LAPORAN PRAKTIKUM
FARMAKOKINETIK
PENANGANAN HEWAN COBA DAN PERHITUNGAN DOSIS
Dosen Pengampu:
Siti Maimunah M.Farm, Apt
Dr. Yudi Purnomo M.Kes, Apt
Disusun Oleh:
Nama : Mutholiatul Masyrifah
NIM : 13670037
Kelas/Kelompok : B/1
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2016
A. DASAR TEORI
A.1 Hewan Coba
Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan keselamatan manusia di dunia adalah adanya Deklarasi Helsinki,yang dihasilkan oleh Sidang Kesehatan Dunia ke 16 di Helsinki, Finlandia, pada tahun 1964 (Sulaksono, M.E., 1987).
Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis/ keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, di samping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia (Sulaksono, M.E., 1987).
Jenis-jenis Hewan percobaan:
No
Jenis hewan percobaan
Spesies
1.
Mencit (Laboratory mince)
Mus musculus
2.
Tikus (Laboratory Rat)
Rattus norvegicus
3.
Golden (Syrian) Haruster
Mescoricetus auratus
4.
Chinese Haruster
Cricetulus griseus
5.
Marmut
Cavia porcellus (Cavia cobaya)
6.
Kelinci
Oryctolagus cuniculus
7.
Mongolian gerbil
Meriones unguiculatus
8.
Forret
Mustela putorius furo
9.
Tikus kapas (cotton rat)
Sigmodon hispidus
10.
Anjing
Canis familiaris
11.
Kucing
Fells catus
12.
Kera ekor panjang (Cynomolgus)
Macaca fascicularis (Macaca irus)
13.
Barak
Macaca nemestrina
14.
Lutung/monyet daun
Presbytis ctistata
15.
Kera rhesus
Macaca mulata
16.
Chimpanzee
Pan troglodytes
17.
Kera Sulawesi
Macaca nigra
18.
Babi
Sus scrofa domestica
19.
Ayam
Gallus domesticus
20.
Burung dara
Columba livia domestica
21.
Katak
Rana sp.
22.
Salamander
Hynobius sp.
23
Lain-lain
Ukuran dan alat yang digunakan untuk pemberian obat pada hewan percobaan:
Hewan
IV
IP
SC
IM
Oral
Mencit
Jarum
27,5 g
1/2inci
Jarum
25 g
¼ inci
Jarum
25 g
¼ inci
Jarum
25 g
¾ inci
Ujung tumpul
15 g/16 g
2 inci
Tikus
Jarum
25 g
Jarum
25 g
1 inci
Jarum
25 g
1 inci
Jarum
25 g
1 inci
Ujung tumpul
15 g/16 g
2 inci
Kelinci
Jarum
25 g
1 inci
Jarum
21 g
1¼ inci
Jarum
25 g
1 inci
Jarum
25 g
1 inci
Kateter karet no. 9
Marmut
-
Jarum
25 g
1 inci
Jarum
25 g
1 inci
Jarum
25 g
¾ inci
-
Kucing
-
Jarum
21 g
1½ inci
Jarum
25 g
1 inci
Jarum
25 g
1 inci
-
(Harmita,2008: 64)
Konversi perhitungan dosis untuk berbagai jenis hewan dan manusia:
Hewan
percobaan
Mencit
20 g
Tikus
200 g
Marmut
400 g
Kelinci
1,5 kg
Kucing
2 kg
Kera
4 kg
Anjing
12 kg
Manusia
70 kg
Mencit
20 g
1,0
7,0
12,25
27,8
29,7
64,1
124,2
387,9
Tikus
200 g
0,14
1,0
1,74
3,9
4,2
9,2
17,8
56,0
Marmut
400 g
0,08
0,57
1,0
2,25
2,4
5,2
10,2
31,5
Kelinci
1,5 kg
0,04
0,25
0,44
1,0
1,08
2,4
4,5
14,2
Kucing
2 kg
0,03
0,23
0,41
0,92
1,0
2,2
4,1
13,2
Kera
4 kg
0,016
0,11
0,19
0,42
0,45
1,0
1,9
6,1
Anjing
12 kg
0,008
0,06
0,10
0,22
0,24
0,52
1,0
3,1
Manusia
70 kg
0,0026
0,018
0,031
0,07
0,076
0,16
0,32
1,0
(Harmita,2008: 66)
Volume maksimum larutan/padatan yang dapat diberikan pada hewan
Hewan
Volume maksimum (ml) sesuai jalur pemberian
IV
IM
IP
SC
PO
Mencit 20-30 g)
0,5
0,05
1,0
0,5-1,0
1,0
Tikus (100 g)
1,0
0,1
2-5,0
0,5-5,0
5,0
Hamster (50 g)
-
0,1
1-2,0
2,5
2,5
Marmut (250 g)
-
0,25
2-5,0
5,0
10,0
Merpati (300 g)
2,0
0,5
2,0
2,0
10,0
Kelinci (2,5 kg)
5-10,0
0,5
10-20,0
5-10,0
20,0
Kucing (3 kg)
5-10,0
1,0
10-20,0
5-10,0
50,0
Anjing (5 kg)
10-20,0
5,0
20-50,0
10,0
100,0
(Harmita,2008: 67)
A.2 Rute Pemberian Obat
Rute pemberian obat (Routes of Administration) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat (Katzug, 1989).
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik
Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
Stabilitas obat di dalam lambung atau usus
Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute
Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter.
Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macam rute
Kemampuan pasien menelan obat melalui oral
Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan parenteral (Priyanto, 2008):
Jalur Enternal
Jalur enteral berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal (GI), seperti pemberian obat melalui sublingual, bukal, rektal, dan oral. Pemberian melalui oral merupakanjalur pemberianobat paling banyak digunakankarena paling murah, paling mudah, dan paling aman. Kerugian
dari pemberian melalui jalur enternal adalah absorpsinya lambat, tidak dapat diberikan pada pasien yang tidak sadar atau tidak dapat menelan. Kebanyakan obat diberikan melalui jalur ini, selain alasan di atas juga alasan kepraktisan dan tidak menimbulkan rasa sakit. Bahkan dianjurkan jika obat dapat diberikan melalui jalur ini dan untuk kepentingan emergensi (obat segera berefek), obat harus diberikan secara enteral.
Jalur Parenteral
Parenteral berarti tidak melalui enteral. Termasuk jalur parenteral adalah transdermal (topikal), injeksi, endotrakeal (pemberian obat ke dalam trakea menggunakan endotrakeal tube), dan inhalasi. Pemberian obat melalui jalur ini dapat menimbulkan efek sistemik atau local.
Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal (dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular, subkutan, dan intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian secara parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri, intraspinal dan intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor site) cara pemberian yang lain adalah inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui kulit atau mata. Proses penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan memperngaruhi aktifitas obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan (Siswandono, 1995).
Rute penggunaan obat dapat diperlihatkan sebagai berikut:
No.
Istilah
Letak masuk dan jalan absorpsi obat
1.
Per oral (per os)
Melalui mulut masuk saluram intestinal (lambung), penyerapan obat melalui membran mukosa pada lambung dan usus memberi efek sistemik
2.
Sublingual
Dimasukkan di bawah lidah, penyerapan obat mellaui membran mukosa, memberi efek sistemik
3
Parenteral atau injeksi
a. intravena
b. intrakardial
c. intrakutan
d. subkutan
e. intramuskular
melalui selain jalan lambung dengan merobek beberap jaringan
Masuk pembuluh darah balik (vena), memberi efek sistemik
Menembus jantung, memberi efek sistemik
Menembus kulit, memberi efek sistemik
Di bawah kulit, memberi efek sistemik
Menembus otot daging, memberi efek sistemik
4
Intranasal
Diteteskan pada lubang hidung, memberi efek lokal
5
Aural
Diteteskan pada lubang telinga, memberi efek lokal
6
Intrarespiratoral
Inhalasi berupa gas masuk paru-paru, memberi efek lokal
7
Rektal
Dimasukkan ke dalam dubur, memberi efek lokal + sistemik
8
Vaginal
Dimasukkan ke dalam lubang kemaluan wanita, memberi efek lokal
9
Uretral
Dimasukkan ke dalam saluran kencing, memberi efek lokal
(Anief, M., 1994).
A.3 Ibuprofen
Ibuprofen berupa serbuk hablur, putih hingga hampir putih, berbau khas lemah. Ibuprofen praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam etanol, metanol, aseton dan dalam kloroform, sukar larut dalam etil asetat (Depkes RI, 1979).
A.3.1 Farmakokinetik
Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat melalui saluran pencernaan dengan bioavailabilitas lebih besar dari 80%. Puncak konsentrasi plasma dapat dicapai setelah 1-2 jam. Ibuprofen menunjukkan pengikatan (99%) yang menyeluruh dengan protein plasma (Anderson, 2002).
Pada manusia sehat volume distribusi relatif rendah yaitu (0,15 ± 0,02 L/kg). Waktu paruh plasma berkisar antara 2 - 4 jam. Kira-kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan dieksresi melalui urin sebagai metabolit atau konyugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi (Stoelting, 2006).
A.3.2 Farmakodinamik
Mekanisme kerja ibuprofen melalui inhibisi sintesa prostaglandin dan menghambat siklooksigenase-I (COX I) dan siklooksigenase- II (COX II). Namun tidak seperti aspirin hambatan yang diakibatkan olehnya bersifat reversibel. Dalam pengobatan dengan ibuprofen, terjadi penurunan pelepasan mediator dari granulosit, basofil dan sel mast, terjadi penurunan kepekaan terhadap bradikinin dan histamin, mempengaruhi produksi limfokin dan limfosit T, melawan vasodilatasi dan menghambat agregasi platelet (Stoelting, 2006).
A.3.3 Indikasi dan Dosis Terapi
Ibuprofen dapat digunakan untuk mengurangi nyeri yang ringan hingga sedang, khususnya nyeri oleh karena inflamasi seperti yang terdapat pada arthritis dan gout (Anderson, 2002).
Untuk mengurangi nyeri ringan hingga sedang dosis dewasa penggunaan ibuprofen per oral adalah 200-400 mg, untuk nyeri haid 400 mg per oral kalau perlu. Untuk arthritis rheumatoid 400-800 mg. Untuk demam pada anak-anak 5 mg/kg berat badan, untuk nyeri pada anak-anak 10 mg/ kg berat badan, untuk arthritis juvenil 30-40 mg/ kg berat badan/hari (Anderson, 2002).
A.3.4 Efek Samping
Efek samping ibuprofen jarang terjadi: mual, muntah, gangguan saluran cerna. Pernah dilaporkan adanya ruam kulit, trombositopenia dan limfopenia. Penurunan ketajaman penglihatan (sangat jarang) (Dirjen POM, 2013).
A.3.5 Rute Pemberian Ibuprofen
Dalam dosis rendah ibuprofen diberikan secara oral karena absorpsinya bisa mencapai 85%. Sesudah pemberian secara oral, obat harus melewati sel epitel saluran cerna, membrane sistem peredaran tertentu, melewati membran kapiler menuju sel-sel organ atau reseptor obat (Anonim, 2015).
A.4 Furosemida
Furosemida berupa serbuk hablur, berwarna putih atau hampir putih, tidak berbau, hampir tidak berasa. Praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam aseton, dalam dimetilformamida dan dalam larutan alkali hidroksida; larut dalam metanol; agak sukar larut dalam etanol; sukar larut dalam eter; sangat sukar larut dalam kloroform (Depkes RI, 1979).
A.4.1 Farmakokinetik
Awal kerja obat terjadi dalam 0,5-1 jam setelah pemberian oral, dengan masa kerja yang relatif pendek ± 6-8 jam. Absorpsi furosemida dalam saluran cerna cepat, ketersediaan hayatinya 60 -69 % pada subyek normal, dan ± 91-99 % obat terikat oleh plasma protein. Kadar darah maksimal dicapai 0,5-2 jam setelah pemberian secara oral, dengan waktu paruh biologis ± 2 jam (Siswandono,1995).
Resorpsinya dari usus hanya lebih kurang 50%, t ½ plasma nya 30-60 menit. Ekskresinya melalui kemih secara utuh, pada dosis tinggi juga lewat empedu (Tjay dan Kirana, 2002).
A.4.2 Farmakodinamik
Furosemida adalah suatu derivat asam antranilat yang efektif sebagai diuretik. Efek kerjanya cepat dan dalam waktu yang singkat. Mekanisme kerja furosemid adalah menghambat penyerapan kembali natrium oleh sel tubuli ginjal. Furosemida meningkatkan pengeluaran air, natrium, klorida, kalium dan tidak mempengaruhi tekanan darah yang normal. Pada penggunaan oral, furosemida diabsorpsi sebagian secara cepat dan diekskresikan bersama urin dan feses (Lukmanto, 2003).
A.4.3 Indikasi, Dosis Terapi dan Rute Pemberian
Furosemida dapat digunakan untuk pengobatan hipertensi ringan dan sedang, karena dapat menurunkan tekanan darah (Siswandono, 1995).
Furosemida tersedia dalam bentuk tablet 20, 40, 80 mg dan preparat suntikan. Umumnya pasien membutuhkan kurang dari 600 mg/hari. Dosis anak 2 mg/kg BB, bila perlu dapat ditingkatkan menjadi 6 mg/kg BB (Ganiswara, 1995).
A.4.4 Efek Samping
Efek samping jarang terjadi dan relatif ringan seperti mual, muntah, diare, rash kulit, pruritus dan kabur penglihatan. Pemakaian furosemida dengan dosis tinggi atau pemberian dengan jangka waktu lama dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan elektrolit (Lukmanto, 2003).
Secara umum, pada injeksi intra vena terlalu cepat dan jarang terjadi ketulian (reversible) dan hipotensi. Dapat juga terjadi hipokaliemia reversibel (Tjay dan Kirana, 2002).
B. PENYELESAIAN SOAL
B.1 Soal
Dosis Ibuprofen untuk manusia 400mg tiap kali pakai. Hitung kebutuhan dosis dengan rute pemberian per oral untuk:
Tikus
Kelinci
Berdasarkan perhitungan dosis di atas, hitung volume larutan yang dipakai untuk:
Tikus
Kelinci
Dosis furosemide 2mg/kg BB (I.V), hitung kebutuhan dosis untuk:
Mencit (150 g)
Kucing (4 Kg)
Berapa volume larutan yang diberikan bila sediaan furosemide injeksi mengandung 10mg/ml?
B.2 Penyelesaian
Diket: dosis ibuprofen = 400 mg
Dit : kebutuhan untuk?
Tikus
Kelinci
Jawab: a) tikus = dosis X factor tikus
= 400 mg X 0,018
= 7,2 mg/ekor
b) kelinci = dosis X factor kelinci
= 400mg X 0,07
= 28 mg/ekor
Dit : Cara penyiapan larutan?
Jawab: a) cara penyiapan (missal untuk 5 ekor)
= 7,2 mg X 5 ekor = 36 mg
= 3,6 mg ibuprofen + pembawa 10 ml
Volume yg diberikan = 2 ml/ ekor
b) cara penyiapan (misal untuk 5 ekor)
= 28 mg X 5 ekor = 140 mg
= 140 mg ibuprofen + pembawa 50 ml
Volume yang diberikan = 10 ml/ekor
Diket : dosis furosemide 2 mg/ Kg BB
Dit : Kebutuhan dosis dan cara penyiapan?
Mencit (50 g)
Kucing (4 Kg)
Jawab: a) mencit = 0,05 kg1 X 2 mg=0,1 mg
Volume yang diambil = 0,1 mg X 5 ekor = 0,5 mg
0,5 mg = 0,52 X 10=2,5 mg dari 10 mg furosemid
Cara penyiapan = 2,5 mg + pembawa 1,25 ml
Volume yang diberikan = 0,25 ml/ekor
kucing = 41X 2 mg=8 mg
Diketahui sediaan furosemide injeksi 10mg/ml, sehingga volume yang diambil untuk injeksi pada kucing adalah 8mg10mg ml-1=0,8 ml
Volume maksimal larutan obat secara IV kucing adalah 5-10 ml, pengambilan larutan seanyak 0,8 ml dirasa kurang presisi sehingga diperlukan pengenceran (misal untuk 5 ekor)
Volume yang diambil = 0,8 X 5 = 4ml
Cara penyiapan = 4 ml furosemide diencerkan dalam aquadest 25 ml.
Volume yang diberikan = 5 ml/ekor
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Praktikum kali ini mempalajari tentang pengaruh cara pemberian obat terhadap absorpsi obat dan perhitungan dosis dalam tubuh (dalam hal ini pada tubuh hewan uji).
Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang kedokteran atau biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis atau keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, disamping factor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia (Katzung, 1989).
Cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya. (Katzung, 1989).
Cara memperlakukan hewan coba adalah mula-mula hewan coba dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan terpaut pada kawat kasa kandang. Kulit kepala dipegang sejajar dengan telinga hewan coba dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri. Ekor dijepit dari pada jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat dipegang dengan sempurna. Hewan coba siap untuk diberikan perlakuan.
Metode yang biasa dilakukan dalam penanganan hewan coba mencit :
1. Handling:
Ekor dipegang di daerah tengah ekor dengan tangan kiri, lalu Leher dipegang dengan tangan kanan, dan jangan terlalu menggencet.Telunjuk dan ibu jari memegang kulit leher, jari kelingking menjepit ekor.
2. Per oral
Mencit atau tikus diletakkan di atas ram kawat, ekor ditarik. Jarum suntik yang sudah disolder dimasukkan ke dalam mulut mencit namun harus diperhatikan proses masuknya jarum agar tidak melukai organ dalam mencit. Setelah selesai, tarik kembali jarum tersebut secara perlahan.
3. Intramuskular
Pembantu memegang paha, penyuntik memegang paha kiri dari depan dengan tangan kiri.Jarum ditusukkan dari balik dengan sudut tegak lurus terhadap permukaan kulit kira-kira ditengah paha sehingga tusukan sampai ke otot bicep femoris.Lalu suntikkan bahan perlakuan, tarik jarum, tempat suntikan dipijat pelan-pelan.
4. Intraperitoneal
Mencit dihandling dengan benarTusukkan jarum disisi dekat umbilicus / kira-kira 5mm disamping garis tengah antara 2 puting susu paling belakangTarik jarum lalu lepaskan mencit.
5. Subkutan
Obat/bahan disuntikkan di bawah kulit di daerah punggung, terasa longgar bila jarum digerak-gerakkan, berarti suntikan sudah benar.
Jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat. Rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk ke dalam tubuh, sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi atau kemungkinan timbulnya efek yang merugikan.
Pada pemberian dosis pada hewan coba, dosis yang diberikan harus sesuai dengan bobot hewan coba, yang berarti setiap hewan coba memiliki dosis yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan banyaknya faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas obat, yaitu jumlah obat dalam persen terhadap dosis yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh atau aktif. Salah satu faktor yangmempengaruhi yaitu faktor obat itu sendiri, misalnya sifat-sifat fisikokimia obat.Sifat fisikokimia obat yang mempengaruhi, antara lain:
Stabilitas pada pH lambung,
stabilitas terhadap enzim-enzim pencernaan,
stabilitas terhadap flora usus
kelarutan dalam air atau cairan saluran cerna
ukuran molekul,6.derajat ionisasi pada pH salauran cerna,
kelarutan bentuk non-ion dalam lemak,
stabilitas terhadap enzim-enzim dalam dinding saluran cerna, dan
stabilitas terhadap enzim-enzim di dalam hati.
Kebutuhan dosis untuk ukuran hewan coba dapat dihitung dengan cara dosis dari manusia yang telah diketahui dikonversi ke dosis hewan coba sehingga didapat dosis hewan.Selanjutnya untuk mengetahui volume larutan yang diperlukan dapat dihitung dengan cara mengalikan jumlah dosis dengan jumlah hewan coba dan ditambah dengan pembawa.
Berdasarkan studi kasus yang telah ada dapat diketahui dosis ibuprofen per oral pada tikus yang dibutuhkan adalah 400 x 0,018 = 7,2 mg. Volume larutan yang diberikan untuk 5 ekor tikus adalah 2 ml dengan jumlah pembawa sebanyak 10 ml. Pada kelinci dosisyang dibutuhkan adalah 400 x 0,07 = 28 mg. Volume larutan yang diberikan untuk 5 ekor kelinci adalah 10 ml, dengan larutan pembawa sebanyak 50 ml.
Sedangkan untuk pemberia obat furosemid secara iv dosis yang dibutuhkan untuk injeksi ke mencit (50 g) adalah 0,051 x 2 mg=0,1 mg. Diketahui sediaan furosemid injeksi adalah 10 mg/ml, sehingga volume yang diambil untuk injeksi pada mencit adalah 0,1 mg10mg/ml=0,01 ml. Volume max larutan obatsecara iv mencit adalah 0,5 ml, namun diambil sebisa mungkin ½ nya menjadi 0,25 ml. Pengambilan larutan sebanyak 0,01 ml sangat sulit sehingga diperlukan pengenceran. Misalkan untuk 5 ekor mencit sehingga diambil 0,05 ml furosemid injeksi dan diencerkan ke dalam aquades sebanyak 1,25 ml (0,25 ml x 5).
Dosis furosemid yang diberikan pada kucing (4 kg) secara iv adalah 41x 2=8 mg. Diketahui sediaan furosemid injeksi adalah 10 mg/ml, sehingga volume yang diambil untuk injeksi pada kucing adalah 8 mg10mg/ml=0,8 ml. Volume max larutan obat secara iv kucing adalah 5-10 ml. Pengambilan larutan sebanyak 0,8 ml dirasa kurang presisi sehingga diperlukan pengenceran. Misalkan untuk 5 ekor kucing, sehingga diambil 4 ml (0,8 x 5) furosemid injeksi dan diencerkan ke dalam aquades sebanyak 25 ml (5 ml x 5).
Ibuprofen diberikan secara oral, dan furosemide diberikan secara intra vena. Pemberian obat secara oral merupakan cara pemberian obar yang umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Namun kerugiannya ialah banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya sehingga waktu onset yang didapat cukup lama. Sedangkan pemberian secara suntikan yaitu pemberian intravena, memiliki keuntungan karena efek yang timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian secara oral karena tidak mengalami tahap absorpsi maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita.
D. KESIMPULAN
Cara memperlakukan hewan coba adalah mula-mula hewan coba dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan terpaut pada kawat kasa kandang. Kulit kepala dipegang sejajar dengan telinga hewan coba dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri. Ekor dijepit dari pada jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat dipegang dengan sempurna. Hewan coba siap untuk diberikan perlakuan.
Rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk ke dalam tubuh, sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi atau kemungkinan timbulnya efek yang merugikan.
Berdasarkan studi kasus yang diberikan dapat disimpulkan bahwa dosis ibuprofen per oral pada tikus yang dibutuhkan adalah 7,2 mg. Volume larutan yang diberikan untuk 5 ekor tikus adalah 2 ml dengan jumlah pembawa sebanyak 10 ml. Pada kelinci dosis yang dibutuhkan adalah 28 mg. Volume larutan yang diberikan untuk 5 ekor kelinci adalah 10 ml, dengan larutan pembawa sebanyak 50 ml.
Sedangkan untuk pemberia obat furosemid secara iv dosis yang dibutuhkan untuk injeksi ke mencit (50 g) adalah 0,1 mg. Volume yang diambil untuk injeksi pada mencit adalah 0,01 ml. Dosis furosemid yang diberikan pada kucing (4 kg) secara iv adalah 8 mg. Volume yang diambil untuk injeksi pada kucing adalah 0,8 ml. Karena untuk pengambilan 0,1 dan 0,8 terlalu sulit maka perlu dilakukan pengenceran.
E. DAFTAR PUSTAKA
Anderson, P.O., Knoben, J.E., dan Troutman, W.G. 2002. Handbook of Clinical Drug Data.10th edition. New York:Mc Graw Hill
Anief, M. (1994). Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Dirjen POM. 2013. ISO INDONESIA Volume 48. Jakarta: PT. ISFI
Ganiswara, G., S. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta:Gaya Baru
Harmita dan Radji, M., 2008. Kepekaan Terhadap Antibiotik. Dalam: Buku Ajar. Analisis Hayati, Ed.3. EGC, Jakarta.
Katzung, B., G. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta:Salemba Medika
Lukmanto, H. (2003). Informasi Akurat Produk Farmasi di Indonesia Edisi II. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC
Priyanto, 2008. Farmakologi Dasar Untuk Mahasiswa Farmasi & Keperawatan Edisi II. Jakarta:Leskonfi
Siswandono dan Soekardjo. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press.
Stoelting, R.K dan Hillier, S.C. 2006. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice Edisi IV. Philadelphia: Lipincott William & Wilkins
Sulaksono, M.E., (1992). Faktor Keturunan dan Lingkungan Menentukan Karakteristik Hewan Percobaan dan Hasil Suatu Percobaan Biomedis. Jakarta.
Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja. (2007), Obat-obat Penting. Jakarta: PT Gramedia.