LAPORAN KASUS
RINITIS ALERGI
DOKTER PEMBIMBING : dr. Sondang BRS, Sp. THT, MARS
OLEH : Jessie Widyasari (2005730037)
BAGIAN THT RSUD CIANJUR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2010
1
KAT KATA PE PE
ANT ANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus yang berjudul Rinitis Alergi. Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada dr. Sondang BRS, Sp.THT, MARS, selaku konsultan dibagian THT di RSUD Cianjur dan rekanrekan yang ya ng telah membantu penulis dalam pembuatan laporan laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih banyak banya k terdapat kesa lahan. Untuk Unt uk itu, kritik dan saran yang bersifat bersifat membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya bagi para pembaca.
Cianjur, Juli 2010
Penulis,
2
ILUSTRASI KASUS
Identitas Pasien
Nama
: EA
Jenis kel elam in amin
erempua n : Pere mpuan
Umu murr
n : 19 tahu ahun
Alamat
ira anj nja ang : Cir
Agama
slam : Isl am
erjaa n Pekerj aan
ngga Tangg al
berobat
ela : Pel a j ja ar
: 12/07/2010
2.2 Anamnesis Keluhan utama
idu seja n ini Hid ung meler sej ak 6 tahu ahun Keluhan tambahan
sing, mata sakit dan ber era Bersin-bersin, pu pusing, air Riwayat penyakit sekarang
eora n) datang ke RSUD Cianj nju denga eluha n Seor ang wanita (19 tahu ahun) ur, deng an kel uhan idu seja n ini ter eru da saat pa gi dan ma ri atau hid ung meler sej ak 6 tahu ahun utama pa pad pagi mallam ha hari enga eja dia eru ng--ulang kali. Hid idu cuaca dingin. Pasien sering meng alam amii kej adi an ini ber ulang ung era asa sakit, bersin-bersin, kepa palla pu pusing sing dan mata menj enja adi ber era air. kadang ter Riwayat penyakit dahulu
sien pern ernah erha dap debu dan kulit menj enja Ketika kecil, pa pasien ah alergi ter had adi mer erah ah--mer erah ah dan gatal. Riwayat keluarga
sien menderita asma Ayah pa pasien ma..
3
Riwayat pengobatan
inum n tid ida sem Pasien berobat ke dokter umum umum,, min um obat namu amun ak se mbuh uh j ju uga.
2.3 Pemeriksaan Fisik
KU
ringa : Sakit ring an
esa adaran Kes
: Compos mentis
nda a Tand
Vital
- Na Nadi di
: 84 x/menit
- Pern ernapa apassan
: 20 x/menit
- Suhu
: af ebris
- TD
: 110 / 70 mmHg
Status Generalis
Kepa palla Mata
onju ungtiv iva a tid ida ak ane nem mis, skler lera a tid ida ak ikterik . : Konj
idu ung : status lokalis Hid elinga a Teling
: status lokalis
Mulut
: status lokalis
y
Leher
: status lokalis
y
ora aks Tor
: Pulmo : Vesikuler + / +, ronkhi -/- , wheezing -/COR
y
murni rni reg regu uler, mu murrmu murr -, Gallo llop p: S1 - S2 mu
dom men Abdo
nsp peksi Ins
upel el : Sup
4
si Palpa pasi o
Hepa parr
ida era : Tid ak ter aba
o
Splen
ida era : Tid ak ter aba
o
otement Ball otement
:-/-
Perkusi
ni : Timpa mpani
Auskultasi y
: BU (+) N
rem Ekstre mitas nga dema sia Atas : ha hang at +/+, ude ma -/-, RCT < 2 det, si anosis -/hang nga at +/+, ude dema ma -/-, RCT < 2 det, si sia anosis -/Bawah : ha
Status Lokalis THT icula Aur ic
Dext r ra Sinist r ra :
CAE
ena ang, Sekret -/: Ten
MT
erem : Intak +/+, hipere mis -/-, RC +/+
RA
ena : Ten ang
Nyeri tekan tragus
ega : Neg atif
osa Mukos a
erem : Hipere mis, sekret -/-
Konkha
rop : hipertro pi +/+, livid +/+
Nasi si Septum Na
: Lurus
Pasase Udara
:+/+
ssa Mass a
:-/-
si Kavum Na Nasi
ring / Oro rofa ring Nasofa Naso faring faring
osa a Mukos
Tonsil
i p (-) ena ang ng,, gr gra anul (-), post nasal d r rip : ten
:
T
I
T
rip I , kri pte lebar -/-, dedritus -/-,
perlengketan -/
Gigi
norma mall : dalam batas nor
sia ida erdapa rese N. krani nia Maksilo Fasi al : Simetris, tid ak terd apat pa parese alis Leher
5
esa ndibula -/-, rantai j ju Pembes aran KGB submental -/-, subma mandi uguler -/-, sup uprraklavikula -/-
Usulan
n pen enu pemeriksaa aan u j ja ang:
gnosa a Diagnos
nsilum ina umin asi Transil
sinof il Hitung eusino f il
P r i ck rick
test
erja Kerj a
Rhinitis alergi
ena n Pen atalaksanaa aan Non fa farrmakologis
inda ari alergen Hind
Olah raga
denga nga Mandi deng an air ha hang at
enggu unakan ma massker Mengg
Farmakologis
Antibiotik
in Antihistam amin
Denkongestan
Kortikosteroid
nom odu Imu muno mod ulator
Prognosis Q uo Ad Vitam
onam am : b on
ionam Q uo Ad Function am
onam : bon am
ionam Q uo Ad Sanantion am
onam : bon am
6
BAB I PENDAHUL NDAHU LUAN
1.1 Latar belaka belaka Gangguan
alergi yang melibatkan hidung ternyata lebih sering daripada
perkiraan dokter maupun orang awam, yaitu menyerang 10 % dari populasi umum. Hidung, sebagai salah satu organ yang menonjol pada penyakit alergi, terganggu oleh manifestasi alergi primer, rhinitis kronik dan sinusitis yang menunggangi perubahan alergi, komplikasi pada obstruksi anatomis relative ringan karena edema, dan akhirnya, efek lanjut karena gangguan alergenik kronik, seperti hipertrofi mukosa dan poliposis. Aliran udara hidung dapat terganggu oleh kongesti kongesti hidung dan r inore yang terjadi pada rhinitis alergi, baik langsung ataupun tidak langsung. Rinitis alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di derita oleh perempuan dan laki-laki yang berusia 30 tahunan. Merupakan inflamasi mukosa saluran salura n hidung dan sinus yang disebabkan alergi aler gi terhadap terhada p partikel, partikel, seperti debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di udara. Meskipun bukan penyakit berbahaya yang mematikan, rinitis alergi harus dianggap penyakit yang serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Tak hanya aktivitas sehari-hari yang menjadi terganggu, biaya yang akan dikeluarkan untuk mengobatinya pun akan semakin mahal apabila penyakit ini tidak segera diatasi karena telah menjadi kronis.
7
BAB II E
BRIOL RIOLOGI, ANAT ANATOMI, DAN FISIOL FISIOLOGI HIDUNG
2.1 Ana Anat mi dan Emb Embri logi logi Hidung
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan hidung perlu diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat di dalam hidung perlu diketahui dan dipelajari pula cara pemeriksaan hidung. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, 3) beberapa pasang kartilago alar minor dan 4) tepi anterior kartilago septum. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior
dan
lubang
belakang
disebut
nares
posterior
(koana)
yang
menghubungkan menghubungkan kavum nasi nas i dengan nasofaring. nas ofaring.
8
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakri malis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus
9
semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterio a nterior. r. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang ca bang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika a.oftalmika berasal dari a.karotis interna.
2.2 Per Perdarahan arahan Hi Hidung
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina
10
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang ca bang-cabang -cabang a.fasialis. Pada
bagian
depan
septum
terdapat
a nastomosis anastomosis
dari
cabang ca bang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak. Vena-vena hidung me mpunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. 2.3 Per Per arafan Hi Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion
ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.
Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media. Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. hidung.
11
2.4 Hi Hi tologi ologi Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa
pernafasan
terdapat
pada
sebagian
besar
rongga
hidung
dan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar epithalium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat t erdapat sel-sel sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan
pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul
dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat.
Gangguan
gerakan silia dapat
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. li mfoid. Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler perigalnduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini
12
mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom. Mukosa sinus paranasal berhubungan dengan mukosa rongga hidung di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa rongga hidung, hanya lebih tipis dan pembuluh darahnya juga lebih sedikit. Sel-sel goblet dan kelenjar juga lebih sedikit dan terutama ditemukan dekat ostium. Palut lendir di dalam sinus dibersihkan oleh silia dengan gerakan menyerupai spiral ke arah ostium. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseusostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. kekuningan.
2.5 Fi Fi iologi ologi Hidung
Fungsi hidung ialah untuk jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara, turut membantu proses bicara dan dan refleks refl eks nasal.
13
a. SEBAGAI JALAN NAPAS Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sam seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan melaui nares anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring. b. PENGATUR KONDISI UDARA Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir (mucous blanket). Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan sebelumnya. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37 oC. c. SEBAGAI PENYARING DAN PELINDUNG Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dandilakukan oleh : rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, serta palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozyme.
14
d. INDRA PENGHIDU Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. e. RESONANSI SUARA Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). f. PROSES BICARA Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun t urun untuk aliran darah. g. REFLEKS NASAL Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan menyebabkan sekresi se kresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
2.6 Pem Pemerik aan Hi Hidung
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui mengetahui adanya kelainan hidung yaitu dengan cara pemeriksaan hidung luar; rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior serta nasoendoskopi. Pemeriksaan hidung luar dilakukan dengan cara inspeksi dan palpasi. Kelainan-kelainan yang mungkin didapati adalah kelainan kongenital, misalnya agenesis hidung, hidung bifida, atresia nares anterior, kista dermoid, meningokel dan meningo-ensefalokel; radang, misalnya selulitis; kelainan hidung misalnya saddle nose; kelainan akibat trauma trau ma serta tumor.
15
Rinoskopi anterior adalah pemeriksaan rongga hidung dari depan dengan memakai spekulum hidung. Di belakang vestibulum dapat dilihat bagian dalam hidung. Saluran udara harus bebas dan kurang lebih sama pada kedua sisi. Pada kedua dinding lateral dapat dilihat konka inferior. Hal-hal yang har us diperhatikan adalh : 1. Mukosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda. Pada radang berwarna merah, sedangkan pada alergi akan tampak pucat atau kebiru-biruan (livid). 2. Septum. Biasanya terletak ditengah dan lurus. Diperhatikan apakah terdapat deviasi, krista, spina, perforasi, hematoma, hematoma, abses dan lain-lain. lain-lain. 3. Konka. Diperhatikan apakah konka besarnya normal (eutrofi), hipertrofi, hipotrofi atau atrofi. 4. Sekret. Bila ditemukan sekret di dalam rongga hidung, harus diperhatikan banyaknya, sifatnya (serus, mukoid, mukopurulen, purulen atau berca mpur darah) dan lokasinya (meatus inferior, medius atau superior). superior). Lokasi sekret ini penting artinya, sehubungan dengan letak ostium sinus-sinus paranasal dan dengan demikian dapat menunjukkan dari mana sekret tersebut berasal. Krusta yang banyak ditemukan pada rinitis atrofi. 5. Massa. Massa yang sering ditemukan di dalam rongga hidung adalah polip dan tumor. Pada anak dapat ditemukan benda asing. asing. Rinoskopi posterior adalah pemeriksaan rongga hidung dari belakang, dengan menggunakan kaca nasofaring. Dengan mengubah-ubah posisi kaca, kita dapat melihat koana, ujung posterior septum, ujung poeterior konka, sekret yang mengalir dari hidung ke nasofaring (post nasal drip), torus tubarius, ostium tuba dan fosa rosenmuller. Akhir-akhir ini dikembangkan cara pemeriksaan dengan endoskop yang disebut nasoendoskopi. Dengan cara ini bagian-bagian rongga hidung yang tersembunyi yang sulit dilihat dengan rinoskopi anterior maupun posterior akan tampak lebih jelas.
16
BAB III PEMBAHASAN
y
Defi Defin ni i
Rinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik. Rinitis akut biasanya disebabkan oleh virus yaitu pada selesma atau menyertai campak, tetapi dapat juga menyertai infeksi bakteri seperti pertusi. Rinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Rinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa digolongkan dalam rhinitis kronik. Rinitis kronik dapat berlanjut menjadi sinusitis. Salah satu bentuk rhinitis kronis adalah rhinitis atropi yang diduga disebabkan oleh kuman Kliebsiella ozaena atau akibat sinusits kronis, defisiensi vitamin A. Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. t ersebut. Rinitis alergi menurut WHO (2001) adalah kelainan pada hidung setelah mukosa hidung terpapar oleh alergen yang diperantarai oleh IgE dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal pada hidung dan hidung tersumbat.
y
Etiolog Etiologii
Gejala
rinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor:
1. Aler Alergen
Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen hirupan utama penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia, sedang pada bayi dan balita, makanan masih merupakan penyebab yang penting.
17
2. Poluta Polutan n
Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis. Polusi dala m ruangan rua ngan teruta ma gas dan asap rokok, sedangkan sedangkan polutan di luar termasuk gas buang disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida. Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui lebih jelas. 3. Aspiri Aspirin n
Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis alergika pada penderita tertentu.
y
Pato atofis fisiologi ologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
18
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji ( Antigen Presenting /APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa Cell /APC) hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II ( Major Histocompatibility Complex ) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan da n Th 2. Th 2 akan menghasilkan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk ( Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (P GD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin. Platelet Activating
Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,
GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor ) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat C epat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala
lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
19
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran I nter nter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.
y
Gamb ambaran aran Hi Histologik ologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad ) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
20
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran
yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar
keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Berdasarkan cara masuknya masuknya alergen dibagi atas: 1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan serta jamur. 2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting kepiting dan kacang-kacangan. 3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah. 4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan. Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi gejala campuran. ca mpuran. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari: 1. Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder. 2. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier. 3. Respon tersier
21
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
3.5 Kla Klasifikas ifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu : y
R initis itis aler lergi musima usiman n (sea (seasona sonal, hay f ever ever, poli polinosi nosis)
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi). Penyakit ini timbulnya periodik, sesuai dengan musim, pada waktu terdapat konsentrasi alergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua golongan umur dan biasanya mulai timbulnya pada anak-anak dan dewasa muda. Berat ringannya gejala penyakit bervariasi dari tahun ke tahun, tergantung pada banyaknya alergen di udara. Faktor herediter pada penyakit ini sangat berperan. y
R initis itis aler lergi sepa sepanja njang tahun tahun (pe (perrenia enial) l) Gejala
pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus,
tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen luar rumah (outdoor). Alergen inhalan dalam rumah terdapat di kasur kapuk, tutup tempat tidur, selimut, karpet, dapur, tumpukan baju dan buku-buku, serta sofa. Komponen alergennya terutama berasal dari serpihan kulit dan feses tungau D. Pteronyssinus, D. farinae dan Blomia tropicalis, kecoa dan bulu binatang peliharaan (anijng,
kucing, burung). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan
22
pencernaan.
Gangguan
fisiologik pada golongan perenial lebih ringan
dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan. dit emukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya berlangsungnya dibagi menja di : 1. Int Intermiten rmiten (ka (kad dang-ka ng-kad dang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 munggu. 2. Per Persisten/m en/mene eneta tap p bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi : 1. R inga ngan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu. mengganggu. 2. Sed Seda ang atau berat berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
3.6 Diagnos iagnosiis 1. Anam Anamnes nesiis Gejala
rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan
bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri ( self cleaning process ). ). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala
lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang ka dang-kadang -kadang disertai diserta i dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai
23
oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
2. Pem Pemerik s aan aan Fi Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, basa h, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala
persisten,
mukosa
inferior
tampak
hipertrofi.
nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia.
Pemeriksaan
Gejala
spesifik
lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala
ini disebut allergic shiner . Selain dari itu sering juga tampak
anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengjung lengjung langitlangit
yang
tinggi,
sehingga
akan
menyebabkan
gangguan
pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue) t ongue).. .. 3. Pem Pemerik s aan aan Penunja Penunj ang a. In vitr vitro o
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula
pemeriksaan
IgE
total
( prist-paper radio
imunosorbent test ) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali
bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat
24
alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST ( Radio mmuno I mmuno
Sorbent Test ) atau ELISA ( Enzyme Linked I mmuno mmuno
). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak Sorbent A ssay Test ). dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya
eosinofil
dalam
jumlah
banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
b. In vi vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration /SET). SET dilakukan untuk elergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (³Challenge Test ´). ´). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.
3.7 Dia Diagnos gnosiis ba bandi nding
Rhinitis non alergi, rhinitis infeksi, dan common common cold
25
Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat, ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang. Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dansebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan ga ngguan oleh individu tersebut. Tabel. Diagnosis banding rhinitis alergika dan rhinitis rhi nitis vasomotor.
Penatalaksanaan r initis vasomotor bergantung pada pa da berat ringannya r ingannya gejala dan dapat dibagi atas tindakan konservatif dan operatif. Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor : 1. obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
26
2. faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi dan bau yang merangsang. 3. faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan hipotiroidisme. 4. faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.
3.8 Penata Penatallak s anaan aan
Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain: 1. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang. 2. Tidak menimbulkan takifilaksis. 3. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun demikian pilihan terapi tera pi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain. 4. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan dengan adanya efek sa mping sistemik. sistemik. Jenis obat yang sering digunakan (untuk Anak): 1. Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4 kali/hari 2. Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun ta hun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari. 3. Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2 5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun ta hun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
27
4. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30 mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4 kali/hari. 5. Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 5-11 tahun : 1 semprotan 2 kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari. 6. Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15 mg/hari, 4 kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari 4 kali/hari. ka li/hari. Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 2-3 kali/hari. 7. Kortikosteroid intranasal Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih parah. Efektif untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik. eosinofilik.
y
Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4 tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.
y
Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11 tahun : 1 semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.
y
Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6 tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang rendah dan keamanannya lebih baik.
8. Leukotrien antagonis y
Zafirlukast
yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.
Terapi imun spesifik (TIAS) atau allergen specific immunotherapy , masih diperdebatkan rasional tidaknya. Dari berbagai penelitian ternyata TIAS efektif apabila diberikan pada pasien rintis alergi yang IgE mediated dan sensitif terhadap
28
satu atau sejumlah terbatas alergen. TIAS saat ini telah direkomendasi direkomendasi oleh JTFPP ( J oint oint Task Force on Practice Parameters ) yang mewakili the AAAAI , the AC AAI
, dan J C C A AI) yang merupakan 3 perhimpunan Alergi Immunologi
terkemuka di dunia. JTFPP mengakui bahwa TIAS merupakan satu-satunya pengobatan antigen-specific immuno-modulatory pada penggunaan rutin, dan diakui memiliki manfaat jangka panjang dalam menurunkan gejala rinitis alergi dan kualitas hidup pasien sampai 2-5 2-5 tahun setelah dihentikan. Secara imunologis, TIAS mempengaruhi keseimbangan Th1/Th2 dalam lebih meningkatkan respon Th1, dan menekan respon Th2. TIAS juga meningkatkan kadar IgG4 spesifik yang mampu menghambat kinerja I gE in vitro. TIAS menginduksi IL-10 dan TGF - producing T cells (TReg). IL-10 dan T GFmemiliki potensi anti alergi terhadap sel mast, sel T, dan eosinofil. Kedua sitokin tersebut juga menginduksi sel B dalam memproduk Ig G4. dan IgA. Sesuai dengan anjuran ARIA-WHO, pasien rinitis alergi, derajat mild persistent atau moderate-severe persistent , terhadap alergen debu rumah dan atau
tungau Dpt, maupun serbuk - serbuk bunga, yang mengalami kegagalan oleh pengobatan medikamentosa dan telah bergejala lebih dari setahun, perlu dianjurkan untuk menjalani TIAS. TIAS harus dikerjakan oleh tenaga kesehatan yang kompeten. Antihi Antihisstamin tami n
Antihistamin bekerja dengan memblok reseptor histamin. Dikenal 3 macam reseptor histamin yaitu H1, H2 dan H3. Reseptor histamin yang diblok
29
pada
pengobatan
rinitis
alergi
adalah
H1
yang
terdapat
di
bronkus,
gastrointestinal, otot polos, dan otak.
Gamb ambar. ar. Targe Targett-targe targett terap rapi rhin rhinitis itis aler lergika. ika.
Saat ini antihistamin (AH1) yang beredar di pasaran adalah generasi pertama dan kedua. AH1 generasi kedua sudah mulai menggeser kepamoran generasi pertama karena memiliki banyak kelebihan. Perbedaan menonjol di antara keduanya terletak pada kemampuan menembus sawar darah otak dan selektivitas/spesifisitas. AH1 generasi kedua bersifat lipofobik sehingga kurang mampu menembus sawar darah otak, yang akhirnya mengakibatkan penurunan efek sedasi. Di samping itu, generasi kedua lebih selektif sehingga tidak mempengaruhi reseptor fisiologik yang lain seperti muskarinik dan adrenergik alfa. Kelebihan lain generasi dua adalah mempunyai efek antialergi dan antiinflamasi. Dikatakan antialergi karena dapat menghambat pelepasan histamin, prostaglandin, kinin, dan leukotrien. Sedangkan antiinflamasi dikarenakan dapat mengurangi mengurangi ekspresi ICAM-1 ICAM- 1 pada epitel konjungtiva. konjungtiva. Kortik Kortik ost osteroid
Berdasarkan pemakaiannya, kortikosteroid dibagi menjadi 2 yaitu topikal dan sistemik. Kortikosteroid topikal menjadi pilihan pertama untuk penderita 30
rinitis alergi dengan gejala sedang sampai berat dan persisten (menetap), karena mempunyai efek antiinflamasi jangka panjang. Kortikosteroid topikal efektif mengurangi gejala sumbatan hidung yang timbul pada fase lambat. Efek spesifik kortikosteroid topikal antara lain menghambat fase cepat dan lambat dari rinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2, sel mast dan basofil, mencegah switching dan sintesis IgE oleh sel B, menekan pengerahan lokal dan migrasi transepitel dari sel mast, basofil, dan eosinofil, menekan ekspresi
GM-
CSF, IL-6, IL-8, RANTES, sitokin, kemokin, mengurangi jumlah eosinofil di mukosa hidung dan juga menghambat pembentukan, fungsi, adhesi, kemotaksis dan apoptosis eosinofil 1. Studi meta-analisis oleh Weiner JM dkk, seperti dilansir dari British Medical J ournal ournal 1998, menyimpulkan bahwa kortikosteroid intranasal lebih baik
digunakan sebagai terapi lini pertama rinitis daripada antihistamin, ditilik dari segi keamanan dan cost-effective-nya. Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi jangka pendek pada penderita penderita rinitis alergi aler gi berat yang refrakter terhadap terhada p terapi pilihan pertama. Dek Dek ongesta ongestan n
Dekongestan dapat mengurangi sumbatan hidung dan kongesti dengan cara vasokonstriksi melalui reseptor adrenergik alfa. Preparat topikal bekerja dalam waktu 10 menit, dan dapat bertahan hingga 12 jam. Efek samping adalah rasa panas dan kering di hidung, ulserasi mukosa, serta perforasi septum. Yang terakhir jarang terjadi. Takifilaksis dan gejala rebound (rinitis medikamentosa) dapat terjadi pada pemakaian dekongestan dekongestan topikal jangka panjang.
31
Efek terapi dari preparat oral dirasakan setelah 30 menit dan berakhir 6 jam kemudian, atau dapat lebih lama (8-24 jam) bila bentuk sediaanya adalah tablet lepas lambat ( sustained release). Efek samping berupa iritabilitas, pusing melayang (dizziness), sakit kepala, tremor, takikardi, dan ins omnia. Pensta Penstab bil Sel Ma Mast
Contoh golongan ini adalah sodium kromoglikat. Obat ini efektif mengontrol gejala rinitis dengan efek samping yang minimal. Sayangnya, efek terapi tersebut hanya dapat digunakan sebagai preventif. Preparat ini bekerja dengan cara menstabilkan membran mastosit dengan menghambat influks ion kalsium sehingga pelepasan mediator tidak terjadi. Kelemahan lain adalah frekuensi pemakaiannya sebanyak 6 kali per hari sehingga mempengaruhi kepatuhan pasien. I mmuno mmunotterap rapi
Mekanisme immunoterapi dalam menekan gejala rinitis adalah dengan cara mengurangi jumlah IgE, neutrofil, eosinofil, sel mast, dan limfosit T dalam peredaran darah. Salah satu contoh preparat ini adalah omalizumab. Omalizumab merupakan antibodi anti-IgE monoklonal yang bekerja dengan mengikat IgE dalam darah. Penelitian menunjukkan, omalizumab berhasil menurunkan kadar IgE bebas dan memperbaiki gejala rinitis. Uji klinis fase II memaparkan, dosis omalizumab adalah 300 mg secara subkutan, 1 kali setiap 3-4 minggu. Secrist H dkk dalam J ournal ournal of Experimental Medicine 2006 memaparkan, immunoterapi dapat mengurangi IL-4 yang diproduksi oleh limfosit T CD4 +. Dengan demikian, produksi pr oduksi IgE pun akan berkurang.
32
Fot Fototerap rapi
Alternatif terbaru yang ditawarkan bagi penderita rinitis yang tidak mendapat respon perbaikan dengan terapi konvensional adalah fototerapi. Hal itu dibuktikan oleh Koreck AI dkk seperti dikutip dalam J ournal ournal of Allergy and Clinical I mmunology mmunology 2005.
Ide ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa fototerapi digunakan pada beberapa penyakit kulit seperti psoriasis karena dapat merangsang apoptosis limfosit T. Penelitian ini membandingkan kemampuan sinar ultraviolet dengan cahaya tampak intensitas rendah (low-intensity visible light ) dalam mengurangi gejala rinitis. Subyek penelitian disinari sebanyak 3 kali per minggu selama 3 minggu. Dosis inisial sinar ultraviolet adalah 1,6 J/cm2 dan dinaikkan 0,25 J/cm2 setiap 3 kali pengobatan. Sedangkan cahaya tampak intensitas rendah diberikan sebesar 0,06 J/cm2. Hasilnya, gejala rinitis berkurang dan didapatkan pula penurunan jumlah eosinofil, eosinophilic cationic protein (ECP) dan IL-5 pada kelompok sinar ultraviolet daripada kelompok cahaya tampak intensitas rendah. Menghi Menghind ndari ari Aler Alergen
Sebenarnya cara terbaik untuk mencegah timbulnya alergi adalah dengan menghindari alergen. Cara ini murah dan rasional tapi sulit diterapkan. Ada 3 tipe pencegahan yaitu primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah terjadinya tahap sensitisasi. Hal yang dapat dilakukan adalah menghindari paparan terhadap alergen inhalan maupun ingestan selama hamil, menunda pemberian susu formula dan makanan padat sehingga pemberian ASI lebih lama. Pencegahan sekunder adalah mencegah
33
gejala timbul dengan cara menghindari alergen dan terapi medikamentosa. Sedangkan pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi atau berlanjutnya penyakit. Banyak penelitian yang telah membuktikan adanya hubungan antara rinitis alergi dengan penurunan kualitas hidup penderitanya. Bahkan, bila dihitung secara kasar, negara pun ikut merugi. Sebagai contoh, I nternational nternational Congress of Allergy and Clinical I mmunology mmunology (ICACI) tahun 1997 di Mexico mengemukakan, rinitis
alergi menyebabkan hilangnya 3,5 juta hari kerja dan 2 juta hari sekolah setiap tahun dan menghabiskan menghabis kan dana 3,8 milyar US$ sebagai akibat kehilanga kehilangan n produktivitas kerja dan terapi dengan antihistamin di Amerika Serikat. Oleh karena itu, pencegahan melalui edukasi menjadi hal yang tak boleh dilupakan. Pasien perlu dimotivasi dan diberi pemahaman bahwa antihistamin dan kortikosteroid topikal perlu digunakan secara teratur dan tidak hanya saat diperlukan. Tujuannya adalah mengurangi terjadinya
minimal persistant
inflammation (inflamasi minimal yang menetap) serta komplikasi rinitis alergi.
Penderita juga diberitahu mengenai efek samping obat yang mungkin timbul, apa yang harus dilakukan bila gejala itu timbul, dan komplikasi apa saja yang dapat terjadi pada rinitis alergi. Tanpa edukasi, mustahil dapat dicapai efek terapi yang optimal. Operatif Ope ratif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
34
3.9 Kom Komplika plikassi
Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah : -
Polip hidung. Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
-
Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. anak-anak.
-
Sinusitis paranasal.
Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rinitis alergi, tetapi karena adanya a danya sumbatan hidung, sehingga menghambat drenase.
35
DAFT DAFTAR PUST PUSTAKA
1. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher . Edisi ke lima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004. 2. Adams
G.,
Boies L., Higler P. Buku A jar Penyakit THT . Edisi ke enam. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1997. 3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Edisi ke delapan. McGrawl-Hill. 2003. 4. Becker, W., Naumann, H., Pfaltz, C. Ear, Nose, and Throat Disease. Edisi ke dua. Thieme. New York:1994. 5. Newlands, Shawn D. Bailey, Biron J. et al.. Textbook of Head and Neck Surgeryrd
Otolaryngology. 3
edition. Volume 1. Lippincot: Williams & Wilkins.
Philadelphia. 273-9. 2000. 6. Mygind, Niehls. Nacleria, Robert M. Alergic and Nonallergic Rhinitis, Clinical A specst.
1st Edition. Munksgaard. Copenhagen. 159-165. 1993.
7. Krouse, John H. Chadwick, Stephen J. Allergy
and
I mmunology, mmunology,
Gordon,
An
Bruce R. Derebery, M. Jennifer.
Otolaryngic
A pproach.
Lippincott
Williams&Wilkins. Williams&Wilkins. USA. 209-219. 209 -219. 2002. 8. Sumarman, Iwin. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan Pencegahan Rinitis Alergis,
Tinjauan A spek Biomolekuler . Bandung : FK UNPAD. UNPAD. 1-17. 2000.
9. Mansjoer, Arif dkk.. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Pertama. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. FKUI. 106-108. 106 -108. 2001. ts I mpact mpact on A sthma 10. Bousquet, J. Cauwenberge, P. ARIA ( Allergic Rhinitis and I ts I nitiative) nitiative).
36