HUKUM KEKELUARGAAN Hukum Perdata dan Bisnis
Disusun oleh : Albert Johan Siregar
133060018123 13306001812 3
Debbie Intansari Rachmat
133060018083
Galuh Wicaksana
133060018403 13306001840 3
Meiliana Eka Inayati
133060018723 13306001872 3
Purwantika Sari
133060018043 13306001804 3
Siti Ma’rifah
133060018523 Akuntansi 2-AG
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA 2014
BAB I Pendahuluan
•
Latar Belakang Suatu keluarga akan terbentuk setelah adanya ikatan perkawinan. Adapun
perkawinan secara umum dipahami sebagai ikatan lahir batin antara sepasang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membina suatu rumah tangga yang bahagia. Sehingga dalam arti sempit, keluarga adalah sepasang suami istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, akan tetapi tidak mempunyai anak pun dapat digolongkan sebagai keluarga kecil. Dengan terbentuknya sebuah keluarga, maka akan secara otomatis melahirkan sebuah hukum di dalamnya, yang dinamakan hukum keluarga. Di mana hukum ini berisi sebuah aturan-aturan yang dibebankan kepada semua anggota keluarga. Hukum Keluarga adalah bagian dari hukum perorangan, hukum kekeluargaan secara garis besar adalah hukum yang bersumber pada pertalian kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini dapat terjadi karena pertalian darah, ataupun terjadi karena adanya sebuah perkawinan. Hubungan keluarga ini sangat penting karena ada hubungannya dengan anak dan orang tua, hukum waris, perwalian dan pengampuan
• Tujuan •
Mengetahui Hukum Keluarga menurut KUHPer
•
Mengetahui Huku Keluarga menurut UU No 1 Tahun 1974
•
Mengetahui Hukum Keluarga menurut Hukum Islam
•
Mengetahui Hukum Keluarga menurut Hukum Adat
•
Menegetahui
hubungan hubungan
dan
status
seseorang
dalam
keluarga keluarga
kaitannya dengan persoalan keturunan, kekuasaan orang tua, perwalian, anak dengan orang tua dan anak dengan kerabat
•
Dapat mengidentifikasi contoh kasus yang terjadi di masyarakat umum
BAB I Pendahuluan
•
Latar Belakang Suatu keluarga akan terbentuk setelah adanya ikatan perkawinan. Adapun
perkawinan secara umum dipahami sebagai ikatan lahir batin antara sepasang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membina suatu rumah tangga yang bahagia. Sehingga dalam arti sempit, keluarga adalah sepasang suami istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, akan tetapi tidak mempunyai anak pun dapat digolongkan sebagai keluarga kecil. Dengan terbentuknya sebuah keluarga, maka akan secara otomatis melahirkan sebuah hukum di dalamnya, yang dinamakan hukum keluarga. Di mana hukum ini berisi sebuah aturan-aturan yang dibebankan kepada semua anggota keluarga. Hukum Keluarga adalah bagian dari hukum perorangan, hukum kekeluargaan secara garis besar adalah hukum yang bersumber pada pertalian kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini dapat terjadi karena pertalian darah, ataupun terjadi karena adanya sebuah perkawinan. Hubungan keluarga ini sangat penting karena ada hubungannya dengan anak dan orang tua, hukum waris, perwalian dan pengampuan
• Tujuan •
Mengetahui Hukum Keluarga menurut KUHPer
•
Mengetahui Huku Keluarga menurut UU No 1 Tahun 1974
•
Mengetahui Hukum Keluarga menurut Hukum Islam
•
Mengetahui Hukum Keluarga menurut Hukum Adat
•
Menegetahui
hubungan hubungan
dan
status
seseorang
dalam
keluarga keluarga
kaitannya dengan persoalan keturunan, kekuasaan orang tua, perwalian, anak dengan orang tua dan anak dengan kerabat
•
Dapat mengidentifikasi contoh kasus yang terjadi di masyarakat umum
BAB II Pembahasan
Pengertian hukum keluarga Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan kata familierecht (belanda) (belanda) atau law of familie (inggris). Istilah keluarga dalam arti sempit adalah orang seisi rumah, anak istri, sedangkan dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau anggota kerabat dekat . Ali affandi mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan
sebagai “Keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir). Adapun pendapat-pendapat pendapat-pendapat lain mengenai hukum hukum keluarga, yaitu: a. Van Apeldoorn Hukum keluarga adalah peraturan hubungan hukum yang timbul dari hubungan keluarga b. C.S.T Kansil Hukum keluarga memuat rangkaian peraturan hukum yang timbul dari pergaulan hidup kekeluargaan c. R. Subekti Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan d. Rachmadi Usman Hukum kekeluargaan adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai hubungan antar pribadi alamiah yang berlainan jenis dalam suatu ikatan kekeluargaan e. Djaja S. Meliala Hukum keluarga adalah keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum antara keluarga sedarah dan keluarga kerena terjadinya perkawinan f. Sudarsono Hukum kekeluargaan adalah keseluruhan ketentuan yang menyangkut hubungan hukum mengenai kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan. Ada dua pokok kajian dalam definisi hukum keluarga yang dikemukakan oleh Ali Affiandi, yaitu mengatur hubungan hubungan hukum yang berkaitan: berkaitan:
1.
Keluarga sedarah dan
2.
Perkawinan Pertalian keluarga karena turunan disebut keluarga sedarah,artinya sanak
saudara yang senenek moyang. Keluarga sedarah ini ada yang ditarik menurut garis bapak yang disebut matrinial dan dan ada yang ditarik menurut garis ibu dan bapak yang disebut parental atau bilateral. Pertalian keluarga karena perkawinan disebut keluarga semenda, artinya sanak saudara yang terjadi karena adanya ikatan perkawinan, yang terdiri dari sanak saudara suami dan sanak saudara istri. Sedangkan pertalian keluarga karena adat disebut keluarga adat , artinya yang terjadi karena adanya ikatan adat, misalnya saudara angkat.
Hukum Keluarga Menurut KUHPer
• Keturunan • Anak Sah • Pengertian Dalam prinsip menurut KUHPer, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Penyangkalan anak sah menurut KUHPer : Menurut
Pasal
250
KUHPer,tiap-tiap
anak
yang
dilahirkan
atau
ditumbuhkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya.
•
Pasal 251 KUHPer
•
Pasal 252 KUHPer
•
Pasal 253 KUHPer
•
Pasal 256 KUHPer
• Pembuktian anak sah Menurut KUHPer : Menurut Pasal 255 KUHPer, anak yang dilahirkan 300 hari setelah perkawinan dibubarkan adalah tidak sah. Menurut Pasal 262 KUHPer, penikmatan akan kedudukan anak sah itu dapat dibuktikan dengan memperlihatkan suatu pertalian, seperti : selalu memakai nama si bapak, diperlakukan sebagai anak dalam hal pendidikan,
pemeliharaan dan penghidupan, serta masyarakat selalu mengakuinya sebagai anak si bapak. .
•
Anak Luar Kawin
• Pengertian anak luar kawin Anak luar kawin adalah anak yang dlahirkan sebagai akibat hubungan pria dan wanita diluar perkawinan yang sah, dimana diantara mereka tidak terkena larangan kawin atau tidak sedang dalam ikatan perkawinan dengan orang lain. Anak luar kawin tidak punya hubungan perdata dengan orangtuanya. Menurut Pasal 43 UUP, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
• Peningkatan status anak luar kawin Status anak luar kawin dapat ditingkatkan dengan cara berikut :
• Pengakuan anak •
Perkawinan dari kedua orang tua yang telah mengakui anak tersebut (Psal 272 KUHPer).
•
Pengakuan anak luar kawin dengan akta otentik (Pasal 281 KUHPer).
•
Pengakuan anak luar kawin apabila anak tersebut telah berusia 19 tahun(pria dan tanpa batas usia(wanita). Pengakuan ini bukan akibat paksa, tipu muslihat, atau bujukan (Pasal 282 KUHPer).
•
Pengakuan anak luar kawin dapat dilakukan oleh ibu anak tersebut (Pasal 284 KUHPer).
• Pengesahan anak Anak luar kawin dapat disahkan melalui surat pengesahan dari presiden dalam hal :
• Jika orang tua sebelum atau pada saat kawin telah melalaikan mnegakui anak luar kawin (Pasal 274 KUHPer).
• Jika anak tersebut dilahirkan dari bapak dan ibu, dimana karena meninggalnya seorang diantaranya tidak dapat melangsungkan perkawinan (Pasal 275 KUHPer). Dengan adanya surat pengesahan anak ini, maka status anak luar kawin menjadi dama dengan anak sah (Pasal 277 KUHPer).
•
Anak Sumbang Anak sumbang adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan pria dan wanita diluar perkawinan yang sah dimana antara mereka dilarang untuk melangsungkan perkawinan. Sesuai dengan Pasal 283 KUHPer, anak sumbang tidak bisa diakui. Apabila orangtua dari anak sumbang memperoleh dispensasi untuk melangsungkan perkawinan, maka si anak sumbang dapat diakui pada saat perkawinan kedua orang tuanya. Dengan demikian, dengan perkawinan tersebut, si anak sumbang demi hukum menjadi anak sah karena perkawinan kedua orang tuanya (Pasal 273 KUHPer).
•
Anak Zinah Anak zinah adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan pria dan wanita di luar perkawinan yang sah dimana satu atau keduanya sedang terikat dalam perkawinan dengan pihak lain. Sesuai Pasal 283 KUHPer, anak zinah tidak dapat diakui dan tidak ada upaya hukum untuk peningkatan statusnya.
• Kekuasaan Orang Tua •
Kekuasaan orang tua terhadap diri si anak Menurut KUHPer : Seorang anak yang belum mencapai usia dewasa atau kawin, berada dibawah kekuasaan orangtuanya selama kedua orang tua itu terikat dalam hubungan perkawinan (Pasal 299 KUHPer). Apabila perkawinan itu bubar (meninggal atau cerai), maka kekuasaan orang
tua
berubah
menjadi
perwalian.
Menurut
Pasal
300
KUHPer,kekuasaan orang tua ini biasanya dilakukan oleh si ayah. Bila si ayah tidak mampu melakukannya (sakit keras, hilang ingatan, keadaaan tidak hadir), kekuasaan itu dilakukan oleh isterinya. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak anaknya walaupun telah kehilangan hak kekuasaan orang tua (Pasal 298 ayat 2 KUHPer). Wajib
pula
untuk
memberikan
tunjangan
bagi
penghidupan anak anaknya (Pasal 301 KUHPer). .
pemeliharaan
dan
•
Kekuasaan orang tua terhadap harta kekayaan anak Menurut KUHPer : Harta
benda
anak
yang
belum
dewasa
wajib
diurus
oleh
orangtuanya/pemangku kekuasaan orang tua (Pasal 307 KUHPer). Orangtua yang mewakili anaknya terhadap tindakan tindakan hukum (Pasal 311 KUHPer) Hak nikmat hasil tidak dapat beralih terhadap ahli waris karena sifatnya subjektif. Apabila orang tua ingin menjual atau menjaminkan harta benda anaknya yang belum dewasa harus memperoleh izin pengadilan (Pasal 309 KUHPer). Orang tua dari anak luar kawin yang telah diakui, tidak berhak atas nikmat hasil harta kekayaan anak (Pasal 319 KUHPer). Hak nikmat hasil berakhir dengan meninggalnya si anak (Pasal 314 KUHPer).
•
Pembebasan dan pencabutan kekuasaan orang tua Menurut KUHPer : Seorang bapak atau ibu yang melakukan kekuasaan orang tua dapat dibebaskan dari kekuasaan tersebut dengan alasan ia tidak cakap atau tidak mampu menunaikan kewajibannya memelihara dan mendidik anakanaknya (Pasal 319a KUHPer).
• Perwalian •
Pengertian perwalian Menurut Prof. Subekti, pengawasan terhadap anak di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur dalam undang-undang.
•
Anak dibawah perwalian Menurut KUHPer : Anak dibawah perwalian :
• Anak sah yang kedua orangtuanya telah dicabut kekuasannya sebagai orang tua
• Anak sah yang orang tuanya telah bercerai • Anak sah yang salah satu atau keduanya telah meninggal dunia • Anak yang lahir di luar perkawinan
•
Macam macam perwalian
• Wali orang tua yang hidup terlama (Pasal 345 KUHPer). • Kawan wali, jika yang menjadi wali itu si ibu dan ibu itu kawin lagi, maka suaminya adalah kawan wali (Pasal 351 KUHPer).
• Wali orang tua yang telah dewasa atas anak luar kawin yang diakui (Pasal 353 KUHPer).
• Perwalian menurut wasiat (Pasal 355 KUHPer). • Wali datif, wali yang diangkat oleh pengadilan negeri (Pasal 359 KUHPer). • Perwalian badan hukum yang diangkat oleh hakim (Pasal 365 KUHPer). • Wali curator/pengampu (Pasal 453 KUHPer). •
Kewajiban seorang wali
• Pasal 385 ayat 1 KUHPer, wajib mengurus harta kekayaan anak yang belum dewasa
• Pasal 383 KUHPer, menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan terhadap pribadi anak yang belum dewasa sesuai harta
kekayaannya dan
mewakilinya dalam segala tindakan perdata.
• Pasal 399 ayat 1 KUHPer, tidak boleh menjual barang tak bergerak milik anakdi bawah perwaliannya dengan cara lain melainkan dengan lelang umum.
•
Pembebasan dan pemecatan dari perwalian Pasal 379 KUHPer orang yang tidak dapat diangkat sebagai wali.
• Orang yang sakit ingatan • Orang yang belum dewasa • Orang yang berada di bawah pengampuan • Orang yang telah dicabiut kekuasaannya sebagai orang tua maupun wali
• Kepala dan anggota Balai Harta Peninggalan, kecuali dari anak anaknya sendiri
•
Mulai dan berakhirnya hak perwalian Pasal 331a KUHPer, perwalian mulai berlaku jika
•
Seorang wali diangkat oleh hakim
•
seorang wali diangkat oleh salah satu dari orang tua
•
seorang perempuan bersuami diangkat menjadi wali
•
suatu perhimpunan, yayasan atau lembaga anak diangkat menjadi wali
•
seseorang menjadi wali karena hukum
Pasal 331b KUHPer, hak perwalian berakhir jika
•
Diangkat wali lainnya
•
Anak yang belum dewasa setelah berada di bawah perwalian, dikembalikan ke kekuasaan orang tuanya
•
Anak luar kawin yang belum dewasa yang telah diakui undang undang.
• Sistem Kekerabatan •
Pengertian sistem kekerabatan Serangkaian aturan yang mengatur penggolongan orang orang sekerabat. Mencakup berbagai tingkat hak dan kewajiban di antara orang orang sekerabat yang membedakan hubungan mereka dengan orang orang yang tidak tergolong sebagai kerabat. Kelompok kekerabatan terkecil sejumlah orang yang mempunyai hubungan darah dari orang tua atau leluhur yang sama, orang orang ini disebut sebagai kelompok Consanguine. Sedangkan karena hubungan perkawinan disebut kelompok Effine.
•
Kekeluargaan sedarah Suatu pertalian keluarga dimana yang satu adalah keturunan yang lain yang semua mempunyai nenek moyang yang sama. Pasal 291 KUHPer
•
Garis lurus ke atas, yaitu hubungan antara seorang dan sekalian mereka yang menurunkan dia
•
Garis lurus ke bawah, yaitu hubungan antara nenek moyang dan sekalian keturunannya.
•
Kekeluargaan semenda Suatu pertalian keluarga yang disebabkan karena perkawinan, ialah sesuatu antara seorang diantara suami isteri dan para keluarga sedarah dari yang lain. Jadi Hubungan keluarga semenda adalah pertalian keluarga yang terjadi karena perkawinan seseorang dengan keluarga suami atau isteri (ipar).
Hukum Keluarga Menurut UU No. 1 Tahun 1974
• Keturunan a. Anak Sah
•
Pengertian Anak Sah Menurut Pasal 42 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah
•
Penyangkalan Anak Sah Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzinah dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan (Pasal 44 UUP).
•
Pembuktian Anak Sah Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran otentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. Bila akte kelahiran tersebut tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang telitiberdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang
bersangkutan
mengeluarkan
akte
kelahiran
bagi
anak
yang
bersangkutan (Pasal 55). b. Anak Luar Perkawinan adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan pria dan wanita diluar perkawinan yang sah, dimana diantara mereka tidak terkena laranga perkawinan atau tidak sedang terikat perkawinan dengan orang lain. Menurut Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
2. Kekuasaan Orang Tua a. Kekuasaan Orang Tua terhadap Diri Si Anak Menurut Pasal 41 UUP, bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Menurut Pasal 45 UUP, kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anakanak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan dan memelihara anak ini disebut dengan hak alimentasi. Menurut Pasal 46 UUP ditegaskan, bahwa anaka wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas bila mereka itu memerlukan bantuannya. Menurut Pasal 47 UUP, anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. b. Kekuasaan Orang Tua terhadap Harta Kekayaan Anak Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barangbarang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum melangsungkan
perkawinan,
kecuali
apabila
kepentingan
anak
itu
menghendakinya (Pasal 48 UUP). c.Pembebasan dan Pencabutan Kekuasaan Orang Tua Pasal 49 ayat (1) UUP menegaskan, bahwa salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis
lurus ke atas dan saudara kendung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal sebagai berikut: a. Ia sangat melalikan kewajibannya terhadap anaknya. b. Ia berkelakuan buruk sekali. Selanjutnya menurut ayat (2)-nya, meskipun orang tua dicabut kekuasaanya, mereka masih tetap berkewajiban untuk member biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. 3. Perwalian a. Anak Dibawah Perwalian Menurut Pasal 50 UUP, anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Perwalian ini mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. Menurut Pasal 51 ayat (1) dan (2) UUP, wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dnegan lisan di hadapan 2 orang saksi. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. b. Kewajiban Seorang Wali Menurut Pasal 51 dan 52 UUP disebutkan, bahwa seorang wali adalah:
•
Wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya
sebaik-baiknya
dengan
menghormati
agama
dan
kepercayaan anak itu.
•
Wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.
•
Bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannyaserta kerugianyang ditimbulkan karena kesalahan atau kelaliannya.
•
Tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak yang di bawah penguasaannya, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
c. Pembebasan dan Pemecatan dari Perwalian Wali dapat dicabut dari kekuasaannya dalam hal-hal ia sangat melalaikan kewajibannya
terhadap
anak
yang
ada
dibawah
penguasaannyadan
ia
berkelakuan buruk sekali. Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali (Pasal 53 UUP). Wali yang telah menyebabkan
kerugian
kepada
harta
benda
anak
yang
ada
dibawah
kekuasaannya, atas tuntunan anak atau keluarga anak tersebut denga keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk menggantikerugian tersebut (Pasal 54 UUP).
HUKUM KELUARGA MENURUT HUKUM ISLAM
• Keturunan •
Anak Sah
• Pengertian Anak Sah menurut Pasal 99 Komplasi Hukum Islam, anak sah adalah : (a) anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. (b) Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Dalam pandangan hukum Islam, ada empat syarat supaya nasab anak itu dianggap sah, yaitu: (1) Kehamilan bagi seorang istri bukan hal yang mustahil, artinya normal dan wajar untuk hamil. Imam Hanafi tidak mensyaratkan seperti ini, menurut beliau meskipun suami istri tidak melakukan hubungan seksual, apbila
anak lahir dari seorang istri yang dikawini secara sah, maka anak tersebut adalah anak sah; (2) Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan sedikit-
dikitnya enam bulan sejak perkawinan. Tentang ini terjadi ijma’ para pakar hukum Islam (fuqaha) sebagai masa terpendek dari suatu kehamilan. (3) Anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang kehamilan. Tentang hal ini masih diperselisihkan oleh pakar hukum Islam;
(4) Suami tidak mengingkar anak tersebut melalui lembaga li’an. Jika seorang laki-laki ragu tetang batas minimal tidak terpenuhi dalam masalah kehamilan atau batas maksimal kehamilan terlampaui, maka ada alasan bagi suami untuk mengingkari anak yang dikandung oleh istrinya dengan
cara li’an. •
Penyangkalan Anak Sah Pasal 101 KHI Seorang
suami
yang
mengingkari
sahnya
anak,sedang
istri
tidak
menyangkalnya, maka dapat meneguhkan pengiingkarannya dengan li’an. Pasal 102 KHI (1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. (2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu itu tidak dapat diterima.
Jadi, baik dalam hukum positif Indonesia maupun dalam Hukum Islam, selama anak tersebut dilahirkan dalam perkawinan sah kedua orangtuanya, anak tersebut adalah anak yang sah dari keduanya.
3.)Pembuktian Anak Sah Pasal 103
(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya. (2) Bila akta kelahiram alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah. (3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
•
Anak Luar Kawin Pasal 100 KHI Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
•
Pengangkatan Anak
Pada dasarnya, Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) tidak mengatur mengenai pengangkatan anak oleh orang tua tunggal. KHI hanya menerangkan terkait hak waris anak angkat. Menurut KHI, yang dimaksud anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan (Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam). Dalam Hukum Islam, sebagaimana terdapat dalam artikel yang berjudul Mengadopsi Anak Menurut Hukum Islam yang dimuat dalam Republika.co.id,
kalangan Majelis Ulama Indonesia (“MUI”) sejak lama sudah memfatwakan tentang adopsi. Fatwa itu menjadi salah satu hasil Rapat Kerja Nasional MUI yang berlangsung pada Maret 1984. Pada salah satu butir pertimbangannya, para ulama memandang, bahwa Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, yaitu anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan). Hanya saja, MUI mengingatkan ketika mengangkat (adopsi) anak, jangan sampai si anak putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab, hal ini bertentangan dengan syariat Islam. Banyak dalil yang mendasarinya.
Yaitu antara lain Al-Quran surat al-Ahzab ayat 4-5 yang artinya: "Dan, dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri); yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang paling adil di hadapan Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudaramu seagama dan maula-maula (hamba sahaya yang di merdekakan)." Selain itu, dalam artikel tersebut juga disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa, "Dari Abu Dzar RA sesungguhnya ia mendengar Rasulullah bersabda, "Tidak seorangpun mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayah yang sebenarnya, sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur." (HR Bukhari dan Muslim) Dalam fatwanya MUI memandang, mengangkat anak hendaknya tidak lantas mengubah status (nasab) dan agamanya. Misalnya, dengan menyematkan nama orangtua angkat di belakang nama si anak. Rasulullah telah mencontohkan. Beliau tetap mempertahankan nama ayah kandung Zaid, yakni Haritsah di belakang namanya dan tidak lantas mengubahnya dengan nama bin Muhammad. Mengenai status anak angkat menurut hukum Islam, dalam tulisan yang berjudul Hukum Pengangkatan Anak dalam Perspektif Islam, Drs. H. Abd.
Rasyid As’ad, M.H. (Hakim Pengadilan Agama Mojokerto) menyatakan antara lain Al-Quran surat al-Ahzab ayat 39 menegaskan bahwa anak angkat tidak bisa disamakan dengan anak kandung sehingga mantan isteri anak angkat tetap boleh dinikahi oleh ayah angkatnya.
•
Kekuasaan Orang Tua
• Kekuasaan Orang Tua Terhadap Diri si-Anak Pasal 104 KHI (1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungkawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahya stelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban member nafkah kepada ayahnya atau walinya.
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya. Pasal 105 KHI Dalam hal terjadinya perceraian : a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih
diantara
ayah
atau
ibunya
sebagai
pemegang
hak
pemeliharaanya; c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Pasal 98 KHI (1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. (2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. (3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban trsebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.
• Perwalian •
Pengertian Perwalian Menurut KHI, Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukansesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yangtidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukanperbuatan hokum.
•
Anak dibawah Perwalian Menurut KHI pasal 107,
•
Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
•
Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya.
•
Bila
wali
tidak
mampu berbuat
atau
lalai
melaksanakan
tugas
perwaliannya, maka pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untukbertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.
•
Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau oranglain yang sudah dewasa, berpiiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.
Ditambah lagi pasal 108 KHI, Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.
•
Kewajiban Seorang wali Menurut Hukum Islam, kewajiban seorang wali tercantum dalam pasal 110111 KHI, Pasal 110 KHI (1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya. (2) Wali dilarang mengikatkan, membebanni dan mengasingkan harta orang yang berada dibawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan. (3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya. (4) Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) Undang-undang No.1 tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun satu kali. Pasal 111 KHI (1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah.
(2) Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya. d. Berakhirnya hak Perwalian menurut hokum Islam, berakhirnya hak perwalian juga djelaskan dalam KHI, yaitu pasal 109,yaitu Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatbya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros,gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya. Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.
HUKUM KEKELUARGAAN DALAM HUKUM ADAT
A.
Keturunan
Keturunan (ketunggalan leluhur) adalah unsur yang penting bagi suatu klen, suku ataupun kerabat yang menginginkan dirinya tidak punah, yang menghendaki supaya ada generasi penerus. Individu sebagai keturunan mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban tertentu yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga, misalnya boleh ikut menggunakan nama keluarga, saling bantu membantu dan saling mewakili dalam suatu perbuatan hukum dengan pihak ketiga dan sebagainya. Keturunan dapat bersifat: a. Lurus, apabila seseorang merupakan keturunan langsung, misalnya antara bapak dan anak sampai cucu disebut lurus ke bawah, sebaliknya dari anak, bapak dan kakek disebut lurus ke atas. b.
Menyimpang atau bercabang, apabila kedua orang atau lebih terdapat adanya ketunggalan leluhur, misal bapak ibunya sama (saudara kandung), sekakek-nenek dan sebagainya.
Selain itu, sifat keturunan ada tingkatan-tingkatan atau derajat-derajatnya, untuk menggambarkan dekat atau jauhnya hubungan keluarga, misalnya seorang anak merupakan keturuan tingakat I dari bapaknya, cucu merupakan keturunan tingkat II dari kakeknya dan sebagainya. Dikenal juga keturuanan garis bapak (keturunan patrilineal ), yaitu hubungan darahnya dilihat dari segi laki-laki/bapak. Dan keturuanan garis ibu (keturunan matrilineal ), yaitu hubungan darahnya dilihat dari garis perempuan/ibu. Sedangkan
yang mengakui keturunan dari kedua belah pihak disebut bilateral .
Lazimnya untuk kepentingan keturunannya dibuat “silsilah” yaitu bagan di mana digambarkan dengan jelas garis-garis keturunan dari seseorang dari suami/ isteri baik yang lurus ke atas maupun yang lurus ke bawah, ataupun yang menyimpang. Hubungan kekeluargaan ini faktor yang penting dalam :
• Masalah perkawinan, untuk meyakinkan apakah ada hubungan kekeluargaan yang merupakan larangan untuk menjadi suami-isteri.
•
Masalah waris : hubungan kekeluargaan merupakan dasar pembagian harta peninggalan.
B.
Hubungan Anak dengan Orang Tuanya
Hubungan anak dengan orang tuanya menimbulkan akibat hukum sebagai berikut :
•
Larangan kawin antara bapak atau ibu dengan anak
•
Saling berkewajiban untuk memelihara dan memberi nafkah
Anak memiliki kedudukan yang penting dalam keluarga yaitu: sebagai penerus generasi, sebagai pusat harapan orang tuanya dikemudian hari, sebagai pelindung orang tua kemudian hari apabila orang tuanya sudah tidak mampu baik secara fisik ataupun orang tuanya tidak mampu bekerja lagi. Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah antara suami dan istri adalah hal yang normal dan disebut anak kandung (anak sah) . Tetapi dalam kenyataan, tidak semuanya berjalan dengan normal seperti berikut: 1.
Anak Lahir di Luar Perkawinan Bagaimana
pandangan
masyarakat
adat
terhadap
peristiwa
ini
dan
bagaimana hubungan antara si anak dengan wanita yang melahirkan dan bagaimana dengan pria yang bersangkutan?
Anak lahir di luar perkawinan adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang belum menikah. Pandangan masyarakat adat terhadap peristiwa ini adalah tidak sama di setiap daerah, ada yang menganggap biasa (Mentawai, Timor, Minahasa dan Ambon); yang mencela dengan keras di buang di luar persekutuan, bahkan dibunuh dipersembahkan sebagai budak (seperti di daerah kerajaan-kerajaan dahulu). Agar ibu dan anak tidak mengalami hal demikian maka dilakukan:
•
Kawin paksa Yaitu si pria yang ditunjuk oleh si perempuan sebagai orang yang menghamilinya dipaksa kawin dengan si perempuan. Hal ini terjadi di Sumatera Selatan dan Bali.
•
Kawin darurat Yaitu seuatu perkawinan dengan sembarang lelaki dengan perempuan yang hamil, supaya anak yang lahir terlahir dalam hubungan perkawinan. Perkawinan semacam ini terjadi pada orang Jawa dan Bugis.
2.
Anak Lahir karena Hubungan Zinah Apabila seorang isteri melahirkan anak karena hubungan gelap dengan
seorang pria lain bukan suaminya, maka menurut hukum adat, pria itu menjadi bapak dari anak tersebut, kecuali apabila si pria menolak menjadi bapak dari anak tersebut dengan alasan yang dapat diterima. 3.
Anak Lahir setelah Perceraian Anak yang dilahirkan setelah perceraian, menurut hukum adat mempunyai
bapak bekas suami si ibu yang melahirkan tersebut, apabila terjadi masih dalam batas-batas waktu mengandung. 4.
Anak Piara Adalah anak yang dititipkan pada orang lain untuk dipelihara, dilakukan untuk
memenuhi kewajibannya sebagai orang tua untuk memelihara anak. Anak yang dititipkan dapat sewaktu-waktu diambil kembali oleh orang tuanya dengan penggantian biaya pemeliharaan, hal ini tentu saja berbeda denga adopsi 5.
Anak Tiri Yaitu anak dari salah seorang suami atau isteri yang dibawa dalam hubungan
perkawinan dan diakui sebagai anaknya sendiri 6.
Anak Angkat
Mengangkat anak (adopsi) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sehingga timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri. Dilihat dari sudut anak yang dipungut, maka dapat dibedakan beberapa macam, sebagai berikut: 1.
Mengangkat Anak bukan Warga Keluarga Lazimnya tindakan ini disertai dengan penyerahan barangbarang magis atau sejumlah uang kepada keluarga anak semula. Alasan adopsi pada umumnya takut tidak ada keturunan. Kedudukan hukum anak adopsi ini adalah sama dengan anak kandung suami istri yang mengangkatnya, sedangkan kekeluargaan dengan orang tua sendiri secara adat menjadi putus. Adopsi harus terang artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala adat. Hal demikian terdapat di daerah Gayo, Lampung, Pulau Nias dan Kalimantan.
2.
Mengangkat Anak dari Kalangan Keluarga Anak lazimnya diambil dari salah satu klen yang ada hubungan tradisionalnya (purusa). Di Bali perbuatan ini disebut nyentanayang , adapun dalam keluarga dengan selir-selir, maka apabila isterinya tidak mepunyai anak, biasanya anak-anak dari selir-selir itu diangkat untuk dijadikan anak istrinya.
3.
Mengangkat Anak dari Kalangan Keponakan-Keponakan Perbuatan ini terdapat di Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah lain. Sebab pengankatan keponakan sebagai anak karena; a.
Tidak punya anak sendiri
b.
Belum dikaruniai anak
c.
Terdorong oleh rasa kasihan Sesungguhnya
perbuatan
ini
merupakan
pergeseran
kekeluargaan dalam lingkungan keluarga. Lazimnya ini tidak disertai dengan pembayaran atau penyerahan barang. Tetapi di Jawa Timur sekedar sebagai tanda bahwa hubungan anak dengan orang tuanya terputus, orang tua kadung anak tersebut diberi uang sejunlah rongwang segobang (=17
½
sen ) sebagai syarat. Sedangkan di
Minahasa diberi tanda yang disebut parade sebagai pengakuan.
Selain itu dikenal juga dengan istilah pemungutan anak yang maksud serta tujuannya bukan semata karena untuk memperoleh keturunan melainkan lebih untuk memberikan kedudukan hukum kepada anak yang dipungut agar lebih baik dan menguntungkan dari semula. Misalnya mengangkat anak laki-laki dari selir (Lampung, Bali) dan mengangkat anak tiri menjadi anak sendiri.
C.
Hubungan Anak dengan Keluarga
Pada masyarakat yang menganut sistem bilateral atau parental, hubungan antara golongan kerabat pihak bapak terhadap anak adalah sama dengan perhubungan anak dengan golongan kerabat pihak ibunya. Masalah-masalah tentang larangan perkawinan, kecenderungan-kecenderungan perkawinan, hukum waris, kewajiban memelihara, semua hal tersebut berlaku sama terhadap dua pihak dengan mutu yang sama pula. Pada masyarakat matrilineal, hubungan anak dengan keluarga dari pihak ibu lebih erat dibandingkan dengan hubungak anak dengan keluarga dari pihak bapak. Pada masyarakat patrilineal, hubungan anak dengan keluarga dari pihak bapak lebih erat dibandingkan dengan hubungak anak dengan keluarga dari pihak ibu. D.
Perwalian
Apabila dalam suatu keluarga, salah satu dari orang tuanya bapak atau ibunya sudah tidak ada lagi, maka anak-anak yang belum dewasa dipelihara oleh salah satu orang tuanya yang masih hidup. Jika kedua orang tuanya tidak ada, maka yang memelihara anak-anak yang ditinggalkan adalah salah satu dari kelurga yang terdekat dan yang paling memungkinkan untuk keperluan itu. Dalam keadaan demikian biasanya tergantung pada anak diasuh dimana pada waktu ibu dan bapaknya masih ada, kalau biasanya diasuh dikeluarga ibu, maka anak akan diasuh oleh keluarga ibu dan sebaliknya. Dalam keluarga matrilineal, jika bapaknya meninggal dunia, maka ibunya meneruskan kekuasannya terhadap anak-anak yang belum dewasa. Jika ibunya yang meninggal dunia, maka anak-anak yang belum dewasa berada pada kerabat ibunya serta dipelihara terus oleh kerabat ibunya yang bersangkutan, sedangkan hubungan antara anak dengan bapaknya dapat terus dipelihara.
Dalam keluarga yang patrilineal jika bapaknya meninggal dunia, maka ibunya terus memelihara anak-anak yang belum dewasa, jika ibunya meninggalkan rumah dan pulang kerumah lingkungan keluarganya atau kawin lagi, maka anak-anak tetap pada kekuasaan keluarga almarhum suaminya. Ketentuan - ketentuan tersebut di atas, makin hari atau lambat laun mengalami perubahan dan penyimpangan-penyimpangan menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan cara berfikir masyarakat yang modern.
CONTOH KASUS
HAK WARIS ANAK ANGKAT (ADOPSI) TERHADAP HARTA WARISAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KUHPer
Anak adalah bagian dari segala tumpuhan dan harapan kedua orang tua, utamanya adalah ayah dan ibu, Namun demikian, tujuan tersebut terkadang tidak dapat tercapai sesuai dengan harapan. Beberapa pasangan hidup, tidaklah sedikit dari mereka mengalami kesulitan dalam memperoleh keturunan. sehingga kemudian di antara merekapun ada yang mengangkat anak. Pengangkatan anak terbagi dalam dua pengertian, yaitu: pertama, pengangkatan anak dalam arti luas. Ini menimbulkan hubungan nasab sehingga ada hak dan kewajiban selayaknya antara anak sendiri terhadap orang tua sendiri. kedua, ialah pengangkatan anak dalam arti terbatas. yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri dan hubungan antara anak yang diangkat dan orang tua yang mengangkat hanya terbatas pada Hubungan Sosial saja. Di Indonesia, ada tiga sistem hukum perdata yang berlaku dalam mengatur permasalahan tentang pengangkatan anak. Ketiga sistem hukum itu adalah Hukum Perdata Islam, Hukum Perdata Adat dan Hukum Perdata Barat (Muderis Zaini,2006:31). Untuk sementara pembahasan mengenai hukum Adat tidak kami sebutkan di sini, melainkan lebih dikonsentrasikan antara Hukum Islam dan Hukum Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek) di Indonesia. Jika yang pertama hukum Islam ditempatkan sebagai blue-print atau cetak biru Tuhan yang selain sebagai kontrol juga sekaligus sebagai social engineering terhadap keberadaan suatu Hukum Islam sebagai satu pranata sosial memiliki dua fungsi; pertama, sebagai kontrol sosial dan kedua sebagai nilai komunitas masyarakat. Sementara yang kedua, hukum lebih merupakan produk sejarah yang dalam batasbatas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya, dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks ini, hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab kalau tidak, besar kemungkinan hukum Islam akan mengalami kemandulan fungsi bagi kepentingan umat. Karena itu apabila para pemikir hukum tidak memiliki kesanggupan atau keberanian untuk mereformulasi dan mengantisipasi setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat dan mencari penyelesaian hukumnya, maka hukum Islam akan kehilangan aktualitasnya. Menurut Cik Hasan Bisri, tema utama KHI ialah mempositifkan hukum Islam di Indonesia yaitu dengan melengkapi pilar peradilan agama, menyamakan persepsi penerapan hukum, mempercepat proses Taqribi Bainal Ummah dan menyingkirkan paham private affairs. (Cik Hasan Bisri, 2000 :27)
Akan tetapi, berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini bahwa pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda sejalan dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di dalam masyarakat yang bersangkutan. Kenyataan tersebut dapat dilihat antara lain dalam Kompilasi Hukum Islam, Disebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Pengangkatan anak yang dimaksud bertujuan untuk menolong atau sekedar meringankan beban hidup bagi orang tua kandung. Sedang pengangkatan anak juga sering dilakukan dengan tujuan untuk meneruskan keturunan bilamana dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Ada pula yang bertujuan sebagai pancingan seperti di Jawa khususnya. Menurut istilah kepercayaan tersebut, dengan mengangkat anak, keluarga tersebut akan dikaruniai anak kandung sendiri. Disamping itu ada yang disebabkan oleh rasa belas kasihan terhadap anak yang menjadi yatim piatu, kekurangan yang tak kunjung henti-henti sehingga menjadi terlantar atau disebabkan oleh keadaan orang tuanya yang tidak mampu untuk memberi nafkah. Keadaan demikian, kemudian berlanjut pada permasalahan mengenai pemeliharaan harta kekayaan (harta warisan) baik dari orang tua angkat maupun orang tua asli (kandung). Sedang cara untuk meneruskan pemeliharaan harta kekayaan inipun dapat dilakukan melalui berbagai jalur sesuai dengan tujuan semula. Hal-hal tersebut di atas, membuat penyusun ingin melihat lebih jauh makna filosofis yang terkandung dari adanya pengangkatan anak yang kian marak dilakukan dengan berbagai keinginan. karena keberadaannya, baik secara Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan hak kepada anak angkat untuk mendapatkan harta dari orang tua angkat.
Hak Waris Anak Angkat Terhadap Harta Warisan
Menurut Rachmadi Usman (2009:01), Dalam istilah bahasa arab hukum kewarisan
disebut Fara’id, yang kemudian dalam kepustakaan ilmu hukum belum terdapat keseragaman istilah yang digunakan dan sementara terdapat beberapa istilah seperti hukum warisan, hukum waris, hukum kewarisan, hukum mawaris, hukum fara’id, dan lain-lain. Namun demikian dari segi kebahasaan, istilah yang sesuai
untuk penyebutan “Hukum fara’id” tersebut adalah “Hukum kewarisan”, yang juga dipergunakan dalam undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 3 tahun 2006 dan kompilasi hukum islam.
Menurut istilah bahasa fara’id juga bisa mempunyai arti taqdir (qadar atau ketentuan) dan pa da syari’ah ialah bagian yang diqadarkan atau yang ditentukan bagi waris. Adapun asal kalimat fara’id adalah jama’ dari faridlah yang mempunyai arti satu bagian tertentu, jadi fara’id berarti beberapa bagian tertentu. Dengan demikian fara’id dapat diartikan dengan bagian tertentu (yang besar kecilnya sudah ditentukan) yang menjadi hak ahli waris.
Sumber hukum Kewarisan
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam ayat Al- Qur’an, bahwa pada prinsipnya hukum Islam bersumber pada penetapan Allah (berupa hukum Allah yang tercantum dalam ayat suci al- qur’an dan kitab-kitab suci yang terdahulu yang diturunkan kepada para Nabi, dan Rasul Allah), penetapan Rasul Allah (Berupa hukum Rasul baik dalam bentuk Hadits maupun Sunnah) dan penetapan ulil amri (berupa Hukum Negara –dengan cara “berijtihad” , dalam artian mempergunakan “Logika” untuk menetapkan sesuatu hukum yang didasarkan pada hukum Allah dan hukum Rasul).
Sumber hukum Islam tersebut satu sama lain berfungsi untuk saling “memperjelas” dan “memperkuat”. Hukum Negara akan berlaku di samping hukum Allah dan hukum rasul, jika tidak bertentangan atau berlawanan dengan hukum Allah dan hukum rasul, sebab penetapan hukum Negara digali dan didasarkan kepada dua sumber hukum Islam yang paling Asasi nilai kebenarannya dan dapat dipertanggung
jawabkan keotentikannya, yang langsung atau tidak langsung telah “diperintahkan” atau “diwahyukan” oleh Allah melalui Rasul-Nya. walaupun itu asalnya hanya perbuatan atau perkataan Rasul sendiri, yang kemudian dibenarkan oleh Allah dengan tanpa mengadakan koreksi untuk membatalkannya atau menetapkan hukum
(Syara’) yang lain. Adapun hukum yang ditemukan melalui hasil Ijtihad ini disebut Fiqih. Fiqih merupakan himpunan undang-undang dan pembahasan yang menyampaikan kepada semua orang untuk mem pergunakan syari’at amalia yang menunjukkan secara terperinci. Jadi dalam fiqih terkandung hukum-hukum yang terperinci yang merupakan pengembangan dan perluasan dasar-dasar hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Oleh karena cara yang dipakai m ujtahid dalam usaha pengendalian hukum tidak sama dan kemampuan akalnya pun berbeda, maka terdapatlah hasil Ijtihad (fiqih) yang berbeda-beda. Setiap hasil ijtihad yang telah ditemukan oleh mujtahid terdahulu menjadi pedoman yang tidak mengikat bagi mujtahid yang datang kemudian dalam usahanya menggali hukum pada situasi dan tempat tertentu. Adapun Hadits Rasul yang berhubungan dengan hukum kewarisan di antaranya adalah sebagai berikut :
Hadits Nabi dari Ibnu Abbas, riwayat bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya : “Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama”.
Menurut Idris Djakfar dalam bukunya Rachmadi Usman (2009 : 26), Adapun sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tersebut, dikeluarkan keputusan menteri agama Nomor 154 Tahun 1991, yang berisikan antara lain agar seluruh lingkungan Instansi Departemen Agama dan Instansi Pemerintah lainnya yang terkait, dalam menyelesaikan masalah-masalah dibidang hukum perkawinan, kewarisan, dan perwaqafan, sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut disamping peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kompilasi hukum Islam bukanlah sekedar
“Pedoman” bagi hakim dilingkungan peradilan agama dalam menyelesaikan perkara-perkara dan permohonan- permohonan yang diajukan kepadanya, melainkan sumber hukum materil yang harus dipergunakan olehnya dalam mengadili, memutus dan menyelasaikan permasalahan- permasalahan yang terdapat dalam perkawinan, kewarisan dan perwaqafan bagi mereka yang beragama Islam, disamping peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan perkawinan, kewarisan dan perwaqafan.
Hak Waris Anak Angkat Terhadap Harta Warisan
Menurut Rachmadi Usman (2009:01), Dalam istilah bahasa arab hukum kewarisan
disebut Fara’id, yang kemudian dalam kepustakaan ilmu hukum belum terdapat keseragaman istilah yang digunakan dan sementara terdapat beberapa istilah seperti hukum warisan, hukum waris, hukum kewarisan, hukum mawaris, hukum fara’id, dan lain-lain. Namun demikian dari segi kebahasaan, istilah yang sesuai
untuk penyebutan “Hukum fara’id” tersebut adalah “Hukum kewarisan”, yang juga dipergunakan dalam undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 3 tahun 2006 dan kompilasi hukum islam.
Menurut istilah bahasa fara’id juga bisa mempun yai arti taqdir (qadar atau ketentuan) dan pada syari’ah ialah bagian yang diqadarkan atau yang ditentukan bagi waris. Adapun asal kalimat fara’id adalah jama’ dari faridlah yang mempunyai arti satu bagian tertentu, jadi fara’id berarti beberapa bagian ter tentu. Dengan demikian fara’id dapat diartikan dengan bagian tertentu (yang besar kecilnya sudah ditentukan) yang menjadi hak ahli waris.
Sumber hukum Kewarisan
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam ayat Al- Qur’an, bahwa pada prinsipnya hukum Islam bersumber pada penetapan Allah (berupa hukum Allah yang tercantum dalam ayat suci al- qur’an dan kitab-kitab suci yang terdahulu yang diturunkan kepada para Nabi, dan Rasul Allah), penetapan Rasul Allah (Berupa hukum Rasul baik dalam bentuk Hadits maupun Sunnah) dan penetapan ulil amri (berupa Hukum Negara –dengan cara “berijtihad” , dalam artian mempergunakan “Logika” untuk menetapkan sesuatu hukum yang didasarkan pada hukum Allah dan hukum Rasul). Sumber hukum Islam tersebut satu sama lain berfungsi untuk saling “memperjelas”
dan “memperkuat”. Hukum Negara akan berlaku di samping hukum Allah dan hukum rasul, jika tidak bertentangan atau berlawanan dengan hukum Allah dan hukum rasul, sebab penetapan hukum Negara digali dan didasarkan kepada dua sumber hukum Islam yang paling Asasi nilai kebenarannya dan dapat dipertanggung
jawabkan keotentikannya, yang langsung atau tidak langsung telah “diperintahkan” atau “diwahyukan” oleh Allah melalui Rasul-Nya. walaupun itu asalnya hanya perbuatan atau perkataan Rasul sendiri, yang kemudian dibenarkan oleh Allah dengan tanpa mengadakan koreksi untuk membatalkannya atau menetapkan hukum
(Syara’) yang lain. Adapun hukum yang ditemukan melalui hasil Ijtihad ini disebut Fiqih. Fiqih merupakan himpunan undang-undang dan pembahasan yang menyampaikan
kepada semua orang untuk mempergunakan syari’at amalia yang menunjukkan secara terperinci. Jadi dalam fiqih terkandung hukum-hukum yang terperinci yang merupakan pengembangan dan perluasan dasar-dasar hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Oleh karena cara yang dipakai mujtahid dalam usaha pengendalian hukum tidak sama dan kemampuan akalnya pun berbeda, maka terdapatlah hasil Ijtihad (fiqih) yang berbeda-beda. Setiap hasil ijtihad yang telah ditemukan oleh mujtahid terdahulu menjadi pedoman yang tidak mengikat bagi mujtahid yang datang kemudian dalam usahanya menggali hukum pada situasi dan tempat tertentu. Adapun Hadits Rasul yang berhubungan dengan hukum kewarisan di antaranya adalah sebagai berikut : Hadits Nabi dari Ibnu Abbas, riwayat bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya : “Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama”.
Menurut Idris Djakfar dalam bukunya Rachmadi Usman (2009 : 26), Adapun sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tersebut, dikeluarkan keputusan menteri agama Nomor 154 Tahun 1991, yang berisikan antara lain agar seluruh lingkungan Instansi Departemen Agama dan Instansi Pemerintah lainnya
yang terkait, dalam menyelesaikan masalah-masalah dibidang hukum perkawinan, kewarisan, dan perwaqafan, sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut disamping peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kompilasi hukum Islam bukanlah sekedar
“Pedoman” bagi hakim dilingkungan peradilan agama dalam menyelesaikan perkara-perkara dan permohonan- permohonan yang diajukan kepadanya, melainkan sumber hukum materil yang harus dipergunakan olehnya dalam mengadili, memutus dan menyelasaikan permasalahan- permasalahan yang terdapat dalam perkawinan, kewarisan dan perwaqafan bagi mereka yang beragama Islam, disamping peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan perkawinan, kewarisan dan perwaqafan.
Hak waris anak angkat terhadap harta warisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam hukum kewarisan (2009 : 261), Indonesia merupakan salah satu negara merdeka dan berdaulat sekaligus sebagai Negara Hukum, yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam,bahkan terdapat lembaga peradilan agama yang berasas personalitas keislaman yang keberadaannya sama dengan persoalan lainnya yang berpuncak pada mahkamah agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi di indonesia. Salah satu hukum materiil peradilan agama di indonesia yang di jadikan rujukan oleh para hakim adalah kompilasi hukum Islam, walaupun berlakunya hanya melalui intruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991, sedangkan salah satu materi Kompilasi Hukum Islam adalah pemberian wasiat wajibah kepada anak angkat pasal 209 KHI, hal ini merupakan terobosan baru dalam hukum Islam yang tidak di temukan dalam kitab- kitab klasik bahkan undang- undang mesir dan siria pun tidak menyatakan wasiat wajibah kepada anak angkat. Pasal 209 KHI tidak mungkin tanpa dasar hukum baik melalui istimbat atau istidlal hal ini karena keduanya merupakan metode ijtihad yang tidak boleh di tinggalkan dalam penemuan hukum Islam, terutama hal-
hal yang tidak di atur secara jelas dalam nas syara’. Dengan demikian penulis akan menelaah pasal 209 KHI melalui pendekatan pemahaman petunjuk al- Baqarah ayat 180 sehingga gerak pasal tersebut tetap
berpijak pada nas syara’ walaupun tidak menafikan metode nas lain. Hak waris anak angkat terhadap harta warisan yang tertera pada pasal 209 dalam kompilasi Hukum Islam adalah :
“Anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.” Sedangkan dalam Ayat Al- Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 180.
"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, kewajiban atas orang-orang yang bertakwa". Kata wasiat secara bahasa bermakna suatu bentuk perjanjian yang di buat oleh seseorang agar melakukan sebuah perbuatan, baik orang tersebut masih hidup maupun setelah meninggal dunia. Sedangkan secara istilah ( terminologi) para
ulama’ mengartikan bahwa wasiat adalah perbuatan yang berupa pemberian milik dari seseorang kepada yang lain yang pelaksanaannya setelah meninggalnya pemberi wasiat baik berupa benda atau berupa manfaat dari benda, dengan jalan
tabarru’ ( sedekah).
Hak waris anak angkat terhadap harta warisan menurut Hukum Perdata (BW)
Berdasarkan ketentuan dalam Staats Blad 1917 laki-laki yang beristri dan tidak mempunyai keturunan laki-laki dalam garis laki-laki, sedangkan yang dapat diangkat sebagai anak hanya anak laki-laki yang belum kawin dan yang belum diambil oleh orang lain sebagai anak angkat. Anak angkat tersebut selanjutnya menggunakan nama keluarga dari keturunan oranng tua angkatnya dan mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak kandung dari orang tua angkatnya serta terputuslah hubugan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya. Lazimnya, pengangkatan anak yang semacam itu merupakan suatu perbuatan yang menyamakan kedudukan anak angkat dengan anak kandung, baik itu dalam hal pemeliharaan dan sampai pada hal kewarisan. Sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua sendiri menurut pasal 12 Staats Blad 1917 No.129 adalah menjadi putus. Begitu pula kaitannya dengan hubungan perdata antara orang tua dengan sanak keluarganya disatu pihak juga terputus sama sekali (pasal 14), dengan perkecualian yang disebutkan dalam pasal 14 bila anak adopsi itu mempunyai nama keluarga dari ayah yang mengadopsinya. Sebagaimana telah dijelaskan juga dalam pasal 11,12,13 dan 14 dari Staats Blad 1917 N0. 129 bahwa:
Anak angkat mendapat Klan keturunan dari orang tua angkatnya. Anak yang diadopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan suami isteri yang mengadopsi, sehingga dianggap sebagai anak yang sah Gugur hubungan Perdata antara anak yang diadopsi dengan orang tua kandung / biologis.
Menurut pasal 830 BW (KUHP) yaitu, pewarisan hanya berlangsung karena kematian, dengan demikian warisan itu baru terbuka kalau si peninggal waris sudah meninggal dunia. Jadi dalam hal ini harus ada orang yang meninggal dunia sebagai peninggal warisan dan ahli waris yang masih hidup sebagai penerima warisan dan juga harta warisan yang akan di bagikan kepada ahli waris. Cara memperoleh warisan menurut hukum Perdata ada dua macam, yaitu :
Sebagai ahli waris menurut undang-undang atau abintestato Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament)
Dalam pasal 832 KUHP ditetapkan bahwa, yang berhak untuk menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah dan yang mempunyai hubungan perkawinan (suami-istri) dengan pewaris. Mereka itu seperti anak atau keturunannya, bapak, ibu, kakek, nenek serta leluhurnya ke atas, saudara atau keturunannya serta suami atau istri. Undang-undang membagi ahli waris pada kelompok ini menjadi 4 (empat) golongan yaitu: golongan kesatu, kedua, ketiga dan keempat. Mereka diklasifikasikan sebagai berikut: Golongan kesatu diatur dalam pasal 852, 852a, KUHP terdiri dari: Ø Anak atau keturunannya Ø Suami atau istri Golongan kedua diatur dalam pasal 854, 856, 857 KUHP terdiri dari: Ø Orang tua, yaitu bapak atau ibu Ø Saudara-saudara atau keturunannya Golongan ketiga diatur dalam pasal 853, KUHP terdiri dari: Ø Kakek atau nenek dari pihak bapak dan seterusnya ke atas Ø Kakek atau nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas Golongan keempat terdiri dari keluarga sedarah lainnya dalam garis menyamping sampai derajat ke 6 (enam) dari pasal 856, 861 KUHP. Keempat golongan tersebut di atas sekaligus merupakan urutan penerimaannya. Jika golongan pertama ada, maka golongan kedua, ketiga dan keempat tidak dapat bagian warisan. Tetapi jika golongan pertama tidak ada maka yang mendapatkan yaitu golongan kedua. Begitu juga seterusnya.
Kalau semua golongan tersebut di atas tidak ada, menurut pasal 832 BW maka segala harta peninggalan menjadi milik Negara dan Negara wajib melunasi hutang pewaris dengan sekedar harta peninggalan yang mencukupi untuk itu. Jadi, jika seandainya semua ahli waris yang telah ditentukan oleh undang-undang, misalnya; anak, istri, suami, bapak, ibu, saudara, kakek, nenek, maka warisan akan jatuh kepada anak atau suami istri sebagai golongan pertama. Sedangkan yang lainnya tidak dapat. Begitu juga, kalau ahli waris terdiri dari istri, ibu, bapak dan saudara, maka harta warisan akan jatuh hanya kepada istrinya saja sedangkan bapak dan ibu serta saudara tidak mendapat bagian, dan begitu seterusnya menurut urutan golongan tersebut di atas. Tentang ahli waris yang dinyatakan tidak patut, tidak pantas menerima wasiat (Onwardig) atau menerima warisan diatur dalam pasal 838, 839 dan 840 BW bagi ahli waris menurut undang-undang dan pasal 912 BW bagi ahli waris menurut wasiat. Ahli waris yang tidak patut menurut pasal 838 BW:
Mereka yang telah di hukum karena di permasalahan telah membunuh atau mencoba membunuh si pewaris. Mereka yang dengan putusan hakim telah dipersalahkan karena secara fitnah telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman penjara 5 tahun lamanya atau lebih berat Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat. Mereka yang telah menggelapkan, merusak , memalsukan surat wasiat si pewaris
Sedangkan ahli waris yang menurut wasiat yang dinyatakan tidak patut menurut pasal 912 BW adalah:
Mereka yang telah di hukum karena membunuh si pewaris Mereka yang telah menggelapkan, membinasakan atau memalsukan surat wasiat si pewaris Mereka yang dengan paksaan atau kekerasan telah mencegah si pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiat.
Adapun yang menjadi acuan dalam hukum kewarisan menurut hukum perdata (BW), yaitu pasal 1066 BW yang berbunyi: Dalam hal seseorang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan harta benda, seseorang itu tidak di paksa membiarkan harta benda itu tetap tidak dibagi diantara orang-orang yang bersama-sama berhak atasnya. Pembagian harta ini selalu dapat di tuntut meskipun ada suatu perjanjian yang bertentangan dengan itu.
Dapat diperjanjikan, bahwa pembagian harta benda itu dipertangguhkan selama waktu tertentu. Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun tetapi dapat diadakan lagi kalau tenggang waktu lima tahun itu telah berlalu. Dengan demikian bagi orang-orang Tionghoa dan warga Negara di Indonesia ada penentuan pokok, bahwa segala harta warisan pada umumnya mungkin dibagi-bagi hanya dapat terjadi dengan persetujuan bulat dari para yang berhak atas warisan itu. Dari uraian tersebut diatas, maka hukum waris (yang merupakan bagian dari hukum Perdata) yang berlaku di Indonesia adalah bermacam-macam yang dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu: Diatur dalam BW (KUH Perdata) untuk golongan Eropa dan Tionghoa Hukum-hukum waris dari golongan Timur Asing selain Tionghoa, termasuk di sini bangsa-bangsa yang kebanyakan beragama Islam, seperti Arab, Persia, Pakistan dan sebagainya
Hukum waris adat, yang bermacam-macam bentuknya. Hukum waris adat, yang bermacam-macam bentuknya.
Hak waris anak angkat (adopsi), diatur dalam hukum adat. Di Indonesia ini sebenarnya, hukum adat banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam. Tetapi, kita masih bisa menemukan di Indonesia ini, anak adopsi yang statusnya disamakan dengan anak sendiri di daerah-daerah tertentu, seperti di Sumatera, Bali dan di tempat lainnya. Kita menyadari, karena di Indonesia ini masalah hukum masih memakai produk hukum Belanda dan mempunyai masyarakat yang agamanya berbeda-beda. Maka, walaupun hukum Islam (syari’at Islam melarang adopsi) tetap tidak bisa menghilangkan seluruhnya Karena masyarakatnya majemuk dan berbedabeda.
Persamaan Dan Perbedaan Hak Waris Angkat (Adopsi) Terhadap Harta Warisan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dan Hukum Perdata (BW)
a. Persamaan Hukum Islam dan hukum Perdata sama-sama mengakui adanya pengangkatan anak tetapi dengan tujuan yang berbeda. Antara hukum Islam dan hukum Perdata memiliki kesamaan dalam pemeliharaan anak angkat. Kesamaan dalam tanggungjawab biaya pendidikan terhadap anak angkat tersebut.
Orang tua angkat berhak memberikan kasih sayang pada anak angkatnya seperti memberikan kasih sayang pada anak kandungnya.
Waktu diadakan wawancara dengan kalangan Ulama’ di se luruh Indonesia pada saat pengumpulan bahan- bahan Kompilasi Hukum Islam, tidak seorang ulama’ pun yang dapat menerima penerapan status anak angkat menjadi ahli waris, barangkali peristiwa Zaid bin Haritsah sangat mendalam terkesan dalam ingatan dan penghayatan para ulam’.
Bertitik tolak dari sikap reaktif para ulam’ tersebut, perumus Kompilasi Hukum Islam tidak perlu melangkah membelakangi Ijma’ Ulama’. Karena itu, meskipun Hukum Adat menyamakan hak dan kedudukan anak angkat dengan status anak kandung Kompilasi Hukum Islam tidak mengadaptasi dan mengompromikannya menjadi nilai Hukum Islam. Hal itu dapat dibaca dalam pasal 171 huruf h dan pasal 209: Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Keabsahan statusnya pun harus berdasarkan keputusan pengadilan. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. (Cik Hasan Bisri,2001:67) Sedangkan dalam Hukum Perdata yang termuat dalam Staats Blad tahun 1917 No. 129 menyebabkan anak yang diangkat disamakan dengan anak kandung sendiri. Dengan demikian, jelas anak angkat bisa menduduki atau mendapatkan harta dari peninggalan orang tua angkatnya.
b. Perbedaan 1. Kompilasi Hukum Islam Tidak memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua kandung Anak angkat tetap berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua kandung dan terhadap orang tua angkat diberi wasiat wajibah dari harta peninggalan anak angkat Orang tua angkat tidak berhak menjadi wali dalam pernikahan anak angkatnya Dalam Hukum Islam anak angkat atau orang tua angkat memperoleh harta warisan dengan jalan wasiat yaitu wasiat wajibah yang besarnya 1/3 dari harta warisan anak atau orang tua angkatnya.(Kompilsi Hukum Islam, 2009: 261) 2. Staats Blad Tahun 1917 Nomor 129 Anak angkat putus hubungan perdata dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat
Anak angkat berkedudukan sebagai pewaris penuh orang tua angkat dan terhadap orang tua kandung tidak lagi mendapatkan warisan sebagaimana ketentuan Staats
Blad Tahun 1917 Nomor 129 pasal 14 yang menyatakan bahwa: “Karena berlangsungnya suatu pengangkatan, terputuslah segala hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran antara anak yang diangkat dengan kedudukan orang tuanya dan keluarga kandung dan semua keluarganya yang
sedarah”. Analisis penyusun, yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan Staats Blad (BW) tahun1917 No. 129 ini karena ajaran Islam seperti yang telah jelas diterangkan dalam ayat suci Al- Qur’an yang tercantum surat Al-Ahzab ayat 4 :
Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan. Yang kemudian larangan memasukkan anak orang lain ke dalam keluarga, sehingga terjadi pertalian nasab dan saling mewarisi dan menimbulkan permasalahan baru. Sedangkan dalam Staats Blad tahun 1917 No. 129 melihat dari kejadian-kejadian orang yang mengangkat anak dengan motif kebudayaan leluhurnya, seperti orang Tionghoa untuk pemujaan dan menjaga abu orang tua angkatnya. Jadi bagi orang yang tidak mempunyai anak laki-laki sangat penting mengangkat anak menjadi anak kandungnya. Adapun perbedaan anak angkat menurut kompilasi Hukum Islam ia mendapat bagian dari harta maksimal 1/3 dari seluruh harta yang ada. Hal tersebut dinamakan
dengan “Wasiat Wajibah”.
Sedangkan dalam Hukum Perdata atau BW (Staats Blad tahun 1917 No. 129) bisa menguasai seluruh harta karena memandang anak angkat disamakan dengan anak sendiri sehingga bisa menguasai seluruh harta orang tua angkatnya. Berdasarkan uraian-uraian pada bab di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan sebagai berikut : Pengangkatan anak yang dilakukan dengan tujuan untuk memberikan kesejahteraan, terutama dalam masalah pendidikan serta memberikan kasih
sayang. Akan tetapi apabila hal yang demikian itu tidak sampai memutuskan hubungan dengan orang tua kandung, maka pengangkatan anak yang demikian itu adalah boleh-boleh saja dan nama yang diberikan kepada anak angkat tersebut bukan sebagai anak angkat, akan tetapi menjadi anak pungut dalam artian semua yang menjadi haram bagi anak pungut tersebut tidak berarti haram semua baginya, karena dia boleh mengawini anak asli dari bapak angkatnya. Akan tetapi haram, karena yang demikian itu bukan muhrim baginya. pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat tersebut terputus segalanya dari orang tua kandungnya, adalah pengangkatan anak yang yang tidak boleh, bahkan
sebagian ulama’ mengharamkan, karena secara logika mereka telah memasukkan orang asing terhadap keluarganya, yang semula haram bagi anak angkat tersebut, tiba-tiba menjadi halal, karena anak angkat yang disamakan dengan anak kandung. Begitu pula sebaliknya, hal-hal yang menjadi halal bagi anak angkat tersebut akan menjadi haram. Seperti mengawini anak kandung dari bapak angkatnya. Hak waris anak angkat terhadap harta warisan yang tertera pada pasal 209 dalam
kompilasi Hukum Islam adalah :“Anak angkat yang tidak menerima wasiat tetapi diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”. Wasiat wajibah merupakan salah satu pemecahan dan me rupakan pembaharuan hukum Islam di Indonesia yang memberi hak dan kewajiban terhadap anak angkat untuk memperoleh warisan dari orang tua angkat. Wasiat wajibah memiliki pengertian sebagai berikut: a. Wasiat wajibah adalah yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertetu. Suatu wasiat, disebut wasiat wajibah karena dua hal yaitu: Hilangnya unsur ihtiyar bagi si pemberi wasiat dan muncullah unsur kewajiban melalui sebuah perundangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetuuan sipenerima wasiat, Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta warisan dalam hal penerimaan laki- laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan.
b. Makna wasiat wajibah, seseorang di anggap menurut hukum telah menerima wasiat meskipun tidak ada wasiat secara nyata, anggapan hukuman itu lahir dari asas apabila dalam suatu hal hukum telah menetapkan wajib berwasiat maka ada atau tidak ada wasiat dibuat, wasiat di aggap ada dengan sendirinya. Wasiat wajibah adalah interpretasi atau bahkan pelaksanaan firman Allah di dalam al-qur’an ( surat al- Baqarah: 180-181), sedangkan inti ayat ini yaitu orang yang merasa dekat dengan ajalnya, sementara ia memiliki harta peninggalan yang cukup
banyak, maka ia wajib melakukan wasiat untuk kedua orang tuanya dan kerabatnya, dan bahwa orang yang mengubah isi wasiat tersebut maka menanggung akibatnya. Dalam Staats Blad 1917 No. 38 pasal 12 dinyatakan “bahwa anak angkat adalah disamakan dengan anak kandung yang lahir dari pasangan suami istri yang
mengangkatnya”. Lazimnya, pengangkatan anak yang semacam itu merupakan suatu perbuatan yang menyamakan kedudukan anak angkat dengan anak kandung, baik itu dalam hal pemeliharaan dan sampai pada hal kewarisan. Sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua sendiri menurut pasal 12 Staats Blad 1917 No.129 adalah menjadi putus. Begitu pula kaitannya dengan hubungan perdata antara orang tua dengan sanak keluarganya disatu pihak juga terputus sama sekali (pasal 14), dengan perkecualian yang disebutkan dalam pasal 14 bila anak adopsi itu mempunyai nama keluarga dari ayah yang mengadopsinya. Sebagaimana telah dijelaskan juga dalam pasal 11,12,13 dan 14 dari Staats Blad 1917 N0. 129 bahwa:
Anak angkat mendapat Klan keturunan dari orang tua angkatnya. Anak yang diadopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan suami isteri yang mengadopsi, sehingga dianggap sebagai anak yang sah Gugur hubungan Perdata antara anak yang diadopsi dengan orang tua kandung / biologis.
BAB III Simpulan
Dari topik yang penulis bahas mengenai hukum kekeluargaan, dapat disimpulkan bahwasannya hukum kekeluargaan ialah ketentuan yang mengatur hubungan
hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah yaitu pertalian karena turunan dan kekeluargaan karena perkawinan yang disebut keluarga semenda (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir). Hukum kekeluargaan ditinjau berdasarkan KUHPer, UU No.1 Tahun 1974, menurut hukum islam serta hukum adat yang kesemuanya memiliki tata aturannya serta indikatornya sendiri, namun cakupan yang dibahas sama yaitu mengenai keturunan, kekuasaan orang tua, perwalian, hubungan anak dengan orang tua dan hubungan anak dengan kerabat.
Daftar Pustaka
Simanjuntak, P. N. H. 2007. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Djambatan.