TUGAS AUDIT SEKTOR PUBLIK “
Program dan Siklus Audit Pendapatan Sektor Publik ”
Dosen Pengampu : Taufikur Rahman, S.E., M.B.A
Disusun oleh: David Sulistiyantoro
JP031162
Muhammad Fikri
JP031187
Muhammad Irfandy Azis
JP031188
Program Magister Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2014
A.
Definisi Pendapatan Daerah
Menurut Abdul Halim (2004), Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sektor pendapatan daerah memegang peranan yang sangat penting, karena melalui sektor ini dapat dilihat sejauh mana suatu daerah dapat membiayai kegiatan pemerintah dan pembangunan daerah. Menurut Warsito (2001) Pendapatan Asli Daerah “Pendapatan asli daerah (PAD) adalah pendapatan yang bersumber dan dipungut sendiri oleh pemerintah daerah. Sumber PAD terdiri dari: pajak daerah, restribusi daerah, laba dari badan usaha milik daerah (BUMD), dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah”. Menurut Herlina
Rahman
(2005) Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan
daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil distribusi hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otoda sebagai perwujudan asas desentralisasi. Kebijakan keuangan daerah diarahkan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah sebagai sumber utama pendapatan daerah yang dapat dipergunakan oleh daerah dalam rnelaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah sesuai dengan kebutuhannya guna memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana dan pemerintah tingkat
atas
(subsidi).
Dengan demikian usaha peningkatan pendapatan asli daerah seharusnya dilihat dari perspektif yang Iebih luas tidak hanya ditinjau dan segi daerah masing-masing tetapi daham kaitannya dengan kesatuan perekonomian
Indonesia.
Pendapatan asli daerah itu sendiri,
dianggap sebagai alternatif untuk memperoleh tambahan dana yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan pengeluaran yang ditentukan oleh daerah sendiri khususnya keperluan rutin. Oleh karena itu peningkatan pendapatan tersebut merupakan hal yang dikehendaki setiap daerah. (Mamesa, 1995). Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi Daerah, basil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai mewujudan asas desentralisasi. (Penjelasan UU No.33 Tahun 2004). Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode anggaran tertentu (UU.No 32 Tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah), pendapatan daerah berasal dari penerimaan dari dana perimbangan pusat dan daerah, juga yang berasal daerah itu sendiri yaitu pendapatan asli daerah serta lainlain pendapatan yang sah. Pengeritan pendapatan asli daerah menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 yaitu sumber keuangan daerah yang digali dari wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Menurut Nurcholis (2007), pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang diperopleh daerah dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan daerah, dan lain-lain yang sah. Adapun sumber-sumber pendapatan asli menurut Undang-Undang RI No.32 Tahun 2004 yaitu : 1.
Pendapatan asli daerah (PAD) yang terdiri dari :
Hasil pajak daerah yaitu Pungutan daerah menurut peraturan yang ditetapkan oleh daerah untuk pembiayaan rumah tangganya sebagai badan hukum publik. Pajak daerah sebagai pungutan yang dilakukan pemerintah daerah yang hasilnya digunakan untu pengeluaran umum yang balas jasanya tidak langsung diberikan sedang pelaksanannya bisa dapat dipaksakan.
Hasil retribusi daerah yaitu pungutan yang telah secara sah menjadi pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa atau karena memperoleh
jasa
pekerjaan,
usaha
atau
milik
pemerintah
daerah
bersangkutan.Retribusi daerah mempunyai sifat-sifat yaitu pelaksanaannya bersifat ekonomis,ada imbalan langsung walau harus memenuhi persyaratan-persyaratan formil dan materiil, tetapi ada alternatif untuk mau tidak membayar, merupakan pungutan yang sifatnya budgetetairnya tidak menonjol, dalam hal-hal tertentu retribusi daerah adalah pengembalian biaya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat.
Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Hasil perusahaan milik daerah merupakan pendapatan daerah dari keuntungan bersih perusahaan daerah yang berupa dana pembangunan daerah dan bagian untuk anggaran belanja daerah yang disetor ke kas daerah, baik perusahaan daerah yang dipisahkan,sesuai dengan motif pendirian dan pengelolaan, maka sifat perusahaan dareah adalah suatu kesatuan produksi yang bersifat menambah
pendapatan daerah, memberi jasa, menyelenggarakan kemamfaatan umum, dan memperkembangkan perekonomian daerah.
Lain-lain pendapatan daerah yang sah ialah pendapatan-pendapatan yang tidak termasuk dalam jenis-jenis pajak daerah, retribusli daerah, pendapatan dinasdinas. Lain-lain usaha daerah yang sah mempunyai sifat yang pembuka bagi pemerintah daerah untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan baik berupa materi dalam
kegitan
tersebut
bertujuan
untuk
menunjang, melapangkan, atau
memantapkan suatu kebijakan daerah disuatu bidang tertentu. 2.
Dana perimbangan diperoleh melalui bagian pendapatan daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan baik dari pedesaan, perkotaan, pertambangan sumber daya alam dan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus.
3.
Lain-lain pendapatan daerah yang sah adalah pendapatan daerah dari sumber lain misalnya sumbangan pihak ketiga kepada daerah yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
B. Jenis-Jenis Penerimaan Daerah
Berdasarkan Permendagri No. 13 tahun 2006 Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Penerimaan daerah terdiri dari pendapatan daerah dan penerimaan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan daerah dikelompokan atas: a. pendapatan asli daerah; b. dana perimbangan; dan c. lain-lain pendapatan daerah yang sah. Kelompok pendapatan asli daerah dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas: a. pajak daerah; b. retribusi daerah; c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan d. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Jenis pajak daerah menurut obyek pendapatan sesuai dengan undangundang tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah menurut obyek pendapatan yang mencakup:
a. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD; b. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN; dan c. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup: a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; b. jasa giro; c. pendapatan bunga; d. penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah; e. penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah; f. penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; g. pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan; h. pendapatan denda pajak; i. pendapatan denda retribusi; j. pendapatan hasil eksekusi atas jaminan; k. pendapatan dari pengembalian; I. fasilitas sosial dan fasilitas umum; m. pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan n. pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan. Kelompok pendapatan dana perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas: a. dana bagi hasil; b. dana alokasi umum; dan c. dana alokasi khusus. Jenis dana bagi hasil dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup: a. bagi hasil pajak; dan b. bagi hasil bukan pajak. Jenis dana alokasi umum hanya terdiri atas objek pendapatan dana alokasi umum. Jenis dana alokasi khusus dirinci menurut objek pendapatan menurut kegiatan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah dibagi menurut jenis pendapatan yang mencakup: a. hibah berasal dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya, badan/lembaga/ organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat; b. dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan akibat bencana alam; c. dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota; d. dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah; dan e. bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya. Hibah adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perorangan, balk dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali. Pajak daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, lain-lain pendapatan asli daerah yang sah yang ditransfer langsung ke kas daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah dianggarkan pada SKPKD. Retribusi daerah, komisi, potongan, keuntungan selisih nilai tukar rupiah, pendapatan dari penyelanggaraan pendidikan dan pelatihan, hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan dan hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan yang dibawah penguasaan pengguna anggaran/pengguna barang dianggarkan pada SKPD. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.05/2007 tentang Modul Penerimaan Negara, Penerimaan Negara terdiri dari Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan Penerimaan Hibah (1)
Penerimaan Perpajakan. Penerimaan perpajakan adalah Pendapatan/penerimaan yang diterima oleh pemerintah yang bersumber dari pajak, bea dan cukai, yang sepenuhnya dipergunakan untuk menutupi seluruh pengeluaran Pada prinsipnya, penerimaan uang negara yang berasal dari pungutan pajak-pajak negara wajib disetorkan oleh wajib pajak dan atau wajib pungut pajak ke rekening kas negara pada bank pemerintah atau lembaga lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Orang atau badan yang melakukan pemungutan pajak atau penerimaan uang
negara wajib menyetorkan seluruh penerimaan dalam batas waktu satu hari kerja setelah penerimaannya ke rekening kas negara. Sehubungan dengan intensifikasi penerimaan pajak negara, maka setiap instansi pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah dan badan-badan lain yang melakukan pembayaran atas beban APBN/APBD/anggaran BUMN/BUMD, ditetapkan sebagai wajib pungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, setiap bendahara, instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, dan badan-badan lain sebagai wajib pungut pajak, wajib menyetorkan seluruh penerimaan pajak yang dipungutnya dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu hari kerja setelah uang pajak diterimanya. (2)
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah Pendapatan/penerimaan yang diterima oleh pemerintah yang bersumber dari penerimaan lainnya (PNBP) yang tidak dapat dikategorikan kedalam penerimaan pajak yang sepenuhnya dipergunakan untuk menutupi seluruh pengeluaran. Setiap anggaran kementerian negara/lembaga pada dasarnya mempunyai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang bersifat umum tidak berasal dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, antara lain seperti penerimaan hasil penjualan barang inventaris kantor yang tidak digunakan lagi, penerimaan hasil penyewaan barang milik negara, hasil penyimpanan uang negara pada bank pemerintah atas jasa giro, penerimaan kembali uang persekot gaji/tunjangan, penerimaan umum tersebut masih ada lagi PNBP yang bersifat fungsional yaitu penerimaan yang berasal dari hasil hasil pungutan kementerian negara/lembaga atas jasa yang diberikan sehubungan dengan tugas pokok dan fungsinya dalam melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat. Penerimaan funsional tersebut terdapat pada sebagian besar kementerian negara/lembaga, namun macam dan ragamnya berbeda antara satu kementerian negara/lembaga dengan kementerian negara/lembaga lainnya, tergantung kepada jasa pelayanan yang diberikan oleh masing-masing kementerian negara/lembaga. Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak disebutkan bahwa kelompok PNBP, meliputi jenis - jenis penerimaan sebagai berikut : a. Penerimaan yang bersumbet dari pengelolaan dana pemerintah. b. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam. c. Penerimaan dari hasil-hasil kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah.
d. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah. e. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi. f.
Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah.
g. Penerimaan lainnya yang diatur dalam undang - undang tersendiri. Dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang PNBP disebutkan bahwa seluruh PNBP dikelola dalam sistem APBN. Hal ini berarti bahwa pendapatan negara yang berasal dari PNBP dikemukakan oleh pemerintah kepada DPR dalam rangka pembahasan dan penyususn rancangan undang-undang APBN. Selain itu, seluruh penerimaan PNBP wajib langsung secepatnya ke kas negara, serupa dengan perpajakan. Jadi seluruh penerimaan PNBP yang disetor ke kas negara berarti telah dibukukan pada setiap saat dalam satu tahun anggaran serta dipertanggungjawabkan oleh pemerintah kepada DPR dalam laporan keuangan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Pada prinsipnya, seluruh jenis dan penyetoran PNBP diatur dengan undang-undang. Namun, apabila undang-undang belum menunjuk instansi pemerintah untuk menagih dan atau memungut PNBP terhutang, maka Menteri Keuangan dapat menunjuk instansi pemerintah untuk tujuan dimaksud. Instansi pemerintah yang ditunjuk tersebut wajib menyampaikan kepada Menteri Keuangan secara tertulis dan berkala, yaitu rencana PNBP sekurang - kurangnya satu kali dalam satu tahun anggaran dan laporan realisasi PNBP sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran.
(3)
Penerimaan Hibah. Penerimaan Hibah adalah penerimaan yang diterima pemerintah baik berupa uang maupun barang modal yang sumbernya berasal dari dalam dan luar negeri atau dari hibah lainnya. Penerimaan hibah dalam bentuk uang dapat berupa rupiah, devisa atau surat berharga. Penerimaan hibah dalam bentuk barang dapat berupa barang bergerak seperti perlatan dan mesin dan barang tidak bergerak seperti gedung dan bangunan. Penerimaan hibah dalam bentuk jasa dapat berupa bantuan teknis, pendidikan, pelatihan dan jasa lainnya. Penarikan hibah luar negeri antara yang satu dengan hibah luar negeri lainnya tidak sama, karena setiap penarikan sangat tergantung dari naskah perjanjian hibah luar negeri yang ditandatangani oleh pemerintah pusat dan negara/badan pemberi hibah.
Dalam naskah perjanjian hibah luar negeri biasanya diatur antara lain mengenai jumlah hibah yang diberikan, prosedur pengadaan barang/jasa memakai local competitive
bidding atau international competitive bidding , tata cara penarikan hibah dan persyaratannya, tanggal efektif hibah, batas waktu closing date dan lainnya.
C. Dasar Hukum Pemeriksaan Audit Pendapatan
1.
Permenkeu No. 91 tahun 2007
2.
Permendagri No. 13 tahun 2006
D. Tujuan Pemeriksaan Untuk memberikan opini atas tingkat kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan mendasarkan kepada kriteria: a. Tepatnya saldo b. Kewajaran dalam pengelolaan keuangan c. Efektivitas program-program tentang pendapatan E. Lingkup Pemeriksaan
Untuk mencapai tujuan pemeriksaan tersebut, maka pemeriksaan atas Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga, meliputi pengujian atas: 1. Laporan Realisasi Anggaran 2. Neraca (tidak termasuk Neraca Awal) 3. Laporan Aliran Kas 4. Catatan atas Laporan Keuangan 5. Surat Tanda Setoran 6. Buku Kas 7. Rekening Koran (cek kas masuk) F. Sasaran Pemeriksaan
Pemeriksaan Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga meliputi pengujian atas akun pendapatan. Pengujian untuk menguji semua pernyataan (asersi) dalam informasi keuangan, efektifitas pengendalian intern dan kepatuhan terhadap peraturan perundangan yang berlaku yang meliputi: a.
Hak dan kewajiban
Bahwa seluruh aset yang tercatat merupakan milik kementerian negara/lembaga dan semua hutang yang tercatat merupakan kewajiban yang harus diselesaikan instansi. b.
Keberadaan dan keterjadian
Bahwa seluruh aktiva dan pasiva yang disajikan dalam neraca dan seluruh penerimaan, belanja dan pembiayaan anggaran yang tercatat dalam laporan realisasi anggaran terjadi selama periode anggaran yang diaudit telah didukung dengan buktibukti yang memadai.
c.
Kelengkapan
Berhubungan dengan apakah telah memasukkan semua transaksi dan akun yang seharusnya disajikan dalam laporan keuangan. d.
Penyajian dan pengungkapan
Bahwa penyajian laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan ketentuan dan catatan-catatan atas laporan keuangan telah mengungkapkan informasi keuangan yang memadai. e.
Penilaian
Asersi
penilaian
berkaitan
dengan
ketepatan
metode
penilaian
maupun
pengalokasian yang digunakan serta kebenaran perhitungannya. Setiap pelaporan komponen laporan keuangan dengan jumlah tertentu mempunyai arti bahwa penilaian tersebut telah ditentukan sesuai PABU dan bebas dari kesalahan perhitungan. Selain itu, sasaran pemeriksaan dilakukan atas tindak lanjut yang telah dilakukan oleh Kementerian/Lembaga terhadap hasil pemeriksaan BPK RI tahun sebelumnya. H. MATERIALITAS DAN RISIKO PEMERIKSAAN
Transaksi-transaksi dalam siklus pendapatan ini sangat berpengaruh terhadap laporan keuangan. Kesalahan dalam membedakan antara pendapatan yang diterima secara tunai dengan pendapatan yang diterima secara kredit akan menimbulkan salah saji dalam laporan keuangan. Risiko bawaan pada siklus pendapatan adalah tinggi. Faktor yang menyebabkannya adalah sebagai berikut:
Volume transaksi yang selalu tinggi.
Masalah akuntansi yang selalu berkembang. Tingginya volume transaksi akan memperbesar kemungkinan terjadinya salah saji.
Semakin tinggi volume transaksi maka semakin tinggi pula kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pencatatan transaksi tersbeut. Di samping itu, masalah akuntansi yang sedang berkembang juga perlu diperhitungkan. I. POTENSI KOREKSI ATAS PEMBUKUAN PENDAPATAN
1. Kesalahan pembukuan dan/atau penyajian saldo awal tahun anggaran/sisa perhitungan anggaran tahun lalu. 2. Kesalahan pembukuan dan/atau penyajian pendapatan daerah. 3. Kesalahan
pembukuan
dan/atau
penyajian
saldo
perhitungan anggaran tahun anggaran perhitungan
akhir
tahun
anggaran/sisa
4. Kesalahan penyajian dalam Daftar Lampiran Perhitungan Anggaran Perhitungan 5. Kesalahan yang wajib dikoreksi oleh auditor a. Kesalahan pembukuan (kekeliruan dalam pencatatan) b. Kesalahan pembebanan c. Kesalahan penjumlahan dan pengurangan angka (aritmatika) L. BUKTI PEMERIKSAAN
Bukti yang diperoleh oleh pemeriksa dapat berupa : 1) Dokumen berupa bukti transaksi / data pendukung a. R/K Bendahara Penerimaan b. BKU Bendahara Penerimaan c. Buku Jurnal Penerimaan d. Laporan Penerimaan Per Jenis Pendapatan e. DIPA, SPM/SP2D, Bukti Transfer Dana Perimbangan f. STS, SKRD/SKPD Pendapatan Asli Daerah g. Surat Ketetapan atas pendapatan yang diterima Daerah h. Laporan Pemeriksaan kas 2)Bukti analisis/perhitungan pemeriksa 3)Bukti kesaksian berupa komentar/berita acara permintaan keterangan 4)Bukti fisik
M. Metodologi Pemeriksaaan
BAGAN ALUR PELAKSANAAN PENDAPATAN DAERAH
Metode Pemeriksaan Audit Pendapatan Secara umum Ref
Langkah Pemeriksaan
KKP
PENERIMAAN 1. Penerimaan a. Umum
1) Buat lead schedule yang berisi saldo pos penerimaan di LRA KN/Lembaga. 2) Lakukan
koordinasi
memastikan
bahwa
dengan saldo
tim
LKPP
penerimaan
untuk di
LK
KN/Lembaga sesuai dengan saldo yang tercantum dalam neraca LKPP. 3) Buat supporting schedule yang berisi rincian per jenis penerimaan, maupun jumlah penerimaan per unit akuntansi tingkat eselon I, wilayah, dan satuan kerja. 4) Catatan : Kolom Adjustment (lead dan supporting
schedule) diisi berdasarkan hasil pengujian substantif. 5) Lakukan prosedur pengujian SPI dan Pengujian Substantif terkait pos L/K yang diperiksa Untuk
setiap
akun
yang
diperiksa
lakukan
asersi
keberadaan dengan melakukan pengujian atas saldo akun dengan mengambil 20 transaksi ditelusuri ke dokumen sumbernya dan asersi kelengkapan dengan melakukan pengujian ataas 20 dokumen sumber ditelusuri sampai ke pencatatan, dan pelaporan angka di laporan keuangan. b. Pengujian Pengendalian Pendapatan.
1) Pengendalian
pencatatan
pendapatan/penerimaan
pembiayaan telah didukung oleh Surat Ketetapan (SK) yang disetujui dan surat tanda setoran (STS) berupa surat setoran pajak (SSP), surat setoran bukan pajak (SSBP), dan/atau dokumen penerimaan lainnya yang dipertanggungjawabkan.
Tanggal & Paraf Auditor
Ref
Langkah Pemeriksaan
a) Teliti
dasar
penetapan
KKP
pendapatan/penerimaan
pembiayaan, baik itu peraturan yang berasal dari kementerian/lembaga tersebut maupun penetapan jumlah dana yang diterima seperti peraturan tentang DAU, DAK dan lain-lain, SKPD, SKRD dan sebagainya. b) Identifikasi
pendapatan/penerimaan
pembiayaan
yang tidak jelas dasar hukumnya dan teliti sebab dan akibatnya. c) Identifikasi
pendapatan/penerimaan
pembiayaan
yang jelas dasar hukumnya, tetapi tidak dapat diperoleh serta teliti sebab dan akibatnya. 2) Pengendalian atas STS atau dokumen penerimaan lainnya. a) Teliti apakah STS atau dokumen penerimaan lainnya apakah telah bernomor seri (prenumbered). b) Teliti apakah dokumen tersebut mengungkapkan kejelasan penyetoran meliputi tanggal penyetoran, nilai
penyetoran,
jenis
pendapatan/penerimaan
pembiayaan, tempat penyetoran, dan identitas penyetor,
serta
dasar
hukum
pendapatan/penerimaan pembiayaan tersebut dan informasi lain yang diperlukan. c)
dan
telah
dipertanggungjawabkan
dengan
semestinya. 3) Pengendalian
nilai
pendapatan/penerimaan
pembiayaan. Teliti
secara
uji
petik
apakah
realisasi
pendapatan/penerimaan pembiayaan telah dilakukan rekonsiliasi
antara
satuan
kerja
kementerian
Tanggal & Paraf Auditor
Ref
Langkah Pemeriksaan
KKP
negara/lembaga dan kas umum negara/unit Direktorat Jenderal Perbendaharaan terkait. 4) Prosedur verifikasi intern atas pendapatan/penerimaan pembiayaan telah dijalankan. a) Teliti apakah pemerintah telah membuat prosedur verifikasi
intern
atas
STS
atau
dokumen
penerimaan lainnya. Jika prosedur verifikasi intern atas dokumen penerimaan tidak ada, teliti apakah terdapat prosedur pengendalian alternatif yang memadai. b) Teliti apakah prosedur verifikasi intern tersebut dilakukan secara efektif dan teliti hasil verifikasi intern tersebut. 5) Pengendalian
ketepatan
waktu
pencatatan
pendapatan/penerimaan pembiayaan. a) Teliti apakah terjadi tenggang waktu penerimaan kas dan penyetoran pendapatan dengan melihat informasi tanggal bukti penerimaan (STS/lainnya). b) Teliti ketepatan pencatatan pendapatan/penerimaan pembiayaan apakah telah sesuai dengan periode pelaporan (cut off period). c) Teliti persetujuan atas pengurangan dan/atau penundaan pembayaran pendapatan daerah/penerimaan pembiayaan dan teliti dasar hukumnya. 6) Pengendalian
pendapatan/penerimaan
pembiayaan
yang melalui bendahara penerimaan. Teliti pengendalian pendapatan/penerimaan pembiayaan yang melalui bendahara penerimaan apakah telah memadai, khususnya untuk menjamin
Tanggal & Paraf Auditor
Ref
Langkah Pemeriksaan
KKP
bahwa penerimaan tersebut telah disetorkan kepada kas umum negara secara lengkap dan tepat waktu. Evaluasi prosedur untuk memperoleh pendapatan dimulai dari inisiasi untuk memperoleh pendapatan sampai dengan pelaporannya
pada
L/K.
Buat
bagan
alurnya
dan
identifikasikan kelemahan-kelemahan pengendalian yang dijumpai dan cari sebab akibatnya c. Pengujian Subtantif atas Transaksi Pendapatan dan Penerimaan
1) Telaah jurnal pendapatan, buku besar dan berkas induk piutang atau neraca saldo untuk jumlah penerimaan (pendapatan/penerimaan pembiayaan) yang besar atau tidak biasa dan pertimbangkan bukti pembayaran yang memiliki risiko tidak tercatat seperti pada saat volume pendapatan /penerimaan pembiayaan cukup banyak. 2) Telusuri pencatatan penerimaan tersebut ke salinan SK penerimaan dan STS 3) Telusuri SK penetapan penerimaan ke STS dan pencatatannya ke buku jurnal dan berkas induk piutang 4) Teliti realisasi pendapatan /penerimaan pembiayaan yang dilaporkan pada laporan realisasi anggaran dan pastikan bahwa: (1) telah benar penjumlahan vertikal dan horizontalnya; (2) telah benar pembandingannya dengan anggarannya; (3) telah benar dibandingkan dengan pendapatan pada semua laporan realisasi anggaran SKPD; dan
(4) telah diungkapkan secara
memadai dalam catatan atas laporan keuangan. Apabila jumlah yang dibandingkan tidak sama, teliti sebab dan akibatnya. 5) Hitung ulang informasi di dalam bukti penerimaan
Tanggal & Paraf Auditor
Langkah Pemeriksaan
(STS/lainnya) secara uji petik, dan bandingkan dengan laporan penerimaan terkait. 6) Teliti dokumen yang mendukung pencatatan transaksi penerimaan dan pastikan bahwa pencatatan penerimaan telah dilakukan kepada akun/perkiraan yang tepat sesuai bagan perkiraan standar yang telah ditetapkan 7) Teliti SK penerimaan yang belum ada STS-nya. 8) Bandingkan antara tanggal pencatatan penerimaan dengan tanggal STS.
Ref KKP
Tanggal & Paraf Auditor
NO
I
Langkah Pemeriksaan
Prosedur Pemeriksaan 1. Pemeriksaan atas Pos Pendapatan Asli Daerah meliputi : Pendapatan Daerah (Retribusi Daerah) Langkah – langkah pemeriksaan:
a) Dapatkan dokumen-dokumen transaksi penerimaan yang diselenggarakan bendahara penerimaan b) Telusuri nilai realisasi Pos pendapatan sampai ke buku jurnal penerimaan dan dokumen sumber pembukuannya. Jika terjadi selisih tentukan sebabnya dan lakukan koreksi. c) Uji apakah semua realisasi tersebut telah diterima Kas Daerah d) Jika berbeda, telusuri sebabnya, dan lakukan koreksi. e) Lakukan pengujian untuk menentukan, apakah nilai realisasi Pos Retribusi Daerah yang dibukukan pada Buku Besar Pendapatan masingmasing akun telah mencakup seluruh hak daerah yang telah diterima oleh Kas Daerah pada Tahun Anggaran Perhitungan. Untuk itu, dapatkan Salinan Rekening Koran Kas Daerah kemudian teliti apakah setoran/ transfer atas Pajak dan Retribusi Daerah telah dilakukan pada Tahun Anggaran bersangkutan. f) Lakukan verifikasi atas beberapa bukti penerimaan secara sampling berupa Surat Tanda Setoran (STS) untuk menentukan apakah posting
Waktu Pemeriksaan Indeks Rencana Realisasi KKP
Keterangan
atas penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah tersebut telah sesuai dengan Pos endapatan.rjadi kesalahan pembebanan, lakukan koreksi. g) Lakukan konfirmasi kepada instansi yang terkait dengan pemungutan Pendapatan untuk menentukan apakah jumlah pendapatan yang disetorkan ke Kas Daerah dan telah dibukukan adalah Pendapatan Bruto jika yang dibukukan dan disajikan adalah Pendapatan Netto, maka lakukan koreksi. h) Lakukan pengujian terhadap beberapa bukti secara sampling untuk menguji kebenaran materiil dari nilai realisasi Pos Pendapatan Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan jika terjadi kesalahan pembukuan lakukan koreksi dan atau catatan pemeriksaan. i) Lakukan pengujian terhadap beberapa bukti secara sampling untuk menguji kebenaran materiil dari nilai realisasi Pos Pendapatan lainlain pendapatan asli daerah yang sah. Jika terjadi kesalahan pembukuan lakukan koreksi dan atau catatan pemeriksaan. j) Buat kesimpulan hasil pemeriksaan 2. Pemeriksaan atas Pos Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Meliputi:
a) Dana Perimbangan: (1) Dana Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak (2) Dana Alokasi Umum. (3) DAK – DR dan Non DR
Langkah – langkah pemeriksaan: a) Lakukan pengujian untuk menentukan, apakah nilai realisasi retribusi daerah telah mencakup seluruh hak daerah dan telah diterima oleh Kas Daerah. Jika terjadi selisih, lakukan koreksi. b) Lakukan verifikasi atas buktibukti penerimaan dana dan apakah telah disajikan dengan benar. Apabila terjadi kesalahan lakukan koreksi. c) Lakukan pengujian apakah terdapat dana dekonsentrasi yang disajikan dalam Laporan Keuangan daerah. Apabila terdapat dana dekonsentrasi lakukan koreksi dan ungkapkan
d)
e)
dalam catatan pemeriksaan. Lakukan konfirmasi kepada instansi yang terkait dengan penyaluran dana untuk menentukan apakah jumlah yang diterima oleh ke Kas Daerah dan disajikan dalam LRA adalah hak pemda pada periode yang diperiksa. Buat kesimpulan hasil pemeriksaan atau catatan atas hasil pemeriksaan.
KASUS HASIL PEMERIKSAAN ATAS PENDAPATAN DAERAH TAHUN ANGGARAN 2004 DAN 2005 PADA KABUPATEN SIDOARJO DI SIDOARJO BAB I. GAMBARAN UMUM 1. Tujuan Pemeriksaan
Tujuan Pemeriksaan Pendapatan Daerah Tahun Anggaran 2004 dan 2005 adalah untuk mengetahui, menguji, dan menilai apakah : a. Pendapatan Daerah Kabupaten yang seharusnya menjadi hak daerah yang bersangkutan telah diterima tepat waktu, dan dalam jumlah yang menjadi haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Pengelolaan Anggaran Pendapatan Daerah telah ditatausahakan atau dicatat secara tertib, dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; c. Sistem pengendalian menajemen pengelolaan anggaran pendapatan daerah telah cukup memadai 2. Sasaran Pemeriksaan
Pemeriksaan dilakukan terhadap pendapatan daerah yang berasal dari : a. Pajak Daerah; b. Retribusi Daerah; c. Hasil/Laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); d. Lain-lain pendapatan daerah yang sah; e. Dana Perimbangan. 3. Metodologi Pemeriksaan
Pemeriksaan dilakukan secara uji petik atas dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pendapatan daerah, melakukan konfirmasi dengan pejabat satuan kerja dan pelaksana pendapatan yang terkait serta pengecekan di lapangan. 4. Jangka Waktu Pemeriksaan
Pemeriksaan dilaksanakan dari Tanggal 7 September 2005 sampai dengan 1 Oktober 2005. 5. Obyek yang diperiksa
a. Pemeriksaan dilakukan atas Pendapatan Daerah Kabupaten Sidoarjo Tahun Anggaran 2004 dan 2005. b. Anggaran dan realisasi Anggaran dan realisasi Pendapatan Daerah Kabupaten Sidoarjo Tahun Anggaran 2004 dan 2005 (s.d. Juli) adalah sebagai berikut:
Dari tabel tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa pada tahun 2004 realisasi Pendapatan Asli Daerah
melebihi target yang ditetapkan.
Pendapatan Asli Daerah
pada tahun 2004
dianggarkan sebesar Rp115.924.633.310,00 dan terealisasi sebesar Rp128.834.195.079,68 atau 111,14%. Sedangkan Pendapatan Asli Daerah pada tahun 2005 dianggarkan sebesar Rp125.251.789.300,00 dan sampai Juli 2005 terealisasi sebesar Rp69.675.219.280,80 atau baru mencapai 55,63%. Bagian Dana Perimbangan Tahun 2004 dianggarkan sebesar Rp466.486.041.000,00 dan terealisasi sebesar Rp504.497.383.005,00 atau 108,15% dari anggaran. Dana Perimbangan terdiri dari Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum dan Bagi Hasil Pajak/Retribusi Propinsi. Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak secara keseluruhan melebihi target yaitu dianggarkan sebesar Rp72.588.202.000,00 terealisasi sebesar Rp94.661.320.277,00
atau
120,85%.
Sedangkan
DAU
dianggarkan
sebesar
Rp347.765.313.000,00 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
109
Tahun 2003 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2004 dan terealisasi sebesar Rp348.087.309.000,00 atau 100,09% dari anggaran. Sedangkan Bagi Hasil Pajak/Retribusi Propinsi dianggarkan sebesar Rp41.132.526.000,00 dan terealisasi sebesar Rp56.748.753.728,00 atau sebesar 137,97%. Sedangkan Bagian Dana Perimbangan Tahun 2005 (s.d Juli) dianggarkan sebesar Rp491.477.399.000,00 dan terealisasi sebesar Rp278.148.260.786,00 atau baru mencapai 56,59%. Lain-lain
Pendapatan
yang
Sah
Tahun
2004
dianggarkan
sebesar
Rp20.180.000.000,00 merupakan Dana Penyeimbang yang didasarkan atas Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 578/KMK.07/2003 tentang Penetapan Rincian Dana Penyesuaian Tahun Anggaran 2004 kepada Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota. Realisasi sebesar Rp25.180.000.000,00 yang terdiri dari Dana Penyeimbang sebesar Rp20.180.000.000,00 sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan tersebut dan Dana Darurat sebesar Rp5.000.000.000,00. Sedangkan lain-lain Pendapatan yang Sah Tahun 2005 dianggarkan sebesar Rp18.320.000.000,00, merupakan Dana Penyeimbang yang didasarkan atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 626/PMK.02/2004 tentang Penetapan Rincian Dana Penyesuaian Tahun Anggaran 2005 kepada Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Kota, namun sampai dengan bulan Juli tahun 2005 belum ada realisasinya.
TEMUAN PEMERIKSAAN 1. Penerimaan Daerah dari Sumber Daya Alam berupa Gas Alam kurang diterima minimal sebesar Rp6.929.987.958,40
Pada tahun 1990 (sebelum Otonomi Daerah sepenuhnya diberlakukan), Pemerintah dhi. Pertamina telah mengadakan kerjasama Kontrak Produksi Sharing (KPS) pengeboran Minyak Bumi dan Gas Alam di Propinsi Jawa Timur. Kabupaten Sidoarjo merupakan penghasil Gas Alam, tetapi sejak tahun 1999 sampai dengan 2005 Pemerintah Kabupaten Sidoarjo menerima bagi hasil sumber daya alam (SDA) dari Gas Alam kurang dari yang seharusnya. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 237/KMK.65/2003 tentang Penetapan Perkiraan Jumlah Dana Bagian Daerah dari SDA Minyak Bumi dan Gas Alam Tahun 2003, Kabupaten Sidoarjo sebagai penghasil Gas Alam mendapatkan bagian yang sama dengan daerah lainnya di Jawa Timur yang bukan penghasil sebesar Rp122.000.000,00. Pada tahun 2004 bagian SDA Gas Alam yang diterima adalah sebesar Rp45.000.000,00. Bagian SDA yang diterima tersebut tidak sebanding dengan Produksi Gas Alam dari PT
Lapindo Brantas,
Inc. berdasarkan
Ketetapan
Menteri
ESDM Nomor 356
K/80/MEM/2004 yang menetapkan bahwa Produksi/Lifting Gas Alam dalam tahun 2003 adalah sebanyak 18.164.090 MMSF dan tahun 2004 sebanyak 29.944.360 MMSF. Bagian SDA dari Gas Alam yang seharusnya diterima oleh Kabupaten Sidoarjo berdasarkan cara perhitungan pembagian hasil dari Lapindo Brantas, Inc dan hasil konfirmasi tim pemeriksa pada tanggal 26 September 2005 adalah sebesar Rp6.929.987.958,40 (Rp2.525.016.507,52+ Rp4.404.971.450,88) dengan rincian sebagai berikut :
Dari perhitungan di atas dapat diketahui bahwa jumlah bagi hasil yang diperoleh dari gas alam untuk Kabupaten Sidoarjo tahun 2003 dan 2004 kurang diterima minimal sebesar Rp6.929.987.958,40 (Rp2.525.016.507,52 + Rp4.404.971.450,88) Hal tersebut diatas tidak sesuai dengan: a. Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2001 tanggal 31 Desember 2001 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 104 tahun 2000 tentang Dana Perimbangan pada Pasal 12 angka : 1) Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. 2) point b. Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam dibagi dengan imbangan 70% untuk pemerintah pusat dan 30 % untuk daerah. 3) point b. Bagian daerah untuk Kabupaten/Kota penghasil ditetapkan sebesar 12%. b. Ketetapan
Menteri ESDM Nomor 356 K/80/MEM/2004 yang menetapkan bahwa
Produksi/Lifting Gas Alam dalam tahun 2003 adalah sebanyak 18.164.090 MMSF dan tahun 2004 sebanyak 29.944.360 MMSF. Kurang diterimanya pendapatan dari gas alam tersebut mengakibatkan berkurangnya kemampuan daerah untuk memanfaatkan dana sebesar Rp6.929.987.958,40 guna membiayai operasional daerah. Hal tersebut terjadi karena pemerintah Pusat dhi Departemen Keuangan belum melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 dan dalam menetapkan bagian
dari sumber daya gas alam tidak memperhatikan daerah penghasil (disamaratakan dengan daerah bukan penghasil gas alam) serta masih mendasarkan pada KPS Tahun 1990. Berdasarkan penjelasan dari Kepala Dinas Pendapatan diketahui bahwa Pemerintah Pusat dhi. Departemen Keuangan dan BP Migas belum melakukan perhitungan secara adil dan transparan disebabkan: a. Kabupaten Sidoarjo sebagai daerah penghasil gas alam tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan anggaran khususnya cost recovery yang diajukan oleh KPS (PT Lapindo Brantas Inc.) kepada BP Migas. b. Pemerintah Pusat memperoleh FTP (First Transfer Petroleum) sebesar 20% dari pendapatan kotor yang diperoleh PT Lapindo, sedangkan Kabupaten Sidoarjo sebagai daerah penghasil tidak menerima bagian dari FTP tersebut. c. BPK RI merekomendasikan kepada: d. Bupati Sidoarjo melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan atas kekurangan pembayaran bagi hasil gas alam dan penyelesaiannya agar disampaikan/ dilaporkan ke BPK-RI. e. Menteri Keuangan RI dalam mengalokasikan bagi hasil dari gas alam mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku,disesuaikan dengan daerah penghasil gas alam.
2. Pengelolaan Terminal Bungurasih dilaksanakan tidak sesuai Perjanjian Kerjasama
Dalam rangka peningkatan pendapatan daerah , Pemerintah Kabupaten Sidoarjo telah melakukan kerjasama dengan Pemerintah Kota Surabaya mengenai Pengelolaan Terminal Angkutan Penumpang Umum
Antar Kota
di Desa Bungurasih, Kecamatan Waru,
Kabupaten Sidoarjo. Kerjasama tersebut dituangkan dalam Keputusan Bersama antara Walikota Surabaya dan Bupati Sidoarjo Nomor 30 Tahun 1991 dan Nomor 31 Tahun 1991 tanggal 14 Maret 1991. Didalam pelaksanaannya diketahui hal-hal sebagai berikut: a. Pengelolaan dilakukan sendiri oleh Pemkot Surabaya dan tidak melibatkan aparat Pemkab Sidoarjo.
b. Porforasi karcis yang digunakan sebagai media pungutan retribusi disediakan oleh Pemkot Surabaya dan diporforasi oleh Pemkab Sidoarjo, tetapi tidak pernah dilakukan uji silang kebenaran penggunaannya sehingga tidak dapat diketahui kebenaran realisasinya pungutan dan penerimaannya. c. Bagian Pemkab Sidoarjo sebesar 30% diberikan secara global setiap bulan oleh Pemkot Surabaya tidak dirinci berdasarkan karcis yang terjual. Atas pelaksanaan kerjasama pengelolaan Terminal Bungurasih tersebut, Tim Pemeriksa melakukan analisis data berupa Perda Retribusi Terminal (Perda Kabupaten Sidoarjo Nomor : 21 Tahun 2001), Laporan Realisasi Pendapatan Terminal Bungurasih dari Dinas Perhubungan Kota Surabaya Tahun Anggaran 2004 dan 2005 (sampai dengan Juli 2005). Berdasarkan Laporan Realisasi Pendapatan Terminal Bungurasih dan 30% Bagian Pendapatan Kabupaten Sidoarjo Tahun Anggaran 2004 dan 2005 (s.d. Juli 2005) dan jumlah karcis sebagai media pemungutan retribusi terminal yang diporforasi di Dipenda Kabupaten Sidoarjo diketahui bahwa pemungutan retribusi dilakukan tidak dengan karcis yang porforasi s.d. bulan Desember 2004 minimal senilai Rp1.857.659.163,00. Untuk Tahun 2005 belum dapat ditentukan kebenaran penggunaan karcis. Perhitungan dalam tabel berikut:
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, pada tanggal 23 September 2005 Tim Pemeriksa telah melakukan konfirmasi kepada Kepala Sub Dinas Terminal Kota Surabaya dengan
meminta copy bukti penyetoran retribusi Terminal Bungurasih. Dari bukti setoran tersebut diketahui bahwa : a. Tidak semua pemungutan (retribusi parkir sepeda motor, sepeda motor progresif dan tempat istirahat) dikelola
sendiri
oleh Dinas Perhubungan tetapi dilakukan oleh
pihak ketiga; b. Pelaksanaan pemungutan retribusi bis kota dilakukan dengan cara taksasi (tidak secara langsung dipungut dengan karcis). Selain itu dalam setiap Laporan Realisasi Pendapatan Terminal Bungurasih yang dikirim pada bulan berikutnya, hanya dicantumkan jumlah global atas jenis retribusi yang dipungut dan tidak dilampirkan rincian jumlah penggunaan karcis. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dhi Dinas Pendapatan Daerah juga tidak pernah melakukan uji silang atas jumlah karcis yang diporforasi dengan realisasi pendapatan retribusi Terminal Bungurasih, sehingga tidak dapat diketahui kebenaran pelaksanaan pemungutan retribusinya. Permasalahan tersebut tidak sesuai dengan: a. Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 21 Tahun 2001 tentang Retribusi Terminal pada pasal 8 i ayat (2) huruf a, besarnya tarif retribusi adalah sebagai berikut: 1) Untuk mobil bis umum cepat antar kota setiap masuk sebesar Rp1.000,00 2) Untuk mobil bis umum lambat antar kota setiap masuk sebesar Rp500,00 3) Untuk mobil penumpang umum antar kota, angkutan kota dan mobil penumpang umum tidak dalam trayek (taksi dan angguna) setiap masuk masing-masing sebesar Rp300,00 4) Parkir Sepeda motor sebesar Rp200,00 untuk dua jam pertama, dan Rp50,00 untuk setiap jam berikutnya atau maksimum untuk satu hari Rp750,00 5) Mobil Pribadi/pick up/bus cepat sebesar Rp1.000,00 untuk dua jam pertama dan Rp250,00 untuk setiap jam berikutnya atau maksimum untuk satu hari Rp2.500,00 6) Bis Parkir dijalur panjang/jalur istirahat sebesar Rp1.500,00 7) Ruang Tunggu Penumpang dan Pengunjung untuk setiap orang Rp200,00 setiap kali masuk. b. Keputusan Bersama antara Walikota Surabaya dan Bupati Sidoarjo Nomor 30 Tahun 1991 dan Nomor 31 tahun 1991 tanggal 14 Maret 1991 tentang Pengelolaan Terminal Angkutan Penumpang Umum Antar Kota Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya di Desa
Bungurasih, Kecamatan Waru, Kabupaten Daerah Tingkat II Sidoarjo antara lain ditetapkan bahwa dalam: Pasal 3: Pengelolaan Terminal Bungurasih diterapkan Open Management; menganut prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi serta simplifikasi baik secara vertikal maupun horizontal antara Pemerintah Kota Surabaya dan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo; Pasal 7: Tarip berbagai retribusi yang dipungut di kawasan Terminal Bungurasih ditetapkan tersendiri dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo; Pasal 9: Pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan yang berlaku di lingkungan Terminal Bungurasih dilakukan bersama-sama oleh Walikota Surabaya dan Bupati Sidoarjo; Pasal 10: Tanda Pembayaran Retribusi (TPR) disediakan oleh Pemerintah Kota Surabaya, sedangkan porforasinya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.
Pengelolaan terminal Bungurasih yang dilaksanakan tidak sesuai ketentuan kerjasama tersebut mengakibatkan pendapatan karcis sebesar Rp1.857.659.163,00 tidak dapat diyakini kebenarannya. Kondisi tersebut terjadi karena: a. Kelalaian Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sidoarjo yang tidak melakukan uji silang atas jumlah karcis yang diporforasi dengan realisasi pendapatan retribusi Terminal Bungurasih. b. Tidak dilakukan koordinasi lebih lanjut atas kerjasama tersebut mengenai teknis pelaksanaan pengelolaan Terminal Bungurasih antara Pemerintah Kota Surabaya dengan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Terkait dengan pembagian pendapatan Retribusi Terminal Bungurasih, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mengacu pada kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan Pemerintah Kota Surabaya. Untuk realisasi pembagian perolehan setiap bulannya dilakukan sesuai dengan tembusan yang diterima dari Dinas Perhubungan Kota Surabaya. Sedangkan untuk mengetahui potensinya pernah dilakukan pendataan khususnya pemungutan Retribusi Jasa Ruang Tunggu (peron) dan TPR kendaraan. Selanjutnya dalam upaya mengoptimalkan pembagian perolehan retribusi terminal Bungurasih akan dilakukan koordinasi dengan Pemerintah Kota Surabaya cq Dinas Perhubungan Kota Surabaya tentang pengecekan penggunaan media pemungutan/karcis dan perolehan pendapatan Terminal Bungurasih.
BPK RI merekomendasikan kepada: a.
Bupati Sidoarjo agar melakukan koordinasi dengan Walikota Surabaya dan Dinas Perhubungan Propinsi Jawa Timur mengenai pelaksanaan pengelolaan Terminal Bungurasih dengan melaporkan hasilnya kepada BPK.
b.
Kepala Dinas Pendapatan Daerah agar melakukan pencocokan antara laporan pendapatan yang diterima dari Terminal Bungurasih dengan jumlah karcis yang telah diporforasi.
3. Penetapan Target Retribusi Parkir di Jalan Umum tidak disesuaikan dengan kesanggupan para pengelola parkir
Pemeriksaan atas target dan realisasi pendapatan pada Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo Tahun Anggaran 2004 dan 2005 (s.d Agustus 2005) khususnya dari pendapatan retribusi parkir di jalan umum atas parkir roda empat dan roda dua diketahui bahwa penetapan target retribusi parkir di jalan umum tidak didasarkan pada potensi yang ada, yaitu sebagai berikut :
Pelaksanaan penyetoran parkir di jalan umum dilaksanakan dengan dua cara yaitu secara harian dan bulanan. Berdasarkan penjelasan lisan dari Kepala UPT Parkir, penyetoran retribusi parkir secara harian dilaksanakan
oleh 23 juru parkir dengan kesanggupan
penyetoran tahun 2004 sebesar Rp268.500,00 per hari dan tahun 2005 Rp321.000,00 per hari. Penyetoran retribusi parkir
secara bulanan dilakukan oleh 66 juru parkir dengan
kesanggupan penyetoran tahun 2004 sebesar Rp6.880.000,00, per bulan dan tahun 2005 Rp8.999.000,00 perbulan. Pernyataan kesanggupan penyetoran dari juru parkir tersebut tidak secara resmi dituangkan dalam Surat Pernyataan Kesanggupan resmi bermaterai (legal). Perhitungan potensi riil dibandingkan dengan target retribusi parkir di jalan umum adalah sebagai berikut :
Tahun 2004
Parkir Harian berdasarkan kesanggupan dari 23 Juru Parkir per hari
Rp268.500,00 x 365
= Rp 98.002.500,00
Parkir Bulanan berdasarkan kesanggupan dari 66 Juru Parkir perbulan :
Rp6.880.000,00 x 12
= Rp 82.560.000,00
Kesanggupan Juru Parkir
= Rp180.562.500,00
Target
= Rp180.000.000,00
Kurang ditargetkan
= Rp
562.500,00
Tahun 2005
Parkir Harian berdasarkan kesanggupan dari 23 Juru Parkir per hari
Rp321.000,00 x 365
= Rp117.165.000,00
Parkir Bulanan berdasarkan kesanggupan dari 66 Juru Parkir rata –rata perbulan : Rp 8.999.000,00 x 12
= Rp107.988.000,00
Kesanggupan Juru Parkir
=Rp225.153.000,00
Target
= Rp195.000.000,00
Kurang ditargetkan
= Rp 30.153.000,00
Dari uraian tersebut diatas, diketahui bahwa target pendapatan retribusi parkir di tepi jalan umum lebih rendah dari kesanggupan juru parkir. Untuk tahun 2004 ditargetkan lebih rendah sebesar Rp562.500,00 (Rp180.562.500,00 – Rp180.000.000,00) dan tahun 2005 ditargetkan lebih rendah sebesar Rp30.153.000,00 (Rp225.153.000,00 – Rp195.000.000,00). Selain itu realisasi pendapatannya sama besarnya dengan target. Cara yang demikian tidak dibenarkan karena pendapatan adalah target minimal yang harus dicapai. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1994 tanggal tanggal 5 Oktober 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada pasal 7 ayat (3) menyatakan bahwa setiap Dinas/Lembaga/Satuan Kerja Daerah lainnya yang mempunyai sumber pendapatan wajib mengadakan intensifikasi pendapatan
daerah yang menjadi
wewenang
dan tanggung jawabnya baik mengenai jumlahnya maupun kecepatan
penyetorannya ke rekening Kas Daerah dan mengintensifkan penagihan dan pemungutan piutang daerah. Dengan ditetapkannya target lebih rendah dari potensi riil berdasarkan kesanggupan tersebut mengakibatkan realisasi pendapatan kurang optimal. Hal tersebut terjadi karena kesengajaan Kepala UPT parkir yang menetapkan target penerimaan pendapatan parkir lebih rendah dari kesanggupan para pengelola parker Sehubungan dengan permasalahan tersebut Kepala Dinas Perhubungan menjelaskan bahwa untuk tahun berikutnya akan ditargetkan pendapatan retribusi parkir di tepi jalan umum sesuai dengan potensi riil yang sebenarnya dan tahun 2006 parkir di tepi jalan umum ditargetkan sebesar Rp260.000.000,00. BPK RI merekomendasikan kepada Kepala Dinas Perhubungan agar dalam menetapkan target pendapatan yang dikelola khususnya untuk retribusi parkir di jalan umum disesuaikan dengan kesanggupan para pengelola parkir. Atas kesanggupan penyetoran dari masing-masing juru parkir agar dibuat surat kesanggupan bermaterai dengan penjelasan bahwa penyetoran tersebut merupakan setoran minimal dan pelaksanaan pemungutan retribusi parkir disesuaikan dengan jumlah riil kendaraan yang parkir.
4.
Ketetapan Pajak Parkir didasarkan atas kesepakatan dengan wajib pajak dan
kurang ditetapkan sebesar Rp89.370.300,00
Dalam Laporan Realisasi Penerimaan Pajak Parkir Tahun 2004 dan Tahun 2005 (sampai dengan bulan Juli) dilaporkan masing-masing sebesar Rp323.316.200,00 dan Rp239.651.000,00. Pajak Parkir adalah pajak yang dipungut atas penyelenggaraan tempat parkir kendaraan yaitu: penitipan kendaraan bermotor, garasi kendaraan bermotor, dan tempat lain yang memungut bayaran bagi kendaraan bermotor yang masuk. Dalam pemeriksaan atas pendataan dan penetapan pada Sub Dinas Penetapan pada Dinas Pendapatan Kabupaten Sidoarjo, diketahui bahwa ketetapan pajak atas setiap Wajib Pajak (WP) dilakukan secara taksasi. Berdasarkan pemeriksaan atas nota perhitungan, diketahui bahwa ketetapan pajak tidak didasarkan pada jumlah omzet yang dihasilkan atau ditetapkan terlalu rendah dari pajak
yang seharusnya dipungut. Selain itu ada beberapa Wajib Pajak yang tidak diketahui omzet yang dihasilkan per bulan sehingga pajak yang dipungut ditetapkan berdasarkan taksasi (perkiraan). Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: a. Tahun 2004
b. Tahun 2005 (sampai dengan bulan Juli)
Dari
tabel
di
atas
diketahui
bahwa
pajak
ditetapkan
sebesar
Rp57.556.500,00
(Rp37.414.000,00 + Rp20.142.500,00) atau lebih rendah sebesar Rp89.370.300,00 (Rp59.502.800,00+Rp29.867.500,00) dari pajak seharusnya. Dari hasil konfirmasi kepada pejabat yang menetapkan besarnya pajak diketahui bahwa besarnya pajak ditetapkan melalui kesepakatan antara Wajib Pajak dan petugas berdasarkan kesanggupan Wajib Pajak dalam membayar Pajak Parkir. Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 13 Tahun 2001 tanggal 21 Nopember 2001 tentang Pajak Parkir dalam Bab IV Pasal 6 dan 7, disebutkan bahwa dasar pengenaan pajak adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk pemakaian tempat parkir dan tarip pajak yang ditetapkan sebesar 20% dari omzet yang dihasilkan. Ketetapan Pajak Parkir yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut mengakibatkan penerimaan daerah minimal sebesar Rp89.370.300,00 kurang dari jumlah pajak yang seharusnya. Kondisi tersebut disebabkan ketetapan yang dibuat oleh Sub Dinas Penetapan pada Dinas Pendapatan Daerah tidak didasarkan pada omzet yang sebenarnya maupun tarip yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Sehubungan dengan permasalahan tersebut Kepala Dinas Pendapatan menjelaskan bahwa Pajak Parkir dalam Perda No. 13 tahun 2001 yang mengacu pada UU No. 34 tahun 2000 merupakan pajak baru. Pajak Parkir merupakan pajak tidak langsung namun pada kenyataannya penyelenggara parkir tidak membebankan pajaknya kepada pengguna parkir sehingga menjadi beban penyelenggara parkir. Mengingat kondisi tersebut pelaksanaan pemungutan Pajak Parkir masih dilakukan secara taksasi dan secara bertahap pemungutannya akan dilakukan sesuai dengan omzet. BPK RI merekomendasikan kepada: a. Sub Dinas Penetapan Dinas Pendapatan Daerah dalam menetapkan pajak disesuaikan pada omzet/ pendapatan riil dari masing-masing wajib pajak. b. Kepala Dispenda dhi. Sub Dinas Penetapan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Tambahan (SKPT) atas wajib pajak yang telah dihitung tapi belum sesuai dengan omzetnya.
5.
Penerimaan
Retribusi
Pasar
Krian
tidak
dapat
direalisasikan
sebesar
Rp492.790.000,00
Dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo antara lain telah melakukan kerjasama pembangunan Pasar Krian berupa ruko, kios dan los dengan investor PT Avila Prima Sidoarjo. Kerja sama tersebut dituangkan dalam surat perjanjian kerjasama Nomor 01 Tahun 1992 tanggal 25 Januari 1992 antara Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan PT Avila Prima Sidoarjo. Jangka waktu pengelolaan untuk pasar basah selama 10 tahun dan untuk pasar kering dan departemen store selama 25 tahun. Perjanjian tersebut mengatur bahwa harga jual bangunan ditentukan oleh Investor dengan persetujuan dari Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Dalam perjanjian tersebut ditetapkan juga mengenai kewajiban investor untuk membayar langganan listrik, retribusi dan biaya lain-lain sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Berdasarkan data Potensi dan Rencana Pemasukan Retribusi Pasar Tahun Anggara 2004 dan 2005 yang disusun oleh Dinas Pasar Kabupaten Sidoarjo antara lain bangunan pasar berupa ruko, kios dan los yang telah selesai dibangun investor PT Avila Prima Sidoarjo sejak tahun 1995 sampai sekarang tidak/belum laku dijual serta tidak ditempati oleh pedagang sehingga tidak dapat dipungut retribusinya. Selama dua tahun anggaran retribusi yang tidak dapat dipungut adalah sebesar Rp492.790.000,00 dengan rincian sebagai berikut :
Atas bangunan yang belum terjual tim pemeriksa telah melakukan konfirmasi pada 27 September 2005 kepada PT Avila Prima Sidoarjo mengenai jumlah dan harga ruko, kios dan los yang belum terjual yaitu :
Ruko : 10 buah @ Rp170.000.000,00 Kios : 23 buah @ Rp40.000.000,00 s.d Rp60.000.000,00 Los (kering) : 15 buah @ Rp10.000.000,00 Realisasi mengenai jumlah penjualan dan harga ruko, kios dan los tersebut oleh investor tidak pernah dilaporkan secara rutin kepada Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Permasalahan tersebut tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1994 tanggal tanggal 5 Oktober 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja
Daerah
pada
pasal
7
ayat
(3)
yang
menyatakan
bahwa
setiap
Dinas/Lembaga/Satuan Kerja Daerah lainnya yang mempunyai sumber pendapatan wajib mengadakan intensifikasi pendapatan
daerah yang menjadi
wewenang
dan tanggung
jawabnya baik mengenai jumlahnya maupun kecepatan penyetorannya ke rekening
Kas
Daerah dan mengintensifkan penagihan dan pemungutan piutang daerah. Tidak dapat dipungutnya retribusi atas ruko, kios, los mengakibatkan penerimaan daerah tidak dapat direalisasikan sebesar Rp492.790.000,00 dan mengurangi kesempatan daerah untuk membiayai pembangunan. Hal tersebut terjadi karena investor dhi. PT Avila Prima Sidoarjo tidak secara tertib melaporkan jumlah ruko, kios dan los yang terjual kepada Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, sehingga Dinas Pasar tidak dapat memungut retribusi dari pemilik ruko, kios, dan los yang telah terjual. Permasalahan stand pasar yang tutup/belum laku karena harga yang tidak wajar/tinggi segera ditindaklanjuti dengan membentuk tim bersama instansi terkait dalam rangka membahas rekomendasi penetapan harga stand yang wajar/sesuai terhadap stand PT Avila Prima di Pasar Krian. BPK RI merekomendasikan kepada Kepala Dinas Pasar untuk melakukan koordinasi dengan investor dhi. PT Avila Prima Sidoarjo dan mendata kembali potensi pendapatan retribusi pasar secara akurat serta melaporkan hasilnya kepada Bupati Sidoarjo.
6. Sebanyak 14 Pasar belum ditingkatkan menjadi Pasar Kelas I
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 18 Tahun 2001 tanggal 30 Nopember 2001 Tentang Retribusi Pelayanan Pasar antara lain ditetapkan bahwa Pasar Kelas I adalah Pasar yang memperoleh pendapatan retribusi rata-rata minimal Rp1.750.000,00 setiap bulan. Sedangkan Pasar Kelas II adalah pasar yang memperoleh pendapatan retribusi rata-rata dibawah pendapatan retribusi Pasar Kelas I. Pemeriksaan atas target dan realisasi retribusi pelayanan pasar pada Dinas Pasar Tahun Anggaran 2004 dan 2005 (s.d Juli 2005), menunjukkan keadaan seperti dalam tabel berikut :
Dari 18 pasar sebagaimana tersebut dalam tabel di atas diantaranya terdapat sebanyak 14 pasar yang memperoleh pendapatan rata-rata per bulan di atas Rp1.750.000,00 tetapi belum ditingkatkan menjadi Pasar Kelas I. Apabila ditingkatkan menjadi Pasar Kelas I akan diperoleh pendapatan yang lebih tinggi, khususnya untuk retribusi izin pemakaian, izin perpanjangan pemakaian, perubahan bentuk atau fungsi bangunan dan pemindahtanganan atas ruko, togu, kios dan los. Pemeriksaan mengenai ketertiban administrasi pasar pada Dinas Pasar tidak diketahui perkembangan izin pemakaian, izin perpanjangan pemakaian, perubahan bentuk atau fungsi
bangunan dan pemindahtanganan atas ruko, togu, kios dan los, sehingga tidak dapat dihitung peningkatan pendapatannya berdasarkan tarif Pasar Kelas I. Hal tersebut bertentangan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 18 Tahun 2001 tanggal 30 Nopember 2001 Tentang Retribusi Pelayanan Pasar Bab VI Pasal 8 ayat (1), (2), (3), (5) dan (6) antara lain dinyatakan bahwa besarnya tarif izin pemakaian, izin perpanjangan pemakaian, perubahan bentuk atau fungsi bangunan dan pemindahtanganan atas ruko, togu, kios dan los dibedakan antara Pasar Kelas II dan Kelas I. Pasar Kelas I adalah Pasar yang memperoleh pendapatan retribusi rata-rata minimal Rp1.750.000,00 setiap bulan. Sedangkan Pasar Kelas II adalah pasar yang memperoleh pendapatan retribusi rata-rata dibawah pendapatan retribusi Pasar Kelas I. Belum ditingkatkannya pasar-pasar yang telah memperoleh pendapatan rata-rata Rp1.750.000,00 per bulan menjadi Pasar Kelas I dan ketidaktertiban administrasi tersebut mengakibatkan target dan realisasi pendapatan retribusi pelayanan pasar tidak maksimal. Kondisi tersebut terjadi antara lain karena Dinas Pasar belum sepenuhnya melakukan evaluasi atas pendapatan pasar dan kurang tertibnya administrasi perkembangan pasar. Kepala Dinas Pasar menjelaskan bahwa terkait dengan permasalahan belum ditetapkannya klasifikasi kelas untuk pasar–pasar tersebut akan segera ditindaklanjuti dengan Keputusan Bupati tentang Klasifikasi Kelas-kelas Pasar Daerah di Kabupaten Sidoarjo. Sedangkan permasalahan ketertiban administrasi perijinan pemakaian stand, perpanjangan stand, perubahan bentuk dan fungsi stand serta pemindahtanganan stand yang selama ini kurang tertib akan ditindaklanjuti sesuai dengan agenda kegiatan yang terdapat pada APBD 2005 yaitu pendataan stand pasar pada tribulan IV tahun 2005 serta akan dilanjutkan sesuai. yang diusulkan pada tahun 2006, yaitu Kegiatan Penataan administrasi perijinan di Pasar yang akan ditetapkan dengan Keputusan Bupati. BPK RI merekomendasikan kepada Kepala Dinas Pasar agar melakukan penertiban administrasi pasar dengan melakukan pendataan ulang atas potensi retribusi pasar secara akurat dan melaporkan hasilnya kepada Bupati Sidoarjo.
7. Pemberian Keringanan Ketetapan Pajak/Retribusi belum diatur dengan ketentuan yang berlaku
Dalam rangka
mendorong kegiatan investasi di Kabupaten Sidoarjo, Pemerintah
Kabupaten Sidoarjo antara lain telah memberikan keringanan ketetapan pembayaran pajak dan retribusi. Kewenangan pemberian keringanan pajak dan retribusi dilakukan secara berjenjang oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah dan Bupati. Jumlah pemberian keringanan ketetapan Pajak Retribusi berdasarkan Laporan Rekapitulasi Pemberian Keringanan dan Angsuran
Pajak/Retribusi dari Sub Dinas
Penagihan, Pembukuan dan Pelayanan Keberatan Tahun Anggaran 2005 (s.d. Agustus 2005) dari Dipenda Kabupaten Sidoarjo adalah sebagai berikut :
Dari 41 WP/WR yang mendapat keringanan tersebut sebanyak 5 WP/WR diantaranya dapat dilihat dalam tabel berikut:
Menurut pengamatan pemeriksa, keempat WP/WR tersebut dilihat dari kemampuan fisik/ keuangannya seharusnya tidak diberikan keringanan pajak/ retribusi. Pemberian keringanan pajak/retribusi tersebut didasarkan atas permintaan tertulis dari WP/WR yang bersangkutan, hasil peninjauan ulang atas kondisi dan kemampuan membayar dari WP/WR tersebut, namun belum didasarkan pada Peraturan Perundangan yang jelas. Hal tersebut tidak sesuai dengan Undang-undang No. 34
tahun 2000 tentang
Perubahan atas Undang-undang No 18 tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah pasal 8 ayat (1) ditetapkan antara lain bahwa Tata Cara Penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan STPD, Surat Keputusan Pembetulan, dan Surat Keputusan Keberatan diatur dengan Keputusan Kepala Daerah. Ketetapan pemberian keringanan pajak/retribusi yang tidak didasarkan kemampuan nyata dari WP/WR dan peraturan yang jelas tersebut, akan menimbulkan kesan negatif dan membuka peluang terjadinya penyimpangan. Hal tersebut terjadi antara lain karena kelalaian Pemerintah Kabupaten Sidoarjo yang tidak cermat dalam memberikan keringanan pajak dan retribusi yang harus dibayar kepada Kabupaten Sidoarjo. Terhadap permasalahan tersebut Kepala Dispenda menjelaskan bahwa mengacu pada ketentuan UU No. 34 tahun 2004 Pemerintah Daerah dengan Perda telah menindaklanjuti dengan Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengatur tentang Pengurangan, Keringanan dan Pembebasan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah misalnya :
a. Perda No. 12 tahun 2001 tentang PPJ, Pasal 12 ayat 1 menyatakan bahwa Bupati berdasarkan permohonan WP dapat memberikan pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak. b. Perda No. 25 tahun 2001 tentang IMB, Pasal 18 ayat 1 menyatakan bahwa Bupati dapat memberikan pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak. BPK RI merekomendasikan kepada Bupati Sidoarjo agar : a. Dalam memberikan keringanan pembayaran pajak/retribusi dilakukan lebih selektif dengan memperhatikan kemampuan nyata dari WP/WR yang bersangkutan. b. Segera
menerbitkan
Keputusan
Bupati
mengenai
pemberian
keringanan
pajak/retribusi sesuai peraturan yang berlaku.
8. Pendapatan Puskesmas Tarik dari Pelayanan Unit Kamar Operasi belum diatur dengan Peraturan Daerah dan belum disetor ke Kas Daerah Dalam rangka mengembangkan pelayanan kesehatan masyarakat Puskesmas Tarik
menambah kelengkapan pelayanan kesehatan antara lain berupa pelayanan kamar operasi. Pelayanan kamar operasi mulai diberikan kepada masyarakat sejak bulan April 2003. Sejak beroperasi sampai dengan sekarang jumlah pasien yang dilayani oleh Kamar Operasi mengalami peningkatan demikian juga dari segi pendapatannya. Tahun 2004 jumlah pasien yang dilayani melakukan operasi sebanyak 21 pasien dan pendapatan yang diperoleh sebesar Rp59.790.000,00. Sedangkan tahun 2005 (s.d Juli) telah mangalami peningkatan sebanyak 43 pasien, dengan nilai pendapatan sebesar Rp129.189.400,00 sehingga total pendapatan dalam dua tahun sebesar Rp188.979.400,00. Berdasarkan pemeriksaan di lapangan dan atas data keuangan diketahui hal-hal sebagai berikut: a. Biaya pelaksanaan operasi di Unit Kamar Operasi yang terdiri dari tenaga medis beserta asistennya, sewa peralatan operasi,
obat-obatan dan keperluan penunjang lainnya
diselenggarakan secara mandiri oleh Puskesmas Tarik. b. Tarip yang dikenakan kepada pasien ditentukan oleh Kepala Puskesmas yang dipersamakan dengan tarip rumah sakit kelas tiga. c. Pencatatan penerimaan dilaksanakan sejak Oktober 2004. Berdasarkan catatan tersebut diketahui bahwa s.d 23 Agustus 2005 penerimaan dari Unit Kamar Operasi sebesar
Rp188.979.400,00. Pendapatan tersebut dikelola oleh Puskesmas Tarik dan belum disetorkan ke Kas Daerah. d. Jenis pendapatan dari kamar operasi tersebut belum diatur dalam Peraturan Daerah. Permasalahan tersebut di atas tidak sesuai dengan: a. Undang-undang No. 34 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang No 18 tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah pada pasal 18 ayat (4) yang menyatakan bahwa dengan Peraturan Daerah dapat ditetapkan jenis Retribusi selain yang ditetapkan dalam ayat (3) sesuai dengan kewenangan otonominya dan memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. b. b. Kepmendagri No. 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD: 1) pasal 40 ayat (1) menyatakan bahwa dalam fungsinya sebagai penerima pendapatan Daerah, Satuan Pemegang Kas dilarang menggunakan uang yang diterimanaya secara langsung untuk membiayai pengeluaran Perangkat Daerah. 2) pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa Setiap penerimaan kas disetor sepenuhnya ke Rekening Kas Daerah pada Bank. c. Tarip yang dikenakan kepada pasien ditentukan oleh Kepala Puskesmas yang dipersamakan dengan tarip rumah sakit kelas tiga yaitu Operasi Besar sebesar Rp3.800.000,00, Operasi Sedang sebesar Rp2.850.000,00 dan Operasi Kecil sebesar Rp425.000,00. Belum disetornya pendapatan yang berasal dari Unit Kamar Operasi ke Kas Daerah tersebut mengakibatkan Pemerintah Daerah tidak dapat memanfaatkan pendapatan yang berasal dari pelayanan Kamar Operasi sebesar Rp188.979.400,00. Permasalahan tersebut terjadi karena belum adanya Peraturan Daerah mengenai pelayanan Unit Kamar Operasi di Puskesmas. Berdasarkan penjelasan dari Kepala Dinas Kesehatan diketahui bahwa sampai saat sekarang pendapatan tersebut belum dapat disetor namun digunakan untuk meningkatkan pelayanan maupun sarana. Sebagai tindak lanjut dari peningkatan pelayanan tersebut Dinas Kesehatan membicarakan dengan puskesmas tentang pola tarip pelayanan dan telah disepakati untuk meningkatkan jenis pelayanan yang belum ada taripnya berdasarkan Perda
No. 8 tahun 2003 atas perubahan Perda No. 14 tahun 2001 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan disepakati menggunakan pola tarip pelayanan RSUD kelas III yang akan segera diajukan ke Bupati sebagai rancangan perubahan tarip Perda. BPK RI merekomendasikan kepada Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD Kabupaten Sidoarjo agar merumuskan penerimaan kamar operasi pada Puskesmas dalam peraturan daerah tentang retribusi pelayanan kesehatan.