INDONESIA NEGARA MARITIM TERBESAR DUNIA YANG TERASINGKAN
Benarkah Indonesia itu adalah negara yang kaya akan sumber daya alamnya yang melimpah baik didaratan maupun di lautan? Dan benarkah Indonesia itu adalah negara kepulauan terbesar dunia ? mengapa masyarakat Indonesia tidak mampu memanfaatkan kekayaan sumber daya maritim dengan maksimal ? Inilah beberapa pertanyaan yang harus di jawab oleh kita semua tentang keadaan alam kita sekarang ini. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia belum mampu memberdayakan potensi ekonomi maritim. Negeri ini juga belum mampu mentransformasikan sumber kekayaan laut menjadi sumber kemajuan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Indonesia bagaikan negara raksasa yang masih tidur. Indonesia juga memiliki posisi strategis, antar benua yang menghubungkan Negara negara ekonomi maju, posisi geopolitis strategis tersebut memberikan peluang Indonesia sebagai jalur ekonomi, misalnya beberapa selat strategis jalur perekonomian dunia berada di wilayah NKRI yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makasar dan Selat Ombai-Wetar. Potensi geopolitis ini dapat digunakan Indonesia sebagai kekuatan Indonesia dalam percaturan politik dan ekonomi antar bangsa. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 yang terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km2 dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km2. Selain itu, terdapat 17.504 pulau di Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km. Dengan cakupan yang demikian besar dan luas, tentu saja maritim Indonesia mengandung keanekaragaman alam laut yang potensial, baik hayati dan nonhayati. Dekalarasi Djuanda 1957 yang menegaskan konsepsi Wawasan Nusantara memberikan kita anugerah yang luar biasa baik itu laut, darat maupun udara. Sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki wilayah laut
seluas 5,8 juta km2 yang terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km persegi dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km2. Selain itu, terdapat 17.504 pulau di Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km. Luas lautan dibandingkan luas daratan di dunia mencapai kurang lebih 70 berbanding 30, sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi negara-negara di dunia yang memiliki kepentingan laut untuk memajukan maritimnya. Seiring perkembangan lingkungan strategis, peran laut menjadi signifikan serta dominan dalam mengantar kemajuan suatu negara. Inilah bukti bahwa luas lautan di Indonesia di bandingkan daratan sangat jauh berbeda. Jadi Indonesia itu bisa dikatakan negara kepulauan. Artinya laut Indonesia itu lebih luas dari daratannya. Jika laut dimanfaatkan dengan optimal, mampu mensejahterakan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir. Untuk mengembangkan potensi maritim, pemerintah
harus
memiliki
visi
negara
maritim
yang
jelas.
Alfred Thayer Mahan, seorang Perwira Tinggi Angkatan Laut Amerika Serikat, dalam bukunya “The Influence of Sea Power upon History” mengemukakan teori bahwa sea power merupakan unsur terpenting bagi kemajuan dan kejayaan suatu negara, yang mana jika kekuatan-kekuatan laut
tersebut diberdayakan, maka akan meningkatkan kesejahteraan dan keamanan suatu negara. Sebaliknya, jika kekuatan-kekuatan laut tersebut diabaikan akan berakibat kerugian bagi suatu negara atau bahkan meruntuhkan negara tersebut. Indonesia secara geografis merupakan sebuah negara kepulauan dengan dua pertiga luas lautan lebih besar daripada daratan. Hal ini bisa terlihat dengan adanya garis pantai di hampir setiap pulau di Indonesia (± 81.000 km) yang menjadikan Indonesia menempati urutan kedua setelah Kanada sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Kekuatan inilah yang merupakan potensi besar untuk memajukan perekonomian Indonesia. Kekuatan maritim Indonesia pun telah dikuatkan melalui sejarah kerajaan nusantara. Seperti yang diungkapkan oleh Sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang mengatakan bahwa Kehancuran kerajaan di Nusantara, khususnya di Jawa karena singgasana rajanya dialihkan dari laut. Mantan Kalakhar Bakorkamla RI Laksdya TNI (Purn) Djoko Sumaryono mengatakan Nusantara pernah berjaya dengan armada lautnya. Tengok saja Sriwijaya (684-1377) dan Majapahit (1251-1459). Kerajaan tersebut setelahnya mengubah haluan kekuatan bukan di laut maka terjadi keruntuhan. Menurut Djoko, Indonesia pernah mengembalikan kekuatan lautnya era Soekarno. Setelah di bawah penjajahan, mental negara maritim diubah menjadi negara pedalaman yang terpuruk dalam nalar mistik. “Inilah era pembodohan yang tak ingin kita maju sebagai bangsa maritim. Soekarno sadar potensi maritim sangat besar sehingga pada 1960 dibentuk Dewan Maritim saat pembentukan Kabinet Dwikora. Ada juga Kemenko Bidang Maritim, di bawahnya Menteri Perhubungan, Menteri Perikanan dan Pengolahan Laut, dan Menteri Perindustrian Maritim.
Maritim dan Kelautan Dua Hal yang Berbeda Apakah yang ada di benak anda ketika mendengar kata maritim dan kelautan ? pasti sebagian kita akan berfikir bahwa maritim dengan kelautan adalah dua hal yang sama padahal itu sangat jauh berbeda. Nah anda bisa langsung membacanya dibawah ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian laut adalah kumpulan air asin (dalam jumlah yang banyak dan luas) yang menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau, sedangkan kelautan hanya dijelaskan sebagai “perihal yang berhubungan dengan laut”. Berhubungan di sini dapat saja diartikan sebagai dekat, menyentuh, bersinggungan. Atau, apabila kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, berhubungan berarti bersangkutan (dengan); ada sangkut pautnya (dengan); bertalian (dengan); berkaitan (dengan): atau bertemu (dengan); mengadakan hubungan (dengan): atau bersambung dengan. Dari uraian pengertian ini jelas bahwa istilah kelautan lebih cenderung melihat kelautan dan laut sebagai bentuk fisiknya, sebagai physical entity atau physical property. Kelautan dalam arti luas mungkin saja dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mempunyai kepentingan dengan laut sebagai hamparan air asin yang sangat luas yang menutupi permukaan bumi (Arsyad, R., 2012). Maritim, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai berkenaan dengan laut; berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Dalam bahasa Inggris, kata yang digunakan untuk menunjukkan sifat atau kualitas yang menyatakan penguasaan terhadap laut adalah seapower. Istilah maritim juga mengandung ambiguitas. Apakah maritim yang dimaksud adalah maritim dalam pengertian sempit yaitu hanya berhubungan dengan angkatan laut atau angkatan laut dalam hubungan dengan kekuatan darat dan udara, atau bahkan dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu angkatan laut dan semua kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan komersial nonmiliter terhadap laut.
Dilihat dari arti kata secara luas, kata kelautan mungkin lebih cenderung mengartikan laut sebagai wadah, yaitu sebagai hamparan air asin yang sangat luas yang menutupi permukaan bumi, hanya melihat fisik laut dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, istilah maritim sesungguhnya lebih komprehensif, yaitu tidak hanya melihat laut secara fisik, wadah dan isi, tetapi juga melihat laut dalam konteks geopolitik, terutama posisi Indonesia dalam persilangan antara dua benua dan dua samudra serta merupakan wilayah laut yang sangat penting bagi perdagangan dunia. Pengertian ini sesuai pula dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengartikan maritim sebagai berkenaan dengan laut; berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut (Arsyad, R., 2012). Kekayaan Maritim harus Dimanfaatkan sebaik mungkin Menurut pengamat maritim Universitas Diponegoro (Undip), Sahala Hutabarat, untuk mengembangkan potensi sumber kekayaan laut pemerintah harus memiliki visi maritim. Karena jika potensi sumber kekayaan laut dioptimalkan mampun mensejahterakan masyarakat pesisir. Sahala juga mengkritik peran pemerintah yang tidak memiliki konsep visi negara maritim. Seharusnya, kata Sahala, kementerian/lembaga yang terkait kemaritiman harusnya sudah mulai membangun konsep negara maritim. “Coba lihat nasib nelayan kita. Mereka hidup di bawa garis kemiskanan. Jika cuaca buruk, nelayan tidak bisa melaut. Otomatis mereka tidak ada income,” ujarnya.
Lanjut Sahala, ada 1 kementerian yang terkait dengan kemaritiman. Adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, Kementerian
Perindustrian,
Kementrian
Kementerian
Perhubungan,
Menteri
Lingkungan,
Kordinator
Kementerian
Kesejahteraan
PU,
rakyat,
Kementerian Koperasi. “Dari 12 kementerian itu yang harus memiliki konsep
membangun negara maritime. Sehingga dapat mengoptimalkan sumber kekayaan laut,” terangnya. Peraturan perundang-undangan yang kurang jelas beserta penerapannya Perlu kita ketahui bersama bahwa undang-undang yang di buat oleh pemerintah tidak serta merta menguntungkan masyarakat kecil khususnya para nelayan. Di antara undang-undang yang merugikan masyarakat adalah : Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 yang mengatur tentang pembagian wilayah perikanan Indonesia menjadi tiga bagian (seperti disebutkan sebelumnya) memberi dampak negatif kepada penduduk lokal sekitar pantai. Ketentuan jalurjalur penangkapan (menjadi tiga bagian) tersebut memeri kebebasan kepada setiap individu atau kelompok atau perusahaan untuk menangkap ikan dimana saja di Indonesia asalkan masih dalam jalur. Masyarakat nelayan kecil di sekitar pantai yang sebagian besar tidak akses terhadap teknologi penangkapan yang canggih tentu akan semakin terpinggirkan dengan munculnya aturan ini. Undang-Undang perikanan tidak memperhatikan kelestarian ikan dan lingkungan secara spesifik seperti halnya sasi. Dalam sasi, diberlakukan sistem buka tutup sasi. Hal ini dilakukan untuk menjaga kelestariaan ikan agar tidak punah dan tidak terganggu reproduksinya. Peraturan semacam ini tidak dijumpai di tingkat makro. Undang-Undang hanya memberlakukan danksi tentang penggunaan
alat
penangkap
yang
merusak
kelestarian
serta
melarang
penangkapan ikan yang dapat merusak kelestarian ikan dan laut tanpa menjelaskan lebih detail hal-hal dan kegiatan-kegiatan apa saja yang termasuk merusak kelestarian ikan dan lingkungan. Dalam
masyarakat
tradisional,
sumberdaya
sekitar
daerahnya
dimanfaatkan bersama untuk kepentingan bersama dalam masyarakat lokal tersebut. Sementara peraturan pemerintah yang memperbolehkan semua orang (yang memeiliki Surat Izin Penangkapan Ikan) melakukan penangkapan ikan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan hidup sepanjang tidak merugikan dan
tidak merusak kelestarian lingkungan. Hal ini tentu saja menenggelamkan masyarakat lokal yang seharusnya memiliki akses lebih terhadap sumberdaya di daerahnya sendiri. Kebanyakan perusahaan perikanan yang bermodal besar dan berteknologi tinggi menegksploitasi laut mengalahkan masyarakat lokal yang melakukan penangkapan ikan dengan alat ala kadarnya. Pengelolaan sumber daya alam lebih mengutamakan agraria dibandingkan maritim Jauh sebelum masa kemerdekaan, Indonesia ternyata sudah dikenal dunia sebagai Bangsa yang memiliki peradaban maritim maju. Bahkan, bangsa ini pernah mengalami masa keemasan pada awal abad ke-9 Masehi. Sejarah mencatat bangsa Indonesia telah berlayar jauh dengan kapal bercadik. Dengan alat navigasi seadanya, mereka telah mampu berlayar ke utara, lalu ke barat memotong lautan Hindia hingga Madagaskar dan berlanjut ke timur hingga Pulau Paskah. Dengan kian ramainya arus pengangkutan komoditas perdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di Nusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang besar. Memasuki masa kerajaan Sriwijaya, Majapahit hingga Demak, Nusantara adalah negara besar yang disegani di kawasan Asia maupun di seluruh dunia. Sebagai kerajaan maritim yang kuat di Asia Tenggara, Sriwijaya (683-1030 M) telah mendasarkan politik kerajaannya pada penguasaan alur pelayaran dan jalur perdagangan serta menguasai wilayah-wilayah strategis yang digunakan sebagai pangkalan kekuatan lautnya. Tidak hanya itu, ketangguhan maritim kita juga ditunjukkan oleh Singasari di bawah pemerintahan Kertanegara pada abad ke-13. Dengan kekuatan armada laut yang tidak ada tandingannya, pada tahun 1275 Kertanegara mengirimkan ekspedisi bahari ke Kerajaan Melayu dan Campa untuk menjalin persahabatan agar bersama-sama dapat menghambat gerak maju Kerajaan Mongol ke Asia Tenggara. Tahun 1284, ia menaklukkan Bali dalam ekspedisi laut ke timur.
Puncak kejayaan maritim nusantara terjadi pada masa Kerajaan Majapahit (1293-1478). Di bawah Raden Wijaya, Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit berhasil menguasai dan mempersatukan nusantara. Pengaruhnya bahkan sampai ke negara-negara asing seperti Siam, Ayuthia, Lagor, Campa (Kamboja), Anam, India, Filipina, China. Kilasan sejarah itu tentunya memberi gambaran, betapa kerajaan-kerajaan di nusantara dulu mampu menyatukan wilayah nusantara dan disegani bangsa lain, karena paradigma masyarakatnya yang mampu menciptakan visi maritim sebagai bagian utama dari kemajuan budaya, ekonomi, politik dan sosial. Tentu saja, sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwasanya Sriwijaya dan Majapahit pernah menjadi kiblat di bidang maritim, kebudayaan, dan agama di seluruh wilayah Asia. Arah kebijakan dan politik luar negeri pemerintah menentukan eksistensi Indonesia sebagai Negara Maritim. Pada 1957 digagas Deklarasi Djuanda. Sejak itu Indonesia menjadi satu kesatuan. Dilanjutkan pada Konvensi Hukum Laut Internasional/UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982, yang menambah luas wilayah Indonesia. Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa letak geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil dengan sifat dan corak tersendiri. Deklarasi tersebut juga menyatakan bahwa demi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan negara yang ada di dalamnya, pulau-pulau serta laut yang ada harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang ditetapkan UU No:4/Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Tetapi sekarang Paradigma pembangunan kita umumnya masih memusatkan perhatiannya untuk mengalokasikan sumberdaya pembangunan yang ada kepada sektor-sektor atau wilayah-wilayah yang berpotensi besar dalam menyumbang pada pertumbuhan ekonomi, yang pada umumnya berlokasi di kawasan darat. Dimana paradigma yang terus berlangsung sampai saat ini oleh para pengambil kebijakan di tingkat pusat dan daerah lebih berorientasi ke darat daripada sektor laut. Sudah saatnya bangsa kita merubah cara pandang pembangunan dari pembangunan yang semata berbasis daratan (Land based development) menjadi
lebih berorientasi kepada pembangunan berbasis kelautan (Ocean based development), mengingat negara kita adalah negara kepulauan yang sudah diakui dunia dan terakomodasi dalam UUD 1945 pasal 25A. Oleh sebab itu, orientasi pembangunan yang lebih memperhatikan wilayah daratan perlu diubah mengingat laut merupakan sumber penghidupan di masa depan. Paradigma pembangunan di sektor kelautan yang menyimpan kekayaan alam yang luar biasa menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk mengembalikan kejayaan bangsa ini sebagai negara maritim. Potensi Maritim Mampu Sejahterakan Rakyat Pakar Kelautan IPB Rochmin Dahuri dalam seuah kesempatan menyampaikan bahwa Indonesia ibarat raksasa yang tertidur. Negeri ini belum dapat
mentransformasikan
potensi
ekonomi
maritim
menjadi
sumber
kemakmuran, kemajuan, dan kedaulatan bangsa. Dari 114 pelabuhan umum, tidak satu pun memenuhi standar pelayanan internasional. Selama Orde Baru, kredit untuk sektor ekonomi kelautan kurang dari 15 persen dan untuk sektor perikanan hanya 0,02 persen dari total kredit. Wajar jika hingga kini kontribusi ekonomi kelautan hanya 30 persen PDB. Padahal, negara-negara dengan potensi laut yang jauh lebih kecil, seperti Jepang, Korea Selatan, Thailand, China, Islandia, dan Norwegia, sumbangan ekonomi kelautannya terhadap PDB mereka rata-rata mencapai 40 persen. Pakar ekonomi maritim, Tridoyo Kusumastanto menyebutkan bahwa Potensi maritim lndonesia yang dapat diperbaharui dipandang dari segi Perikanan meliputi; Perikanan Laut (Tuna/Cakalang, Udang, Demersal, Pelagis Kecil, dan lainnya) sekitar 4.948.824 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 15.105.011.400, Mariculture (rumput laut, ikan, dan kerang-kerangan serta Mutiara sebanyak 528.403 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 567.080.000, Perairan Umum 356.020 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 1.068.060.000, Budidaya Tambak 1.000.000 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 10.000.000.000, Budidaya Air
Tawar 1.039,100 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 5.195.500.000, dan Potensi Bioteknologi Kelautan tiap tahun sebesar US$ 40.000.000.000, secara total potensi Sumberdaya Perikanan Indonesia senilai US$ 71.935.651.400 dan yang baru sempat digali sekitar US$ 17.620.302.800 atau 24,5 persen. Potensi tersebut belum termasuk hutan mangrove, terumbu karang serta energi terbarukan serta jasa seperti transportasi, pariwisata bahari yang memiliki peluang besar untuk dikembangkan.
Gambar Salah satu bukti nyata potensi kemaritiman dalam bidang perikanan dan wisata bawah laut
Menurut Richardson yang meneliti pada tahun 2008 bahwa sekitar 70 persen produksi minyak dan gas bumi berasal dari kawasan pesisir dan lautan. Dari 60 cekungan yang potensial mengandung migas, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya enam di daratan. Potensi cadangan minyak buminya 11,3 miliar barel dan gas 101,7 triliun kaki kubik. Belum lama ini, ditemukan jenis energi baru pengganti BBM berupa gas hidrat dan biogenik di lepas pantai barat Sumatra, selatan Jawa Barat, dan bagian utara Selat Makassar, dengan potensi melebihi seluruh potensi migas. Dari hasil penelitian BPPT (1998) dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70 persen atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11
baru diteliti sebagian, sedangkan 29 belum terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 miliar barel setara minyak, namun baru 16,7 miliar barel yang diketahui dengan pasti, 7,5 miliar barel di antaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89,5 miliar barel berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 miliar barel terkandung di lepas pantai, yang lebih dari separuhnya atau sekitar 32,8 miliar barel terdapat di laut dalam. Sementara itu untuk sumberdaya gas bumi, cadangan yang dimiliki Indonesia sampai dengan tahun 1998 mencapai 136,5 Triliun Kaki Kubik (TKK). Cadangan ini mengalami kenaikan bila dibandingkan tahun 1955 yang hanya sebesar 123,6 Triliun Kaki Kubik. Sedangkan Potensi kekayaan tambang dasar laut seperti aluminium, mangan, tembaga, zirconium, nikel, kobalt, biji besi non titanium, vanadium, dan lain sebagainya yang sampai sekarang belum teridentifikasi dengan baik sehingga diperlukan teknologi yang maju untuk mengembangkan potensi tersebut.
Langkah-langkah yang perlu dilaksanakan dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim yang kuat, mandiri dan berpihak pada kesejahteraan rakyat, yaitu Kepastian perundang-undangan di bidang kelautan perlu disusun dan ditetapkan sebagai jaminan yang akan memberi kepastian hukum dan akan menjadi rambu-rambu dalam pengelolaan pembangunan kelautan. Dukungan legislatif terhadap eksekutif dalam menyusun rencana anggaran pembangunan yang terkait dengan bidang kelautan sangat penting untuk meningkatkan kapasitas pembangunan kelautan nasional. Oleh karena itu, sudah saatnya sekarang ini diperlukan perubahan visi pembangunan nasional dari visi daratan (kontinental) menjadi visi Indonesia sebagai negara kepulauan. Perubahan visi ini harus disertai oleh kesiapan SDM kita dalam mengelola pembangunan kelautan tersebut secara berkelanjutan. Selain itu juga agar peran ekonomi kelautan dapat terus dikembangkan untuk meningkatkan kemakmuran bangsa maka diperlukan sebuah pergeseran paradigma pembangunan yang lebih memahami jatidiri bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari dan negara kepulauan terbesar didunia serta memadukan kekuatan ekonomi berbasis darat dan laut sebagai sebagai sinergi kekuatan ekonomi nasional (Dahuri, R., 2013). Pesatnya
perkembangan teknologi dan tuntutan penyediaan kebutuhan
sumberdaya yang semakin besar mengakibatkan sektor kelautan menjadi sangat penting bagi pembangunan nasional. Oleh karena itu, perubahan orientasi pembangunan nasional Indonesia ke arah pendekatan maritim merupakan suatu hal yang sangat penting dan mendesak. Wilayah laut harus dapat dikelola secara profesional dan proporsional serta senantiasa diarahkan pada kepentingan asasi bangsa Indonesia. Beberapa fungsi laut yang harusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam menetapkan kebijakan-kebijakan berbasis maritim adalah; laut sebagai media pemersatu bangsa, media perhubungan, media sumberdaya, media pertahanan dan keamanan sebagai negara kepulauan serta media untuk membangun pengaruh ke seluruh dunia. Oleh karena itu, sebagai suatu langkah yang konkrit, dibutuhkan semangat yang konsisten dan kerja nyata demi mengembalikan kejayaan maritim bangsa
Indonesia. Tentunya, juga diperlukan suatu gerakan moral untuk terus mengumandangkan semangat maritim ini pada semua lapisan masyarakat Indonesia untuk kembali menyadari keberadaan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Minimnya keberpihakan kepada sektor maritim (maritime policy) salah satunya menyebabkan masih semrawutnya penataan Selat Malaka yang sejatinya menjadi sumber devisa, hal lainnya adalah pelabuhan dalam negeri belum menjadi international hub port, ZEE yang masih terlantar, penamaan dan pengembangan pulau-pulau kecil, terutama di wilayah perbatasan negara tidak kunjung tuntas, serta makin maraknya praktikillegal fishing, illegal drug traficking, traficking, kejahatan trans-nasional dimana semakin meningkatnya penyelundupan di perairan Indonesia. Padahal, sejatinya posisi strategis Indonesia banyak memberikan manfaat, setidaknya dalam tiga aspek, yaitu; alur laut kepulauan bagi pelayaran internasional (innocent passage, transit passage, dan archipelagic sea lane passage) berdasarkan ketentuan IMO; luas laut territorial yang dilaksanakan sejak Deklarasi Djuanda 1957 sampai dengan Unclos 1982 yang mempunyai sumberdaya kelautan demikian melimpah; dan sumber devisa yang luar biasa jika dikelola dengan baik (Atmaja, M., 1996). Pemerintah memang saat ini sedang berkonsentrasi dalam pengembangan teknologi maritim Indonesia. Namun, selain perbaikan dan perhatian khusus yang diberikan dalam bidang teknologi untuk mengelola sumber daya alam di laut Indonesia, diperlukan juga sebuah pengembangan pelabuhan dan transportasi laut untuk mendorong kegiatan maritim Indonesia menjadi lebih modern dan mudah digunakan oleh masyarakat. Diharapkan juga peran swasta untuk mendukung jalannya pemberdayaan laut ini, supaya program-program ini tidak hanya bergantung pada dana APBN saja. Dari sisi pertahanan, penguasaan laut berarti mampu menjamin penggunaan laut untuk kepentingan nasional dan mencegah lawan menggunakan potensi laut yang kita miliki. Pemerintah perlu segera menyelesaikan percepatan
batas wilayah laut agar dapat memberikan memberikan kepastian atas batas wilayah negara dan dapat mempererat hubungan bilateral antara negara yang berbatasan, serta mendorong kerja sama kedua negara yang berbatasan di berbagai bidang termasuk dalam pengelolaan kawasan perbatasan, misal terkait pelayaran, kelautan dan perikanan. Selain itu, dengan adanya kepastian batas wilayah laut dapat terpelihara kedaulatan suatu negara dan penegakkan hukum di wilayah perairan. Seperti yang diketahui, Indonesia memiliki perbatasan maritim dengan 10 (sepuluh) negara yaitu dengan India (Landas Kontinen, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)), Thailand (Landas Kontinen, ZEE), Malaysia (Laut Wilayah, ZEE, Landas Kontinen), Singapura (Laut Wilayah), Vietnam (Landas Kontinen, ZEE), Filipina (ZEE, Landas Kontinen), Palau (ZEE, Landas Kontinen), Papua Nugini (ZEE , Landas Kontinen), Timor Leste (Laut Wilayah, Landas Kontinen, ZEE) dan Australia (ZEE, Landas Kontinen). Dari sejumlah perbatasan itu, Indonesia telah menyelesaikan sebagian penetapan batas maritim dengan India (Landas Kontinen), Thailand (Landas Kontinen), Malaysia (sebagian Laut Wilayah, Landas Kontinen), Singapura (sebagian Laut Wilayah), Vietnam (Landas Kontinen), Filipina (ZEE), Papua Nugini (ZEE, Landas Kontinen) dan Australia (ZEE, Landas Kontinen).
Berbagai upaya lainnya perlu dilaksanakan untuk menuju Indonesia sebagai Poros maritim dunia, antara lain penyempurnaan RUU Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung, penyelarasan sistem pendidikan dan pelatihan kemaritiman, penguasaan kapasitas industri pertahanan khususnya industri maritim, modernisasi armada perikanan, penguatan armada pelayaran rakyat dan pelayaran nasional, pemantapan pengelolaan pemanfaatan laut melalui penataan ruang wilayah laut, peningkatan litbang kemaritiman, dan diversifikasi sumber energi terbarukan di laut. Semoga Indonesia kembali berjaya di Lautan, seperti nenek moyang dahulu.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, R., 2012, Kelautan atau Maritim?, shnews.co, Minggu, 21 Juni 2015 Dahuri, R., 2013, Momentum Mengembalikan Kejayaan Negara Maritim, Koran Sindo, Jum'at, 13 Desember 2013 Dewan Kelautan Indonesia, 2011, Satukan NKRI Dengan Mewujudkan Negara Maritim Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012, Kebijakan Ekonomi Kelautan dengan Model Ekonomi Biru, Jakarta. http://www.wawasan%20kemaritiman/Opini%20%20Membangun%20kelautan %20untuk%20mengembalikan%20kejayaan%20sebagai%20negara %20maritim.Html. Diakses Hari Jum’at, 19 Juni 2015. http://www./wawasan%20kemaritiman/Indonesia%20Raksasa%20Maritim%20%20APMI.html. Diakses Hari Jum’at, 19 Juni 2015. http://www./wawasan%20kemaritiman/Indonesia%20Poros%20Maritim %20Dunia%20%20%20PASKEM.html. Diakses Hari Minggu, 21 Juni 2015.
WAWASAN KEMARITIMAN ESSAY TEMA
: POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGEMBANGAN MARITIM INDONESIA DARI PRESPEKTIF ILMU PENGETAHUAN & TEKNOLOGI
OLEH : NAMA :
SUCI RAHMAWATI PUTRI
NIM
O1A1 14 055
:
KELAS :
B
JURUSAN FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2015