Hubungan antara Agama dan Politik dalam Islam http://id.shvoong.com/law-and-politics/1953974-relasi-agama-dan-politik-dalam/
Definisi Agama (Din) : "Kumpulan pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari Allah Swt. sebagai hidayah bagi umat manusia yang di dalamnya mencakup aqidah, akhlak, dan hukumhukum individu dan sosial. Agama bersifat be rsifat utuh dan komprehensif yang tidak memisahkan antara aspek ritual, spiritual dan akhirat dengan aspek keduniaan dan materi. Kalau kita perhatikan definisi din di atas yang mengatakan bahwa Islam adalah din yang utuh yang tidak hanya mengatur hubungan individu dengan tuhannya saja, akan tetapi seluruh aspek dari kehidupan manusia berada di bawah pengaturan Islam termasuk dalam hal ini politik, maka akan kita lihat relasi yang cukup erat antara keduanya, yaitu sebuah relasi yang tidak bisa dipisahkan. Aturan atau hukum dalam Islam secara global diklafikasikan pada dua kelompok. Pertama, hukum-hukum yang mengatur persoalan individu, yaitu mengenai keyakinan seseorang akan halhal yang darurat dalam din serta tugasnya sebagai seorang mukalaf seperti sholat atau shaum, yang ini sifatnya sangat personal, walaupun d alam hal ini ketika negara ne gara memfasilitasi hal-hal yang menunjang pelaksanaan hukum di atas akan sangat berpengaruh terhadapnya. Kedua, hukum-hukum ijtima'i (sosial masyarakat) seperti politik, ekonomi, budaya, diyat, qishas, hukum pidana, boleh tidaknya bekerjasama dengan pemerintahan dzalim, membela negara, politik luar negeri… dsb. Seluruh jenis hukum di atas pada hakikatnya ditetapkan dalam rangka mengantarkan manusia pada tujuan dari penciptaan manusia itu sendiri oleh Allah Swt. yaitu menuju kebahagiaan dan kesempurnaan baik di dunia maupun di akhirat. (Nidhame Siyosi dar Islom, hal.37-38). Kalau kita lihat dari pembagian hukum di atas, maka politik termasuk salah satu di dalamnya, dalam hal ini menjadi bagian dari d ari hukum ijtima'i. Karena ia merupakan salah satu sisi dari kehidupan manusia, maka politik dalam d alam Islam adalah politik yang tidak keluar dari nilai -nilai dan aturan main Islam, sehingga politik bisa menjadi media atau alat untuk mengantarkan manusia kepada tujuan dari penciptaannya. Sumber: http://id.shvoong.com/law-and-politics/1953974-relasi-agama-dan-politikdalam/#ixzz1bOIfu5d4
Political System of Islam http://www.angelfire.com/bc3/johnsonuk/eng/dawa/politic.html
Religion and politics are one and the same in Islam. They are intertwined. We already know that Islam is a complete system of life and politics is very much a part of our collective life. Just as Islam teaches us how to say Salah, observe Sawm, pay Zakah and undertake Hajj, so it teaches us how to run a state, from a government, elect councillors and members of parliament, make treaties and a nd conduct business and commerce. Bear in mind that Islamic ruling system is not the same as the ruling system we have in the non-islamic countries. A detailed discussion of the Islamic political system would be desirable, but we have to content ourselves with its basic principles and main features. The Islamic Political System is based on the folloing main principles:
1. Sovereignty of Allah swt. Sovereignty means the source of power. In Islam, Allah is the source of all powers and laws (3:154, 12:40, 25:2, 67:1). It is Allah who knows what is good and what is bad for His servants. His say is final. All human beings unitedly cannot change His law. The Qu‟an says, "As for the thief thief male and female, chope off their hands. It is the reward of their own actions and exemplary punishment from Allah. Allah is Mighty, Wise." (5:37). According to Islam, this order is unchangeable by any parliament or any government which claims itself to be Islamic (5:44, 2:229). There are many more laws in the Qur‟an concerning our life and those laws must be put to practice by an Islamic state for the greater good of human beings.
2. Khilafah of Mankind (Vicegerency of man). Man is the vicegerent, the agent or the representative of Allah swt on earth (2:30, 6:165). Allah is the sovereign and man is His representative. Man should do as Allah commands him to do. But he has a choice to either obey or disobey Allah and, because of this freedom of choice, he will be tested on the day of judgement. judgement. In the political sense, Khilafah means that that human beings should implement implement the will of Allah Allah on earth as His deputy or agent. agent . As Allah‟s agents, human beings will carry out the will of Allah swt on His behalf as a trust (Amanah). Khilafah is a trust. An agent is always expected to behave as his master wants him to behave (10:14).
3. Legislation by Shura (Consultation). Islam teaches us to run a government, to make legislation and decisions by the process of Shura. Shura means "to take decisions by consultation and participation" (3:159, 42:38). This is an important part of the Islamic political system. There is no scope for despotism in Islam. The Qur‟an and the Sunnah will be the basis of legislation in Islam.
4. Accountability of government. The Islamic political system makes the ruler and the government responsible firstly to Allah and then to the people. The rular and the government are elected by the people to exercise „powers on their behalf. We must remember here that both the ruler and the ruled are the Khalifah of Allah and the ruler shall have to work for the welfare of the people according to the Qur‟an and Sunnah. A ruler is a servent of the people of Islam. Both the ruler and the ruled will appear before Allah swt and account for their actions on the day of judgement. The responsibility of the ruler is heaver than the ruled. Any ordinary citizen of an Islamic state has the right to ask any question on any matter to the ruler and the government.
5. Independence of judiciary. In the Islamic political system, the Judiciary is independent of the Executive. The head of the state or any government minister could be called to the court if necessary. They would be treated no differently from other citizens. The Qur‟an has many injunctions about justice. One of the main functions of the Islamic state is to ensure justice to all citizens (4:58, 4:135, 5:8). The ruler and the government has no right to interfere in the system of justice.
6. Equality before law. The Islamic political system ensures equality for all citizens before the law. It does not recognise any discrimination on the basis of language, colour, territory, sex or descent. Islam recognises the preference of one over the other only on the basis of Taqwa (piety or fear of God). One who fears Allah swt most is the noblest in Islam (49:13).
Conclusion
The duty of an Islamic state is to establish Salah and Zakah; promote the right and forbid the wrong (22:44). The state is responsible for the welfare of all its citizens Muslims and non-Muslims alike. It must guarantee the basic necessities of life. All citizens of the Islamic state shall enjoy freedom of belief, thought, conscience and speech. Every citizen shall be free to develop his potential, improve his capacity, earn and possess. A citizen shall enjoy the right to support or oppose any government policy which he thinks right or wrong with the following in mind.: The Islamic state is a duty bound to implement the laws of the Qur‟an and the Sunnah. The Qur‟an strongly denounces those who do not decide their matters by Allah‟s revelations (5:42-50). The Islamic state shall ensure a fair distribution of wealth. Islam does not believe in equal distribution as it is against the law of creation. There is not a single perfect Islamic state in the world today. There are many Muslim countries. An Islamic state is based on the model of Prophet Muhammad‟s (phuh) state in Madinah while a Muslim state is one which has a majority Muslim population and some Islamic features. However, organised efforts have been going on in many Muslim countries to establish truly Islamic states. Al-ikhwanul Muslimun in the Middle East, Muzahid or Taliban in Afganistan, the Jama‟at-e-Islami in Pakistan, and Kashmir, Jehaad movement in Bangladesh, (infor. source- BBC UK) Dewan Dakwah Islamia (Islamic Dawah Council) in Indonesia, Al-Muhajirun in Britain, and Hizb-ut-Tahrir in most advanced Islamic (muslim population) countries are some of the Islamic movements and parties which have been working for the re-establishment of Allah‟s law on Allah‟s land. Let us pray and hope that a real Islamic state will emerge and guide the world towards justice, fair play and peace (very soon -if God wills).
Pasal Pertama: Pembentukan Negara Islam http://media.isnet.org/islam/Etc/TeoriPolitik.html
Pendahuluan Di antara fenomena yang disadari oleh sebagian pengkaji teori-teori politik secara umum, adalah: adanya hubungan yang erat antara timbulnya pemikiran-pemikiran politik dengan perkembangan kejadian-kejadian historis (1). Jika fenomena itu benar bagi suatu j enis atau madzhab pemikiran tertentu, dalam bidang pemikiran apapun, hal itu bagi pertumbuhan dan perkembangan teoriteori politik Islam amatlah jelas benarnya. Teori-teori ini ---terutama pada fase-fase pertumbuhan pertamanya-- berkaitan amat erat dengan kejadian-kejadian sejarah Islam. Hingga hal itu harus dilihat seakan-akan keduanya adalah seperti dua sisi dari satu mata uang. Atau dua bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Sifat hubungan di antara keduanya berubah-ubah: terkadang pemikiran-pemikiran itu tampak menjadi penggerak terjadinya berbagai kejadian, dan terkadang pula kejadian-kejadian itu menjadi pendorong atau rahim yang melahirkan pendapat-pendapat itu. Kadang-kadang suatu teori hanyalah sebuah bias dari kejadian yang berlangsung pada masa lalu. Atau suatu kesimpulan yang dihasilkan melalui perenungan atas suatu pendapat yang telah diakui pada masa sebelumnya. Atau bisa pula hubungan itu berbentuk lain. Karena adanya hubungan antara dua segi ini, segi teoretis dan realistis, maka jelaslah masingmasing dari kedua hal itu tidak dapat dipahami tanpa keberadaan yang lain. Metode terbaik untuk mempelajari teori-teori ini adalah dengan mengkajinya sambil diiringi dengan realitasrealitas sejarah yang berkaitan dengannya. Secara berurutan sesuai dengan fase-fase perkembangan historisnya ---yang sekaligus merupakan runtutan alami dan logisnya. Sehingga dapat dipahami hakikat hubungan yang mengkaitkan antara dua segi, dapat memperjelas pendapat-pendapat, dan dapat menunjukkan bumi yang menjadi tempat tumbuhnya masingmasing pemikiran hingga berbuah, dan mencapai kematangannya. Inilah metode yang akan kami gunakan.
Era Kenabian Era ini merupakan era pertama dalam sejarah Islam. Yaitu dimulai semenjak Rasulullah Saw memulai berdakwah mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT hingga meninggalnya beliau. Era ini paling baik jika kita namakan sebagai era "kenabian" atau "wahyu". Karena era itu memiliki sifat tertentu yang membedakannya dari era-era yang lain. Ia merupakan era ideal yang padanya ideal-ideal Islam terwujudkan dengan amat sempurna. Era ini terbagi menjadi dua masa, yang keduanya dipisahkan oleh hijrah. Kedua fase itu tidak memiliki perbedaan dan kelainan satu sama lain, seperti yang diklaim oleh beberapa orientalis (2). Bahkan fase yang pertama merupakan fase yang menjadi titik tolak bagi fase kedua. Pada fase pertama, embrio 'masyarakat Islam' mulai tumbuh, dan telah ditetapkan kaidah-kaidah pokok Islam secara general. Kemudian pada fase kedua bangun 'masyarakat Islam' itu berhasil
dibentuk, dan kaidah-kaidah yang sebelumnya bersifat general selesai dijabarkan secara mendetail. Syari'at Islam disempurnakan dengan mend eklarasikan prinsip-prinsip baru, dan dimulailah pengaplikasian dan pelaksanaan prinsip-prinsip itu seluruhnya. Sehingga tampillah Islam dalam bentuk sosialnya secara integral dan aktif, yang semuanya menuju kepada tujuantujuan yang satu. Sejarah, dalam pandangan politik, lebih terpusat pada fase kedua dibandingkan dengan fase pertama. Karena saat itu jama'ah Islam telah menemukan kediriannya, dan telah hidup dalam era kebebasan dan independensi. Ia juga telah meraih 'kedaulatan'nya, secara penuh. Sehingga prinsip-prinsip Islam sudah dapat diletakkan dalam langkah-langkah praksis. Namun, dalam pandangan sejarah, ciri terbesar yang menandai kedua fase itu adalah sifatnya sebagai fase 'pembentukan', dan fase pembangunan dan permulaan. Fase ini memiliki urgensitas yang besar dalam menentukan arah kejadian-kejadian historis selanjutnya, dan sebagai peletak rambu-rambu yang diikuti oleh generasi-generasi berikutnya sepanjang sejarah. Sedangkan dari segi pemikiran teoritis, pengaruhnya terbatas pada kenyataannya sebagai ruh umum yang terus memberikan ilham terhadap pemikiran ini, memberikan contoh atau teladan ideal yang menjadi rujukan pemikiran-pemikiran itu, meskipun pemikiran-pemikiran itu berbeda satu sama lain, dan memberikan titik pertemuan bagi pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab yang berbeda. Sedangkan selain itu, ia tidak memiliki hubungan dengan tumbuhnya pendapat-pendapat parsial yang memiliki kekhasan masing-masing. Terutama jika ob jek kajiannya adalah analisis terhadap sistem umum yang menjadi platform kenegaraan ummat, atau tentang hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, atau analisis terhadap salah satu sifatnya. Atau dengan kata lain, analisis terhadap masalah-masalah yang dinamakan sebagai 'politik'. Karena pendapat-pendapat personal itu tidak tumbuh dalam satu atmospir. Namun pendapat-pendapat itu tampil seiring dengan terjadinya perbedaan pendapat dan kecenderungan-kecenderungan. Yang mendorong timbulnya pendapat-pendapat itu juga adalah adanya perasaan kurang sempurna yang ada di tengah masyarakat, dan keinginan untuk mengoreksi sistem atau perilaku-perilaku yang sedang berlangsung. Sedangkan jika suatu sistem telah sempurna, yang mencerminkan prinsip-prinsip agung yang diamini oleh seluruh anggota jama'ah (ummat), dan adanya persatuan yang terwujud di antara individu-individu, kemudian mereka menyibukkan diri mereka untuk berbicara dan berdebat tentang agenda-agenda kerja yang besar, niscaya tidak diperlukan sama sekali tumbuhnya pendapat-pendapat individu atau tampil 'teori-teori'. Demikianlah, era Rasulullah Saw mencerminkan era persatuan, usaha dan pendirian bangunan umat. Serta menampilkan ruh yang mewarnai kehidupan politik, dan mewujudkan replika bangunan masyarakat yang ideal untuk diteladani dan ditiru oleh generasi-generasi yang datang kemudian. Namun, 'pemikiran teoritis' saat itu belum d imulai. Hal ini tentu amat logis dengan situasi yang ada. Yang jelas, belum ada kebutuhan terhadap hal itu. Namun demikian, belum lagi era tersebut berakhir, sudah timbul faktor-faktor fundamental yang nisca ya mendorong timbulnya pemikiran ini, dan membentuk 'teori-teori politik' secara lengkap. Di antara faktorfaktor yang terpenting ada tiga hal: pertama, sifat sistem sosial yang didirikan oleh Rasulullah Saw. Kedua, pengakuan akan prinsip kebebasan berpikir untuk segenap individu. Ketiga, penyerahan wewenang kepada umat untuk merinci detail sistem ini, seperti tentang metode manajerialnya, dan penentuan beberapa segi formatnya. Kami perlu menjelaskan lebih lanjut tentang faktor-faktor ini.
Islam dan Politik Sistem yang dibangun oleh Rasulullah Saw dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah --jika dilihat dari segi praksis dan diukur deng an variabel-variabel politik di era modern-- tidak disangsikan lagi dapat dikatakan b ahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence. Dalam waktu yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motivasinya, dan fun damental maknawi tempat sistem itu berpijak. Dengan demikian, suatu sistem dapat menyandang dua karakter itu sekaligus. Karena hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Bahkan filsafat umumnya merangkum kedua hal itu, dan tidak mengenal pemisahan antara keduanya, kecuali dari segi perbedaan pandangan. Sedangkan kedua hal itu sendiri, keduanya menyatu dalam kesatuan yang tunggal secara solid; saling beriringan dan tidak mungkin terpisah satu sama lain. Fakta tentang sifat Islam ini amat jelas, sehingga tidak membutuhkan ban yak kerja keras untuk mengajukan bukti-bukti. Hal itu telah didukung oleh fakta-fakta sejarah, dan menjadi keyakinan kaum Muslimin sepanjang sejarah yang telah lewat. Namun demikian, ada sebagian umat Islam sendiri, yang mengklaim diri mereka sebagai 'kalangan pembaru', dengan terang-terangan mengingkari fakta ini!. Mereka mengklaim bahwa Islam hanyalah sekadar 'dakwah agama' (3): maksud mereka adalah, Islam hanyalah sekadar keyakinan atau hubungan ruhani antara individu dengan Rabb-nya. Dan dengan demikian tidak memiliki hubungan sama sekali dengan urusanurusan yang kita namakan sebagai urusan materi dalam kehidupan dunia ini. Di antara urusanurusan ini adalah: masalah-masalah peperangan dan harta, dan yang paling utama adalah masalah politik. Di antara perkataan mereka adalah: "agama adalah satu hal, dan politik adalah hal lain". Untuk mengcounter pendapat mereka, tidak ada manfaatnya jika kami mendedahkan pendapat pendapat ulama Islam; karena mereka tidak mau mendengarkannya. Juga kami tidak memulainya dengan mengajukan fakta-fakta sejarah, karena mereka dengan sengaja telah mencampakkannya!. Oleh karena itu, cukuplah kami kutip beberapa pendapat orientalis dalam masalah ini, dan mereka telah mengutarakan hal itu dengan redaksi yang jelas dan tegas. Hal itu kami lakukan karena para 'pembaru-pembaru' itu tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih modern dari para orientalis itu, juga tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih mampu dalam menggunakan metode-metode riset modern, dan penggunaan metode-metode ilmiah. Di antara pendapat-pendapat para orientalis itu adalah sebagai berikut: 1. Dr. V. Fitzgerald (4) berkata: "Islam bukanlah semata a gama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekad e-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan 'modernis', yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain". 2. Prof. C. A. Nallino (5) berkata: "Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas teritorial negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya".
3. Dr. Schacht berkata (6): " Islam lebih dari sekad ar agama: ia juga mencerminkan teoriteori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan". 4. Prof. R. Strothmann berkata (7): "Islam adalah suatu fenomena agama dan politik. Karena pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politikus yang bijaksana, atau "negarawan". 5. Prof D.B. Macdonald berkata (8): "Di sini (di Madinah) d ibangun negara Islam yang pertama, dan diletakkan prinsip-prinsip utama undang-undang Islam". 6. Sir. T. Arnold berkata (9): " Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang kepala agama dan kepala negara". 7. Prof. Gibb berkata (10): "Dengan demikian, jelaslah b ahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangun masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi".
Bukti Sejarah Seluruh pendapat-pendapat tadi diperkuat oleh fakta-fakta sejarah : di antara fakta sejarah yang tidak dapat diingkari oleh siapapun adalah, setelah timbulnya dakwah Islam, kemudian terbentuk bangunan masyarakat baru yang mempunyai identitas independen yang membedakann ya dari masyarakat lain. Mengakui satu undang-undang, menjalankan kehidupannya sesuai dengan sistem yang satu, menuju kepada tujuan-tujuan yang sama, dan di antara individu-individu masyarakat yang baru itu terdapat ikatan ras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanya perasaan solidaritas secara umum. Bangunan masyarakat yang memiliki semua unsur-unsur tadi itulah yang dinamakan sebagai bangunan masyarakat 'politik'. Atau yang dinamakan sebagai 'negara'. Tentang negara, tidak ada suatu definisi tertentu, selain aanya fakta terkumpulnya karakteristik-karakteristi yang telah disebutkan tadi dalam suatu bangunan masyarakat. Di antara fakta-fakta sejarah yang tidak diperselisihkan juga adal ah, bangunan masyarakat politik ini atau 'negara', telah memulai kehidupan aktifnya, dan mulai menjalankan tugas-tugasnya, dan merubah prinsip-prinsip teoritis menuju dataran praksis. Setelah tersempurnakan kebebasan dan kedaulatannya, dan kepadanya dimasukkan unsur-unsur baru dan adanya penduduk. Yaitu setelah pembacaan bai'at Aqabah satu dan dua, yang dilakukan antara Rasulullah Saw dengan utusan dari Madinah, yang dilanjutkan dengan peristiwa hijrah. Para faktanya, kedua bai'at ini -yang tidak diragukan oleh seorangpun tentang berlangsungnya kedua bai'at ini-- merupakan suatu titik transformasi dalam Islam (11). Dan peristiwa hijrah hanyalah salah satu hasil yang ditelurkan oleh kedua peristiwa bai'at itu. Pandangan yang tepat terhadap kedua bai'at tadi adalah dengan melihatnya sebagai batu pertama dalam bangunan 'negara Islam'. Dari situ akan tampak urgensitas kedua hal itu. Alangkah miripnya kedua peristiwa bai'at itu dengan kontrak-kontrak sosial yang di deskripsikan secara teoritis oleh sebagian filosof politik pada era -era modern. Dan menganggapnya sebagai fondasi bagi berdirinya negara-negara dan pemerintahan. Namun bedanya, 'kontrak sosial' yang dibicarakan Roussou dan sejenisnya hanyalah semata ilusi dan imajinasi, sementara kontrak sosial yang terjadi dalam sejarah Islam ini berlangsung dua kali secara realistis di Aqabah. Dan di atas kontrak so sial itu negara Islam berdiri. Ia merupakan sebuah kontrak historis. Ini merupakan suatu fakta yang diketahui oleh semua orang. Padanya
bertemu antara keinginan-keinginan manusiawi yang merdeka dengan pemikiran-pemikiran yang matang, dengan tujuan untuk mewujudkan risalah yang mulia. Dengan demikian, negara Islam terlahirkan dalam keadaan yang amat jelas. Dan pembentukannya terjadi dalam tatapan sejarah yang jernih. Karena Tidak ada satu tindakan yang dikatakan sebagai tindakan politik atau kenegaraan, kecuali dilakukan oleh negara Islam yang baru tumbuh ini. Seperti Penyiapan perangkat untuk mewujudkan keadilan, menyusun kekuatan pertahanan, mengadakan pendidikan, menarik pungutan harta, mengikat perjanjian atau mengirim utusan-utusan ke luar negeri. Ini merupakan fakta sejarah yang ketiga. Adalah mustahil seseorang mengingkarinya. Kecuali jika kepadanya dibolehkan untuk mengingkari suatu fakta sejarah yang terjadi di masa lalu, d an yang telah diterima kebenarannya oleh seluruh manusia. Dari fakta-fakta yang tiga ini --yang telah kami sebutkan-- terbentuk bukti sejarah yang menurut kami dapat kami gunakan sebagai bukti --di samping pendapat kalangan orientalis yang telah disitir sebelumnya-- atas sifat politik sistem Islam. Jika telah dibuktikan, dengan cara-cara yang telah kami gunakan tadi, bahwa sistem Islam adalah sistem politik, dengan demikan maka terwujudlah syarat pertama yang mutlak diperlukan ba gi keberadaan pemikiran politik. Karena semua pemikiran tentang hal ini: baik tentang pertumbuhannya, hakikatnya, sifat-sifatnya atau tujuan-tujuannya, niscaya ia menyandang sifat ini, yaitu sifatnya sebagai suatu pemikiran politik. Syarat ini merupakan faktor yang terpenting dalam pertumbuhan pemikiran ini. Bahkan ia merupakan landasan berpijak bagi kerangka-kerangka teoritis dan aliran-aliran pemikiran yang beragam. Oleh karena itu, amatlah logis jika kami curahkan seluruh perhatian ini untuk meneliti dan menjelaskannya.
Catatan kaki: (1) Di antara tokoh yang mengatakan hal itu adalah Prof. J.N. Figgis dalam buku "The Divine Right of Kings --yang dengan bukunya itu ia mendapatkan salah satu penghargaan sastra yang besar-- , dalam beberapa tempat dari bukunya itu, ia membuktikan bahwa teori itu lahir akibat situasi dan kondisi yang berlangsung pada saat itu. Di antara ungkapannya itu adalah yang ia tulis dalam pendahuluan bukunya itu: "Teori ini lebih tepat dikatakan sebagai akibat dari realitas yang ada, ketimbang sebagai buah pemikiran murni", hal. 6. J. Matters juga mengatakan dalam bukunya "Concepts of State, Sovereignty and International Law", p.2, sebagai berikut: "ini adalah fakta yang penting, meskipun tidak diketahui oleh banyak orang: bahwa teori-teori yang ditelurkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan Roussou merupakan hasil dari kecenderungan-kecenderungan politik mereka, dan perhatian mereka terhadap hasil peperangan-pepernagan agama dan politik, yang --secara berturut-turut--terjadi pada zaman mereka, di negara-negara mereka, atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka". (2) Di antara klaim-klaim yang salah, yang didengung-dengungkan oleh banyak orientalis adalah: bahwa peristiwa hijrah merupakan permulaan era baru. Maksudnya, ia merupakan starting point terjadinya perubahan fundamental, yang tidak saja terlihat dalam pergeseran sifat kejadian-kejadian yang berlangsung setelahnya, n amun juga pada karakteristik Islam itu sendiri, prinsip-prinsip yang diajarkan olehnya, serta dalam lingkup kejiwaan Rasulullah Saw dan tujuantujuan beliau. Untuk membuktikan klaim itu, mereka melakukan komparasi antara kehidupan Rasulullah Saw yang bersifat menyerah dan mengalah di Mekkah dengan kehidupan jihad dan revolusi di Madinah!. Untuk membantah klaim ini, kita cukup berdalil dengan fakta bahwa tidak
kontradiksi antara kedua priode kehidupan Rasulullah Saw itu (priode Mekkah dan madinah), dan priode kedua tak lebih dari kontiunitas periode pertama. Dan perbedaan yang ada hanyalah terletak pada kondisi dan faktor-faktor penggerak kejadian; setiap kali ada fenomena tertentu yang signifikan, saat itu pula timbul dimensi baru dalam kehidupan Islam. Namun kita cukup mengutip apa yang dikatakan oleh seorang tokoh orientalis yang besar, yaitu Prof. H.A.R. Gibb. Ia berkata dalam bukunya yang berbicara tentang Islam "Muhammedanism", p. 27, in the Series (H.U.L), 1949, sebagai berikut: "Peristiwa hijrah sering dilihat sebagai starting point transformasi menuju era baru dalam kehidupan Muhammad dan penerusnya; namun pembandingan secara mutlak yang biasanya dilakukan antara pribadi seorang Rasul yang tidak terkenal dan tertindas di Mekkah, dengan pribadi seorang mujahid [Muhammad] dalam membela aqidah di Madinah, tidak memiliki landasannya dalam sejarah. Tidak ada perubahan dalam pandangan Muhammad tentang misinya atau kesadarannya terhadap misinya itu. Meskipun dalam segi pisik tampak gerakan Islam dalam bentuk yang baru, namun hal itu hanyalah bersifat sebagai penampakkan sesuatu yang sebelumnya tertutup, dan pendeklarasian sesuatu yang sebelumnya disembunyikan. Adalah suatu pemikiran Rasul yang tetap -- seperti yang juga dilihat oleh musuhnya dalam memandang masyarakat agama baru yang didirikan olehnya itu-- bahwa dia akan mendirikan suatu bangunan politik; sama sekali bukan sekadar bentuk agama yang terpisah dari dan terletak di bawah kekuasaan pemerintahan duniawi. Dia selalu menegaskan, saat menjelaskan sejarah risalahrisalah rasul sebelumnya, bahwa ini (pendirian negara) merupakan salah satu tujuan utama diutusnya rasul-rasul oleh Tuhan. Dengan demikian, sesuatu hal baru yang terjadi di Madinah -hanyalah-- berupa: jama'ah Islam telah mengalami transformasi dari fase teoritis ke fase praksis". (3) Diantara tokoh mengusung pendapat ini dan membelanya adalah Ali Abdurraziq, mantan hakim pengadilan agama di Manshurah, dan mantan menteri perwakafan, dalam bukunya yang dipublikasikan pada tahun 1925, dan berjudul: Al Islam wa Ushul al Hukm. Di samping bantahan-bantahan yang kami ketengahkan saat ini, kami akan kembali mend iskusikn pendapat pendapatnya dan memberikan bantahan atasnya nanti secara lebih terperinci dalam pasal-pasal berikutnya. (lihat, terutama, pasal keempat, dalam buku ini, di bawah sub-judul: bantahan atas klaim-klaim beberapa penulis kontemporer). (4) Dalam 'Muhammedan Law", ch. I, p. 1. (5) Dikutip oleh Sir. T. Arnold dalam bukunya: The Caliphate, p. 198. (6) Encyclopedia of Social Sciences, vol. VIII, p. 333 (7) The Encyclopedia of Islam, IV, p. 350. (8) Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, New York, 1903, p. 67 (9) The Caliphate, Oxford, 1924, p. 30. (10) Muhammedanism, 1949, p. 3
(11) Deskripsi detail tentang kedua bai'at tadi dap at dirujuk di dalam buku-buku sejarah politik. Dalam kesempatan ini kami sebutkan dua referensi: pertama, Sirah ibnu Hisyam (cet. Al Maktabah at Tijariah al Kubra), juz 2, hal. 35-90. kedua, Muhadharat fi Tarikh al Umam al Islamiah, karya Muhammad Khudhari, juz 1, hal. 79-83. Kami cukup mengutip sedikit darinya tentang kedua bai'at itu. Yaitu bahwa bai'at yang pertama terjadi satu tahun tiga bulan sebelum peristiwa hijrah, dan dihadiri oleh dua belas laki-laki dari penduduk Madinah. Kesepakatan yang diucapkan pada saat itu adalah tentang keharusan bertauhid, memegang kaidah-kaidah akhlak sosial umum yang menjadi dasar bagi undang-undang masyarakat yang ideal. Sedsangkan bai'at yang kedua terjadi satu tahun setelah itu, pada musim haji yang berikutnya. Dihadiri oleh tujuh puluh tiga laki-laki dan dua orang wanita. Perjanjian yang diucapkan saat itu ---disamping point point yang disepakati sebelumnya-- adalah untuk saling bantu-membantu daslam peperangan dan perdamaian dalam melawan musuh negara yang baru berdiri itu, dan agama yang baru, serta untuk taat dalam kebaikan dan membela kebenaran.
he Basics of the Political System in Islam (part 1 of 2): Islam a Total Way of Life http://www.islamreligion.com/articles/224/
Description: In understanding the concept of government in Islam, one needs to first understand the
nature of the religion. This article explains how fundamental beliefs of Islam play a pivotal role in the system of governance. Part 1: The separation of ‘church and state.’ By IslamReligion.com Published on 06 Mar 2006 - L ast modified on 16 Oct 2011 Viewed: 26986 (daily average: 13) - Rating: 4.3 out of 5 - Rated by: 24 Printed: 968 - Emailed: 21 - Commented on: 0 Category: Articles > Systems in Islam > Politics
Introduction The West makes a natural mistake in their understanding of Islamic tradition, assuming that religion means the same for Muslims as it has meant for most other religious adherents ever since the industrial revolution, and for some societies, even before that; that is: a section of life reserved for certain matters, and separate from other sections of life. This is not the Islamic world view. It never has been in the past, and modern attempts of making it so are seen as an aberration.
Islam: A Total Way of Life Islam is a “total way of life.” It has provided guidance in every sphere of life, from individual cleanliness, rules of trade, to the structure and politics of the society. Islam can never be separated from social, political, or economic life, since religion provides moral guid ance for every action that a person takes. The primary act of faith is to strive to implement God's will in both private and public life. Muslims see that they, themselves, as well as the world around them, must be in total submission to God and his Will. Moreover, they know that this concept of His rule must be established on earth in order to create a just society. Like Jews and Christians before them, Muslims have been called into a covenant relationship with God, making them a community of believers who must serve as an example to other nations by creating a moral social order. God tells the Muslim global nation:
“You are the best community raised for mankind, enjoining the right and forbidding the wrong…” (Quran 3:110)
Throughout history, being a Muslim has meant no t only belonging to a religious community of fellow believers but also living under the Islamic Law. For Islamic Law is believed to be an extension of God‟s absolute sovereignty.
God is the Only Sovereign God is the absolute sovereign in Islam, and is therefore the only Lord of heaven and earth. Just as He is the Lord of the physical universe, to the true Muslim believers, God is the Lawgiver for every area of human life. Just as He is the Master of the physical world, God is the Ruler of the affairs of men in Islamic doctrine. Thus God is the supreme Lawgiver [1], the Absolute Judge, and the Legislator Who distinguishes right from wrong. Just like the physical world inevitably su bmits to its Lord by following the „natural‟ laws of the universe, human beings must submit to the moral and religious teaching of their Lord, the One Who sets right apart from wrong for them. In other words, God alone has the authority to make laws, determine acts of worship, decide morals, and set standards of human interaction and behavior. This is because, “His is the Creation and Command.” (Quran 7:54)
The Separation of Institutional Religion & the State As we have mentioned, in Islam God is acknowledged the sole sovereign of h uman affairs, so there has never been a distinction between religious and state authority. In Christendom, the distinction between the two authorities are said to be based upon records in the New Testament of Jesus, asking his followers to render unto Caesar what was his and unto God what was His. Therefore throughout Christian history until the present times, there have always been two authorities: „God and Caesar‟, or „the church and state.‟ Each had its own laws and jurisdictions, each its own structure and hierarchy. In the pre-westernized Islamic world there were never two powers, and the question of separation never arose. The distinction so deeply rooted in Christendom between church and state has never existed in Islam.
The Vision of an Islamic State The vision of an Islamic state and the purpose of its political authority is to implement the divine law. Thus, the ideal Islamic state is a community governed by the Law revealed by God. This does not entail that such a state is necessarily a theocracy under direct rule of the learned men of religion, nor is it an autocracy that vests absolute power in the ruler. The function of the Islamic state is to provide security and order so that Muslims can carry out both their religious and worldly duties. The Caliph[2] is the guardian of faith and the community. His role is not so much checked by the ulama (religious scholars), but enhanced by them because they provide him religious and legal counsel. He also appoints judges who resolve disputes in accordance with Islamic Law. There is a certain level of flexibility in regards to the system of governance and its establishment in Islam, however, religion must be implemented fully into state and societ y.
Footnotes:
[1] God‟s existence proven by the existence of a s upreme Lawgiver is called the „ethical‟ argument by Western theologians. [2] The word Caliph is the English term for Khaleefah, or successor, for the Caliph succeeds Prophet Muhammad as political leader of the Muslims and implementation of Divine Law in society.
http://www.scribd.com/doc/14670088/Principles-of-IslamicPolitical-System Principles of Islamic Political System: The Islamic Political System is based on some fundamental principles. These are follows:
01. Sovereignty ofAllah: The word sovereignty is derived from the Latin word „superanus‟, which means super power of a person over others. Sovereignty of Allah means the super power and authority of Allah over His creators. Allah is the main source of all power and laws. The Qur‟anic concept of sovereignty is simple. Allah is the Creator of the universe. He is its real Sustainer and Ruler. It is His Will that prevails in the cosmos all around. As all creation is His, His command should also be established and obeyed in man‟s society. He is the real sovereign and His Will should reign supreme as the Law. An Islamic state must put those laws into practice for greater good of its citizens.
02.Khilafah of Mankind: Khilafah means succession or representation, and Khilafah means succession or representative. In Islamic constitutional law Khilafah refers to the government. In Islam, Khilafah means the person who would implement the will of Allah on earth as His deputy or representative. “And it is He Who has made you generations coming after generations, replacing each other on the earth. And He has raised you in ranks, some above others that He may try you in that which He has bestowed on you. Surely you Lord is Swift in retribution, and certainly He is OftForgiving, Most Merciful.” -Surah Al-An‟am (6:165)
So, man‟s designat ions are Khilafah and his mission is to establish Khilafah. It is indeed a great honor and prestige to a man to be the Khilafah or representative or vicegerent of Allah among all of His creatures.
03. Legislation byShura: Shura is an Arabic word. It means consultation or to take advice from experts in a particular subject related with the administration of state. The term „Uzb al Shura‟ means the Member of Parliament in modern political system.
Shura means to take decision by consultation and participation. It is the law making body of a state. And this is the important part of the Islamic Political System. Islam teaches us to run a government by the process of Shura. Legislation by Shura means democratic system of government that opposes autocratism. This is the dominant principle of Islamic system if government.
04. Accountability of Government: The Islamic political system makes the government responsible firstly to Allah and then to the people. The government is elected by the people to exercise powers on their behalf. Then government shall have to work for the welfare of the people according to the Qur‟an and Sunnah. A government is a servant of the people of Islam. Both the government and the governed are the Khalafah of Allah and both will appear before Allah and account for their actions on the Day of Judgment. But the responsibility of the government or ruler is heavier then the governed or ruled. This accountability of government is not related o nly with the Day of Judgment but also in the present life. Any ordinary citizen of an Islamic state has the right to ask any question on any matter to the ruler and the government.
05. Independence of Judiciary: In the Islamic political system, the judiciary is independent of the Ex ecutive. The head of the state or any government minister can be called to the court if necessary. They would be treated no differently from any other citizen. The Qur‟an has many injunctions about justice. One of the main functions of the Islamic state is to ensure justice to all of its citizens. The Qur‟an states in this regard:“O you who believe! Stand o ut firmly for justice, as witnesses to Allah; even though it be against yourselves, or your parents, or your kin, b e he rich or poor, Allah is a better protector to both (then you). So follow not the desires (of your heats), lest you avoid justices; and if you distort your witness or refuse to give it, verily, Allah is ever well – acquainted with what you do.” -Surah Al-Nisa (4:135) So, the judiciary will be totally separate and independent from executive. The ruler and the government have no right to interfere in the system of justice.
06. Equality before Law: The Islamic political system ensures equality of all citizens before the law. It dos not recognize any discrimination on the basis of language, color, territory, sex or descent
(birth/origin). Islam recognizes to preference of one over the other o nly on the basis of Taqwa (Allah fearing in every steps of life). “O mankind! We have created you from a male and a female, and made you into nations and tribes, that you may know one another. Verily the most honorable of you with Allah is that (believer) who has At – Taqwa. Verily Allah is All – Knowing, All – Aware” -Shurh Al-Hujurat (49:13) The Prophet of Islam has said“All men are equal like the teeth of comb.” So, all men are equal in Islam. And the one who fears Allah most is the noblest in Islam.
07. Non-Violent Activities: In the past wears, the Muslim Brotherhood have repeatedly stated that they are involved in political life and have committed themselves to legal means and non-violent methods, their only weapons are: the honest and truthful words and the selfless dedication to social work. In so doing, they are confident that the Ummah's conscience and the people's awareness are the rightful judges of all intellectual and political trends which compete honestly with one another, within the limits of the constitution and the law. Thus, the Muslim Brotherhood reiterate their rejection of any form of violence and coercion as well as all forms of coups which undermine the unity of the Ummah because such plots may allow their organizers to supersede the political and social realities; but it would never give the masses the opportunity to exercise their free will. Furthermore, these methods will create a big crack in the wall of political stability and form an unacceptable assault on the true legitimacy in society. Indeed, the present atmosphere of suppression, instability and anxiety h as forced many of the young men of this Nation to commit acts of terrorism which have intimidated innocent citizens and threatened the country's security as well as its economic and political future. The Muslim Brotherhood dissociates itself totally, without any hesitation, from all kinds and forms of violence and denounces terrorism of any form and from any source. In addition, they consider those who shed the blood of innocents or aid such bloodshed as being wrongdoers and partners in sin. Hence, it calls all Muslims to abandon such actions and return to the right way because a Muslim is one who refrains from attacking others either physically or verbally. We, members of the Muslim brotherhood, invite all those who are involved in of violence to remember the advice of our Messenger (peace be upon him) in the farewell Pilgrimage Sermon when he commanded us to protect the sanctity of blood, honor, and property of every Muslim. The Muslim Brotherhood's continuous policy has been one of urging the government not to counter violence with violence, to abide, instead, by the rules of law and jurisdiction, to examine
the different aspects the problem and not to be confined to the confrontation policies. Some people deliberately and unfairly accuse the Muslim Brotherhood of being involved in terrorism. They feel that the above-mentioned policy is paving the way for violence to grow. Instead, they expect the Muslim Brotherhood to whole-heartedly support the government's actions. These accusations cannot be taken seriously in the light of the obvious long term record of the Muslim Brotherhood's positive contribution to political life, including their participation in general elections and representative bodies. When they were forced to stay away on certain occasions, they always remained committed to the laws and constitution and fought back using their only weapon, which is their truthfulness and honesty: "and they are never afraid of reproaches of such as find fault.." (Al-Ma'idah: 54)
08. Muslims and non-Muslims: In the first instance, our stance vis-à-vis this particular issue or any other issue is not simply a selective or transitional one based on personal feelings, but it has always been based on Islam, committed to its tenets and derived from its authentic sources; the Holy Qur'an and the Sunnah. The Muslim Brotherhood considers all human beings to inherentl y good and equipped with potential that could qualify them to follow the right path. The Muslim Brotherhood does not pass judgments on those around them, e.g., denouncing other Muslims as infidels, kuffar. On the contrary, It judges individuals on the basis of their actions and words. A sinful Muslim is not a Kafir (infidel), since he may change at a later time; hearts are the domain of Allah, the Merciful, Who provides them with piety and to Whom all are accountable. We the Muslim Brotherhood, always consider ourselves as "Du`ah" not "Qudah", i.e., preachers but not judges. Therefore, we have no intention of forcing any person against his faith or ideology, bearing in mind the Qur'anic guidance: "Let there be no coercion in religion" (Al-Baqarah: 256) our stance regarding our Christian compatriots in Egypt and the Arab world is not new and it is both clear and well-known. Christians are our p artners in the country and have been brothers in the long struggle to liberate the nation. They enjoy all rights of citizenship whether financial, psychological, civil or political. To care for and cooperate with them in every good cause is an Islamic obligation (fard) which no Muslim would dare to unde restimate or take lightly. If any person says or does the opposite, we would be ashamed of his actions and sayings and we have nothing to do with him. Nowadays, politicians and thinkers worldwide are raising the banner of pluralism and exhorting the recognition of human differences as far ideas, thoughts or actions are concerned. However, when the holy Qur'an was revealed to Prophet Muhammad (peace be upon him) more
then 1400 years ago, Islam considered these differences as being both universal and human facts, and based its political, social and cultural systems on such variation and diversity: "And we made you into nations and tribes, that you may know each other.." (Al-Hujurat 13)Pluralism according to Islam obliges the recognition of the "other" and requires the psychological and intellectual readiness to accept what truth good and benefit others may possess because, "….wisdom is what a believer should be look ing for; wherever he finds it, he should utilize it in the best possible way. "he who depicts Muslims as a narrow -minded sect, hiding behind an iron curtain which prevents dealings with other nations, does a great injustice to both Islam and Muslims. The Muslim Brotherhood reaffirms its commitment to the enlightened and wise Islamic viewpoint and reminds all those who follow or quote the Muslim Brotherhood to be sincere in their words and actions. Each one of them should befriend others and open his heart and mind to everyone, never look down on any person nor remind him of past favors, nor lose patience with him. The Brother's hands should always be outstretched to others in kindness, love and purity. Their approach to the whole world is one of peace in words and actions, following the example of our Messenger (peace is upon him), who a mercy is sent to all the worlds, as the Qur'an affirms: "If you were severe, hard-hearted they would have broken away from you…" (AL`Imran: 159) "it is indeed a reminder for you and for you people and you soon be brought to account…" (Al-Zukhruf: 44)
09. Woman in Islamic Political System: Woman is a pure creation that Allah has honored her just as he has honored man: "We have honored the sons of Adam; provided them with transport on land and sea; given them for sustenance things good and pure; and conferred on them special favors above a great part of Our creation." (Al-Isra: 70) That she is wise a wise, rational being except when she is inflicted with the con fusions that man is also inflicted with. That she is addressed Glorious Qur'an and the Sunnah in the same way as man is addressed. She is accountable by Iman (Faith) and Shari`ah of Islam just as man is. Her responsibility in that regard is comprehensive even if the nearest man to her disagrees with that. Her civil and legal duties are the same as those of man. She has all financial rights available to
man. All her monetary dealings are absolutely val id without the need for the consent of her father, brother, husband or any other man. We have also clarified the boundaries of the man's sustenance of the woman, and said that it is restricted to questions regarding the sharing of marital life only, and tha t it is a leadership of mercy, companionship and consultation, in return for responsibilities that the man has to fulfill. In any case she is not definitely a lower human being then the man. Likewise, we have presented the evidence for the validity of our Fiqh (Jurisprudence) argument that the woman has the same rights as the man regarding participation in parliamentary, legislative and trade union elections. She also has the right to nomination and election at these councils. She has the right to any public office, except the Imamah Al-Uzmah ( the higher office of ruling) and whatever else falls under that category. As for her taking judicial appointments, the door of Ijtihad open so lon g as any such study bears in mind the woman's chastity, bashfulness, and honor.
10. Human Rights: It is a very sad paradox that Muslims have been accused of violating human rights at a time when Muslims, whether they are peoples, governments, individuals or groups, are being subjected to all kinds of aggression and their asic rights and freedom are being violated. It is obvious that governments and politicians in powerful countries are using double standards. When they deal with non-Muslims they seek justice and show respect to human rights charters, but when they deal with Muslim governments or countries, oppression is tolerated and ag gression is justified. The tragedies of Bosnia and Chechnya but rwo examples. It is worthwhile to remind ourselves and the others that Islam is the only ideological and political system that has honored man and humanity to the utmost degree. Islam is absolutely free from all forms of discrimination whether based on race, color o r culture. From the beginning, Islam has protected the blood, privacy, property and honor of all individuals and considered any violation of these sanctities a forbidden act or sin. It has also made their protection a religious duty and an Islamic act of devotion, even if non-Muslims do not oblige themselves with such standards. The Qur'an explains this as follows: "…. And let not the hatred of others make you swerve to wrong and depart from Justice. Be just : that is nearer to piety" (Al- Ma'idah: 8) if some Muslims here or there, or this point of time or in the past, have not committed themselves to this obligation, their misdeeds should not be attributed to Islam. It has been commonly accepted that: you can identify true statesmen by seeing them stick to truth, b ut truth cannot be identified by seeing those who follow it."
The Muslim Brothers would like to proclaim to every including ou rselves that we are at the forefront of those who respect human rights and w ork for it. We call for providing all safeguards for these rights and work for it. We call for providing all safeguards for these rights, securing them for every human being and facilitating the practice of all liberties within the framework of ethical values and legal limits. We believe that human freedom is the starting point for every good cause, for progress and creativity. The violation of human freedom and rights under any banner, even Islam, is a degradation of man a demotion from the high position in which Allah has placed him, and it prevents man from utilizing his initiatives and power and to develop. At the same time, we proclaim here that the present tragic acts of injustice are afflicting Muslims who have never hurt any one. It is the duty of all men to protest loudly, calling for the universality of human rights and the enjoyment of human freedom on an equal footing. Such equality is the true way to the international and social peace and towards new world order which would be to correct any injustice and stop all acts of aggression.
Prinsip-Prinsip Sistem Politik Islam: Sistem Politik Islam didasarkan pada beberapa prinsip dasar. Ini adalah berikut:
01. Kedaulatan Allah: Kedaulatan Kata ini berasal dari kata Latin 'superanus', yang berarti kekuatan super seseorang atas orang lain. Kedaulatan Allah berarti kekuatan super dan otoritas Allah atas pencipta-Nya. Allah adalah sumber utama dari semua kekuasaan dan hukum. Konsep kedaulatan Al-Qur'an adalah sederhana. Allah adalah Pencipta alam semesta. Dia adalah Pemelihara nyata dan Penguasa. Ini adalah Kehendak-Nya yang berlaku di seluruh kosmos. Seperti semua ciptaan-Nya, perintah-Nya juga harus ditetapkan dan ditaati dalam masyarakat manusia. Dia adalah penguasa nyata dan kehendak-Nya harus memerintah tertinggi sebagai UU. Sebuah negara I slam harus menempatkan hukum-hukum ke dalam praktek untuk kebaikan yang lebih besar dari warganya.
02.Khilafah Manusia: Khilafah berarti suksesi atau representasi, dan Khilafah berarti suksesi atau perwakilan. Dalam hukum Islam Khilafah konstitusional mengacu kepada pemerintah. Dalam Islam, Khilafah berarti orang yang akan melaksanakan kehendak Allah di bumi sebagai wakil-Nya atau perwakilan.
"Dan Dialah yang telah membuat Anda generasi yang datang setelah ge nerasi, menggantikan satu sama lain di bumi. Dan Dia telah meningkatkan peringkat Anda dalam, beberapa orang lain di atas yang Dia mungkin mencoba Anda dalam hal yang Dia telah diberikan pada Anda. Tentunya Anda Tuhan adalah Swift retribusi, dan tentu Dia adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang. " QS Al-An'am (6:165) Jadi, sebutan manusia adalah Khilafah dan m isinya adalah untuk mendirikan Khilafah. Sungguh suatu kehormatan besar dan prestise bagi seorang pria untuk menjadi K hilafah atau perwakilan atau khalifah Allah di antara semua makhluk-Nya.
03. Legislasi oleh Shura: Syura adalah kata Arab. Ini berarti konsultasi atau mengambil saran dari para ahli dalam mata pelajaran tertentu yang berhubungan dengan administrasi negara. Istilah 'Uzb al Syura' berarti Anggota Parlemen dalam sistem politik modern. Syura berarti untuk mengambil keputusan melalui konsultasi dan partisipasi. Ini adalah hukum membuat tubuh negara. Dan ini adalah bagian penting dari Sistem Politik Islam. Islam mengajarkan kita untuk menjalankan pemerintahan dengan proses Syura. Legislasi oleh Shura berarti sistem pemerintahan yang demokratis yang me nentang autocratism. Ini adalah prinsip yang dominan dari sistem Islam jika pemerintah.
04. Akuntabilitas Pemerintah: Sistem politik Islam membuat pemerintah bertanggung jawab pertama kepada Allah dan kemudian kepada orang-orang. Pemerintah dipilih oleh rakyat untuk menjalankan kekuasaan atas nama mereka. Maka pemerintah harus bekerja untuk kesejahteraan rakyat menurut Al-Qur'an dan Sunnah. Pemerintah adalah hamba dari orang-orang Islam. Baik pemerintah dan yang diperintah adalah Khalafah Allah dan keduanya akan muncul sebelum Allah dan account untuk tindakan mereka pada hari kiamat. Tetapi tanggung jawab pemerintah atau penguasa lebih berat maka diatur atau diperintah. Ini akuntabilitas pemerintah tidak hanya terkait dengan hari kiamat, tetapi juga dalam kehidupan sekarang. Setiap warga negara biasa dari sebuah negara Islam memiliki hak untuk mengajukan pertanyaan tentang hal apapun kepada penguasa dan pemerintah.
05. Independensi Peradilan: Dalam sistem politik Islam, peradilan adalah independen dari Eksekutif. Kepala negara atau menteri bisa disebut ke pengadilan jika diperlukan. Mereka akan diperlakukan tidak berbeda dari warga negar a lainnya. Al Qur'an memiliki banyak perintah tentang keadilan. Salah satu fungsi utama negara Islam adalah untuk memastikan keadilan bagi semua warganya. Alquran menyatakan dalam hal ini: "Hai orang beriman! Menonjol tegas keadilan, sebagai saksi bagi Allah; meskipun itu terhadap dirimu sendiri, atau orang tua Anda, atau ke luarga Anda, jadi dia kaya atau miskin, Allah adalah pelindung yang lebih baik untuk keduanya (maka anda). Jadi tidak mengikuti keinginan (dari memanaskan Anda), jangan-jangan Anda menghindari hakim, dan jika Anda mendistorsi saksi atau menolak untuk memberikannya, sesungguhnya Allah Maha baik - mengenal dengan apa yang Anda lakukan ".
“ Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”-QS Al-Nisa (4:135)
Jadi, kehakiman akan benar-benar terpisah dan independen dari eksekutif. Para penguasa dan pemerintah tidak memiliki hak untuk mencampuri sistem peradilan.
06. Kesetaraan sebelum Undang-undang: Sistem politik Islam menjamin kesetaraan semua warga negara di hadapan hukum. Ini dos tidak mengenal diskriminasi berdasarkan bahasa, warna, jenis kelamin wilayah, atau keturunan (lahir / asal). Islam mengakui dengan preferensi dari satu atas yang lain hanya atas dasar Taqwa (Allah takut dalam setiap langkah kehidupan). "Wahai umat manusia! Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan membuat Anda menjadi bangsa dan suku, supaya kamu tahu satu sama lain.
Sesungguhnya yang paling mulia dari kalian di sisi Allah adalah bahwa (orang percaya) yang memiliki Pada - Taqwa. Sesungguhnya Allah Maha - Mengetahui, Semua - Sadar "
-Al-Hujurat Shurh (49:13) Nabi Islam mengatakan"Semua manusia adalah sama seperti gigi-gigi sisir." Jadi, semua orang adalah sama dalam Islam. Dan orang yang takut kepada Allah yang paling mulia adalah dalam Islam.
07. Kegiatan non-kekerasan: Dalam memakai masa lalu, Ikhwanul Muslimin telah berulang kali menyatakan bahwa mereka terlibat dalam kehidupan politik dan telah berkomitmen untuk sarana hukum dan non-kekerasan metode, hanya senjata mereka adalah: kata-kata jujur dan juj ur dan dedikasi tanpa pamrih untuk bekerja sosial. Dengan demikian, mereka yakin bahwa hati nurani umat dan kesadaran masyarakat adalah hakim yang sah dari semua kecenderungan intelektual dan politik yang bersaing jujur dengan satu sama lain, dalam batasbatas konstitusi dan hukum. Dengan demikian, Ikhwanul Muslimin menegaskan kembali penolakan mereka terhadap segala bentuk kekerasan dan pemaksaan serta segala bentuk kudeta yang merusak kesatuan umat karena plot tersebut, dapat memperbolehkan penyelenggara mereka untuk menggantikan realitas politik dan sosial, tetapi itu tidak akan pernah memberikan massa kesempatan untuk olahraga akan bebas mereka. Selanjutnya, metode ini akan menc iptakan celah besar di dinding stabilitas politik dan bentuk serangan tidak dapat diterima pada legitimasi yang benar dalam masyarakat. Memang, suasana sekarang penindasan, ketidakstabilan dan kecemasan telah memaksa banyak pria muda Bangsa ini untuk melakukan tindakan terorisme yang mengintimidasi warga yang tidak bersalah dan mengancam keamanan negara serta masa depan ekonomi dan politik. Para berdisosiasi Ikhwanul Muslimin itu sendiri benar-benar, tanpa ragu-ragu, dari semua jenis dan bentuk kekerasan dan me ncela terorisme bentuk apapun dan dari sumber manapun. Selain itu, mereka menganggap orang-orang yang menumpahkan darah orang tak bersalah atau pertumpahan darah bantuan seperti menjadi pelanggar dan mitra dalam dosa. Oleh karena itu, panggilan semua Muslim untuk meninggalkan tindakan-tindakan tersebut dan kembali ke jalan yang benar, karena seorang Muslim adalah orang yang menahan diri dari menyerang orang lain baik secara fisik atau verbal. Kami, anggota persaudaraan Islam, mengundang semua orang yang terlibat dalam kekerasan untuk mengingat nasihat dari Rasul kita (saw) dalam Khotbah Ziarah perpisahan ketika ia memerintahkan kita untuk melindungi kesucian darah, kehormatan, dan harta setiap Muslim. Kebijakan berkesinambungan Ikhwanul Muslim telah menjadi salah satu mendesak pemerintah untuk tidak melawan kekerasan dengan kekerasan, untuk mematuhi, sebagai gantinya, oleh aturan hukum dan yurisdiksi, untuk memeriksa berbagai aspek masalah dan tidak akan terbatas pada kebijakan
konfrontasi. Beberapa orang sengaja dan tidak adil menuduh Ikhwanul Muslimin terlibat dalam terorisme. Mereka merasa bahwa kebijakan tersebut di at as adalah membuka jalan bagi kekerasan untuk tumbuh. Sebaliknya, mereka me ngharapkan Ikhwanul Muslimin untuk sepenuh hati mendukung tindakan pemerintah. Tuduhan ini tidak dapat dianggap serius dalam terang dari catatan yang jelas jangka panjang kontribusi positif Ikhwanul Muslim untuk kehidupan politik, termasuk partisipasi mereka dalam pemilihan umum dan badan-badan perwakilan. Ketika mereka dipaksa untuk menjauh pada saatsaat tertentu, mereka selalu tetap berkomitmen pada hukum dan konstitusi dan berjuang kembali menggunakan satu-satunya senjata mereka, yang kebenaran dan kejujuran mereka: "Dan mereka tidak pernah takut celaan dar i seperti mencari kesalahan .." (Al-Mâ'idah: 54)
08. Muslim dan non-Muslim: Dalam contoh pertama, sikap kami vis-à-vis isu ini atau masalah lain bukan hanya satu selektif atau transisi berdasarkan perasaan pribadi, tetapi selalu berdasarkan Islam, berkomitmen untuk prinsipprinsip dan berasal dari otentik sumber, Al Qur'an dan Sunnah. Ikhwanul Muslimin menganggap semua manusia untuk inheren baik dan dilengkapi dengan potensi yang dapat memenuhi syarat mereka untuk mengikuti jalan yang benar. Ikhwanul Muslimin tidak lulus penilaian pada orang di sekitar mereka, misalnya, mencela Muslim lain sebagai kafir, orang-orang kafir. Sebaliknya, itu hakim individu atas dasar tindakan mereka dan kata-kata. Seorang muslim berdosa bukanlah kafir (kafir), karena ia dapat berubah di kemudian hari, hati adalah domain Allah, Yang Maha Pemurah, yang menyediakan mereka dengan kesalehan dan untuk siapa semua bertanggung jawab. Kami Ikhwanul Muslimin, selalu menganggap diri se bagai "Du` ah "tidak" Qudah ", yaitu, pengkhotbah tapi tidak hakim. Oleh karena itu, kita tidak punya niat untuk memaksa se tiap orang terhadap iman atau ideologi, mengingat bimbingan Al-Qur'an: "Jadilah ada paksaan dalam agama" (Al-Baqarah: 256) sikap kami tentang rekan-rekan Kristen kami di Mesir dan dunia Arab bukanlah hal baru dan itu adalah baik jelas dan terkenal. Kristen mitra k ami di negara ini dan telah saudara dalam perjuangan panjang untuk membebaskan bangsa. Mereka menikmati semua hak kewarganegaraan apakah keuangan, psikologis, sipil atau politik. Untuk merawat dan bekerja sama dengan mereka dalam setiap alasan yang baik adalah kewajiban Islam (fard) yang muslim tidak akan berani meremehkan atau mengambil ringan. Jika seseorang mengatakan atau melakukan sebaliknya, kita akan malu tindakannya dan perkataan dan kami tidak ada hubungannya dengan dia. Saat ini, politisi dan pemikir di seluruh dunia yang menaikkan bendera pluralisme dan mendorong pengakuan perbedaan manusia sebagai ide-ide ini, pikiran atau tindakan yang bersangkutan. Namun, ketika Al-Qur'an diwahyukan kepada Nabi Muhammad (saw) lebih dari 1400 tahun yang lalu, Islam dianggap sebagai perbedaan-perbedaan baik universal dan fakt a manusia, dan berdasarkan sistem politik, sosial dan budaya pada variasi t ersebut dan keanekaragaman: "Dan kami membuat Anda menjadi bangsa dan suku, supaya kamu mengenal satu sama lain .." (Al-Hujurat 13) Pluralisme menurut Islam mewajibkan pengakuan dari "lain" dan membutuhkan kesiapan psikologis dan intelektual untuk menerima apa yang baik kebenaran dan lain-
lain mungkin memiliki manfaat karena, "... kebijaksanaan adalah apa yang seorang mukmin harus mencari;. mana pun ia menemukannya, ia harus menggunakannya dalam cara terbaik mungkin." dia yang menggambarkan Muslim sebagai sebuah sekte berpikiran sempit, bersembunyi di balik tirai besi yang mencegah berurusan dengan negara lain, melakukan ketidakadilan besar untuk kedua I slam dan Muslim. Ikhwanul Muslimin menegaskan kembali komitmennya terhadap terce rahkan dan bijaksana sudut pandang Islam dan mengingatkan semua orang yang mengikuti atau kutipan Muslim Persaudaraan akan tulus dalam kata-kata mereka dan tindakan. Setiap salah satu dari mere ka harus berteman dengan orang lain dan membuka hati dan pikirannya kepada semua orang, tidak pernah memandang rendah seseorang atau mengingatkan dia nikmat masa lalu, atau kehilangan kesabaran dengan dia. Tangan Brother harus selalu terulur kepada orang lain dengan kebaikan, cinta dan kemurnian. Pendekatan mereka ke seluruh dunia adalah salah satu perdamaian di kata-kata dan tindakan, mengikuti contoh dari Rasulullah kita (perdamaian kepadanya), yang rahmat dikirim ke seluruh dunia, sebagai Al-Qur'an menegaskan: "Jika Anda berat, keras hati merek a akan memisahkan diri dari Anda ..." (AL `Imran: 159) "Memang pengingat untuk Anda dan untuk Anda orang dan Anda segera dibawa ke akun ... " (Al-Zukhruf: 44)
09. Perempuan dalam Sistem Politik Islam: Wanita adalah ciptaan murni yang Allah telah menghormatinya sebagaimana ia telah dihormati manusia: "Kami telah menghormati anak-anak Adam; memberikan mereka dengan transportasi di darat dan laut; diberikan rezeki mereka untuk hal-hal yang baik dan murni, dan diberikan pada mereka bantuan khusus di atas sebagian besar dari ciptaan kami." (Al-Isra: 70) Bahwa ia adalah bijaksana yang rasional, bijak karena kecuali ketika dia dijatuhkan dengan ke bingungan bahwa manusia juga ditimbulkan dengan. Bahwa ia ditujukan Alquran dan Sunnah dengan cara yang sama sebagai manusia ditujukan. Dia bertanggung jawab oleh Iman (Iman) dan Syariah Islam hanya sebagai manusia. Tanggung jawabnya dalam hal yang komprehensif bahkan jika orang terdekat kepadanya tidak setuju dengan itu. Tugasnya sipil dan hukum adalah sama dengan manusia. Dia memiliki semua hak keuangan yang tersedia untuk manusia. Semua transaksi moneter nya benar -benar berlaku tanpa perlu persetujuan, saudara suaminya ayah, atau orang lain. Kami juga mengklarifikasi batas-batas rezeki orang itu dari wanita itu, dan mengatakan bahwa itu adalah terbatas pada pertanyaan tentang berbagi kehidupan perkawinan saja, dan bahwa itu adalah kepemimpinan rahmat, persahabatan dan konsultasi, sebagai imbalan untuk tanggung jawab yang pria telah memenuhi. Dalam setiap kasus ia tidak benar-benar manusia yang lebih rendah yang kemudian pria itu. Demikian juga, kita telah menyajikan bukti keabsahan Fiqih kita (Fikih) argumen bahwa wanita memiliki hak yang sama sebagai orang mengenai partisipasi dalam pemilihan serikat parlemen, legislatif dan perdagangan. Dia juga memiliki hak untuk nominasi dan pemilihan di dewan-dewan. Dia memiliki hak
untuk setiap jabatan publik, kecuali Imamah Al-Uzmah (kantor yang lebih tinggi dari yang berkuasa) dan apa pun yang jatuh di bawah kategori itu. Sebagai baginya mengambil janji peradilan, pintu ijtihad terbuka sehingga selama penelitian serupa beruang dalam pikiran kesucian wanita, sifat malu, dan kehormatan.
10. Hak Asasi Manusia: Ini adalah paradoks yang sangat menyedihkan bahwa Muslim telah dituduh melanggar hak asasi manusia pada saat umat Islam, apakah mereka masyarakat, pemerintah, individu atau kelompok, yang menjadi sasaran untuk semua jenis agresi dan hak-hak mereka dan kebebasan asic telah dilanggar. Hal ini jelas bahwa pemerintah dan politisi di negara-negara kuat menggunakan standar ganda. Ketika mereka berurusan dengan non-Muslim mereka mencari keadilan dan menunjukkan rasa hormat kepada piagam hak asasi manusia, tetapi ketika mereka berurusan dengan pemerintah muslim atau negara, penindasan dan agresi ditoleransi dibenarkan. Tragedi Bosnia dan Chechnya tetapi contoh rwo. Hal ini bermanfaat untuk mengingatkan diri kita sendiri dan orang lain bahwa Islam adalah satu-satunya sistem ideologis dan politik yang telah dihormati manusia dan kemanusiaan ke tingkat maksimal. Islam adalah benar-benar bebas dari segala bentuk diskriminasi baik berdasarkan ras, warna kulit atau budaya. Sejak awal, Islam telah melindungi darah, privasi, harta, dan kehormatan dari semua individu dan dianggap terjadinya pelanggaran atas kesucian suatu tindakan terlarang atau dosa. Hal ini juga membuat perlindungan mereka kewajiban agama dan tindakan Islam pengabdian, bahkan jika nonMuslim tidak mewajibkan diri dengan standar tersebut. Al-Qur'an menjelaskan hal ini sebagai berikut: "... Dan biarkan. Bukan kebencian terhadap orang lain membuat Anda menyimpang untuk salah dan berangkat dari Keadilan. Karena adil itu lebih dekat kepada takwa " (Al-Mâ'idah: 8) jika beberapa Muslim di sini atau di sana, atau ini titik waktu atau di masa lalu, belum berkomitmen untuk kewajiban ini, kejahatan-kejahatan mereka tidak berhubungan dengan Islam. Telah umum diterima bahwa: Anda dapat mengidentifikasi negarawan sejati dengan melihat mereka menempel pada kebenaran, namun kebenaran tidak dapat diidentifikasi dengan melihat orang-orang yang mengikutinya ". Ikhwanul Muslimin ingin memberitakan kepada setiap termasuk diri kita sendiri bahwa kita berada di garis depan orang-orang yang menghormati HAM dan bekerja untuk itu. Kami menyerukan untuk menyediakan semua perlindungan bagi hak-hak ini dan bekerja untuk itu. Kami menyerukan untuk menyediakan semua perlindungan bagi hak-hak ini, mengamankan mereka untuk setiap manusia dan memfasilitasi praktek semua kebebasan dalam kerangka nilai-nilai etika dan batas-batas hukum. Kami percaya bahwa kebebasan manusia merupakan titik awal untuk setiap tujuan baik, untuk kemajuan dan kreativitas. Pelanggaran kebebasan manusia dan hak-hak di bawah setiap banner, bahkan Islam, adalah degradasi pria demosi dari posisi tinggi di mana Allah telah menempatkan dirinya, dan itu mencegah manusia dari memanfaatkan inisiatif dan kekuasaan dan untuk mengembangkan. Pada saat yang sama, kita menyatakan di sini bahwa tindakan tragis sekarang ketidakadilan melanda umat Islam yang tidak pernah menyakiti salah satu. Ini adalah tugas semua orang untuk me mprotes keras, menyerukan universalitas hak asasi manusia dan kenikmatan kebebasan manusia pada pijakan yang sama. Kesetaraan tersebut adalah jalan yang benar bagi perdamaian internasional dan sosial dan
menuju tatanan dunia baru yang akan untuk memperbaiki ketidakadilan dan menghentikan semua tindakan agresi.