1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyak Penyakit it diare diare merupa merupakan kan penyak penyakit it kedua kedua terban terbanyak yak di seluru seluruh h dunia dunia setelah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Penyakit ini diperkirakan ditemukan 1 milyar kasus per tahun dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak-anak di Asia, Afrika, dan Amerika Latin (Abdullah, 2006). Penyakit diare di Indonesia sampai saat ini masih merupakan salah satu penyakit endemis dan masih sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di masyarakat oleh karena seringnya terjadi peningkatan kasus-kasus pada saat atau musim-musim tertentu yaitu pada musim kemarau dan pada puncak musim hujan. Penyakit diare masih termasuk dalam 10 penyakit terbesar di Indonesia tahun 1999 sebesar 5 per 1000 penduduk dan menduduki urutan kelima dan 10 penyakit terbesar (Depkes RI, 2005b). Hasil survei Program Pemberantasan (P2) Diare di Indonesia menyebutkan bahwa angka kesakitan diare di Indonesia pada tahun 2000 sebesar 301 per 1.000 penduduk dengan episode diare balita adalah 1,0 – 1,5 kali per tahun. Tahun 2003 angka kesakitan penyakit ini meningkat menjadi 374 per 1.000 penduduk dan merupakan penyakit dengan frekuensi KLB kedua tertinggi setelah DBD. Survei Departemen Departemen Kesehatan pada tahun 2003, penyakit diare menjadi menjadi penyebab penyebab kematian nomor dua pada balita, nomor tiga pada bayi, dan nomor lima pada semua semua umur. umur. Kejadi Kejadian an diare diare pada pada golong golongan an balita balita secara secara propor proporsio sional nal lebih lebih banyak dibandingkan kejadian diare pada seluruh golongan umur yakni sebesar 55% (Depkes RI, 2005b). Pember Pemberian ian ASI di Indone Indonesia sia belum belum dilaks dilaksana anakan kan sepenu sepenuhny hnya. a. Upaya Upaya meningkatkan perilaku menyusui pada ibu yang memiliki bayi khususnya ASI eksklusif eksklusif masih dirasa kurang. kurang. Permasalahan Permasalahan yang utama adalah faktor sosial budaya, kesadaran akan pentingnya ASI, pelayanan kesehatan dan petugas
2
kesehatan yang belum sepenuhnya mendukung program Peningkatan Pemberian ASI, gencarnya promosi susu formula, dan ibu bekerja (Depkes RI, 2005a). Dari data SDKI 1997 cakupan ASI eksklusif eksklusif masih 52%, pemberian ASI satu satu jam jam pasc pascaa pers persal alin inan an 8%, 8%, pemb pember erian ian hari hari perta pertama ma 52,7 52,7%. %. Rend Rendah ahny nyaa pemberian ASI eksklusif menjadi pemicu rendahnya status gizi bayi dan balita. Dari survei yang dilaksanakan pada tahun 2002 oleh Nutrition & Health (NSS) kerjas kerjasama ama dengan dengan Balitb Balitbang angkes kes dan Helen Helen Keller Keller Surveillance Surveillance System (NSS) Intern Internati ationa onall di 4 perkot perkotaan aan (Jakar (Jakarta, ta, Suraba Surabaya, ya, Semaran Semarang, g, Makasa Makasar) r) dan 8 perdesaan (Sumbar, Lampung, Banten, Jabar, Jateng, Jatim, NTB, Sulsel), menunjukan bahwa cakupan ASI eksklusif 4-5 bulan di perkotaan antara 4%12%, sedangkan sedangkan dipedesaan dipedesaan 4%-25%. Pencapaian Pencapaian ASI eksklusif eksklusif 5-6 bulan di perkotaan perkotaan berkisar antara 1%-13% 1%-13% sedangkan sedangkan di pedesaan pedesaan 2%-13% 2%-13% (Depkes (Depkes RI, 2005a). ASI, ASI, selain selain mengan mengandun dung g gizi gizi yang yang cukup cukup lengka lengkap, p, mengan mengandun dung g imun imun untuk kekebalan tubuh bayi. Keunggulan lainnya, ASI disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu formula atau atau makana makanan n tambah tambahan an yang yang diberik diberikan an secara secara dini dini pada pada bayi. bayi. Susu Susu formul formulaa sangat susah diserap usus bayi. Pada akhirnya, bayi sulit buang air besar. Apabila pembuatan susu formula tidak steril, bayi pun rawan diare. Kandungan gizinya pun tidak sama dengan kandungan gizi pada ASI (Arianto, 2008). Kejadi Kejadian an diare diare pada pada balita balita dapat dapat saja saja terjadi terjadi karena karena ketida ketidakta ktahua huan n ibu mengenai tata cara pemberian ASI kepada anaknya. Berbagai aspek kehidupan kota telah membawa pengaruh terhadap ibu untuk tidak menyusui bayi mereka, padahal makanan pengganti yang bergizi tinggi, jauh dari jangkauan ekonomi mereka. Pengaruh buruk itu kian hari kian jauh menjalar ke pedesaan, dan dapat dibuktikan dengan berkurangnya jumlah ibu yang menyusui bayi mereka dari tahun ke tahun. Keadaan ini juga membawa pengaruh buruk terhadap kejadian diare pada anak (Arianto, 2008).
2
kesehatan yang belum sepenuhnya mendukung program Peningkatan Pemberian ASI, gencarnya promosi susu formula, dan ibu bekerja (Depkes RI, 2005a). Dari data SDKI 1997 cakupan ASI eksklusif eksklusif masih 52%, pemberian ASI satu satu jam jam pasc pascaa pers persal alin inan an 8%, 8%, pemb pember erian ian hari hari perta pertama ma 52,7 52,7%. %. Rend Rendah ahny nyaa pemberian ASI eksklusif menjadi pemicu rendahnya status gizi bayi dan balita. Dari survei yang dilaksanakan pada tahun 2002 oleh Nutrition & Health (NSS) kerjas kerjasama ama dengan dengan Balitb Balitbang angkes kes dan Helen Helen Keller Keller Surveillance Surveillance System (NSS) Intern Internati ationa onall di 4 perkot perkotaan aan (Jakar (Jakarta, ta, Suraba Surabaya, ya, Semaran Semarang, g, Makasa Makasar) r) dan 8 perdesaan (Sumbar, Lampung, Banten, Jabar, Jateng, Jatim, NTB, Sulsel), menunjukan bahwa cakupan ASI eksklusif 4-5 bulan di perkotaan antara 4%12%, sedangkan sedangkan dipedesaan dipedesaan 4%-25%. Pencapaian Pencapaian ASI eksklusif eksklusif 5-6 bulan di perkotaan perkotaan berkisar antara 1%-13% 1%-13% sedangkan sedangkan di pedesaan pedesaan 2%-13% 2%-13% (Depkes (Depkes RI, 2005a). ASI, ASI, selain selain mengan mengandun dung g gizi gizi yang yang cukup cukup lengka lengkap, p, mengan mengandun dung g imun imun untuk kekebalan tubuh bayi. Keunggulan lainnya, ASI disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu formula atau atau makana makanan n tambah tambahan an yang yang diberik diberikan an secara secara dini dini pada pada bayi. bayi. Susu Susu formul formulaa sangat susah diserap usus bayi. Pada akhirnya, bayi sulit buang air besar. Apabila pembuatan susu formula tidak steril, bayi pun rawan diare. Kandungan gizinya pun tidak sama dengan kandungan gizi pada ASI (Arianto, 2008). Kejadi Kejadian an diare diare pada pada balita balita dapat dapat saja saja terjadi terjadi karena karena ketida ketidakta ktahua huan n ibu mengenai tata cara pemberian ASI kepada anaknya. Berbagai aspek kehidupan kota telah membawa pengaruh terhadap ibu untuk tidak menyusui bayi mereka, padahal makanan pengganti yang bergizi tinggi, jauh dari jangkauan ekonomi mereka. Pengaruh buruk itu kian hari kian jauh menjalar ke pedesaan, dan dapat dibuktikan dengan berkurangnya jumlah ibu yang menyusui bayi mereka dari tahun ke tahun. Keadaan ini juga membawa pengaruh buruk terhadap kejadian diare pada anak (Arianto, 2008).
3
Kecamatan Kecamatan Medan Area mempunyai mempunyai angka kejadian kejadian diare yang cukup tinggi untuk kota Medan (BPS, 2007). Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang diare di kecamatan tersebut.
1.2 Perumusan Masalah
Berdas Berdasark arkan an uraian uraian di atas, atas, dapat dapat dirumu dirumuska skan n masala masalah h “apaka “apakah h ada perbedaan antara frekuensi diare pada bayi berusia 7-12 bulan yang mendapat ASI eksklusif dengan yang tidak mendapat ASI eksklusif.”
1.3 Tujuan 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui adanya perbedaan frekuensi diare pada bayi berusia 712 bulan yang mendapatkan mendapatkan ASI eksklusif eksklusif dengan yang tidak mendapat mendapat ASI eksklusif. 1.3.2. Tujuan Khusus
1.
Menget Mengetahu ahuii gambar gambaran an riwaya riwayatt pember pemberian ian ASI eksklu eksklusif sif pada pada bayi bayi berusi berusiaa 7-12 bulan di Puskesmas Medan Area Selatan, Sela tan, Medan tahun 2009.
2.
Untuk Untuk menget mengetahu ahuii gamb gambara aran n frekuen frekuensi si diare diare pada pada bayi bayi berusi berusiaa 7-12 7-12 bulan bulan yang yang mendap mendapatk atkan an ASI eksklu eksklusif sif di Puske Puskesma smass Medan Medan Area Area Selata Selatan, n, Medan tahun 2009.
3.
Untuk Untuk menget mengetahu ahuii gamb gambara aran n frekuen frekuensi si diare diare pada pada bayi bayi berusi berusiaa 7-12 7-12 bulan bulan yang tidak mendapatkan ASI eksklusif di Puskesmas Medan Area Selatan, Medan tahun 2009.
1.4 Manfaat
4
1.
Bagi puskesmas, sebagai bahan masukan untuk evaluasi program peningkatan pemberian ASI secara eksklusif, sehingga angka kejadian diare dapat ditekan.
2.
Sebagai penambah pengetahuan tentang pemberian ASI bagi masyarakat di lokasi penelitian.
3.
Sebagai
pengalaman
yang
sangat
berharga
sekaligus
tambahan
pengetahuan bagi penulis. 4.
Dengan terwujudnya hasil penelitian ini, diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran serta referensi bagi rekan-rekan mahasiswa, khususnya para peneliti berikutnya. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diare Akut 2.1.1. Definisi
Diare adalah keluarnya tinja yang lunak atau cair sebanyak 3 kali atau lebih per hari, atau yang lebih sering daripada orang yang sehat. Diare biasanya merupakan gejala dari infeksi gastrointestinal, yang bisa disebabkan oleh beragam bakteri, virus, maupun parasit (WHO, 2009a) & (Riley, 2008). Diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari, dengan/tanpa darah dan/atau lendir dalam tinja. Diare akut ialah diare yang terjadi secara mendadak pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat (Noerasid, 2003). Menurut Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI (2007), Diare diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dan frekuensinya lebih banyak dari biasanya. Neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari 4 kali. Sedangkan untuk bayi berumur lebih dari satu bulan dan anak dikatakan diare bila frekuensinya lebih dari 3 kali.
2.1.2. Epidemiologi
5
Penyakit diare akut lebih sering terjadi pada balita dari pada anak yang lebih besar. Kejadian diare akut pada anak laki-laki 5actor sama dengan anak perempuan. Penyakit ini ditularkan secara fecal-oral melalui makanan dan minuman yang tercemar atau kontak langsung dengan tinja penderita. Prevalensi diare yang tinggi di 5actor berkembang merupakan kombinasi dari sumber air yang tercemar, kekurangan protein yang menyebabkan turunnya daya tahan tubuh. Penurunan angka kejadian diare pada bayi di 5actor-negara maju, erat kaitannya dengan pemberian ASI, yang sebagian disebabkan oleh kurangnya pencemaran minum anak dan sebagian lagi karena 5actor pencegahan imunologik dari ASI (Noerasid, 2003).
2.1.3. Patofisiologi
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari patofisiologi berikut, yakni gangguan osmotik dan gangguan sekretorik. (Riley, 2008): a. Gangguan Osmotik
Terjadi apabila ada zat makanan yang tidak diserap di usus halus. Hal tersebut dapat menyebabkan tekanan osmotik di dalam usus meninggi. Sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. b. Gangguan Sekretorik
Akibat rangsangan enterotoksin, terjadi perubahan status ion transport pada sel-sel epitel usus halus menjadi aktif sekresi (Guandalini, 2009). Hal ini menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus mengeluarkannya sehingga timbul diare.
2.1.4. Penyebab
Berdasarkan patofisiologinya, penyebab diare dibagi menjadi (Noerasid, 2003): a. Diare Sekresi
6
a. Infeksi, Penyebab utama oleh virus yang terutama ialah Rotavirus, virus Norwalk, Adenovirus. Bakteri yang dapat menyebabkan diare adalah
Aeromonas hydrophilia, Bacillus cereus, Compylobacter jejuni, Clostridium defficile, Clostridium perfringens, E. coli, Shigelloides, Salmonella spp, Staphylococus aureus , Vibrio cholera, dan Yersinia enterocolitica. Penyebab diare oleh parasit adalah Balantidium coli, Cryptosporodium, Entamoba
hystolitica, Giardia lambdia, Isospora billi, Fasiolopsis buski, Sarcocystis suihominis, Strongiloides stercoralis, dan Trichuris trichiura.
b. Hiperperistaltis usus halus c. Defisiensi imun, terutama SIgA ( secretory Immunoglobulin A). b. Diare Osmotik
a. Malabsorbsi makanan b. Kekurangan kalori protein c. Bayi dengan berat badan lahir rendah dan bayi baru lahir 2.1.5. Manifestasi Klinis
Mula-mula anak balita menjadi cengeng, gelisah, suhu badan meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja cair, mungkin disertai lendir atau lendir dan darah. Warna tinja makin lama berubah kehijau-hijauan karena tercampur empedu, karena seringnya defekasi, anus dan sekitarnya lecet karena tinja makin lama menjadi asam akibat banyaknya asam laktat, yang berasal dari laktosa yang tidak diabsorbsi oleh usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum dan atau sesudah diare. Anak-anak yang tidak mendapatkan perawatan yang baik selama diare akan jatuh pada keadaankeadaan seperti dehidrasi, gangguan keseimbangan asam-basa, hipoglikemia, gangguan gizi, gangguan sirkulasi. (Noerasid, 2003).
2.1.6. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium penting artinya dalam menegakkan diagnosis (kausal) yang tepat sehingga kita dapat memberikan obat yang tepat pula. Pemeriksaan yang perlu dikerjakan antara lain:
7
a. Pemeriksaan
tinja,
meliputi
pemeriksaan
makroskopis
dan
mikroskopis, biakan kuman untuk mencari kuman penyebab, dan tes resistensi terhadap antibiotik b. Pemeriksaan darah, meliputi pemeriksaan darah lengkap, pH darah dan elektrolit, dan kadar ureum untuk mengetahui faal ginjal
2.1.7. Komplikasi
Menurut Noerasid (2003), beberapa komplikasi diare yang dapat terjadi, antara lain:
a. Dehidrasi
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air lebih banyak daripada pemasukan air. Derajat dehidrasi dapat dibagi berdasarkan gejala klinis dan kehilangan berat badan. Derajat dehidrasi menurut kehilangan berat badan, diklasifikasikan menjadi empat, dapat dilihat dari tabel berikut : Tabel 2.1 Derajat Dehidrasi Berdasarkan Kehilangan Berat Badan
Derajat dehidrasi Tidak dehidrasi Dehidrasi ringan Dehidrasi sedang Dehidrasi berat
Penurunan berat badan (%) <2½ 2½-5 5-10 10 ( Noerasid, 2003)
Derajat dehidrasi berdasarkan gejala klinisnya dapat dilihat pada tabel berikut Tabel 2.2 Derajat Dehidrasi Berdasarkan Gejala Klinis
Penilaian Keadaan umum Mata Air mata Mulut, lidah Rasa haus
A Baik, sadar Normal Ada Basah Minum seperti
B C Gelisah, rewel Lesu, tidak sadar Cekung Sangat cekung Tidak ada Tidak ada Kering Sangat kering Haus, ingin Malas minum,
8
Periksa:Turgor kulit Hasil pemeriksaan
biasa Kembali cepat
minum banyak Kembali lambat
tidak bisa minum Kembali sangat
Tanpa dehidrasi
lambat Dehidrasi ringan/ Dehidrasi
berat
sedang Bila ada Bila ada 1 tanda
Terapi
1 tanda ditambah
ditambah
1/lebih
Rencana
1/lebih tanda lain Rencana
tanda lain Rencana
pengobatan A
pengobatan B
pengobatanC (Depkes RI, 2006)
b. Gangguan Keseimbangan Asam-Basa
Gangguan keseimbangan asam basa yang biasa terjadi adalah metabolik asidosis. Metabolik asidosis ini terjadi karena kehilangan Na-bikarbonat bersama tinja, terjadi penimbunan asam laktat karena adanya anoksia jaringan, produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal, pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler ke dalam cairan intraseluler. c. Hipoglikemia
Pada anak-anak dengan gizi cukup/baik, hipoglikemia ini jarang terjadi, lebih sering terjadi pada anak yang sebelumnya sudah menderita kekurangan kalori protein (KKP). Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun sampai 40 mg% pada bayi dan 50 mg% pada anak-anak. Gejala hipoglikemia tersebut dapat berupa lemas, apatis, tremor, berkeringat, pucat, syok, kejang, sampai koma. d. Gangguan Gizi
Sewaktu anak menderita diare, sering terjadi gangguan gizi dengan akibat terjadinya penurunan berat badan dalam waktu yang singkat. Hal ini disebabkan karena makanan sering dihentikan oleh orang tua. Walaupun susu diteruskan, sering diberikan pengenceran. Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi dengan baik karena adanya hiperperistaltik.
9
e. Gangguan Sirkulasi
Gangguan sirkulasi darah berupa renjatan atau shock hipovolemik. Akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan dalam otak, kesadaran menurun dan bila tidak segera ditolong penderita dapat meninggal
2.1.8. Pengobatan
Menurut Andrianto (1995), prinsip penatalaksanaan diare akut antara lain dengan rehidrasi, nutrisi, medikamentosa.
a. Rehidrasi
Diare cair membutuhkan penggantian cairan dan elektrolit tanpa melihat etiologinya. Jumlah cairan yang diberi harus sama dengan jumlah cairan yang telah hilang melalui diare dan atau muntah, ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui keringat, urin, pernapasan dan ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui tinja dan muntah yang masih terus berlangsung. Jumlah ini tergantung pada derajat dehidrasi serta berat badan masing-masing anak atau golongan umur. Berdasarkan derajat dehidrasi maka terapi pada penderita diare dibagi menjadi tiga, yakni rencana pengobatan A, B dan C. 1) Rencana Pengobatan A
Digunakan untuk mengatasi diare tanpa dehidrasi, meneruskan terapi diare di rumah, memberikan terapi awal bila anak terkena diare lagi. Cairan rumah tangga yang dianjurkan seperti oralit, makanan cair (sup, air tajin), air matang. Gunakan larutan oralit untuk anak seperti dijelaskan dalam tabel berikut : Tabel 2.3 Kebutuhan Oralit per Kelompok Umur
Umur
Jumlah oralit yang
Jumlah oralit yang disediakan di
10
< 12 bulan 1-4 tahun > 5 tahun
diberikan tiap BAB 50-100 ml 100-200 ml 200-300 ml
rumah 400 ml/hari ( 2 bungkus) 600-800 ml/hari ( 3-4 bungkus) 800-1000 ml/hari (4-5 bungkus) (Depkes RI, 2006)
2) Rencana Pengobatan B
Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi ringan dan sedang, dengan cara ; dalam 3 jam pertama, berikan 75 ml/KgBB. Berat badan anak tidak diketahui, berikan oralit paling sedikit sesuai tabel berikut:
Tabel 2.4 Jumlah Oralit yang Diberikan pada 3 Jam Pertama
Umur Berat badan Jumlah oralit
Sampai 4
4-12 bulan
bulan < 6 kg 200-400 ml
6 - <10 kg 400-700 ml
12-24 bulan 10 - <12 kg 700-900 ml
2-5 tahun 12 - 19 kg 900-1400 ml
(Depkes RI, 2006) Berikan anak yang menginginkan lebih banyak oralit, dorong juga ibu untuk meneruskan ASI. Bayi kurang dari 6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, berikan juga 100-200 ml air masak. Setelah 3-4 jam, nilai kembali anak menggunakan bagan penilaian, kemudian pilih rencana A, B atau C untuk melanjutkan pengobatan. 3) Rencana Pengobatan C
Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi berat. Pertama-tama berikan cairan intravena, nilai setelah 3 jam. Jika keadaan anak sudah cukup baik maka berikan oralit. Setelah 1-3 jam berikutnya nilai ulang anak dan pilihlah rencana pengobatan yang sesuai (Depkes RI, 2006).
b. Nutrisi
11
Makanan harus diteruskan bahkan ditingkatkan selama diare untuk menghindarkan efek buruk pada status gizi. Agar pemberian diet pada anak dengan diare akut dapat memenuhi tujuannya, serta memperhatikan faktor yang mempengaruhi keadaan gizi anak, maka diperlukan persyaratan diet sebagai berikut yakni, pasien segera diberikan makanan oral setelah rehidrasi yakni 24 jam pertama, makanan cukup energi dan protein, makanan tidak merangsang, makanan diberikan bertahap mulai dengan yang mudah dicerna, makanan diberikan dalam porsi kecil dengan frekuensi sering. Pemberian ASI diutamakan pada bayi, pemberian cairan dan elektolit sesuai kebutuhan, pemberian vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup. Khusus untuk penderita diare karena malabsorbsi diberikan makanan sesuai dengan penyebabnya, antara lain: Malabsorbsi lemak berikan trigliserida rantai menengah, Intoleransi laktosa berikan makanan rendah atau bebas laktosa, Panmalabsorbsi berikan makanan rendah laktosa, parenteral nutrisi dapat dimulai apabila ternyata dalam 5-7 hari masukan nutrisi tidak optimal (Suandi, 1999)
c. Medikamentosa
Antibiotik dan antiparasit tidak boleh digunakan secara rutin, karena pada umumnya diare merupakan self-limiting disease, kecuali bila agen penyebab telah diketahui. Obat-obat anti diare meliputi antimotilitas seperti loperamid, difenoksilat, kodein, opium, dapat menyebabkan terkumpulnya cairan di lumen usus dan akan menyebabkan bacterial overgrowth , gangguan absorpsi dan digesti. Adsorben seperti Norit, kaolin, attapulgit telah terbukti tidak ada manfaatnya. Anti muntah termasuk prometazin dan klorpromazin terbukti selain mencegah muntah, juga dapat mengurangi sekresi dan kehilangan cairan bersama tinja (Noerasid, 2003).
2.2 ASI 2.2.1. Pengertian ASI
12
Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan yang sempurna untuk bayi segera setelah lahir. ASI mengandung hampir semua zat gizi yang diperlukan oleh bayi dengan komposisi sesuai dengan kebutuhan bayi. Menurut Siregar (2004), ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garam-garam anorganik yang sekresi oleh kelenjar mamae ibu, yang berguna sebagai makanan bagi bayinya. ASI merupakan sumber gizi yang ideal dengan komposisi yang seimbang dam disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan bayi. Sebenarnya ASI tersebut akan dapat memenuhi kebutuhan tumbuh kembang bayi normal sampai usia 6 bulan. Setelah usia 6 bulan, bayi harus mulai diberikan makanan padat. ASI dapat diteruskan sampai usia 2 tahun (Depkes RI, 1997).
2.2.2. Komposisi ASI
Komposisi ASI pada masa laktasi dibagi menjadi 3 (Roesli, 2005), yaitu: a. Kolostrum
Kolostrum merupakan cairan pertama yang berwarna kekuning-kuningan (lebih kuning dibandingkan susu matur). Cairan ini dari kelenjar payudara dan keluar pada hari kesatu sampai hari keempat-tujuh dengan komposisi yang selalu berubah dari hari kehari. Kolostrum mengandung zat anti infeksi 10-17 kali lebih banyak dibandingkan ASI matur. Selain itu, kolostrum dapat berfungsi sebagai pencahar yang ideal untuk membersihkan zat yang tidak terpakai dari usus bayi yang baru lahir dan mempersiapkan saluran pencernaan makanan bayi bagi makanan yang akan datang. b. ASI Peralihan
ASI transisi diproduksi pada hari ke-4 sampai 7 hari ke-10 sampai 14. Pada masa ini kadar protein berkurang, sedangkan kadar karbohidrat dan lemak serta volumenya semakin meningkat. c. ASI Matur
ASI mature merupakan ASI yang diproduksi sejak hari ke-14 dan seterusnya dengan komposisi yang relatif konstan. Pada ibu yang sehat dan
13
memiliki jumlah ASI yang cukup, ASI ini merupakan makanan satu-satunya yang paling baik bagi bayi sampai umur enam bulan.
2.2.3. Aspek Imunologis ASI
Imunoglobulin adalah suatu golongan protein yang mempunyai daya zat anti terhadap infeksi. ASI mengandung antibodi terhadap virus dan bakteri, yaitu Secretory
Immunoglobulin A (SIgA) dengan konsentrasi yang relatif tinggi. SIgA mencegah perlekatan mikroorganisme dengan mukosa usus (Kliegman, 2007). Selain imunoglobulin, ASI mengandung pula faktor-faktor kekebalan seperti berikut ini (Lubis, 2003) dan (Kliegman, 2007):
a. Faktor Bifidus
Merupakan suatu karbohidrat yang mengandung nitrogen, diperlukan untuk pertumbuhan bakteri Lactobacillus bifidus. Dalam usus bayi yang diberi ASI, bakteri ini mendominasi flora bakteri dan memproduksi asam laktat dari laktosa. Asam laktat ini akan menghambat pertumbuhan bakteri yang berbahaya dan parasit lainnya. b. Faktor Laktoferin
Suatu protein yang mengikat zat besi ditemukan terdapat dalam ASI. Zat besi yang terikat tersebut tidak dapat digunakan oleh bakteri-bakteri usus yang berbahaya, yang membutuhkannya untuk pertumbuhan. Oleh karena itu, pemberian zat besi tambahan kepada bayi yang disusui harus dicegah, karena mungkin dapat mempengaruhi daya perlindungan yang diberikan laktoferin c. Faktor Laktoperoksidase
Merupakan enzim yang terdapat dalam ASI dan bersama-sama dengan hidrogen peroksidase dan ion tiosinat membantu membunuh streptokokus d. Faktor Anti Staphylococcus
Faktor tersebut merupakan asam lemak yang melindungi bayi terhadap bakteri stafilokokus.
14
e. Faktor Sel -Sel Fagosit
Merupakan pemakan bakteri yang bersifat patogen. f. Sel Limfosit
Berfungsi untuk mengeluarkan zat antibodi untuk meningkatkan imunitas terhadap penyakit. g. Lisozim
Lisozim berfungsi untuk menghancurkan dinding sel bakteri.
2.2.4. ASI Eksklusif a. Pemberian ASI Eksklusif
Menurut WHO (2009b), ASI eksklusif merupakan pemberian ASI saja kepada bayi mulai dari sejak lahir hingga umur 6 bulan. Kemudian bisa dilanjutkan hingga bayi berusia 2 tahun. ASI eksklusif atau lebih tepatnya pemberian ASI secara eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan tim (Roesli, 2005). Lubis (2003) menambahkan, Setelah bayi berusia 6 bulan pemberian ASI eksklusif, ia harus mulai diperkenalkan dengan makanan padat, dan pemberian ASI dapat diteruskan sampai bayi berusia 2 tahun.
b. Manfaat Pemberian ASI Eksklusif
Menurut Roesli (2005), manfaat pemberian ASI sangat banyak antara lain: 1) Sebagai Nutrisi Terbaik
ASI merupakan sumber gizi yang sangat ideal dengan komposisi yang seimbang karena disesuaikan dengan kebutuhan bayi pada masa pertumbuhannya. ASI adalah makanan yang paling sempurna, baik kualitas maupun kuantitasnya. Dengan melaksanakan tata laksana menyusui yang tepat dan benar, produksi ASI seorang ibu akan cukup sebagai makanan tunggal bagi bayi normal sampai dengan usia 6 bulan. 2) Meningkatkan Daya Tahan Tubuh
15
Bayi yang baru lahir secara alamiah mendapat zat kekebalan atau daya tahan tubuh dari ibunya melalui plasenta. Tetapi kadar zat tersebut akan cepat menurun setelah kelahiran bayi. Sedangkan kemampuan bayi membantu daya tahan tubuhnya sendiri menjadi lambat, selanjutnya akan terjadi kesenjangan daya tahan tubuh. Kesenjangan tersebut dapat diatasi apabila bayi diberi ASI sebab ASI adalah cairan yang mengandung zat kekebalan tubuh yang dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, dan jamur. 3) Tidak Mudah Tercemar
ASI steril dan tidak mudah tercemar, sedangkan susu formula mudah dan sering tercemar bakteri, terutama bila ibu kurang mengetahui cara pembuatan susu formula yang benar dan baik.
4) Melindungi Bayi dari Infeksi
ASI mengandung berbagai antibodi terhadap penyakit yang disebabkan bakteri, virus, jamur dan parasit yang menyerang manusia.. 5) Mudah Dicerna
ASI mudah dicerna, sedangkan susu sapi sulit dicerna karena tidak mengandung enzim pencernaan. 6) Menghindarkan Bayi dari Alergi
Bayi yang diberi susu sapi terlalu dini mungkin menderita lebih banyak masalah alergi, misalnya asma dan alergi terhadap susu sapi.
2.4 Hubungan Pemberian ASI secara Eksklusif dengan Kejadian Diare
Pada waktu bayi baru lahir secara alamiah mendapat zat kekebalan tubuh dari ibunya melalui plasenta, tetapi kadar zat tersebut akan cepat turun setelah kelahiran bayi, padahal dari waktu bayi lahir sampai bayi berusia beberapa bulan, bayi belum dapat membentuk kekebalan sendiri secara sempurna. Sehingga kemampuan bayi membantu daya tahan tubuhnya sendiri menjadi lambat selanjutnya akan terjadi kesenjangan daya tahan tubuh. Kesenjangan daya tahan tersebut dapat diatasi apabila bayi diberi ASI (Roesli, 2005).
16
Persentase bayi yang terkena diare lebih tinggi pada bayi yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif (Kamalia, 2005). Pemberian makanan berupa ASI sampai bayi mencapai usia 4-6 bulan, akan memberikan kekebalan kepada bayi terhadap berbagai macam penyakit karena ASI adalah cairan yang mengandung zat kekebalan tubuh yang dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, jamur dan parasit. Oleh karena itu, dengan adanya zat anti infeksi dari ASI, maka bayi ASI eksklusif akan terlindungi dari berbagai macam infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan parasit. Menurut Puspitaningrum (2006) bahwa ada perbedaan yang signifikan antara bayi yang mendapat ASI eksklusif 6 bulan dengan bayi yang hanya diberi susu formula. Bayi yang diberikan ASI biasanya jarang mendapat sakit dan kalaupun sakit biasanya ringan dan jarang memerlukan perawatan. BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah : Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Independen Pemberian ASI Eksklusif
Variabel Dependen Frekuensi diare pada bayi usia 7-12 bulan
Pemberian ASI Tidak Eksklusif
3.2 Definisi Operasional
1. Pemberian ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi selama 6 bulan. Riwayat pemberian ASI diperoleh dengan wawancara.
17
2. Diare adalah defekasi encer sebanyak tiga kali atau lebih dalam satu hari, dengan/tanpa darah dan/atau lendir dalam tinja. Data diperoleh dengan wawancara. 3. Frekuensi diare adalah jumlah kejadian diare yang terjadi pada bayi setiap 1 bulan. Kejadian diare dihitung dari saat bayi berusia 7 bulan hingga pada saat dilakukan wawancara. Frekuensi diare pada bayi dikelompokkan menjadi ≤1 kali/bulan untuk kejadian diare hingga satu kali dalam satu bulan, dan >1 kali/bulan untuk kejadian diare lebih dari satu kali dalam satu bulan.
3.3 Hipotesis
Terdapat perbedaan frekuensi diare pada bayi berusia 7-12 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif dengan yang tidak mendapatkan ASI eksklusif.
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain penelitian
yang digunakan adalah cross-sectional , di mana pengumpulan data atau variabel yang akan diteliti dilakukan secara bersamaan dan diambil pada satu waktu.
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Medan Area Selatan, Kecamatan Medan Area, Medan. Pengambilan dan pengumpulan data dilakukan selama bulan Juli – Nopember 2009.
4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi
18
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh bayi berusia 7-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas Medan Area Selatan yang ada pada bulan Juli – Nopember 2009 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 4.3.2. Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling . Adapun kriteria inklusi adalah bayi berusia 7-12 yang dibawa ke Puskesmas Medan Area. Sedangkan kriteria eksklusi yang digunakan adalah bayi dengan orang tua yang tidak bersedia diikutsertakan dalam penelitian. Besar sampel yang diambil dalam penelitian ini ditentukan dengan rumus: n = (Zα)²pq d²
Keterangan rumus: n
= jumlah/besar sampel
Zα = Confidence interval penelitian ini sebesar 1,96. p
= proporsi keadaan yang akan dicari = 0,5
q
= 1-p = 0,5
d
= tingkat ketepatan absolute yang dikehendaki. Dalam penelitian ini, ditetapkan d = 0,1
Angka-angka di atas dimasukkan kembali ke rumus besar sampel: n = (1,96)²(0,5)(0,5) 0,1² = 96,4 orang ≈ 97 orang . Jadi, jumlah sampel yang dibutuhkan adalah sebanyak 97 orang, dan diambil sebanyak 100 orang.
4.4 Teknik Pengumpulan Data
19
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diambil dengan menggunakan metode wawancara dengan orang tua yang memiliki bayi berusia 7-12 bulan dengan bantuan kuesioner. Dari pertanyaan kuesioner tersebut akan diperoleh data mengenai riwayat pemberian ASI dan riwayat mendapatkan diare.
4.5 Pengolahan dan Analisa Data
Data yang diperoleh melalui penelitian ini akan dianalisis menggunakan program SPSS versi 15.0 menggunakan uji chi square untuk perbedaan frekuensi diare pada bayi berusia 7-12 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif dengan yang tidak mendapatkan ASI eksklusif.
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian 5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian a. Lokasi Puskesmas Medan Area Selatan
Puskesmas Medan Area Selatan berada di Kecamatan Medan Area Kota Medan tepatnya di Jalan Medan Area Selatan. Secara geografis, Puskesmas Medan Area Selatan berbatasan dengan : 1. Sebelah Utara
: Sei Kera Hulu
2. Sebelah Selatan
: Pusat Pasar Medan
3. Sebelah Barat
: Jl. AR Hakim
4. Sebelah Timur
: Jl. Thamrin
20
b. Wilayah Kerja Puskesmas Medan Area Selatan
Batasan wilayah kerja puskesmas yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan berdasarkan keadaan geografis, demografis, sarana transportasi, masalah kesehatan setempat, sumber daya dan lain-lain. Wilayah kerja Puskesmas Medan Area Selatan terdiri dari 4 kelurahan yaitu : 1. Kelurahan Sukaramai I 2. Kelurahan Sukaramai II 3. Kelurahan Sei Rengas II 4. Kelurahan Pandau Hulu Luas wilayah kerja Puskesmas Medan Area Selatan adalah 150,23 Ha dengan masing-masing luas kelurahan di wilayah kerja Puskesmas Medan Area Selatan : 1. Kelurahan Sukaramai I
: 35,70 Ha
2. Kelurahan Sukaramai II
: 31,20 Ha
3. Kelurahan Sei Rengas II
: 35,78 Ha
4. Kelurahan P. Hulu
: 47,55 Ha
5.1.2. Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki bayi berusia 7 – 12 bulan yang datang ke Puskesmas Medan Area.
a. Usia
Kelompok usia responden dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia di Puskesmas Medan Area Selatan
Kelompok Usia 20 – 24
Frekuensi
% 10
10,00
25 – 29
39
39,00
30 – 34
41
41,00
35 – 39 Total
10 100
10,00 100,00
21
Berdasarkan hasil penelitian, pada umumnya responden berusia 30 – 34 tahun, yaitu 41 orang (41,00%). Umur responden termuda adalah 22 tahun, sebanyak 5 orang (5,00%), dan yang paling tua adalah 38 tahun, yaitu 3 orang (3,00%).
b. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Puskesmas Medan Area Selatan
Tingkat Pendidikan SD
Frekuensi
% 9
9,00
SMP
67
67,00
SMA
19
19,00
Perguruan Tinggi Total
5 100
5,00 100,00
Berdasarkan tabel 5.2, menunjukkan bahwa tingkat pendidikan terakhir responden terbanyak adalah SMP, yakni sebanyak 67 orang (67,00%). Dan yang paling sedikit adalah Perguruan Tinggi, yakni 5 orang (5,00%).
c. Pekerjaan
Pekerjaan responden dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Puskesmas Medan Area Selatan
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga
Frekuensi
% 90
90,00
Pegawai Swasta
8
8,00
Pegawai Negeri Total
2 100
2,00 100,00
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa pekerjaan responden yang terbanyak adalah sebagai ibu rumah tangga, yaitu sebanyak 90 orang (90,00%) dan 10 orang
22
yang bekerja, yakni pegawai swasta sebanyak 8 orang (8,00%) dan pegawai negeri sebanyak 2 orang (2,00%).
5.1.3. Karakteristik Bayi
Bayi yang menjadi sampel penelitian adalah bayi berusia 7-12 bulan yang dibawa ke Puskesmas Medan Area.
a. Usia
Usia bayi dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.4 Distribusi Bayi Berdasarkan Usia di Puskesmas Medan Area Selatan
Usia (bulan) 7
Frekuensi
% 23
23,00
8
24
24,00
9
18
18,00
10
17
17,00
11
9
9,00
9 100
9,00 100,00
12 Total
Dari tabel di atas, bayi berusia 8 bulan adalah bayi terbanyak, yaitu 24 orang (24,00%) dan bayi berusia 11 dan 12 bulan adalah bayi dengan umur yang sedikit ditemukan, yaitu masing-masing 9 orang (9,00%).
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin bayi dapat dilihat pada tabel berikut.
23
Tabel 5.5 Distribusi Bayi Berdasarkan Jenis Kelamin di Puskesmas Medan Area Selatan
Jenis Kelamin Laki-laki
Frekuensi
Perempuan Total
% 57
57,00
43 100
43,00 100,00
Dari tabel di atas, terdapat bayi laki-laki sebanyak 57 orang (57,00%) dan bayi perempuan sebanyak 43 orang (43,00%).
c. Riwayat Pemberian ASI
Riwayat pemberian ASI pada bayi di Puskesmas Medan Area Selatan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5.6 Distribusi Bayi Berdasarkan Riwayat Pemberian ASI di Puskesmas Medan Area Selatan
Pemberian ASI ASI Eksklusif
Frekuensi
ASI Tidak Eksklusif Total
% 14
14,00
86 100
86,00 100,00
Dari tabel di atas, jumlah bayi yang mendapatkan ASI eksklusif sebanyak 14 orang (14,00%). Sedangkan 86 orang (86,00%) bayi lainnya tidak mendapatkan ASI eksklusif.
d. Frekuensi Diare
Frekuensi diare pada bayi dikelompokkan menjadi ≤1 kali/bulan untuk kejadian diare hingga satu kali dalam satu bulan, dan >1 kali/bulan untuk kejadian diare lebih dari satu kali dalam satu bulan. Kejadian diare dihitung dari saat bayi berusia 7 bulan hingga pada saat dilakukan wawancara. Tabel 5.7 Distribusi Bayi Berdasarkan Frekuensi Diare di Puskesmas Medan Area Selatan
Frekuensi Diare ≤1 kali/bulan
Frekuensi
% 39
39,00
24
>1 kali/bulan Total
61 100
61,00 100,00
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebanyak 39 (39,00%) bayi mengalami diare ≤1 kali/bulan, dan sebanyak 61 (61,00%) bayi mengalami >1 kali/bulan.
5.1.4. Hasil Analisis Statistik antara Riwayat Pemberian ASI dengan Frekuensi Diare
Dari hasil penelitian, diperoleh tabel frekuensi diare berdasarkan riwayat pemberian ASI. Tabel 5.8 Frekuensi Diare Berdasarkan Riwayat Pemberian ASI di Puskesmas Medan Area Selatan
Riwayat Pemberian
Frekuensi Diare >1 kali/bulan ≤1 kali/bulan n
%
Total
ASI ASI Eksklusif
n
%
n
%
11
11,00
3
3,00
14
14,00
ASI Tidak Eksklusif
28
28,00
58
58,00
86
86,00
Total
39
39,00
61
61,00
100
100,00
p value
0,001
Berdasarkan tabel 5.8, bayi yang mendapatkan ASI eksklusif yang mengalami frekuensi diare ≤1 kali/bulan sebanyak 11 orang (11,00%) dan yang mengalami frekuensi diare >1 kali/bulan sebanyak 3 orang (3,00%). Sedangkan pada bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif, terdapat 28 orang (28,00%) yang mengalami frekuensi diare ≤1 kali/bulan, dan 58 orang (58,00%) yang mengalami frekuensi diare >1 kali/bulan. Untuk mengetahui apakah memang benar ada perbedaan frekuensi diare pada bayi berusia 7-12 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif dengan yang tidak mendapatkan ASI eksklusif, maka dilakukan uji chi square antara riwayat pemberian ASI dengan frekuensi diare. Dari hasil uji chi square, didapati nilai p
value sebesar 0,001 ( p<0,05) dan Odd Ratio sebesar 7,595. Hal ini berarti ada
25
perbedaan frekuensi diare pada bayi berusia 7-12 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif dengan yang tidak mendapatkan ASI eksklusif.
5.2 Pembahasan 5.2.1. Pemberian ASI Eksklusif
Berdasarkan hasil penelitian yang dimuat pada tabel 5.6 di atas, jumlah bayi berusia 7-12 bulan yang memiliki riwayat mendapatkan ASI eksklusif sebanyak 14 orang (14,00%). Sedangkan 86 orang (86,00%) bayi lainnya tidak mendapatkan ASI eksklusif. Hal ini menunjukkan rendahnya pencapaian cakupan pemberian ASI eksklusif pada ibu yang datang ke Puskesmas Medan Area Selatan. Sementara target cakupan pemberian ASI Eksklusif Nasional adalah 80% (Depkes RI, 1997). Menurut Roesli (2005), ada beberapa alasan ibu untuk tidak menyusui anaknya terutama secara eksklusif, yaitu ibu merasa ASI yang dihasilkannya tidak cukup, ibu sibuk bekerja, ibu takut ditinggal suami karena mereka percaya mitos bahwa dengan menyusui dapat merubah bentuk payudara dan menyebabkan kegemukan, dan karena ibu menganggap penggunaan susu formula lebih praktis daripada memberikan ASI. Menurut Arianto (2008), salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya pemberian ASI eksklusif adalah kesibukan ibu turut bekerja untuk mencari nafkah, sehingga tidak dapat menyusui bayinya dengan baik dan teratur. Namun, berdasarkan hasil penelitian, 90 orang responden (90,00%) tidak bekerja dan hanya sebagai ibu rumah tangga. Arianto juga menambahkan, beberapa faktor lain yang mempengaruhi rendahnya pemberian ASI eksklusif adalah pengaruh, perubahan kultur masyarakat, dan gencarnya promosi susu formula.
5.2.2. Kejadian Diare
Dari tabel 5.7, dapat dilihat bahwa sebanyak 39 (39,00%) bayi mengalami diare ≤1 kali/bulan, dan sebanyak 61 (61,00%) bayi mengalami >1 kali/bulan. Hal ini menunjukkan sebagian besar bayi berusia 7-12 bulan di Puskesmas Medan Area masih sering mengalami diare.
26
Menurut Kliegman (2007), terjadinya diare pada bayi terutama disebabkan oleh sanitasi lingkungan yang tidak bersih dan tingginya paparan kuman enteropatogen. Resiko tambahan antara lain adalah bayi pada usia yang lebih muda, defisiensi sistem imun, bayi sedang mengalami campak, malnutrisi, tidak mendapatkan ASI eksklusif maupun tidak diberi ASI sama sekali. Hiswani (2007) menambahkan bahwa kasus penyakit diare ini sangat berkaitan dengan perilaku manusia, sarana air bersih, sarana pembuangan air limbah dan kesehatan lingkungan pada musim kemarau. Penyebab diare adalah terjadinya peradangan usus yang disebabkan oleh virus, bakteri, atau agent penyebab penyakit diare lainnya. Penyebab lain yang dapat menimbulkan penyakit diare adalah keracunan makanan, kurang gizi, alergi makanan tertentu, kurang penyediaan air bersih.
5.2.3. Perbedaan Frekuensi Diare pada Bayi Berusia 7–12 Bulan yang Mendapat ASI Eksklusif dengan yang Tidak Mendapat ASI Eksklusif
Hasil analisis statistik menunjukkan ada perbedaan frekuensi diare pada bayi berusia 7-12 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif dengan yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Hal ini sesuai dengan penelitian Kamalia (2005) bahwa diare lebih jarang terjadi pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Fatmawati (2003) juga menyatakan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare pada bayi 4-12 bulan. Dia menyatakan bahwa kejadian diare pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif lebih sedikit dibandingkan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Puspitaningrum (2006) juga menambahkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara bayi yang mendapat ASI eksklusif 6 bulan dengan bayi yang hanya diberi susu formula. Bayi yang diberikan ASI lebih jarang mendapat sakit dan kalaupun sakit biasanya ringan dan jarang memerlukan perawatan. Simatupang (2004) juga menambahkan, proporsi kejadian diare pada balita lebih besar terjadi pada balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif, yaitu 77,90%. Sedangkan balita yang diberikan ASI eksklusif hanya 22,10%. Penelitian
27
tersebut menunjukkan p<0,05, dengan kata lain, terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare. Pada waktu bayi baru lahir, secara alamiah mendapat zat kekebalan tubuh (imunoglobulin) dari ibunya melalui plasenta, tetapi kadar zat tersebut akan cepat turun setelah kelahiran bayi, padahal dari waktu bayi lahir sampai bayi berusia beberapa bulan, bayi belum dapat membentuk kekebalan sendiri secara sempurna. Sehingga kemampuan bayi membantu daya tahan tubuhnya sendiri menjadi lambat selanjutnya akan terjadi kesenjangan daya tahan tubuh. Kesenjangan daya tahan tersebut dapat diatasi apabila bayi diberi ASI, karena ASI adalah cairan hidup yang mengandung zat kekebalan yang akan melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, parasit, dan jamur. Zat kekebalan yang terdapat pada ASI antara lain akan melindungi bayi dari penyakit diare (Roesli, 2005). Selain itu, inisiasi dini menyusui pada bayi baru lahir dapat menurunkan resiko terjadinya diare pada 6 bulan pertama kehidupan bayi. Hal tersebut kemungkinan disebabkan efek dari kolostrum yang terkandung pada awal permulaan pemberian ASI. (Clemens, 1999) Pemberian ASI meminimalisasi terjadinya diare dengan cara menyediakan faktor-faktor perlindungan dan mengurangi paparan terhadap makanan atau air yang mengandung enteropatogen. Sejak resistensi terhadap antibiotik menjadi masalah global, efek perlindungan dari ASI pada bayi yang sedang sakit menjadi semakin penting (Riordan, 2005). Menurut Lubis (2003), ASI bermanfaat pada kelainan gastrointestinal terutama disebabkan adanya faktor peningkatan pertumbuhan sel usus ( intestinal
cell growth promoting factor ) pada ASI, faktor-faktor perlindungan berupa zat-zat imumologi atau anti infeksi sehingga vili dinding usus cepat mengalami penyembuhan (setelah rusak karena diare), diare cepat berhenti akibatnya pertumbuhan dan perkembangan anak kembali normal seperti semula. Pemberian ASI secara benar penting bagi upaya pencegahan diare pada bayi melalui mekanisme menurunkan paparan terhadap kuman enteropatogen, meningkatkan respon imunologi pada bayi terutama imunisasi pasif dari ibu,
28
meningkatkan status gizi bayi, melindungi saluran pencernaan dan mengurangi kemungkinan dehidrasi apabila bayi mengalami diare (Simatupang, 2004).
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Terdapat 14,00% bayi berusia 7-12 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif 2. Pada bayi berusia 7-12 yang mendapat ASI eksklusif, terdapat 11,00% bayi yang mengalami diare ≤1 kali/bulan, dan terdapat 3,00% bayi yang mengalami diare >1 kali/bulan 3. Pada bayi berusia 7-12 yang tidak mendapat ASI eksklusif, terdapat 28,00% bayi yang mengalami diare ≤1 kali/bulan, dan terdapat 58,00% bayi yang mengalami diare >1 kali/bulan 4. Terdapat perbedaan frekuensi diare pada bayi berusia 7-12 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif dengan yang tidak mendapatkan ASI eksklusif (p = 0,001).
6.2 Saran
1. Kepada Puskesmas Medan Area Selatan, agar dapat meningkatkan kinerja petugas kesehatan untuk dapat menyosialisasikan serta membina ibu-ibu
29
untuk dapat memberikan ASI secara eksklusif agar terciptanya generasi sumberdaya yang cerdas dan sehat. 2. Kepada petugas kesehatan agar lebih aktif dalam memberikan penyuluhan tentang penyakit diare. 3. Masih banyak kekurangan dalam penelitian ini, oleh karena itu, bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat meneliti tentang faktor-faktor lain yang berhubungan dengan pemberian ASI maupun yang berhubungan dengan kejadian diare.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S., Uloli, R., Liputo, R., Mansyur, E., Buhang, S., 2006. Penyelidikan
KLB Diare di Wilayah Puskesmas Mananggu Kabupaten Boalemo Pebruari 2006 . Berita Epidemiologi, Edisi Juni 2006. Andrianto, P., 1995. Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare Akut , Edisi 2. Jakarta : EGC. Arianto, R., 2008. Status Gizi Bayi Ditinjau dari Pemberian Asi Eksklusif,
Pemberian MP-ASI, dan Kelengkapan Imunisasi di Kecamatan Medan Selayang Tahun 2008 . Skripsi. FKM USU, Medan. Badan Pusat Statistik Kota Medan, 2007. Medan dalam Angka 2007 . Available from: http://www.pemkomedan.go.id/file/h_1211791706.pdf [Accessed 25 March 2009] Clemens, John, et. al, 1999. Early Initiation of Breastfeeding and the Risk of
Infant
Diarrhea
in
Rural
Egypt .
Available
From:
http://pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/104/1/e3 [Accesed
25 November 2009]
30
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1997. Petunjuk Pelaksanaan
Peningkatan ASI Eksklusif Bagi Petugas Puskesmas. Jakarta. Departemen
Kesahatan
Republik
Indonesia,
2000.
Buku
Pedoman
Penatalaksanaan Program P2 Diare. Direktrorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005a . Kebijakan Peningkatan
Pemberian ASI . Available From: http://www.dinkeskotasemarang.go.id/staticfiles/dokumen/Kebijakan_asi.pdf [Accessed 25 March 2009] Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia,
2005b.
Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor: 1216/MENKES/SK/XI/2001 tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare , Edisi ke-4, Jakarta Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Buku Bagan Manajemen
Terpadu Balita Sakit . Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Indikator Indonesia Sehat 2010 . Available From: www.dinkeskotasemarang.go.id/staticfiles/dokumen/indikator_ina_2010.pdf [Accessed 25 March 2009] Fatmawati, Heny, 2003. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif, MPASI, Higine
Perorangan, dan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare Bayi 4-12 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Purwosari Kudus. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Padjadjaran. Guandalini, S., Fyre, R.E., Tamer, M.A., 2009. Diarrhea , Emedicine. Available From : http://emedicine.medscape.com/article/928598-overview. [Accesed 5 April 2009]
31
Hiswani, 2003. Diare Merupakan Masalah Kesehatan yang Kejadiannya Sangat
Erat
dengan
Keadaan
Saritasi
lingkungan .
Available
From:
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani7.pdf . [ Acced 4 April 2009] Kamalia, D., 2005. Hubungan Pemberian Asi Eksklusif dengan Kejadian Diare
pada Bayi Usia 1-6 Bulan di Wilayah Kerja Pukesmas Kedung Wuni I Tahun 2004–2005. Skripsi. Fakultas Ilmu Keolahragaan Jurusan Ilmu Kesehatan masyarakat Universitas Negeri Semarang, Semarang. Available from: http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/index/assoc/HASH01da/9043 1471.dir/doc.pdf [Accessed 25 March 2009] Kliegman, R.M, Behrman, R.E., Stanton, B.F., Jenson, H.B., 2006. Nelson
Essentials of Pediatrics . Edisi 5. Philadelphia: Saunders. Kliegman, R.M, Behrman, R.E., Stanton, B.F., Jenson, H.B., 2007. Nelson
Textbook of Pediatrics . Edisi 18. Philadelphia: Saunders Lubis, C.P., 2003. Peranan Air Susu Ibu dalam Mencegah Diare dan Penyakit
Usus Lainnya. Available From : http://library.usu.ac.id/download/fk/anak chairuddin2.pdf . [ Accessed 4 April 2009] Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W.I., Setiowulan, W., 2000. Kapita Selekta
Kedokteran . Jakarta : Media Aesculapius. Notoadmodjo, S., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan . Jakarta : Rineka Cipta. Noerasid, H., Suraatmadja, S., Asnil, P.O., 2003. Gastroenteritis (Diare ) Akut . In : Suharyono, Boediarso, A., Halimun, E.M., Gastroenterologi Anak Praktis. Balai Penerbit FK UI, Jakarta. Puspitaningrum, C., Rahayu, Y.S.E., Rusana, 2006. Perbedaan Frekuensi Diare
Antara Bayi Yang Diberi Asi Eksklusif Dengan Bayi Yang Diberi Susu
32
Formula Di Wilayah Kerja Puskesmas Gandrungmangu I Kabupaten Cilacap Tahun 2006. Available from: http://litbangstikesalirsyad.files.wordpress.com/2008/01/perbedaan-frek-diare.pdf [Accessed 25 March 2009]
Riley, M.R., Bass, D., 2008. Infectious Diarrhea. In : Liacouras, C.A., Piccoli, D.A., Pediatric Gastroenterology : The Requisites In Pediatrics . Mosby Elsevier, Philadelphia. Riordan, Jan, 2005. Breastfeeding and Human Lactation. Massachusetts: Jones and Bartlett Publishers. Roesli, U., 2005. Mengenal ASI Eksklusif . Jakarta : Trubus Agriwidya. Sinuhaji, A.B., Sutanto, A.H., 1992. Mekanisme Infektisius Diare Akut . Cermin Dunia Kedokteran, 80. Simatupang, Mel Yati, 2004. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Diare pada Balita di Kota Sibolga pada Tahun 2003. Thesis. Progam Magister Epidemiologi, Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Siregar, M.A., 2004. Pemberian ASI Eksklusif dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya .
Available
From
:
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-arifin4.pdf . [ Accessed 4 April 2009] Soetjiningsih, 2003. Peranan ASI pada Pengobatan Diare. In : Suharyono, Boediarso, A. Halimun, E.M., Gastroenterologi Anak Praktis. Balai Penerbit FK UI, Jakarta. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2007. Ilmu Kesehatan Anak , Jilid 1. Jakarta, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Suffrie, M., Darmawan, I., 2003. Panduan Praktek Pediatrik. , Yogyakarta : Gajah Mada University Press.