BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Perubahan Peruba han paradi gma baru pengelolaan pengelolaa n barang milik negara / aset negara yang yan g ditandai dengan keluarkannya PP No. 6 /2006 yang merupakan peraturan turunan UU No. 1 /2004 tentang Perbendaharaan Negara, telah memunculkan optimisme baru best practices dalam penataan dan pengelolaan aset negara yang lebih tertib, akuntabel, dan transparan kedepannya. Pengelolaan aset negara yang professional dan modern dengan mengedepankan good governance di satu sisi diharapkan akan mampu meningkatkan kepercayaan pengelolaan keuangan negara dari masyarakat / stake-holder . stake-holder . Pengelolaan aset negara dalam pengertian yang dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (1) dan Ayat (2) PP No.6/2006 adalah tidak sekedar administratif semata, tetapi lebih maju berfikir dalam menangani aset negara, dengan bagaimana meningkatkan efisiensi, efektifitas dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Oleh karena itu, lingkup pengelolaan aset negara mencakup perencanaan kebutuhan dan penganggaran; pengadaan; penggunaan; pemanfaatan; pengamanan dan pemeliharaan; penilaian; penghapusan; penghapusan;
pemindahtanganan;
penatausahaan;
pembinaan,
pengawasan,
dan
pengendalian. Proses tersebut merupakan siklus logistik yang lebih terinci yang didasarkan pada pertimbangan perlunya penyesuaian terhadap siklus perbendaharaan dalam konteks yang lebih luas (keuangan negara). Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, pada bidang pengelolaan barang milik daerah dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 152 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah Aset atau barang milik daerah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan keuangan daerah dan merupakan potensi ekonomi yang dimiliki oleh daerah. Potensi ekonomi bermakna adanya manfaat finansial dan ekonomi yang bisa diperoleh pada masa yang akan datang, yang bisa menunjang peran dan fungsi pemerintah daerah sebagai pemberi pelayanan publik kepada masyarakat. Pengelolaan aset daerah diatur dalam PP No.6/2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Permendagri No.17/2007 tentang Pedoman Pedoman Pengelolaan P engelolaan Barang Milik Daerah. Lingkup pengelolaan aset dimaksud meliputi (1) perencanaan kebutuhan dan penganggaran, (2) pengadaan, (3) penggunaan, (4) pemanfaatan, (5) pengamanan dan pemeliharaan, (6) penilaian, (7) penghapusan, (8) pemindahtanganan,
(9)
penatausahaan,
dan
(10)
pembinaan,
pengawasan,
dan
pengendalian. Sebagaimana diketahui bahwa Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) oleh Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan bahwa masih terdapat terda pat banyak Pemerintah Pemer intah daerah da erah yang masih memiliki memili ki manajemen manaj emen aset yang buruk. LKPD merupakan rapor pemerintah daerah dalam mempertanggungjawabkan amanat yang dipercayakan rakyat, utamanya yang terkait dengan penggunaan anggaran/dana publik, juga kepada stakeholder lainnya stakeholder lainnya (lembaga donor, dunia usaha, dll).
Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, pada bidang pengelolaan barang milik daerah dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 152 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah Aset atau barang milik daerah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan keuangan daerah dan merupakan potensi ekonomi yang dimiliki oleh daerah. Potensi ekonomi bermakna adanya manfaat finansial dan ekonomi yang bisa diperoleh pada masa yang akan datang, yang bisa menunjang peran dan fungsi pemerintah daerah sebagai pemberi pelayanan publik kepada masyarakat. Pengelolaan aset daerah diatur dalam PP No.6/2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Permendagri No.17/2007 tentang Pedoman Pedoman Pengelolaan P engelolaan Barang Milik Daerah. Lingkup pengelolaan aset dimaksud meliputi (1) perencanaan kebutuhan dan penganggaran, (2) pengadaan, (3) penggunaan, (4) pemanfaatan, (5) pengamanan dan pemeliharaan, (6) penilaian, (7) penghapusan, (8) pemindahtanganan,
(9)
penatausahaan,
dan
(10)
pembinaan,
pengawasan,
dan
pengendalian. Sebagaimana diketahui bahwa Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) oleh Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan bahwa masih terdapat terda pat banyak Pemerintah Pemer intah daerah da erah yang masih memiliki memili ki manajemen manaj emen aset yang buruk. LKPD merupakan rapor pemerintah daerah dalam mempertanggungjawabkan amanat yang dipercayakan rakyat, utamanya yang terkait dengan penggunaan anggaran/dana publik, juga kepada stakeholder lainnya stakeholder lainnya (lembaga donor, dunia usaha, dll).
Hasil kajian yang dilakukan oleh Ridwan Harun, mahasiswa pascasarjana pada Universitas Negeri Yogyakarta dan M. Chaeruddin Chaeruddin Sikki, Sikki, mahasiswa pascasarjana pada Universitas Indonesia menunjukkan bahwa kelemahan umum pengelolaan barang milik daerah adalah tidak berjalannya secara optimal para penanggungjawab atau fungsi-fungsi organisasi dalam pengelolaan dan penatausahaan penatausahaan barang pada lembaga beserta jajarannya, ketidaklengkapan dan pelaporan pada setiap bagian-bagian or ganisasi. Selain itu, pemanfaatan barang-barang daerah belum dilakukan secara optimal karena kurangnya ketrampilan kerja pegawai terutama yang berkaitan dengan pengggunaan teknologi baru dengan komputerisasi. Perilaku aparatur pengelola barangbarang daerah masih belum memiliki norma dan etika sebagai pengelola barang daerah sebagai akibat dari pengusaha swasta sebagai mitra kerja yang selalu menghendaki jalan pintas dalam memperoleh tender pengadaan barang dan penunjukan langsung pengadaan barang. Budaya kerja pengelola barang-barang daerah belum mampu meningkatkan efektivitas pengelolaan barang-barang daerah karena penunjukan tender masih bersifat nepotisme sehingga mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dalam pengadaan barangbarang daerah. Hendaknya dalam perencanaan barang daerah melalui tender maupun penunjukkan langsung dengan pihak ketiga dilakukan secara transparan sehingga bisa mengurangi mengurangi penyimpangan dala m pengadaan barang. bara ng. Berangkat dari uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih komprehensif tentang Pengaruh Penerapan Penerapan Manajemen Pengelolaan Barang Milik Daerah terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Studi Kasus Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua. Kajian ini berguna untuk mengetahui penerapan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah terhadap peningkatan kinerja Pemerintah Daerah yang diukur dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan. Hal ini didasarkan pada hasil pemeriksaan BPK yang selama ini
menyoroti tentang buruknya manajemen aset pada pemerintah daerah yang mana pada akhirnya mempengaruhi pemberian opini pada atas Laporan Keuangan Pemerintah Daearah itu sendiri.
B. RUMUSAN MASALAH 1. Apakah Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Pa pua telah melakukan manajemen aset? 2. Apakah manajemen aset telah didasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Da erah? 3. Apakah penerapan manajemen aset berpengaruh terhadap kinerja Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua?
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan Penulisan adalah : 1. Untuk mengetahui dasar-dasar penerapan manajemen asset. 2. Untuk mengetahui perlakuan manajemen asset pada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua. 3. Untuk mengetahui pengaruh manajemen asset terhadap kinerja Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua.
D. MANFAAT PENELITIAN Manfaat Penulisan adalah : 1. Untuk mengembangkan pengetahuan penulis dalam bidang Akuntansi Sektor Publik terutama di bidang Barang Milik Daerah. 2. Sebagai sumbangan pikiran bagi pihak Pemerintah Daerah dalam rangka sinkronisasi dan evaluasi.
3. Referensi bagi pihak-pihak lain yang akan melakukan penulisan serupa.
BAB II LANDASAN TEORI
Mengacu pada permasalahan dalam penelitian ini maka akan dikemukakan beberapa kerangka pemikiran sebagai landasan untuk menelaah masalah dalam rangka mencari solusi pemecahannya. Hal ini penting karena landasan teori merupakan unsure ilmu yang dapat memberikan kontribusi bagi peneliti untuk mencoba menerangkan fenomena yang menjadi pusat perhatiaanya. A. PENGERTIAN SISTEM Menurut Mulyadi ( 2001 : 2 ) pengertian system itu sendiri yaitu sekelompok unsure yang erat hubunganya satu dengan yang lainnya yang berfungsi bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem adalah suatu kerangka dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan yang disusun sesuai dgn suatu skema yang menyeluruh untuk melaksanakan sesuatu kegiatan atau fungsi perusahaan. ( C ole dalam Baridwan,1993;3). Sistem pada dasarnya adalah sekelompok unsure yang erat berhubungan satu dengan yang lainnya yang berfungsi bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. (Mulyadi 2001:1). Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa system adala h bagian-bagian atau prosedur-prosedur yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya yang berfungsi bersama-sama dalam mencapai tujuan tertentu. B. Pengertian Sistem Akuntansi Akuntansi didefinisikan sebagai proses penggolongan,peringkasan,pelaporan,dan penganalisian data keuangan suatu organisasi ( Har yono Jusuf ,2003:5).
Akuntansi didefinisikan sebagai seni pencatatan / pembukuan , pengklasifikasian , peringkasan dan pelaporan dala m suatu pola dan ukuran uang , transaksi-transaksi dan kejadian paling tidak bercirikan keuangan dan menginterpretasikan. Adapula definisidefinisi lain mengenai Akuntansi menurut American Institute of Comfied Public Accountants (ICPA) mendefinisikan : ³ Akuntansi sebagai suatu kegiatan jasa yang fungsinya adalah untuk menyediakan data kuantitatif terutama yang memiliki sifat keuangan dari keputusan usaha ekonomi yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan-keputusan ekonomi yang memiliki alternative dari suatu keadaan tertentu.´ Sedangkan system akuntansi adalah rangkaian metode dan prosedur (kertas , buku
/
catatan
laporan)
yang
digunakan
untuk
membukukan
/
mencatat
,
mengklasifikasikan dan meringkas informasi keuangan menjadi laporan untuk didistribusikan kepada para pemakai . Namun ada pula definisi lain tentang system akuntansi yang telah diberikan oleh para ahli akuntansi , misalnya Hadari Yunus . Sistem akuntansi merupakan suatu alat yang dipakai untuk mengorganisir atau menyusun , mengumpulkan , dan mengikhtisarkan keterangan-keterangan
,
seluruh
transaksi
perusahaan
dengan
menyatupadukan
pengekuarannya agar dijalankan sebaik-baiknya (Hadari Yunus) . Mulyadi sendiri menyatakan bahwa system akuntansi adalah organisasi , formulir, catatan dan laporan yang dikoordinasi sedemikian rupa untuk menyediakan informasi keuangan yang dibutuhkan oleh manajemen guna memudahkan pengelolaan perusahaan: unsur pokok sistem akuntansi adalah for mulir , catatan teori dari buku besar serta laporan. C. Pengertian Kinerja Dan Penilaian Kinerja
Kinerja adalah suatu ta mpilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki (Helfert, 1996). Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi yang antara lain termasuk kuantitas output, kualitas output, jangka waktu output, kehadiran di tempat kerja dan sikap koperatif (Robert dan John, 2002). Menurut Ambar Teguh Sulistiyani (2003 : 223) : kinerja seseorang merupakan kombinasi atau kemampuan , usaha , dan kjesempatan yang dapat dinilai atau hasilhasilnya . Kinerja adalah suatu keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode tertentu, merupakan hasil atas prestasi ysng dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki (Helfert , 1996). Penilaian kinerja adalah proses evaluasi seberapa baik karyawan mengerjakan pekerjaan mereka ketika dibandingkan dengan satu set standard dan kemudian mengkomunikasikan dengan para karyawan. Penilaian ini cukup sederhana yaitu memberikan umpan balik kinerja dan mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan. Adapun metode-metode untuk penilaian kinerja yaitu : a. Metode Penilaian Kategori Metode ini adalah metode yang paling sederhana dalam penilaian kinerja, yang meminta manajer untuk memberi nilai untuk tingkat-tingkat kinerja karyawan dalam kategori kinerja.
b. Metode Perbandingan Metode perbandingan menuntut para manajer untuk secara langsung membandingkan kinerja karyawan mereka satu sama lain. Teknik perbandingan ini mencakup antara lain, pemberian peringkat perbandingan berpasangan, atau distribusi yang normal. c. Metode Naratif Para manajer dan spesialis Sumber Daya Manusia untuk memberikan informasi penilaian tertulis. Dokumentasi dan penilaian merupakan inti dari metode kejadian kritis dan metode tinjauan lapangan. Catatan ini lebih mendeskripsikan tindakan karyawan daripada mengindikasikan suatu penilaian yang sebenarnya. d. Metode Tujuan / Perilaku Dalam usaha untuk mengatasi beberapa kesulitan dari metode-metode yang baru saja dijelaskan, beberapa pendekatan perilaku juga sudah digunakan. Pendekatan perilaku ini cukup menjanjikan untuk beberapa situasi dalam usaha mengatasi persoalan dengan metode lainnya. Pendekatan ini berusaha untuk mengukur perilaku karyawan dan bukan karakteristik lainnya.
D. Pentingnya Sistem Akuntansi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Keuangan Sistem akuntansi memberikan banyak manfaat dalam memahami dan sebagai penunjang utama manajemen dalam melaksanakan bisnis perusahaan . Dengan adanya system akuntansi, perusahaan tidak akan mengalami banyak kesulitan dalam pembuatan laporan keuangan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan adalah aktivitas / usaha perusahaan, pencatatan / jurnal, buku besar, buku pembantu dan laporan .
E. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah a. Latar Belakang Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 ahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Khususnya dibidang pengelolaan barang milik daerah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 152 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah, perlu disempurnakan.Barang milik daerah sebagai salah satu unsur penting dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat harus dikelola dengan baik dan benar, yang pada gilirannya dapat mewujudkan pengelolaan barang milik daerah dengan memperhatikan azas-azas sebagai berikut: a. Azas fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dibidang pengelolaan barang milik daerah yang dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang, pengguna barang, pengelola barang dan Kepala Daerah sesuai fungsi, wewenangdan tanggungjawab masing-masing; b. Azas kepastian hukum, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan; c. Azas transparansi, yaitu penyelenggaraan pengelolaan barang milik da erah harus
transparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar; d. Azas efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik daerah diarahkan agar barang milik daerah digunakan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan secara optimal; e. Azas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan barang milik daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat; f.
Azas kepastian nilai, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik daerah serta penyusunan neraca Pemerintah Daerah.
b. Landasan Pengelolaan Barang Milik Daerah a. Pengertian barang milik daerah. Barang milik daerah adalah semua kekayaan daerah baik yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah maupun yang berasal dari perolehan lain yang sah baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak beserta bagian-bagiannya ataupun yang merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai, dihitung, diukur atau ditimbang termasuk hewan dan tumbuhtumbuhan kecuali uang dan surat-surat berharga lainnya. b. Landasan pengelolaan barang milik da erah. Barang milik daerah sebagaimana tersebut di atas, terdiri dari: 1) barang yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah yang penggunaannya/ pemakaiannya
berada
pada
Satuan
Kerja
Perangkat
Daerah
(SKPD)/Instansi/lembaga Pemerintah Daerah lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
2) barang yang dimiliki oleh Perusahaan Daerah atau Badan Usaha Milik Daerah lainnya yang status barangnya dipisahkan. Barang milik daerah yang dipisahkan adalah barang daerah yang pengelolaannya berada pada Perusahaan Daerah atau Badan Usaha Milik Daerah lainnya yang anggarannya dibebankan pada anggaran Perusahaan Daerah atau Badan Usaha Milik Daerah lainnya. Dasar hukum pengelolaan barang milik daerah, antara lain adalah: 1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang P eraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; 2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 3) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 4) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 6) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1971 tentang Penjualan Kendaraan Perorangan Dinas; 7) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 jo Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2005 tentang Penjualan Rumah N egara; 8) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Ta nah; 9) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan; 10) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
11) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah; 12) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintahan Daerah; 13) Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Kepentingan Umum sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005; 14) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 49 Tahun 2001 tentang Sistem Informasi Manajemen Barang Daerah; 15) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2002 tentang Nomor Kode Lokasi dan Nomor Kode Barang Daerah Pr ovinsi/Kabupaten/Kota; 16) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pedoman Penilaian Barang Daerah; 17) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 153 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah Yang Dipisahkan; dan 18) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pegelolaan Keuangan Daerah. c. Siklus Pengelolaan Barang Milik Daerah Siklus pengelolaan barang milik daerah merupakan rangkaian kegiatan dan/atau tindakan yang meliputi: 1) perencanaan kebutuhan dan penganggaran; 2) pengadaan; 3)
penerimaan, penyimpanan dan penyaluran;
4) penggunaan; 5) penatausahaan;
6) pemanfaatan; 7) pengamanan dan pemeliharaan; 8) penilaian; 9) penghapusan; 10) pemindahtanganan; 11) pembinaan, pengawasan dan pengendalian; 12) pembiayaan; 13) tuntutan ganti rugi.
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Menurut Maman (2002; 3) penelitian deskriptif berusaha menggambarkan suatu gejala sosial. Dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat studi. Metode kualitatif ini memberikan informasi yang mutakhir sehingga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta lebih banyak dapat diterapkan pada berbagai masalah (Husein Umar, 1999:81). Sedangkan penelitian ini lebih memfokuskan pada studi kasus yang merupakan penelitian yang rinci mengenai suatu obyek tertentu selama kurun waktu tertentu dengan cukup mendalam dan menyeluruh. Menurut Vredenbregt (1987: 38) Studi kasus ialah suatu pendekatan yang bertujuan untuk mempertahankan keutuhan (wholeness) dari obyek, artinya data yang dikumpulkan dalam rangka studi kasus dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi, di mana tujuannya adalah untuk memperkembangkan pengetahuan yang mendalam mengenai obyek yang bersangkutan yang berarti bahwa studi kasus harus disifatkan sebagai penelitian yang eksploratif dan deskriptif. B. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dala m penelitian ini adalah : 1. Data Primer Data primer dapat dikumpulkan melalui observasi, eksperimen, maupun kuesioner
(daftar
pertanyaan).
Namun
dalam
penelitian
ini,
data
primer
dikumpulkan melalui kuesioner. Kuesioner merupakan suatu daftar yang berisi
serangkaian pertanyaan tentang sesuatu hal atau suatu bidang berdasarkan variabel
penelitian. Dengan
demikian
dalam
penelitian
ini,
kuesioner
dimaksudkan untuk memperoleh data berupa jawaban-jawaban responden yang berguna untuk mengetahui apakah manajemen bara ng milik daerah telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku. 2. Data Sekunder Data sekunder dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yakni data sekunder internal dan data sekunder eksternal. Data sekunder internal dapat dikumpulkan melalui dokumen atau catatan perusahaan sendiri, sedangkan data sekunder eksternal dapat dikumpulkan melalui publikasi pemerintah (misalnya laporan
hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan), buku, majalah, jurnal,
buletin, CD-ROM, Internet, data komersial (data yang dijual oleh agen atau lembaga penelitian swasta), dll. Dalam penelitian ini, digunakan data sekunder internal catatan-catatan atau dokumen yang digunakan oleh instansi terkait terutama yang berhubungan dengan pengelolaan barang milik daerah. Selain data sekunder internal, digunakan juga data sekunder eksternal yaitu laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan C. Teknik Perolehan Data Data yang diperlukan untuk menyelesaikan penelitian ini diperoleh dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner merupakan suatu daftar yang berisi serangkaian pertanyaan tentang sesuatu hal atau suatu bidang berdasarkan variabel
penelitian.
Dengan demikian dalam penelitian ini, kuesioner dimaksudkan untuk memperoleh data berupa jawaban-jawaban responden yang berguna untuk mengetahui apakah manajemen barang milik daerah telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
D. Definisi Operasional Variabel Variabel yang diteliti dibedakan kedalam dua kategori, yaitu (1) variabel bebas atau independent variable (variabel berpengaruh) adalah Penerapan Manajemen Barang Milik Negara (X) dan (2) variabel tak bebas, yaitu Kinerja Pemerintah Daerah (Y). Adapun definisi operasional dari masing-masing variabel adalah sebagai berikut : 1. Penerapan Manajemen Barang Milik Negara (X) dikonsepsikan sebagai upaya-upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan manajemen barang milik negara sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Variabel ini diukur dengan menentukan tingkat kesesuaian manajemen barang milik negara yang telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah dengan peraturang yang telah ditetapkan. 2. Kinerja Pemerintah Daerah sebagai variabel tak bebas (Y) dimaksudkan adalah pengukuran terhadap tingkat keberhasilan pemerintah dalam satu tahun. Variabel ini diukur dari pemberian opini atas laporan keuangan pemerintah daerah dan besarnya temuan atas manajemen barang milik daerah oleh Badan Pemeriksa Keuangan E. Teknik/Tahapan Analisis Data Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data dan kegiatan penelitian, selanjutnya dilakukan kegiatan menganalisis data. Kegiatan menganalisis data ini terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu: 1. Tahap Persiapan Pada tahap ini kami mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk kegiatan penelitian. Persiapan yang dilakukan antara lain peralatan dan perlengkapan
yang diperlukan, objek yang akan dikaji, serta jadwal dan jangka waktu untuk melakukan penelitian. 2. Tahap Telaah Data Tahap ini dilakukan dengan menelah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu wawancara dan dokumentasi yang sudah ditulis dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar foto, dan sebagainya. 3. Penemuan hasil Pada tahap ini dilakukan pengambilan kesimpulan atas data yang telah diperoleh setelah melalui proses penelaahan data. Setiap variabel yang ada diuji untuk membuat suatu kesimpulan akhir yang menjawab tujuan daria diadakannya penelitian ini.
BAB IV PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Dinas Pekerjaan Umum Istilah "Pekerjaan Umum " adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda " Openbare Werken" yang pada zaman Hindia Belanda disebut "W aterstaat swerken". Di
lingkungan Pusat Pemerintahan dibina oleh Dep.Van Verkeer & Waterstaat (Dep.V&W), yang sebelumnya terdiri dari 2 Dept.Van Guovernements Bedri jven dan Dept.Van Burgewrlijke Openbare Werken. Dep. V dan W dikepalai oleh seorang Direktur,yang membawahi beberapa Afdelingen dan Diensten sesuai dengan tugas/wewenang Depertemen ini. Yang meliputi bidang PU (openbare werken) termasuk afdeling Waterstaat,dengan onder afdelingen. : 1. Lands gebouwen, 2. Wegen, 3. Irrigatie & Assainering, 4. Water Kracht, 5. Constructie burreau (untuk jembatan). Disamping yang tersebut di atas, yang meliputi bidang PU (Openbare Werken) juga afd. Havenwezen (Pelabuhan),afd. Electriciteitswezen (Kelistrikan)dan afd. Luchtvaart (Penerbangan Sipil). Organisasi P.U (Open-bare werken) di daerah-daerah adalah sebagai berikut : 1. Di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur urusan Waterstaat/openbare werken diserahkan pada Pemerintahan Propinsi yang disebut :Provinciale Waterstaatdienst" dan dikepalai oleh seorang Hoofd Provinciale Waterstaatsdients (H.P.W) 2. Diwilayah Gouv,Yogyakarta dan Gouv. Surakarta urusan-urusan Pekerjaan Umum/Waterstaat dijalankan oleh "Sultanas Werken" (yogya) "Rijkswerken" (Surakarta), Mangkunegaranwerken". Disamping itu diwilayah Vorstenlander
terdapat 3 organisasi "Waterschap", "s" Lands gebouwendienst",Regentschap Werken" dan "Gremeente werken". 3. Untuk daerah luar jawa Gouv.Sumatera, Borneo (Kalimantan) dan Grote Oost (Indonesia Timur) terdapat organisasi "Gewestelijke Inspectie v/d Waterstaat" dikepalai oleh seorang Inspektur.Diwilayah Residentie terdapat "Residentie Water Staatsdienst" yang dahulu dikenal dengan nama "Dienst der B.O.W". dan kepala dinas ini biasa disebut "E.A.Q" (Eerst Aanwzend Waterstaatsambtenar). Ketentuan yang dikeluarkan pada jaman Hindia Belanda untuk pedoman dalam pelaksanaan tugas dalam lingkungan Pekerjaan Umum dapat dibaca dalam "A.W.R". 1936 B.W.R 1934 dan "W.V.O/W.V.V.". Setelah Belanda menyerahkan dalam perang pasifik pada tahun 1942, kepada Jepang, maka daerah Indonesia ini dibagi oleh Jepang dalam 3 wilayah pemerintahan, yaitu Jawa/Madura, Sumatera dan Indonesia Timur dan tidak ada Pusat Pemerintahan tertinggi di Indonesia yang menguasai ke 3 wilaya h pemerintahan tersebut. Dibidang Pekerjaan Umum pada tiap-tiap wilayah organisasi Pemerintahan Militer Jepang tersebut diatas, diperlukan organisasi Jaman Hindia Belanda dan disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dari fihak jepang,kantor pusat "V & W". di Bandung, dinamakan "Kotubu Bunsitsu", sejak saat itu istilah "Pekerjaan Oemoem" (P.O), Oeroesan Pekerdjaan Oemoem (O.P.O), "Pekerjaan Umum" (PU), disampinmg "Doboku" lazim dipergunakan. Kotubu Bonsitsu di Bandung hanya mempunyai hubungan dengan wilayah Pemerintahan di Jawa/Madura, hubungan dengan luar Jawa tidak ada. Organisasi Pekerjaan Umum di daerah-daerah, di Karesidenan-Karesidenan pada umumnya berdiri sendiri-sendiri.
Sistem pelaksanaan pekerjaan ada yang mempergunakan sistem dan nama jaman Ned. Indie, disamping menurut sistem J epang. Setelah Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan pada tanggal 17-8-1945, maka semenjak itu Pemuda-pemuda Indonesia mulai berangsur-angsur merebut kekuasaan
Pemerintahan
dari
tangan
Jepang
baik
di
pusat
pemerintahan
(Jakarta/Bandung) maupun Pemerintahan Daerah-daerah. Sesudah Pemerintahan Indonesia membentuk Kabinet yang pertama, maka pada Menteri mulai menyusun organisasi serta sifatnya. Pekerjaan Umum pada waktu itu (1945) berpusat di Bandung, dengan mengambil tempat bekas gedung V.&W. (dikenal dengan nama "G edung Sate"). Ketika Belanda ingin mengembalikan kekuasaaan pemerintahan di Hindia Belanda sebelum perang, datang mengikuti Tentara Sekutu masuk ke Indonesia. Akibat dari keinginan Pemerintahan Belanda ini, terjadilah pertentangan fisik dengan Pemuda Indonesia yang ingin mempertahankan tanah air berikut gedung-gedung yang telah didudukinya, antara lain "Gedung Sate" yang telah menjadi Gedung Departemen Pekerjaan Umum pada waktu itu (peristiwa bersejarah itu dikenal dengan peristiwa "3 Desember 1945"). Pada waktu revolusi fisik dari tahun 1945 s/d 1949, Pemerintah Pusat RI di Jakarta terpaksa mengungsi ke Purworejo untuk selanjutnya ke Yogyakarta, begitu juga Kementerian PU. Sesudah Pemerintahan Belanda tahun 1949 mengakui kemerdekaan Republik Indonesia maka pusat pemerintahan RI di Yogyakarta, berpindah lagi ke Jakarta.
Sejak tahun 1945 itu, Pekerjaan Umum (PU) telah sering mengalami perobahan pimpinan dan organisasi,sesuai situasi politik pada waktu itu. Sebagai gambaran garis besar organisasi PUT diuraikan sebagai berikut:
Sebelum tentara Belanda masuk ke Yogyakarta Susunan Kemerdekaan PU. Perhubungan dapat dibagi menja di 8 Jawatan dan 4 Balai.
Khusus pada masa Republik India Serikat Kementerian Perhubungan dan POU RIS dibagi dalam beberapa Departemen dan beberapa Jawatan dan beberapa instansi yang hubungan erat dengan tugas dari dep.PU. RIS.
Kementerian Perhubungan PU.RIS tersebut terdiri atas penggabungan 3 Departemen prae federal yaitu:
Departemen Verkeer, Energie dan Mynbouw dulu (kecuali Mynbouw yang masuk dalam kementerian K emakmuran).
Departemen Van Waterstaat di Wederopbouw Departemen Van Scheepvaart Penggabungan dari 3 Departemen dari pemerintahan prae federal dalam satu
Kementerian yaitu Kementerian Perhubungan Tenaga dan PU.RIS dianggap perlu, supaya hubungan 3 Departemen tersebut satu dengan lain menjadi sangat erat, terlebihlebih jika diingat, bahwa untuk pembangunan Negara akan diadakan koordinasi dan rasionalisasi yang baik dan adanya tenaga ahli dan pula untuk melancarkan semua tugas yang dibebankan pada Kementerian Perhubungan Tenaga dan PU.RIS. Khusus pada permulaan terbentuknya Negara Kesatuan RI, maka susunan Kementerian berbeda sebagai berikut: Dalam masa proloog G 30 S. PKI terjadilah dalam sejarah Pemerintahan RI suatu Kabinet yang besar disebut dengan nama
K abinet
DwiK ora atau K abinet 100 Menteri,
dimana pada masa ini dibentuk Koordinator Kementerian. Tidak luput Departemen PUT. yang pada masa itu ikut mengalami perubahan organisasi menjadi 5 Dept. dibawah Kompartemen
PUT
Kabinet
Dwikora,
dipimpin
Jenderal
Suprajogi.
Adapun
Kompartemen PUT ketika membawahi, antara lain:
Departemen Listrik dan Ketenagaan Departemen Bina Marga Departemen Cipta Karya Konstruksi Departemen Pengairan Dasar Departemen Jalan Raya Sumatera Setelah peristiwa G.30S PKI Pemerintah segera menyempurnakan Kabinet
Dwikora dengan menunjuk Ir.Soetami, sebagai menteri PUT untuk memimpin Kompartemen PUT. Kabinet yang disempurnakan itu tidak dapat lama dipertahankan. Kabinet Ampera, sebagai Kabinet pertama dalam masa Orde Baru. Kembali organisasi PUT dibentuk dengan Ir.Soetami, sebagai Menteri. Dengan Surat Keputusan Menteri PUT tertanggal 17 Juni 1968 N0.3/PRT/1968 dan dirobah dengan Peraturan Menteri PUT tertanggal 1 Juni 1970 Nomor 4/PRT/1970. Departemen PUT telah memiliki suatu susunan struktur Orga nisasi. Sebagai gambaran lebih jauh pembagian tugas-tugas dalam lingkungan Dep. PUT, maka pada waktu itu azas tugas-tugas PU telah diserahkan pada kewenangan daerah itu sendiri.
B. Visi dan Misi Dinas Pekerjaan Umum 1. Visi : Tersedianya Infrastruktu Pekerjaan Umum dan Permukiman yang Andal untuk Mendukung Indonesia Sejahtera 2025. 2. Misi : a. Mewujudkan penataan ruang sebagai acuan mitra spasial dari pembangunan nasional dan daerah serta keterpaduan pembangunan infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman berbasis penataan ruang dalam rangka pembangunan berkelanjutan. b. Menyelenggarakan pengelolaan sumber daya air secara efektif dan optiml untuk meningkatkan kelestarian fungsi dan kebelanjutan pemanfaatan sumber daya air serta menguangi resiko daya rusak air. c. Meningkatkan
aksesibilaitas
dan
mobilitas
wilayah
dalam
mendukung
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan penyediaan jaringan jalan yang andal, terpadu dan berkelanjutan. d. Meningkatkan kualitas lingkungan permukiman yang layak huni dan produktif melalui pembinan dan fasilitasi pengembangan infrastruktur permukiman uag terpadu, andal dan berkelanjutan. e. Menyelenggarakan industri konstruksi yang kompetitif dengan menjamin adanya keterpaduan pengelolaan sektor konstruksi, proses penyelenggaraan konstuksi yang baik dan menjadikan pelaku sektor konstruksi tumbuh dan berkembang. f.
Menyelenggarakan penelitian dan pengambangan serta penerapn : IPTEK, norma, standar, pedoman, manual dan/atau kriteria pendukung infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman.
g. Menyelenggarakan dukungan manajemen fungsional dan sumber daya yang akuntabel dan kompeten, terintegrasi serta inovatif dengan menerapkan prinsiprinsip good governance. h. Meminimalkan penyimpangan dan praktik-praktik KKN di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dengan meningkatkan kualitas pemeriksaan dan pengawasan profesional. C. Struktur Organisasi
KEPALA DINAS
KEPALA BAGIAN TATA USAHA
KASUBAG
KASUBAG
KASUBAG
KEUANGAN
KEPEGAWAIAN
ADMIN
&
KABID
KABID
KABID
PERENCANAAN
PELAKSANAAN
PENGUJIAN & PERALATAN
& PENGAWASAN
KASEK KASEK
KASEK
PERENCANAAN
PEMBANGUNAN
PENGUJIAN
TEKNIS KASEK PERALATAN
KASEK
KASEK
PENGAWASAN
PEMELIHARAAN
TEKNIS
JABATAN FUNGSIONAL
M M
& TEKNIK
D. Struktur Organisasi 1. Manajemen Aset pada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua Pengelolaan barang milik daerah merupakan komponen penting dalam penyelenggaraan kegiatan pengelolaan keuangan daerah maka pengelola barang milik daerah perlu melakukan pengorganisasian dengan baik. Salah satu peraturan yang menjadi dasar terhadap pengelolaan barang milik daerah adalah PP No. 6/2006 dan Permendagri 17/2007. Pada peraturan tersebut dapat diklasifikasikan ada 4 aturan kegiatan utama, yaitu: 1) Perencanaan yang mencakup : perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penggunaan, 2) Penatausahaan yang mencakup : inventarisasi, penilaian, pembukuan dan pelaporan, 3) Peningkatan produktivitas yang mencakup : pengamanan dan pemeliharaan, pemanfaatan, pemindahtanganan dan penghapusan, 4) Pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Dinas Pekerjaan Umum sebagai salah satu satuan kerja pada Provinsi Papua berkewajiban untuk melakukan keempat kegiatan utama tersebut guna mewujudkan pengelolaan aset yang baik. Dari sisi perencanaan, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua telah merencanakan dan menyusun kebutuhan barang dan pemeliharaan yang telah dituangkan dalam Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah. Dalam proses pengadaan barang dan jasa juga telah dilaksanakan sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003. Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pemeliharaan atas aset yang memerlukan pemeliharaan rutin agar dapat dimanfaatkan secara optimal telah dianggarkan pula dalam Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Dari sisi penatausahaan, Dinas Pekerjaan Umum melakukan inventarisasi aset secara periodik guna mengetahui keberadaan aset yang dimiliki. Inventarisasi juga berguna untuk menyusun anggaran pemeliharaan atas aset karena kondisi aset dapat diketahui secara pasti. Hasil inventarisasi barang dituangkan dalam Kartu Inventaris Barang (KIB), Kartu Inventaris Ruangan (KIR), dan Buku dan Inventaris Barang. Salinan atas catatan aset tersebut didistribusikan kepada Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah guna menyusun laporan aset akhir tahun yang tertera dalam Neraca Pemerintah Daerah. Dari sisi peningkatan produktivitas, Dinas Pekerjaan Umum memberikan kode barang dan tanda status kepemilikan atas aset tersebut. Hal ini berguna untuk mengetahui keberadaan aset dan mengetahui status kepemilikan aset terrsebut. Bukti kepemilikan atas aset disimpan dalam lemari penyimpanan oleh pihak yang berwenang dan biasanya dilakukan oleh K epala Dinas. Atas aset yang tidak dapat digunakan lagi atau tidak termanfaatkan, Dinas Pekerjaan Umum mengajukan penghapusan atas aset tersebut.
Penghapusan barang milik daerah dengan tindak
lanjut pemusnahan dilakukan apabila barang milik daerah dimaksud tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan dan tidak dapat dipindahtangankan; atau alasan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Penghapusan Barang milik daerah dilaksanakan oleh pengguna dengan keputusan dari pengelola setelah mendapat persetujuan Gubernur. Pelaksanaan pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Berita Acara Pemusnahan dan dilaporkan kepada Gubernur. Selain barang milik daerah yang sudah rusak dan tidak dapat dipergunakan, dihapus dari Daftar Inventaris Barang Milik Daerah. Penghapusan dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan. Barang milik daerah yang dihapus dan masih mempunyai nilai ekonomis, dapat dilakukan melalui:
a. pelelangan umum/pelelangan terbatas dan hasilnya disetorkan ke Kas Daerah b. disumbangkan atau dihibahkan kepada pihak lain.
2. Pengaruh Manajemen Aset Terhadap Kinerja Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua Kinerja sebagai salah satu tolak ukur keberhasilan Pemerintah Daerah dalam mewujudnya kemakmuran kian di tuntut oleh masyarakat. Transparansi dan akuntabilitas penngelolaan keuangan dan aset daerah menjadi salah satu tolak ukurnya. Setiap tahun laporan keuangan pemerintah daerah yang meliputi Neraca, Laporan Realisasi Anggaran, Catatan atas Laporan Keuangan diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan setiap tahunnya. Dilihat dari laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan, kinerja Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua mengalami peningkatan selama 2 tahun terakhir. Turunnya nilai temuan aset pada tahun 2008 sebesar Rp4.737.777.900,00 turun menjadi Rp4.087.085.700,00 pada tahun 2009. Hal ini menjadi salah satu terindikator naiknya kinerja Dinas Pekerjaan Umum. Selain itu masih ada yang menjadi catatan Badan Pemeriksa Keuangan yaitu kurangnya personil yang cakap dalam menangani masalah aset ini. Selain itu nilai aset yang dicantumkan dalam Neraca belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya karena belum ada penilaian kembali aset pemerintah daerah sehingga selama 2 tahun terakhir Badan Pemeriksa Keuangan menjadikan aset sebagai salah satu pengecualian dalam laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Pemerintah Provinsi Papua karena diyakini mengandung salah saji yang material
BAB KESIMPULAN
V DAN SAR AN
A. Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua telah melakukan manajemen aset. Ini terbukti dengan adanya prosedur dalam pengelolaan aset itu sendiri. 2. Manajemen aset yang dilakukan telah sesuia dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah dimana secara umum proses pengelalaan aset dibagi menjadi empat bagian besar yaitu 1) Perencanaan yang mencakup : perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penggunaan, 2) Penatausahaan yang mencakup : inventarisasi, penilaian, pembukuan dan pelaporan, 3) Peningkatan produktivitas yang mencakup : pengamanan dan pemeliharaan, pemanfaatan, pemindahtanganan dan penghapusan, 4) Pembinaan, pengawasan da n pengendalian. 3. Manajemen aset memiliki pengaruh terhadap kinerja Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua. Peningkatan kinerja ini ditunjukkan dengan adanya penurunan nilai temuan oleh BPK atas aset yang dikelola oleh instansi tersebut. Namun demikian harus terus dilakukan perbaikan dalam manajemen aset karena dari tahun-ketahun hal ini-lah yang dijadikan dasar oleh BPK untuk tidak memberikan opini wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan pemerintah daerah karena dipandang masih buruknya kualitas manajemen a set dan angka yang tercantum dalam laporan keuangan khususnya neraca tidak dapat diyakini kebenarannya.