BAB I PENDAHULUAN A. Pengertian Syariah dan Fiqh
1. Pengertian Syariah Syariah Syariah secara etimologi berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini bisa berarti jalan ke arah sumber kehidupan.1 Sedangkan secara terminologi syariah syariah menurut beberapa pakar Islam sebagai berikut: a. Manna’ Qathan, Syariah adalah segala ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada hamba-Nya hamba-Nya
yang mencakup aqidah
(Keimanan), akhlak (moral), ibadah ibadah (ritual) maupun muamalah (aturan hukum terkait hubungan dengan sesama manusia). manusia) . 2 b. Mahmud
Syaltut,
Syariah
ialah,
“hukum-hukum “hukum-hukum
yang
digariskan Allah agar manusia dapat mempedomaninya yang terkait
dengan
hubungan
manusia
dengan
Tuhan,
hubungannya dengan sesama manusia, dan hubungannya dengan alam dan kehidupan”.3 Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa syariah memiliki makna yang luas yaitu, identik dengan agama yang ajarannya meliputi aqidah, akhlak, ibadah dan muamalat. muam alat. Hal ini selaras dengan pernyataan firman Allah dalam surat al-Maidah (5):48; al-Syura (42); 13 dan al-Jatsiyah (45): 18. Dalam
perkembangannya,
kata
syariah
sering
juga
diidentikan dengan ketentuan-ketentuan Allah yang menyangkut hukum atas perilaku praktis manusia sehari-hari (tidak termasuk 1
Muhamad Faruq Nabhan, Al-Madkhal li al-Tasyri’ al-Tasyri’ al -Islami, -Islami, (Beirut: Dar al-Shadir, t.th.), Jilid VIII, h. 10. 2 Manna’ al-Qathan. al-Qathan. Al-Tasyri’ Al-Tasyri’ wa al-Fiqh al-Fiqh fi al-Islam, (T.tp: Muassasah al-Risalah, t.th), h. 14. 3 M.Hasbi Ash-Shidiqi. Ash-Shidiqi. Falsafat Falsafat Hukum Islam. (Jakarta: Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 31.
1
keimanan dan akhlak) yang terdiri dari aspek ibadah dan muamalah, baik yang langsung ditetapkan al-Qur’an al-Qur’an dan Sunnah maupun yang ditetapkan berdasarkan pemikiran manusia (ijtihad). Syariah
yang
dihasilkan
oleh
pemikiran
manusia
(ijtihad)
berdasarkan penalaran terhadap sumber utamanya Al-Qur’an Al- Qur’an dan Sunnah ini kemudian dikenal dengan Fiqh dengan Fiqh..
2. Pengertian Fiqh Kata Fiqh Fiqh menurut etimologi berarti pemahaman yang mendalam.
Sedangkan
menurut
terminologi,
fiqh
adalah
pengetahuan tentang hukum syara' (hukum yang bersumber dari ajaran Islam/Al-Qur’an Islam/Al-Qur’an dan As-Sunnah/Hadis) dan As-Sunnah/Hadis) yang berhubungan dengan amal perbuatan manusia, yang digali dan ditemukan melalui penalaran mujtahid (pakar hukum Islam) dari dalil-dalinya yang terinci t erinci ". 4 Fiqh diperlukan setidaknya karena dua alasan, pertama, pertama, AlQur’an dan assunah tidak berkembang lagi setelah Rasulullah SAW meninggal, sementara persoalan baru senantiasa yang muncul seiring dengan perkembangan dan perbedaan zaman, situasi, kondisi, tempat serta tehknologi. kedua, tidak semua ayat-ayat AlQur’an Qur’an dan As-Sunnah dapat dipahami secara jelas (muhkam) dan pasti (qat’i) oleh semua orang tetapi banyak ayat-ayat ayat -ayat yang samar (mutasyabih) dan tidak pasti ((dhanny dhanny)) sehingga bisa dipahami berbeda-beda. Oleh karena Fiqh adalah hasil pemahaman akal manusia (mujtahid) terhadap sumber ajaran Islam (Al-Qur’an (Al- Qur’an dan sunnah) yang terkait amal perbuatan manusia yang bersifat lahiriyah maka produk fiqh sangat mungkin bervariasi atau berbeda-beda antara hasil pemahaman satu fuqaha (pemikir/pakar hukum Islam) dengan fuqaha yang lain. Dengan dengan demikian, kebenaran 4
Wahbah Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, (Beirut, Dar al-Fikr, 1987), huz 1, h: 19
2
keimanan dan akhlak) yang terdiri dari aspek ibadah dan muamalah, baik yang langsung ditetapkan al-Qur’an al-Qur’an dan Sunnah maupun yang ditetapkan berdasarkan pemikiran manusia (ijtihad). Syariah
yang
dihasilkan
oleh
pemikiran
manusia
(ijtihad)
berdasarkan penalaran terhadap sumber utamanya Al-Qur’an Al- Qur’an dan Sunnah ini kemudian dikenal dengan Fiqh dengan Fiqh..
2. Pengertian Fiqh Kata Fiqh Fiqh menurut etimologi berarti pemahaman yang mendalam.
Sedangkan
menurut
terminologi,
fiqh
adalah
pengetahuan tentang hukum syara' (hukum yang bersumber dari ajaran Islam/Al-Qur’an Islam/Al-Qur’an dan As-Sunnah/Hadis) dan As-Sunnah/Hadis) yang berhubungan dengan amal perbuatan manusia, yang digali dan ditemukan melalui penalaran mujtahid (pakar hukum Islam) dari dalil-dalinya yang terinci t erinci ". 4 Fiqh diperlukan setidaknya karena dua alasan, pertama, pertama, AlQur’an dan assunah tidak berkembang lagi setelah Rasulullah SAW meninggal, sementara persoalan baru senantiasa yang muncul seiring dengan perkembangan dan perbedaan zaman, situasi, kondisi, tempat serta tehknologi. kedua, tidak semua ayat-ayat AlQur’an Qur’an dan As-Sunnah dapat dipahami secara jelas (muhkam) dan pasti (qat’i) oleh semua orang tetapi banyak ayat-ayat ayat -ayat yang samar (mutasyabih) dan tidak pasti ((dhanny dhanny)) sehingga bisa dipahami berbeda-beda. Oleh karena Fiqh adalah hasil pemahaman akal manusia (mujtahid) terhadap sumber ajaran Islam (Al-Qur’an (Al- Qur’an dan sunnah) yang terkait amal perbuatan manusia yang bersifat lahiriyah maka produk fiqh sangat mungkin bervariasi atau berbeda-beda antara hasil pemahaman satu fuqaha (pemikir/pakar hukum Islam) dengan fuqaha yang lain. Dengan dengan demikian, kebenaran 4
Wahbah Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, (Beirut, Dar al-Fikr, 1987), huz 1, h: 19
2
produk fiqh tidak bersifat pasti (qath’i) (qat h’i) tetapi bersifat relatif (zhanny), kebenarannya tidak 100% benar tetapi memungkinkan terjadi kesalahan (khilaf). Di samping itu, karena fiqh dilahirkan oleh para mujtahid (pakar hukum Islam) yang tidak terlepas dari faktor pengaruh zaman,
situasi,
kondisi,
tempat
serta
tehknologi
yang
melingkupinya, maka Fiqh sangat mungkin mengalami perubahan dan perbedaan seiring dengan perubahan-perubahan faktor yang mempengaruhinya. Bahkan antar mujtahid pun bisa melahirkan produk ketentuan fiqh yang berbeda dalam persoalan yang mungkin sama. Oleh karena itu fiqh sering dikaitkan dengan mujtahid yang memformulasikannya, misalnya fiqh Hanafi, fiqh Maliki, fiqh Syafi’i, fiqh Hanafi, fiqh Hanafi, fiqh Syiah dan lain-lain.
3. Obyek Kajian Fiqh Obyek kajian Fiqh adalah amal perbuatan lahiriyah manusia, baik yang terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhan (Fiqh Ibadah) maupun yang terkait dengan hubungan manusia dengan sesama manusia (Fiqh muamalah). Jadi Fiqh tidak secara langsung menkaji ajaran Islam yang terkait dengan akidah dan Akhlak. Dengan demikian Fiqh secara umum dibagi menjadi dua: pertama yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah disebut Fiqh Ibadah dan kedua, yang menyangkut hubungan manusia dengan sesama manusia disebut dengan Fiqh muamalat . Fiqh
ibadah
meliputi
ajaran
Islam
yang
dominan
mengandung unsur spritualitasnya seperti seperti shahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Umumnya bidang fiqh ini dijelaskan secara rinci (tafshily) tafshily) sehingga tidak banyak menuntut kreatifitas akal manusia melalui ijtihad.
3
Sedangkan, Fiqh muamalat meliputi aspek ajaran Islam yang dominan unsur hubungan sesama manusia yang menyangkut hak dan kewajiban terhadap sesamanya. Fiqh Muamalah terdiri dari bidang-bidang sebagai berikut: a.
Hukum keluarga (ahwal syakhsyiyyah) terdiri dari perkawinan
(munakahat), waris (mawaris), hibah dan wasiat, wakaf ; b. Hukum ekonomi (muamalat maaliyah/iqtishadiyah) terdiri dari jual beli (buyu’), perseroan (syirkah),
Mudharabah , gadai (alrahn),
perkongsian pepohonan (al-musaqah), perkongsian pertanian (almuzara’ah),
sewa
hutang/faktoring
menyewa (al-hiwalah),
(al-ijarah), hak
pemindahan
prioritas
pemilik
lama/tetangga (al-shuf’ah), perwakilan dalam melakukan akad (al-wakalah), pinjam meminjam (al-‘ariyah), barang titipan (alwadi’ah), al-gasb (memakai barang orang lain tanpa izin), barang temuan (luqathah), jaminan
perseorangan (al-kafalah), dan
sayembara (al- ji’alah) dan lain-lain ; c.
Hukum pidana ( jinayah) terdiri dari qishash (hukum setimpal :
pembunuhan, pelukaan, dll), hudud (perbuatan pidana yang hukumnya secara tegas dijelaskan dalam al-quran dan hadis) , dan ta’zir (perbuatan dan hukuman pidana yang ditentukan oleh ulil amri (negara); d. Hukum tata negara (siyasah) terdiri dari hukum Tata Negara (alahkam al-sulthoniyah), hukum antar negara (alhuquq al-dauliyah); dan Lain-Lain; e.
Hukum acara (murafa’at) atau mukhasamat (gugatan, tuntutan,
saksi, hakim, dan peradilan).
B. Pengertian Fiqh Muamalah
Kata muamalat berasal dari bahasa arab muamalat (
) yang
merupakan derifasi (bentukan) dari kata ‘amala-yuamilu-muamalatan (
4
–
–
) yang menurut bahasa (etimologi) memiliki arti saling
bertindak, berbuat, pekerjaan, pergaulan sosial (social intercous), bisnis (business), dan transaksi (transaction).5 Secara terminologi (istilah) pengertian fiqh muamalah dibagi dalam dua macam yaitu pengertian fiqh muamalah dalam arti luas dan pengertian fiqh muamalah secara sempit. Fiqh Muamalah dalam arti luas adalah aturan-aturan hukum Islam yang mengatur hubungan antar manusia baik yang bersifat individual maupun kolektif, yang terdiri dari hukum keluarga (al-akhwal alsyakhsiyyah), hukum kebendaan (al-ahkam al-madaniyah), hukum pidana (alahkam al-jinaiyah), hukum acara (ahkam murafa’at), perundang-undangan (al-ahkam al-dusturiyah), hukum internasional (al-ahkam al-dualiyah), hukum ekonomi dan keuangan (al-ahkam al-iqtishadiyah wa al-maliyah).6 Sedangkan muamalah dalam arti sempit hanya dibatasi pada hubungan hukum yang terkait dengan persoalan harta benda ( maaliyah). Mustofa Ahmad al-Zarqa merumuskan Fiqh Mumalat sebagai berikut:
8
“Hukum–hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan antar sesama manusia dalam urusan harta benda, hak dan kewajiban, serta penyelesaian sengketa di antara mereka” Atas dasar pengertian fiqh muamalat di atas, dapat disimpulkan bahwa fiqh muamalat dalam arti luas mencakup segala aturan hukum Islam yang terkait dengan hubungan antar manusia (hablum minannas) sebagai pembeda fiqh ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan
5Ibn
Manzur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Lisan al-‘Arab, t.th.), jilid 2, h. 887. Ma’an Z Madina, Arabic-English Dictiniory of Modern Literary Language, (New York: Pocket Book, 1973), h. 457 6Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), cet. 4, h. 33-34.
5
Allah SWT(hablum minallah). Sedangkan fiqh muamalat dalam arti sempit hanya membahas persoalan aturan hukum antar manusia yang terkait dengan harta benda (maal). Pembahasan dalam modul ini hanya menguraikan persoalan muamalat dalam dalam arti sempit yang menyangkut persoalan harta benda dan hal-hal yang terkait dengannya. Para ahli hukum Islam kontemporer menamakan fiqh muamalat dalam bahasa Inggris dengan beragam istilah, yaitu antara lain civil affair, Islamic law of contract, the syari’a law of contract, dan Islamic law of obligation” C. Sumber Hukum Fiqh Muamalah
Sumber hukum (mashadir al-tasyri’) fiqih Muamalah sebagaimana fiqh pada umumnya secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu : 1. Al-Qur’an dan 2. al-Hadis Selanjutnya dalam rangka menggali ketentuan-ketentuan hukum untuk menjawab berbagai persoalan kehidupan yang tidak secara jelas dan tegas terdapat dalam kedua sumber utama tersebut, para pakar hukum Islam (mujtahid) melakukan penggalian hukum (istinbath/ijtihad al-ahkam) dengan beberapa metode penggalian hukum ( al-adillah alSyar’iyyah) berikut ini: 1. Qiyas, 2). Ijma’, 3). Istihsan, 4). Istislah/Maslahah mursalah, 5). Istishab, 6). Sadd al-Zhari’ah, 7. Urf, 8). Syar’ man qablana, 9). Madzhab al-Shahabi. Berikut pengertian masing-masing sumber hukum dan metode penggalian hukum tersebut di atas: 1. Al-Quran Al-Quran merupakan referensi utama umat islam, termasuk di dalamnya masalah hukum dan perundang-undangan.sebagai sumber hukum yang utama,Al-Quran dijadikan patokan pertama
6
oleh umat islam dalam menemukan dan menarik hukum suatu perkara dalam kehidupan. 2. Al-Hadits Al-Hadits adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan,perbuatan,maupun ketetapan. AlHadits merupakan sumber fiqih kedua setelah Al-Quran yang berlaku dan mengikat bagi umat islam. 3. Qiyas adalah kiat untuk menetapkan hukum pada kasus baru yang tidak terdapat dalam nash (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), dengan cara menyamakan pada kasus baru yang sudah terdapat dalam nash 4. Ijma’ Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum syar’i dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW. Suatu hukum syar’i agar bisa dikatakan sebagai ijma’, maka penetapan kesepakatan tersebut harus dilakukan oleh semua mujtahid, walau ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ijma’ bisa dibentuk hanya dengan kesepakatan mayoritas mujtahid saja. 5. Istihsan
Istihsan adalah Memakai qiyas khafi (analogi yang samar) dan meninggalkan qiyas jali (analogi yang jelas) karena ada petunjuk untuk itu atau hukum pengecualian dari kaedah-kaedah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut. 6. Istislah/Maslahah mursalah
Adalah sesuatu yang
dianggap maslahat namun tidak ada
ketegasan hukum dalam Alquran
dan atau As-Sunnah untuk
merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya. 7. Istishab
7
Adalah melestarikan ketentuan hukum yang telah ada pada masa lalu hingga ada dalil yang merubahnya 8. Urf
Adalah menetapkan kebiasaan yang telah dijalani oleh masyarakat sebagai ketentuan hukum karena ada maslahah dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah. 9. Sadd al-Dzariah
Adalah menetapkan larangan terhadap sesuatu yang akan menjadi sarana
untuk
perbuatan
yang
diharamkan
atau
yang
membahayakan/merusak. 10. Syar’u Man Qablana
Adalah menetapkan ketentuan hukum yang telah dijalankan umat beragama sebelum islam sebagai ketentuan bagi umat islam sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW. 11. Madzhab Shahabi
Adalah pendapat para sahabat Rasulullah SAW tentang suatu kasus, baik berupa fatwa atau ketetapan hukum, sedangkan ayatayat al-Qur’an dan As-Sunnah tidak menjelaskan hukum tersebut. D. Obyek kajian Fiqh muamalat
Para ahli fiqh baik klasik (salaf ) maupun kontemporer (khalaf ) berbeda-beda dalam menentukan obyek kajian fiqh muamalat. Akan tetapi secara umum pembahasan fiqh muamalat meliputi persoalan: 1. Teori hak-kewajiban (nadhariyat al-Haq); 2. Konsep harta (maal); 3. Konsep kepemilikan (milk); 4. Teori akad (nadhariyah al-Aqd); 5. bentuk-bentuk akad (anwa’ al-aqd) yang terdiri dari: a. jual beli (al-bai’); b. sewa menyewa (al-ijarah); 8
c. sayembara ( jualah); d. akad kerjasama perdagangan (al-syirkah, mudharabah dll); e. kerjasama
bidang
pertanian
(muzara’ah, mukhabarah, dan
musaqat); f. pemberian (al-hibah dan wasiat); g. titipan (al-wadi’ah); h. pinjam meminjam (al-i’arah); i. perwakilan/agency (al-wakalah); j.
hutang piutang (al-qardh);
k. garansi (al-kafalah); l. pengalihan hutang-piutang (al-hiwalah); m. jaminan (al-rahn); n. perdamaian (al-shulh),; 6. akad-akad yang terkait dengan kepemilikan: menggarap tanah tak bertuan (ihya mawat); 7. ghasab (al-ghasb); 8. merusak (itlaf ); 9. barang temuan (luqathah/laqith); dan 10. syuf’ah (right of pre-emption). Obyek kajian muamalah yang di uraikan di atas, secara sederhana dapat dibagi lagi menjadi tiga bagian. Pertama, pengantar yang meliputi hakekat fiqh muamalat, teori hak-kewajiban (nadhariyat al-Haq), konsep harta (maal), dan Konsep kepemilikan (milk). Kedua, teori akad (nadhariyah al-Aqd). Ketiga, tentang bentuk-bentuk akad (anwa’ al-aqd). Khusus untuk bagian ketiga, bentuk-bentuk akad dilihat dari segi ada atau tidaknya kompensasi (ujrah) dapat dibagi lagi menjadi akad tabarru’ dan akad tijarah. Akad tabarru’ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut not-for profit transaction (trasaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil.
9
Akad
tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah swt, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada
counter-part–nya
untuk
sekedar
menutupi
biaya
yang
dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut. tetapi tidak boleh sedikit pun mengambil laba dari akad tabarru’ itu. Contoh akad-akad tabarru’ adalah qard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah, waqf, shadaqah, dan hadiah. Akad tijarah (compensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini dilakukan dengan
tujuan
mencari
keuntungan,
masing-masing
pihak
yang
melakukannya saling menunaikan prestasi yakni menunaikan kewajiban dan menerima hak. Contoh akad tijarah adalah jual beli, sewa menyewa, syirkah, dan mudharabah.
E. Prinsip-Prinsip Dasar Fiqh Muamalah
Atas dasar pemikiran deduktif terhadap al-Qur’an dan as-Saunah, ditemukan beberapa prinsip-prinsip dasar muamalat di dalam kedua sumber hukum Islam tersebut, antara lain: 1. Seluruh tindakan muamalah dilakukan atas dasar nilai-nilai ketuhanan (Tauhid).
Artinya, apapun jenis muamalah yang dilakukan oleh seorang muslim harus senantiasa dalam rangka mengabdi kepada Alah dan senantiasa berprinsip bahwa Allah selalu mengontrol dan mengawasi tindakan tersebut. Hai ini dapat dipahami dari firman Allah dalam surat azZariat/ 51: 56 yang berbunyi :
10
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-ku. Prinsip ini juga berarti bahwa seluruh persoalan muamalah yang dilakukan
harus
mempertimbangkan
persoalan-persoalan
keakhiratan, memperhatikan keseimbangan nilai kebendaan dengan nilai kerohanian. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah dalam surat al-Qashash/28 : 27 yang artinya “dan carilah apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu…”.
2. Muamalah harus didasarkan pada pertimbangan moral yang luhur (akhlakul karimah) Islam adalah agama yang tidak memisahkan antara akhlak dengan ekonomi,
keduanya
harus
berjalan
seiring.
Tidak
akan
bisa
dibayangkan bila kegiatan ekonomi tanpa disertai dengan tuntunan akhlak (moralitas). Pasti yang akan terjadi adalah yang kuat akan memangsa yang lemah, seperti yang terjadi pada kehidupan binatang. Atas dasar prinsip ini maka segala kegiatan muamalah harus dilakukan dengan mengedepankan nilai-nilai moral yang luhur seperti kejujuran (shidiq), keterbukaan (tabligh), Kasih sayang (rahmah), kesetiakawanan (ukhuwah), suka sama suka (ridha), persamaan (musawah) tanggung jawab (amanah), dan profesional ( fathanah/itqan). Dengan
demikian,
segala
bentuk
transaksi
bisnis
yang
mengandung unsur riba (riba) penipuan (tadlis), ketidakpastian ( gharar/tagrir ), penganiayaan/ pemerasan (dhulm), diskriminatif ( ghair adalah), paksaan (ikrah), penyogokan (risywah) dan unsur-unsur lain yang merugikan harus dihindarkan dan apabila telah berjalan harus
11
dibatalkan karena bertentangan tentang prinsip-prinsip moral (akhlak) dalam syari’at Islam.
3. Prinsip dasar dalam hukum muamalah adalah diperbolehkan (al-Ashlu fi al-Muamalah al-Ibahah)
Maksudnya segala bentuk transaksi bisnis (muamalah) adalah diperbolehkan kecuali ada nash (ketentuan) Al-Qur’an atau Sunnah yang secara jelas telah melarangnya (mengharamkannya). Ini juga berarti bahwa pada dasarnya prinsip-prinsip hukum dalam muamalat bisa dirasionalisasikan dan dianalogikan (qiyas). Sebaliknya, dalam bidang ibadah segala bentuk ibadah dilarang (diharamkan) kecuali yang telah jelas ada nash yang memerintahkannya (al-ashlu fi al-ibadah haram). Demikian juga dalam ibadah tidak bisa dilakukan analogi atau qiyas (la qiyasa fi al-ibadah). Adapun ayat-ayat al-Qur’an dan AsSunnah yang menguatkan prinsip di atas adalah:
"Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di muka bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah: 29)
Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir." (QS. Al-Jatsiyah: 13) Hadits Nabawi, antara lain:
12
. . "Yang halal adalah apa yang dihalalkan Allah Swt di dalam kitab-Nya, yang haram adalah apa yang diharamkan Allah swt di dalam kitab-Nya, dan apa yang tidak disebutkan Allah Swt adalah bagian dari yang dimaafkan Allah Swt untuk kamu." (HR. al-Tirmidzi, Ibn Majah dan al-Hakim) Dari ayat-ayat di atas, dapat dipahami bahwa Allah Swt menjadikan apa yang ada di bumi, bahkan menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk manusia. Apabila kemudian hal itu diharamkan oleh Allah Swt kepada manusia, tentu pengharaman
itu
tidak
logis.
Karenanya,
Allah
Swt
tidak
mengharamkan semua itu kepada manusia, melainkan diharamkan sebagian saja, sedangkan selebihnya dihalalkan. Yang dimaksud dengan segala sesuatu dalam kaidah tadi mencakup benda-benda (al-'ayan) dan perbuatan manusia, baik berupa tradisi (al-'adah) maupun hubungan antar sesama manusia (almuamalah). Dengan demikian, maka syari’at Islam memberikan keleluasaan kepada manusia untuk mengembangkan aneka macam bentuk bisnis selama tidak ada larangan, dan ini juga berarti bahwa syari’at Islam bisa mengikuti dinamika perkembangan bisnis modern yang boleh jadi belum dikenal pada zaman Rasulullah dan para ulama salaf tanpa mempersulit atau bahkan menghambat perkembangannya.
4. Aturan Hukum (Fiqh) dalam bidang muamalat bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Prinsip ini selaras dengan tujuan umum hukum Islam, yakni untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak segala yang membahayakan dan merugikan (al-dharar ) manusia.
13
Menurut al-Ghazali parameter sesuatu dikatakan maslahah jika ia memelihara maksud dari hukum syara’ yang meliputi lima perkara, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Setiap sesuatu yang memelihara kelima perkara di atas adalah maslahah, sebaliknya bila merusak atau menghilangkannya
maka tergolong
mafsadah, dan menghindarinya dihitung maslahah. Dengan demikian segala bentuk muamalat yang bermanfaat untuk memelihara lima perkara tersebut boleh (mubah) atau bahkan harus (wajib) dilakukan. Sebaliknya muamalah yang merusak atau menghilangkan kelima perkara tersebut harus dijauhi atau dilarang (haram) melakukannya.
5. Obyek muamalah harus halal (tidak dilarang oleh hukum Islam) dan Thoyyib (baik atau tidak membahayakan). Prinsip ini berdasarkan pada firman Allah SWT. dalam surat al A’ raf ayat 157 : …dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka…… Nabi Saw bersabda: "Sesungguhnya Allah dan rasul-Nya mengharamkan jual-beli khamr, bangkai, babi dan patung-patung. Rasulullah ditanya, Wahai Rasulullah, tahukah Anda tentang lemak bangkai, ia dipakai untuk mengecat kapal-kapal, untuk meminyaki kulit-kulit dan digunakan untuk penerangan (lampu) oleh banyak orang?". Nabi Saw menjawab, "Tidak, ia adalah haram". Nabi saw kemudian berkata lagi, "Allah memerangi orang-orang Yahudi karena ketika Allah mengharamkan lemak bangkai kepada mereka, mereka mencairkannya dan menjualnya, kemudian mereka memakan hasil penjualan itu ". (Muttafaq Alaih)
14
Prinsip ini sangat terkait dengan prinsip sebelumnya yang menyatakan
bahwa
hukum
Islam
sangat
memperhatikan
kemaslahatan manusia. Oleh karena itu, segala yang dilarang (diharamkan) Allah dan rasulnya pasti akan membawa kemaslahatan bagi manusia. Demikian juga halnya sesuatu yang dilarang untuk dijadikan obyek bisnis oleh Allah dan Rasulnya pasti akan membawa dampak positif bagi manusia. Atas dasar prinsip di atas, babi, anjing, khamr, bangkai dilarang untuk
dijadikan
obyek
jual
beli
dan
obyek
investasi
pembudidayaannya.
F. Transaksi yang dilarang dalam Muamalah
Transaksi yang dilarang dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan oleh faktor: 1. Haram Zatnya Islam melarang beberapa obyek muamalah untuk ditransaksikan karena subtansinya diharamkan Allah SWT, seperti minuman keras (khamr ), daging babi, dan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih: “ma haruma fi’luhu haruma tholabuhu” (setiap apa yang diharamkan atas obyeknya, maka diharamkan pula atas usaha dalam mendapatkannya). memberikan dampak bahwa setiap obyek haram yang didapatkan dengan cara yang baik/halal, maka tidak akan merubah obyek haram tersebut menjadi halal. 2. Haram selain zatnya Beberapa transaksi yang dilarang disebabkan oleh cara bertransaksinya yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah, yaitu: tadlis (penipuan), ikhtikar (rekayasa pasar dalam supply), bai’ najasy (rekayasa pasar dalam demand), taghrir (ketidakpastian), dan riba (tambahan).
15
a. Tadlis (Unknown to One Party ) Tadlis adalah keadaan di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain, atau disebut juga asymmetric information. Rasulullah SAW bersabda:
:
:
: :
:
: )
(»
«:
Artinya: Telah mengabarkan Abu Ishaq, telah mengabarkan Abu nadar, telah mengabarkan Abu Ja‘far, telah mengabarkan al -Muzni, telah mengabarkan alShafi‘i, telah mengabarkan Sufyan dari ‘Ala ibn ‘Abd al -Rahman dari bapaknya dari Abu Hurayrah bahwasannya Rasulullah SAW terkejut ketika menghampiri seorang laki-laki yang sedang menjual makanan karena ketika beliau memasukkan tangan ke dalam tumpukkan makanan yang dijualnnya ternyata didapati makanan yang basah (busuk), seketika itu Rasulullah SAW bersabda: Tidak termasuk umatku orang yang melakukan penipuan (HR Bayhaqi) Tadlis dapat terjadi dari segi kuantitas barang, kualitas barang, harga barang, serta waktu penyerahan. Tadlis dari segi kuantitas di antaranya pedagang yang mengurangi takaran (timbangan) barang yang dijualnya. Tadlis dari segi kualitas terjadi ketika penjual menyembunyikan cacat barang yang ditawarkan. Tadlis dari segi harga terjadi ketika penjual memanfaatkan ketidaktahuan pembeli akan harga sesungguhnya dengan menaikkan harga barang di atas harga sesungguhnya. Sedangkan tadlis dari segi waktu penyerahan terjadi ketika seorang petani yang menjual buah di luar musimnya padahal si petani mengetahui bahwa dia tidak dapat menyerahkan buah yang dijanjikan itu pada waktunya, atau seorang konsultan yang berjanji untuk menyelesaikan proyek dalam waktu dua bulan untuk memenangkan tender, padahal konsultan tersebut mengetahui bahwa proyek tersebut tidak dapat diselesaikan dalam batas waktu tersebut.
16
Penipuan (tadlis) dalam kuantitas termasuk juga kegiatan menjual barang kuantitas sedikit dengan harga barang kuantitas banyak. Misalnya menjual baju sebanyak satu container . Karena jumlahnya banyak dan tidak mungkin untuk menghitung satu persatu, penjual berusaha melakukan penipuan dengan mengurangi jumlah barang yang dikirim kepada pembeli. Perlakuan penjual untuk tidak jujur di samping merugikan pihak penjual juga merugikan pihak pembeli. Apa pun tindakan pembeli, penjual yang melakukan penipuan akan mengalami penurunan utility, begitu pula pembeli akan mengalami penurunan utility. Praktek
mengurangi
timbangan
dan
mengurangi
takaran
merupakan contoh klasik yang selalu digunakan untuk menerangkan penipuan kuantitas. Sedangkan kejahatan ini sering kali terjadi dan menjadi fenomena kecurangan dalam transaksi perdagangan. Oleh karena itu, ulama klasik telah melakukan langkah-langkah untuk membuat standarisasi timbangan sebagai alat ukur. Untuk memperjelas bagaimana dampak pemberlakuan tadlis kuantitas terhadap penawaran dan keseimbangan pasar dapat dilihat pada gambar. Di samping tadlis kuantitas dikenal juga tadlis kualitas termasuk di dalamnya menyembunyikan cacat atau kualitas barang yang buruk yang tidak sesuai dengan yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Pasar penjualan komputer bekas misalnya, pedagang menjual komputer bekas dengan kualifikasi core two duo dalam kondisi 80% baik, dengan harga 3.000.000,00. Pada kenyataannya, tidak semua penjual menjual komputer bekas dengan kualifikasi yang sama. Sebagian penjual menjual komputer dengan kualifikasi yang lebih rendah, tetapi menjualnya dengan harga yang sama, yaitu Rp. 3.000.000,00. Pembeli tidak dapat membedakan mana komputer dengan kualifikasi rendah dan mana komputer dengan kualifikasi yang lebih tinggi, hanya penjual saja yang mengetahui dengan pasti kualifikasi komputer yang dijualnya.
17
Keseimbangan ekonomi hanya akan terjadi ketika harga yang tercipta merupakan konsekuensi dari kualitas atau kuantitas barang yang ditransaksikan. Apabila tadlis kualitas terjadi, maka syarat untuk pencapaian keseimbangan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, dalam pendekatan ilmu ekonomi pun hal ini tidak dapat dibenarkan. Ekuilibrium akan terjadi apabila penjual menjual komputer kualitas buruk kepada pembeli yang melihat komputer itu sebagai komputer buruk. Atau apabila penjual menjual komputer kualitas baik kepada pembeli yang melihat komputer tersebut sebagai komputer berkualitas baik. Dengan kata lain, komputer berkualitas buruk mempunyai pasarnya sendiri, dan komputer berkualitas baik mempunyai pasarnya sendiri pula. Oleh sebab itu Rasulullah melarang penukaran satu sak kurma kualitas baik dengan dua sak kurma kualitas buruk, dengan mengatakan, “Jual kurma kualitas buruk, dapatkan uangnya, kemudian beli kurma kualitas baik dengan uangmu.” Kurma kualitas baik mempunyai pasarnya sendiri, dan kurma kualitas buruk mempunyai pasarnya sendiri pula. Di samping tadlis kuantitas dan kualitas dikenal juga tadlis harga termasuk di dalamnya menjual barang dengan harga yang lebih tinggi atau lebih rendah dari harga sesungguhnya karena ketidaktahuan pembeli atau
penjual.
Katakanlah
seorang
musafir
datang
dari
Jakarta
menggunakan kereta api, tiba di Bandung. Ia kemudian naik taksi, namun tidak tahu harga pasaran taksi dari stasiun kereta api ke jalan Braga di Bandung. Katakan pula, harga pasaran ongkos taksi untuk jarak itu adalah Rp. 12.000,00. Supir taksi menawarkan dengan harga Rp. 50.000,00. Setelah terjadi tawar menawar, akhirnya disepakati rela sama rela Rp. 40.000,00. Meskipun kedua belah pihak rela sama rela, namun hal ini dilarang karena kerelaan si musafir bukan kerelaan yang sebenarnya, ia rela dalam keadaan tertipu. Besarnya keuntungan yang akan diperoleh produsen yang melakukan tadlis harga pada jangka pendek akan lebih tinggi dari
18
produsen yang tidak melakukan tadlis harga ( ghaban). Upaya produsen untuk melakukan ghaban akan memberikan keuntungan sesaat baginya dan merugikan banyak konsumen. Akan tetapi apabila produsen terus menerus menggunakan strategi ini atau apabila reputasi buruk produsen telah menjadi rahasia umum, maka konsumen akan mengetahuinya dan tidak mau dirugikan lagi. Oleh karena itu, ketika produsen melakukan harga tipu lagi, maka konsumen akan menggunakan strategi lain, yaitu dengan tidak memakai jasanya lagi atau membelinya dari produsen lain yang tidak melakukan ghaban, sehingga untuk jangka panjang produsen akan mengalami kerugian. Disamping tadlis dalam kuantitas, kualitas, dan harga, terdapat tadlis yang lain yaitu tadlis dalam waktu penyerahan. Di antara kasus tadlis dalam waktu penyerahan adalah ketika si penjual tahu persis ia tidak akan dapat menyerahkan barang pada besok hari. Walaupun konsekuensi tadlis ini tidak berkaitan langsung dengan harga ataupun kuantitas dan kualitas barang yang ditransaksikan, akan tetapi masalah waktu merupakan sesuatu yang sangat penting. Lebih lanjut, pelarangan ini dapat kita hubungkan dengan larangan transaksi yang lain, yaitu transaksi kali bi kali (transaksi jual beli, di mana obyek barang atau jasa yang diperjualbelikan belum berpindah kepemilikan, namun sudah diperjualbelikan kepada pihak lain) di mana transaksi ini juga dilarang oleh Rasulullah karena transaksi ini tidak diikuti oleh hak kepemilikan. Transaksi yang terdapat unsur tadlis dapat merugikan salah satu pihak yang bertransaksi di pasar, hal ini disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan informasi yang mana salah satu pihak mengetahui apa yang tidak diketahui oleh pihak lain. Untuk meminimalisir kerugian yang diakibatkan oleh transaksi ini mayoritas ulama merekomendasikan hak khiyar bagi semua pihak yang bertransaksi di pasar ketika ada salah satu pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain yang diakibatkan oleh prilaku tadlis.
19
b. Taghrir (Uncertain to Both Parties )
Taghrir berasal dari kata Bahasa Arab gharar , yang berarti: akibat, bencana, bahaya, risiko, dan ketidakpastian. Dalam istilah fiqh muamalah, taghrir berarti
melakukan
sesuatu
secara
membabi
buta
tanpa
pengetahuan yang mencukupi; atau mengambil risiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung risiko tanpa mengetahui persis apa akibatnya,
atau
memasuki
kancah
resiko
tanpa
memikirkan
konsekuensinya. Baik taghrir maupun tadlis keduanya terjadi karena adanya incomplete information. Namun, berbeda dengan tadlis, di mana incomplete information dalam tadlis hanya dialami oleh satu pihak saja (unknown to one party, misalnya pembeli saja, atau penjual saja), dalam taghrir , incomplete information
dialami oleh kedua belah pihak (baik pembeli maupun
penjual). Karena itu, kasus taghrir terjadi apabila ada unsur ketidakpastian yang melibatkan kedua belah pihak (uncertain to both parties). Sebagaimana halnya tadlis, terdapat empat bentuk taghrir , yaitu taghrir kuantitas, tahgrir kualitas, taghrir harga, dan taghrir waktu penyerahan. Taghrir dalam kuantitas misalnya petani sepakat untuk menjual hasil panennya (beras dengan kualitas A) kepada tengkulak dengan harga Rp. 750.000,00 pada saat kesepakatan dilakukan, sawah si petani belum dapat dipanen. Dengan demikian kesepakatan jual beli dilakukan tanpa menyebutkan spesifikasi mengenai berapa kuantitas yang dijual (berapa ton, berapa kuintal, misalnya) padahal harga sudah ditetapkan.
Dengan
demikian
terjadi
ketidakpastian
menyangkut
kuantitas barang yang ditransaksikan. Misalnya berdasarkan pengalaman historis dan ramalan cuaca dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), kita dapat mengidentifikasi tiga sekenario kejadian sebagai berikut Tabel
20
Ilustrasi Taghrir Kuantitas No
1
Skenario
Optimis:
Probabil
Kuantitas
Harga
Harga Jual
itas
Hasil Panen
Jual/Ton
Total
0,3
2 ton
Rp 1.000.000
Rp 2.000.000
Cuaca bagus tidak ada hama 2
Moderat
0,3
1 ton
Rp 1.000.000
Rp 1.000.000
3
Pesimis:
0,4
0,5 ton
Rp 1.000.000
Rp 500.000
Cuaca Buruk Terserang Hama
Apabila yang terjadi adalah skenario moderat, maka si tengkulak mendapatkan untung Rp. 250.000,00 (selisih harga jual dengan harga beli). Bila terjadi skenario optimis, maka tengkulak mendapatkan laba Rp. 1.250.000,00. Sebaliknya jika yang terjadi skenario pesimis, maka tengkulak akan mengalami kerugian sebesar Rp. 250.000,00. Apabila produsen menghadapi pasar persaingan sempurna maka keseimbangan akan tercipta ketika kurva permintaan (D=P=MR=AR) dengan kurva penawaran. Namun yang menjadi permasalahan pada taghrir kuantitas di sini adalah transaksi terjadi dengan harga yang sudah pasti untuk dipertukarkan dengan sejumlah barang yang belum pasti jumlahnya. Artinya kurva permintaan sudah jelas, namun kurva penawaran belum dapat ditentukan pada kurva yang mana penawaran yang sesungguhnya akan terjadi. Dengan demikian, pada taghrir kuantitas ini keseimbangan yang dicapai adalah keseimbangan yang semu dan tidak pasti. Di samping taghrir dari segi kuantitas dalam ekonomi Islam dapat dikenal juga taghrir dari segi kualitas. Taghrir kualitas misalnya menjual anak sapi yang masih dalam kandungan induknya. Penjual sepakat untuk menyerahkan anak sapi tersebut segera setelah anak sapi itu lahir, seharga Rp. 1.000.000,00 dalam hal ini, baik si penjual maupun si pembeli tidak
21
dapat memastikan kondisi fisik anak sapi tersebut bila nanti sudah lahir. Apakah akan lahir normal, atau cacat, atau lahir dalam keadaan mati. Dengan demikian, terjadi ketidakpastian menyangkut kualitas barang yang ditransaksikan. Tabel Ilustrasi Taghrir Kualitas No 1
Skenario
Probabilitas
Harga Jual
0,7
Rp 1.500.000
Rp 500.000
Lahir
Keuntungan Pembeli
Normal 2
Lahir cacat
0,2
Rp 250.000
(Rp 750.000)
3
Lahir Mati
0,1
Rp 0
(Rp 1.000.000)
Apabila anak sapi tersebut lahir normal, maka si pembeli untung Rp.500.000,00 (ia membeli anak sapi dengan harga jual Rp.1.500.000,00 seharga Rp.1.000.000,00). Namun apabila ternyata anak sapi tersebut lahir dalam keadaan cacat, maka ia rugi Rp.750.000,00. Apabila lahir dalam keadaan mati, maka ia mengalami kerugian sebesar Rp.1.000.000,00. Dengan
demikian titik ekulibrium bukanlah hasil perpotongan dari
penawaran dan permintaan dengan kualitas yang sama. Artinya tingkat keseimbangan
yang
tercipta
adalah
keseimbangan
semu
karena
mempertemukan permintaan dan penawaran yang berbeda kualitasnya. Tipe taghrir yang selanjutnya yaitu taghrir dalam harga. yaitu terjadi ketika penjual menyatakan bahwa ia akan menjual satu unit panci merk ABC seharga Rp. 10.000,00 bila dibayar tunai, atau 50.000,00 apabila dibayar dengan kredit selama lima bulan, kemudian si pembeli menyetujuinya. Ketidakpastian muncul karena adanya dua harga dalam satu akad. Tidak jelas harga mana yang berlaku, apakah yang Rp. 10.000,00 atau Rp. 50.000,00. Katakanlah ada pembeli yang membayar lunas pada bulan ke-3, berapa harga yang berlaku? Atau ekstrimnya satu hari setelah penyerahan barang, berapa harga yang berlaku? Eksterm 22
lainnya adalah bagaimana menentukan harga apabila dibayar lunas sehari sebelum akhir bulan ke-5? Dalam kasus ini, walaupun kuantitas dan kualitas barang sudah ditentukan, tetapi terjadi ketidakpastian dalam harga barang karena si penjual dan si pembeli tidak mensepakati satu harga dalam satu akad. Sedangkan taghrir dalam waktu penyerahan misalnya Adi kehilangan mobil BWNnya. Ida kebetulan sudah lama ingin memiliki mobil BMW seperti yang dimiliki Adi, dan karena itu ia ingin membelinya. Akhirnya Adi dan Ida membuat kesepakatan. Adi menjual mobil BMWnya yang hilang tersebut kepada Ida seharga Rp. 100 juta. Harga sesungguhnya BMW adalah Rp. 300 juta. Mobil akan diserahkan segera setelah ditemukan. Dalam transaksi ini terdapat ketidakpastian menyangkut waktu penyerahan barang, karena barang yang dijual tidak diketahui keberadaannya. Mungkin mobil tersebut akan ditemukan satu bulan lagi, atau satu tahun lagi, atau bahkan mungkin tidak akan mungkin tidak akan ditemukan sama sekali. Tabel Ilustrasi Taghrir Waktu Penyerahan Hasil
Probabilitas
Keuntungan Ida
Mobil ditemukan
0,5
Rp 200.000.000
Mobil tidak ditemukan
0,5
(Rp 100.000.000)
Tabel di atas hanya mengasumsikan dua kemungkinan saja, yakni mobil ditemukan (probabilitasnya ½) dan mobil tidak ditemukan (probabilitasnya ½ juga). Bila mobil ditemukan, maka yang untung adalah Ida, karena ia dapat membeli mobil di bawah harga sesungguhnya (harga sesungguhnyanya adalah Rp. 300 juta, sementara harga belinya Rp. 100 juta.
Jadi ida untung 20 juta). Namun, bila ternyata mobil tidak
ditemukan, maka ida rugi Rp 100 juta. Di lain pihak, kerugian Adi menjadi berkurang, karena seharusnya ia rugi Rp. 300 juta dengan
23
hilanghya mobil BMW. Namun, karena ia berhasil menjual mobilnya seharga Rp. 100 juta, maka kerugiannya hanya menjadi 200 juta. Sama yang terjadi pada taghrir lain, taghrir dengan tidak adanya kepastian waktu penyerahan secara grafis juga gagal untuk menerangkan tingkat ekuilibrium yang sesungguhnya terjadi. Perpotongan antara kurva permintaan dan penawaran tidak dapat memberikan informasi yang jelas kepada kita berapa level harga yang terjadi pada jumlah kuantitas tertentu.
c. Ihtikar (Monopoli)
Ihtikar adalah menahan atau menimbun (hoarding) barang dengan sengaja, terutama pada saat terjadi kelangkaan, dengan tujuan untuk menaikkan harga di kemudian hari. Praktik ihtikar akan menyebabkan terganggunya keadilan ekonomi, di mana produsen kemudian akan menjual dengan harga yang lebih tinggi dari harga normal. Penjual akan mendapatkan untung besar (monopolistic rent), sedangkan konsumen akan menderita kerugian. Jadi, akibat ihtikar , masyarakat luas akan dirugikan akibat ulah sekelompok kecil. Rasulullah SAW bersabda:
)
)
Artinya: Barang siapa yang melakukan ihtikar maka ia berdosa (Hadis Riwayat Muslim). Dalam hadis lain Rasulullah SAW:
: : : )
(
Artinya: Dari Zayd ibn Abi Mu‘alla al-‘Adawi saya mendengar al-Hasan berkata: ‘Ubayd Allah ibn Ziyad bertemu dengan Ma‘qal ibn Yasar, Ma‘qal ibn Yasar berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang menjual 24
barangnya kepada kaum muslimin dengan harga yang sangat tinggi, maka Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka (Hadis RiwayatAhmad) Namun tidak termasuk ihtikar penimbunan yang dilakukan pada situasi di mana pasokan barang melimpah, misalnya ketika terjadi panen besar, dan segera menjualnya ketika pasar membutuhkannya atau menimbun
barang
dengan
tujuan
untuk
memenuhi
kebutuhan
keluarganya dan bukan untuk dijual dengan harga yang tinggi ketika masyarakat sangat membutuhkannya. Karena dalam situasi panen besar, apabila tidak ada pihak yang bersedia membeli/menampung hasil panen tersebut, maka harga akan semakin melemah. Hal ini justru akan merugikan petani yang dalam hal ini merupakan pemasok terbesar.
d . Bay‘ al-Najash (Permintaan Semu) Bay‘ al-najash adalah transaksi jual beli yang melibatkan pihak ketiga untuk memuji barang yang dijual atau menawar dengan harga yang tinggi agar orang lain tertarik untuk membeli. Pihak ketiga ini tidak bermaksud untuk benar-benar membeli barang tersebut. Ia hanya ingin menipu orang lain yang benar-benar ingin membeli. Sebelumnya orang ini telah mengadakan kesepakatan dengan penjual untuk membeli dengan harga yang tinggi agar ada pembeli yang sesungguhnya merasa tertarik membeli barang tersebut. Akibatnya terjadi permintaan palsu ( false demand). Tingkat permintaan yang tercipta tidak dihasilkan secara alamiah.
)
(
Artinya: Janganlah seseorang menjual di atas jualan saudaranya, janganlah melakukan najesy dan janganlah orang kota menjadi calo untuk menjualkan barang orang desa” (HR. Bukhari) Dalam konteks Indonesia, bay‘ al-najash ini pernah terjadi pada waktu terjadi krisis moneter tahun 1997. Ketika itu terjadi isu kelangkaan pangan. Karena takut kehabisan persediaan beras, maka masyarakat (terutama di kota-kota besar) ramai-ramai menyerbu toko-toko untuk 25
memborong beras. Hal ini menyebabkan naiknya permintaan terhadap beras sehingga harga menjadi naik. Tidak lama kemudian, media masa memberitakan bahwa persediaan beras di gudang BULOG melimpah. e. Perjudian (Maysir)
Secara harfiah kata maisir berarti memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapatkan keuntungan tanpa bekerja. Dalam terminologi berarti transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan tindakan atau kejadian tertentu (Sula, 2004). Secara sederhana, maysir juga dapat diartikan sebagai suatu permainan dimana kemenangan salah satu pihak akan merugikan pihak yang lain. Allah SWT telah memberi penegasan terhadap keharaman melakukan
aktivitas
ekonomi
yang
mengandung
unsur
maysir
(perjudian). Allah swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”(Q.S. Al-Maidah: 90) Contoh maysir adalah taruhan atas pertandingan sepak bola, judi melalui undian berhadiah.
f. Riba
Secara etimologis riba berarti pelunasan, pertambahan, dan pertumbuhan (Sula, 2004). Riba berarti pengambilan
tambahan, baik
dalam transaksi jual beli maupun pinjam - meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip transaksi secara Islam.
26
Larangan riba terdapat pula dalam surat : Al-Baqarah : 275, dan 278-279 , Ali Imran : 130, dan Ar-Ruum : 39. Dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah 278 -279 dikatakan bahwa: “ Hai orang – orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan lepaskan sisa – sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang – orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu modalmu. Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya” Namun tidak semua pertambahan atau pertumbuhan dilarang dalam Islam, karena keuntungan dari bisnis juga merupakan peningkatan atas jumlah pokok tapi hal ini tidak dilarang. Rasulullah SAW bersabda ‘ ketika seseorang memberikan pinjaman kepada orang lain dan peminjam memberikannya makanan atau tumpangan hewan, dia tidak boleh menerimanya kecuali keduanya terbiasa saling memberikan pertolongan (HR Baihaqi). Jadi tidak diperbolehkan mendapatkan
hadiah atau
pengembalian dalam bentuk apapun dari si peminjam kecuali hal tersebut sudah biasa dilakukan (tidak terkait dengan transaksi pinjam meminjam). Secara umum dapat dikatakan bahwa riba adalah tambahan yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman bersamaan dengan pokok pinjaman sebagai syarat mendapatkan pinjaman atau perpanjangan waktu pengebalian pinjaman tersebut. Dalam ilmu fikih, dikenal 4 jenis riba, yaitu: 1) Riba Fadl 2) Riba Nasiah 3) Riba Yad 4) Riba Jahiliyah Berikut akan dijelaskan ketiga macam riba di atas: 1) Riba Fadl Jual beli barter barang-barang ribawi : emas Vs emas, beras Vs beras,
uang vs uang (salah satunya lebih banyak dari penggantinya).
27
2) Riba Nasi’ah
Jual beli barang ribawi: emas dengan emas, beras dengan beras, uang dengan uang , di mana penyerahan salah satu obyek jual beli tidak dilakukan secara tunai. Termasuk dalam kategori riba nasiah adalah Utang-piutang dengan mengambil manfaat/keuntungan. 3) Riba Yad
Riba yang terjadi dalam Jual beli yang hingga penjual dan pembeli berpisah belum terjadi penyerahan obyek akad. Ulama selain Imam syafi’i memasukkan riba yad dalam kategori riba nasiah. 4) Riba Jahiliyah
Utang-piutang, dimana kreditur mengenakan tambahan (dari jumlah hutang) bila debitur pada saat jatuh tempo tidak bisa membayar kewajibannya. Praktik modern riba Jahiliyah terdapat pada jasa kartu kredit. Dalam praktek asuransi konvensional terjadi riba fadl dan Nasiah. Jika perusahaan Asuransi membayar klaim kepada tertanggung melebihi uang premi yang ia bayarkan maka terjadi Riba fadl. Jika Perusahaan membayar kepada tertanggung setelah masa tertentu sejumlah premi yang
dibayarkan
tertanggung
atau
perusahaan
menginvestasikan
kekeyaannya secara ribawi maka terjadi Riba Nasi’ah
g. Talaqqi al-Rukban
Talaqqi al-rukban adalah tindakan yang dilakukan oleh pedagang yang memiliki informasi yang lengkap untuk membeli barang produsen yang tidak memiliki informasi yang benar tentang harga untuk mendapatkan harga yang lebih murah dari yang sesungguhnya. Rasulullah SAW bersabda:
) 28
(
Artinya: Dari ‘Abd Allah ibn ‘Umar semoga Allah Meridhai keduanya, Rasulullah SAW melarang seseorang (orang kota) menjadi pelantara orang padang pasir (orang kampung) untuk menjual barangnya (Hadis Riwayat Bukhari). h. Bay‘ al-Hadir li al-Badi
Bay‘ al-hadir li al-badi adalah praktek makelar (samsarah) yang dilakukan oleh seseorang (orang kota) terhadap orang yang datang dari perkampungan (gurun sahara) untuk menjadi perantara dalam menjual barang dengan mengambil keuntungan yang sangat besar dan keuntungan yang diperoleh dari harga yang naik diambil untuk dirinya sendiri. Transaksi ini berpotensi untuk melambungkan harga yang dapat merugikan masyarakat. Rasulullah SAW bersabda:
)
(
Artinya: Dari ‘Abd Allah ibn ‘Umar semoga Allah Meridhai keduanya, Rasulullah SAW melarang seseorang (orang kota) menjadi pelantara orang padang pasir (orang kampung) untuk menjual barangnya (Hadis Riwayat Bukhari). i. Suap-Menyuap (Risywah)
Yang dimaksud dengan perbuatan risywah adalah memberi sesuatu kepada pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Allah swt telah menyinggung praktek suap-menyuap pada sejumlah ayat Alquran. Di antaranya firman Allah swt: “Dan janganlah sebagian kamui memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari ha`rta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui” (Q.S. AlBaqarah: 188) Rasulullah saw pun telah memberi peringatan secara tegas untuk menjauhi praktek risywah (suap-menyuap). Rasulullah saw bersabda: 29
“Allah melaknat orang yang memberi suap, penerima suap, sekaligus broker suap yang menjadi penghubung antara keduanya” (Hadis Riwayat Ahmad) Praktek suap menyuap ini seringkali tidak terlalu jelas karena telah menjadi budaya dalam masyarakat indonesia. Dalam pemasaran asuransi konvensional sering kali praktek ini ditemui untuk “memudahkan urusan’. Tentu saja hal ini jauh dari anjuran Rasulullah untuk mendapatkan harta secara baik dan halal.
j. Penganiayaan (Zulm)
Dalam bertransaksi antara kedua belah pihak harus sama – sama rela dan memenuhi ketentuan-ketentuan syariah. Diantaranya tidak boleh menganiaya pihak lain (misalnya dengan mengenakan bunga pada pinjaman) sehingga walaupun dilakukan dengan rela tetapi hal itu termasuk dilarang dalam kaidah transaksi berdasarkan syariat Islam.
3. Tidak sah Segala macam transaksi yang tidak sah/lengkap akadnya, maka transaksi itu dilarang dalam Islam disebabkan oleh: rukun (terdiri dari pelaku, objek, dan ijab kabul) dan syaratnya tidak terpenuhi, terjadi ta’alluq (dua akad yang saling berkaitan), atau terjadi two in one (dua akad sekaligus). Ta’alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, di mana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua. Yang seperti ini, terjadi bila suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus sehingga terjadi ketidakpastian (grarar) akad mana yang harus digunakan, maka transaksi ini dianggap tidak sah. G. Hubungan Fiqh Muamalat dan Ekonomi Islam
Pesatnya perkembangan kajian dan aplikasi sistem ekonomi Islam di dunia, telah membawa perubahan yang positif bagi para pakar ekonomi dunia dalam melihat ajaran Islam sebagai sumber normatif
30
disiplin ilmu ini. Upaya untuk mengkaji ajaran Islam lebih intens dilakukan di perbagai negara--baik negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam maupun yang warga negara muslim menjadi warga minoritas--dalam rangka menguak lebih dalam tentang hakekat ekonomi Islam. Di antara tema kajian yang menarik untuk dibicarakan adalah berkaitan dengan upaya mencari akar keilmuan dalam tradisi Islam yang melahirkan kajian ekonomi Islam modern. Dengan kata lain, apakah ilmu ekonomi Islam itu ilmu baru, yang biasanya disebut new comer ? Ataukah ia merupakan ilmu lama dalam tradisi keilmuan islam yang menjadi cabang atau bagian “ilmu keislaman” tertentu? Atau ilmu ekonomi islam merupakan ilmu ekonomi konvensional yang telah “disyahadatkan”? Sebagian pakar ilmu ekonomi Islam menyatakan bahwa ilmu ini bukan merupakan ilmu yang sama sekali baru dalam tradisi keilmuan Islam, tetapi telah memiliki akar keilmuan yang kuat, yaitu dalam kajian ilmu fiqh, lebih khusus lagi fiqh muamalat, yaitu bidang fiqh (hukum Islam) yang membahas persoalan-persoalan yang terkait dengan hubungan manusia dalam persoalan harta benda. Oleh karena itu, tidak jarang dalam penulisan buku-buku ekonomi Islam aspek hukum/fiqh muamalat selalu mendominasi tema kajian ilmu ekonomi Islam. Di samping itu, menurut A. Qadri azizy, ada beberapa alasan bahwa ekonomi Islam adalah cabang fiqh mu’amalah, bukan cabang dari ilmu ekonomi sekuler, yaitu antara lain; pertama, dari segi sejarah munculnya, ekonomi Islam termasuk perbankan syariah, adalah dari ilmu Islam yang disebut fiqh atau bahkan dari syariah. Ilmu ini sama sekali tidak muncul di Barat yang biasanya menjadi sumber munculnya disiplin ilmu baru. Ekonomi Islam muncul dari para ulama, khususnya fuqaha’, baik klasik (kyai) atau modern (sarjana).
Sebagai contoh, penegasan kembali
keharaman bunga bank konvensional telah terjadi pada muktamar di AlAzhar, Kairo pada tahun 1965, dilakukan oleh Rabithah Alam Islami pada tahun 1980-an. Juga oleh OKI pada tahun 1985. keduanya adalah lembaga
31
kajian fiqh bergensi tingkat internasional. Kedua, ada beberapa ide atau istilah yang sama sekali berbeda dan bahkan bertentangan dengna tradisi keilmuan ekonomi sekuler. Misalnya Algaoud dan Lewis menyatakan bahwa prinsip-prinsip pembiayaan Islam adalah sebagai berikut: 1). Tidak ada transaksi keuangan berbasis bunga (riba); 2). Pengenalan pajak religius atau pemberian shadaqah, zakat; 3). Pelarangan produksi barang dan jasa yang bertentangan dengan sistem nilai Islam (haram); 4). Penghindaran aktivitas ekonomi yang melibatkan maysir (judi) dan gharar (ketidakpastian); 5). Penyediaan takaful (asuransi Islam). Kesemua istilah tentang prinsip dasar pembiayaan syari’ah tersebut merupakan istilah-istilah yang sudah familier di bidang fiqh muamalat. Hal ini semakin memantapkan bahwa ekonomi Islam bukan cabang dari ekonomi sekuler, tetapi berasal dari fiqh muamalat. Di Indonesia sendiri, judgement akhir yang berkaitan dengan kesyariahan adalah Dewan Syari’ah Nasional, lembaga yang didirikan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) Pusat yang merupakan lembaga fatwa tentang masalahmasalah fiqhiyah di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan produkproduk lembaga keuangan syari’ah, seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah dan lain-lain. Namun demikian, ada sebagian pakar ilmu ekonomi Islam seperti, munzir Qaf, yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara ilmu ekonomi dengan fiqh muamalat. Menurutnya obyek kajian fiqh muamalat membahas aspek hukum dari aktifitas ekonomi, sementara ilmu ekonomi lebih difokuskan pada studi tentang usaha manusia yang berkaitan aktifitas produksi, distribusi, dan konsumsi. Meskipun demikian, di akui bahwa obyek kajian ilmu ekonomi berkaitan juga dengan aspek normatif yang diadopsi dari hukum Islam tetapi aspek ini bukanlah satu-satunya obyek kajian yang ada di dalamnya. Namun, ada beberapa aspek lain yang menjadi bahan rujukan dalam pembentukan
32
ilmu ekonomi, seperti norma-norma masyarakat, pemikiran-pemikiran para ahli, dan kebiasaan-kebiasaan yang terkait dengan perilaku ekonomi. Dari uraian di atas jelas bahwa fiqh muamalat memang tidak identik dengan ekonomi Islam. Akan tetapi, diakui bahwa akar keilmuan munculnya disiplin ekonomi Islam bersumber dari fiqh muamalat. Bahkan, aplikasi ekonomi Islam dalam lembaga keuangan syari’ah, terutama berkaitan dengan aspek keabsahan produk lembaga keuangan syari’ah dengan nilai-nilai Islam selalu terkait erat dengan fiqh muamalat.
H. Fiqh Muamalat dan Perubahan Sosial
Perkembangan ekonomi atau bisnis modern yang semakin pesat seiring dengan melajunya perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi telah membawa tantangan baru bagi para pemikir hukum Islam (mujtahid) untuk mengawal dan merespon berbagai praktek kegiatan ekonomi atau bisnis modern tersebut agar tetap selaras dengan normanorma ajaran Islam. Dalam kaitan ini, Fiqh muamalat yang merupakan bidang hukum Islam yang memiliki kaitan langsung dengan kegiatan ekonomi seharusnya
mampu
menjawab
dan
mengakomodir
berbagai
perkembangan baru bentuk atau model bisnis modern yang boleh jadi belum dikenal atau sudah dikenal tetapi memiliki perbedaan dalam tehnik operasionaliasasinya dengan kegiatan bisnis zaman klasik saat fiqh muamalat diformulasikan. Misalnya dalam transaksi bisnis modern dikenal adanya saham, obligasi, leter of credit (LC), asuransi, dan jual beli valas. Dalam kaitan ini, pertanyaan yang kemudian muncul adalah mungkinkah fiqh muamalat yang merupakan produk ulama zaman klasik dan pertengahan tersebut dapat berubah dan mampu mengakomodir perkembangan bisnis modern dengan berbagai produk dan instrumen bisnisnya tersebut?
33
Fiqh muamalat sebagaimana bidang fiqh lainnya, seperti fiqh ibadat, munakahat, jinayat, dan siyasah, merupakan hasil pemikiran ulama yang bersumberkan Al-qur’an dan As-Sunnah baik secara tekstual maupun kontekstual di samping juga bersumberkan pada pertimbanganpertimbangan sosiologis masyarakat (‘urf) yang mengandung nilai maslahat dan tidak bertentangan dengan kedua sumber hukum tersebut. Namun demikian, berbeda dengan Fiqh ibadat yang untuk sebagian besar ketentuan-ketentuan hukumnya bersifat qath’i, yakni bersifat tegas, pasti dan tidak mengenal perubahan karena perbedaan tempat dan waktu (shalihun likulli
al-zaman wa al-makan) serta sangat sedikit terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Fiqh muamalat merupakan fiqh yang untuk sebagian besar ketentuan-ketentuan hukumnya bersifat zhanny, yakni tidak pasti kebenarannya dan banyak terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Di samping itu, umumnya Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya memberikan aturan-aturan yang bersifat umum. Sedangkan perincian atau pengembangan dari aturan tersebut diserahkan kepada ijtihad para ahli hukum Islam sesuai dengan kondisi obyektif waktu, tempat, tradisi, dan tingkat perkembangan tehnologi mereka. Oleh karena itu, muamalah sangat erat hubungannya dengan perubahan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Para ahli ilmu sosial mendefinisikan perubahan sosial adalah perubahan pada lembagalembaga
kemasyarakatan
di
dalam
suatu
masyarakat
yang
mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikapsikap,dan pola-pola prilaku di antara kelompok-kelompok di dalam masyarakat. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa permasalahan muamalah dan pengembangannya diserahkan sepenuhnya kepada ahlinya, maka permasalahan muamalah oleh para ahli ushul fiqh di kelompokkan ke dalam persoalan-persoalan ta’aqquliyat (yang bisa dinalar) atau ma’qul alma’na (yang bisa dimasuki logika). Maksudnya dalam permasalahan-
34
permasalahan muamalah, yang dipentingkan adalah substansi makna yang terkandung di dalam suatu bentuk muamalah serta sasaran yang akan dicapainya. Jika muamalah yang dilakukan dan dikembangkan sesuai dengan substansi makna yang ditetapkan syara’, dan bertujuan untuk
kemaslahatan
umat
manusia
dengan
menghindarkan
kemadharatan, maka jenis muamalah itu dapat diterima. Kemaslahatan setiap manusia baik yang bersifat individu ataupun masyarakat akan selalu berbeda, dan itu semua sangat dipengaruhi oleh perkembangan masa dan lingkungan yang mereka tempati. Masyarakat akan selalu berubah dan berkembang sepanjang zaman. Perubahan masyarakat tersebut meliputi nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, polapola prilaku organisasi, susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan di dalam masyarakat, dan sebagainya. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat jika dipandang dari segi nilai-nilai sosial yang terkandung didalamnya dapat menimbulkan nilai positif maupun nilai negatif. Perubahan sosial dinilai positif jika perubahan tersebut dapat membawa kemaslahatan bagi umat manusia, tetapi jika perubahan itu membawa kemadharatan bagi manusia, maka perubahan tersebut mengandung nilai negatif. Dalam permasalahan muamalah perubahan sosial yang perlu mendapat perhatian dan pertimbangan adalah perubahan yang bersifat positif , karena tujuan dari adanya hukum Allah adalah untuk kemaslahatan umat manusia, baik kemaslahatan di dunia maupun di akhirat. Namun, karena perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat tidak selalu bersifat positif, maka diperlukan suatu prinsip dan kaidahkaidah yang dijadikan patokan untuk mengantisipasi pengaruh nilai-nilai negatif yang terkandung didalamnya sebagai akibat dari perubahan sosial itu sendiri. Begitu pula dalam pemasalahan muamalah, prinsip dan kaidah-kaidah baik yang berasal dari alqur’an, al-hadist, atau dari sumber hukum syari’ah lainnya harus diperhatikan dan dijadikan dasar hukum
35
dalam mengembangkan jenis-jenis muamalah agar tercapainya maqasidu asy-syariah itu sendiri. Bentuk muamalah dapat diubah dan dinyatakan tidak berlaku lagi, jika suatu saat bentuk muamalah tersebut sudah tidak sejalan lagi dengan kemaslahatan manusia, walaupun pada masa sebelumnya bentuk muamalah itu pernah berlaku. Misalnya pada pertangahan abad V H di bukhara dan balkh (di Asia Tengah), ulama fiqh Hanafi menciptakan sebuah bentuk muamalah yang disebut dengan ba’i al-wafa’, yaitu suatu bentuk jual beli bersyarat dengan tenggang waktu, sehingga apabila tenggang waktu telah habis, pihak pembeli wajib menjual barang yang dibelinya itu kepada pihak penjual sesuai dengan harga ketika berlangsungnya akad pertama. Contohnya,
seseorang
membutuhkan
uang
dalam
keadaan
terdesak, namun ia hanya memiliki sawah seluas 1 hektar, sedangkan tetangganya tidak mau meminjamkan uangnya secara suka rela, sekalipun dengan akad rahn.
Maka sawah tersebut dijual kepada tetangganya
sebesar uang yang dibutuhkan, yaitu Rp 50 juta dengan ketentuan bahwa kebun itu akan dibeli lagi dalam waktu tiga tahun dengan harga yang sama, maka pihak pembeli wajib menjualnya dengan harga yang sama ketika berlangsungnya akad pertama. Dan selama kebun itu berada di tangan pembeli, ia secara syara’ diperbolehkan untuk memanfaatkannya. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa bahwa jual-beli seperti ini merupakan rekayasa dari tiga bentuk transaksi, yaitu: 1) Ketika dilakukan transaksi akad ini merupakan jual beli, karena di dalam dijelaskan bahwa transaksi itu adalah jual beli. 2) Setelah transaksi dilaksanakan dan harta beralih kepada pembeli, transaksi ini berbentuk al-ijari (sewa-menyewa), karena barang yang dibeli tadi harus dikembalikan kepada penjual semula, walaupun pembeli berhak memanfaatkan barang tersebut.
36