SUMBER HUKUM HAM
Nilai-nilai Universal DUHAM
Klausul kebebasan dan kesetaraan dalam martabat dan hak yang merupakan
klausul dalam Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pernyataan pembuka ini merupakan dasar
pengakuan hak asasi manusia bahwa hak tersebut telah ada dan melekat sejak
manusia lahir berlaku sama bagi setiap orang. DUHAM merupakan dokumen yang
berisi prinsip-prinsip HAM. Bentuk deklarasi dan bukannya perjanjian
internasional membuat DUHAM dimaksudkan sebagai pedoman atau rujukan
prinsip-prinsip HAM. DUHAM merupakan wujud dari penjabaran lebih lanjut
dari Piagam PBB, terutama pada bagian pembukaan dan pasal 55 dan 56. Kedua
pasal tersebut menegaskan bahwa setiap negara anggota badan dunia PBB
berjanji untuk turut serta bekerjasama dengan PBB mewujudkan perdamaian dan
persahabatan dunia berdasarkan penghormatan atas kesetaraan hak dan hak
menentukan nasin sendiri.
DUHAM bersifat universal. Konsep natural rights (hak-hak alamiah) yang
mendasarinya, hak-hak dijabarkan dalam DUHAM dimiliki setiap manusia di
dunia ini karena kodratnya. Oleh karena itu prinsip-prinsip DUHAM
dimaksudkan untuk berlaku bagi setiap orang di seluruh dunia di setiap
negara. Hal ini berarti manusia tetap terlahir sebagi manusia apapun
keadaannya. Oleh karenanya hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia itu
juga sama pada tiap manusia. Kenyataan inilah yang ditegaskan dalam DUHAM
bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak yang universal.
Prinsip-prinsip HAM dalam DUHAM
Terjadinya peristiwa-peristiwa yang tidak berperikemanusiaan di masa
lalu telah membangkitkan kesadaran bahwa umat manusia membutuhkan upaya-
upaya konkrit agar martabat manusia senantiasa dilindungi. Maka dari itu
DUHAM lahir dari kebutuhan akan adanya suatu pedoman prinsip agar manusia
tersadar akan nilai nilai kemanusiaan. Dalam pembukaannya DUHAM menyatakan
bahwa pengakuan atas martabat dan hak-hak fundamental yang sama dari
seluruh umat manusia adalah dasar dari kemerdekaan, keadilan dan perdamaian
dunia. Pembukaan DUHAM juga menyatakan bahwa pengertian bersama tentang hak-
hak dan kebebasan-Kebebasan ini merupakan hal yang amat penting untuk
meraih realisasi yang penuh atas janji-janji yang telah dinyatakan
tersebut.
DUHAM terdiri dari 30 pasal. Terdapat dua kategori HAM yang diatur,
yakni hak-hak sipil dan politik (SIPOL) dan hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya (EKOSOB). Yang termasuk dalam hak-hak SIPOL adalah hak-hak
fundamental seperti ha katas hidup, kemerdekaan, keselamatan hidup (pasal
3), larangan perbudakan (pasal 4), penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak
manusiawi dan merendahkan martabat (pasal 5), hak-hak lainnya mencakup hak-
hak atas perlindungan hukum yakni untuk diakui dimanapun sebagai subjek
hukum (pasal 6), hak atas persamaan di depan hukum dan mendapatkan
perlindungan hukum yang setara tanpa diskriminasi (pasal 7) hak setiap
orang untuk mendapatkan pemulihan yang efektif bagi segala tindakan yang
melanggar hak fundamentalnya(pasal 8) hak untuk mendapatkan hak untuk
tidak mengalami penangkapan, penahanan atau pengasingan sewenang-wenang
(pasal 9), ha katas proses hukum yang adil (fair trial) (pasal 10), hak
atas praduga tidak bersalah dan larangan penggunaan atuean dan hukuman yang
berlaku surut (pasal 12), DUHAM juga mengatur ha katas kebebasan bergerak
yang termasuk pula hak seseorang untuk meninggalkan suatu negara termasuk
negaranya sendiri atau kembali ke negaranya tersebut (pasal 13), serta
mencari suaka (pasal 14) dan hak atas kewarganegaraan tersebut (pasal 15).
Begitu pula halnya dengan hak untuk menikah, berkeluarga, memilih pasangan
hidup dan keseteraan laki-laki dan perempuan dalam perkawinan (pasal 16),
DUHAM juga mengatur hak milik (pasal 17), hak yang diatur selanjutnya
adalah hak kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama (pasal 18), hak
politik yang diatur dalam deklarasi yaitu ha katas kebebasan berpendapat,
berekspresi, dan mendapatkan informasi (pasal 19), hak untuk berkumpul dan
berserikat (pasal 20), hak untuk turut serta dalam pemerintahan (pasal 21).
Sedangkan hak-hak EKOSOB, mencakup ha katas jaminan sosial dan
realisasi atas hak ekonomi, sosial, politik (pasal 22), hak atas pekerjaan
dan upah yang layak, serta hak untuk terlibat dalam serikat buruh (pasal
23), hak untuk bekerja dengan waktu yang wajar, istirahat dan liburan
(pasal 24), hak lainnya adalah hak atas standar hidup yang layak termasuk
dalam hal sandang, pangan, perumahan, kesehatan (pasal 25), ha katas
pendidikan (pasal 26), hak untuk turut serta dalam hidup berkebudayaan
masyarakat (pasal 27)
Prinsip-prinsip yang diatur dalam DUHAM berangkat dari konsep bahwa
manusia adalah makhluk irrasional. Manusia hidup pada hakekatnya bebas dan
setara. Kebebasan berrati manusia bebas dari kekuasaan pihak lain.
Kebebasan ini bebrarti manusia memiliki kehendak bebas, bebas menentukan
pilihannya sendiri. Kebebasan ini melahirkan kesetaraan. Maksud dari
kesetaraan ini adalah semua manusia sederajat, tidak ada yang lebih
dibandingkan yang lainnya dan tidak ada manusia yang mempunyai derajat yang
lebih tinggi. Sebenarnya perjalanan DUHAM menjadi sebuah dokumen universal
yang tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran yang terbangun memlalui proses
sejarah. Pemikiran mengenai kekbasan dan kesetaraan manusia yang mulai
dibangun oleh para pendukung hukum alam menjadi landasan utama konsep hak
natural Indonesia. Pada masa ini pemikiran John Locke melalui bukunya Two
Treatises of Civil Government, merupakan pemikiran yang selanjutnya
berkembang menjadi dasar pijikan dokumen-dokumen HAM.
Negara dan Penghormatan HAM
Negara sebagai institusi yang memiliki legitimasi dan perangkat-
perangkat yang memungkinkan untuk melaksanakan prinsip-prinsip HAM dalam
DUHAM memikul tanggung jawab terbesar untuk melaksanakan perlindungan,
penghormatan, dan pemenuhan HAM. Jadi, selain memang menjadi kewajiban
setiap manusia untuk mengimplemnatsikan HAM, negara juga bertanggung jawab
agar setiap pihak yang berada dalam negaranya menghormati prinsip ini dan
melaksanakan penegakkan hukum bagi pelanggaran atas prinsip-prinsip HAM
serta menjamin pemenuhan hak-hak ini. Tanggung jawab ini pada dasarnya ada
akrena negara dibentuk justru menjamin pelaksanaan prinsip-prinsip HAM.
Uraian lebih lanjut akan dijelaskan dibawah ini.
Hakikat Negara
Negara ada dan dibentuk oleh manusia semata-mata untuk menjamin
perlindungan hak-hak manusia yakni kehidupannya, kebebasannya dan miliknya.
Hak-hak milik yang melekat pada manusia inilah yang kemudian diartikan
sebagai Hak Asasi Manusia, karena hak tersebut memang dimiliki oleh manusia
sejak lahir. Inilah yang menjadi pokok utama pemikiran Jon Locke mengenai
hak-hak manusia dengan negara. Negara ada, melalui perjanjian di antara
manusia, untuk menjaga hak-hak manusia.
Menurut konsep ini, masyarakat telah memberiakn amanah kepada negara
untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut karena negara-lah yang memiliki
kekuasaan politik. Bahkan lebih jauh Locke menyatakan bahwa apabila amanah
rakyat berhak mengambil kembali amanah yang telah diberikan, dengan kata
lain rakyat berhak untuk melawan atau memberontak. Locke berpendapat
apabila suatu masrakat (civil society) tidak lagi menikamti kehidupan yang
layak, dicekam ketakutan, tidak aman, tidak ada hukum, tidak ada kebebasan,
tidak merasa diperlakukan lagi sesuai martabatnya sebagai manusia oleh
negara, maka kontrak sosial tidak lagi dapat dijalankan. Peran negara amat
penting bagi pelaksanaan prinsip HAM. Maka dari itu ditegaskan dalam
Deklarasi Vienna 1995 adalah tugas negara untuk memajukan dan melindungi
HAM.
Tanggung Jawab Negara
Berangkat dari konsep di atas maka DUHAM dan instrument instrument
HAM selanjutntya ( Bill of Human Rights) menegaskan bahwa penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara. Berkaitan
dengan hal tersebut , menjadi tanggung jawab negara pula jaminan atas
penegakan hukum terhadap pelanggaran prinsip-prinsip HAM. Apabila negara
membiarkan ketiadaan penegakan hukum atau bahkan menjadi bagian dari
pelangaran HAM tersebut maka negara telah melakukan tindakan yang dikatakan
sebagai impunitas. Pada hakikatnya, setiap manusia berhak untuk
mempertahankan hak-haknya. Oleh karena itu dalam keadaan tidak ada
kekuasaan ataupun pemerintahan atas manusia tersebut maka manusia yang
dilanggar haknya dapat membela dirinya. Namun ketika terdapat kekuasaan
politik yang legimate yang terbentuk dam consent manusia maka kewenangan
untuk menghukum menjadi kewenangan negara. Itulah tugas negara yakni
menjamin setiap pelanggaran hak manusia merupakan kejahatan dan dapat
dihukum.
Ketika suatu pelanggaran hak asasi manusia dalam DUHAM, misalnya hak
untuk hidup, negara mampu menghukum berdasarkan hukum yang berlaku, maka
peristiwa pelanggaran hak tersebut menjadi peristiwa kriminal. Oleh karena
itu , menjadi tanggung jawab negara untuk menjamin tidak ada pelanggaran
hak asasi manusia di wilayahnya. Tangung jawab negara berkaitan dengan HAM
adalah menghormati, melindungi, dan memenuhi ( to respect, to protect, to
fulfill) HAM.
Perjanjian Internasional mengenai HAM
Duham bukanlah perjanjian internasional namun merupakan pedoman yang
memuat prinsip-prinsip HAM, karenanya tidak ada kewajiban-kewajiban hukum
yang mengikat suatu negara sebagaimana suatu perjanjian. Untuk itu
muncullah yang kemudian dikenal sebagai Kovenan, Konvensi, dan Opotional
Protocol sebagai perjanjian international sebagai instrument yang mengikat
suatu negara untuk melaksanakan segala upaya berkaitan dengan HAM. Terdapat
dua Instrumen penting yang menjabarkan lebih lanjut hak-hak dalam Duham,
yaki Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial,
Budaya. Kedua Instrumen tersebut juga dilengkapi oleh beberapa aturan lain
seperti konvensi, deklarasi, dan rekomendasi seerta penjelasan seperti
General Comment. Sama halnya dengan kovenan, konvensi juga merupakan
perjanjian internasional yang dapat diratifikasi oleh negara-negara
sedangkan deklarasi dan rekomendasi lebih merupaka pedomana dan karenanya
disebut sebagai soft law.
Kovenan-Kovenan Internasional
Ketika DUHAM diadopsi pada 10 Desember 1948, saat itu pula Majelis
umum PBB memerintahkan Komisi HAM PBB untuk menyusun draft Kovenan dan
draft aturan metode implementasinya. Aturan-aturan ini dimaksudkan agar
terdapat instrument yang mengikat secara hukum terhadap negara-negaqra di
dunia sehingga HAM bukan saja sebagai prinsip-prinsip namun dapat
diwujudkan secara konkrit. Karena berangkat dari semangat dan tujuan yang
sama, maka Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politk (SIPOL) serta Kovenan Hak-Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB) memiliki beberapa kesamaan-kesamaan
klausul. Pemisahann kategori HAM menjadi hak-hak sipol dan hak-hak ekosob
tidak dapat dilakukan secara ketat sebab terdapat juga hal-hal yang
dicangkup oleh keduanya. Karena itulah, selain dari hal-hal dalam pembukaan
dan kewajiban negara peserta dalam pasal 2, terda[pat kalusul-klausul lain
yang mengatur hal yang sama. Kedua kovenan menempatkan hak untuk
menentukan nasib sendiri (right of self determination) sebagai pasal
pertama dari kovenan. Penegasan atas kesetaraan hak laki-laki dan perempuan
dalam menikmati hak-hak asasinya dan penegasan tanggung jawab negara untuk
merealisasikannya terdapat pada pasal 3.
Selanjutnya , kewajiban dasar yang harus dipenuhi oleh negara
peratifikasi terdapat dalam pasal 2 dikedua Kovenan tersebut. Bunyi pasal
ini mirip namun tidak sama untuk kedua Kovenan karena pelaksanaan hak-hak
sipol dan hak-hak ekosob sedikit berbeda. Perbedaan pelaksanaan kewajiban
tersebut terletak pada bagaimana kewajiban-kewajiban itu dipenuhi oleh
suatu negara. Untuk hak-hak sipol, implementasinya dinyatakan harus segera
dan tidak boleh ditunda dalam kedaan apapun di setiap negara, sedangkan
untuk hak-hak ekosob terdapat ketergantunganb kondisi suatu negara yang
melaksanakannya: Oleh karena itu , Kovenan menekankan pada "mengambil
langkah-langkah, sepanjang tersedia sumber dayanya, untuk secara progresif
mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan.
Selanjutnya , dengan meratifikasi perjanjian internasional maka negara
tersebut menjadi terikat secara hukum dan harus tunduk dan patuh pada janji
tersebut.
Kovenan Hakl-Hak Sipil dan Politik
Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik menjabarkan lebih lanjut hak-hak
sipil dan politik dalam Duham. Hak-hak yang diatur dalam Kovenan ini antara
lain hak fundamental seperti hak untuk hidup: hak untuk bebas dari
penyiksaan atau perlakuan atau hukuman kejam, tidak manusiawi, atau
merendahkan martabat; hak untuk bebas dari praktrek perbudakan. Kemudian
Kovenan ini mengatur hak-hak atas peradilan yang fair mencangkup hak untuk
bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang ; hak atas perlakuan
manusia terhadap orang yang berdasarkan hukum, harus diambil kebebasanna;
hak atas persamaan didepan pengadilan; hak atas persamaan perlindungan atas
hukum, hak untuk diakui sebagai individu berdasarkan hukum. Setiap individu
juga memiliki hak-hak sipil sebagaimana yang diatur dalam Kovenan ini yakni
hak untuk bebas bergerak dan memilih tempat tinggal untuk setiap orang
secara legal dalam suatu wilayah negara; hak untuk bebas meninggalkan suatu
negara dan untuk masuk ke negaranya sendiri.
Dari hak-hak yang diatur dalam Kovenan Sipil dan Politik terdapat
tujuh hak yang tidak dapat dicabut dalam keadaan apapun. Hak-hak tersebut
dikenal sebagai non-derogable rights, mencangkup hak untuk hidup; hak bebas
dari penyiksaan atau perlakuan atau hukum kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat; hak untuk bebas dari perbudakan; hak untuk bebas dari
pemenjaraan akibat ketidak sanggupan memenuhi kewajiban kontrak, hak untuk
bebas dari dinyatakan bersalah atas tindak kriminal yang belum menjadi
hukum pada saat tindakan tersebut dilakukan; hak untuk diakui sebagai
pribadi hukum; dan hak atas kebebasan berpendapat, berkeyakinan dan
beragama.
Sampai dimanakah Kovenan Hak-hak sipil dan politik juga mengatur hal-
hal mengenai pengaturan dan pembatasan-pembatasan pelaksanaan hak ? . Pada
prinsipnya tidak diperbolehkan adanya pembatasan terhadap hak dalam Kovenan
selain daripada yang sdecara jelas dinyatakan dan dimungkinkan oleh kovenan
itu sendiuri. Lalu pembatasan tersebut tidak diperkenankan untuk tujuan
lain selain dari yang telah diatur dalam Kovenan tidak boleh bertentangan
dengan prinsip hukum. Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak SIPOL ini
melalui UU No 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on
Civil and Political Rights. Dengan demikian Indonesia memiliki kewajiban-
kewajiban hukum diantaranya adalah membuat harmonisasi hukum nasional
lainnya sehingga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip didalam konvensi
Ini.
Masih banyak aturan hal-hal di Indonesia yang belum sejalan dengan
Kovenan. Hak Sipil dan Politik ini, baik dalam aturan perundang-undangan
maupun dalam praktek implementasinya.Persoalann kebebasan berekspresi,
kebebasan beragama dan berkeyakianan, jaminan dari tindak diskriminasi,
penjatuhan hukuman mati dan sebagainya merupakan contoh belum
dilaksanaknnya kewajiban-kewajiban Kovenan SIPOL. Jika persoalan-persoalan
tersebut masih menjadi persoalan mendasar di negeri ini, maka pada akhirnya
ratifikasi instrument HAM internasional masih menjadi komitmen di atas
kertas belaka tanpa adanya kesungguhan untuk melaksanakannya.
Kovenan Hak-Hak Ekonomi , Sosial, dan Budaya
Sedikit berbeda dengan hak-hak sipil dan politik yang menekankan
universalitas, hak-hak ekonomi, sosial,d dan budyaa ini lebih mengarahkan
kepada pengakuan penghormatan terhadap perbedaan-perbedaan tertentu serta
kelas-kelas sosial masyarakat. Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya mengatur
tentang hak-hak yang berkaitan dengan pekerjaan, hak masyarakat untuk
mendapatkan jaminan sosial termasuk asuransi sosial, hak untuk mendapatkan
perlindungan terhadap keluarga, dan hak mendapatkan jaminan bahwa mereka
dapat hidup. Oleh karena itu Kovenan ini mengatur tentang hak atas standar
kehoidupan yang layak, hak atas perumahan, hak untuk menikmati standar
maksimum kesehatan fisik , mental, dan hak pendidikan juga diakui.
Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak EKOSOB ini melalui UU No 11
tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social,
and Cultur Rights. Kewajiban Indonesia untuk melakukan pemenuhan dan
jaminan-jaminan ekonomi, sosial, dan budaya harus diwujudkan baik melalui
aturan hukum ataupun melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.
Konvensi Menentang Penyiksaan
Pengertian Penyiksaan
Contoh kasus yang diberikan oleh tulisan ini menceritakan seorang yang
datang ke kantor polisi. Entah itu ditangkap, dipaksa datang. Disuruh
datang ataupun datang dengan kehendak sendiri ke kantor polisi, terlepas
apakah seorang tersebut diduga melakukan tindak pidana akan membuatnya
aman, karena tugas Negara adalah memberikan perlindungan terhadap warga
negaranya. Tetapi, ketika ternyata di dalam kantor polisi itu orang
tersebut disiksa oleh polisi sehingga menimbulkan rasa sakit yang berat
baik fisik maupun non fisik (mental) dengan tujuan untuk menggali
informasi, menghukum atau mengintimidasi, maka sebuah tindak penyiksaan
yang dikutuk sebagai kejahatan serius telah terjadi. Siapapun sekalipun dia
adalah pelaku kriminin adalah manusia. Ia berhak atas perlakuan selayaknya
sebagai manusia. Tidak ada yang memperlakukannya dengan sangat kejam dan
tidak manusiawi. Apalagi perlakuan tersebut dilakukan oleh aparat Negara
yang memiliki tanggung jawab melindungi, menghormati, dan memenuhi HAM.
Dalam konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat lain nya (convention agains
torture and other cruel, inhuman, and degrading treatment or punishment)
untuk selanjutnya di sebut konvensi menentang penyiksaan dijelaskan pasal 1
yang didalamnya terdapat beberapa unsur dari definisi peyiksaan tersebut
yakni:
1. Perbuatan/tindakan dengan sengaja menyebabkan penderitaan yang berat
baik fisik maupun mental
2. Untuk tujuan tertentu, yakni menggali informasi, penghukuman kepada
seorang baik atas peristiwa yang melibatkan dirinya maupun orang lain,
intimidasi atau memaksa orang tersebut atau orang lain, atau dilakukan
dengan alasan diskriminasi
3. Dilakukan, atau atas persetujuan pejabat public
Unsur-unsur inilah yang membedakan antara tindak penganiayaan antar
warga sipil dengan warga sipil biasa lainnya. Dengan tindakan penyiksaan
oleh pejabat public. Untuk tindakan pertama masuk dalam ordinary crimes.
Sedangkan untuk tindakan penyiksaan sebagaimana dalam definisinya masuk
dalam kategori serious crimes atau kejahatan serius. Sedangkan untuk
perlakuan atau hukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat
lainnya yang termasuk dalam pengertian penyiksaan, konvensi menentang
penyiksaan tidak memberikan definisi spesifik.
Kewajiban Negara Menghapus dan Menghukum Tindak Penyiksaan
Sebagai pihak dalam perjanjian internasional, Negara peserta konvensi
memiliki kewajiban yang mengikat Negara tersebut. Kewijaban untuk peserta
konvensi diatur dalam 2 pasal lalu dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 3
sampai 16. Pasal 2 berbunyi "setiap Negara peserta wajib melakukan upaya
legislative, administrative, dan eksekutif yang efektif untuk mencegah
tindak penyiksaan di setiap wilayah yang menjadi kekuasaannya"
Kejahatan yang serius menurut hukum international, maka tindak
penyiksaan ini memiliki universal jurisdication. Universal jurisdication
adalah proses hukum dan jaminan hukum terhadap kejahatan tindak penyiksaan
ini melewati batas-batas Negara. Negara konvensi berkewajiban untuk
menggunakan yurisdikasinya manakala terdapat suatu kasus penyiksaan dimana
pelakunya tidak diekstradisi ke Negara lain. Konvensi ini juga menekankan
akan kewajiban Negara memberikan hak-hak korban atas pemulihan yakni
kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi. Selain itu Negara juga
berkewajiban untuk memberikan perlindung yang layak kepada korban.
Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskrimasi Rasial
Persoalan diskriminasi rasial memiliki pengalaman sejarah yang
sedemikian panjang. Belajar dari pengalaman itulah makan PBB mengeluarkan
international convention on the elimination of all forms of racial
discrimination (ICERD), untuk selanjutnya disebut konvensi anti
diskriminasi rasial. Konvensi ini mendahului dua kovenan utama di bidang
HAM. Konvensi anti diskriminasi rasial melarang segala bentuk diskriminasi
rasial yang mendefinisikan sebagai berikut:
" segala suatu pembedaan, pengucilan, pembatasan atau pengutamaan apapun
yang didasarkan pada ras, warna kulit, keturunan atau asal usul etnik atau
kebangsaan, yang bertujuan atau berakibat mencabut atau mengurangi
pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan
mendasar, dalam suatu kesedarajatan, di bidang politik, ekonomi, social,
budaya atau bidang-bidang kehidupan kemasyarakatan lainnya"
Negara peserta wajib memiliki hukum untuk menghapus diskriminasi
rasial dalam wilayahnya. Negara peserta juga berkewajiban membuat aturan
hukum yang diperlakukan untuk menjamin adanya non diskriminasi dalam segala
hal termasuk dalam hal seorang menikmati hak asasinya. Dan Negara peserta
wajib mengutuk segala tindak diskriminasi
Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan
Konvensi diskriminasi terhadap perempuan memberikan definisi
diskriminasi terhadap perempuan sebagai berikut:
"setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis
kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia
dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, social, budaya,
sipil ataupun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan
mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan"
Untuk mewujudkan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan Negara
peserta harus berusaha melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Mencantumkan azas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam
konstitusi dan aturan perundang-undangan lainnya serta menjamin
realisasi praktis dari azas ini
b. Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan peraturan lainnya
termasuk sanksi di mana perlu untuk melarang semua diskriminasi
terhadap perempuan
c. Menegakkan perlindungan hukum terahadap hak-hak perempuan atas dasar
yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui pengadilan
nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintahn lainnya,
perlindungan kaum perempuan yang efektif terhadap setiap tindakan
diskriminasi
d. Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap
erempuan, dan umtuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan
lembaga Negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban tersebut.
e. Membuatan peraturan yang tepat untuk menghapus perlakukan diskriminasi
terhadap perempuan oleh tiap orang, organisai atau perusahaan
f. Membuat peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk
mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan,
kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap
perempuan.
g. Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang diskriminatif terhadap
perempuan
Konvensi tentang Hak-Hak Anak
Konvensi ini memberikan perlindungan terhadap anak yang didefinisikan
sebagai seseorang yang berumur dibawah delapan belas tahun, kecuali
berdasarkan hukum yang berlaku untuk anak dinyatakan dibawah itu. Hak-hak
anak yang dilindungi mencakup seluruh hak sipil, politik, ekonomi, social
dan budaya. Selain itu, konvensi hak anak juga menekankan perlindungan
terhadap anak dari eksploitasi seksual, tindakan diluar batas dan
perdagangan anak.
Pelanggaran HAM yang Berat
DUHAM telah jelas-jelas mengeaskan bahwa manusia memiliki akal dan
hati nurani. Itulah hal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Oleh karena itu, apabila terjadi suatu perbuatan manusia terhadap manusia
lainnya yang benar-benar di luar nalar dan hati nurani manusia yang wajar,
maka sepantasnya kita merenungkan makna kemanusiaan kita.
Faktanya. Peristiwa-peristiwa yang diluar nalar dan hati nurani pernah
terjadi seperti genosida zaman nazi, atau kerja rodi bahkan romusha ketika
jaman penjajahan di Indonesia. peristiwa tersebut yang mendorong
dibentuknya pengadilan militer internasional di Nuremberg dan pengadilan
internasional di Tokyo. Kedua pengadilan tersebut memiliki jurisdikasi
untuk mengadili kejahatan internasional yakni kejahatan terhadap
perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Belajar dari pengalaman pengadilan internasipnal yang telah ada, maka
dibentuklah pengadilan pidana internasional yang bersifat permanen
pengaidal ini dibentuk berdasarkan statute roma 17 juli 1998. Statuta ini
kemudian mulai berlaku pada april 2002 setelah mencapai 60 negara
peratifikasi yang sebagaimana yang disyaratkan. Pengadilan pidana
internasional ini memiliki yurisdiksi mengadili genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang, serta kejahatan agresi.
Dalam statute roma dinyatakan bahwa objek kewenangan pengadilan diatas
merupakan kejahatan yang paling serius bagi seluruh komunitas
internasional. Kejahatan ini dikatakan sebagai kejahatan yang kotor atau
menjijikan karena pelanggaran HAM berat sangat menusuk rasa kemanusiaan.
Pelanggaran HAM berat ini kemudia menjadi kejahatan yang luar biasa.
Diantara jenis-jenis kejahata serius ini terdapat bentuk kejahatan
yang tertinggi yang dikatatakan termasuk sebagai jus cogens fau peremptory
norms. Kejahatan seperti perbudakan, genosida, penyiksaan termasuk dalam
ketogori ini. Terhadap kejahatan ini berlakulah universal jurisdiction dan
duty to prosecute.