BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Hukum adat bisa diartikan sebagai suatu aturan atau kebiasaan beserta norma-norma yang berlaku di suatu wilayah tertentu dan dianut oleh sekelompok orang di wilayah tersebut sebagai sumber hukum. Istilah hukum adat jika diterjemahkan secara tekstual akan berarti hukum kebiasaan. Hukum adat bali merupakan kompleks norma-norma baik tertulis maupun tidak tertulis, Di dalam hukum positif Indonesia, hukum adat mengalami eksistensi. Dapat kita lihat dalam pasal 18 B ayat (2) dan 28 I ayat (3) UUD 1945. Di dalam pasal 18 B ayat (2) dikatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan undangundang. Dan didalam pasal 28 I ayat (3) dijelaskan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Dari kedua pasal tersebut yang tercantum dalam UUD 1945 bahwa negara Indonesia sangat mengahargai dan menghormati hak-hak yang dimiliki masyarakat adat. Di dalam kedua pasal ini terdapat landasan filosofi, landasan yuridis, dan landasan sosiologis yang saling berkaitan satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan. Berhubungan dengan hak masyarakat-masyarakat adat di dalam desa adat yang mempunyai hak konstitutional. Hak konstitutional ini di pakai masyarakat adat untuk menjalankan otonomi desa adatnya sendiri. Secara maknawi otonomi adalah kemandirian dan kebersamaan mengatur atau mengurus diri sendiri (rumah tangganya sendiri). Isi otonomi desa pekraman ini adalah kewenangan atau kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Meminjam teori pembagian kekuasaan dalam Negara modern seperti yang dikemukakan oleh montesque dengan trias politikanya, kekuasan yang dimiliki oleh desa pakraman itu sendiri meliputi fungsi fungsi legislatif Jadi penulisan paper ini agar mengetahui lebih lanjut tentang landasan-landasan yang terkandung dalam pasal 18b ayat (2) dan 28i ayat (3) UUD 1945 serta
1
mengetahui tentang 3 kewenangan otonomi desa yang menyangkut banyak hal yang perlu kita ketahui. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa makna pasal 18 B ayat (2) dan pasal 28 I ayat (3) secara yuridis, sosiologis dan filosofis? 2. Berikan penjelasan tentang 3 kewenangan sifat otonomi desa adat?
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Makna pasal 18 B ayat (2) dan pasal 28 I (3) UUD 1945 secara yuridis, sosologis dan
filosofis 1. Makna filosofis Setelah UUD 1945 diamandemen, keberadaan masyarakat hukum adat diakui berdasarkan pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan republic Indonesia yang diatur undang-undang. Ciri khusus tersebut berkaitan dengan landasan filosofis Hindu yang menjiwai kehidupan masyarakat hukum adat di Bali, yang dikenal dengan filosofis tri hita karana yang secara literlijk berarti tiga (tri penyebab karana) kebahagiaan (hita) yaitu Ida Sanghyang Jagat karana (Tuhan Sang Pencipta), bhuana (alam semesta) dan manusa (manusia) Dalam keyakinan umat Hindu di Bali, kesejahteraan umat manusia di dunia ini hanya akan dapat dicapai apabila terjadi keharmonisan hubungan antara unsur-unsur tri hita karana tersebut,yaitu: a) keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa b) keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam semesta. c) keharmonisan hubungan antara manusia dengan sesama Suasana harmonis itu secara kongkretditerjemahkan dengansua- sana tertib, aman, dan damai (trepti, sukerta, sekala niskala). Dalam kehidupan desa pakraman penjabaran filosofi tri hita karana itu diwujudkan dalam tiga unsur pembentuk desa pakraman,yaitu: a) Parahyangan yaitu adanya kahyangan desa angan tiga Proa Desa atau Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalen)sebagai tempat pemujaan bersama terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
3
b) palemahan, sebagai wilayah tempat an tempat men- cari penghidupan sebagai proyeksi dari adanya bhuana yang tunduk di bawah kekuasaan hukum teritorial Bale Agung, c) pakraman yaitu warga (penduduk desa pakraman yang disebut kerama desa sebagai satu kesatuan hidup masyarakat desa pakraman.1 Berdasarkan pasal 28 I ayat (3) yang berbunyi : “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.Identitas adalah jati diri yang dimiliki seseorang yang ia peroleh sejak lahir hingga melalui proses interaksi yang dilakukannya setiap hari dalam kehidupannya dan kemudian membentuk suatu pola khusus yang mendefinisikan tentang orang tersebut. Sedangkan Budaya adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Sehingga Identitas Budaya memiliki pengertian suatu karakter khusus yang melekat dalam suatu kebudayaan sehingga bisa dibedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Pada pasal ini untuk
menjaga hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban adalah tugas Negara untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya di tengah upaya Negara untuk memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia. Selain itu tidak kalah penting bahwa tugas masing-masing individu masyarakat adalah menjaga keharmonisan dalam perkembangan dan peradaban zaman yang terus berjalan seiring berjalannya waktu demi identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras. 2. Makna yuridis Konstruksi yuridis yang dibangun oleh UUDRI Tahun 1945. menyangkut pengaturan Kesatuan kesatuan Masyarakat Hukum Ada ditempatkan pada Pasal 18B Amandemen Kedua UUD 1945. Pengaturan tersebut telah menyuratkan adanya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat. Pengaturan tentang kesatuan masyarakat hukum adat juga terdapat pada pasal 28 I angka (3). Di mana disebutkan bahwa identitas budaya dan hak masyaraka tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. dari tersebut, terlihat bahwa pengakuan dan perlindungan ketentuan Masyarakat Hukum Adat akan terus diperbaharui sesuai dengan perkembangan dan peradaban. Konsewensi dari ketentuan ini adalah semua aturan perundan gan1
Wayan P. Windia dan I Ketut Sudantara, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Prasasti O, Denpasar, hl.45.
4
undangan yang bertentangan dengan ketentuan tersebut adalah batal. Pembatalan ini dapat dilakukan mekanisme permohonan pembetalan. Pengajuan pembatalan ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi oleh masyarakat hukum yang berkepentingan. Beberapa peraturan perundangan telah mencantumkan diakui keberadaannya. hukum sebagai kelompok masyarakat yang landasan hukum Peraturan-peraturan ini seyogyanya dapat menjadi Misalnya dalam upaya perlindungan hak-hak Masyarakat Hukum Adat. Pokok- Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok Agraria (UUPA), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah: UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Akan tetapi tersebut masih memerlukan penjelasan tambahan mengenai batasan dari Masyarakat Hukum Adat itu sendiri beserta konsekwensi hukum dari batasan tersebut. Meksipun ada pengakuan dalam sejumlah peraturan perundangan. perlu ditegaskan bahwa sifat dari pengakuan yang ada sejauh ini adalah pengakuan bersyarat, yang dapat dilihat dari pernyataan, "Sepanjang masih ada, sesuai dengan perkembangan masyarakat selaras dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan diatur dengan undang- undang.
3. Makna sosiologis Makna sosiologis antara pasal 18 b ayat 2 dan pasal 28 I ayat 3 memiliki identitas budaya dan hak masyrakat
dan hak hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan dan peradaban. Karena secara sosiologis yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan Negara dan pemerintahan daerah dan mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Dengan dasar sosiologis ini diharap diterima oleh masyarakat hukum adat serta hak hak tradisionalnya secara wajar, bahkan spontan dan mempunyai daya berlakunya secara efektif sepanjang masih hidup untuk mengakui dan menghormati tradisionalnya dan prinsip Negara kesatuan republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.
2.2 Tiga sifat otonomi desa adat beserta tiga kewenangan yang ada didalamnya.
5
Isi otonomi desa pakraman ini adalah kewenangan atau kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Meminjam teori pembagian kekuasaan dalam Negara modern seperti yang dikemukakan oleh Montesque dengan trias politikanya, kekuasaan yang dimiliki oleh desa pekraman meliputi fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Wirtha Griadhi seperti dikutip oleh Sudantra menguraikan isi otonomi desa pekraman sebagai berikut. 1. Kekuasaan atau kewenangan menetapkan aturan-aturan hukum yang berlaku bagi mereka. Dengan kekuasaan ini desa pekraman menetapkan tata hukumnya sendiri yang meliputi seluruh aspek kehidupan dalam wadah desa pekraman. Aturan-aturan hukum ini disebut awig-awig desa pakraman atau pararem yang ditetapkan secara musyawarah melalui lembaga musyawarah desa yang disebut paruman desa. Kekuasaan ini dapat diidentikan dengan kekuasaan perundang-undangan (legislatif) dalam lingkungan Negara. 2. Kekuasaan atau kewenangan untuk menyelenggarakan kehidupan organisasinya. Terlepas dari beragamnya variasi sruktur organisasi serta system pemerintahn desa pakraman yang dikenal di Bali, secara umum dapat dikatakan bahwa aktifitas utama desa pakraman adalah aktifitas yang bersifat social religius. Perwujudan otonomi desa pakraman dibidang sosial menyangkut hubungan sosial kemasyarakatan yakni hubungan antar sesama warganya baik dalam ikatan kelompok mapun perorangan. Di bidang kehidupan religius, otonomi tersebut akan terwujud dalam bentuk penyelenggaraan kegiatan keagamaan oleh masyarakat sebagai kesatuan. Semua aktifitas itu diselenggarakan dalam kordinasi pengurus/pimpinan desa pakraman yang disebut prajuru adat. Susunan prajuru adat ini bervariasi terutama berhubungan dengan tipe desa yang bersangkutan (bali age dan apanage). Pada desa desa pakraman yang tergolong tipe desa pakraman apanage, pejabat puncak dalam prajuru desa adalah bendesa
atau
kelian
desa,
dibantu
oleh
pejabat-pejabat
lainnya
seperti
penyade/petajuh/pangliman sebagai wakil bendesa, penyarikan/juru surat yang berfungsi sebagai sekretaris dan petengen/juru raksa yang berfungsi sebagai bendahara. Belakangan ini dalam struktur prajuru desa juga disebut petugas keamanan desa pekraman desa yang disebut pecalang.
6
Kekuasaan menyelenggarakan kehidupan organisasi desa pakraman identik dengan kekuasaan pemerintah (eksekutif) dalam lingkungan Negara. 3. Kekuasaan atau kewenangan menyelessaikan persoalan-persoalan hukum. Persoalan hukum yang dihadapi desa pakraman dapat berupa pelanggaran hukum (awig-awig, drsta lainnyaataupun aturan-aturan hukum lainnya) dan dapat berupa sengketa. Kekuasaan ini dapat dikaitkan dengan kekuasaan peradilan (yudikatif) dalam lingkungan Negara.2
2
Ibid, hl. 46.
7
BAB III PENTUP
3.1 Kesimpulan
Pada pasal 18 b ayat (2) dan pasal 28 i ayat (3) UUD 1945 dijelaskan bahwa hukum adat memiliki eksistensi di dalam hukum positif di Indonesia. Dari kedua pasal tersebut yang tercantum
dalam UUD 1945 bahwa negara Indonesia sangat mengahargai dan menghormati hak-hak yang dimiliki masyarakat adat. Di dalam kedua pasal ini terdapat landasan filosofi, landasan yuridis, dan landasan sosiologis yang saling berkaitan satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan. Ketiga landasan tersebut sangat penting artinya dalam berlakunya hukum adat. Desa adat mempunyai suatu kewenangan otonom, kewenangan otonom tersebut terdiri dari beberapa kewenangan antara lain 1. Kekuasaan atau kewenangan menetapkan aturan-aturan hukum yang berlaku bagi mereka, 2. Kekuasaan atau kewenangan untuk menyelenggarakan kehidupan organisasinya, 3. Kekuasaan atau kewenangan menyelessaikan persoalan-persoalan hukum. Dengan kewenangan tersebut hukum adat akan selalu harmonis di dalam perkembangan zaman dan peradaban yang terus berjalan.
8