Makalah
Dem Demokrasi Dalam Konsep Islam (Mencari Mencari bentuk ideal Demokrasi Islam melalui Syura, Ijma’, Maslaha Maslahah dan Ijtihad) Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Siswanto Masruri, MA.
Oleh: Maksum NIM: 13913013
Konsentrasi Ekonomi Islam PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2014
A. Pendahuluan Demokrasi dalam hubungannya dengan Islam pada dasarnya mempunyai berbagai macam penafsiran. Para cendekiawan Muslim membahas hubungan Islam dengan demokrasi melalui dua pendekatan: normatif dan empiris. Pada dataran normatif, mereka mempersoalkan nilai-nilai demokrasi dari sudut pandang ajaran Islam. Sementara pada dataran empiris, mereka menganalisis implementasi demokrasi dalam praktek politik dan ketatanegaraan.1 John L. Esposito dan James P. Piscatori mengatakan bahwa Islam bisa digunakan untuk mendukung demokrasi maupun kediktaroran, republikanisme maupun monarki, sehingga pernyataan ini dapat mengidentifikasikan tiga pemikiran. Pertama, Islam menjadi sifat dasar demokrasi karena konsep syura’, ijtihad, dan Ijma’ merupakan konsep yang sama dengan demokrasi. Kedua, menolak bahwa Islam berhubungan dengan demokrasi. Dalam pandangan ini, kedaulatan rakyat tidak bisa berdiri di atas kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa disamakan antara Muslim dan non-Muslim serta antara laki-laki dan perempuan. Hal ini bertentangan dengan prinsip equality dalam demokrasi. Ketiga, sebagaimana pandangan pertama bahwa Islam merupakan dasar demokrasi, meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan kedaulatan Tuhan, perlu diakui bahwa kedaulatan rakyat tersebut merupakan subordinasi hukum Tuhan.2 Menurut Maududi hal ini dinamakan “Kerajaan Tuhan”, yang disebut juga sebagai Teokrasi. Tetapi teokrasi Islam berbeda dengan teokrasi yang pernah menjadi pengalaman pahit di Eropa. Teokrasi Islam tidak dikuasai oleh golongan tertentu, namun oleh seluruh umat muslim bahkan rakyat jelata. Maududi menyatakan bahwa dalam sistem ketiga ini, “setiap muslim yang mampu dan memenuhi syarat untuk memberikan pendapat yang benar dalam permasalahan 1 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 222. 2 Tabrani. ZA. Al-Asyhi, Antara Islam dan Demokrasi, dikutip dari http://master.islamic.uii.ac.id/index.php/Artikel/Antara-Islam-dan-Demokrasi.html pada hari Selasa, 9 Desember 2014, jam 13.20 WIB.
2
hukum Islam, berhak menafsirkan hukum Tuhan bilamana tafsir itu dibutuhkan. Dalam pengertian ini pemerintahan Islam merupakan pemerintahan demokrasi. Akan teapi, ia bisa dikatakan juga sebagai pemerintahan teokrasi dalam arti bahwa tidak seorangpun, bahkan seandainya seluruh umat Islam dijadikan satu, berhak mengubah perintah Tuhan yang sudah jelas.”3 Dalam tulisan ini hubungan antara Demokrasi dan Islam yang menjadi topik pembahasan adalah kesesuaian antara demokrasi dan Islam. Pembahasan diarahkan kepada dasar-dasar demokrasi yang sesuai dengan konsep Islam seperti Syura (consultation), Ijma’ (Community Consensus), Maslahah (Public Interest), dan Ijtihad. B. Konsep Demokrasi Herodotus memperkenalkan istilah demokrasi sekitar 3000 tahun yang lalu di Mesir Kuno, dan kemudian dikembangkan oleh para pemikir Yunani Kuno pada masa klasik. Secara etimologi, kata demokrasi berasal dari kata Demos (rakyat) dan Kratos (kekuasaan/pemerintahan), yang berasal dari bahasa Yunani. Dalam sejarah, istilah demokrasi telah dikenal sejak abad ke-5 SM, yang merupakan respon terhadap pengalaman buruk sistem monarki dan kediktatoran di negaranegara kota Athena (Yunani Kuno). Ketika itu demokrasi dipraktikkan sebagai sistem dimana seluruh warga negara membentuk lembaga legislatif. Dalam perkembangannya, ide-ide demokrasi berkembang dengan ide-ide dan lembaga dalam tradisi pencerahan yang dimulai pada abad ke-16. Pertama dirintis oleh Niccolo Machiavelli (1469-1527) dengan ide-ide sekulerisme, kemudian ide Negara Kontrak oleh Thomas Hobbes (1588-1679), gagasan tentang konstitusi negara liberalisme, serta pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif
dan
lembaga
federal
oleh
John
Locke
(1632-1704),
yang
disempurnakan oleh Baron de Montesquieu (1689-1755), ide-ide tentang kedaulatan rakyat dan kontrak sosial yang diperkenalkan oleh Jean Jacques 3
John L. Esposito dan John O. Voll, Islam and Democracy, alih bahasa Rahmani Astuti, Cet 1 (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), hlm. 28.
3
Rousseau (1712-1778). Ide-ide tersebut merupakan respon terhadap monarki absolut akhir abad pertengahan dalam sejarah Eropa, yang menggantikan kekuasaan gereja yang teokrasi. Ide-ide demokrasi saat ini muncul sejak revolusi Amerika pada tahun 1776 dan revolusi Perancis tahun 1789.4 Pada abad ke-19 dan ke-20 pusat institusi demokrasi berkembang melalui perwakilan di parlemen dengan pemilihan yang bebas, dan di berbagai negara demokrasi diibaratkan kebebasan berbicara, kebebasan pers dan supremasi hukum.5 Abraham Lincoln mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sedangkan menurut Elliott demokrasi adalah sebuah masyarakat atau kelompok dimana masyarakat benar-benar memerintah diri mereka sendiri, dimana semua partisipasi diatur dalam membuat keputusan yang mempengaruhi mereka semua. Oleh karena itu, esensi demokrasi adalah partisipasi dalam suatu kelompok pemerintahan oleh anggota kelompok tersebut.6 Dalam sebagian literatur tentang demokrasi menegaskan bahwa konsep dan praktik demokrasi sesungguhnya tidak tunggal. Unsur-unsur dasar atau ”family resemblances” demokrasi itu dipengaruhi, dibentuk, dan diperkaya oleh kultur dan struktur sosiologis dan budaya masyarakat setempat. Dalam setiap negara manapun, nilai-nilai demokrasi akan berkembang sesuai dengan bengunan sosialbudaya masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bentuk, tingkat dan kualitas demokrasi di Amerika Serikat berbeda dengan konsep dan praktik
4
Saifullah, “Islam dan Demokrasi: Respon Umat Islam Indonesia terhadap Demokrasi”, Al-Fikr Volume 15 Nomor 3 Tahun 2011, hlm. 529. 5 Tauseef Ahmad Parray, “Islamic Democracy or Democracy in Islam: Some Key Operational Democratic Concepts and Notions”, World Journal of Islamic History and Civilization, 2 (2): 66-86, 2012, ISSN 2225-0883, hlm. 68. 6 M.O. Adeniyi, “An Islamic Approach to The Sustainability of Democracy”, Shopia, Vol. 43, No. 2, October 2004, hlm. 95.
4
demokrasi yang berkembang di Asia Timur (seperti Jepang) atau Eropa Barat (seperti Swedia, Itali dan sebagainya).7 Dalam sejarah permulaan demokrasi di Yunani sampai revolusi inggris, amerika dan prancis dan dari abad ke-19 sampai akhir abad ke-20, demokrasi berkembang dalam berbagai bentuk yang berindikasi bahwa konsep demokrasi berubah dan berkembang mengikuti perkembangan sosial, politik dan ekonomi. Fakta ini memperlihatkan bahwa tidak ada definisi pasti dari model demokrasi. Sebagaimana W. B. Gallie menyebut demokrasi sebagai “Essensially Contested Concept”. Jadi di bagian dunia manapun, para pemikir dan masyarakat umum secara aktif terlibat dalam upaya menciptakan struktur demokrasi yang lebih efektif. Hal ini juga berlaku di dunia muslim di belahan dunia manapun. Para pemikir muslim sampai saat ini berusaha untuk mendefinisikan, menafsirkan dan membangun demokrasi dengan konsep-konsep Islam seperti konsep khilafah, syura, Ijma’, ijtihad, baiat, dan lainnya.8 C. Prinsip-prinsip Politik Kenegaraan dalam Al-Quran Islam mengajarkan manusia tidak hanya hal-hal spiritual (ibadah), namun juga masalah akhlak dan muamalat manusia. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan dan pengisian negara termasuk dalam pengertian modern negara-bangsa, alQuran memberikan pesan-pesan yang lebih substansial yaitu menawarkan nilai etik dan moral daripada bersifat formal yaiu menekankan benuk negara atau format politik.9 Menurut Yusdani, Prinsip-prinsip kenegaraan yang terdapat dalam al-Quran antara lain10 bahwa:
7
Bahtiar Effendy, “Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang Memungkinkan”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (ed) Agama dan Dialog Antar Peradaban, Cet. 1, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. .90. 8 Tauseef Ahmad Parray, Islamic, hlm. 68. 9 Yusdani, Fiqh Politik Muslim: Doktrin, Sejarah dan Pemikiran, Cet. 1 (Yogyakarta: Amara Books, 2011), hlm. 63. 10 Ibid., hlm. 64
5
1. Kekuasaan sebagai Amanah
ْ ﺎس أَن ﺗَ ۡﺤ ُﻜ ُﻤ ْ إِ ﱠن ٱ ﱠ َ ﯾَ ۡﺄ ُﻣ ُﺮ ُﻛﻢۡ أَن ﺗُ َﺆ ﱡد ﻮا ِ َوا ٱ ۡﻷَ ٰ َﻣ ٰﻨ ِ ﺖ إِﻟَ ٰ ٓﻰ أَ ۡھﻠِﮭَﺎ َوإِ َذا َﺣ َﻜﻤۡ ﺘُﻢ ﺑَ ۡﯿﻦَ ٱﻟﻨﱠ ٗ ﺼ ٥٨ ﯿﺮا ِ َﺑِﭑ ۡﻟ َﻌ ۡﺪ ۚ ِل إِ ﱠن ٱ ﱠ َ ﻧِ ِﻌ ﱠﻤﺎ ﯾَ ِﻌﻈُ ُﻜﻢ ِﺑ ۗ ِٓﮫۦ إِ ﱠن ٱ ﱠ َ َﻛﺎنَ َﺳ ِﻤﯿ ۢ َﻌﺎ ﺑ Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS: 4.58) 2. Musyawarah sebagai Dasar Pengambilan Kekuasaan
ْ ُﻮا ﻟِ َﺮﺑﱢ ِﮭﻢۡ َوأَﻗَﺎ ُﻣ ْ َوٱﻟﱠ ِﺬﯾﻨَﭑ ۡﺳﺘَ َﺠﺎﺑ ﻮا ٱﻟ ﱠ ﺼﻠَ ٰﻮةَ َوأَﻣۡ ُﺮھُﻢۡ ُﺷﻮ َر ٰى ﺑَ ۡﯿﻨَﮭُﻢۡ َو ِﻣ ﱠﻤﺎ َر َز ۡﻗ ٰﻨَﮭ ُۡﻢ َﯾُﻨﻔِﻘُﻮن Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS 42:38) 3. Keadilan Harus ditegakkan
ْ ُﻮا ُﻛﻮﻧ ْ ُٰﯾَٓﺄَﯾﱡﮭَﺎ ٱﻟﱠ ِﺬﯾﻦَ َءا َﻣﻨ ﻮا ﻗَ ٰ ﱠﻮ ِﻣﯿﻦَ ﺑِﭑ ۡﻟﻘِ ۡﺴ ِﻂ ُﺷﮭَ َﺪ ٓا َء ِ ﱠ ِ َوﻟَ ۡﻮ َﻋﻠَ ٰ ٓﻰ أَﻧﻔُ ِﺴ ُﻜﻢۡ أَ ِو ۚ ِٱ ۡﻟ ٰ َﻮﻟِﺪ َۡﯾ ِﻦ َوٱ ۡﻷَ ۡﻗ َﺮﺑ ٓ ٰ ُﻮا ٱ ۡﻟﮭَ َﻮ ْ ﯿﺮا ﻓَﭑ ﱠ ُ أَ ۡوﻟَ ٰﻰ ِﺑ ِﮭ َﻤ ۖﺎ ﻓَ َﻼ ﺗَﺘﱠ ِﺒﻌ ٗ ِﯿﻦَ إِن ﯾَ ُﻜ ۡﻦ َﻏﻨِﯿًّﺎ أَ ۡو ﻓَﻘ ى أَن ْ ﻮا َوإِن ﺗَ ۡﻠ ٓ ُﻮۥ ْا أَ ۡو ﺗُ ۡﻌ ِﺮﺿ ْ ۚ ُﺗَ ۡﻌ ِﺪﻟ ٗ ُِﻮا ﻓَﺈ ِ ﱠن ٱ ﱠ َ َﻛﺎنَ ِﺑ َﻤﺎ ﺗَ ۡﻌ َﻤﻠُﻮنَ َﺧﺒ ﯿﺮا Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benarbenar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu keMaslahahtannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
6
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS 4:135)
ْ ُﻮا ُﻛﻮﻧ ْ ُٰﯾَٓﺄَﯾﱡﮭَﺎ ٱﻟﱠ ِﺬﯾﻦَ َءا َﻣﻨ ُ َ◌◌ٔ َﻮا ﻗَ ٰ ﱠﻮ ِﻣﯿﻦَ ِ ﱠ ِ ُﺷﮭَ َﺪ ٓا َء ﺑِﭑ ۡﻟﻘِ ۡﺴ ِۖﻂ َو َﻻ ﯾَ ۡﺠ ِﺮ َﻣﻨﱠ ُﻜﻢۡ َﺷﻦ ان ْ ُﻮا ھُ َﻮ أَ ۡﻗ َﺮبُ ﻟِﻠﺘﱠ ۡﻘ َﻮ ٰ ۖى َوٱﺗﱠﻘ ْ ُﻮا ٱ ۡﻋ ِﺪﻟ ْ ۚ ُﻗَ ۡﻮ ٍم َﻋﻠَ ٰ ٓﻰ أَ ﱠﻻ ﺗَ ۡﻌ ِﺪﻟ ﻮا ٱ ﱠ ۚ َ إِ ﱠن ٱ ﱠ َ َﺧ ِﺒﯿ ۢ ُﺮ ِﺑ َﻤﺎ ٨ َﺗَ ۡﻌ َﻤﻠُﻮن Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS 5:8) 4. Adanya Prinsip Persamaan
ُھُ َﻮ ٱﻟﱠ ِﺬي ﯾ ُِﺮﯾ ُﻜﻢۡ َءا ٰﯾَﺘِ ِﮫۦ َوﯾُﻨَ ﱢﺰ ُل ﻟَ ُﻜﻢ ﱢﻣﻦَ ٱﻟ ﱠﺴ َﻤﺎٓ ِء ِر ۡز ٗﻗ ۚﺎ َو َﻣﺎ ﯾَﺘَ َﺬ ﱠﻛ ُﺮ إِ ﱠﻻ َﻣﻦ ﯾُﻨِﯿﺐ Artinya: Dialah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)Nya dan menurunkan untukmu rezeki dari langit. Dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah). (QS 40:13) 5. Pengakuan Terhadap HAM
ْ َُو َﻻ ﺗَ ۡﻘﺘُﻠ ﺲ ٱﻟﱠﺘِﻲ َﺣ ﱠﺮ َم ٱ ﱠ ُ إِ ﱠﻻ ﺑِﭑ ۡﻟ َﺤ ۗ ﱢ ﻮﻣﺎ ﻓَﻘَ ۡﺪ َﺟ َﻌ ۡﻠﻨَﺎ ﻟِ َﻮﻟِﯿﱢ ِۦﮫ ٗ ُﻖ َو َﻣﻦ ﻗُﺘِ َﻞ َﻣ ۡﻈﻠ َ ﻮا ٱﻟﻨﱠ ۡﻔ ٗ ﺼ ﻮر ُ ﺳ ُۡﻠ ٰﻄَ ٗﻨﺎ ﻓَ َﻼ ﯾ ُۡﺴ ِﺮف ﻓﱢﻲ ٱ ۡﻟﻘَ ۡﺘ ۖ ِﻞ إِﻧﱠﮫۥُ َﻛﺎنَ َﻣﻨ Artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (QS 17:30)
7
ﺖ ِ ََوﻟَﻘَ ۡﺪ َﻛﺮﱠﻣۡ ﻨَﺎ ﺑَﻨِ ٓﻲ َءا َد َم َو َﺣ َﻤ ۡﻠ ٰﻨَﮭُﻢۡ ﻓِﻲ ٱ ۡﻟﺒَﺮﱢ َوٱ ۡﻟﺒَ ۡﺤ ِﺮ َو َر َز ۡﻗ ٰﻨَﮭُﻢ ﱢﻣﻦَ ٱﻟﻄﱠﯿﱢ ٰﺒ ٰۡ ﻀ ٗﯿﻼ ِ ﯿﺮ ﱢﻣ ﱠﻤ ۡﻦ َﺧﻠَ ۡﻘﻨَﺎ ﺗ َۡﻔ ٖ َِوﻓَﻀﱠﻠﻨَﮭُﻢۡ َﻋﻠَ ٰﻰ َﻛﺜ Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS 17:70) 6. Perdamaian
ۚ ْ َُو ٰﻗَﺘِﻠ َﯿﻞ ٱ ﱠ ِ ٱﻟﱠ ِﺬﯾﻦَ ﯾُ ٰﻘَﺘِﻠُﻮﻧَ ُﻜﻢۡ َو َﻻ ﺗ َۡﻌﺘَﺪ ُٓو ْا إِ ﱠن ٱ ﱠ َ َﻻ ﯾُ ِﺤﺐﱡ ٱ ۡﻟ ُﻤ ۡﻌﺘَ ِﺪﯾﻦ ِ ِﻮا ﻓِﻲ َﺳﺒ Artinya: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (2:190)
ْ َوإِن َﺟﻨَﺤ ُﻮا ﻟِﻠﺴ ۡﱠﻠ ِﻢ ﻓَﭑ ۡﺟﻨ َۡﺢ ﻟَﮭَﺎ َوﺗَ َﻮ ﱠﻛ ۡﻞ َﻋﻠَﻰ ٱ ﱠ ۚ ِ إِﻧﱠﮫۥُ ھُ َﻮ ٱﻟ ﱠﺴ ِﻤﯿ ُﻊ ٱ ۡﻟ َﻌﻠِﯿ ُﻢ Artinya: Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS 8:61)
ۡ َك ﺑِﻨ َﺼ ِﺮ ِهۦ َوﺑِﭑ ۡﻟ ُﻤ ۡﺆ ِﻣﻨِﯿﻦ َ ي أَﯾﱠ َﺪ َ َك ﻓَﺈ ِ ﱠن َﺣ ۡﺴﺒ َ َوإِن ﯾ ُِﺮﯾ ُﺪ ٓو ْا أَن ﯾَ ۡﺨ َﺪ ُﻋﻮ ٓ ﻚ ٱ ﱠ ۚ ُ ھُ َﻮ ٱﻟﱠ ِﺬ Artinya: Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin. (QS 8:62) D. Konsep Demokrasi dalam Islam Kenyataan bahwa Islam mengajarkan etika politik yang bersesuaian dengan prinsip-prinsip demokrasi, dapat dikatakan bahwa kurangnya pengalaman demokratis sebagian besar negara Islam tidak ada hubungannya dengan dimensi “interior” ajaran Islam. Secara teologis, barangkali dapat diisyaratkan bahwa kegagalan politik yang demokratis antara lain disebabkan oleh adanya pandangan yang legalistik dan formalistik dalam melihat hubungan antara Islam dan politik. Karenanya, adalah pendekatan substansialistik terhadap ajaran Islam diharapkan
8
dapat mendorong terciptanya sebuah sintesa yang memungkinkan antara Islam dan Demokrasi.11 Dalam penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual Islam, Esposito mengatakan bahwa kesesuaian demokrasi dengan Islam dapat dikembangkan melalui beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik. Seperti banyak konsep dalam tradisi politik barat, istilah-istilah ini tidak selalu dikaitkan dengan pranata demokrasi dan mempunyai banyak konteks dalam wacana Muslim dewasa ini. Demokrasi Islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep islami yang sudah lama berakar, yaitu konsep syura, Ijma’, Maslahah, dan ijtihad.12 Hubungan antara Islam dan demokrasi seperti berikut: 1. Syura dalam Konsep Demokrasi Istilah musyawarah berasal dari kata ﻣﺸﺎورة. Ia adalah masdar dari kata kerja syawara-yusyawiru, yang berakar kata syin, waw, dan ra, dengan pola fa’ala. Pendapat senada mengemukakan bahwa musyawarah pada mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah juga dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Karenanya, kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, musyawarah diartikan sebagai: pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama. Selain itu dipakai juga kata musyawarah yang berarti berunding dan berembuk.13 Secara historis, konsep syura dalam sejarah Islam telah ada jika menunjuk pertemuan di Bani Sa’idah segera setelah Nabi Muhammad wafat. 11
Bahtiar Effendy, Islam, hlm. 100. John L. Esposito, Islam, hlm. 32 13 Sohrah, “Musywarah vs Demokrasi”, Al-Risalah Volume 11 Nomor 1 Mei 2011, hlm. 34-35. 12
9
Menurut Fazlur Rahman kejadian itu sebagai pelaksanaan prinsip syura yang pertama. Kejadian ini kemudian diikuti dengan pidato pelantikan Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Dalam pidatonya pelantikannya itu, secara kategoris ia menyatakan bahwa dirinya telah menerima mandat dari rakyat yang memintanya melaksanakan al-Quran dan Sunnah. Abu Bakar juga menyatakan bahwa ia melaksanakan ketentuan al-Quran dan Sunnah, ia perlu didukung terus. Tetapi bilamana ia melakukan pelanggaran berat maka ia harus diturunkan. Konsep syura dan demokrasi Fazlur Rahman juga berpendapat bahwa institusi semacam syura telah ada pada masyarakat Arabia pra-Islam. Waktu itu, para pemuka suku atau kota menjalankan urusan bersama melalui permusyawaratan. Institusi inilah yang kemudian didemokrasitasi oleh al-Quran, yang menggunakan istilah syura. Perubahan dasar yang dilakukan al-Quran adalah mengubah syura dari sebuah institusi suku menjadi institusi komunitas, karena ia menggantikan hubungan darah dengan hubungan iman.14 Menurut Syafii Maarif, pada dasarnya syura merupakan gagasan politik utama dalam al-Quran. Jika konsep syura ditransformasikan dalam kehidupan modern sekarang, maka menurut Syafii sistem politik demokrasi adalah lebih dekat dengan cita-cita politik Qurani, sekalipun ia tidak terlalu identik dengan praktek demokrasi barat. Begitu halnya dengan Mohammad Iqbal yang menganggap demokrasi sebagai cita-cita politik Islam, kritik Iqbal terhadap demokrasi bukanlah dari aspek normatifnya, akan tetapi dalam praktek pelaksanaannya. Kohesi antara Islam dan demokrasi terletak pada prinsip persamaan (equality), yang di dalam Islam dimanifestasikan oleh tauhid sebagai satu gagasan kerja (a working idea) dalam kehidupan sosio-politik umat Islam.15
14 15
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran, hlm. 224. Ibid.,, hlm. 223
10
Perlunya
musyawarah
merupakan
konsekuensi
politik
prinsip
kekhalifahan manusia. “perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah (syura). Karena semua muslim yang dewasa dan berakal sehat, baik pria maupun wanita adalah khalifah (agen) Tuhan, mereka mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani permasalahan negara”. Ayatullah Baqir Al-Sadr menegaskan bahwa musyawarah adalah hak rakyat. “rakyat sebagai khalifah Allah berhak mengurus persoalan mereka sendiri aas dasar prinsip musyawarah” dan ini termasuk “pembentukan majlis yang para anggotanya adalah wakil-wakil rakyat yang sesungguhnya. Dengan demikian syura menjadi unsur operasional
yang
menentukan
dalam
hubungan
antara
Islam dan
demokrasi.16 Secara umum konsep syura sangat sesuai dengan demokrasi karena menempatkan semua masyarakat dalam satu tempat yang sama. Di Indonesia, demokrasi yang dibangun berdasarkan konsep syura dimana setiap pemimpin dipilih oleh rakyatnya. Tentang apakah sistem pemilihan tersebut secara langsung oleh pemerintah maupun melalui perwakilan di dewan perwakilan rakyat sebenarnya adalah hal yang sama. Selama rakyat atau wakilnya mempunyai keinginan yang sama hal tersebut bukanlah masalah. Namun akan berbeda ketika wakil rakyat yang telah dipilih tersebut tidak menggambarkan apa yang menjadi keinginan rakyat yang diwakilinya. Oleh karena itu, seorang wakil rakyat harus benar-benar mewakili setiap kebutuhan rakyat yang harus diperjuangkan. Jika wakil rakyat hanya mewakili golongannya tentu sudah menyalahi dari konsep demokrasi itu sendiri.
16
John L. Esposito, Islam, hlm. 33
11
Piagam Madinah merupakan konstitusi demokrasi Islam pertama dalam sejarah pemerintahan konstitusional. Para intelektual muslim sepakat bahwa prinsip syura adalah sumber etika demokrasi Islam. Mereka menyamakan konsep syura dengan konsep demokrasi modern.17 2. Ijma’ dalam Konsep Demokrasi Secara etimelogi Ijma’ mengandung arti kesepakatan atau konsensus. Ijma’ juga dapat diartikan sebagai al Azmu ‘alassyai’ atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Ijma’ secara terminolgi didefinisikan oleh beberapa ahli diantaranya: menurut Al Ghazali Ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad Saw secara khusus atas suatu urusan agama; definisi ini mengindikasikan bahwa Ijma’ tidak dilakukan pada masa Rasulullah Saw, sebab keberadaan Rasulullah sebagai syar’i tidak memerlukan Ijma’. Sedangkan menurut Al Amidi: Ijma’ adalah kesepakatan ahlul halli wal ‘aqdi atau para ahli yang berkompoten mengurusi umat dari umat Nabi Muhammad pada suatu masa atau hukum suatu kasus.18 Ijma’ atau konsensus telah lama diterima sebagai konsep pengesahan resmi dalam hukum Islam, terutama di kalangan kaum Muslim Sunni. Namun, hampir sepanjang sejarah Islam pada konsensus sebagai salah satu sumber hukum Islam cenderung dibatasi pada konsensus para cendekiawan, sedangkan konsensus rakyat kebanyakan mempunyai makna kurang begitu penting dalam kehidupan umat Islam. Namun dalam pemikiran modern, potensi fleksibilitas yang terkandung dalam konsep konsensus akhirnya mendapat saluran yang lebih besar. Dalam pengertian lebih luas, konsensus dan musyawarah sering dipandang sebagai landasan yang efektif bagi demokrasi Islam modern. Konsep konsensus memberikan dasar bagi penerimaan sistem yang mengakui suara mayoritas. Beberapa cendekiawan kontemporer menyatakan 17 18
Tauseef Ahmad Parray, Islamic, hlm. 73. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 1997)
12
bahwa dalam sejarah Islam karena tiedak ada rumusan yang pasti mengenai struktur negara dalam al-Quran, legitimasi negara bergantung pada sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara mencerminkan kehendak umat. Sebab seperti yang pernah ditekankan oleh para ahli hukum klasik, legitimasi pranata-pranata negara tidak berasal dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan pada prinsip Ijma’. Atas dasar inilah konsensus dapat menjadi legitimasi sekaligus prosedur dalam suatu demokrasi Islam.19 3. Maslahah dalam Konsep Demokrasi Secara
etimologis,
arti
al-Maslahah
dapat
berarti
kebaikan,
kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata alMaslahah adakalanya dilawankan dengan kata al-mafsadah dan adakalanya dilawankan dengan kata al-madarrah, yang mengandung arti: kerusakan. Secara terminologis, Maslahah telah diberi muatan makna oleh beberapa ulama usûl al-fiqh. Al-Gazâli (w.505 H), misalnya, mengatakan bahwa makna genuine dari Maslahah adalah menarik/mewujudkan kemanfaatan atau menyingkirkan/menghindari kemudaratan (jalb al-manfa‘ah atau daf‘ al-madarrah). Menurut
al-Gazâli, yang dimaksud Maslahah, dalam arti
terminologis-syar‟i, adalah memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam (Syariah) yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan harta kekayaan. Ditegaskan oleh al-Gazâli bahwa setiap sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi salah satu dari kelima hal tersebut dikualifikasi sebagai Maslahah; sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dinilai sebagai al-mafsadah; maka, mencegah dan menghilangkan sesuatu yang
19
John L. Esposito, Islam, hlm. 34.
13
dapat mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dikualifikasi sebagai Maslahah.20 Dalam konsep demokrasi, Maslahah menjadi bagian yang penting ketika dihadapkan dengan kebebasan individu dan persamaan HAM. Konsep Maslahah memberikan penilaian yang lebih obyektif tentang bagaimana kepentingan umum didahulukan daripada kepentingan pribadi. Perwujudan Maslahah dan mafsadah dalam pelbagai situasi dan kondisi memerlukan standar yang jelas dan berterusan untuik digunakan oleh para mujtahid. Apabila mafsadah dan Maslahah tidak mampu dipertemukan maka hendaklah dilakukan pentarjihan di antara kedua posisi dengan dipilih salah satu dari dua posisi yang lebih dominan. Bahkan ketika terjadi kontradiksi antara Maslahah dengan Maslahah, mafsadah dengan mafsadah dalam kategori yang sama seperti daruriyah, hajiyyah dan tahsiniyah.21 Akan tetapi, terdapat kemungkinan muncul pihak-pihak yang menyalahgunakan dalil/metode Maslahah memang tidak bisa dipungkiri. Mereka menggunakan Maslahah sebagai dalil/metode untuk menetapkan hukum tanpa mengindahkan batasan-batasan dan kaedah-kaedah yang baku. Hal ini mengakibatkan terjadinya kesalahan/kekacauan dalam menetapkan hukum Islam, dan pada gilirannya melahirkan keresahan di kalangan masyarakat. Dalam konteks ini, kehadiran institusi ijtihâd jamâ‘iy (ijtihad kolektif) seperti MUI, Bahtsul Masa‟il NU, Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan
Dewan
Hisbah
Persis,
menjadi
urgen
dalam
mengeliminasi
kemungkinan penyalahgunaan dalil/metode Maslahah oleh aktivitas ijtihâd fardiy sehingga konsepsi dan aplikasi Maslahah dalam proses ijtihad tersebut
20 Asmawi, “Memahami Konsep Maslahah sebagai Inti Maqasid al-Syariah, Makalah, dipresentasikan pada Workshop Tafsir Asnaf Zakat Kontemporer, diselenggarakan oleh Institut Manajemen Zakat, Ciputat, 9 Agustus 2012, hlm. 1-2. 21 Ridzwan Ahmad, “Metode Pentarjihan Maslahah dan Mafsadah dalam Hukum Islam Semasa” Sharia Journal, Vol. 16, No. 1 2008, hlm. 108.
14
terhindar dari salah paham dan salah kaprah. Meskipun demikian, ini tidak berarti menutup rapat rapat pintu ijtihâd fardî.22 Maslahah merupakan konsep bahwa kepentingan publik harus diutamakan dari kepentingan individu. Dalam hal ini, penggusuran dalam rangka normalisasi sungai (seperti yang dilakukan di Jakarta, Indonesia) yang dilakukan oleh pemerintah sudah selayaknya diterima oleh masyarakat bahkan tanpa disediakan tempat untuk pindah, masyarakat wajib mematuhinya. Pemerintah hanya perlu mengganti biaya ganti rugi dari masyarakat tersebut tanpa harus membelinya, dan masyarakat harusnya juga memahami bahwa untuk kepentingan umum, pengorbanan yang dilakukan akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. 4. Ijtihad dalam Konsep Demokrasi Konsep operasional yang terakhir adalah ijtihad, atau pelaksanaan penilaian yang ilmiah dan mandiri. Bagi banyak pemikir muslim, upaya ini merupakan langkah kunci menuju penerapan perintah Tuhan di suatu tempat atau waktu.23 Ijtihad diterapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang tidak tercakup oleh Al-Qur'an dan Sunnah, tidak dengan taqlid, atau dengan analogi langsung (qiyas). Ijtihad dianggap, oleh banyak pemikir Muslim, sebagai kunci untuk pelaksanaan kehendak Allah dalam waktu dan tempat tertentu.24 Hampir semua reformis dan intelektual Muslim abad 20 menunjukkan antusiasme dalam konsep Ijtihad kontemporer, Muhmmad Iqbal, Khurshid Ahmad, Taha Jabir al 'Alwani dan Altaf Gauhar menjadi beberapa dari mereka.25 Bentuk demokrasi menurut Fazlur Rahman dapat berbeda-beda menurut kondisi yang ada dalam suatu masyarakat. Untuk dapat memilih 22
Asmawi, Memahami, hlm. 8-9. John L. Esposito, Islam, hlm. 34-35. 24 Tauseef Ahmad Parray, Islamic, hlm. 74. 25 Ibid. 23
15
suatu bentuk demokrasi yang sesuai dengan keadaan suatu masyarakat Islam tertentu, peranan ijtihad menjadi sangat menentukan.26 Pemimpin Islam Pakistan, Khurshid Ahmad, memparkan hal ini dengan jelas. “Tuhan hanya mewahyukan prinsip-prinsip utama dan memberi manusia kebebasan untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut dengan arah yang sesuai dengan semangat dan keadaan zamannya. Melalui ijtihad itulah masyarakat dari setiap zaman berusaha menerapkan dan menjalankan petunjuk Ilahi guna mengatasi masalah-masalah zamannya. Ijtihad selalu menjadi konsep yang kontroversial mengingat bahaya penyalahgunaannya. Adalah mungkin bahwa tindakan kaum muslim itu akan didukung oleh kaum sekular dan Muslim abangan, yang akan membuka lebar-labar pintu ijtihad dan menafsirkan ijtihad sedemikian rupa sehingga dapat dimanfaatkan untuk membenarkan akibat-akibatnya tanpa peduli apakah aturan itu didasarkan atas kriteria fiqh atau tidak. Namun makna penting ijtihad ditekankan oleh Iqba yang berharap bahwa ijtihad yang benar akan memungkinkan “para ilmuwan sosial muslim untuk menelaah fenomena sosial dengan kerangka dan paradigma epistemologi Islam dan selanjutnya memulai proses pembangungn kembali peradaban Islam atas dasar pemahaman terhadap ilmu-ilmu sosial itu. Dekonstruksi yang disambung dengan rekonstruksi inilah yang dibutuhkan umat Islam jika ingin menjadi penengah bagi bangsa-bangsa lain sebagaimana tersurat dalam alQuran”.27 Ijtihad saat ini menjadi tren pemikiran dari cendekiawan-cendekiawan muslim kontemporer. Mati surinya ijtihad selama beberapa abad silam memang membuat dunia Islam menjadi jalan ditempat. Ijtihad memberikan jalan alternatif dari perbagai permasalahan dalam dunia modern saat ini. 26 27
M. Syafi’ Anwari, Pemikiran, hlm. 224. John L. Esposito, Islam, hlm. 36.
16
E. Kesimpulan Islam dan demokrasi pada hakikatnya merupakan hal yang sesuai (compatible). Islam mengatur segala permasalahan manusia mulai dari ibadah, akhlak sampai muamalah. Pertanyaan Islam sesuai dengan Demokrasi sebenarnya merupakan pertanyaan yang kurang sesuai, pertanyaan yang sebenarnya adalah bagaimana muslim memahami Islam yang sesuai dengan demokrasi. Karena Islam dapat digunakan dalam segala bentuk pemerintahan mulai dari demokrasi maupun kediktaroran, republikanisme maupun monarki. Sampai saat ini, dekade kedua dari abad ke-21 tidak ada bentuk yang menjadi kesepakatan umum dari umat Islam dalam sistem pemerintahan seperti bentuk monarki konservatif Arab Saudi, Iran dengan teokrasinya, Sudan dan Pakistan dengan pemerintahan militer dan Taliban Afganistan. Bahkan peristiwa terbaru ketika Tunisia, Mesir, dan Libya serta Bahrain mencoba untuk membuat sintesa baru tentang konsep demokrasi yang sesuai dengan Islam dan kondisi sosial di negera tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masa modern ini negaranegara muslim masih mencari bentuk yang sesuai dalam sosiopolitik pemerintahannya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami dan mengamalkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin di masa modern ini.
17
DAFTAR PUSTAKA Adeniyi, M.O.. 2004. “An Islamic Approach to The Sustainability of Democracy”, Shopia, Vol. 43, No. 2, October 2004. Ahmad, Ridzwan. 2008. “Metode Pentarjihan Maslahah dan Mafsadah dalam Hukum Islam Semasa” Sharia Journal, Vol. 16, No. 1 2008. Anwar, M. Syafi’i. 1995. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina. Asmawi. 2012. “Memahami Konsep Maslahah sebagai Inti Maqasid al-Syariah, Makalah, dipresentasikan pada Workshop Tafsir Asnaf Zakat Kontemporer, diselenggarakan oleh Institut Manajemen Zakat, Ciputat, 9 Agustus 2012. Effendy, Bahtiar. 1996.
“Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang
Memungkinkan”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (ed) Agama dan Dialog Antar Peradaban, Cet. 1, Jakarta: Paramadina. Esposito, John L. dan John O. Voll. 1999. Islam and Democracy, alih bahasa Rahmani Astuti, Cet 1, Bandung: Penerbit Mizan. Parray, Tauseef Ahmad. 2012. “Islamic Democracy or Democracy in Islam: Some Key Operational Democratic Concepts and Notions”, World Journal of Islamic History and Civilization, 2 (2): 66-86, 2012, ISSN 2225-0883. Saifullah. 2011. “Islam dan Demokrasi: Respon Umat Islam Indonesia terhadap Demokrasi”, Al-Fikr Volume 15 Nomor 3 Tahun 2011. Sohrah. 2011. “Musyawarah vs Demokrasi”, Al-Risalah Volume 11 Nomor 1 Mei 2011. Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqih. Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu Tabrani.
ZA.
Al-Asyhi,
Antara
Islam
dan
Demokrasi,
dalam
http://master.islamic.uii.ac.id/index.php/Artikel/Antara-Islam-danDemokrasi.html diakses pada hari Selasa, 9 Desember 2014, jam 13.20 WIB. Yusdani. 2011. Fiqh Politik Muslim: Doktrin, Sejarah dan Pemikiran, Cet. 1 Yogyakarta: Amara Books.
18