KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN
2014
LAPORAN PELAKSANAAN
Spending Performance Dalam Mendanai Pelayanan Publik
1
LAPORAN PELAKSANAAN
Spending Performance Dalam Mendanai Pelayanan Publik
ii
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kualitas belanja daerah dalam APBD selama ini dianggap masih lemah, yang ditandai dengan indikasi belanja tidak langsung selalu lebih besar daripada belanja langsung. Dari berbagai literatur dapat didefinisikan bahwa belanja langsung dianggap sebagai belanja pemerintah daerah yang mempunyai pengaruh penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah dan akan memiliki daya ungkit dalam menggerakkan roda perekonomian daerah. Terkait dengan hal tersebut, perlu dilakukan kajian analisis tentang spending performance APBD dalam mendanai pelayanan publik, yang diharapkan mampu memberikan gambaran dan solusi mengenai permasalahan penyerapan belanja daerah dalam APBD, serta mengidentifikasi penetapan belanja APBD yang kurang proporsional antara belanja langsung dan tidak langsung. Kajian analisis spending performance tersebut ditujukan untuk (1) mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam, terutama dilihat dari aspek cepat atau lambatnya waktu yang diperlukan dalam penyerapan belanja daerah.; (2) mengidentifikasi penetapan proporsi belanja APBD antara belanja langsung dan tidak langsung; (3) melakukan analisis dan menyusun rekomendasi terhadap spending performance APBD dalam mendanai pelayanan publik. Sementara itu, metodologi kajian analisis ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisa kuantitatif dengan kualitatif. Data kuantitatif yang digunakan pada penelitian ini adalah (1) data sekunder pada Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) digunakan sebagai bahan awal untuk melakukan analisis yang menggambarkan tingkat penyerapan Ringkasan Eksekutif
iii
belanja daerah; dan (2) data sekunder pada SIKD tersebut kemudian dikonfirmasikan kepada daerah sampel kunjungan dan digunakan sebagai alat analisis deskriptif kualitatif untuk menggambarkan pengelolaan keuangan daerah dan penjelasan daerah terhadap kendala permasalahan pelaksanaannya. Selanjutnya, untuk analisis kualitatif dilakukan dengan cara wawancara, dan hasilnya dijadikan sebagai pelengkap hasil analisis yaitu dengan cara menganalisis persepsi daerah terhadap penyerapan belanja daerah. Mengingat keterbatasan dana yang ada, maka kajian analisis kepada daerah sampling dilakukan terhadap 10 daerah yang dipilih secara convenience sampling. Adapun ke-10 daerah sampling tersebut yaitu (1) Provinsi Riau, (2) Provinsi Banten, (3) Kabupaten Tanah Laut, (4) Kabupaten Jepara, (5) Kabupaten Lamongan, (6) Kabupaten Badung, (7) Kota Pontianak, (8) Kota Palembang, (9) Kota Gorontalo, dan (10) Kota Makasar. Dari hasil kajian, didapatkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Gambaran penyerapan belanja daerah dari tahun ke tahun memiliki kemiripan dalam realisasinya, dimana realisasi penyerapan belanja daerah pada awal Triwulan I sampai dengan Triwulan III masih sangat rendah, dan baru meningkat realisasinya pada Triwulan IV sampai dengan akhir tahun. 2. Pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan publik (public oriented) tidak saja terlihat pada besarnya proporsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga dapat dilihat dari berapa besar tingkat penyerapan realisasi belanja daerah (spending performances) terutama belanja barang untuk pemeliharaan dan belanja modal dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana pelayanan dasar di daerah. 3. Besar kecilnya tingkat penyerapan belanja daerah dalam mendanai pelayanan publik sangat dipengaruhi oleh proses perencanaan
iv
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
anggaran dan penetapan APBD di daerah. Keterlambatan daerah dalam menetapkan Perda APBD dapat menunda realisasi penyerapan belanja daerah. 4. Proporsi alokasi belanja barang untuk pemeliharaan dan belanja modal untuk penyediaan sarana dan prasarana layanan publik masih rendah dalam struktur APBD jika dibandingkan dengan alokasi untuk belanja pegawai sehingga kinerja spending performances dalam mendanai pelayanan publik masih belum optimal dan efektif. 5. Realisasi penyerapan belanja daerah sampai dengan akhir tahun anggaran masih di bawah target atau lebih rendah dibandingkan dengan anggaran APBD. Hal ini terutama karena belum cukup mampu untuk melakukan penyesuaian pada sisi belanja dalam menyikapi pelampauan pendapatan di APBD. 6. Kualitas belanja daerah dan APBD selama ini dianggap masih lemah yang ditandai dengan adanya alokasi belanja tidak langsung yang selalu lebih besar dari belanja langsung, serta penyerapan belanja daerah yang relatif rendah. Hal ini juga bisa dilihat dari tingkat penyerapan belanja daerah yang relatif rendah terutama untuk belanja modal dan belanja barang yang terkait dengan public service delivery. 7. Rendahnya realisasi belanja daerah yang didanai dari DAK tidak hanya disebabkan oleh kurang berjalannya fungsi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di daerah dengan baik, namun juga dipengaruhi oleh adanya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat, terutama yang terkait dengan mekanisme perencanaan dan penganggaran, mekanisme transfer ke daerah, dan penetapan petunjuk teknis DAK yang terlambat sehingga mempengaruhi penyelesaian pekerjaan di daerah. Beberapa hal yang perlu direkomendasikan untuk memperbaiki dan meningkatkan pelaksanaan spending performances dalam mendanai pelayanan publik di daerah adalah sebagai berikut :
Ringkasan Eksekutif
v
1.
Pemerintah pusat perlu mendorong daerah untuk dapat meningkatkan proporsi alokasi belanja barang dan belanja modal dalam APBD, sehingga dapat mempercepat tersedianya sarana dan prasarana layanan publik yang memenuhi Standar Pelayanan Minimum (SPM). Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan cara membuat aturan dalam perencanaan anggaran di daerah, terutama terkait dengan batas minimal proporsi alokasi belanja barang dan belanja modal yang sifatnya mengikat daerah, serta menerapkan sanksi kepada daerah yang melanggar batasan tersebut.
2.
Untuk mendorong percepatan penyerapan belanja daerah, pemerintah pusat perlu melanjutkan kebijakan pengenaan sanksi kepada pemda yang terlambat dalam menetapkan dan menyampaikan perda APBD 2013, serta memberikan reward kepada pemda yang tepat waktu dalam menetapkan dan menyampaikan perda APBD 2013. Penetapan Perda APBD di daerah secara tepat waktu serta pelaksanaan tender pada awal tahun anggaran diharapkan dapat mempercepat realisasi belanja daerah, terutama belanja modal dan belanja barang untuk layanan publik dan peningkatan perekonomian daerah.
3. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan spending performances yang mampu mendorong percepatan realisasi belanja daerah, maka : a. Pemerintah daerah perlu memprioritaskan alokasi belanja untuk program/kegiatan dalam rangka penyediaan sarana dan prasarana layanan publik di daerah, dengan cara meningkatkan alokasi belanja barang dan belanja modal dalam APBD, dan mengurangi proporsi untuk belanja pegawai daerah dan belanja tidak langsung lainnya. Penganggaran belanja langsung dalam APBD digunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan daerah, yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang dituangkan dalam bentuk program dan kegiatan, yang manfaat capaian kinerjanya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dalam rangka peningkatan
vi
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
kualitas pelayanan publik dan keberpihakan pemerintah daerah kepada kepentingan publik. b. Perlu mengusulkan secara resmi kepada Kementerian Dalam Negeri untuk menyusun ketentuan (Permendagri) tentang Pedoman Penyusunan APBD yang mengatur proporsi alokasi belanja barang untuk pemeliharaan infrastruktur dan belanja modal minimal ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 20 (dua puluh) persen dari total APBD guna mempercepat penyediaan sarana dan prasarana layanan publik dan peningkatan perekonomian daerah. c. Pemerintah pusat perlu mendorong penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai penerapan Middle Term Expenditure Framework (MTEF) sehingga daerah dapat mengetahui informasi transfer ke daerah yang meliputi alokasi DAU, DAK, DBH dan Dana Penyesuaian untuk kurun waktu 3 (tiga) tahun guna mempercepat penetapan APBD dan percepatan penyerapan belanja daerah. 4. Terkait dengan rendahnya penyerapan program/kegiatan yang didanai dari DAK, Kementerian Keuangan perlu mendorong Kementerian teknis untuk dapat menetapan petunjuk teknis pelaksanaan DAK berupa pedoman umum penggunaan DAK guna mencapai standar pelayanan minimum dan prioritas nasional, serta dibuat tidak terlalu rigid, tetapi dibuat lebih umum dan lebih fleksibel serta peruntukannya untuk jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, sehingga daerah lebih mudah dalam melaksanakan kegiatan DAK dan adanya kepastian kegiatan tersebut sesuai dengan petunjuk teknis DAK. 5. Pemerintah daerah perlu membentuk Tim Koordinasi di daerah sehingga memudahkan koordinasi antara SKPD dalam pengelolaan keuangan daerah baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun pertanggungjawaban APBD serta memudahkan daerah untuk menyelesaikan permasalahan di daerah terutama yang terkait dengan
Ringkasan Eksekutif
vii
pelaksanaan spending performances dalam mendanai pelayanan publik di daerah.
viii
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
KATA PENGANTAR
Salah satu tugas pemerintahan daerah adalah menyediakan dan membangun infrastruktur sarana dan prasarana layanan publik melalui pengaturan pola alokasi belanja daerah dalam APBD, yang diharapkan dapat mendorong peningkatan public services dan mampu mendorong peningkatan perekonomian daerah. Secara ideal, porsi alokasi belanja tidak langsung terutama untuk membiayai belanja pegawai daerah yang tidak terlalu tinggi, serta alokasi belanja barang untuk pemeliharaan infrastruktur dan belanja modal daerah yang semakin meningkat akan mempercepat terciptanya wujud dan jenis pelayanan publik yang semakin baik, optimal dan efektif. Namun demikian, yang terjadi selama ini adalah realisasi belanja barang untuk pemeliharaan infrastruktur dan belanja modal pada akhir tahun seringkali masih di bawah target, atau lebih rendah apabila dibandingkan dengan anggarannya. Di samping itu, masih banyak daerah yang mengalokasikan porsi belanja pegawai yang lebih besar dari alokasi belanja barang untuk pemeliharaan infrastruktur dan belanja modal untuk pelayanan publik. Kondisi tersebut akan menyebabkan APBD tidak mampu untuk mendukung peningkatan kualitas layanan publik yang optimal. Hal ini berarti perlu dicari beberapa faktor penyebab mengapa hal tersebut terjadi, dan perlu dirumuskan upaya perbaikan dalam pola belanja daerah yang diarahkan untuk mendorong peningkatan pelayanan publik. Sementara itu, adanya peningkatan alokasi pendapatan transfer dari pusat dan realisasi pendapatan daerah pada tahun anggaran berjalan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan realisasi belanjanya, perlu disikapi dengan percepatan penetapan APBD Perubahan. Hal ini
Kata Pengantar
ix
maksudkan agar pelampauan pendapatan daerah tersebut bisa semaksimal mungkin teralokasikan untuk belanja yang langsung berdampak pada peningkatan kuantitas dan kualitas layanan publik, dan dapat diselesaikan pada tahun berjalan. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan kajian mengenai pelaksanaan spending performances dalam APBD. Atas izin dan ridha dari Tuhan Yang Maha Kuasa, tulisan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya dengan judul “Kajian Pelaksanaan Spending Performances dalam Mendanai Pelayanan Publik”, yang didalamnya berisi analisis mengenai pelaksanaan spending performances yang tercermin dari realisasi penyerapan belanja di daerah, serta kendala dan solusinya untuk memperbaiki kinerja penyerapan belanja daerah yang mampu meningkatkan wujud dan jenis pelayanan publik di daerah. Kami mengharapkan agar buku ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dan mampu memberikan kontribusi yang optimal dalam pengambilan kebijakan sehingga tujuan dan cita-cita otonomi daerah dan desentralisasi fiskal khususnya serta tujuan pembangunan nasional pada umumnya dapat terwujud.
Jakarta,
Desember 2014
Direktur Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah,
Adijanto
x
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Daftar Isi
RINGKASAN EKSEKUTIF...........................................................................iii KATA PENGANTAR...................................................................................ix DAFTAR ISI .............................................................................................xi DAFTAR TABEL.......................................................................................xiii DAFTAR GAMBAR DAN GRAFIK............................................................. xiv BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1 1. Latar Belakang...........................................................................1 2. Tujuan........................................................................................4 3. Ruang Lingkup...........................................................................5 4. Metodologi Kajian......................................................................6 BAB II KERANGKA TEORI.......................................................................... 7 1. Pengertian Spending Performances............................................7 2. Proses Pengelolaan Keuangan Daerah......................................10 3. Pengertian Belanja Daerah.......................................................17 4. Klasifikasi Belanja Daerah.........................................................20 BAB III TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISIS PERMASALAHAN PELAKSANAAN SPENDING PERFORMANCE DALAM MENDANAI PELAYANAN PUBLIK............................................................................... 23 A. Pelaksanaan Spending Performances Pada Daerah Sampel.......27 1. Provinsi Riau..........................................................................27 2. Provinsi Banten......................................................................31 3. Kabupaten Badung................................................................36 4. Kabupaten Tanah Laut............................................................39 5. Kabupaten Jepara..................................................................42
Daftar Isi
xi
6. Kabupaten Lamongan............................................................46 7. Kota Pontianak.......................................................................50 8. Kota Palembang.....................................................................54 9. Kota Gorontalo......................................................................59 10. Kota Makasar........................................................................63 B. Analisis Permasalahan Pelaksanaan Spending Performances dalam mendanai Pelayanan Publik...........................................67 BAB IV PENUTUP................................................................................... 73 A. KESIMPULAN............................................................................73 B. SARAN DAN REKOMENDASI.....................................................75 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 78 UCAPAN TERIMA KASIH......................................................................... 79
xii
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Daftar Tabel
Tabel 1.1
Daerah Sampel Kajian...................................................................5
Tabel 3.1
Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Provinsi Riau.........29
Tabel 3.2 Realisasi Belanja Tahun 2013 Provinsi Banten...............................34 Tabel 3.3
Realisasi Belanja Tahun 2013 Kabupaten Badung.........................38
Tabel 3.4. Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kabupaten Tanah Laut...........................................................................................41 Tabel 3.5
Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kabupaten Jepara........................................................................................44
Tabel 3.6
Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kabupaten Lamongan..................................................................................49
Tabel 3.7
Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Pontianak......53
Tabel 3.8. Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Palembang ...56 Tabel 3.9
Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Gorontalo.....61
Tabel 3.10 Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Makasar........65
Daftar Tabel
xiii
Daftar GRAFIK DAN GAMBAR
Gambar 2.1 Proses Penyusunan Anggaran Pemerintah Daerah........................12 Grafik 3.1 Volume APBD dan APBD-Perubahan Provinsi Riau Tahun 2013.....27 Grafik 3.2 Volume APBD dan APBD-Perubahan Provinsi Banten Tahun 2013.........................................................................................32 Grafik 3.3 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Badung Tahun 2013.........................................................................................36 Grafik 3.4 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Tanah Laut Tahun 2013.........................................................................................39 Grafik 3.5 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Jepara Tahun 2013.........................................................................................43 Grafik 3.6 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Lamongan Tahun 2013.........................................................................................47 Grafik 3.7 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kota Pontianak Tahun 2013.........................................................................................51 Grafik 3.8. Volume APBD dan APBD-Perubahan Kota Palembang Tahun 2013.........................................................................................55 Grafik 3.9 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kota Gorontalo Tahun 2013.........................................................................................59 Grafik 3.10 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kota Makasar Tahun 2013 ..64 Grafik 3.11 Keterlambatan Penetapan dan Penyampaian APBD Tahun 2011 s.d. 2013..........................................................................69
xiv
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Sejak dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada tahun 2001, telah terjadi pergeseran kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya kewenangan daerah dalam memberikan pelayanan publik yang juga diiringi dengan meningkatnya pendanaan dari pusat ke daerah dalam rangka menyelenggarakan kegiatan pelayanan publik tersebut. Anggaran belanja daerah dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan searah dengan cakupan jenis dana yang di daerahkan maupun dari besaran alokasi dana yang didaerahkan. Belanja daerah tentu saja diprioritaskan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Salah satu tugas penting dari pemerintahan daerah adalah menyediakan pelayanan dan membangun infrastruktur publik melalui alokasi dan pelaksanaan belanja pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Salah satu tolok ukur yang dapat digunakan untuk melihat kinerja belanja daerah yaitu didasarkan pada pendekatan tingkat penyerapan belanja. Semakin besar tingkat penyerapan, dianggap semakin optimal kinerja belanjanya, dan sebaliknya semakin rendah tingkat penyerapan semakin rendah pula kinerja belanja suatu pemerintah daerah. Penyerapan belanja APBD mengindikasikan kecepatan daerah dalam menggunakan
Bab I | Pendahuluan
1
dananya untuk pelayanan ke masyarakat. Penyerapan belanja daerah yang lambat dan juga tidak tuntas (kurang jauh dari anggaran yang telah direncanakan) menunjukkan proses perencanaan yang kurang baik dan sekaligus mengakibatkan menumpuknya dana sebagai dana idle. Dana idle yang besar secara ekonomi kurang baik karena akan melewatkan kesempatan belanja daerah untuk menstimulasi perekonomian daerah. Selain itu, kecilnya penyerapan anggaran dan kebiasaan pemda melakukan penyerapan belanja APBD di akhir tahun anggaran, sudah dipastikan akan mengganggu kinerja dan kualitas pelayanan publik yang seharusnya diberikan oleh pemda kepada masyarakat. Banyak proyek pembangunan infrastruktur di daerah yang belum terlaksana dan akan menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat. Selain itu, kualitas pelayanan publik akan menurun dan masyarakat pun dirugikan. Berdasarkan data dan hasil kajian yang ada, seringkali ditemukan fakta bahwa realisasi belanja daerah pada APBD di akhir tahun seringkali di bawah target atau lebih rendah dibandingkan dengan anggarannya. Hal ini ditengarai rendahnya tingkat penyerapan APBD pada triwulan I dan II yang besarannya masih di bawah realisasi ideal, dan baru mengalami peningkatan persentase penyerapannya menjelang akhir tahun anggaran. Namun demikian di sisi lain, terdapat pula beberapa pemda yang penyerapan belanjanya ideal, dari triwulan ke triwulan peningkatannya wajar dan tidak terserap secara mencolok di triwulan IV. Selain dari sisi penyerapan anggaran, tak kalah penting adalah memastikan sampai sejauh mana eksekusi atas rencana dan anggaran belanja yang dilaksanakan telah menjawab berbagai kebutuhan masyarakat akan infrastruktur publik, terutama untuk porsi belanja langsung. Keberpihakan pemda tersebut dapat dilihat, salah satunya pada komposisi belanja pada APBD-nya, apakah porsi terbesar APBD ada pada belanja langsung atau belanja tidak langsung.
2
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Kualitas belanja daerah dalam APBD selama ini dianggap masih lemah dengan salah satu indikasi belanja tidak langsung selalu lebih besar daripada belanja langsung. Dari berbagai literatur dapat didefinisikan bahwa belanja langsung dianggap sebagai belanja pemerintah daerah yang mempunyai pengaruh penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah dan akan memiliki daya ungkit dalam menggerakkan roda perekonomian daerah. Terkait dengan hal tersebut, kiranya perlu dilakukan analisis tentang spending performance APBD dalam mendanai pelayanan publik, yang diharapkan mampu memberikan gambaran dan solusi mengenai permasalahan penyerapan belanja daerah dalam APBD dan mengidentifikasi penetapan belanja APBD yang kurang proporsional antara belanja langsung dan tidak langsung. Data dan hasil kajian yang telah ada akan dibandingkan antara pemda yang cepat dalam menyerap belanja dengan yang lambat dalam penyerapan belanjanya. Kemudian akan dibandingkan pula antara pemda yang satu dengan yang lain dalam hal proporsi dalam pengalokasian belanja langsung dan belanja tidak langsung. Kedua perbandingan ini akan dilakukan analisis dan pendalaman dengan mengunjungi beberapa daerah sampel. Hasil penelitian dan analisis ini diharapkan dapat memotret baik pemda yang mampu menyerap dengan baik APBD-nya dengan yang tidak, sekaligus pemda yang proporsional maupun yang tidak dalam pengalokasian belanja langsung dan tidak langsung. Potret tersebut kemudian akan diidentifikasi, untuk mengetahui faktor-faktor penyebab dari “keberhasilan” atau “kegagalan” pemerintah daerah sehingga hasilnya akan dapat dijadikan rekomendasi kepada pemda baik yang menjadi sampel penelitian maupun pemda-pemda lain mengenai perbaikan dan peningkatan mengenai penyerapan belanja daerah dalam APBD dan
Bab I | Pendahuluan
3
penetapan belanja APBD yang lebih proporsional antara belanja langsung dan tidak langsung. Di samping itu dari sisi pemerintah pusat, rekomendasi hasil kajian ini juga penting untuk langkah perbaikan secara internal untuk penyempurnaan kebijakan hubungan keuangan pusat dan daerah khususnya yang mempengaruhi belanja di daerah.
2. Tujuan Kajian ini dilakukan dengan tujuan untuk : a. Mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam kaitannya dengan spending performance APBD dalam mendanai pelayanan publik, terutama dilihat dari aspek cepat atau lambatnya waktu yang diperlukan dalam penyerapan belanja daerah. b. Mengidentifikasi penetapan proporsi belanja APBD antara belanja langsung dan tidak langsung. c. Melakukan analisis dan menyusun rekomendasi terhadap spending performance APBD dalam mendanai pelayanan publik. d. Mendukung tugas kerja Kementerian Keuangan, khususnya DJPK dalam menganalisis, memantau, dan mengevaluasi permasalahan yang terkait dengan spending performance APBD dalam mendanai pelayanan publik, sehingga diharapkan dapat memberikan rekomendasi yang komprehensif dan akurat bagi Pemerintah Pusat dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan spending performance APBD.
4
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
3. Ruang Lingkup Dalam kajian ini dilakukan penelitian secara khusus terhadap 10 daerah yang dipilih secara convenience sampling. Adapun rincian daerah sampel adalah sebagai berikut : Tabel 1.1 Daerah Sampel Kajian No
Nama Daerah Sampel
No
Nama Daerah Sampel
1.
Provinsi Riau
6.
Kabupaten Badung
2.
Provinsi Banten
7.
Kota Pontianak
3.
Kabupaten Tanah Laut
8.
Kota Palembang
4.
Kabupaten Jepara
9.
Kota Gorontalo
5.
Kabupaten Lamongan
10.
Kota Makasar
Sumber: Data primer yang diolah (2014)
Data primer kajian ini berasal dari hasil isian kuesioner yang dikirimkan kepada 10 daerah sampel tersebut di atas. Kuesioner yang telah diisi dikumpulkan dengan mekanisme kunjungan ke daerah sampel yang juga disertai pelaksanaan Focus Group Discussion dengan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait. Sedangkan data sekunder yang digunakan dalam kajian ini meliputi : a. Data APBD/APBD Perubahan; b. Data Realisasi APBD; dan c. Data Dana Pemerintah Daerah di Perbankan.
Bab I | Pendahuluan
5
4. Metodologi Kajian Kajian ini menggabungkan alat analisa kuantitatif dengan kualitatif. Analisa kuantitatif dilakukan dengan menggunakan alat statistik dengan cara memetakan daerah sampel menurut tingkat penyerapan belanja (spending performances)-nya. Namun demikian, mengingat keterbatasan data dan dana yang ada maka analisis dalam kajian dalam buku ini dilakukan dengan metode sebagai berikut: 1. Data sekunder pada Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) digunakan sebagai bahan awal untuk melakukan analisis yang menggambarkan tingkat penyerapan belanja daerah. 2. Data sekunder pada SIKD tersebut kemudian dikonfirmasikan kepada daerah sampel kunjungan dan digunakan sebagai alat analisis deskriptif kualitatif untuk menggambarkan pengelolaan keuangan daerah dan penjelasan daerah terhadap kendala permasalahan pelaksanaannya. 3. Untuk analisis kualitatif yang bersumber dari hasil wawancara dijadikan sebagai pelengkap hasil analisis yaitu dengan cara menganalisis persepsi daerah terhadap penyerapan belanja daerah.
6
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
BAB II KERANGKA TEORI
1. Pengertian Spending Performances Spending performances erat kaitannya dengan sistem penganggaran yang berbasis kinerja (performance based budgeting). Penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) merupakan suatu pendekatan sistematis dalam penyusunan anggaran yang mengaitkan pengeluaran yang dilakukan organisasi sektor publik dengan kinerja yang dihasilkannya dengan menggunakan informasi kinerja. Performance budgeting mengalokasikan sumber daya pada program, bukan unit organisasi semata, dan memakai output measurement sebagai indikator kinerja organisasi. Pengkaitan biaya dengan output organisasi merupakan bagian integral dalam berkas atau dokumen anggaran. Menurut Robinson and Last (2009), dikatakan bahwa performancebased budgeting bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengeluaran publik dengan mengaitkan pendanaan organisasi sektor publik dengan hasil yang dicapai dengan penggunaan informasi kinerja secara sistematik. Sedangkan Carter (1994), seperti dikutip Young (2003), menyatakan performance budget menggunakan pernyataan misi, tujuan dan sasaran untuk menjelaskan mengapa uang dikeluarkan. Penetapan misi, tujuan dan sasaran ini merupakan cara untuk mengalokasikan sumber daya untuk mencapai sasaran-sasaran tertentu berdasarkan tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang terukur. Performance budgeting dibedakan dari pendekatan tradisional karena berfokus pada hasil dari pengeluaran yang dilakukan, bukannya jumlah uang yang dikeluarkan.
Bab II | Kerangka Teori
7
Sejalan dengan Robinson dan Last, Young (2003) menyatakan 4 (empat) karakteristik performance-based budgeting, yaitu : 1.
Performance-based budgeting menetapkan tujuan atau sekumpulan tujuan yang akan dikaitkan dengan atau yang digunakan untuk mengalokasikan pengeluaran uang.
2.
Performance-based budgeting menyediakan informasi dan data mengenai kinerja dan hasil yang telah dicapai sehingga memungkinkan dilakukan perbandingan antara kemajuan yang aktual dengan yang direncanakan.
3. Dalam penyusunan anggaran penyesuaian terhadap program dilakukan untuk menutup setiap perbedaan yang terjadi antara target kinerja dan kinerja aktual. 4.
Performance-based budgeting memberi peluang untuk dilakukannya evaluasi kinerja secara regular atau ad hoc yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan.
Lebih lanjut Robinson dan Last (2009) menyatakan penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) hanya dapat berhasil jika setiap satuan kerja yang melakukan pengeluaran anggaran (spending agency) diharuskan untuk: 1. secara eksplisit mendefinisikan outcome yang pelayanannya diberikan kepada masyarakat, dan 2. menyediakan indikator kinerja kunci untuk mengukur efektifitas dan efisiensi pelayanannya untuk menteri keuangan dan pembuat keputusan politik kunci selama proses penyusunan anggaran. Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa pengukuran kinerja sektor publik dilakukan untuk memenuhi tiga maksud. Pertama, pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah. Ukuran kinerja dimaksudkan untuk dapat membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja. Hal ini
8
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas organisasi sektor publik. Kedua, ukuran kinerja sektor publik digunakan untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan. Ketiga, ukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan. Kinerja adalah gambaran pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan /program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi (Bastian, 2006). Adapun jika dihubungkan dengan pengklasifikasian belanja daerah berdasarkan klasifikasi ekonomi, unsur belanja menurut klasifikasi ekonomi yang merupakan kebocoran (leakages) yaitu belanja pegawai dan belanja lainnya lebih besar dibanding unsur belanja yang merupakan injeksi (belanja modal serta barang dan jasa). Hal ini menunjukkan bahwa, pembangunan lebih banyak digerakkan oleh belanja yang bersifat kebocoran atau konsumtif. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui dampak ekonomi dari belanja pemerintah. Dari perspektif ekonomi makro, belanja pegawai dan belanja lainnya disebut kebocoran, sementara belanja modal serta barang dan jasa disebut injeksi. Dengan pembagian demikian, hendak dianalisis lebih lanjut apakah pembangunan lebih banyak digerakkan oleh kebocoran yang bersifat konsumtif ataukah injeksi yang bersifat investasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kegiatan pembangunan lebih banyak digerakkan oleh belanja pemerintah yang bersifat kebocoran (konsumtif). Penyebab utamanya adalah adanya diskresi dari sisi pendapatan pemerintah. Dengan pendapatan yang terbatas, sementara kebutuhan untuk membiayai birokrasi terus meningkat, menjadikan pemerintah lebih memilih mendahulukan belanja bagi birokrasi (kebocoran) dan membatasi belanja untuk kepentingan masyarakat (injeksi).
Bab II | Kerangka Teori
9
2. Proses Pengelolaan Keuangan Daerah Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dalam merencanakan alokasi belanja pada APBD agar lebih mengutamakan keberpihakan untuk kepentingan publik (belanja langsung) daripada kepentingan aparatur (belanja tidak langsung). Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut terlihat hubungan antara tiga cara mengukur efektivitas anggaran pembangunan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut, yaitu : a. Dengan melihat seberapa besar pemerintah menentukan alokasi nilai belanja untuk kepentingan publik ternyata masih rendah efektivitasnya; b. Dengan melihat seberapa besar nilai belanja untuk kepentingan publik tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik dengan optimal juga masih rendah efektivitasnya. Hal ini didasarkan pada rendahnya kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran belanja termasuk belanja modal sebagai bagian dari belanja pembangunan; c. Dengan melihat seberapa besar optimalisasi nilai belanja publik mengakibatkan kegiatan-kegiatan ekonomi ikutan yang bermanfaat bagi masyarakat sehingga menambah kesejahteraan masyarakat juga masih rendah efektivitasnya. Belanja anggaran pembangunan hanya mampu mewujudkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi eksklusif dan belum berkualitas. Pada prinsipnya desentralisasi ditujukan untuk efisiensi sektor publik dalam produksi dan distribusi pelayanan, meningkatkan kualitas pembuatan keputusan dengan menggunakan informasi lokal, meningkatkan akuntabilitas dan meningkatkan kemampuan respon terhadap kebutuhan dan kondisi lokal (Giannoni, 2002). Hal inilah yang mendorong desentralisasi diserahkan dan dilaksanakan pemerintahan 10
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
daerah yakni kabupaten/kota. Dalam rangka melaksanakan pembangunan daerah, setiap tahun APBD ditetapkan oleh Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD. APBD merupakan rencana kegiatan daerah yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. Dalam pengelolaan keuangan daerah terdapat rambu-rambu yang harus dipatuhi daerah sebagaimana tercantum dalam asas-asas umum pelaksanaan APBD, diantaranya yaitu: a. Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan daerah dikelola dalam APBD. b. Setiap SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima pendapatan daerah wajib melaksanakan pemungutan dan/atau penerimaan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. c. Penerimaan SKPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundangundangan. d. Penerimaan SKPD berupa uang atau cek harus disetor ke rekening kas umum daerah paling lama 1 (satu) hari kerja. e. Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan baths tertinggi untuk setiap pengeluaran belanja. f.
Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja jika untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD.
g. Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan jika dalam keadaan darurat, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran. h. Kriteria keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bab II | Kerangka Teori
11
i.
Setiap SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD.
j. Pengeluaran belanja daerah menggunakan prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efisien dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam pengelolaan keuangan daerah di Indonesia terdapat dokumen-dokumen yang
Dalam pengelolaan keuangan daerah di Indonesia terdapat dokumendigunakan atau dihasilkan dalam proses penyusunan anggaran pemerintah daerah. yang dokumen yang digunakan atau dihasilkan dalam proses penyusunan dapat digambarkan sebagai berikut. anggaran pemerintah daerah. yang dapat digambarkan sebagai berikut. Gambar 2.1 Proses PenyusunanGambar Anggaran2.1 Pemerintah Daerah
Proses Penyusunan Anggaran Pemerintah Daerah
Pengelolaan Keuangan Daerah Perencanaan
Pelaksanaan
Penatausahaan Penatausahaan Pendapatan
Rancangan DPA-SKPD
RPJMD
RKPD Verifikasi KUA
PPAS DPA-SKPD
Nota Kesepakatan
Pedoman Penyusunan RKA-SKPD
Pelaksanaan APBD • Pendapatan • Belanja • Pembiayaan
RKA-SKPD
RAPBD
APBD
Laporan Realisasi Semester Pertama
Perubahan APBD
Akuntansi Keuangan Daerah
Bendahara Penerimaan
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Penatausahaan Belanja
• Laporan Realisasi Anggaran • Neraca • Laporan Arus Kas • Catatan atas Laporan Keuangan
Bendahara Pengeluaran
Dasar Pelaksanaan Anggaran
Pertgjwban
Kekayaan dan Kewajiban daerah Kas Umum Piutang Investasi Barang Dana Cadangan Utang
Laporan Keuangan diaudit oleh BPK
Akuntansi Keuangan Daerah
Pertanggungjawaban
• • • • • •
Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD
Pengawasan Pembinaan: • Pemberian Pedoman • Bimbingan • Supervisi • Konsultasi • Pendidikan • Pelatihan • Penelitian dan Pengembangan
Pengawasan terhadap pelaksanaan Perda tentang APBD
Pengendalian Intern
Pemeriksaan Ekstern
Sumber : Mardiasmo (2005:5)
Sumber : Mardiasmo (2005:5) Untuk pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota), dokumen-dokumen tersebut
meliputi Rencana Pembangunan Jangkan Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja
Untuk pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota), dokumendokumen tersebut meliputi Rencana Pembangunan Jangkan Menengah Anggaran Sementara (PPAS). Sedangkan, pada tingkat satuan kerja pemerintah daerah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan (SKPD), dokumen-dokumen tersebut meliputi Rencana Stratejik (Renstra) SKPD, Rencana Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara Kerja (Renja) SKPD dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD. Untuk dapat (PPAS). Sedangkan, pada tingkat satuan kerja pemerintah daerah (SKPD), Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon
dikatakan telah menerapkan penganggaran berbasis kinerja tidak hanya dibuktikan dengan
keberadaan dokumen-dokumen tersebut, melainkan juga dengan adanya keselarasan substansi antarPelaksanaan dokumen-dokumen tersebut yang dapat dilihat dari ada tidaknyaPublik indikator Laporan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan 12 kinerja yang selaras dalam dokumen-dokumen tersebut. Pada SKPD, indikator-indikator kinerja yang dimuat dalam Renja SKPD haruslah mendukung pencapaian indikator kinerja
dokumen-dokumen tersebut meliputi Rencana Stratejik (Renstra) SKPD, Rencana Kerja (Renja) SKPD dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD. Untuk dapat dikatakan telah menerapkan penganggaran berbasis kinerja tidak hanya dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen tersebut, melainkan juga dengan adanya keselarasan substansi antar dokumen-dokumen tersebut yang dapat dilihat dari ada tidaknya indikator kinerja yang selaras dalam dokumen-dokumen tersebut. Pada SKPD, indikator-indikator kinerja yang dimuat dalam Renja SKPD haruslah mendukung pencapaian indikator kinerja yang termuat dalam Renstra SKPD. Dan selanjutnya, indikator kinerja Renja SKPD harus didukung oleh indikator-indikator kinerja yang dimuat dalam RKA SKPD. Adanya keselarasan indikator kinerja ini secara logis akan dapat mengaitkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai yang dicantumkan dalam dokumen perencanaan strategis (Renstra SKPD) dengan kegiatan-kegiatan operasional yang dilaksanakan SKPD. Di samping persyaratan adanya indikator kinerja dan proses penyusunan anggaran yang memfasilitasi penggunaan indikator kinerja, persyaratan lainnya dalam penerapan penganggaran berbasis kinerja yang dikemukakan Robinson dan Last (2009) adalah klasifikasi pengeluaran berdasarkan program (program budget) dan fleksibilitas yang lebih besar bagi manajer atau pejabat pelaksana anggaran. Program budget mengklasifikasikan pengeluaran anggaran berdasarkan jenis pelayanan dan tujuan, bukan berdasarkan jenis input (gaji, bahan, perjalanan dinas dan sebagainya) sebagaimana pada traditional line-item budgeting. Robinson dan Last (2009) menyatakan pada program budget proses penyusunan anggaran harus berdasarkan pada program (program based) yaitu satuan kerja harus mengajukan dan menyajikan anggarannya dalam bentuk program dengan didukung biaya dan informasi kinerja. Senada dengan Robinson dan Last, Shah dan Shen (2007) menyatakan bahwa bertentangan dengan line-item budgeting, performance budgeting
Bab II | Kerangka Teori
13
menerapkan alokasi lumpsum untuk program-program bukan klasifikasi line item secara rinci (detailed line item classification). Terkait dengan ini, Rubin (2007) mengemukakan bahwa output model budgeting mengasumsikan bahwa manajer atau pelaksana anggaran akan menggunakan sumber daya yang mereka akan diminta bertanggung jawab bukan atas pelaksanaan anggaran sesuai dengan item-item pengeluaran yang dilakukan, melainkan atas kuantitas dan kualitas hasil yang dijanjikan dari paket sumber daya yang dialokasikan bagi mereka dalam anggaran. Pelaksanaan anggaran membutuhkan adanya fleksibilitas input dimana pejabat pelaksana anggaran harus diberi fleksibilitas yang lebih besar untuk memilih belanjabelanja yang dilakukannya untuk menghasilkan pelayanan dengan cara yang paling efisien. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi sejumlah batasan yang harus diikuti pada pengeluaran anggaran berdasarkan klasifikasi ekonomi (line item) pada traditional budgeting. Dibandingkan dengan traditional line-item budgeting, performance budgeting membenarkan untuk melakukan penggunaan sumber daya fiskal secara lebih fleksibel dan meningkatkan akuntabilitas terhadap hasil. Shah dan Shen (2007) menyatakan performance budgeting meningkatkan fleksibilitas manajerial dengan memberi manajer departemen atau program alokasi lumpsum tetap (fixed lumpsum allocation) yang bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan untuk mencapai hasil yang sudah disetujui dalam pemberian pelayanan. Manajer publik menikmati peningkatan diskresi manajerial tapi diwajibkan bertanggung jawab atas apa yang mereka capai dalam kinerja pemberian pelayanan. Namun, kedua persyaratan ini belum diakomodir oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia, terutama untuk penyusunan anggaran pemerintah daerah. Struktur anggaran yang digunakan dalam penyusunan APBD masih menggunakan 12 struktur line-item budgeting di mana anggaran disusun menurut klasifikasi belanja sampai dengan rincian objek belanja. Hal ini berimplikasi pada control yang ketat terhadap input yang
14
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
mengakibatkan kurangnya fleksibilitas bagi manajer (pengguna anggaran) dalam menggunakan anggarannya. Dengan demikian, ketentuan mengenai pengeluran anggaran yang diatur dalam peraturan perundangan yang ada belum mendukung fleksibilitas pengeluaran anggaran oleh pengguna anggaran sebagai pejabat yang mempunyai otoritas dalam melaksanakan pengeluaran anggaran. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah mengatur azas umum dalam pengelolaan keuangan daerah yang tertuang pada pasal (4) sebagai berikut: (1) Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. (2) Secara tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bahwa keuangan daerah dikelola secara tepat waktu dan tepat guna yang didukung dengan bukti¬bukti administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan. (3) Taat pada peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bahwa pengelolaan keuangan daerah harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan. (4) Efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil. (5) Efisien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu. (6) Ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang terendah.
Bab II | Kerangka Teori
15
(7) Transparan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah. (8) Bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perwujudan kewajiban seseorang untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. (9) Keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang obyektif. (10) Kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional. (11) Manfaat untuk masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bahwa keuangan daerah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Anggaran kas telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal (125) dan pasal (126) sebagai berikut : Pasal 125 (1) Kepala SKPD berdasarkan rancangan rancangan anggaran kas SKPD. 16
DPA-SKPD
menyusun
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
(2) Rancangan anggaran kas SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada PPKD selaku BUD bersamaan dengan rancangan DPA-SKPD. (3) Pembahasan rancangan anggaran kas SKPD dilaksanakan bersamaan dengan pembahasan DPA-SKPD. Pasal 126 (1) PPKD selaku BUD menyusun anggaran kas pemerintah daerah guna mengatur ketersediaan dana yang cukup untuk mendanai pengeluaran-pengeluaran sesuai dengan rencana penarikan dana yang tercantum dalam DPA-SKPD yang telah disahkan. (2) Anggaran kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar yang digunakan guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. (3) Mekanisme pengelolaan anggaran kas pemerintah daerah ditetapkan dalam peraturan kepala daerah.
3. Pengertian Belanja Daerah Seluruh pendapatan daerah yang diperoleh baik dari daerahnya sendiri maupun transfer dan bantuan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan sebagainya akan digunakan untuk membiayai seluruh pengeluaran daerah itu baik melalui pos belanja daerah maupun pengeluaran pembiayaan. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode anggaran yang bersangkutan. Definisi dari belanja daerah menurut PP Nomor 58 Tahun 2005 pasal 20 adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah Bab II | Kerangka Teori
17
dalam satu tahun. Definisi lainnya mengenai belanja seperti yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Kedua definisi tersebut menjelaskan bahwa transaksi belanja akan menurunkan ekuitas dana pemerintah daerah. Belanja daerah sebagaimana dimaksud PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 26 ayat (1) menyebutkan bahwa Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Belanja penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat diwujudkan melalui prestasi kerja dalam pencapaian standar pelayanan minimal berdasarkan urusan wajib pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut Halim (2003 : 145), belanja daerah adalah “pengeluaran yang dilakukan oleh Pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah di atasnya”. Menurut Halim dan Nasir (2006 : 44), belanja daerah adalah “semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurangan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan”. Dari semua definisi tersebut, terdapat dua hal utama yang patut untuk dilihat, yaitu bahwa belanja daerah adalah suatu bentuk kompensasi finansial yang mengurangi nilai kekayaan bersih suatu daerah dan yang kedua bahwa belanja daerah dilakukan berdasarkan kewenangan yang dimiliki sebagai bentuk tanggung jawab pelaksanaan pelayanan publik.
18
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Untuk itulah, selain dari sisi ekonomi publik, maka belanja daerah harus digunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundangundangan. Terkait dengan bagaimana daerah melakukan pengeluaran APBD, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, mengatur beberapa hal yaitu : Pasal 105A (1) Dalam hal penetapan APBD mengalami keterlambatan kepala daerah melaksanakan pengeluaran setiap bulan setinggi-tingginya sebesar seperduabelas APBD tahun anggaran sebelumnya. (2)
Pengeluaran setinggi-tingginya untuk keperluan setiap bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibatasi hanya untuk belanja yang bersifat tetap seperti belanja pegawai, layanan jasa dan keperluan kantor sehari-hari. Pasal 107A
Kepala daerah dapat melaksanakan pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) setelah peraturan kepala daerah tentang APBD tahun berkenaan ditetapkan. Pasal 109 Pelampauan dari pengeluaran setinggi-tingginya sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 106 ayat (1) dapat dilakukan apabila ada kebijakan pemerintah untuk kenaikan gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah yang ditetapkan dalam undangundang, kewajiban pembayaran pokok pinjaman dan bunga pinjaman
Bab II | Kerangka Teori
19
yang telah jatuh tempo serta pengeluaran yang mendesak diluar kendali pemerintah daerah.
4. Klasifikasi Belanja Daerah Berdasarkan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi belanja daerah menurut jenis belanja terdiri dari: 1. Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan perundangundangan yang diberikan kepada DPRD, dan pegawai pemerintah daerah baik yang bertugas di dalam maupun di luar daerah sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Contoh: gaji dan tunjangan, honorarium, lembur, kontribusi sosial, dan lain-lain sejenis. 2. Belanja barang dan jasa adalah digunakan untuk pembelian barang dan jasa yang habis pakai guna memproduksi barang dan jasa. Contoh: pembelian barang dan jasa keperluan kantor, jasa pemeliharaan, ongkos perjalanan dinas. 3. Belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/ pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, buku perpustakaan, dan hewan. 4. Belanja lain-lain (bunga; subsidi; hibah; bantuan sosial; belanja bagi hasil dan bantuan keuangan; dan belanja tidak terduga). Klasifikasi belanja menurut jenis belanja tersebut juga dikenal dengan belanja berdasarkan klasifikasi ekonomi. Klasifikasi ekonomi membagi 20
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
belanja dalam 4 (empat) kelas, yaitu belanja pegawai, belanja modal, belanja barang dan jasa serta belanja lain-lain. Dari kacamata definisi lain, belanja daerah menurut kelompok belanja berdasarkan Permendagri 13/2006 terdiri atas belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Kelompok belanja langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal. Menurut Halim (2004 : 18), belanja daerah digolongkan menjadi 4 (empat) yakni belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, dan belanja tak tersangka. Belanja aparatur daerah diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/ pembangunan. Belanja pelayanan publik dikelompokkan menjadi 3 yakni belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal. Dalam rangka memudahkan penilaian kewajaran biaya suatu program atau kegiatan, belanja menurut kelompok belanja terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Menurut Halim (2009) belanja tidak langsung merupakan belanja yang tidak memiliki keterkaitan secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan,terdiri dari belanja pegawai, belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Sedangkan belanja langsung merupakan belanja yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan
Bab II | Kerangka Teori
21
program dan kegiatan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja modal. Belanja pegawai dan belanja lain-lain bersifat konsumtif, sementara belanja modal serta belanja barang dan jasa bersifat investasi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Karena itu penggunaan klasifikasi ekonomi untuk menganalisis belanja dimaksudkan untuk mengetahui sampai sejauh mana belanja pemerintah untuk kepentingan pembangunan lebih didominasi belanja yang bersifat konsumsi atau investasi. Pergeseran dari belanja yang bersifat konsumsi ke belanja yang bersifat investasi merupakan indikasi yang baik, karena semakin besar belanja yang bersifat investasi untuk layanan publik memberi dampak yang baik pada pembentukan modal sosial. Semakin besar modal sosial, aksesibilitas masyarakat terhadap sumber-sumber kemajuan semakin besar pula. Berdasarkan perspektif ekonomi makro, belanja konsumsi bersifat kebocoran dan belanja investasi bersifat injeksi. Perekonomian akan mencapai full capacity bila kebocoran (konsumsi) sama dengan injeksi (investasi). Dalam perspektif inilah klasifikasi ekonomi digunakan untuk menganalisis belanja daerah, khususnya belanja modal.
22
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
BAB III TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISIS PERMASALAHAN PELAKSANAAN SPENDING PERFORMANCE DALAM MENDANAI PELAYANAN PUBLIK
Salah satu pilar penting dalam penyelenggaraan kebijakan otonomi daerah adalah desentralisasi fiskal yang dilaksanakan melalui kebijakan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Pendanaan pembangunan melalui transfer ke daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pendanaan pembangunan secara nasional. Pengelolaan pendanaan transfer ke daerah senantiasa didorong untuk memenuhi pelaksanaan tata kelola keuangan yang baik, memiliki kinerja terukur dan memiliki akuntabilitas terhadap masyarakat. Hasil akhir yang diharapkan adalah adanya peningkatan pelayanan publik. Hal ini sejalan dengan tujuan dilaksanakannya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang diharapkan dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan perekonomian di daerah, yang ditandai dengan peningkatan pelayanan publik, baik secara kuantitas maupun kualitas yaitu sebuah pelayanan publik yang mampu memenuhi dua hal pokok yaitu pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada publik dan pelayanan yang memenuhi standar pelayanan minimum (minimum local public service delivery standards). Dengan demikian, peningkatan pelayanan publik dapat mendorong pembangunan ekonomi yang pada akhirnya kesejahteraan masyarakat (social welfare) akan menjadi lebih baik.
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
23
Pengelolaan keuangan daerah yang bertumpu pada kepentingan publik (public oriented) tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/ pengendalian keuangan daerah. Buruknya pengelolaan keuangan akan berimbas pada rendahnya kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang disediakan. Jika pelayanan publik belum optimal, maka kesejahteraan rakyat akan sulit terwujud. Misal, jika Pemerintah Pusat gagal menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau, hak rakyat untuk hidup sehat dan terjangkau akan sulit diperoleh, yang berakibat pada kesejahteraan rakyat akan sulit dicapai. Sejak diimplementasikannya otonomi daerah tahun 2001, anggaran transfer ke daerah senantiasa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Namun demikian, belum ada jaminan bahwa apakah anggaran transfer ke daerah yang besar itu sudah mencerminkan semakin baiknya pelayanan publik di daerah atau malah sebaliknya? Apakah pengelolaan keuangan daerah sudah dijalankan dengan baik? Hal tersebut tentu saja menjadi pendorong bagi kita untuk bekerja lebih keras lagi guna menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih, karena berangkat dari kesadaran bahwa pelayanan publik yang baik hanya dapat dicapai dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), dapat diartikan pula bahwa setiap rupiah dana yang dialokasikan harus dapat dikaitkan dengan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Setiap peningkatan besaran dana yang ditransfer ke daerah harus bisa dirasakan oleh masyarakat seperti tersedianya infrastruktur dan program-program kesejahteraan rakyat. Selanjutnya, kebijakan desentralisasi fiskal tetap konsisten mencermati sisi belanja di daerah. Pemerintah Pusat sangat serius mendorong efektivitas dan efisiensi belanja daerah melalui mekanisme pengendalian belanja daerah. Mekanisme seperti penetapan sanksi keterlambatan
24
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
penyampaian APBD, penetapan indikator layanan publik dasar dalam pengalokasian DAK, dan pengendalian defisit secara nasional diharapkan dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan publik dasar. Namun demikian, kualitas belanja daerah dan APBD selama ini dianggap masih lemah dengan salah satu indikasi belanja tidak langsung selalu lebih besar dari belanja langsung dan penyerapan belanja daerah yang relatif rendah. Hal ini juga bisa dilihat dari tingkat penyerapan belanja daerah yang relatif rendah terutama untuk belanja modal serta belanja barang dan jasa yang terkait dengan public service delivery. Tata kelola keuangan daerah yang baik bersumber dari kualitas APBD yang mencerminkan kehendak rakyat untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas, transparan, dan akuntabel. Namun, hal tersebut belum tergambar dari postur APBD yang ideal. Struktur belanja daerah masih didominasi oleh belanja pegawai, minimnya belanja infrastruktur, dan tingginya penggunaan sisa lebih perhitungan (SiLPA) anggaran daerah dari tahun sebelumnya. Jumlah belanja pegawai lebih besar dibanding belanja modal serta barang dan jasa dan jumlahnya semakin membesar. Belanja pegawai ditambah belanja lainnya, yang berarti jumlahnya semakin besar, adalah belanja yang bersifat konsumtif. Pada sisi lain, belanja modal serta belanja barang dan jasa bersifat investasi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan demikian, berdasarkan klasifikasi ekonomi tersebut, pendekatan yang dipilih pemerintah untuk menggerakkan pembangunan adalah pendekatan dari sisi konsumsi, bukan produksi. Pendekatan sisi konsumsi memang akan menghasilkan pertumbuhan, tetapi pertumbuhannya bersifat jangka pendek dan labil. Dampak negatifnya adalah masyarakat yang sesungguhnya merupakan kekuatan akan menjadi tergantung dan tidak berdaya. Dalam jangka panjang kondisi seperti sangat tidak menguntungkan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak akan berlangsung dengan cepat dan berkesinambungan.
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
25
Efektivitas anggaran pembangunan mengukur keberhasilan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran pembangunan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Ada beberapa cara untuk mengukur keberhasilan tersebut, yaitu dengan melihat seberapa besar pemerintah menentukan alokasi nilai belanja untuk kepentingan publik, seberapa besar nilai belanja untuk kepentingan publik tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik dengan optimal, dan seberapa besar optimalisasi nilai belanja publik mengakibatkan kegiatan-kegiatan ekonomi ikutan yang bermanfaat bagi masyarakat sehingga menambah kesejahteraan masyarakat. Dalam mengalokasikan komponen Belanja Langsung yang berupa Belanja Modal harus memperhatikan beberapa hal, yaitu mengarahkan Belanja Modal untuk pembangunan infrastruktur yang menunjang investasi di daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah, melakukan evaluasi dan pengkajian terhadap barang-barang inventaris yang tersedia baik dari sisi kondisi maupun umur ekonomisnya sehingga pengadaan barang inventaris dapat dilakukan secara selektif sesuai kebutuhan masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah. Kemudian menyusun Belanja Modal sebesar harga beli/bangun aset tetap ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset tetap tersebut sampai siap digunakan. Anggaran belanja daerah akan mempunyai peran riil dalam peningkatan kualitas layanan publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi perekonomian daerah apabila dapat terealisasi dengan baik. Seluruh pendapatan daerah yang diperoleh baik dari daerahnya sendiri maupun transfer dan bantuan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan sebagainya akan digunakan untuk membiayai seluruh pengeluaran daerah itu baik melalui pos belanja daerah maupun pengeluaran pembiayaan. Untuk itu, pemerintah terus mendorong agar proses penetapan Peraturan Daerah (Perda) APBD dapat dilakukan secara tepat waktu guna mempercepat realisasi belanja daerah. Keterlambatan realisasi belanja daerah dapat
26
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
berdampak pada penumpukan dana daerah yang belum terpakai. Pemerintah daerah harus mampu menciptakan belanja daerah yang berkualitas dengan berupaya secara konsisten mengarahkan sumber daya yang terbatas agar dapat digunakan secara terukur, efektif dan efisien untuk mencapai target yang ditetapkan. daerah dapat berdampak pada penumpukan dana daerah yang belum terpakai. Pemerintah daerah harus mampu menciptakan belanja daerah yang berkualitas dengan berupaya secara
A. Pelaksanaan Spending Performances Pada Daerah efektif dan efisien untuk mencapai Sampel target yang ditetapkan.
konsisten mengarahkan sumber daya yang terbatas agar dapat digunakan secara terukur,
A. 1. Provinsi Pelaksanaan Spending Performances Pada Daerah Sampel Riau 1.
Provinsi Riau
Pada tahun 2013, APBD Provinsi Riau pada saat ditetapkan adalah PadaRp8,432 tahun 2013, APBD Pada Provinsisaat Riau pengesahan pada saat ditetapkan sebesar sebesar triliun. APBDadalah Perubahan, Rp8,432 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya meningkat jumlahnya meningkat menjadi Rp8,915 triliun. Hal ini dapat dilihat pada menjadi Rp8,915 triliun. Grafik 3.1 di bawah ini.Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.1 di bawah ini. Grafik3.1 3.1 Grafik Volume APBD dan APBD-Perubahan Volume APBD dan APBD-Perubahan Provinsi Riau Tahun 2013 Provinsi Riau Tahun 2013 (dalam (dalammiliar miliar rupiah) rupiah)
Sumber : Pemda Provinsi Riau dan Kementerian Keuangan (data diolah) Sumber : Pemda Provinsi Riau dan Kementerian Keuangan (data diolah) Dari data dimaksud, terdapat hal yang menarik, yaitu terjadinya pengurangan jumlah anggaran pada belanja modal pada saat APBD Perubahan disahkan, yaitu sekitar Rp90,06 miliar jika dibandingkan dengan pagu belanja modal pada APBD induk pada saat ditetapkan. Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
27
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Provinsi Riau Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja lainnya yaitu sebesar 33,57%, dimana
Dari data dimaksud, terdapat hal yang menarik, yaitu terjadinya pengurangan jumlah anggaran pada belanja modal pada saat APBD Perubahan disahkan, yaitu sekitar Rp90,06 miliar jika dibandingkan dengan pagu belanja modal pada APBD induk pada saat ditetapkan. Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Provinsi Riau Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja lainnya yaitu sebesar 33,57%, dimana belanja hibah mendapatkan alokasi terbesar yaitu sebesar Rp1,541 triliun, kemudian belanja bagi hasil pendapatan sebesar Rp989,32 miliar, serta bantuan keuangan yaitu sebesar Rp420,23 miliar. Belanja modal dianggarkan sebesar 29,14 % dari total APBD dan belanja barang dan jasa hanya sebesar 22,29% dari total APBD. Sementara itu, untuk belanja pegawai tidak langsung dianggarkan dalam APBD hanya sebesar 11,09% dari total APBD untuk membayar gaji PNSD dan belanja pegawai langsung hanya sebesar 3,91%. Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Riau telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan. Namun demikian, dalam penyerapan belanja daerah, Provinsi Riau termasuk lambat dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan anggaran masih rendah yaitu sebesar 5,15%, masih jauh di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%. Pada akhir Triwulan II, realisasi penyerapan belanja hanya sebesar 17,64%, kemudian pada Triwulan III sebesar 38,16%. Yang menarik adalah penyerapan belanja pada Triwulan IV yang mencapai 84,41%, dimana hanya dalam waktu 3 (tiga)
28
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
bulan, realisasi penyerapan belanjanya sekitar 46,25% jika dibandingkan dengan realisasi pada akhir Triwulan III. Dengan kata lain, pada kurun waktu Oktober s.d. Desember 2013, Provinsi Riau mampu menyerap belanja daerah sebesar Rp4,231 triliun. Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis belanja dapat dilihat pada Grafik 3.2. Tabel 3.1 Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Provinsi Riau (dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I Rupiah
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
%
Rupiah
%
Rupiah
%
Rupiah
%
Belanja
459,20
5,15
1.572,38
17,64
3.402,12
38,16
7.525,28
84,41
Belanja Pegawai Tidak Langsung
145,86
14,75
366,51
37,05
599,44
60,60
877,50
88,72
Belanja Pegawai Langsung
34,71
9,97
83,43
23,96
183,80
52,79
319,82
91,85
Belanja Barang dan Jasa
51,84
2,61
329,80
16,59
716,07
36,03
1.667,28
83,89
Belanja modal
0,05
0,002
407,07
15,67
868,45
33,43
2.245,31
86,43
226,75
7,58
385,57
12,88
1.034,36
34,56
2.415,37
80,71
Belanja Lainnya
Sumber : Pemda Provinsi Riau dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Berdasarkan tabel 3.1 di atas, dapat diketahui bahwa realisasi penyerapan belanja modal, belanja barang dan jasa, serta belanja lainnya memiliki tingkat kemiringan yang sangat curam. Artinya adalah untuk ketiga jenis belanja tersebut, realisasi penyerapan anggarannya relatif rendah sampai dengan akhir Triwulan III, kemudian mulai meningkat dengan sangat drastis sampai dengan Triwulan IV. Untuk jenis belanja pegawai langsung dan
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
29
belanja pegawai tidak langsung memiliki grafik dengan tingkat kemiringan yang relatif landai karena pembayaran gaji PNSD, honor, dan lembur dapat ditetapkan besaran dan waktu pembayarannya sesuai dengan target pada rencana penarikan dana setiap bulan. Realisasi belanja pegawai langsung mencapai 9,97% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 23,96% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 52,79%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai langsung mencapai 91,85%. Sedangkan realisasi belanja pegawai tidak langsung mencapai 14,75% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 37,05% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 60,60%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai 88,72%. Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 2,61% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 16,59% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 36,03%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan jasa mencapai 83,89%. Realisasi belanja modal mencapai 0,002% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 15,67% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 33,45%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai 86,43%. Realisasi belanja lainnya mencapai 7,58% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 12,88% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 34,56%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya mencapai 80,71%.
30
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Beberapa upaya telah dilakukan oleh Provinsi Riau untuk mempercepat penyerapan belanjanya, diantaranya adalah dengan melaksanakan rapat evaluasi dan monitoring penyerapan anggaran secara berkala serta pembentukan TEPPA di daerah. Monitoring dan evaluasi berkala dilakukan untuk memantau pelaksanaan penyerapan belanja pada masingmasing SKPD, yaitu meliputi progres pelaksanaannya, kendala apa yang dihadapi dan solusi apa yang telah dilakukan untuk mempercepat penyerapan belanja yang menjadi tanggung jawab SKPD. Selain itu, Pemerintah Provinsi Riau juga telah membentuk Tim Koordinasi yang bertugas mengkoordinasikan pengelolaan anggaran antar unit SKPD baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan anggaran maupun pembuatan laporan dan pertanggungjawaban anggaran. Melalui Tim Koordinasi, daerah mampu memetakan berbagai permasalahan dan mencari solusi pemecahannya sehingga kendala yang ada terutama yang terkait dengan penyerapan belanja daerah dapat diminimalisir. Tim ini juga melakukan evaluasi dan monitoring secara berkala terhadap penyerapan anggaran pada masing-masing SKPD sesuai target yang telah ditetapkan.
2. Provinsi Banten APBD Provinsi Banten tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar Rp6,052 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya meningkat menjadi Rp6,406 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.3 di bawah ini.
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
31
Rp6,406 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.3 di bawah ini.
Grafik 3.2 Volume APBDGrafik dan APBD-Perubahan 3.2 Provinsi Banten Tahun 2013 Volume APBD dan APBD-Perubahan Provinsi Banten Tahun 2013 (dalam miliar rupiah)
(dalam miliar rupiah)
Sumber : Pemda Provinsi Banten dan Kementerian Keuangan (data diolah) Sumber : Pemda Provinsi Banten dan Kementerian Keuangan (data diolah) Dari data di atas, terdapat hal yang menarik yaitu pada saat belanja pegawai
Dari data di pegawai atas, terdapat hal yang yaitu padabelanja saat lainnya belanja langsung, belanja tidak langsung, belanjamenarik barang dan jasa serta pegawai langsung, belanjapada pegawai langsung, barang dan terjadi peningkatan anggaran APBD tidak Perubahan, namun belanja untuk belanja modal jasa belanja lainnya peningkatan anggaran pada APBD justru serta terjadi pengurangan jumlah terjadi anggarannya pada saat APBD Perubahan disahkan, Perubahan, namun untuk belanja modal terjadi pengurangan yaitu sekitar Rp80,10 miliar jika dibandingkan dengan justru pagu belanja modal pada APBD jumlah anggarannya pada saat APBD Perubahan disahkan, yaitu sekitar induk pada saat ditetapkan. Untuk belanja lainnya bahkan mengalami peningkatan Rp80,10 miliar yang cukup besar jika yaitudibandingkan sebesar Rp308,87dengan miliar. pagu belanja modal pada APBD induk pada saat ditetapkan. Untuk belanja lainnya bahkan mengalami Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Provinsi peningkatan yang cukup besar yaitu sebesar Rp308,87 miliar. Banten Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja lainnya yaitu sebesar 48,29%
dimana belanja hibah mendapatkan alokasijenis terbesar yaitu dalam sebesar Rp1,465 Adapun proporsi masing-masing belanja struktur triliun, APBD kemudianBanten belanja Tahun bagi hasil triliun serta bantuan Provinsi 2013 pendapatan yang palingsebesar tinggi Rp1,343 adalah belanja lainnya yaitu keuangan 48,29% yaitu sebesar Rp193,750 miliar. Belanja modal dianggarkan 23,73% sebesar dimana belanja hibah mendapatkan alokasisebesar terbesar yaitu sebesar hasil pendapatan dari total Rp1,465 APBD dantriliun, belanjakemudian barang dan belanja jasa hanyabagi sebesar 17,42% dari total sebesar APBD. Rp1,343 keuangan yaitu sebesardalam Rp193,750 miliar. Sedangkantriliun untuk serta belanjabantuan pegawai tidak langsung dianggarkan APBD hanya 26 | belanja Page Belanja modal dianggarkan sebesar 23,73% dari total APBD dan barang dan jasa hanya sebesar 17,42% dari total APBD. Sedangkan untuk
32
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
belanja pegawai tidak langsung dianggarkan dalam APBD hanya sebesar 7,39% dari total APBD untuk membayar gaji PNSD dan belanja pegawai langsung hanya sebesar 3,17%. Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Banten telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan. Namun demikian, dalam penyerapan belanja daerah, Provinsi Banten termasuk lambat dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan anggaran masih rendah yaitu sebesar 7,33%, masih jauh di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%. Pada akhir Triwulan II, realisasi penyerapan belanja hanya sebesar 25,24%, kemudian pada Triwulan III sebesar 45,81%. Yang menarik adalah penyerapan belanja pada Triwulan IV yang mencapai 82,64%, dimana hanya dalam waktu 3 (tiga) bulan, realisasi penyerapan belanjanya sekitar 36,84% jika dibandingkan dengan realisasi pada akhir Triwulan III. Dengan kata lain, pada kurun waktu Oktober s.d. Desember 2013, Provinsi Banten mampu menyerap belanja daerah sebesar Rp2,360 triliun. Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis belanja dapat dilihat pada Grafik 3.2.
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
33
Tabel 3.2 Realisasi Belanja Tahun 2013 Provinsi Banten (dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja Belanja Belanja Pegawai Tidak Langsung
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Rupiah
%
Rupiah
469,33
7,33
1.617,05
90,98 19,22
%
Realisasi Triwulan III Rupiah
Realisasi Triwulan IV
%
Rupiah
%
25,24 2.934,86
45,81
5.294,92
82,64
192,78
40,74
318,27
67,25
423,14
89,41
Belanja Pegawai Langsung
4,77
2,35
48,73
24,00
91,46
45,04
181,86
89,55
Belanja Barang dan Jasa
21,53
1,93
213,61
19,14
460,93
41,29
983,73
88,13
Belanja modal
0,91
0,06
131,25
8,63
348,66
22,93
813,26
53,49
351,14 11,35
1.030,67
33,31 1.715,55
55,45
2.892,93
93,50
Belanja Lainnya
Sumber : Pemda Provinsi Banten dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Realisasi belanja pegawai langsung mencapai 2,35% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 24,00% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 45,04%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai langsung mencapai 89,55%. Sedangkan realisasi belanja pegawai tidak langsung mencapai 19,22% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 40,74% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 67,25%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai 89,41%. Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 1,93% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 19,14% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
34
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
mencapai 41,29%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan jasa mencapai 88,13%. Realisasi belanja modal mencapai 0,06% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 8,63% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 22,93%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai 53,49%. Realisasi belanja lainnya mencapai 11,35% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 33,31% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 55,45%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya mencapai 93,50%. Terdapat hal yang menarik, yaitu penyerapan belanja modal sampai dengan akhir tahun 2013 hanya mencapai 55,45% padahal belanja modal merupakan belanja pemerintah daerah yang mempunyai pengaruh penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah dan akan memiliki daya ungkit dalam menggerakkan roda perekomian daerah. Sementara itu, untuk belanja lainnya yang realisasi penyerapannya mencapai 93,5%, diantaranya untuk belanja hibah (realisasinya sebesar 90,9% dari pagu Rp1,465 triliun), belanja bantuan sosial (realisasinya 41,6% dari pagu Rp86,94 miliar), belanja bagi hasil kepada pemerintah Kabupaten/ Kota (realisasinya sebesar 99,3 dari pagu Rp1,34 triliun) dan belanja bantuan keuangan kepada pemerintah Kabupaten/Kota/Pemerintah Desa (realisasinya sebesar 98,5% dari pagu Rp193,75 miliar). Beberapa upaya telah dilakukan oleh Provinsi Banten untuk mempercepat penyerapan belanjanya, diantaranya adalah dengan menerbitkan Surat Keputusan Sekretaris Daerah No.903/2044.adm. pem/2012 tentang Penetapan Pejabat Penghubung TEPPA Provinsi Banten. Di samping itu, Pemerintah Provinsi Banten juga telah membentuk Tim Koordinasi yang bertugas melakukan koordinasi secara intens dengan Kabupaten/Kota terkait TEPPA, melakukan bimbingan teknis sengan SKPD Provinsi, dan rapat koordinasi dengan Kabupaten/Kota. Dalam rangka
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
35
Sekretaris Daerah No.903/2044.adm.pem/2012 tentang Penetapan Pejabat Penghubung TEPPA Provinsi Banten. Di samping itu, Pemerintah Provinsi Banten juga telah membentuk Tim Koordinasi yang bertugas melakukan koordinasi secara intens dengan Kabupaten/Kota terkait TEPPA, melakukan bimbingan teknis sengan SKPD Provinsi, dan rapat koordinasi dengan Kabupaten/Kota. Dalam rangka monitoring penyerapan monitoring penyerapan anggaran secara berkala, SKPD menyampaikan anggaran berkala, SKPD menyampaikan kepada Tim TEPPA Provinsi laporansecara kepada Tim TEPPA Provinsi padalaporan tanggal 5 setiap bulannya. pada tanggal 5 setiap bulannya.
3. Kabupaten Badung
3.
Kabupaten Badung
APBD Kabupaten Badung tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah APBD Kabupaten Badung tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar sebesar Rp2,859 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, Rp2,859 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya meningkat jumlahnya meningkat menjadi Rp3,027 triliun. Hal ini dapat dilihat pada menjadi Rp3,027 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.5 di bawah ini. Grafik 3.5 di bawah ini. Grafik Grafik 3.3 3.3 Volume APBD dan APBD-Perubahan Volume APBD dan Kabupaten APBD-Perubahan Kabupaten Badung Tahun 2013 Badung Tahun 2013 (dalam miliar rupiah) (dalam miliar rupiah)
Sumber: :Pemda PemdaKabupaten Kabupaten Badung Badung dan Sumber danKementerian KementerianKeuangan Keuangan(data (datadiolah) diolah) Fenomena yang menarik adalah pada saat belanja pegawai langsung, belanja
Fenomena yang menarik adalah pada saat belanja pegawai langsung, pegawai tidak langsung, belanja barang dan jasa terjadi peningkatan anggaran pada belanja pegawai tidak langsung, belanja barang dan jasa terjadi APBD Perubahan, namun untuk belanja modal justru terjadi pengurangan jumlah peningkatan anggaran pada APBD Perubahan, namun untuk belanja anggarannya pada saat APBD Perubahan disahkan, yaitu sekitar Rp41,03 miliar jika modal justru terjadi pengurangan jumlah anggarannya pada saat APBD dibandingkan dengan pagu belanja modal pada APBD induk pada saat ditetapkan. Perubahan disahkan, yaitu sekitar Rp41,03 miliar jika dibandingkan dengan 29 | P a g e pagu belanja modal pada APBD induk pada saat ditetapkan.
36
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Kabupaten Badung Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja tidak langsung yaitu sebesar 51,22% sedangkan belanja langsung hanya sebesar 48,78%. Untuk belanja langsung, proporsi belanja pegawai pada APBD sebesar 2,60%, belanja barang dan jasa sebesar 14,97, dan belanja modal sebesar 31,21%. Realisasi penyerapan belanja daerah Kabupaten Badung memiliki ratarata penyerapan di atas 90% baik untuk belanja langsung maupun belanja tidak langsung. Belanja modal memiliki realisasi sebesar 90,03%, belanja barang dan jasa sebesar 89,78%, belanja pegawai dalam komponen belanja langsung sebesar 94,87%. Yang menarik adalah tingkat penyerapan belanja barang dan jasa serta belanja modal yang meningkat sekitar 47,54% dan 48,25% dalam kurun waktu Oktober s.d. Desember 2013. Pola penyerapan belanja barang dan jasa serta belanja modal yang seperti ini terjadi karena beberapa faktor yaitu : a. Penyerapan APBD terkendala adanya ketidaksiapan peserta lelang untuk mengikuti lelang di awal tahun, b. Peserta lelang juga ada yang tidak memenuhi kriteria c. Rencana Penarikan Dana tidak dilaksanakan sesuai target yang ditetapkan karena rekanan sering terlambat dalam mengajukan tagihan. Biasanya rekanan menunggu sampai proyek selesai dikerjakan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.3 di bawah ini.
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
37
Tabel 3.3 Realisasi Belanja Tahun 2013 Kabupaten Badung (dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Rupiah
%
Rupiah
Belanja
212,99
7,03
809,98
Belanja Tidak Langsung
189,84 11,70
Belanja Langsung
%
Realisasi Triwulan III Rupiah
Realisasi Triwulan IV
%
Rupiah
%
26,75 1.572,14
51,92
2.755,46
91,01
589,20
36,30
977,32
60,21
1.488,22
91,69
23,16
1,65
220,78
15,72
594,82
42,35
1.267,24
90,22
7,45
9,34
19,63
24,60
39,15
49,07
75,69
94,87
Belanja Barang dan Jasa
14,15
2,99
95,28
20,13
199,86
42,24
424,83
89,78
Belanja modal
1,56
0,18
105,88
12,43
355,81
41,78
766,71
90,03
Belanja Pegawai
Sumber : Pemda Kabupaten Badung dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Dalam rangka mempercepat penyerapan anggaran belanja daerah, Pemerintah Kabupaten Badung telah menempuh langkah-langkah guna mendorong peningkatan penyerapan belanja yaitu : a. Untuk mempercepat proses penyerapan belanja APBD, Kabupaten Badung senantiasa mempercepat proses lelang di awal tahun. Selain itu, melalui SK Bupati, dibentuklah Tim Pengendalian Pelaksanaan Pembangunan Daerah dan Evaluasi juga dilakukan oleh TEPPA. b. Tim tersebut melakukan evaluasi setiap bulan dan melakukan laporan bulanan kepada Bupati. c. Untuk mempercepat penyerapan belanja, Kabupaten Badung juga menerapkan prinsip reward dan punishment. Reward berupa usulan
38
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
kegiatan lebih diutamakan, dan punishment berupa pemberian skala prioritas yang rendah.
4. Kabupaten Tanah Laut APBD Kabupaten Tanah Laut tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar Rp1,099 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya meningkat menjadi Rp1,136 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.4 di bawah ini. Grafik 3.4 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Tanah Laut Tahun 2013 (dalam miliar rupiah)
Sumber: :Pemda Pemda Kabupaten Kabupaten Tanah Keuangan (data diolah) Sumber TanahLaut Lautdan danKementerian Kementerian Keuangan (data diolah)
Gambaran menarik dapat ditemui pada penetapan APBD Perubahan, Gambaran menarik dapat ditemui pada penetapan APBD Perubahan, telah telah terjadi peningkatan belanja pegawai tidak langsung sebesar Rp15,23 terjadi peningkatan belanja pegawai tidak langsung sebesar Rp15,23 miliar atau sekitar miliar atau dan sekitar 3,32 persen, belanja barang danmiliar jasaatau meningkat 3,32 persen, belanja barang dan jasadan meningkat sebesar Rp19,17 sekitar sebesar Rp19,17 miliar atau sekitar 8,41 persen, serta belanja 8,41 persen, serta belanja lainnya meningkat sebesar Rp2,90 miliar atau sekitarlainnya 5,01 meningkat sebesar Rp2,90langsung miliar dan ataubelanja sekitar 5,01 persen.penurunan Untuk belanja persen. Untuk belanja pegawai modal mengalami pada pegawai langsung belanja modal mengalami penurunan saat saat APBD Perubahandan ditetapkan namun jumlahnya sangat kecil, yaitu turunpada sebesar APBD Perubahan ditetapkan namun jumlahnya sangat turun 0,66 persen untuk belanja modal, dan turun sebesar 0,02 persen untukkecil, belanjayaitu lainnya. Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Kabupaten Tanah Laut Tahun yang paling tinggi adalah belanja pegawai tidak 39 Bab2013 III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan langsung yaitu sebesar 41,72%, belanja modal sebesar 25,86%, belanja barang dan jasa sebesar 21,74%, belanja pegawai langsung sebesar 5,35%, dan belanja lainnya sebesar
sebesar 0,66 persen untuk belanja modal, dan turun sebesar 0,02 persen untuk belanja lainnya. Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Kabupaten Tanah Laut Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai tidak langsung yaitu sebesar 41,72%, belanja modal sebesar 25,86%, belanja barang dan jasa sebesar 21,74%, belanja pegawai langsung sebesar 5,35%, dan belanja lainnya sebesar 5,34%. Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Tanah Laut telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan. Dalam penyerapan belanja daerah, Kabupaten Tanah Laut termasuk lambat dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan anggaran masih rendah yaitu sebesar 8,11%, masih jauh di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%. Pada akhir Triwulan II, realisasi penyerapan belanja hanya sebesar 22,17%, kemudian pada Triwulan III sebesar 46,39%. Yang menarik adalah penyerapan belanja pada Triwulan IV yang mencapai 80,44%, dimana hanya dalam waktu 3 (tiga) bulan, realisasi penyerapan belanjanya sekitar 34,05% jika dibandingkan dengan realisasi pada akhir Triwulan III. Dengan kata lain, pada kurun waktu Oktober s.d. Desember 2013, Kabupaten Tanah Laut mampu menyerap belanja daerah sebesar Rp386,86 miliar. Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis belanja dapat dilihat pada Grafik 3.4.
40
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Tabel 3.4. Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kabupaten Tanah Laut (dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I Rupiah
%
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah
%
Rupiah
%
Rupiah
%
Belanja
92,12
8,11
251,89
22,17
527,04
46,39
913,90
80,44
Belanja pegawai tidak langsung
73,33
15,47
181,22
38,23
315,59
66,59
455,86
96,18
Belanja pegawai langsung
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Belanja barang dan jasa
9,49
3,84
34,42
13,94
85,99
34,82
170,55
69,06
Belanja modal
0,13
0,05
17,61
6,00
95,91
32,65
241,69
82,27
Belanja lainnya
9,16
15,10
18,63
30,72
29,55
48,72
45,80
75,51
Sumber : Pemda Kabupaten Tanah Laut dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa realisasi penyerapan belanja daerah sampai dengan Triwulan III masih relatif rendah, dan baru pada Triwulan IV realisasi penyerapan anggaran meningkat sangat tajam jika dibandingkan dengan Triwulan sebelumnya. Realisasi belanja pegawai tidak langsung mencapai 15,47% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 38,23% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 66,59%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai 96,18%. Sedangkan belanja pegawai langsung tidak ada realisasinya meskipun dalam APBD Perubahan Kabupaten Tanah Laut masih dianggarkan sebesar Rp60,78 miliar.
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
41
Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 3,84% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 13,94% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 34,82%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan jasa mencapai 69,06%. Realisasi belanja modal mencapai 0,05% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 6,00% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 32,65%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai 82,27%. Adapun realisasi belanja lainnya mencapai 15,10% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 30,72% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 48,72%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya mencapai 75,51%. Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kabupaten Tanah Laut untuk mempercepat penyerapan belanjanya, diantaranya adalah dengan menerbitkan Surat Edaran Sekretaris Daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah.
5. Kabupaten Jepara APBD Kabupaten Jepara tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar Rp1,351 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya meningkat menjadi Rp1,472 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.5 di bawah ini.
42
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Grafik 3.5 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Jepara Tahun 2013 (dalam miliar rupiah)
Sumber :: Pemda Pemda Kabupaten dandan Kementerian Keuangan (data(data diolah) Sumber KabupatenJepara Jepara Kementerian Keuangan diolah) Kajadian menarik dapat dapat ditemui padapada penetapan APBD Perubahan, dimana Kejadian menarik ditemui penetapan APBD Perubahan, telah terjadi peningkatan belanja pegawaibelanja tidak langsung sebesar Rp57,00 miliarsebesar atau dimana telah terjadi peningkatan pegawai tidak langsung sekitar 8,1 miliar persen, dan belanja barang danpersen, jasa meningkat miliar ataujasa Rp57,00 atau sekitar 8,1 dan sebesar belanjaRp57,89 barang dan sekitar 16,4 persen, sertaRp57,89 belanja lainnya sebesar16,4 Rp8,28 miliar serta atau sekitar meningkat sebesar miliarmeningkat atau sekitar persen, belanja 9,8 persen. Untuk belanja pegawaiRp8,28 langsungmiliar dan belanja mengalami penurunan lainnya meningkat sebesar ataumodal sekitar 9,8 persen. Untuk pada saat APBD Perubahan ditetapkan namun jumlahnya sangat kecil. belanja pegawai langsung dan belanja modal mengalami penurunan pada Adapun proporsi masing-masing belanja dalam struktur APBD Kabupaten saat APBD Perubahan ditetapkanjenis namun jumlahnya sangat kecil. Jepara Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai tidak langsung yaitu
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Kabupaten Jepara Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai 12,64%, belanja lainnya sebesar 6,31%, dan belanja pegawai langsung sebesar 1,58%. tidak langsung yaitu sebesar 51,48%, belanja barang dan jasa sebesar Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan kegiatan 27,99%, belanja modal sebesar 12,64%, belanja lainnya sebesar 6,31%, dan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat anggaran kas. Anggaran belanja pegawai langsung sebesar 1,58%. sebesar 51,48%, belanja barang dan jasa sebesar 27,99%, belanja modal sebesar
Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan
perkiraan kas keluar dan untukmenjamin mengatur ketersediaan dana yang cukup gunadan Untuk arus memastikan dapat terlaksananya program mendanai pelaksanaan dalam setiap Terkait dengan hal tersebut, kegiatan yang telahkegiatan ditetapkan dalamperiode. APBD, daerah harus membuat Pemerintah Kabupaten Jepara telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kasdalam masuk DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan. Dalam penyerapan belanja daerah, Kabupaten Jepara termasuk lambat dalam III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan realisasinya. Pada Tahun 2013Bab Triwulan I, realisasi penyerapan anggaran masih rendah 43
yaitu sebesar 10,39%, masih jauh di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%. Pada akhir Triwulan II, realisasi penyerapan belanja hanya sebesar 29,00%, kemudian
yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Jepara telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan. Dalam penyerapan belanja daerah, Kabupaten Jepara termasuk lambat dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan anggaran masih rendah yaitu sebesar 10,39%, masih jauh di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%. Pada akhir Triwulan II, realisasi penyerapan belanja hanya sebesar 29,00%, kemudian pada Triwulan III sebesar 52,09%. Yang menarik adalah penyerapan belanja pada Triwulan IV yang mencapai 91,81%, dimana hanya dalam waktu 3 (tiga) bulan, realisasi penyerapan belanjanya sekitar 39,72% jika dibandingkan dengan realisasi pada akhir Triwulan III. Dengan kata lain, pada kurun waktu Oktober s.d. Desember 2013, Kabupaten Jepara mampu menyerap belanja daerah sebesar Rp584,68 miliar. Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis belanja dapat dilihat pada Tabel 3.5. Tabel 3.5 Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kabupaten Jepara (dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah
%
Rupiah
%
Rupiah
%
Rupiah
%
Belanja
152,90
10,39
426,98
29,00
766,85
52,09
1.351,53
91,81
Belanja pegawai tidak langsung
122,44
16,16
296,11
39,07
503,44
66,43
710,55
93,76
44
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I Rupiah
%
Realisasi Triwulan II Rupiah
%
Realisasi Triwulan III Rupiah
%
Realisasi Triwulan IV Rupiah
%
Belanja pegawai langsung
1,15
4,95
4,93
21,16
10,52
45,14
19,68
84,39
Belanja barang dan jasa
25,61
6,22
92,04
22,34
164,48
39,92
374,72
90,96
Belanja modal
0,68
0,37
6,74
3,62
34,03
18,29
158,80
85,35
Belanja lainnya
3,02
3,25
27,16
29,22
54,38
58,50
87,78
94,43
Sumber : Pemda Kabupaten Tanah Laut dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa realisasi penyerapan belanja daerah sampai dengan Triwulan III masih relatif rendah, dan baru pada Triwulan IV realisasi penyerapan anggaran meningkat sangat tajam jika dibandingkan dengan Triwulan sebelumnya. Realisasi belanja pegawai tidak langsung mencapai 16,16% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 39,07% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 66,43%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai 93,76%. Sedangkan realisasi belanja pegawai langsung mencapai 4,95% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 21,16% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 45,14%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai 84,39%. Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 6,22% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 22,34% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
45
mencapai 39,92%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan jasa mencapai 90,96%. Realisasi belanja modal mencapai 0,37% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 3,62% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 18,29%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai 85,35%. Adapun realisasi belanja lainnya mencapai 3,25% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 29,22% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 58,50%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya mencapai 94,43%. Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kabupaten Jepara untuk mempercepat penyerapan belanjanya, diantaranya adalah dengan menerbitkan Surat Edaran Sekretaris Daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah.
6. Kabupaten Lamongan APBD Kabupaten Lamongan tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar Rp1,550 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya meningkat menjadi Rp1,710 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.6 di bawah ini.
46
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Grafik 3.6 Volume APBD dan APBD-Perubahan Kabupaten Lamongan Tahun 2013 (dalam miliar rupiah)
Sumber : Pemda Kabupaten Lamongan dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Sumber : Pemda Kabupaten Lamongan dan Kementerian Keuangan (data diolah) Hal menarik adalah pada penetapan APBD Perubahan, telah terjadi peningkatan Hal menarik adalah pada penetapan APBD Perubahan, telah terjadi untuk semua jenis belanja, namun kenaikan yang paling besar adalah pada jenis belanja peningkatan untuk semua jenis belanja, namun kenaikan yang paling besar barang dan jasa yaitu sebesar 20% (Rp43,38 miliar), belanja lainnya meningkat sebesar adalah pada jenis belanja barang dan jasa yaitu sebesar 20% (Rp43,38 18,9% (Rp31,30 miliar), belanja modal naik sebesar 17% (Rp36,45 miliar), belanja miliar), belanja lainnya meningkat sebesar 18,9% (Rp31,30 miliar), belanja pegawai tidak langsung meningkat sebesar 4,9% (Rp44,57 miliar), dan belanja pegawai modal naik sebesar 17% (Rp36,45 miliar), belanja pegawai tidak langsung langsung meningkat sebesar 9,4% (Rp4,68 miliar). Untuk belanja pegawai tidak meningkat sebesar 4,9% (Rp44,57 miliar), dan belanja pegawai langsung langsung dan belanja langsung meskipun mengalami kenaikan pada saat APBD meningkat sebesar 9,4% (Rp4,68 miliar). Untuk belanja pegawai tidak Perubahan ditetapkan namun jumlahnya sangat kecil. langsung dan belanja langsung meskipun mengalami kenaikan pada saat Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Kabupaten APBD Perubahan ditetapkan namun jumlahnya sangat kecil. Lamongan Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai tidak langsung yaitu
sebesar 55,39%, belanja barang dan jasa jenis sebesarbelanja 15,24%, dalam belanja struktur modal sebesar Adapun proporsi masing-masing APBD 14,66%, belanja lainnya sebesar 11,52%, dan belanja pegawai langsung sebesar 3,19%. Kabupaten Lamongan Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja menjamin dapat55,39%, terlaksananya program dan kegiatan pegawai Untuk tidak memastikan langsung dan yaitu sebesar belanja barang dan jasa yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat anggaran kas. Anggaran sebesar 15,24%, belanja modal sebesar 14,66%, belanja lainnya sebesar Kas adalah kas masuk yang bersumber 11,52%, dan dokumen belanja perkiraan pegawaiarus langsung sebesar 3,19%. dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Lamongan telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan 47 dalam DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan. 38 | P a g e
Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Lamongan telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan. Dalam penyerapan belanja daerah, Kabupaten Lamongan termasuk lambat dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan anggaran masih rendah yaitu sebesar 11,05%, masih jauh di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%. Pada akhir Triwulan II, realisasi penyerapan belanja hanya sebesar 28,33%, kemudian pada Triwulan III sebesar 45,61%. Yang menarik adalah penyerapan belanja pada Triwulan IV yang mencapai 93,94%, dimana hanya dalam waktu 3 (tiga) bulan, realisasi penyerapan belanjanya sekitar 48,33% jika dibandingkan dengan realisasi pada akhir Triwulan III. Dengan kata lain, pada kurun waktu Oktober s.d. Desember 2013, Kabupaten Lamongan mampu menyerap belanja daerah sebesar Rp826,62 miliar. Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis belanja dapat dilihat pada Tabel 3.6.
48
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Tabel 3.6 Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kabupaten Lamongan (dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah
%
Rupiah
%
Rupiah
%
Rupiah
%
Belanja
189,00
11,05
484,58
28,33
780,17
45,61
1.606,78
93,94
Belanja pegawai tidak langsung
152,51
16,10
380,88
40,20
609,26
64,31
930,80
98,25
Belanja pegawai langsung
0,00
0
0,00
0
0,00
0
0,00
0
Belanja barang dan jasa
19,45
7,46
64,13
24,61
108,81
41,75
249,72
95,82
Belanja modal
1,63
0,65
10,44
4,16
19,26
7,68
240,07
95,73
Belanja lainnya
15,40
7,81
29,12
14,77
42,84
21,74
186,19
94,47
Sumber : Pemda Kabupaten Lamongan dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa realisasi penyerapan belanja daerah sampai dengan Triwulan III masih relatif rendah, dan baru pada Triwulan IV realisasi penyerapan anggaran meningkat sangat tajam jika dibandingkan dengan Triwulan sebelumnya. Realisasi belanja pegawai tidak langsung mencapai 16,10% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 40,20% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 64,31%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai 98,25%. Sedangkan belanja pegawai langsung tidak ada realisasinya meskipun dalam APBD Perubahan Kabupaten Lamongan meningkat menjadi Rp54,60 miliar.
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
49
Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 7,46% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 24,61% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 41,75%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan jasa mencapai 95,82%. Realisasi belanja modal mencapai 0,65% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 4,16% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 7,68%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai 95,73%. Adapun realisasi belanja lainnya mencapai 7,81% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 14,77% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 21,74%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya mencapai 94,47%. Untuk realisasi belanja modal dan belanja lainnya melonjak sangat drastis pada Triwulan IV yaitu sebesar 88,05% untuk realisasi belanja modal dan sebesar 72,73% untuk realisasi belanja lainnya. Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kabupaten Lamongan untuk mempercepat penyerapan belanjanya, diantaranya adalah dengan membentuk Tim Koordinasi yang bertugas memantau dan membuat laporan realisasi penyerapan belanja setiap SKPD dan mengevaluasi serta mengkoordinasikan laporan tersebut untuk mempercepat penyerapan belanja daerah.
7. Kota Pontianak APBD Kota Pontianak tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar Rp1,408 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya
50
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
meningkat menjadi Rp1,353 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.7 di bawah ini. Grafik Grafik3.7 3.7 Volume APBD dan APBD-Perubahan Volume APBD dan APBD-Perubahan Kota Pontianak TahunKota 2013Pontianak Tahun 2013 (dalam miliar rupiah) (dalam miliar rupiah)
Sumber: Pemda : Pemda Kota Kota Pontianak Pontianak dan Keuangan (data(data diolah) Sumber danKementerian Kementerian Keuangan diolah) Hal menarik terdapat adalah pada penetapan APBD Perubahan, dimana telah terjadi pergeseranterdapat alokasi belanja dimana untuk belanja pegawai tidak langsung Hal menarik adalah padapagu penetapan APBD Perubahan, dimana dan belanja langsung mengalami penurunan, pegawai telah terjadipegawai pergeseran alokasi belanja dimanabahkan pagu untuk untukbelanja belanja pegawai langsung turun sebesar Rp133,45 miliar, sedangkan untuk belanja modal meningkat tidak langsung dan belanja pegawai langsung mengalami penurunan, sebesar Rp80,38 miliar dan belanja barang dan jasa meningkat sebesar Rp8,78 miliar. bahkan untuk belanja pegawai langsung turun sebesar Rp133,45 miliar, Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Kota sedangkan untuk belanja modal meningkat sebesar Rp80,38 miliar dan Pontianak Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai tidak langsung yaitu belanja barang dan jasa meningkat sebesar Rp8,78 miliar. sebesar 40,67%, belanja modal sebesar 34,93%, belanja barang dan jasa sebesar
Adapun masing-masing 17,45% dan proporsi belanja pegawai langsung sebesarjenis 6,95%.belanja dalam struktur APBD Kota Pontianak Tahun 2013 yang paling adalah program belanjadan pegawai Untuk memastikan dan menjamin dapattinggi terlaksananya kegiatantidak langsung sebesar belanja belanja yang telah yaitu ditetapkan dalam 40,67%, APBD, daerah harus modal membuatsebesar anggaran 34,93%, kas. Anggaran Kas adalah perkiraan17,45% arus kas dan masukbelanja yang bersumber darilangsung penerimaansebesar dan barang dandokumen jasa sebesar pegawai perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna 6,95%. mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Kota Pontianak telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan. Dalam penyerapan belanja daerah, Kota Pontianak termasuk lambat dalam Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan 51 realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan anggaran masih rendah yaitu sebesar 10,53%, masih jauh di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%.
Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Kota Pontianak telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan. Dalam penyerapan belanja daerah, Kota Pontianak termasuk lambat dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan anggaran masih rendah yaitu sebesar 10,53%, masih jauh di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%. Pada akhir Triwulan II, realisasi penyerapan belanja hanya sebesar 29,46%, kemudian pada Triwulan III sebesar 54,56%. Yang menarik adalah penyerapan belanja pada Triwulan IV yang mencapai 94,18%, dimana hanya dalam waktu 3 (tiga) bulan, realisasi penyerapan belanjanya sekitar 39,63% jika dibandingkan dengan realisasi pada akhir Triwulan III. Dengan kata lain, pada kurun waktu Oktober s.d. Desember 2013, Kota Pontianak mampu menyerap belanja daerah sebesar Rp536,45 miliar. Kendala yang dihadapi diantaranya yaitu penetapan APBD Perubahan yang mengalami keterlambatan karena adanya Pemilihan Kepala Daerah Kota Pontianak pada bulan September 2013. Disamping itu, setelah APBD ditetapkan, masih terdapat sebagian kegiatan yang tidak dapat langsung dilakukan lelang yaitu terkait dengan pekerjaan fisik yang paket perencanaan dan pengawasannya harus dilelang terlebih dahulu. Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis belanja dapat dilihat pada Tabel 3.7.
52
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Tabel 3.7 Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Pontianak (dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah
%
Rupiah
%
Rupiah
%
Rupiah
%
Belanja
142,56
10,53
398,84
29,46
738,50
54,56
1.274,96
94,18
Belanja Pegawai Tidak Langsung
88,93
16,16
179,79
32,66
361,03
65,58
529,65
96,21
Belanja Pegawai Langsung
8,74
9,30
30,22
32,13
53,69
57,10
81,35
86,51
Belanja Barang dan Jasa
27,67
11,71
71,41
30,22
116,22
49,19
212,67
90,01
Belanja modal
17,21
3,64
117,43
24,83
207,56
43,89
451,30
95,43
Sumber : Pemda Kota Pontianak dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa realisasi penyerapan belanja daerah sampai dengan Triwulan III masih relatif rendah, dan baru pada Triwulan IV realisasi penyerapan anggaran meningkat sangat tajam jika dibandingkan dengan Triwulan sebelumnya. Realisasi belanja pegawai tidak langsung mencapai 16,16% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 32,66% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 65,58%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai 96,21%. Sedangkan realisasi belanja pegawai langsung mencapai 9,30% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 32,13% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 57,10%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai 86,51%.
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
53
Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 11,71% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 30,22% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 49,19%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan jasa mencapai 90,01%. Realisasi belanja modal mencapai 3,64% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 24,83% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 43,89%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai 95,43%. Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kota Pontianak untuk mempercepat penyerapan belanjanya, diantaranya adalah dengan menerbitkan Surat Keputusan Walikota tentang TEPPA Kota Pontianak. Di samping itu, Pemerintah Kota Pontianak juga telah membentuk Tim Koordinasi yang bertugas melakukan koordinasi dengan SKPD terkait percepatan pengadaan barang dan jasa dan penyerapan anggaran SKPD.
8. Kota Palembang APBD Kota Palembang tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar Rp2,607 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya meningkat menjadi Rp2,858 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.8 di bawah ini.
54
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Grafik 3.8. Volume APBD dan APBD-Perubahan Kota Palembang Tahun 2013 (dalam miliar rupiah)
Sumber :: Pemda Kementerian Keuangan (data diolah) Sumber PemdaKota KotaPalembang Palembangdan dan Kementerian Keuangan (data diolah)
PadaPada saat Perubahan Palembang terjadi saat APBD APBD Perubahan Kota Kota Palembang ditetapkan,ditetapkan, terjadi peningkatan peningkatan seluruhdaerah jeniskecuali belanja daerah kecuali lainnya yang seluruh jenis belanja belanja lainnya yang belanja mengalami penurunan mengalami penurunan sebesar miliar.modal Yangmeningkat menarik sebesar adalah sebesar Rp12,31 miliar. Yang menarikRp12,31 adalah belanja belanja modal sebesar dari total 57,62% dari total meningkat kenaikan belanja daerah 57,62% atau meningkat sebesarkenaikan Rp145,01 belanja miliar daerah atau meningkat sebesar Rp145,01 miliar dalam APBD Perubahan. dalam APBD Perubahan. Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Kota
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Palembang Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai tidak langsung yaitu Kota Palembang Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai sebesar 49,55%, kemudian belanja modal sebesar 25,06%, diikuti belanja barang dan tidak langsung yaitu sebesar 49,55%, kemudian belanja modal sebesar jasa sebesar 19,96%, belanja pegawai langsung sebesar 3,63% dan belanja lainnya 25,06%, diikuti belanja barang dan jasa sebesar 19,96%, belanja pegawai sebesar 1,81%. langsung sebesar 3,63% dan belanja lainnya sebesar 1,81%. Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan kegiatan
Untuk dan menjamin dapat terlaksananya program dan yang telah memastikan ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat anggaran kas. Anggaran kegiatan telah ditetapkan APBD, daerah membuat Kas adalahyang dokumen perkiraan arus kasdalam masuk yang bersumber dariharus penerimaan dan anggaran kas. kas Anggaran Kas adalah perkiraan aruscukup kas masuk perkiraan arus keluar untuk mengaturdokumen ketersediaan dana yang guna yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Kota Palembang telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan.
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan 55 Namun demikian, dalam penyerapan belanja daerah, Kota Palembang termasuk
lambat dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan anggaran masih rendah yaitu sebesar 11,19%, masih jauh di bawah realisasi belanja yang ideal
mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Kota Palembang telah membuat Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam DPA pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan. Namun demikian, dalam penyerapan belanja daerah, Kota Palembang termasuk lambat dalam realisasinya. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan anggaran masih rendah yaitu sebesar 11,19%, masih jauh di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%. Bahkan untuk realisasi belanja modal hanya sebesar 3,16%. Pada akhir Triwulan II, realisasi penyerapan belanja hanya sebesar 31,12%, kemudian pada Triwulan III sebesar 52,13%. Yang menarik adalah penyerapan belanja pada Triwulan IV yang mencapai 92,24%, dimana hanya dalam waktu 3 (tiga) bulan, realisasi penyerapan belanjanya sekitar 40,11% jika dibandingkan dengan realisasi pada akhir Triwulan III. Dengan kata lain, pada kurun waktu Oktober s.d. Desember 2013, Kota Palembang mampu menyerap belanja daerah sebesar Rp1,146 triliun. Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis belanja dapat dilihat pada Tabel 3.8. Tabel 3.8. Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Palembang (dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah
%
Rupiah
%
Rupiah
%
Rupiah
%
Belanja
319,88
11,19
889,58
31,12
1.490,19
52,13
2.636,74
92,24
Belanja pegawai tidak langsung
202,69
14,31
560,14
39,54
811,00
57,25
1.305,42
92,16
56
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I Rupiah
%
Realisasi Triwulan II Rupiah
%
Realisasi Triwulan III Rupiah
%
Realisasi Triwulan IV Rupiah
%
Belanja pegawai langsung
8,96
8,64
38,03
36,70
50,22
48,46
91,07
87,88
Belanja barang dan jasa
58,39
10,24
177,17
31,06
303,18
53,15
518,81
90,95
Belanja modal
22,65
3,16
79,33
11,07
288,30
40,24
678,42
94,69
Belanja lainnya
27,20
52,71
33,23
64,39
37,50
72,67
43,03
83,37
Sumber : Pemda Kota Palembang dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa realisasi penyerapan belanja daerah sampai dengan Triwulan III masih relatif rendah, dan baru pada Triwulan IV realisasi penyerapan anggaran meningkat sangat tajam jika dibandingkan dengan Triwulan sebelumnya. Realisasi belanja pegawai langsung mencapai 8,64% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 36,7% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 48,46%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai langsung mencapai 87,88%. Sedangkan realisasi belanja pegawai tidak langsung mencapai 14,31% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 39,54% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 57,25%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai 92,16%. Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 10,24% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 31,06% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 53,15%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan jasa mencapai 90,95%.
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
57
Realisasi belanja modal mencapai 3,16% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 11,07% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 40,24%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai 94,69%. Realisasi belanja lainnya mencapai 52,71% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 64,39% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 72,67%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya mencapai 83,37%. Yang menarik adalah penyerapan belanja modal pada Triwulan I adalah yang paling kecil yaitu hanya sebesar 3,16%, namun pada akhir Triwulan IV penyerapan belanja modal adalah yang paling besar di antara jenis belanja daerah, yaitu sebesar 94,69%. Bahkan hanya dalam kurun waktu Oktober s.d. Desember 2013, Kota Palembang mampu menyerap belanja modal sebesar 54,45% atau sebesar Rp390,12 miliar. Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kota Palembang untuk mempercepat penyerapan belanja daerah yaitu dengan menerbitkan surat edaran tentang percepatan pelaksanaan anggaran dan percepatan pengesahan DPA SKPD. Disamping itu, Pemerintah Kota Palembang juga telah membentuk Tim Koordinasi yang bertugas melakukan koordinasi untuk mencari dan membahas kendala-kendala dalam pelaksanaan APBD serta menerapkan rewards dan punishment kepada SKPD dengan cara melakukan penambahan anggaran pada APBD berikutnya untuk SKPD yang penyerapannya baik dan melakukan pemotongan anggaran untuk SKPD yang tingkat penyerapannya rendah.
58
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
9. Kota Gorontalo APBD Kota Gorontalo tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar Rp719,90 miliar. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya meningkat menjadi Rp774,05 miliar. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.9 di bawah ini.
9. Kota Gorontalo
APBD Kota Gorontalo tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar Rp719,90 miliar. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya meningkat menjadi Rp774,05 miliar. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.9 di bawah ini. Grafik Grafik 3.9 3.9 Volume APBD dan APBD-Perubahan Volume APBD dan APBD-Perubahan Kota Gorontalo Tahun 2013 Kota Gorontalo Tahun 2013 (dalam miliar (dalam miliarrupiah) rupiah)
Sumber : Pemda Kota Gorontalo dan Kementerian Keuangan (data diolah) Sumber : Pemda Kota Gorontalo dan Kementerian Keuangan (data diolah) saat APBD APBD Perubahan Kota Kota Gorontalo ditetapkan,ditetapkan, terjadi peningkatan PadaPada saat Perubahan Gorontalo terjadi seluruh jenis belanja daerah. Yang menarik adalah belanja pegawai langsung peningkatan seluruh jenis belanja daerah. Yang menarik adalah belanja pegawai langsung meningkat sebesar Rp21,92 miliar atau sekitar 61,01%, 47 | P a g e dan belanja barang dan jasa meningkat sebesar Rp24,38 milar atau sekitar 17 % dalam APBD Perubahan.
Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Kota Gorontalo Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai tidak langsung yaitu sebesar 52,02%, kemudian belanja barang dan jasa sebesar
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
59
21,67%, diikuti belanja modal sebesar 16,09%, belanja pegawai langsung sebesar 7,47% dan belanja lainnya sebesar 2,74%. Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Kota Gorontalo belum dapat melaksanakan Rencana Penarikan Dana (RPD) dalam DPA pada masing-masing SKPD sesuai target yang telah ditetapkan. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan RPD dalam anggaran kasa SKPD tidak terealisasi sesuai dengan target yang ditetapkan antara lain adalah rekanan terlambat dalam mengajukan ke DPKAD/Bagian Keuangan Pemda terkait proyek/kegiatan yang sudah memenuhi syarat pembayaran, serta terlambatnya penetapan petunjuk teknis DAK sehingga mempengaruhi pelaksanaan kegiatan. Bahkan dalam pelaksanaannya, terdapat SKPD yang melaksanakan belanja dengan melebihi pagu yang telah ditetapkan dalam SPD. Hal disebabkan kurang cermatnya SKPD dalam merencanakan kebutuhan belanja untuk kegiatan yang dituangkan dalam anggaran kas dan menjadi acuan dalam penerbitan SPD. Namun demikian, Pemkor Gorontalo telah mengambil langkah-langkah dimana SKPD tersebut harus menunggu hingga penerbitan SPD berikutnya untuk melaksanakan program/kegiatan selanjutnya dan SKPD atersebut harus mengajukan suart penambahan dana dalam SPD. Proses pembahasan APBD induk Kota Gorontalo tidak mengikuti time schedule sebagaimana diamanatkan dalam Permendagri No. 37 Tahun 2012 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 04/PMK.07/2011 karena terlambatnya informasi transfer ke daerah sehingga daerah baru
60
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
mengetahui alokasi transfer setelah pembahasan KUA/PPAS selesai, serta adanya lobi dan negoisasi antara DPRD dan Pemda dalam pembahasan APBD. Meskipun demikian, penetapan APBD Kota Gorontalo dapat dilaksanakan dengan tepat waktu. Penyerapan belanja daerah Kota Gorontalo termasuk lambat dalam realisasinya, kecuali untuk jenis belanja lainnya yang memiliki realisasi belanja sebesar 41,94 % pada akhir Maret 2013. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan anggaran masih rendah yaitu sebesar 15,84%, masih jauh di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%. Pada akhir Triwulan II, realisasi penyerapan belanja hanya sebesar 37,17%, kemudian pada Triwulan III sebesar 57,08%. Penyerapan belanja pada Triwulan IV mencapai 84,63%. Yang menarik adalah realisasi penyerapan belanja modal sampai dengan akhir tahun 2013 hanya sebesar 61,31 %, merupakan yang paling rendah di antara jenis belanja dalam APBD. Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis belanja dapat dilihat pada Tabel 3.9. Tabel 3.9 Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Gorontalo
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah
%
Rupiah
%
Rupiah
%
Rupiah
%
Belanja
122,62
15,84%
287,72
37,17%
441,81
57,08%
655,06
84,63%
Belanja pegawai tidak langsung
67,83
16,85%
152,18
37,79%
260,07
64,59%
374,28
92,95%
Belanja pegawai langsung
5,90
10,21%
22,82
39,44%
30,22
52,23%
52,33
90,45%
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
61
Jenis Belanja
Realisasi Triwulan I Rupiah
%
Realisasi Triwulan II Rupiah
%
Realisasi Triwulan III Rupiah
Realisasi Triwulan IV
%
Rupiah
%
Belanja barang dan jasa
24,94
14,87%
65,93
39,30%
88,51
52,76%
136,84
81,57%
Belanja modal
15,04
12,07%
35,84
28,77%
51,43
41,29%
76,37
61,31%
Belanja lainnya
8,90
41,94%
10,96
51,66%
11,58
54,57%
15,24
71,84%
Sumber : Pemda Kota Gorontalo dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Realisasi belanja pegawai tidak langsung mencapai 16,85% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 37,79% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 64,59%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai 92,95%. Sedangkan realisasi belanja pegawai langsung mencapai 10,21% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 39,44% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 52,23%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai 90,45%. Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 14,87% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 39,30% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 52,76%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan jasa mencapai 81,57%. Realisasi belanja modal mencapai 12,07% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 28,77% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 41,29%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai 61,31%.
62
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Realisasi belanja lainnya mencapai 41,94% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 51,66% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 54,57%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya mencapai 71,84%. Terdapat hal menarik yaitu belanja modal hanya terserap sebesar Rp76,37 miliar atau sekitar 61,31 %, sedangkan realisasi penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai 92,95 % atau sebesar Rp374,28 miliar. Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kota Gorontalo untuk mempercepat penyerapan belanja daerah yaitu dengan membentuk Tim Koordinasi yang bertugas melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyerapan anggaran belanja.
10. Kota Makasar APBD Kota Makasar tahun 2013 pada saat ditetapkan adalah sebesar Rp2,072 triliun. Pada saat pengesahan APBD Perubahan, jumlahnya meningkat menjadi Rp2,497 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.10 di bawah ini. Pada saat APBD Perubahan Kota Makasar ditetapkan, terjadi peningkatan seluruh jenis belanja daerah. Yang menarik adalah belanja pegawai tidak langsung meningkat sebesar 60,46% dari total kenaikan belanja daerah atau meningkat sebesar Rp257,12 miliar dalam APBD Perubahan. Adapun proporsi masing-masing jenis belanja dalam struktur APBD Kota Makasar Tahun 2013 yang paling tinggi adalah belanja pegawai tidak langsung yaitu sebesar 43,43%, kemudian belanja barang dan jasa sebesar
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
63
27,94%, diikuti belanja modal sebesar 15,70%, belanja pegawai langsung sebesar 8,08% dan belanja lainnya sebesar 4,85%.
Grafik 3.10 Kota Makasar TahunKota 2013 Makasar Tahun 2013 Volume APBD dan APBD-Perubahan (dalam miliar rupiah) (dalam miliar rupiah)
Sumber : Pemda Kota Makasar dan Kementerian Keuangan (data diolah) Sumber : Pemda Kota Makasar dan Kementerian Keuangan (data diolah) Padamemastikan saat APBD Perubahan Kota Makasar terjadiprogram peningkatan Untuk dan menjamin dapat ditetapkan, terlaksananya dan seluruh jenis belanja daerah. Yang menarik adalah belanja pegawai tidak membuat langsung kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus meningkat sebesar 60,46% dariKas totaladalah kenaikan belanja daerah atau meningkat anggaran kas. Anggaran dokumen perkiraan arus kassebesar masuk Rp257,12 miliar dalam APBD Perubahan. dan perkiraan arus kas keluar untuk yang bersumber dari penerimaan Adapun proporsi masing-masing belanja dalam struktur APBD Kota mengatur ketersediaan dana yangjenis cukup guna mendanai pelaksanaan Makasar Tahun 2013 yang paling tinggi adalah dengan belanja pegawai tidak langsung yaitu kegiatan dalam setiap periode. Terkait hal tersebut, Pemerintah Kota membuat (RPD) dalam DPA sebesarMakasar 43,43%, telah kemudian belanja Rencana barang danPenarikan jasa sebesarDana 27,94%, diikuti belanja pada masing-masing SKPD berdasarkan target yang telah ditetapkan. modal sebesar 15,70%, belanja pegawai langsung sebesar 8,08% dan belanja lainnya sebesar 4,85%. Untuk memastikan dan menjamin dapat terlaksananya program dan kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBD, daerah harus membuat anggaran kas. Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan 64 Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode. Terkait dengan hal tersebut,
Namun demikian, dalam penyerapan belanja daerah Kota Makasar termasuk lambat dalam realisasinya, kecuali untuk jenis belanja lainnya yang memiliki tingkat realisasi mendekati normal. Pada Tahun 2013 Triwulan I, realisasi penyerapan anggaran masih rendah yaitu sebesar 12,62%, masih jauh di bawah realisasi belanja yang ideal yaitu 25%. Bahkan untuk realisasi belanja modal hanya sebesar 6,19%. Pada akhir Triwulan II, realisasi penyerapan belanja hanya sebesar 30,65%, kemudian pada Triwulan III sebesar 55,51%. Yang menarik adalah penyerapan belanja pada Triwulan IV yang mencapai 93,73%, dimana hanya dalam waktu 3 (tiga) bulan, realisasi penyerapan belanjanya sekitar 38,22% jika dibandingkan dengan realisasi pada akhir Triwulan III. Dengan kata lain, pada kurun waktu Oktober s.d. Desember 2013, Kota Makasar mampu menyerap belanja daerah sebesar Rp954,73 miliar. Sementara itu, realisasi penyerapan belanja daerah untuk setiap jenis belanja dapat dilihat pada Tabel 3.10. Tabel 3.10 Realisasi Belanja Per Jenis Belanja Tahun 2013 Kota Makasar (dalam miliar rupiah)
Uraian Belanja
Realisasi Triwulan I
Realisasi Triwulan II
Realisasi Triwulan III
Realisasi Triwulan IV
Rupiah
%
Rupiah
%
Rupiah
%
Rupiah
%
Belanja
315,30
12,62
765,72
30,65
1.386,61
55,51
2.341,33
93,73
Belanja pegawai tidak langsung
168,31
15,51
414,84
38,24
713,40
65,76
1.022,77
94,27
Belanja pegawai langsung
14,70
7,28
44,84
22,23
95,27
47,22
190,43
94,39
Belanja barang dan jasa
78,12
11,20
204,55
29,31
344,13
49,31
640,49
91,78
Belanja modal
24,27
6,19
53,56
13,66
127,73
32,57
369,46
94,20
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
65
Uraian Belanja
Realisasi Triwulan I Rupiah
Belanja lainnya
29,90
% 24,67
Realisasi Triwulan II Rupiah 47,93
% 39,54
Realisasi Triwulan III Rupiah 106,08
% 87,50
Realisasi Triwulan IV Rupiah 118,19
% 97,49
Sumber : Pemda Kota Makasar dan Kementerian Keuangan (data diolah)
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa realisasi penyerapan belanja daerah sampai dengan Triwulan III masih relatif rendah kecuali untuk belanja lainnya, dan baru pada Triwulan IV realisasi penyerapan anggaran meningkat sangat tajam jika dibandingkan dengan Triwulan sebelumnya. Realisasi belanja pegawai tidak langsung mencapai 15,51% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 38,24% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 65,76%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai 94,27%. Sedangkan realisasi belanja pegawai langsung mencapai 7,28% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 22,23% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 47,22%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja pegawai tidak langsung mencapai 94,39%. Realisasi belanja barang dan jasa mencapai 11,20% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 29,31% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 49,31%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja barang dan jasa mencapai 91,78%. Realisasi belanja modal mencapai 6,19% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 13,66% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 66
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
32,57%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja modal mencapai 94,20%. Realisasi belanja lainnya mencapai 24,67% pada akhir Maret 2013, kemudian meningkat menjadi 39,54% pada akhir bulan Juni 2013, dan pada akhir bulan September 2013 tingkat penyerapannya sudah mencapai 87,50%. Pada akhir tahun 2013, penyerapan belanja lainnya mencapai 97,49%. Hal menarik yang terjadi adalah penyerapan belanja lainnya mempunyai realisasi penyerapan terbesar, yaitu 97,49%. Belanja lainnya ini meliputi belanja bunga, belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan kepada Provinsi/Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa dan partai politik. Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kota Makasar untuk mempercepat penyerapan belanja daerah yaitu dengan mendorong SKPD dalam melakukan percepatan penyelesaian DPA SKPD dan mendorong SKPD dalam mempercepat penyerapan anggaran. Disamping itu, Kota Makasar juga membentuk Tim Koordinasi yang bertugas melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyerapan anggaran belanja. Pemerintah Kota Makasar juga telah menerapkan rewards kepada SKPD yang penyerapan anggarannya baik dan punishment dengan memberikan teguran kepada SKPD untuk mempercepat penyerapan anggaran.
B. Analisis Permasalahan Pelaksanaan Spending Performances dalam mendanai Pelayanan Publik Pengelolaan keuangan daerah merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Pengelolaaan
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
67
keuangan daerah dimulai dengan perencanaan/penyusunan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan APBD sebagaimana berpedoman kepada Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara. APBD akan mempunyai peran riil dalam peningkatan kualitas layanan publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi perekonomian daerah apabila terealisasi dengan baik. Keterlambatan penetapan Perda APBD akan memperlambat bahkan dapat menunda realisasi penyerapan belanja daerah. Hal ini dapat memberikan dampak kurang baik terhadap pengelolaan keuangan daerah diantaranya pada penumpukan dana daerah yang belum terpakai dalam bentuk Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA). Dana SiLPA yang terlalu besar tentunya harus kita hindari, karena pada dasarnya merupakan dana idle yang tidak memberikan multiplier effect bagi perekonomian daerah. Untuk itu, Pemerintah terus mendorong agar proses penetapan Perda APBD dapat dilakukan secara tepat waktu guna mempercepat realisasi belanja daerah. Namun demikian, masih terdapat beberapa daerah yang belum menetapkan dan menyampaikan perda APBD 2013 kepada Kementerian Keuangan sampai dengan batas waktu yang telah ditetapkan yaitu pada pada akhir Januari 2013, sehingga daerah tersebut dikenakan sanksi penundaan DAU sebesar 25% dari pagu per bulan mulai April 2013. Terdapat 17 daerah yang dikenakan sanksi penundaan penyaluran DAU untuk pemda yang terlambat menyampaikan APBD TA 2013. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 3.11 di bawah ini.
68
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
Grafik 3.11 Keterlambatan Penetapan dan Penyampaian APBD 2011 s.d. 2013 APBD Tahun 2011 s.d. 2013 Keterlambatan Penetapan danTahun Penyampaian
Sumber : Kementerian Keuangan (data diolah)
Sumber : Kementerian Keuangan (data diolah)
Agar seluruh dana yang ditransfer dari pemerintah pusat bisa segera terserap dalam
Namun demikian, yang terjadi selama ini adalah besaran alokasi pemerintah pusat senantiasa mendorong agar pemerintah daerah secepatnya untuk transfer ke daerah setiap tahunnya belum ada kepastian, apakah daerah menyampaikan Perda APBD. Perda APBD yang dapat diselesaikan dengan tepat waktu itu mendapatkan alokasi alokasi dananya naik atau turun. menunjukkan bahwa tidak dana adanya ataukah kesulitan dalam me-manage dinamika eksekutifantara pemerintah dengan mengerti DPRD. Bahkanlegislatif sebagian daerahdaerah belum bagaimana alokasi per jenis Namun demikian, yang terjadi selama ini adalah besaran alokasi DBH transfer ke daerah dana perimbangan yang meliputi DAU, DAK, dan direncanakan setiap tahunnya belum ada kepastian, apakah daerah itu mendapatkan alokasi dana ataukah dan diformulasikan, sehingga daerah cenderung hanya membandingkan alokasi dananya naik atau turun. Bahkan sebagian daerah belum mengerti bagaimana denganalokasi alokasi tahun lalu untuk daerahnya atau membandingkan kondisi per jenis dana perimbangan yang meliputi DAU, DAK, dan DBH direncanakan dan obyektif yang adasehingga di daerah dibandingkan kondisi diformulasikan, daerah mereka cenderung hanya membandingkandengan dengan alokasi tahun daerah lalu untuk daerahnya atau membandingkan kondisi obyektif yang ada di daerah mereka tetangga mereka apabila terdapat perbedaan alokasi yang mencolok. bentuk pelaksanaan kegiatan yang didanai oleh APBD, maka dalam perencanaannya,
dibandingkan dengan kondisi daerah tetangga mereka apabila terdapat perbedaan alokasi yang mencolok. Penetapan angka pendapatan APBD sangat tergantung kepada Penetapan angkaPusat pendapatan APBD hanya sangat tergantung kepada informasi transfer informasi transfer dari dimana Dana Alokasi Umum (DAU) dan dari Pusat dimana hanya Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana Alokasi Khusus (DAK) saja yang informasinya benar-benar sesuai saja yang informasinya benar-benar sesuai dengan jadwal tenggat waktu penetapan APBD dengandi mana jadwal tenggat waktu penetapan APBD di mana besaran besaran alokasi DAU dan DAK sudah terinfokan ke daerah pada minggu pertama alokasi DAU dan DAK sebelum sudah tahun terinfokan daerah pada minggu pertama November November anggaran ke yang baru. Sedangkan transfer DBH baru dapat terinformasikan setelah tahun anggaran telah berjalan yaitu sekitar Januari s/d Maret. sebelum tahun anggaran yang baru. Sedangkan transfer DBH baru dapat 55 | P a g e terinformasikan setelah tahun anggaran telah berjalan yaitu sekitar Januari s/d Maret. Sebagai akibatnya, daerah cenderung menganggarkan sangat pesimis (under estimate) pendapatan yang belum terinfokan tersebut.
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
69
Oleh karena itu, pemerintah diharapkan mampu mendorong penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai penerapan Midle Term Expenditure Framework (MTEF) sehingga daerah dapat mengetahui informasi transfer ke daerah yang meliputi alokasi DAU, DAK, DBH dan Dana Penyesuaian untuk kurun waktu 3 (tiga) tahun guna mempercepat penetapan APBD dan percepatan penyerapan belanja daerah. Dalam rangka mendorong percepatan ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan publik, pemerintah daerah didorong untuk lebih bijak dalam mengalokasikan distribusi belanja daerahnya terutama adanya effort guna meningkatkan alokasi belanja modal serta belanja barang untuk pemeliharaan insfrastruktur dalam struktur APBD. Disamping itu, daerah perlu mengurangi alokasi belanja tidak langsung terutama untuk membiayai belanja pegawai dengan cara menghitung kembali kebutuhan PNSD sesuai dengan formasi dan jabatan yang diperlukan. Penyerapan belanja daerah dari tahun ke tahun memiliki kemiripan dalam realisasinya, dimana pada awal Triwulan I sampai dengan Triwulan III, penyerapan belanja daerah sangat rendah dan baru meningkat realisasinya pada Triwulan IV sampai dengan akhir tahun. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan rencana penarikan dana yang telah ditargetkan dan tertuang dalam DPA SKPD serta menimbulkan potensi terjadinya kesulitan likuiditas keuangan daerah pada saat meningkatnya penyerapan belanja daerah. Selain itu, daerah tidak cukup mampu mengejar peningkatan belanja pada saat terjadi tambahan pendapatan yang cukup signifikan dari transfer Pusat ataupun peningkatan penerimaan. Daerah masih belum cukup mampu melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk menyerap pelampauan pendapatan tersebut. Dalam melakukan penyesuaian terhadap belanja untuk menampung informasi transfer yang diterima setelah APBD ditetapkan, daerah juga terkendala kecenderungan daerah
70
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
melakukan perubahan APBD pada saat menjelang akhir tahun anggaran berjalan (Agustus/September). Hal ini mengakibatkan waktu yang tersisa untuk menyesuaikan belanja dan merealisasikannya menjadi sangat sempit. Apalagi setelah APBD-P ditetapkan, daerah masih memerlukan proses tender yang sudah pasti akan berakibat pula terhadap keterlambatan pelaksanaan kegiatan. Apabila kegiatan yang didanai oleh DAK yang terlambat dan baru dilaksanakan mendekati akhir tahun anggaran, maka sangat berpotensi mengakibatkan rendahnya penyerapan dan rendahnya kualitas penyelesaian kegiatan. Kondisi ini bahkan diperparah oleh fakta di beberapa daerah terutama di wilayah timur Indonesia karena kurangnya personil yang mempunyai sertifikat pengadaan barang dan jasa sehingga berakibat pada keterlambatan dalam melaksanakan proses tender. Ditengarai pula adanya keengganan untuk menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan staf proyek karena adanya permasalahan hukum yang sering terjadi di daerah. Permasalahan lain yang mengemuka adalah adanya petunjuk teknis yang terlalu rigid sehingga daerah mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada kondisi daerah mereka yang spesifik. Adanya petunjuk teknis yang terlalu ketat dinilai terlalu membatasi ruang gerak pemerintah daerah untuk membuat banyak pilihan dalam memanfaatkan dana yang sudah dialokasikan buat masing-masing bidang yang didanai oleh DAK di daerah mereka. Petunjuk teknis yang terlalu kaku pada akhirnya dapat mengakibatkan daerah tidak bisa menggunakan DAK secara maksimal sesuai dengan kepentingannya, bahkan tidak jarang justru muncul kondisi kontraproduktif, seperti misalnya pelaksanaan pekerjaan yang terhambat dan penyerapan yang rendah. Selain petunjuk teknis DAK yang sudah ditetapkan, masih terdapat pula petunjuk pelaksanaan lain dari Kementerian teknis yang akan digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan yang didanai oleh DAK.
Bab III | Temuan Lapangan Dan Analisis Permasalahan
71
Dalam konteks ini terdapat dua hal yang perlu dicermati. Pertama, Kementerian Teknis sangat kurang memberikan kepercayaan kepada daerah untuk melaksanakan urusan yang sebenarnya telah menjadi kewenangan daerah. Meskipun ada petunjuk pelaksanaan, seharusnya tidak bersifat mengikat dan lebih merupakan guidance atau panduan bagi pelaksanaan DAK. Kedua, masih banyak daerah yang takut dan tidak percaya diri untuk melaksanakan urusannya sehingga mereka juga selalu menuntut adanya petunjuk dari pusat karena tidak mau bertanggung jawab. Keterlambatan penetapan petunjuk teknis oleh Kementerian Teknis terkait seringkali menyebabkan kegiatan DAK harus dilakukan melalui perubahan Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD) dan/atau APBD karena perencanaan kegiatan pembangunan yang bersumber dari DAK dan sudah tertuang dalam APBD tidak sesuai dengan petunjuk teknis sehingga berpotensi menimbulkan keterlambatan dan atau tidak selesainya kegiatan DAK. Apabila kegiatan yang didanai oleh DAK terlambat dan baru dilaksanakan mendekati akhir tahun anggaran maka sangat berpotensi mengakibatkan rendahnya penyerapan dan rendahnya kualitas penyelesaian kegiatan. Keterlambatan petunjuk teknis ini mengakibatkan keterlambatan berantai dari keseluruhan proses pelaksanaan kegiatan yang didanai DAK. Meskipun bukan merupakan keharusan bagi pemerintah daerah untuk membentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Keuangan Daerah, namun keberadaan Tim Koordinasi yang dibentuk oleh Kepala Daerah sangat membantu dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di daerah terkait pengelolaan APBD, mempermudah koordinasi antara SKPD sehingga pada akhirnya realisasi penyerapan belanja daerah dapat dipercepat, terutama belanja barang untuk pemeliharaan infrastruktur serta belanja modal yang terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana pelayanan dasar kepada masyarakat.
72
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal terkait pelaksanaan spending performances dalam mendanai pelayanan publik daerah sebagai berikut: 1. Penyerapan belanja daerah dari tahun ke tahun memiliki kemiripan dalam realisasinya, di mana pada awal Triwulan I sampai dengan Triwulan III penyerapan belanja daerah sangat rendah dan baru meningkat realisasinya pada Triwulan IV sampai dengan akhir tahun. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan rencana penarikan dana yang telah ditargetkan dan tertuang dalam DPA SKPD serta menimbulkan potensi terjadinya kesulitan likuiditas keuangan daerah pada saat meningkatnya penyerapan belanja daerah. 2. Pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan publik (public oriented) tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik tetapi juga dapat dilihat dari berapa besar tingkat penyerapan realisasi belanja daerah (spending performances) terutama belanja barang dan belanja modal dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana pelayanan dasar di daerah. 3. Besar kecilnya tingkat penyerapan belanja daerah dalam mendanai pelayanan publik sangat dipengaruhi oleh proses perencanaan anggaran dan penetapan APBD di daerah. Keterlambatan daerah dalam menetapkan Perda APBD dapat menunda realisasi penyerapan
Bab IV | Penutup
73
belanja daerah. Disamping itu, proporsi alokasi belanja barang dan belanja modal untuk penyediaan sarana dan prasarana layanan publik masih rendah dalam struktur APBD jika dibandingkan dengan alokasi untuk belanja pegawai sehingga kinerja spending performances dalam mendanai pelayanan publik masih belum optimal dan efektif. 4. Realisasi penyerapan belanja daerah sampai dengan akhir tahun anggaran seringkali masih di bawah target atau lebih rendah dibandingkan dengan anggaran APBD karena daerah tidak cukup mampu mengejar peningkatan belanja atau belum cukup mampu melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk menyerap pelampauan pendapatan tersebut saat terjadi tambahan pendapatan yang cukup signifikan dari transfer Pusat ataupun peningkatan penerimaan lainnya, serta adanya kecenderungan daerah untuk melakukan perubahan APBD sekitar bulan Agustus – Oktober tahun anggaran berjalan, sehingga daerah tidak cukup waktu untuk melaksanakan penyerapan belanja daerah. 5. Kualitas belanja daerah dan APBD selama ini dianggap masih lemah dengan salah satu indikasinya adalah alokasi belanja tidak langsung selalu lebih besar dari belanja langsung dan penyerapan belanja daerah yang relatif rendah. Hal ini juga bisa dilihat dari tingkat penyerapan belanja daerah yang relatif rendah terutama untuk belanja modal dan belanja barang yang terkait dengan public service delivery. 6. Rendahnya realisasi belanja daerah yang didanai dari DAK tidak hanya disebabkan oleh kurang berjalannya fungsi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di daerah dengan baik, namun juga dipengaruhi oleh adanya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat terutama yang terkait dengan mekanisme perencanaan dan penganggaran, mekanisme transfer ke daerah, dan penetapan petunjuk teknis DAK yang terlambat sehingga mempengaruhi penyelesaian pekerjaan di daerah.
74
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
B. SARAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil kajian pelaksanaan spending performances dalam mendanai pelayanan publik daerah, kami merekomendasikan hal-hal sebagai berikut : 1.
Pemerintah pusat perlu mendorong daerah untuk dapat meningkatkan proporsi alokasi belanja barang dan belanja modal dalam APBD sehingga dapat mempercepat tersedianya sarana dan prasarana layanan publik yang memenuhi Standar Pelayanan Minimum (SPM) dengan cara membuat aturan dalam perencanaan anggaran di daerah terutama terkait dengan batas minimal proporsi alokasi belanja barang dan belanja modal dan sifatnya mengikat daerah dengan menerapkan sanksi kepada daerah yang melanggar batasan tersebut.
2.
Untuk mendorong percepatan penyerapan belanja daerah, pemerintah pusat perlu melanjutkan kebijakan pengenaan sanksi kepada pemda yang terlambat dalam menetapkan dan menyampaikan perda APBD 2013, serta memberikan reward kepada pemda yang tepat waktu dalam menetapkan dan menyampaikan perda APBD 2013. Penetapan Perda APBD di daerah secara tepat waktu serta pelaksanaan tender pada awal tahun anggaran diharapkan dapat mempercepat realisasi belanja daerah, terutama belanja modal dan belanja barang untuk layanan publik dan peningkatan perekonomian daerah.
3. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan spending performances yang mampu mendorong percepatan realisasi belanja daerah: a. Pemerintah daerah perlu memprioritaskan alokasi belanja untuk program/kegiatan dalam rangka penyediaan sarana dan prasarana layanan publik di daerah, dengan cara meningkatkan alokasi belanja barang dan belanja modal dalam APBD, dan mengurangi proporsi untuk belanja pegawai daerah dan belanja tidak langsung lainnya. Penganggaran belanja langsung dalam APBD digunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan daerah, yang terdiri dari
Bab IV | Penutup
75
urusan wajib dan urusan pilihan yang dituangkan dalam bentuk program dan kegiatan, yang manfaat capaian kinerjanya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik dan keberpihakan pemerintah daerah kepada kepentingan publik. b. Perlu mengusulkan secara resmi kepada Kementerian Dalam Negeri untuk menyusun ketentuan (Permendagri) tentang Pedoman Penyusunan APBD yang mengatur proporsi alokasi belanja barang untuk pemeliharaan infrastruktur dan belanja modal minimal ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 20 (dua puluh) persen dari total APBD guna mempercepat penyediaan sarana dan prasarana layanan publik dan peningkatan perekonomian daerah. 4.
Pemerintah pusat perlu mendorong penyusunan peraturan perundangundangan mengenai penerapan Midle Term Expenditure Framework (MTEF) sehingga daerah dapat mengetahui informasi transfer ke daerah yang meliputi alokasi DAU, DAK, DBH dan Dana Penyesuaian untuk kurun waktu 3 (tiga) tahun guna mempercepat penetapan APBD dan percepatan penyerapan belanja daerah.
5. Terkait dengan rendahnya penyerapan program/kegiatan yang didanai dari DAK, Kementerian Keuangan perlu mendorong Kementerian teknis untuk dapat menetapkan petunjuk teknis pelaksanaan DAK berupa pedoman umum penggunaan DAK guna mencapai standar pelayanan minimum dan prioritas nasional, serta dibuat tidak terlalu rigid, tetapi dibuat lebih umum dan lebih fleksibel serta peruntukannya untuk jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, sehingga daerah lebih mudah dalam melaksanakan kegiatan DAK dan adanya kepastian kegiatan tersebut sesuai dengan petunjuk teknis DAK. 6. Pemerintah daerah perlu membentuk Tim Koordinasi di daerah sehingga memudahkan koordinasi antara SKPD dalam pengelolaan keuangan daerah baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun pertanggungjawaban APBD serta memudahkan daerah untuk 76
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
menyelesaikan permasalahan di daerah terutama yang terkait dengan pelaksanaan spending performances dalam mendanai pelayanan publik di daerah.
Bab IV | Penutup
77
DAFTAR PUSTAKA
Halim, Abdul dan Ibnu Mujid. 2009. Problem Desentralisasi dan Perimbangan Keuangan Pemerintahan Pusat-Daerah, Peluang dan Tantangan dalam Pengelolaan Sumber Daya Daerah. Sekolah Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta. Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta. Robinson, Marc and D. Last. 2009. A Basic Model of Performance-Based Budgeting. Technical Notes and Manuals. International Monetary Fund. Washington Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. www.djpk.depkeu.go.id.
78
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyusunan buku kajian “Laporan Pelaksanaan Spending Performances Dalam Mendanai Pelayanan Publik” dilaksanakan dengan team work yang solid dan tidak akan mungkin terselesaikan tanpa kontribusi dan kerja sama dari seluruh pihak yang berperan. Oleh karena itu, ungkapan rasa terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tulisan ini, yaitu: -
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan – DR. Boediarso Teguh Widodo, dan Direktur Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah – Ir. Adijanto, MPA, yang telah memberikan arahan dan bimbingan hingga diselesaikannya penyusunan buku ini.
-
Para pejabat di daerah sampel yang dikunjungi yang telah bersedia menyediakan waktunya dalam Focus Group Discussion (FGD) serta dalam menyediakan data-data yang diperlukan dalam kajian pelaksanaan spending performances dalam mendanai pelayanan publik.
-
Selanjutnya terima kasih kepada tim dari Subdirektorat Evaluasi Dana Desentralisasi dan Perekonomian Daerah (Ubaidi Socheh Hamidi, SE, MM; Ahmad Iskandar, SE, M.Fin.Mgt; Prasetyo Indro Soejono, SE, ME; Armansyah Sinaga, SE; Faisal, SE, Ak; Edi Soeprijono, S.Sos; Maryadi, SE, MM; Chrisliana Tri Ferayanti, SE, ME; Virgin Marthalia, A.Md; Rika Hijriyanti, S.Si; Ganjar Prihatmoko, SE; Desain Kristian Gulo, SE; Nanag Garendra Timur, S.Si.; dan Bondan Widyatmoko, SE; yang telah melakukan pengolahan data dan sekaligus mendukung penulisan buku, serta Lukman Adi Santoso, SE, ME, yang telah membantu melakukan editing hingga melakukan setting layout pencetakan buku ini. Terima kasih atas kerja kerasnya.
Ucapan Terima Kasih
79
80
Laporan Pelaksanaan Spending Performance dalam Mendanai Pelayanan Publik
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN