A. Pengertian Hukum Penitensier
Apabila orang melihat ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, khususnya Buku ke-II dan Buku ke-III, maka selalu orang menjumpai dua jenis norma, yakni norma-morma yang selalu harus dipenuhi agar sesuatu tindakan dapat disebut sebagai tindak pidana, dan norma-norma yang berkenaan dengan ancaman pidana yang harus dikenakan bagi pelaku dari sesuatu tindak pidana. Secara terinci undang-undang telah mengatur tentang: 1. Bilamana suatu pidana dapat dijatuhkan bagi seorang pelaku, 2. Jenis pidana yang bagaimanakah yang dapat dijatuhkan bagi pelaku tersebut, 3. Untuk berapa lama pidana dapat dijatuhkan atau berapa besarnya pidana denda yang dapat dijatuhkan, dan 4. Dengan cara yang bagaimanakah pidana harus dilaksanakan. Sebenarnya pembentuk undang-undang telah bermaksud untuk mengatur hal-hal di atas di dalam Bab ke-II dari Buku ke-I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tetapi pengaturan lebih lanjut tentang hal-hal tersebut ternyata tidak diberikan oleh pembentuk undang-undang, melainkan telah menunjuk pada peraturan perundangundangan yang terdapat di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tentang apa yang harus dilakukan setelah hakim menjatuhkan suatu pidana itu, ternyata hanya sebagian kecil saja yang telah diatur perundang-undangan yang terdapat di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tentang apa yang harus dilakukan setelah hakim menjatuhkan suatu pidana itu, ternyata hanya sebagian kecil saja yang telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sedangkan sebagian besar telah diatur di dalam apa yang disebut hukum penitensier atau atau penitentiaire recht yang oleh Prof. Van Bemmelen telah diartikan sebagai: Het racht betreffende doel, working en organisatie der strafinstituten.
Artinya: Hukum yang berkenaan dengan tujuan, daya kerja, dan organisasi dari lembagalembaga pemidanaan.
1
Walaupun secara harfiah hukum penitensier sebenarnya dapat diartikan suatu keseluruhan dari norma-norma yang mengatur masalah pidana dan pemidanaan, ternyata Prof. Van Bemmelen telah berpikir lebih maju untuk tidak memandang pidana itu semata-mata sebagai pidana, atau melihat pemidanaan semata-mata sebagai pemidanaan, melainkan beliau telah mengaitkan lembaga-lembaga pemidanaan dengan tujuan yang ingin dicapai orang dengan pemidanaan itu sendiri. Dengan daya kerja yang dimiliki oleh lembaga pemidanaan tersebut dan dengan organisasi yang diperlukan agar pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim dapat mencapai tujuannya secara efektif dan efisien. B. Hukum Penitensier Tidak Selalu Berkenaan Dengan Masalah Pidana Dan Pemidanaan
Apakah benar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita semata-mata hanya mengatur masalah pidana-pidana atau masalah pemidanaan saja? Apabila orang ingin membatasi diri dengan melihat ke dalam rumusan Pasal 45 KUHP saja untuk memberikan jawaban bagi pertanyaan di atas, maka akan segera dapat diketahui bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita tidak semata-mata mengatur masalah pidana-pidana atau masalah pemidanaan-pemidanaan saja, melainkan juga mengatur masalah tindakan atau maatregelen dan masalah kebijaksanaan.
Pasal 45 KUHP berbunyi: Pada penuntutan pidana terhadap seseorang di bawah umur karena perbuatan yang telah ia lakukan sebelum mencapai usia enam belas tahun, hakim dapat:
-
Memerintahkan agar yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, kepada walinya atau kepada orang yang mengurus dirinya, tanpa menjatuhkan suatu pidana apa pun;
-
Memerintahkan
agar
yang
bersalah
diserahkan
pada
pengawasan
pemerintahjika perbuatannya merupakan kejahatan atau pelanggaran seperti yang diatur dalam Pasal 489, Pasal 490, Pasal 492, Pasal 496, Pasal 497, Pasal 503 sampai Pasal 505, Pasal 514, Pasal 517 sampai Pasal 519, Pasal 526, Pasal 531, Pasal 532, Pasal 536, dan Pasal 540 yang telah dilakukan sebelum lewat
2
jangka waktu dua tahun sejak orang itu dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena telah melanggar salah satu dari pelanggaran di atas atau telah melakukan sesuatu kejahatan, tanpa menjatuhkan suatu pidana apa pun;
-
Memidana yang bersalah dengan pidana.
Tindakan yang diambil oleh seorang hakim untuk menyerahkan kembali seorang terdakwa kepada orang tuanya, kepada walinya atau kepada orang yang mengurus terdakwa adalah sudah jelas bukan merupakan suatu pemidanaan, dan adalah sulit untuk disebut sebagai penindakan atau maatregel, dan lebih tepat kiranya apabila tindakan yang diambil oleh hakim tersebut, disebut sebagai suatu kebijaksanaan. Tindakan yang diambil oleh seorang hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di bawah
pengawasan
pemerintah
juga
sudah
jelasbukan
merupakan
suatu
pemidanaan, tetapi juga sulit untuk disebut suatu kebijaksanaan. Tindakan dari hakim tersebut adalah lebih tepat apabila disebut sebagai suatu penindakan atau maatregel .
Adapun tindakan yang diambil oleh seorang hakim untuk memidana terdakwa dengan suatu pidana adalah sudah jelas merupakan suatu pemidanaan dan bukan merupakan kebijaksanaan ataupun penindakan. Sebenarnya perkataan pidana dan pemidanaan merupakan pengertian khusus atau merupakan speciale begrippen dari perkataan hukuman ataupenghukuman, yang hanya tetap apabila perkataan tersebut juga digunakan orang di bidang hukum yang lain, seperti di bidang hukum perdata. Dari pembicaraan tersebut kiranya sudah jelas, bahwa hukum penitensier bukan hanya berkenaan dengan masalah pidana atau masalah pemidanaan saja melainkan juga berkenaan dengan masalah penindakan atau maatregel dan masalah kebijaksanaan yang telah diputuskan oleh hakim. Dengan demikian, hukum penitensier kurang tepat disebut sebagai keseluruhan dari norma-norma yang mengatur masalah pidana dan pemidanaan, tetapi lebih tepat apabila hukum penitensier disebut keseluruhan dari norma-norma yang mengatur
3
lembaga pidana atau pemidanaan, lembaga penindakan dan lembaga kebijaksanaan yang telah diatur oleh pembentuk undang-undang di dalam hukum pidana materiil. C. Lembaga Pemidanaan, Penindakan, Dan Kebijaksanaan
Lembaga pemidanaan sebagaimana dimaksudkan di atas antara lain adalah: 1. Lembaga pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tambahan
berupapencabutan
hak-hak
tertentu,
penyitaan
benda-benda
tertentu, dan pengumuman dari putusan hakim seperti yang diatur di dalam Pasal 10 huruf a dan huruf b KUHP. 2. Lembaga pidana tutupan seperti yang telah diatur di dalam Undang-Undang tanggal 31 Oktobert 1946 Nomor 20, Berita Republik Indonesia II Nomor 24; 3. Lembaga pidanabersyarat sepertyi yang diatur dalam Pasal 14a ayat (1) sampai dengan ayat (5) KUHP dan pelaksanaannya diatur di dalam Ordonansi tanggal 6 November 1926, Staatsblad Tahun 1926 Nomor 487 yang dikenal sebagai Uitvoeringsordonnantie voorwaardelijk veroordeling atau peraturan pelaksanaan
mengenai pemidanaan bersyarat; 4. Lembaga pemberatan pidana kurungankarena adanya suatu samenloop van strafbare feiten, recidive atau karena tindak pidana telah dilakukan oleh seorang
pegawai negeri dengan menodai kewajiban jabatannya yang bersifat khusus seperti yang diatur di dalam Pasal 18 ayat (2) KUHP; 5. Lembaga tempat orang menjalankan pidana seperti yang diatur di dalam Ordonansi tanggal 10 Desember 1917, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 708 yang juga dikenal sebagai Gestichtenreglement atau peraturan tentang lembaga pemasyarakatan. Yang dimaksud dengan lembaga penindakan atau maatregel adalah lembaga hukum di dalam hukumpositif yang secara langsung ada hubungannya dengan putusan hakim dalam mengadili perkara-perkara pidana, tetapi bukan merupakan suatu pemidanaan atau suatau kebijaksanaan, dan termasuk dalam pengertiannya, yaitu lembaga pendidikan paksa dan lembaga kerja negara. Lembaga penindakan tersebut antara lain adalah:
4
1. Lembaga penempatan di bawah pengawasan pemerintah seperti yang dimaksud di dalam Pasal 45 KUHP, yang pengaturannya lebih lanjut terdapat di dalam Ordonansi tanggal 21 Desember 1917, Staatblad Tahun 1917 Nomor 741 yang juga dikenal sebagai Dwangopvoeding Regeling atau peraturan tentang pendidikan paksa;
5