam masalah pendidikan, meskipun secara nasional telah tegas akan tetapi banyak daerah tingkat dua yang tidak menjadikannya sebagai mainstream dalam pembangunan. Meskipun di tingkat nasional telah digariskan dengan sejumlah peraturan hukum dan kebijakan politik. Akan tetapi penerapan prinsip-prinsipnya yang kemudian dianggap sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi daerah. Sayangnya, pelaksanaannya di daerah belum diiringi perspektive dan komitment mendalam untuk memenuhi hak-hak rakyat. Itu sebabnya, upaya pelaksanaan di lapangan yang terjadi sekadar memenuhi kuantitas dan belum ditunjukkan kearah peningkatan kualitas. Tak hanya itu, di sana sini terjadi ambivalensi dan tidak jarang reductive.
Ellyasa KH Darwis
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
TENTANG PENULIS
Yoseph Adi Prasetyo, jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dan penulis lepas. Dalam bidang organisasi beliau menjadi Majelis Etik AJI Jakarta (2003-2005) serta menjadi anggota Pokja Reformasi Polri yang dibentuk oleh POLRI-Kemitraan sejak 2003. Beliau juga adalah salah satu anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Beberapa kali terlibat dalam pekerjaan Komnas HAM antara lain menjadi evaluator majalah Komnas HAM “SUAR”, anggota Tim Ad Hoc Kerusuhan 13-14 Mei 1998 (2003), menjadi fasilitator dalam menyusun rencana kerja Komnas HAM, menjadi fasilitator dan pendamping kelompok minoritas (antara lain masyarakat adat dan orang Tionghoa) dan memimpin tim riset dan penelitian kekerasan yang dilakukan Polri untuk Subkomisi Pemantauan Komnas HAM (2004). Beliau juga aktif dalam beberapa penelitian, yaitu mengkoordinir penelitian Gerakan Demokrasi di Indonesia (2002-2003) dan mengkoordinir survei dan penelitian “Aktor Demokrasi di Indonesia” (2000-2002). Juga menjadi penyelia penerbitan sejumlah ornop yang disandangnya sejak 1996. Sekarang menjadi Anggota Komnas HAM pada Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan (2007-2012). Email :
[email protected] Henri Simarmata. 1995-2002 bekerja di Institut Sosial Jakarta, 2003-2006 bekerja di Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi manusia Indonesia; 1999 dan 2005 mengikuti sesi sidang Komisi HAM; 2004-2006 menjadi anggota Komite Eksekutif Forum Asia sebagai wakil PBHI – termasuk menjadi Ketua Komite Eksekutif (November 2005-Februari 2006) Adhi Santika saat ini menjabat Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak-hak Kelompok Rentan Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, Departemen Hukum dan HAM. Aktif dalam berbagai seminar dan lokakarya HAM serta menulis sejumlah makalah berkaitan dengan HAM di Indonesia A. Patra M. Zen, Ketua Ad Interim Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Penerima Beasiswa the British Chevening Scholarship (2001/2002) untuk LL.M in International Human Rights Law di University of Essex, Inggris. Penulis, editor dan co-editor buku, antara lain: Buku Panduan Bantuan Hukum di Indonesia (2006); Inkonsistensi dan Separatisme Jakarta: Mengapa Tanah Papua Terus Bergolak? (2005); Tak Ada Hak Asasi yang Diberi (2005); Sengketa Konstitusional Lembaga-lembaga Negara (2005); Membangun Koalisi yang Otoritatif Dalam Menilai Proses Pembentukkan Perundang-undangan yang Partisipatif (2005); Refleksi dan Penyusunan Strategi Mewujudkan Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan ( 2005 ); Buku Pintar. 60 Menit Memahami (Mengawasi) Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (2005); Naskah Akademik JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
155
Rancangan Undang-undang tentang Pengadaan Barang dan Jasa Publik (2004); Considering General Election in Aceh under the Martial Law (2004); Koalisi Partisipasi (2003), dan Hukum Perdata di Indonesia (2001). Kritik dan saran dapat melalui
[email protected]
Andik Hardiyanto, saat ini Direktur Eksekutif Social and Economic Rights Action Centre (SiDAN). Penulis Agenda Land Reform di Indonesia Sekarang, Hasil Studi Identifikasi Potensi Land Reform di Indonesia (1998); Land Reform by Leverage In Indonesia (1998). Jonny Sinaga saat ini bekerja di Departemen Luar Negeri Republik Indonesia sebagai Kepala Sub-Direktorat Hak Sipil dan Politik. Yang bersangkutan sebelumnya bertugas menangani isu-isu HAM di Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) pada Perserikatan Bangsa-Bangsa New York, dari tahun 2000-2004. Tahun 1997 hingga tahun 2004 Jonny Sinaga bekerja di Direktorat Organisasi Internasional Departemen Luar Negeri sekaligus menjadi anggota Kelompok Kerja HAM Deplu. Tahun 1993-1997 bertugas di Bagian Politik Kedutaan Besar RI di Canberra, Australia. Tahun 19881993 bertugas di Direktorat Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri. Tahun 1987 menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan tahun 1992 memperoleh gelar LL.M dari Tulane Law School, New Orleans, Amerika Serikat. Waktu senggangnya digunakan untuk menulis yang antara lain muncul dalam Jurnal PBB New York dan harian the Jakarta Post, Jakarta. Tulisannya antara lain: The spirit of May 20 ( The Jakarta Post, May 20, 2006); Shameful modern slavery (The Jakarta Post, May 10, 2006); Lesson learnt from world leaders’ school diplomacy (The Jakarta Post, April 19, 2006); Indonesia and the New Human Rights Council ( The Jakarta Post, March 28, 2006); The quiet revolution in Indonesia’s human rights ( The Jakarta Post, November 8, 2005); Reforming the UN Human Rights Commission (dengan Mulyadi) (The Jakarta Post, April 18, 2005); The World Conference against Racism, Durban, South Africa (The United Nations Chronicle, New York. June-August 2001 edition); Recent Developments in Human Rights in Indonesia after the Adoption of the National Plan of Action of Human Rights 1998 – 2003 ( Preparatory Workshop on the Capacity Building in International Labour Standard and Human Rights in Indonesia, conducted by ILO, Bogor: 28 - 29 September 1999). Hendardi, Pernah menjadi Ketua Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM ITB)1979-1981 yang ditangkap oleh rejim Soeharto. Kemudian aktif dilingkaran Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan kerap melakukan investigasi di daerahdaerah konflik, seperti di Lampung, Aceh dan Timor Timur (Timor Leste). Sejak tahun 1996, Hendardi menjabat sebagai ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI). Hendardi pernah menerima berbagai penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri. Diantaranya dari lembaga prestisius seperti Human Rights Watch(1993), dan juga penghargaan HAM dari Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia RI (29Agustus 2000). Emilie Hafner-Burton mendapatkan gelar Ph.D.dari University of Wisconsin - Madison, dalam bidang political science, July 2003 (with Distinction) dengan area spesiali-
156
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
sasi International Relations and Methodology. Saat ini menjadi Assistant Professor, Woodrow Wilson School of Public and International Affairs and the Department of Politics, Princeton University. Beberapa karya tulisannya adalah: Agreements.” Cornell University Press, forthcoming (under revision)., “Sticks and Stones: Naming and Shaming and the Problem of Human Rights Enforcement” International Organi zation, forthcoming (under revision); “Power or Plenty: Do International Trade Organizations Shape Economic Sanctions?” Co-authored with Alexander H. Montgomery. Journal of Conflict Resolution , forthcoming, April 2008; “International Organizations Count: What Statistics Show Us (and Don’t Show Us) About IOs.” Coauthored’with Jana von Stein, special edition of the Journal of Conflict Resolution, Hafner-Burton, von Stein and Gartzke, eds., forthcoming, April 2008.; “The Hegemon’s Purse: No Economic Peace Between Democracies.” Co-authored with Alexander H. Montgomery. Journal of Peace Research , 2008, 45(1), pp. 99-108; “International Human Rights Law and the Politics of Legitimation: Repressive States and Human Rights Treaties.” Co-authored with Kiyoteru Tsutsui and John Meyer. International Sociology,2008, 23(1), pp. 115-141.; “Preventing Human Rights Abuse.” Co-authored with James Ron. Journal of Peace Research, Hafner-Burton and Ron, eds., 2007, 44(4), pp. 379-383; “Justice Lost! The Failure of International Human Rights Law to Matter Where Needed Most.” Coauthored with Kiyoteru Tsutsui. Journal of Peace Research , 2007, 44(4), pp. 407-425; “Power Positions: International Organizations, Social Networks, and Conflict.” Co-authored with Alexander Montgomery. Journal of Conflict Resolution, 2006, 50(1), pp. 3-27.; “Trading Human Rights: How Preferential Trade Agreements Influence Government Repression.” International Organization, 2005, 59(3), pp. 593-629.; “Human Rights Practices in a Globalizing World: The Paradox of Empty Promises.” Co-authored with Kiyo Tsutsui. American Journal of Sociology , 2005, 110(5), pp. 13731411.; “Right or Robust? The Sensitive Nature of Political Repression in an era of Globalization.” Journal of Peace Research, 2005, 42(6), pp.679-698. Korespondensi langsung kepada Emilie Hafter-Burton, Nuffield College, Universitas Oxford, New Road, Oxford OXI 1 NF, Inggris. E-mail:
[email protected]
Kiyoteru Tsutsui. adalah peneliti utama dengan spesialisasi bidang politik, sejarah, sosiologi, gerakan sosial, dan hak asasi manusia di Stony Brook, State University of New York. Saat ini tengah mengkaji mengenai ekspansi global hak asasi manusia dan dampaknya terhadap politik lokal. Dia mendapatkan Social Science Research Council Abe Fellow pada 2004-2005 dan Visiting Assistant Professor di Stanford University for the 2005-2006. Publikasinya antara lain: “Redressing Past Human Rights Violations: Global Dimensions of Contemporary Social Movements.” Social Forces. Forthcoming; “Human Rights in a Globalizing World: The Paradox of Empty Promises.” With Emilie Hafner-Burton. American Journal of Sociology. Vol. 110, No. 5. 2005. 1373-1411.; “Global Civil Society and the International Human Rights Movement: Citizen Participation in Human Rights International Nongovernmental Organizations.” With Christine Min Wotipka. Social Forces. Vol. 83, No. 2. 2004. 587-620; “Global Civil Society and Ethnic Social Movements in the Contemporary World.” Sociological Forum. Vol. 19, No. 1. 2004. 63-88.; “The Semiconductor Community in Silicon Valley: A Network Analysis of the Semi Genealogy Chart (1047 - 1986).” With Dimitris Assimakopoulos and Sean Everton. International Journal of Technology
JURNAL HAM • Vol. 4 • Th. 2007
157