22
BAB I
PENDAHULUAN
Demokrasi telah di kenal sejak abad ke-5 masehi sebagai respons terhadap pengalaman buruk monarki dan kediktatoran di negara-negara kota Yunani kuno, namun ide-ide demokrasi modern baru berkembang pada abad ke-16 Masehi, yakni tentang kedaulatan rakyat dan kontrak sosial yang diperkenalkan filsuf-filsuf saat itu seperti John Locke, Baron de Montesquie, Voltaire, dan Jean-Jacques Rousseau. Ide-ide tersebut merupakan respons terhadap monarki absolut akhir abad pertengahan dalam sejarah Eropa, yang menggantikan kekuasaan gereja (teokrasi).
Demokrasi sebagaimana didefinisikan oleh Abraham Lincoln, adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk kepentingan rakyat. Demokrasi mengandaikan masyarakat secara langsung menempati posisi pemerintahan. Mereka berperan dalam seluruh aktivitas politik, legislatif, ekskutif, dan yudikatif. Dalam konsep politik, demokrasi adalah apa yang sering dikaitkan dengan konsep politik, atau konsep sosial tertentu, seperti konsep persamaan di hadapan di undang-undang, kebebasan berkepercayaan dan akidah, keadilan sosial, jaminan atas hak-hak tertentu, seperti hak hidup, berkebebasan, dan bekerja, serta sejenisnya.
Bila dipahami secara tekstual maka demokrasi adalah kekuasaan yang tidak terbatas, karena rakyat yang punya kepentingan dan rakyat pulalah yang akan melaksanakan di tengah-tengah mereka. Oleh karena itu filsuf kenamaan seperti Jean Jacques Rousseau menyempurnakan konsep demokrasi ini dengan teori demokrasi perwakilan, dimana rakyat menitipkan hak dan kewajibannya melalui wakil-wakilnya yang duduk baik di legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sistem perwakilan inilah yang kemudian dikembangkan menjadi norma berharga dan prinsip yang diterima dalam dunia politik kontemporer.
Pemikiran demokrasi ini merupakan reaksi dan perlawanan terhadap pemikiran penyerahan diri kepada Tuhan yang berkembang di Eropa pada saat itu. Pemikiran penyerahan diri ini menyatakan bahwa para raja menjalankan hukum atas pilihan dan penyerahan dari Tuhan. Dengan demikian, para raja mempunyai kekuasaan mutlak dalam kehidupan politik, bahan sampai kekuasaan yang tidak terbatas. Wajarlah bila paham kedaulatan rakyat saat itu menjadi alternatif untuk keluar dari kekuasaan mutlak para raja atas dasar perwakilan Tuhan.
Umat Islam seringkali kebingungan dengan istilah demokrasi. Di saat yang sama, demokrasi bagi sebagian umat Islam sampai dengan hari ini masih belum diterima secara bulat. Sebagian kalangan memang bisa menerima tanpa reserve, sementara yang lain, justru bersikap ekstrem. Menolak bahkan mengharamkannya sama sekali. Tak sedikit sebenarnya yang tidak bersikap sebagaimana keduanya. Artinya, banyak yang tidak mau bersikap apapun. Kondisi ini dipicu dari kalangan umat Islam sendiri yang kurang memahami bagaimana Islam memandang demokrasi.
Dari latar belakang diatas, maka kami penulis mencoba merumuskan beberapa masalah, diantaranya : Bagaimanakah Islam memandang demokrasi? Apakah Al Qur'an berbicara tentang demokrasi? Apakah demokrasi memiliki kelemahan dalam perspektif Al-Qur'an? Dan Apa saja persamaan serta perbedaan antara Islam dan Demokrasi?
BAB II
PEMBAHASAN
HUBUNGAN DEMOKRASI DENGAN ISLAM
Dalam kalangan umat Islam saat ini, ada tiga pendapat yang berbeda dalam menyikapi hubungan Demokrasi dengan Islam.
Menolak Demokrasi Secara Total
Mereka ini bependapat bahwa demokrasi dan Islam adalah dua hal yang bertentangan dan tidak akan bisa dipertemukan. Mereka beralasan:
Demokrasi merupakan hasil pemikiran manusia sedangkan Islam berasal dari Allah SWT.
Demokrasi ditentukan oleh suara terbanyak, padahal belum tentu suara terbanyak merupakan kebenaran.
Demokrasi berarti kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; sedangkan Islam mengatakan bahwa kekuasaan itu milik Allah.
Demokrasi adalah hal baru yang termasuk dalam kategori bid'ah dalam agama, generasi Islam sebelumnya tidak mengenal adanya sistem demokrasi. Nabi saw bersabda, "Barangsiapa menciptakan hal baru yang sebelumnya tidak ada dalam agama kita, maka hal tersebut ditolak." (HR. Muslim & Ahmad). Juga hadits Nabi lainnya, "Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang tidak ada dalam agama kami, ia akan ditolak." (HR. Muslim, Ahmad, An-Nasa'i). Demokrasi merupakan produk Barat yang notabene sekuler dan kafir. Bagaimana kita akan mengikuti ajaran orang-orang yang ingkar pada Allah dan Rasul-Nya? Karena alasan-alasan tersebut mereka dengan tegas menolak demokrasi. Mereka juga mengecam orang-orang Islam yang menerima dan menerapkan demokrasi. Bahkan mereka tidak segan-segan menuduhnya musuh Islam. Ada juga diantara mereka yang menganggap demokrasi itu syirik dan sebagai bentuk kekufuran.
Menerima Demokrasi Secara Total Tanpa Reserve
Kelompok ini menganggap bahwa demokrasi Barat adalah satu-satunya solusi yang tepat untuk mengatasi problematika negara, pemerintahan, rakyat dan tanah air. Mereka menerima demokrasi Barat bulat-bulat, termasuk sistem ekonomi liberalnya dan sistem sosial kemasyarakatannya yang bebas tanpa batas. Mereka meng-copy paste demokrasi Barat tanpa edit, dan ingin menerapkannya persis sama dengan praktek demokrasi di negara-negara Barat. Demokrasi yang tidak berdasarkan akidah, tidak mengenal akhlak, mengabaikan ibadah dan menyepelekan syari'ah. Bukan hanya itu, demokrasi Barat memisahkan secara diametral urusan agama dengan urusan negara. Mereka ini korban dari ghazwul-fikri, perang budaya, yang berujung pada kekalahan dan melahirkan mentalitas 'kaum terjajah' yang bangga apabila dapat meniru sikap dan perilaku penguasa penjajahnya.
Menerima Demokrasi Secara Moderat
Kelompok ini berpendapat bahwa ada yang positif dalam sistem demokrasi, dan hakikat dari demokrasi itu sendiri tidak bertentangan, bahkan bersesuaian, dengan ajaran Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa hakikat demokrasi itu adalah hak rakyat untuk memilih siapa pemimpinnya. Tidak boleh ada yang memaksa mereka untuk memilih pemimpin yang tidak mereka sukai, atau pemimpin zhalim, atau korup, yang merampas hak-hak mereka sebagai rakyat.
Substansi demokrasi ini berarti juga meniscayakan perlu adanya mekanisme dalam pemerintahan yang memungkinkan rakyat untuk melakukan fungsi kontrol atau pengawasan, juga evaluasi terhadap jalannya pemerintahan. Disamping perlu pula adanya mekanisme yang memungkinkan rakyat memberikan peringatan dan menasihati pemimpin apabila mereka menyimpang dari amanat yang diberikan kepada mereka, juga peringatan keras kepada pemimpin yang tidak mau mendengarkan aspirasi rakyatnya, bahkan memungkinkan rakyat untuk memakzulkannya dengan jalan damai.
Kelompok ini juga berpandangan, apabila terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah (eksekutif) dengan parlemen (legislatif), atau dengan tokoh-tokoh masyarakat, dalam masalah yang berkaitan dengan syari'ah, maka perbedaan tersebut dibawa untuk ditengahi, kepada Majelis Ulama atau bahkan Mahkamah Konstitusi yang mengundang ulama-ulama yang berkompeten di bidangnya, agar ditetapkan keputusannya sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri (pemimpin) diantara kalian. Apabila kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian" (QS. An-Nisaa' [4]:59).
DEMOKRASI BERTENTANGAN DENGAN ISLAM (PANDANGAN PERTAMA)
Demokrasi modern sekarang ini, kemunculannya dijadikan solusi atas problem dan penindasan akibat sistem monarki yang berlaku di Eropa. Raja atau kaisar dianggap sebagai wakil Tuhan. Semua jenis kekuasaan ada di tangannya baik kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan yudikatif. Jadi kekuasaan raja atau kaisar bersifat absolut. Dia berada di atas hukum dan tidak ada yang bisa mengontrol atau mengoreksinya. Kekuasaan absolut itu akhirnya menjadi korup dan menindas.
Untuk itulah digagas sistem demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan dan sumber kekuasaan. Sebagai pemilik kedaulatan, rakyatlah yang berhak membuat hukum dan undang-undang. Karena rakyat tidak mungkin melakukan peran ini secara langsung, maka dibuatlah sistem perwakilan di mana rakyat mewakilkan kepada wakil-wakil yang mereka pilih untuk melaksanakan wewenang tersebut. Jadilah, parlemen sebagai wakil rakyat untuk menjalankan kekuasaan legislatif membuat hukum dan undang-undangan. Demikian pula parlemen mewakili rakyat dalam memonitor dan mengoreksi kekuasaan eksekutif.
Sebagai sumber kekuasaan, rakyatlah yang memilih penguasa dan melimpahkan kekuasaan eksekutif kepadanya untuk menjalankan sistem, hukum, dan undang-undang buatan rakyat dan mengurus kehidupan rakyat. Hanya orang yang dipilih dan mendapat pelimpahan kekuasaan dari rakyat saja yang bisa menjadi penguasa. Semua praktek itu dilakukan melalui pemilu, baik untuk memilih kepada negara atau penguasa daerah.
Kedaulatan Rakyat Vs Kedaulatan Tuhan
Demokrasi tak jarang disederhanakan sebagai pemilu atau pemilihan penguasa oleh rakyat. Karena itu, demokrasi dianggap sejalan dengan Islam, sebab Islam menentukan bahwa penguasa dipilih oleh rakyat. Namun demokrasi yang hakiki itu bukan hanya pemilu atau pemilihan penguasa. Demokrasi yang hakiki memiliki dua pilar. Pilar pertama, kedaulatan rakyat, artinya rakyatlah yang berhak membuat hukum dan undang-undang yang digunakan negara dan pemerintah untuk mengurus rakyat.
Pilar kedua, rakyat pemilik dan sumber kekuasaan. Artinya, rakyatlah yang memiliki hak memilih penguasa, memonitor dan mengoreksinya dan memberhentikannya. Tanpa kedua pilar ini sekaligus, demokrasi tidak ada.
Mengenai pilar pertama yakni kedaulatan rakyat, demokrasi jelas bertentangan dengan Islam. Kedaulatan adalah hak membuat hukum. Itu artinya rakyatlah yang berhak menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh; memisahkan mana kebaikan dan mana keburukan, mana yang makruf dan mana yang mungkar, perbuatan mana yang terpuji dan mana yang tercela; dan mana yang halal dan yang haram. Sementara, dalam Islam semua itu adalah milik Allah saja, yakni milik syara'. Allah SWT berfirman:
"Katakanlah: Sesungguhnya Aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku[479], sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. dia menerangkan yang Sebenarnya dan dia pemberi Keputusan yang paling baik" (QS. Al-An'am [6]:57).
Menyerahkan kedaulatan kepada rakyat, yakni kepada manusia, artinya menyerahkan pembuatan hukum sesuai hawa nafsu manusia. Sementara Allah SWT justru memerintahkan untuk mengikuti hukum Allah tanpa mengikuti hawa nafsu manusia.
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ …
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka" (QS. Al-Maidah [5]: 49).
Fakta riil kehidupan demokrasi yang menyerahkan pembuatan hukum sesuai hawa nafsu manusia, telah melahirkan berbagai kerusakan baik pada alam, manusia, maupun kehidupan itu sendiri. Allah SWT sudah menegaskan kepada kita bahwa mengikuti hawa nafsu manusia itu menjadi sumber kerusakan.
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ
"Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya" (QS. Al-Mu'minun [23]: 71).
Demokrasi adalah menyerahkan hukum kepada rakyat di mana tolok ukurnya adalah suara mayoritas. Di mana ada suara mayoritas, di situ dianggap ada kebenaran. Sedangkan dalam Islam, kebenaran itu diputuskan oleh nash-nash syara', bukan oleh jumlah suara atau kebanyakan manusia. Bahkan kadang kala kebanyakan manusia bersepakat atas kebatilan. Allah SWT berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)" (QS. Al-An'am [6]: 116).
Dari semua itu, jelaslah bahwa demokrasi bertentangan secara total dengan Islam. Ini tentang pilar pertama demokrasi yaitu kedaulatan rakyat. Adapun pilar kedua, kekuasaan milik rakyat, memang dalam Islam, kekuasaan dimiliki oleh rakyat. Rakyatlah yang berhak memilih penguasa dan melimpahkan kekuasaan kepada orang yang dipilih rakyat sebagai penguasa itu. Meski secara global tampak sama, namun dalam filosofi dan rincian prakteknya, demokrasi berbeda, bahkan bertentangan dengan Islam.
Dalam demokrasi, rakyat memilih penguasa untuk menjalankan hukum yang dibuat oleh rakyat. Sementara dalam Islam, rakyat memilih penguasa untuk menerapkan hukum-hukum syara'. Sebab Islam memerintahkan kita semua untuk berhukum dan memutuskan perkara menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah, yaitu menurut hukum syara' (QS al-Maidah [5]: 48, 49). Islam mengaitkan aktivitas menjadikan Rasul SAW sebagai pemutus perkara yang terjadi di tengah manusia yaitu artinya berhukum kepada syara' sebagai bukti keimanan (QS an-Nisa [4]: 65). Bahkan Allah SWT menetapkan siapa saja yang memutuskan perkara dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Allah, yaitu menurut selain hukum syara' sebagai orang zalim (QS al-Maidah [5]: 45), fasik (QS al-Maidah [5]: 47), bahkan (QS al-Maidah [5]: 44). Karena itu, Allah SWT menegaskan bahwa tidak ada pilihan bagi orang-orang yang beriman, kecuali tunduk kepada keputusan yakni hukum yang telah diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" (QS al-Ahzab [33]: 36).
Semua itu menegaskan bahwa dalam Islam, penguasa dipilih oleh rakyat tidak lain adalah untuk menerapkan dan menjalankan hukum syara', bukan hukum positif buatan manusia seperti dalam demokrasi. Jelas dalam filosofi pelaksanaan pilar kekuasaan milik rakyat ini, demokrasi bertentangan dengan Islam. Sementara dalam rincian prakteknya, dalam demokrasi pelimpahan kekuasaan kepada penguasa dilakukan menurut teori kontrak sosial, sementara dalam Islam dilakukan melalui akad baiat dari rakyat kepada penguasa. Dalam demokrasi, penguasa "bekerja" kepada rakyat sehingga diberi gaji. Sedangkan dalam Islam, penguasa "mewakili" rakyat mengimplementasikan hukum syara', dan kepadanya tidak diberi gaji melainkan tunjangan untuk mencukupi kebutuhannya dan keluarganya secara makruf; sebab penguasa tersebut telah memberikan seluruh waktunya untuk mengurus rakyat.
Penjelasan singkat di atas sudah cukup bagi orang yang beriman kepada Allah dan Rasulullah SAW serta yakin kepada hari akhirat untuk mengetahui bahwa demokrasi bertentangan dengan Islam yang dianut dan diyakininya. Juga nyatalah bahwa demokrasi itu merupakan perampasan atas hak Allah, jalan paling sesat, menjadi biang kerusakan, dan pangkal ketidakberuntungan. Karena itu, demokrasi yang merupakan sistem dan hukum jahiliyah itu harus dicampakkan. Allah SWT berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS al-Maidah [5]: 50).
Syura (Musyawarah) Bukanlah Demokrasi
Sebagian orang menganggap bahwa demokrasi adalah wujud praktik sistem syura dalam Islam. Ini adalah anggapan yang salah. Jauhnya perbedaan antara keduanya bagaikan timur dan barat. Di antara perbedaannya adalah:
Aturan syura berasal dari Allah SWT dan selalu berlandaskan di atas syariat-Nya. Sementara demokrasi sumbernya adalah suara mayoritas walaupun itu suaranya orang-orang fasiq bahkan kafir.
Bahwa syura dilakukan pada perkara yang belum jelas ketentuannya dalam syariat, dan jika ada ketentuan syariat maka itulah yang ditetapkan. Adapun dalam demokrasi, perkara yang sudah jelas dalam syariat pun dapat diubah jika suara mayoritas menghendaki, sehingga dapat menghalalkan yang haram dan sebaliknya.
Anggota majelis syura adalah para ulama dan orang-orang yang memiliki keahlian khusus yang dibidangnya. Sedang dewan perwakilan rakyat dalam sistem demokrasi anggotanya sangat heterogen. Ada yang berilmu agama, ada yang bodoh, ada yang bijak, ada yang tidak, ada yang menginginkan kebaikan rakyat, ada yang mementingkan diri sendiri.
Dalam sistem syura, kebenaran tidak diukur dengan suara mayoritas tapi kesesuaian dengan sumber hukum syariat. Sedangkan dalam sistem demokrasi, kebenaran adalah suara mayoritas walaupun menentang syariat Allah SWT yang jelas.
Syura membedakan antara orang yang saleh dan yang jahat, sedangkan demokrasi menyamakan antara keduanya. Asy-Syaikh al-Albani berkata, "Sistem pemilu, tidak membedakan antara yang saleh dan yang jahat, masing-masing mereka berhak untuk memilih dan dipilih, dan tidak ada perbedaan pada jenis ini semua antara ulama dan orang yang bodoh. Sementara Islam tidak menghendaki pada majelis parlemen (maksudnya majelis syura) kecuali orang-orang pilihan dari masyarakat muslim dari sisi ilmu (agamanya) dan kesalehannya.
Syura bukan merupakan kewajiban di setiap saat, bahkan hukumnya berbeda sesuai dengan perbedaan keadaan. Sedangkan demokrasi merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh Barat kepada para penganutnya dengan kewajiban yang melebihi wajibnya shalat lima waktu dan tidak mungkin lepas darinya.
DEMOKRASI TIDAK BERTENTANGAN DENGAN ISLAM (PANDANGAN KEDUA)
Hubungan antara Islam dan demokrasi merupakan hubungan yang kompleks. Sebab, dunia Islam tidak hidup dalam keseragaman ideologis sehingga terdapat satu spektrum panjang terkait hubungan antara Islam dan demokrasi ini. Meskipun Al-Qur`an tidak secara spesifik dan eksplisit menunjukkan preferensi terhadap satu bentuk pemerintahan tertentu, tetapi dengan gamblang memaparkan seperangkat nilai sosial dan politik penting dalam suatu pemerintahan untuk Muslimin. Di antaranya adalah tiga nilai penting, yaitu keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu, membangun suatu sistem pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis, melembagakan kasih sayang dalam interaksi sosial.
Alasan-Alasan yang Mendasari Demokrasi Tidak Bertentangan Dengan Islam
Kami melihat bahwa di dalam Al-Qur`an tidak dapat ditemukan konsep negara tertentu, karena konsep negara adalah buah pemikiran yang muncul belakangan. Bahkan kata Daulah Islamiyah sendiri adalah kata baru yang muncul di abad ke-20. Istilah daulah baru dipakai sejak masa Dinasti Mu`awiyah dan Abbasiyyah, yang dipakai dalam arti dinasti. Meskipun demikian, ia juga melihat bahwa di dalam Al-Qur`an terdapat prinsip-prinsip hidup berkemasyarakatan yang di antaranya kejujuran dan tanggung jawab, keadilan, persaudaraan, pluralisme, persamaan, musyawarah, mendahulukan perdamaian, dan kontrol. Secara prinsipiil hal ini sejalan dengan doktrin politik dari konsep demokrasi.
John L. Esposito dan James P. Piscatori (dalam Riza Sihbudi, 1993), mengatakan bahwa Islam pada kenyataannya memberikan kemungkinan pada bermacam interpretasi, Islam bisa digunakan untuk mendukung demokrasi maupun kediktatoran, republikanisme maupun monarki. Pernyataan Esposito dan Piscatori ini dapat mengidentifikasikan tiga pemikiran mengenai hubungan Islam dengan demokrasi. Pertama, Islam menjadi sifat dasar demokrasi karena konsep syura`, ijtihad, dan ijma` merupakan konsep yang sama dengan demokrasi. Kedua, menolak bahwa Islam berhubungan dengan demokrasi.
Dalam pandangan ini, kedaulatan rakyat tidak bisa berdiri di atas kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa disamakan antara Muslim dan non-Muslim serta antara laki-laki dan perempuan. Hal ini bertentangan dengan prinsip equality demokrasi. Ketiga, sebagaimana pandangan pertama bahwa Islam merupakan dasar demokrasi, meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan kedaulatan Tuhan, perlu di akui bahwa kedaulatan rakyat tersebut merupakan subordinasi hukum Tuhan. Terma ini dikenal dengan theodemocracy yang diperkenalkan oleh al-Maududi.
Akan tetapi jika demokrasi dimaknai secara substantif, yaitu kedaulatan di tangan rakyat, dan negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat, maka Islam merupakan sistem politik yang demokratis. Islam adalah sistem nilai yang membenarkan serta mendukung demokrasi. kelompok ini berpendapat bahwa Islam merupakan sistem nilai yang membenarkan demokrasi dan substansi demokrasi sesungguhnya berasal dari ajaran Islam.
Secara umum demokrasi itu kompatibel dengan nilai-nilai universal Islam. Seperti persamaan, kebebasan, permusyawaratan dan keadilan. Akan tetapi dalam dataran implementatif hal ini tidak terlepas dari problematika. Sebagai contoh adalah ketika nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan hasil ijtihad para ulama. Contoh kecil adalah kasus tentang orang yang pindah agama dari Islam. Menurut pandangan Islam berdasarkan hadits: "Man baddala dinahu faqtuluhu" mereka disuruh taubat dahulu, jika mereka tidak mau maka dia boleh dibunuh atau diperangi. Dalam sistem demokrasi hal ini tidak boleh terjadi, sebab membunuh berarti melanggar kebebasan mereka dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Kemudian dalam demokrasi ada prinsip kesamaan antar warga Negara. Namun dalam Islam ada beberapa hal yang sangat tegas disebut dalam Al-Qur`an bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, misalnya tentang poligami. (QS. An-nisa' 33) tentang hukum waris (QS. An-nisa' 11) tentang kesaksian (QS. Al-Baqarah 282).
Di samping itu, demokrasi sangat menghargai toleransi dalam kehidupan sosial, termasuk dalam maksiat sekalipun. Seperti pacaran dan perzinaan, kalau di antara laki-laki dan perempuan (bukan suami istri) melakukan hubungan persetubuhan suka sama suka itu tidak jadi masalah atau dengan kata lain dibolehkan. Sedangkan dalam Islam hal ini jelas-jelas dilarang dalam Al-Qur'an. Demikian juga dalam Islam dibedakan antara hak dan kewajiban kafir dzimmi dengan yang muslim. Hal ini dalam demokrasi tidak boleh terjadi, sebab tidak lagi menjunjung nilai persamaan. Melihat adanya problem di atas, berarti tidak semuanya demokrasi kompatibel dengan ajaran Islam. Dalam dataran prinsip, ide-ide demokrasi ada yang sesuai dan selaras dengan Islam, namun pada tingkat implementatif sering kali nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan ajaran Islam dalam Al-Qur`an, As-sunnah dan ijtihad para ulama.
Dalam pada itu, menurut hemat penulis, umat Islam saat ini tidak seharusnya berada dalam ruang pertentangan hubungan Islam dengan demokrasi, akan tetapi, yang lebih penting (urgent) untuk dilakukan umat Islam dalam pelaksanaan demokrasi dengan mengacu kepada ajaran kemaslahatan, keadilan, ijtihad (kemerdekaan berpikir), toleransi, kebebasan, persamaan, kejujuran serta tanggung jawab dan sebagainya. Untuk melihat hubungan Islam dengan demokrasi, setidaknya harus di lihat dari sisi sistem, dasar-dasar politik dan nilainya. Akan tetapi, jika demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti yang dipahami dan dipraktekkan di negara-negara Barat, maka demokrasi akan bertentangan (tidak sejalan) dengan ajaran Islam.
Bila Allah Subhanahu Wata'ala sudah menetapkan sesuatu maka kewajiban hamba-hambanya hanyalah sami'nâ wa atha'nâ (kami mendengar, kami melaksanakan, red). Akan tetapi, pada teknis pelaksanaannya dalam pengambilan keputusan di luar itu, demokrasi sesungguhnya ada kesesuaiannya dengan Islam. Islam mengajarkan praktik yang hampir mirip, yaitu syûrâ (musyawarah). Musyarah sekalipun tidak sepenuhnya mirip demokrasi, sama-sama menghormati pendapat manusia banyak dalam menetapkan keputusan. Hanya saja, perkara-perkara yang sudah terang diatur Allah Subhanahu Wata'ala tidak dapat diubah melalui musyawarah.
Oleh sebab itu, pendapat terakhir ini berkesimpulan bahwa demokrasi boleh digunakan sepanjang bukan untuk mengubah sesuatu yang sudah menjadi hak prerogatif Allah Subhanahu Wata'ala. Wacana di atas tentu saja hanya berkembang di negara-negara Islam yang selalu ingin mencari kebenaran melalui kerangka pikir agamanya. Sayang walaupun berkembang pemikiran yang kontra sama sekali terhadap demokrasi, namun pada umumnya hampir seluruh negara Islam selepas kolonialisme Eropa menerima demokrasi sebagai mekanisme politik yang mereka jalankan.
Pandangan Yusuf Al-Qardhawi Tentang Demokrasi
Menurut Yusuf al-Qardhawi, substansi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya:
Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
AYAT-AYAT AL-QUR'AN TENTANG DEMOKRASI
Biasanya yang paling berharga bagi sesuatu adalah dirinya sendiri. Ini berarti yang paling berharga buat agama adalah agama itu sendiri. Karenanya setiap agama menuntut pengorbanan apa pun dari pemeluknya demi mempertahankan kelestariannya. Namun demikian, Islam datang tidak hanya bertujuan mempertahankan eksistensinya sebagai agama, tetapi juga mengakui eksistensi agama-agama lain, dan memberinya hak untuk hidup berdampingan sambil menghormati pemeluk-pemeluk agama lain.
"Jangan mencerca yang tidak menyembah Allah (penganut agama lain) ..." (QS Al-An'am [6): 108). "Tiada paksaan untuk menganut agama (Islam)" (QS Al-Baqarah [2]: 256). "Bagimu agamamu dan bagiku agamaku" (QS Al-kafirun [109]: 6). "Seandainya Allah tidak menolak keganasan sebagian orang atas sebagian yang lain (tidak mendorong kerja sama antara manusia), niscaya rubuhlah biara-biara, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah." (Surat Al-Hajj (22): 40)
Ayat ini dijadikan oleh sebagian ulama, seperti Al-Qurthubi (w. 671 H), sebagai argumentasi keharusan umat Islam memelihara tempat-tempat ibadah umat non-Muslim. Memang, Al-Quran sendiri amat tegas menyatakan bahwa, "Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan seluruh manusia menjadi satu umat saja" (QS Al-Nahl [16]: 93). Tetapi Allah tidak menghendaki yang demikian, karena itu Dia memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih sendiri jalan yang dianggapnya baik, mengemukakan pendapatnya secara jelas dan bertanggung jawab.
Di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan memilih agama, adalah hak yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap insan. Yang dikemukakan ayat Al-Quran tersebut merupakan salah satu benih dari ajaran demokrasi, hal mana kemudian akan nampak dengan jelas dalam petunjuk-petunjuk Kitab Suci. Salah satu yang dapat dikemukakan di sini adalah pengalaman Nabi saw dalam peperangan Uhud serta kaitannya dengan ayat yang memerintahkan musyawarah. Sejarah menginformasikan bahwa ketika terdengar berita rencana serangan musuh-musuh Nabi saw dari Makkah ke Madinah, Nabi saw berpendapat bahwa lebih baik menunggu mereka hingga sampai ke kota Madinah.
Namun, mayoritas sahabat-sahabatnya dengan penuh semangat mendesak beliau agar menghadapi mereka di luar kota, yakni di Uhud. Karena desakan itu, akhirnya Nabi menyetujui. Tetapi, ternyata, puluhan sahabat Nabi gugur dalam peperangan tersebut sehingga menimbulkan penyesalan. Setelah pengalaman pahit mengikuti pendapat mayoritas ini, justu Al-Quran turun memberi petunjuk kepada Nabi Muhammad saw, agar tetap melakukan musyawarah dan selalu bertukar pikiran dengan sahabat-sahabatnya (baca QS Ali 'Imran [3]: 159). Demikian terlihat kebebasan beragama, mengemukakan pendapat, dan demokrasi, merupakan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Atas dasar itu pula, kitab suci umat Islam mengakui kenyataan tentang banyaknya jalan yang dapat ditempuh umat manusia. Mereka diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (QS Al-Baqarah [2]: 148), kesemuanya demi kedamaian dan kerukunan: "Allah memberi petunjuk melalui wahyu-Nya siapa yang mengikuti keridhaan-Nya dengan menelusuri jalan-jalan kedamaian" (QS Al-Maidah [5]: 16).
Sekali lagi ditemukan bahwa kebhinekaan diakui atau ditampung selama bercirikan kedamaian. Bahkan dalam rangka mewujudkan kedamaian dengan pihak lain, Islam menganjurkan dialog yang baik (QS Al-Nahl [16]: 125). Dan dalam dialog itu, seorang Muslim tidak dianjurkan untuk mengklaim kepada mitra dialognya bahwa kebenaran hanya menjadi milik-Nya. "Katakanlah, Kami atau Anda yang berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata" (QS Saba' [34]: 24).
Perdamaian dan kerukunan yang didambakan Islam, bukankah yang bersifat semu, tetapi yang memberi rasa aman pada jiwa setiap insan. Karena itu, langkah pertama yang dilakukannya adalah mewujudkannya dalam jiwa setiap pribadi. Setelah itu ia melangkah kepada unit terkecil dalam masyarakat yakni keluarga. Dari sini ia beralih ke masyarakat luas, seterusnya kepada seluruh bangsa di permukaan bumi ini, dan dengan demikian dapat tercipta perdamaian dunia, dan dapat terwujud hubungan harmonis serta toleransi dengan semua pihak.
DEMOKRASI DALAM PANDANGAN SUNNI/SYIAH
Konsep Wilayah Al-Faqih dan Theodemocracy
Sistem politik Syiah menganut konsep Imamah. Konsep ini menegaskan bahwa kepemimpinan umat adalah urusan Tuhan. Syiah berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW telah menetapkan pengganti kepemimpinannya setelah beliau wafat. Mereka berdalil pada beberapa hadits, di antaranya adalah hadits Al-Ghadir, yang berisi pernyataan lugas Nabi Muhammad SAW bahwa Ali bin Abi Thalib adalah penerus kepemimpinannya.
Konsep Wilayah Al-Faqih pada dasarnya adalah kelanjutan dari konsep Imamah Syiah. Selain itu, konsep ini identik dengan pemikiran Ayatullah Khomeini. Untuk mengenal konsep ini, kita harus menelaah pemikiran politiknya, yang bisa dikatakan sebagai hasil fusi dari teologi politik, filsafat politik dan fiqih politik. Sejak awal, Khomeini selalu menekankan bahwa agama tidak terpisah dari politik dengan segenap dimensinya. Menurutnya, pemisahan agama dari politik serta tuntutan agar ulama tidak turut campur dalam urusan sosial politik merupakan slogan yang dipropagandakan oleh para imperialis, yang dengannya mereka dapat mendominasi dan menjarah semua sumber daya masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa segala bentuk ibadah yang dipraktikkan dalam Islam selalu berkaitan dengan politik dan penyiapan masyarakat.
Dalam pandangan Khomeini, politik Islam adalah politik yang tujuannya adalah Allah SWT, atau kesempurnaan insan. Dengan politik ini, manusia akan memperoleh segala kebaikan sejati, baik secara maknawi maupun materi. Berdasarkan hal tersebut, Khomeini berpendapat bahwa pemerintahan Islam hanya dapat dipimpin oleh seorang faqih, yaitu orang yang memahami Islam secara mendalam, termasuk di dalamnya hukum-hukum syariat.
Secara praktis, Republik Islam Iran sebenarnya telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, khususnya yang terkait dengan kebebasan politik (adanya kontestasi/kompetisi dan partisipasi dalam pemilu) dan kebebasan sipil (yang meliputi kebebasan intelektual, perlindungan hak minoritas, pemberdayaan wanita, dan kebijakan luar negeri). Terlepas dari kritik-kritik yang ada, Republik Islam Iran tampaknya berhasil menawarkan sebuah konsep pemerintahan alternatif dalam peta politik dunia. Keunikannya terletak pada metodenya yang mengkombinasikan bukan hanya agama dan negara, melainkan juga memadukan teokrasi dan demokrasi (Theodemocracy).
Perbedaan mendasar antara demokrasi agama dengan demokrasi Barat adalah terletak pada prinsip legislasi. Demokrasi Barat berkeyakinan bahwa undang-undang harus dibuat oleh manusia. Sementara itu, dalam demokrasi agama undang-undang harus berasal dari Tuhan, melalui utusan-Nya, sehingga setiap undang-undang yang dihasilkan harus berada dalam koridor hukum Ilahi.
Perbedaan lainnya terletak pada tujuan. Demokrasi Barat yang berkarakter materialistik memiliki tujuan-tujuan yang terbatas pada dimensi lahiriah manusia, seperti kesejahteraan dan kemakmuran. Sementara itu, demokrasi agama lebih menekankan dimensi mental dan spiritual manusia, sehingga politik dalam demokrasi agama bermakna upaya untuk menghidayahi manusia menuju Allah SWT. Terkait hal itu, Murthadha Mutahhari berargumen, "Upaya untuk membenturkan konsepsi Islam dengan demokrasi merupakan tindakan yang keliru. Konsepsi demokrasi hanya berkutat pada hak-hak manusia dalam urusan kesejahteraa material, seperti sandang, pangan dan papan. Padahal lebih dari itu, manusia membutuhkan sebuah sistem yang akan mengantarkannya menuju kebahagiaan dan kesejahteraan maknawi dan nilai puncak kemanusiaan".
Perbedaan Konsep Politik Syiah dengan Sunni
Berbeda dengan sistem politik Syiah yang menganut konsep Imamah, sistem politik Sunni menganut konsep Khilafah Syura. Jika Syiah berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW telah menetapkan pengganti kepemimpinannya setelah beliau wafat, maka sistem Sunni menekankan bahwa Nabi Muhammad SAW menyerahkan urusan kepemimpinan umat kepada umat itu sendiri. Meskipun berperan sebagai pemimpin pemerintahan yang ditunjuk langsung oleh Allah, Nabi Muhammad SAW tidak menetapkan penggantinya setelah beliau wafat. Umumnya dalil yang digunakan adalah hadits yang berbunyi, "Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian." Setelah Nabi SAW wafat, sebagian kaum muslim mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Saidah dalam rangka menetapkan kepemimpinan pasca Nabi SAW.
Setelah melalui perdebatan yang cukup sengit, akhirnya Abu Bakar terpilih terpilih sebagai khalifah. Peristiwa Saqifah ini merupakan momentum awal munculnya konsep Khilafah Syura. Namun konsep ini tidak diberlakukan saat pergantian kekhalifahan selanjutnya, ketika Abu Bakar menunjuk langsung Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Sistem syura kemudian diberlakukan kembali oleh Umar dengan membentuk dewan formatur (majlis syura) untuk memilih kepemimpinan selanjutnya, yang berujung pada terpilihnya Utsman bin Affan sebagai khalifah.
Tulisan ini bukan bertujuan untuk mempromosikan konsep politik Syiah, melainkan lebih merupakan studi kritis atas konsep politik Wilayah Al-Faqih yang diterapkan di negara Islam Iran. Tak dapat dipungkiri, bahwa Iran merupakan contoh negara yang berhasil memadukan konsep demokrasi dan teokrasi, yang mampu membimbing stabilitas politik di Iran setelah terbentuknya pemerintahan pasca revolusi tahun 1979 hingga kini. Untuk menelaah lebih detail terkait penerapan konsep Wilayah Al-Faqih dalam sistem politik di Iran.
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ISLAM DAN DEMOKRASI
Persamaan Islam dan Demokrasi
Demokrasi adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu (misalnya, asas persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak tertentu, seperti hak hidup dan bebas mendapat pekerjaan). Semua hak tersebut juga dijamin dalam Islam.
Sementara jika terjadi perselisihan pendapat dalam masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan kemasyarakatan yang masuk dalam kategori mubah, maka yang pengambilan keputusannya diupayakan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila tidak tercapai mufakat, maka bisa melalui pengambilan pendapat melalui suara terbanyak (voting), karena pendapat dua orang atau lebih dekat kepada kebenaran daripada pendapat satu orang. Hal ini sesuai dengan logika syari'at Islam, disamping logika politik yang memang "harus ada yang diunggulkan". Yang diunggulkan ketika terjadi perselisihan pendapat adalah jumlah yang terbanyak. Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya setan itu bersama satu orang dan dia menjauh dari orang berdua." (HR. At-Tirmidzy dan Al-Hakim). Nabi saw juga pernah bersabda kepada Abu Bakar dan Umar, "Seandainya kalian berdua menyepakati suatu pendapat, tentu aku tidak akan menyalahi kalian berdua" (HR. Ahmad).
Dengan kata lain, pendapat yang didukung dua orang lebih diunggulkan daripada pendapat seorang, sekalipun itu pendapat Rasulullah saw, selagi dalam masalah-masalah di luar lingkup syari'at dan apa yang telah ditetapkan Allah. Bahkan dalam kasus Uhud, seperti yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi harus mengikuti pendapat mayoritas karena sebagian besar Sahabat memilih untuk menghadapi orang-orang musyrik di luar Kota Madinah, walau beliau sendiri bersama beberapa Sahabat terkemuka berpendapat untuk bertahan saja di dalam kota Madinah sembari berperang gerilya di jalan-jalan Madinah yang seluk-beluknya sudah mereka hapal. Yang paling nyata mengenai pendapat mayoritas ini adalah sikap Umar bin Khathab tentang enam orang anggota Majelis Syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai Tim Formatur sekaligus diberi amanah untuk memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi Khalifah berdasar suara terbanyak.
Sedang yang tidak terpilih dari tim tersebut harus patuh dan tunduk kepada kandidat terpilih. Jika dalam voting tersebut suara yang diperoleh tiga lawan tiga, mereka harus mengambil suara dari luar tim formatur, yakni Abdullah bin Umar. Dalam beberapa hadits juga dinyatakan pujian terhadap "golongan terbesar" dan perintah untuk mengikutinya. "Golongan terbesar" ini maksudnya adalah golongan mayoritas di antara umat manusia.
Dan voting, pengambilan keputusan berdasar suara terbanyak merupakan cara yang tepat untuk itu. Tidak ada satupun dalil dalam syari'at yang melarang proses pengambilan keputusan dengan cara seperti ini. Walau sistem demokrasi merupakan hasil pemikiran manusia, bukan berarti sistem ini tercela dan harus ditolak. Bukankah Allah telah memerintahkan manusia untuk mengoptimalkan penggunaan akal fikiran? Kita diperintahkan untuk berfikir, membaca, mengkaji, merenung, mengambil pelajaran dan hikmah, serta berijtihad? Tentu hasil ijtihad itu perlu ditimbang lebih dahulu, apakah bertentangan atau bersesuaian dengan ajaran Allah.
Mengenai penghakiman bahwa demokrasi itu mengambil alih kekuasaan Allah dalam memerintah dengan memberikan kekuasaan memerintah kepada manusia/rakyat, tidaklah benar. Karena pembentukan pemerintahan yang didukung dan dievaluasi oleh rakyat adalah untuk menghindari tirani kekuasaan atau diktatorisme politik oleh seorang individu atau kelompok elit tertentu.
Demikian pula penilaian bahwa demokrasi itu adalah sistem tercela karena merupakan produk impor, juga tidak tepat. Tidak ada satupun ketetapan syari'at yang berisi larangan mengambil pemikiran teoritis atau konsep dari non-muslim. Sewaktu perang Al-Ahzab, Nabi saw mengambil pemikiran bangsa Persia berupa strategi bertahan dengan menggali parit, bukan membangun benteng seperti biasa.
Beliau juga memanfaatkan tawanan perang Badar dari orang-orang musyrik untuk mengajari ilmu pengetahuan yang mereka miliki kepada kaum muslimin. Inilah yang disebut hikmah. Hikmah adalah milik kaum muslimin yang hilang lalu ditemukan. Jadi umat Islam berhak mendapatkan miliknya yang hilang tersebut. Sementara, yang dilarang adalah mengimpor nilai-nilai yang membahayakan aqidah dan akhlak dan tidak memberikan manfaat. Sementara kita mengambil demokrasi dalam metode, mekanisme dan tata caranya saja, yang harus diakui memang lebih baik dibanding sistem lainnya; bukan filosofinya yang mengagungkan individualisme dan kebebasan tanpa dilandasi agama. Yang kita inginkan adalah demokrasi yang dilandasi nilai-nilai agama, mengedepankan akhlak dan wawasan keilmuan, serta memprioritaskan nilai-nilai luhur tersebut di atas nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Perbedaan Islam dan Demokrasi
Demokrasi yang sudah populer di Barat, definisi bangsa atau umat dibatasi batas wilayah, iklim, darah, suku-bangsa, bahasa dan adat-adat yang mengkristal. Dengan kata lain, demokrasi selalu diiringi pemikiran nasionalisme atau rasialisme yang digiring tendensi fanatisme. Adapun menurut Islam, umat tidak terikat batas wilayah atau batasan lainnya. Ikatan yang hakiki di dalam Islam adalah ikatan akidah, pemikiran dan perasaan. Siapa pun yang mengikuti Islam, ia masuk salah satu negara Islam terlepas dari jenis, warna kulit, negara, bahasa atau batasan lain. Dengan demikian, pandangan Islam sangat manusiawi dan bersifat internasional.
Tujuan-tujuan demokrasi modern Barat atau demokrasi yang ada pada tiap masa adalah tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dan material. Jadi, demokrasi ditujukan hanya untuk kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa dengan upaya pemenuhan kebutuhan dunia yang ditempuh melalui pembangunan, peningkatan kekayaan atau gaji. Adapun demokrasi Islam selain mencakup pemenuhan kebutuhan duniawi (materi) mempunyai tujuan spiritual yang lebih utama dan fundamental. Kedaulatan umat (rakyat) menurut demokrasi Barat adalah sebuah kemutlakan. Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli kebodohan, kezaliman atau kemaksiatannya. Namun dalam Islam, kedaulatan rakyat tidak mutlak, melainkan terikat dengan ketentuan-ketentuan syariat sehingga rakyat tidak dapat bertindak melebihi batasan-batasan syariat, Al-Quran dan As-Sunnah tanpa mendapat sanksi.
BAB III
PENUTUP
Dengan memperhatikan pembahasan yang dikemukakan di atas maka kita dapat mengambil kesimpulan tentang pandangan-pandangan yang ada mengenai sikap Islam dalam menyikapi demokrasi:
Pandangan yang menandaskan bahwa antara agama Islam dan demokrasi secara asasi tidak berhubungan sama sekali satu dengan yang lain, karena demokrasi merupakan metode yang digunakan pada domain politik dan pemerintahan sementara agama sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan masalah politik. Pandangan ini adalah pandangan yang dilontarkan oleh orang-orang yang meyakini bahwa agama terpisah dari politik. Karena ruang lingkup dan skop agama dalam pandangan mereka merupakan urusan pribadi yang mengurusi hubungan antara manusia dan Tuhan serta keyakinan terhadap akhirat dan tidak ada hubungannya dengan masalah sosial dan politik.
Pandangan lainnya adalah pandangan di antara dua pandangan ini, terdapat kontradiksi di antara keduanya, karena demokrasi sangat menjunjung tinggi suara dan pikiran rakyat secara mutlak. Dan hal ini merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari pengertian demokrasi. Sementara Islam secara mutlak tidak terlalu memandang signifikan suara dan pikiran rakyat. Sebagai contoh apabila mayoritas penduduk suatu masyarakat menyatakan agama tidak boleh dijadikan sebagai aturan dalam masyarakatnya, pandangan ini diterima dalam demokrasi namun ditolak dalam Islam.
Pada dua kutub pemikiran ini, dari satu sisi orang-orang yang beragama yang berpandangan bahwa suara dan pendapat rakyat tidak ada nilainya. Dan pada kutub lainnya orang-orang anti agama yang menolak agama berada dalam lingkup pemerintahan. Kutub pertama memilih sikap untuk membela agama dan pemerintahan agama dengan pendekatan anti demokrasi. Orang-orang ini berpandangan bahwa agama tidak dapat dihimpunkan dengan demokrasi. Dan kutub kedua yang meyakini pemerintahan demokrasi dan memandang bahwa agama merupakan kontra demokrasi. Di antara tipologi lain demokrasi yang diterima oleh negara-negara Barat dan melakukan manuver dengan titel "hak asasi manusia" adalah menerima tanpa tedeng aling-aling segala keinginan masyarakat. Bahkan apabila segala keinginan ini berseberangan dengan derajat dan kemuliaan manusia. Seperti penghalalan dan pelegalan perkawinan sesama jenis dan sebagainya yang tentu saja Islam menolak tipologi demokrasi seperti ini. Secara asasi, falsafah pengutusan para rasul adalah untuk melawan keinginan-keinginan rendah manusia dan memotivasi mereka kepada ketinggian dan kemuliaan insaniah. Mayoritas yang mendapat celaan Al-Qur'an adalah hal seperti ini. Kaum mayoritas yang menentang seruan dan dakwah para nabi yang mengajak mereka kepada kebahagiaan, petunjuk dan kesempurnaan tanpa berpikir dan berinteleksi hanya karena bertentangan dengan keinginan-keinginan rendah mereka.
Pandangan lainnya adalah yang menegaskan bahwa hubungan Islam dan demokrasi tidak bertentangan secara keseluruhan juga tidak sejalan secara keseluruhan, artinya hubungan agama dan demokrasi adalah hubungan umum dan khusus. Menurut pandangan ini demokrasi memiliki ragam model yang sebagian darinya adalah non-agama, sebagian anti agama dan sebagian agamis. Demokrasi agamis adalah demokrasi yang diterima dalam Islam. Esensi jenis demokrasi ini tidak berbeda dengan model demokrasi lainnya. Satu-satunya tipologi model demokrasi seperti ini adalah coraknya yang agamis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qaadir Haamid, Tijani. 2001. Pemikiran Politik dalam Islam; Terjemahan oleh Abdul Hayyie al-Kattani dkk dari Ushulul Fikris-Siyaasi fil-Qur'aanil-Makki. Jakarta: Gema Insani Pers
Al-Qardhawi, Yusuf. 1997. Negara Dalam Islam, terj. Syafri Halim. Jakarta: Robbani Press
Aziz, M. Imam. 1993. Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
A.Dahl, Robert. 1992. Demokrasi dan Pengkritiknya, terj. A. Rahman Zainuddin, Jakarta: Paramadina
Faiz Almath, Muhammad. et.al. 1991. 1100 Hadits Terpilih. Jakarta: Gema Insani
John. L. Espito. 2001. Oxford Dictionary, Ensiklopedia Dunia Islam Modern, Jilid I. Badung: Mizan
Madjid, Nurcholish. 1995. Islam: Agama Kemanusiaan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina
Muhammad Al-Maqdisiy, Abu. 2008. Demokrasi Sejalan dengan Islam?. Jakarta: Ar Rahmah Media
Sulaiman, Sadeqjawad. 2001. Demokrasi dan Syura. dalam Charles Kurzman, Islam Liberal, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaedi. Jakarta: Paramadina Press
Faiz Almath, Muhammad. et.al. 1991. 1100 Hadits Terpilih. Jakarta: Gema Insani
Muhammad Al-Maqdisiy, Abu. 2008. Demokrasi Sejalan dengan Islam?. Jakarta: Ar Rahmah Media
A.Dahl, Robert. 1992. Demokrasi dan Pengkritiknya, terj. A. Rahman Zainuddin, Jakarta: Paramadina
Muhammad Al-Maqdisiy, Abu. 2008. Demokrasi Sejalan dengan Islam?. Jakarta: Ar Rahmah Media
Sulaiman, Sadeqjawad. 2001. Demokrasi dan Syura. dalam Charles Kurzman, Islam Liberal, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaedi. Jakarta: Paramadina Press
Abdul Qaadir Haamid, Tijani. 2001. Pemikiran Politik dalam Islam; Terjemahan oleh Abdul Hayyie al-Kattani dkk dari Ushulul Fikris-Siyaasi fil-Qur'aanil-Makki. Jakarta: Gema Insani Pers
John. L. Espito. 2001. Oxford Dictionary, Ensiklopedia Dunia Islam Modern, Jilid I. Badung: Mizan
Al-Qardhawi, Yusuf. 1997. Negara Dalam Islam, terj. Syafri Halim. Jakarta: Robbani Press
Madjid, Nurcholish. 1995. Islam: Agama Kemanusiaan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina
Tamara, M. Nasir & Taher, Elza Peldi. 1996. Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina
Aziz, M. Imam. 1993. Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Faiz Almath, Muhammad. et.al. 1991. 1100 Hadits Terpilih. Jakarta: Gema Insani
Al-Qardhawi, Yusuf. 1997. Negara Dalam Islam, terj. Syafri Halim. Jakarta: Robbani Press