ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GAGAL GINJAL KRONIS
OLEH : KELOMPOK 5 : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Sri Ulis Endah Eka Pr Prayanti Tutik Malichah Riny Pujiyanti Vivi Silvia Anggara Wiwit widyawati Dewi Noer Maemunah
(131411123057) (131411123059) (131411123061) (131411123063) (131411123065) (131411123067) (131411123069)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2015
BAB I PENDAHULUAN A. Lata Latarr Belak elakan ang g Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah usaha yang diarahkan agar setiap penduduk dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Upaya tersebut sampai saat ini masih menjadi kendala yang disebabkan masih tingginya masalah kesehatan, terutama yang berkaitan dengan penyakit yang dapat menghambat kemampuan seseorang untuk hidup sehat. Penyakit – penyakit tersebut diantaranya adalah Gagal Ginjal Kronik.
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir( end-stage renal disease/ESRD) disease/ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana
kemampuan
tubuh
gagal
untuk
mempertahankan
metabolisme
dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Tanda dan gejala yang sering muncul pada pasien dengan gagal ginjal kronik antara lain pada sistem kardiovaskuler, terjadi hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, dan sacrum), edema periorbital, friction rub pericardial dan pembesaran vena leher. Pada sistem integrumen, warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar. Pada sistem pulmoner, krekls, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernapasan kussmaul. Pada sistem gastrointestinal, napas berbau amonia, ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia, mual dan muntah, konstipasi dan diare, perdarahan dari saluran gastrointestinal. Pada sistem neurologi terjadi kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki. Pada sistem muskuluskeletal terjadi keram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang dan foot drop. Sedangkan pada sistem reproduksi terjadi amenore pada wanita dan atropi testikuler pada pria (Smeltzer,2001). Salah satu penanganan untuk pasien gagal ginjal kronik adalah dengan dialysis. Dialysis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut. Tujuan dari dialysis adalah untuk mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal pulih kembali. Metode terapi mencakup dialysis peritoneal, hemofiltrasi dan hemodialisis. Pada dialysis peritoneal, permukaan peritoneum atau lapisan dinding abdomen berfungsi s ebagai membrane semipermeabel. Sedangkan hemofiltrasi digunakan untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan. Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen. Pada hemodialisis, membran merupakan bagian dialiser atau ginjal artificial. Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen terpisah. Pada pasien dengan gagal ginjal kronik, hemodialisa akan mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisa tidak menyembuhkan atau at au memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktifitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan oleh ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapi terhadap kualitas
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir( end-stage renal disease/ESRD) disease/ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana
kemampuan
tubuh
gagal
untuk
mempertahankan
metabolisme
dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Tanda dan gejala yang sering muncul pada pasien dengan gagal ginjal kronik antara lain pada sistem kardiovaskuler, terjadi hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, dan sacrum), edema periorbital, friction rub pericardial dan pembesaran vena leher. Pada sistem integrumen, warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar. Pada sistem pulmoner, krekls, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernapasan kussmaul. Pada sistem gastrointestinal, napas berbau amonia, ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia, mual dan muntah, konstipasi dan diare, perdarahan dari saluran gastrointestinal. Pada sistem neurologi terjadi kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki. Pada sistem muskuluskeletal terjadi keram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang dan foot drop. Sedangkan pada sistem reproduksi terjadi amenore pada wanita dan atropi testikuler pada pria (Smeltzer,2001). Salah satu penanganan untuk pasien gagal ginjal kronik adalah dengan dialysis. Dialysis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut. Tujuan dari dialysis adalah untuk mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal pulih kembali. Metode terapi mencakup dialysis peritoneal, hemofiltrasi dan hemodialisis. Pada dialysis peritoneal, permukaan peritoneum atau lapisan dinding abdomen berfungsi s ebagai membrane semipermeabel. Sedangkan hemofiltrasi digunakan untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan. Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen. Pada hemodialisis, membran merupakan bagian dialiser atau ginjal artificial. Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen terpisah. Pada pasien dengan gagal ginjal kronik, hemodialisa akan mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisa tidak menyembuhkan atau at au memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktifitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan oleh ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapi terhadap kualitas
hidup pasien. Pasien harus menjalani dialisis sepanjang hidupnya atau sampai mendapat ginjal baru melalui operasi pencangkokan (Smeltzer, 2001). B. Rumus umusan an Masa Masala lah h “Bagaimanakah konsep asuhan keperawatan pada klien dengan gagal ginjal kronik/CKD?” C. Tujuan 1.
Tujuan umum Agar mahasiswa/i mampu memahami dan melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan gagal ginjal kronik/CKD.
2.
Tujuan kh khusus a. Mahasiswa Mahasiswa dapat dapat mengetahui mengetahui anatomi anatomi dan dan fisiologi fisiologi ginjal ginjal b. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian gagal ginjal kronik c. Mahasiswa Mahasiswa dapat menyebut menyebutkan kan klasifikasi klasifikasi gagal gagal ginjal ginjal kronik d. Mahasiswa Mahasiswa dapat menyebutk menyebutkan an etiologi etiologi gagal ginjal kronik kronik e. Mahasiswa Mahasiswa dapat menjelaska menjelaskan n patofisiolog patofisiologii gagal ginjal ginjal kronik kronik f. Mahasiswa Mahasiswa mampu mampu menyebutk menyebutkan an manifestasi manifestasi klinis klinis gagal gagal ginjal ginjal kronik kronik g. Mahasiswa Mahasiswa mampu menyebu menyebutkan tkan komplikas komplikasii gagal ginjal kronik kronik h. Mahasiswa Mahasiswa mampu menjelaskan menjelaskan pemeriksaan pemeriksaan diagnostik diagnostik pada pada gagal ginjal kronik kronik i. Mahasiswa Mahasiswa mampu mampu menjelaskan menjelaskan penatala penatalaksanaa ksanaan n pada gagal gagal ginjal ginjal kronik kronik . Mahasiswa Mahasiswa mampu mampu menyebutk menyebutkan an prognosi prognosiss gagal ginjal ginjal kronik kronik k. Mahasiswa Mahasiswa dapat menyususn menyususn konsep konsep asuhan keperawatan keperawatan pada pada gagal ginjal kronik kronik
D. Manfaat 1.
Sebagai Sebagai acuan acuan mahasisw mahasiswaa dalam menyusun menyusun asuhan keperawatan keperawatan pada klien dengan dengan gagal ginjal kronis. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Anat Anatom omii Fisi Fisiol olog ogii Ginj Ginjal al
Gambar 1. Struktur Ginjal Manusia Manu sia memili mem iliki ki sepasa sep asang ng ginjal ginj al yang terlet ter letak ak di belaka bel akang ng perut per ut atau abdomen. Ginjal ini terletak di kanan dan kiri tula tu lang ng bela be laka kang ng,, di di baw b awah ah hati ha ti dan da n limpa. pa . Di Di ba bagian atas ( superior superior ) ginjal terdapat kelenja kele njarr adrena adr enall (juga (j uga dise di sebut but kelenjar suprarenal ). ). Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Kedua ginjal terletak di sekitar v sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit di bawah ba wah ginja gi njall kiri kir i untuk unt uk member mem berii tempat tem pat untuk u ntuk hati. hat i. Sebagia Seba gian n dari da ri bagi b agian an atas a tas ginjal ginj al terlin ter lindung dungii oleh ol eh iga ke sebe s ebelas las dan duabela duab elas. s. Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu meredam goncangan. Berat dan besar ginjal bervariasi; hal ini tergantung jenis kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi lain.Pada orang
dewasa, rata-rata ginjal memiliki ukuran panjang sekitar 11,5 cm, lebar sekitar 6 cm dan ketebalan 3,5 cm dengan berat sekitar 120-170 gram atau kurang lebih 0,4% dari berat badan. Ginjal memiliki bentuk seperti kacang dengan lekukan yang menghadap ke dalam.
Di
tiap
ginjal
terdapat
bukaan
yang
disebut
hilus
yang
menghubungkan arteri renal, vena renal, dan ureter. Bagian paling luar dari ginjal disebut korteks, bagian lebih dalam lagi disebut medulla. Bagian paling dalam disebut pelvis. Pada bagianmedulla ginjal manusia dapat pula dilihat adanya piramida yang merupakan bukaan saluran pengumpul. Ginjal dibungkus oleh jaringan fibros tipis dan mengkilap yang disebut kapsula fibrosa ginjal dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak perirenal. Di sebelahatas ginjal terdapat kelenjar adrenal. Ginjal dan kelenjar adrenal dibungkus oleh fasia gerota. Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron yang dapat berjumlah lebih dari satu juta buah dalam satu ginjal normal manusia dewasa. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urine. Sebuah
nefron
terdiri
disebut korpuskula (atau badan (tubulus).
Setiap
korpuskula
dari
sebuah
Malphigi)
yang
mengandung
komponen
penyaring
dilanjutkan gulungan
oleh kapiler
yang
saluran-saluran darah
yang
disebut glomerulus yang berada dalam kapsula Bowman. Setiap glomerulus mendapat aliran darah dari arteri aferen. Dinding kapiler dari glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau penyaringan. Darah dapat disaring melalui dinding epitelium tipis yang berpori dari glomerulus dan kapsula Bowman karena adanya tekanan dari darah yang mendorong plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk ke dalan tubulus ginjal. Darah yang telah tersaring akan meninggalkan ginjal lewat arteri eferen. Di antara darah dalam glomerulus dan ruangan berisi cairan dalam kapsula Bowman terdapat tiga lapisan: 1. Kapiler selapis sel endotelium pada glomerulus 2. Lapisan kaya protein sebagai membran dasar 3. Selapis sel epitel melapisi dinding kapsula Bowman ( podosit )
Dengan bantuan tekanan, cairan dalan darah didorong keluar dari glomerulus, melewati ketiga lapisan tersebut dan masuk ke dalam ruangan dalam kapsula Bowman dalam bentuk filtrat glomerular. Filtrat plasma darah tidak mengandung sel darah ataupun molekul protein yang besar. Protein dalam bentuk molekul kecil dapat ditemukan dalam filtrat ini. Darah manusia melewati ginjal sebanyak 350 kali setiap hari dengan laju 1,2 liter per menit, menghasilkan 125 cc filtrat glomerular per menitnya. Laju penyaringan glomerular ini digunakan untuk tes diagnosa fungsi ginjal. Tubulus ginjal merupakan lanjutan dari kapsula Bowman. Bagian yang mengalirkan filtrat glomerular dari kapsula Bowman disebut tubulus konvulasi proksimal. Bagian selanjutnya adalah lengkung Henle yang bermuara pada tubulus konvulasi distal. Lengkung Henle diberi nama berdasar penemunya yaitu Friedrich Gustav
Jakob
Henle pada
awal
tahun
1860-an.
Lengkung
Henle
menjaga
gradien osmotikdalam pertukaran lawan arus yang digunakan untuk filtrasi. Sel yang melapisi
tubulus
memiliki
banyak mitokondria yang
menghasilkanATP dan
memungkinkan terjadinya transpor aktif untuk menyerap kembali glukosa, asam amino, dan berbagai ion mineral. Sebagian besar air (97.7%) dalam filtrat masuk ke dalam tubulus konvulasi dan tubulus kolektivus melalui osmosis. Cairan mengalir dari tubulus konvulasi distal ke dalam sistem pengumpul yang terdiri dari:
Tubulus penghubung
Tubulus kolektivus kortikal
Tubulus kloektivus medularis Tempat lengkung Henle bersinggungan dengan arteri aferen disebut aparatus
uxtaglomerular, mengandung macula densa dan sel juxtaglomerular. Sel juxtaglomerular adalah tempat terjadinya sintesis dan sekresi renin. Cairan menjadi makin kental di sepanjang tubulus dan saluran untuk membentuk urin, yang kemudian dibawa ke kandung kemih melewati ureter (Price, 2005). B. Pengertian
Gagal ginjal kronis (CKD/ESRD) adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah
nitrogen lainnya dalam tubuh). Ini dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, glomerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi yang tidak dapat dikontrol, obstruksi traktus urinarius, lesi herediter, seperti penyakit ginjal polikistik, gangguan vaskuler, infeksi, medikasi, atau agen toksik. Lingkungan dan agens berbahaya yang mempengaruhi gagal ginjal kronis mencakup timah, kadmium,merkuri dan kromium (Smeltzer,2001).
C. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronis/CKD
Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan Cronic Kidney Disease (CKD). Pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic renal failure (CRF), namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk membatasi kelainan klien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD dibagi 5 grade, dengan harapan klien datang/ merasa masih dalam stage – stage awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat (stage) menggunakan terminology CCT (clearance creatinin test) dengan rumus stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF (cronic renal failure) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan klien datang dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila menggunakan istilah CRF. 1. Gagal ginjal kronik / Cronoic Kidney Disease (CKD) dibagi 3 stadium : a. Stadium I : Penurunan cadangan ginjal
Kreatinin serum dan kadar BUN normal
Asimptomatik
Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih, tes GFR
b. Stadium II : Insufisiensi ginjal
Kadar BUN meningkat (tergantung pada kadar protein dalam diet)
Kadar kreatinin serum meningkat
Nokturia dan poliuri (karena kegagalan pemekatan)
Ada 3 derajat insufisiensi ginjal: 1. Ringan : 40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal 2. Sedang : 15% - 40% fungsi ginjal normal 3. Kondisi berat : 2% - 20% fungsi ginjal normal c. Stadium III: gagal ginjal stadium akhir atau uremia
Kadar ureum dan kreatinin sangat meningkat
Ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis cairan dan elektrolit
Air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma, dengan BJ 1,010
2. KDIGO ( Kidney Disease Improving Global Outcome) merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan:
Stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerolus) : a. Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan GFR yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m 2). b. Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan GFR antara 60 -89 mL/menit/1,73 m2 c. Stadium 3a : kelainan ginjal dengan GFR antara 45-59 mL/menit/1,73m 2 d. Stadium 3b
: kelainan ginjal dengan GFR 30-44
e. Stadium 4 : kelainan ginjal dengan GFR antara 15-29mL/menit/1,73m 2 f. Stadium 5 : kelainan ginjal dengan GFR < 15 mL/menit/1,73m 2 atau gagal ginjal terminal.
Stadium menurut kadar albumin
Category
AER
ACR (approximate equivalent)
Terms
(mg/24 hours
A1
<30
(mg/mmol)
(mg/g)
<30
<30
Normal to mildly increased
A2
30-300
3-30
30-300
Moderatly increased*
A3
>300
>30
>300
Severely increased**
Abbreviations : AER, albumin excretion rate;ACR, albumin-to-creatinin ratio; CKD, chronic kidney disease. *Relative to young adult level. **Including nephrotic syndrome (albumin excretion usually >2200mg/24 hours; ACR >2200mg/g; >220 mg/mmol). D. Etiologi
Penyebab CKD diberbagai negara hampir sama. Berdasarkan penyebabnya, NKF K/DOQI membagi CKG menjadi 3 kelompok besar (Tjokroprawiro dkk 2007): a. Penyakit Ginjal Diabetik: Diabetes tipe 1 dan 2 b. Penyakit Non-Diabetik:
1)
Penyakit glomerulus (penyakit otoimun, infeksi sistemik, obat-obatan, keganasan)
2)
Penyakit-penyakit pembuluh darah (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
3)
Penyakit-penyakit tubulointerstisiel (ISK, batu, obstruksi, keracunan obat)
4)
Penyakit-penyakit kista (penyakit ginjal polikistik)
c. Penyakit pada Transplantasi 1) Rejeksi kronik 2) Toksisitas obat (siklosporin atau takrolimus) 3) Penyakit rekuren (penyakit glomerulus) 4) Glomerulopati transplant Penyebab
CKD
yang
menjalani
hemodialisa
di
Indonesia
menurut
PERNEFRI tahun 2000, adalah a) Glomeruloneritis 46,39% b) Diabetes Mellitus 18,65% c) Obstruksi dan infeksi 12,85% d) Hipertensi
8,46%
e) Sebab lain
13,65%
Penyebab lain adalah : infeksi, penyakit peradangan, penyakit vaskuler hipersensitif,
gangguan jaringan penyambung, gangguan kongenital dan herediter,
gangguan metabolism, nefropati toksik, nefropati obstruksi, dan intoksikasi obat.
E. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat dise rtai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, akan semakin berat. 1. Gangguan Klirens Ginjal Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang sebenarnya dibersihkan oleh ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24-jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurut filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin akan menurunkan dan kadar kreatinin akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang paling sensitif dari fungsi karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan medikasi seperti steroid. 2. Retensi Cairan dan Ureum Ginjal juga tidakmampu untuk mengkonsentrasi atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari, tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin angiotensin dan kerja sama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kwehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik. 3. Asidosis Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolic seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus gjnjal untuk menyekresi ammonia (NH3‾) dan mengabsopsi natrium bikarbonat (HCO3) . penurunan ekskresi fosfat dan asam organic lain juga terjadi 4. Anemia Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal,
produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai keletihan, angina dan sesak napas. 5. Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat, maka yang satu menurun. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar serum fosfat dan sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun, pada gagal ginjal tubuh tak berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon dan mengakibatkan perubahan pada tulang dan pebyakit tulang. Selain itu juga metabolit aktif vitamin D (1,25-dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di ginjal menurun. 6. Penyakit Tulang Uremik Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon. (Price, 2005).
F. Manifestasi klinis
Pasien akan menunjukkan beberapa randa dan gejala, keparahan kondisi bergantung pada tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari dan usia pasien. 1. Manifestasi kardiovaskular : hipertensi, gagal ginjal kongestif, edema pulmonal, perikarditis. 2. Dermatologis ; gatal-gatal hebat (pruritus), serangan uremik tidak umum karena pengobatan dini dan agresif. 3. Gastrointestinal : anoreksia, mual, muntah, cegukan, penurunan aliran saliva, haus, rasa kecap logam dalam mulut, kehilangan kemampuan penghidu dan pengecap, parotitis atau stomatitis. 4. Neuromuskular : perubahan tingkat kesadaran, kacau mental, ketidakmampuan berkonsentrasi, kedutan otot dan kejang. 5. Hematologis : kecenderungan perdarahan. 6. Keletihan dan letargik, sakit kepala, kelemahan umum. 7. Pasien secara bertahap akan lebih mengantuk, karakter pernapasan menjadi kusmaul, terjadi koma dalam, konvulsi (kedutan mioklonik) atau kedutan otot.
( Baughman, 2000). G. Komplikasi
1.
Hiperkalemi akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme dan masukan diet berlebihan.
2.
Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
3.
Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem reninangiotensin-aldosteron.
4.
Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin dan kehilangan darah selama hemodialisa.
5.
Penyakit tulang serta klasifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal.
6.
Asidosis metabolik
7.
Osteodistropi ginjal
8.
Sepsis
9.
Neuropati perifer
10. Hiperuremia
H. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang pada Chronic Kidney Disease (CKD) a. Laboratorium 1) Pemeriksaan analisa urin Menggunakan tes dipstick , mendeteksi adanya hematuria, piuria, dan proteinuria Tabel 2. Deskripsi warna urin
(Sumber: Pedoman interpretasi data klinik: Kemenkes RI. 2011) 2) Pemeriksaan mikroskopis urin a) Pada anak banyak ditemukan hyalin cast b) Nekrosis tubular akut banyak ditemukan granular cast c) Pada kasus infeksi ditunjukkan dengan adanya red cell cast d) White cell cast biasanya terjadi pada acute pyelonephritis atau interstitial nephritis Tabel 3. Sedimentasi urin:
(Sumber: Pedoman interpretasi data klinik: Kemenkes RI., 2011)
Berikut hasil pemeriksaan urinalisis yang berkaitan dengan adanya penyakit pada ginjal: Tabel 4. Hasil urinalisis penyakit pada ginjal
(Sumber: KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease 2012). 3) Pemeriksaan kimiawi serum Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin serum merupakan tes yang paling penting, sedangkan pemeriksaan
kadar
natrium, kalium,
kalsium, fosfat,
bikarbonat, alkalin fosfatase, hormon paratiroid (PTH), kolesterol, fraksi lipid penting untuk terapi dan pencegahan komplikasi CKD. Nilai normal untuk kadar
urea dalam darah berkisar 8-24 mg/dl pada laki-laki dan pada wanita berkisar 6-21 mg/dl. Nilai normal kreatinin berkisar antara 0,6-1,3 mg/dl (SI: 62-115 µmol/L). 4) Penghitungan laju filtrasi gromerulus Pengukuran ini dimaksudkan untuk menilai jumlah nefron yang masih berfungsi untuk melakukan filtrasi. Pemeriksaan eGFR ( Estimated Glomerular Filtratin Rate) adalah perkiraan untuk menentukan kemampuan fungsi ginjal dalam menyaring atau membersihkan darah menggunakan perhitungan rumus schwartz berdasarkan kreatinin darah, umur dan jenis kelamin. Namun demikian, perhitungan eGFR tidak bisa digunakan pada wanita hamil, obesitas, sangat kurus, asites, anak-anak dan usia lanjut (diatas 65 tahun). Untuk keadaan seperti ini harus melakukan CCT (Creatinin Clerence Test ). Pemeriksaan
CCT
(Creatinin
Clerence
Test )
untuk
menentukan
kemampuan fungsi ginjal lebih teliti dalam menyaring atau membersihkan darah, menggunakan perhitungan berdasarkan pengukuran kadar kreatinin darah, kreatinin urin 24 jam, berat badan, tinggi badan, dan volume urin yang dikumpulkan selama 24 jam, pengumpulan urin selama 24 jam tidak boleh ada yang terbuang. Berikut rumus perhitungan GFR (Gromerulo Filtration Rate): a) Formula schwartz:
b) Menurut Traub SL dan Johnson CE
Metode perhitungan ini untuk anak 1 – 18 tahun.
c) Metode Jelliffe
Metode Jellife dipakai pada pasien dewasa usia 20-80 tahun.
d) Metode Cockroff dan Gault
Metode ini digunakan bagi seluruh pasien dewasa. Tabel 6. Kisaran nilai normal Klirens kreatinin (CCr)
(Sumber: Pedoman interpretasi data klinik: Kemenkes RI. 2011).
b. Pencitraan Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui penyebab dari CKD. Pemeriksaan pencintraan meliputi: 1) Foto polos: untuk melihat batu yang bersifat radioopak atau nefrokalsinosis. 2) Ultrasonografi: merupakan pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan karena aman, mudah, dan cukup memberikan informasi. USG merupakan modalitas terpilih untuk kemungkinan penyakit ginjal obstruktif. Meskipun USG kurang sensitif dibandingkan CT untuk mendeteksi massa, tetapi USG dapat digunakan untuk membedakan kista jinak dengan tumor solid, juga sering digunakan untuk menentukan jenis penyakit ginjal polikistik.
Gambar 1. Ultrasonografi CKD
(Sumber: University of Virginia 2013).
3)
CT Scan: Dapat menentukan massa ginjal atau kista yang tidak terdeteksi pada pemeriksaan
USG
dan
merupakan
pemeriksaan
paling
sensitif
untuk
mengidentifikasi batu ginjal. CT Scan dengan kontras harus dihindari pada pasien dengan gangguan ginjal untuk menghindari terjadinya gagal ginjal akut. Gambar 2. CT Scan gagal ginjal
(Sumber: American College of Radiology, 2015)
4)
MRI: Sangat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan CT tetapi tidak dapat menggunakan kontras. MRI dapat dipercaya untuk mendeteksi adanya trombosis vena renalis. Magnetic resonance angiography juga bermanfaat untuk mendiagnosis stenosis arteri renalis.
5) Radionukleotida: Deteksi awal parut ginjal dapat dilakukan dengan menggunakan radioisotope scanning 99m-technetium dimercaptosuccinic acid
(DMSA).
Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan intravenous pyelography (IVP) untuk mendeteksi parut ginjal dan merupakan diagnosis standar untuk mendeteksi nefropati refluks. 6) Voiding cystourethrography: Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan radionukleotida untuk mendeteksi refluks vesikoureter. 7) Retrogade atau anterogade pyelography: Dapat digunakan lebih baik untuk mendiagnosis dan menghilangkan obstruksi traktus urinarius. Pemeriksaan ini diindikasikan apabila dari anamnesis didapatkan kecurigaan gagal ginjal meskipun USG dan CT scan tidak menunjukkan adanya hidronefrosis. 8) Pemeriksaan tulang: Hal ini bermanfaat untuk mengevaluasi hiperpartiroid sekunder yang merupakan bagian dari osteodistrofi, dan juga perkiraan usia tulang untuk memberikan terapi hormon pertumbuhan. Gambar 3. CT Scan pada tibia
(Sumber: Justine Bacchetta, 2009)
Tabel 7. Hasil pencitraan pada kelainan ginjal
(Sumber: KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease 2012).
I.
Penatalaksanaan
1. Terapi Konservatif
Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien Cronic renal Desease (CKD) dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan sampai tahun. Tujuan terapi konservatif : a. Mencegah memburuknya fungsi ginjal secara profresi. b. Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksi asotemia. c. Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal. d. Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit. Prinsip terapi konservatif : a. Mencegah memburuknya fungsi ginjal. 1) Hati-hati dalam pemberian obat yang bersifat nefrotoksik. 2) Hindari keadaan yang menyebabkan diplesi volume cairan ekstraseluler dan hipotensi. 3) Hindari gangguan keseimbangan elektrolit. 4) Hindari pembatasan ketat konsumsi protein hewani. 5) Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi. 6) Hindari instrumentasi dan sistoskopi tanpa indikasi medis yang kuat. 7) Hindari pemeriksaan radiologis dengan kontras yang kuat tanpa indikasi medis yang kuat. b. Pendekatan terhadap penurunan fungsi ginjal progresif lambat 1) Kendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular. 2) Kendalikan terapi ISK. 3) Diet protein yang proporsional. 4) Kendalikan hiperfosfatemia. 5) Terapi hiperurekemia bila asam urat serum > 10mg%. 6) Terapi hIperfosfatemia. 7) Terapi keadaan asidosis metabolik. 8) Kendalikan keadaan hiperglikemia. c. Terapi alleviative gejala asotemia 1) Pembatasan konsumsi protein hewani. 2) Terapi keluhan gatal-gatal. 3) Terapi keluhan gastrointestinal. 4) Terapi keluhan neuromuskuler. 5) Terapi keluhan tulang dan sendi. 6) Terapi anemia.
7) Terapi setiap infeksi. 2. Terapi simtomatik a. Asidosis metabolik Jika
terjadi
harus
segera
dikoreksi,
sebab
dapat
meningkatkan
serum
K + (hiperkalemia ) : 1) Suplemen alkali dengan pemberian kalsium karbonat 5 mg/hari. 2) Terapi alkali dengan sodium bikarbonat IV, bila PH < atau sama dengan 7,35 atau serum bikarbonat < atau sama dengan 20 mEq/L. b. Anemia 1) Anemia Normokrom normositer Berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi hormon eritropoetin (ESF: Eritroportic Stimulating Faktor). Anemia ini diterapi dengan pemberian Recombinant Human Erythropoetin ( r-HuEPO ) dengan pemberian 30-530 U per kg BB.
2) Anemia hemolisis Berhubungan dengan toksin asotemia. Terapi yang dibutuhkan adalah membuang toksin asotemia dengan hemodialisis atau peritoneal dialisis. 3) Anemia Defisiensi Besi Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan perdarahan saluran cerna dan kehilangan besi pada dialiser ( terapi pengganti hemodialisis ). Klien yang mengalami anemia, tranfusi darah merupakan salah satu pilihan terapi alternati ,murah dan efektif, namun harus diberikan secara hati-hati. Indikasi tranfusi PRC pada klien gagal ginjal : a) HCT < atau sama dengan 20 % b) Hb < atau sama dengan 7 mg5 c) Klien dengan keluhan : angina pektoris, gejala umum anemia output heart failure. Komplikasi tranfusi darah : a) Hemosiderosis b) Supresi sumsum tulang c) Bahaya overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia d) Bahaya infeksi hepatitis virus dan CMV
dan high
e) Pada Human Leukosite antigen (HLA) berubah, penting untuk rencana transplantasi ginjal. c. Kelainan Kulit 1) Pruritus (uremic itching) Keluhan gatal ditemukan pada 25% kasus CKD dan terminal, insiden meningkat pada klien yang mengalami HD. Keluhan : a) Bersifat subyektif b) Bersifat obyektif : kulit kering, prurigo nodularis, keratotic papula dan lichen symply Beberapa pilihan terapi : a) Mengendalikan hiperfosfatemia dan hiperparatiroidisme b) Terapi lokal : topikal emmolient ( tripel lanolin ) c) Fototerapi dengan sinar UV-B 2x perminggu selama 2-6 mg, terapi ini bisa diulang apabila diperlukan
d) Pemberian obat
Diphenhidramine 25-50 P.O
Hidroxyzine 10 mg P.O
2) Easy Bruishing Kecenderungan perdarahan pada kulit dan selaput serosa berhubungan denga retensi toksin asotemia dan gangguan fungsi trombosit. Terapi yang diperlukan adalah tindakan dialisis. d. Kelainan Neuromuskular Terapi pilihannya :
HD reguler
Obat-obatan : Diasepam, sedatif
Operasi sub total paratiroidektomi.
e. Hipertensi Bentuk hipertensi pada klien dengan GG berupa : volum dependen hipertensi, tipe vasokonstriksi atau kombinasi keduanya. Program terapinya meliputi :
Restriksi garam dapur
Diuresis dan Ultrafiltrasi
Obat-obat antihipertensi.
3. Terapi pengganti Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006). a. Dialisis yang meliputi : 1) Hemodialisa Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Secara khusus, indikasi HD adalah : 1. Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk sementara sampai fungsi ginjalnya pulih. 2. Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi :
Hiperkalemia > 17 mg/lt
Asidosis metabolik dengan pH darah < 7.2
Kegagalan terapi konservatif
Kadar ureum > 200 mg % dan keadaan gawat pasien uremia, asidosis metabolik berat, hiperkalemia, perikarditis, efusi, edema paru ringan atau berat atau kreatinin tinggi dalam darah dengan nilai kreatinin > 100 mg %
Kelebihan cairan
Mual dan muntah hebat
BUN > 100 mg/ dl (BUN = 2,14 x nilai ureum )
preparat (gagal ginjal dengan kasus bedah )
Sindrom kelebihan air
Intoksidasi obat jenis barbiturat Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif.
Beberapa
yang
termasuk
dalam
indikasi
absolut,
yaitu
perikarditis, ensefalopati/ neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi berat, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% atau > 40 mmol per liter dan kreatinin > 10 mg% atau > 90 mmol perliter. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5
dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006). Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik diabetik. Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).
2) Dialisis Peritoneal (DP) Akhir-akhir
ini
sudah
populer Continuous
Ambulatory
Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006). b. Transplantasi ginjal atau cangkok ginjal. Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu :
Cangkok ginjal (kidney transplant ) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
Kualitas hidup normal kembali
Masa hidup ( survival rate) lebih lama
Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
J.
Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
Prognosis
Prognosis
pasien
dengan
penyakit
ginjal
kronis
dijaga
sebagai Data
epidemiologi telah menunjukkan bahwa menyebabkan semua kematian. (Tingkat kematian secara keseluruhan) meningkat sebagai penurunan fungsi ginjal. Penyebab utama kematian pada pasien dengan penyakit ginjal kronis adalah penyakit jantung, terlepas dari apakah ada perkembangan ke tahap 5. Sementara terapi pengganti ginjal dapat mempertahankan pasien tanpa batas waktu dan memperpanjang kehidupan, kualitas hidup adalah sangat terpengaruh ginjal transplantasi meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan stadium 5 CKD signifikan bila dibandingkan dengan terapi pilihan. Namun, hal ini terkait dengan mortalitas jangka pendek meningkat (akibat komplikasi dari operasi). Transplantasi samping, intensitas tinggi rumah hemodialisis muncul terkait dengan kelangsungan hidup baik dan [kualitas [hidup]] yang lebih besar, jika dibandingkan dengan tiga kali seminggu konvensional hemodialisis dan dialisis peritoneal.
WOC
BAB III Asuhan Keperawatan Klien dengan Gagal Ginjal Kronis A. Pengkajian
1. Keluhan Utama. Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine output sedikit sampai tidak bisa BAK,gelisah sampaipenurunan kesadaran, tidak selera makan (anoreksi), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, napas berbau (ureum),dan gatal pada kulit. 2. Riwayat Kesehatan sekarang. Kaji onset penurunan urine output, penurunan kesadaran, perubahan pola nafas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, adanya nafas berbau ammonia, dan perubahan pemenuhan nutrisi. Kaji sudah kemana saja klien minta pertolongan untuk mengatasi masalahnya dan mendapat pengobatan apa saja. 3. Riwayat Kesehatan Dahulu. Kaji adanya riwayat penyakit gagal ginjalakut, infeksi saluran kemih,payah jantung, penggunaan obat-obat nefrotosik, Benign Prostatic Hyperplasia, dan prostatektomi. Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit diabetes mellitus, dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat kemudian dokumentasikan. 4. Psikososial. Adanya perubahan fungsi struktur tubuh dan adanya tindakan dialysis akan menyebabkan pendeita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan
dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan, gangguan konsep diri (gambaran diri) dan gangguan peran pada keluarga ( self esteem).
5. Pemeriksaan Fisik. 1. Keadaan umum dan TTV. Keadaan umum klien lemah dan terlihat ssakit berat. Tingkat kesadaran menurun sesuai dengan tingkat uremia dimana dapat memenuhi sistem saraf pusat. Pada saat TTV sering didapatkan adanya perubahan; RR meningkat. Tekanan darah terjadi perubahan dari hipertensi ringan sampai berat. Dan gangguan konduksi elektrikal otot ventrikel. Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia sebagai akibat dari penurunan produksieritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah merah,dan kehilangan darah 2. B1 ( Breathing ). Klien bernafas dengan bau urine (fetor uremic) sering didapatkan pada fase ini. Respons uremia didapatkan adanya pernafasan kussmaul. Pola nafas cepat dan dalam merupakan upaya untuk melakukan pembuangan korbon dioksida yang menumpuk di sirkulasi. 3. B2 ( Blood ). Pada kondisi uremia berat, tindakan auskultasi perawat akan menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi pericardial. Didapatkan tanda dan gejala gagal jantung kongestif, TD meningkat, akral dingin, CRT > 3 detik, palpitasi, nyeri dada atau angina dan sesak napas, gangguan irama jantung, edema penurunan perfusi perifer sekunder dari penurunan curah jantung akibat hiperkalemia dan gangguan konduksi elektrikal otot ventrikel. Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoetin lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah merah dan kehilangan darah biasanya dari saluran GI kecenderungan mengalami perdarahan sekunder dari trombositopenia. 4. B3 ( Brain). Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral seperti perubahan proses piker dan disorientasi. Klien sering didapatkan adanya kejang, adanya
neuropati perifer, burning feet syndrome, restless leg syndrome, kram otot dan nyeri otot. 5. B4 ( Bladder ). Penurunan urine output < 400 ml/hari sampai anuri terjadi penurunan libido berat. 6. B5 ( Bowel ). Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia dan diare sekunder dari bau mulut ammonia, peradangan mukosa mulut dan ulkus saluran cerna sehingga sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. 7. B6 ( Bone). Didapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot,nyeri kaki (memburuk saat malam hari), kulit gatal,ada/berulangnya infeksi, pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekia, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang, defosit fosfat kalsium pada kulit, jaringan lunak dan sendi keterbatasan gerak sendi. Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi. 6. Pengkajian Diagnostik 8.
Laboratorium. 1) Laju Endap Darah : meninggi yang diperberat oleh adanya anemia, dan hipoalbumenia. Anemia normositer normokrom dan jumlah retikulosit yang rendah. 2) Ureum dan kreatinin : meninggi,biasanya perbandingan antara ureum dan kreatinin kurang lebih 20:1.Perbandingan ini bisa meninggi oleh karena adanya perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid dan obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini berkurang : ureum lebih kecil dari kreatinin, pada diet rendah protein, tesklirens yang menurun. 3) Hiponatremi : umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia :biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunnya diurisis. 4) Hipokalsemia dan hiperfosfosfatmia : terjadi karena berkurangnya sintesis vitamin D3 pada GGK. 5) Phosphate alkaline meninggi akibat gangguan metabolise tulang, terutama isoenzim fosfotase lindi tulang. 6) Hipoalbuminemia dan hipokolesterolmia; umumnya disebabkan gangguan metabolism dan diet rendah protein.
7) Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolism karbohidrat pada gagal ginjal (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer). 8) Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolism lemak, disebabkan peninggian hormone insulin dan menurunnya lipoprotein lipase. 9) Asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang menurun, BE yang menurun, HCO 3 yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya disebabkan retensi asam-asam organic pada ginjal. 9.
Radiologi. 1)
Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal ( adanya batu atau adanya obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal,oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
2)
Intra Vena Pielografi (IVP) untuk menilai sistem pelviokalises dan uretet. Pemeriksaan lain mempunyai risiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu. Misalnya : usia lanjut, DM dan nefropati asam urat.
3)
USG untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
4)
Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan (vascular, parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.
5)
EKG untuk melihat kemungkinan : hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis,aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).
7.
Penatalaksanaan Medis. Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan mencegah komplikasi, yaitu sebagai berikut : 1)
Dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki abnormalitas biokimia; menyebabkan cairan, protein dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas; menghilangkan kecenderungan perdarahan; dan membantu penyembuhan luka.
2) Koreksi hiperkalemi. Mengendalikan
kalium
darah
sangat
penting
karena
hiperkalemia
dapat
menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama harus diingat adalah jangan
menimbulkan hipekalemia. Selain dengan pemeriksaan darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG. Bila terjadi hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi intake kalium, pemberian Na Bikarbonat,dan pemberian infuse glukosa. 3)
Koreksi anemia. Usaha pertama harus ditujukan untuk mengatasi faktor defisiensi, kemudian mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat diatasi. Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb. Transfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misalnya insufiensi koroner.
4)
Koreksi asidosis. Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari. Natrium bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada permulaan 100 mEq natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan, jika diperlukan dapat diulang. Hemodialisis dan dialysis peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.
5)
Pengendalian hipertensi. Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa dan vasodilator dilakukan. Mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-hati karena semua gagal ginjal disertai retensi natrium.
6) Transplantasi ginjal. Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien GGK maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru. B. Diagnosa Keperawatan.
Menurut Smeltzer& Bare (2002: 1452-1456) diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan penyakit ginjal kronik adalah: 1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin, diet berlebih serta retensi cairan dan natrium. 2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet, perubahan membran mukosa. 3. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran kapiler-alveolar 4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialisis. 5. Gangguan harga diri berhubungan dengan ketergantungan, perubahan peran, perubahan citra tubuh dan fungsi seksual. C. Intervensi Keperawatan
No. 1
Diagnosa Keperawatan
Tujuan
Kelebihan volume cairan NOC : berhubungan dengan Electrolit and acid base penurunan haluaran urin, balance. diet berlebih serta retensi Fluid balance. cairan dan natrium Kriteria Hasil: Definisi : Retensi cairan Terbebas dari edema, isotomik meningkat efusi, anaskara. Bunyi nafas bersih, tidak Batasan karakteristik : ada dyspneu/ortopneu. o Berat badan meningkat Terbebas dari distensi pada waktu yang vena jugularis, reflek singkat. hepatojugular (+). o Asupan berlebihan Memelihara tekanan dibanding output. vena sentral, tekanan o Tekanan darah berubah, kapiler paru, output tekanan arteri antung dan vital sign pulmonalis berubah, dalam batas normal. Terbebas dari kelelahan, peningkatan CVP. kecemasan atau o Distensi vena jugularis. o Perubahan pada pola kebingungan. nafas, dyspnoe/sesak Menjelaskanindikator nafas, orthopnoe, suara kelebihan cairan nafas abnormal (Rales atau crakles), kongestikemacetan paru, pleural effusion. dan hematokrit o Hb menurun, perubahan elektrolit, khususnya perubahan berat jenis. o Suara jantung SIII. hepatojugular o Reflek positif. o Oliguria, azotemia. o Perubahan status mental, kegelisahan, kecemasan Faktor-faktor berhubungan : Mekanisme melemah. Asupan berlebihan. Asupan berlebihan
yang
pengaturan
cairan
natrium
Intervensi NIC : Fluid management : Timbang popok/pembalut jika diperlukan. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat. Pasang urin kateter jika diperlukan. Monitor hasil lAb yang sesuai dengan retensi cairan (BUN , Hmt , osmolalitas urin ). Monitor status hemodinamik termasuk CVP, MAP, PAP, dan PCWP. Monitor vital sign. Monitor indikasi retensi / kelebihan cairan (cracles, CVP , edema, distensi vena leher, asites). Kaji lokasi dan luas edema. Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian. Monitor status nutrisi. Berikan diuretik sesuai instruksi. Batasi masukan cairan pada keadaan hiponatrermi dilusi dengan serum Na < 130 mEq/l. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul memburuk Fluid Monitoring : Tentukan riwayat jumlah dan tipe intake cairan dan eliminasi. Tentukan kemungkinan faktor resiko dari ketidak seimbangan cairan (Hipertermia, terapi diuretik, kelainan renal, gagal antung, diaporesis, disfungsi hati, dll). Monitor berat badan. Monitor serum dan elektrolit urine.
2
Ketidakseimbangan nutrisi NOC : kurang dari kebutuhan Nutritional Status : food and Fluid Intake tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah, pembatasan
diet,
perubahan
membran
mukosa. Kurang tentang
pengetahuan kondisi
dan
penanganan.
Definisi : Intake nutrisi tidak cukup untuk keperluan metabolisme tubuh. Batasan karakteristik : Berat badan 20 % atau lebih di bawah ideal. Dilaporkan adanya intake makanan yang kurang dari RDA (Recomended Daily Allowance). Membran mukosa dan konjungtiva pucat.
Kriteria Hasil : Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi. Tidak ada tanda tanda malnutrisi. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
NIC : Nutrition Management Kaji adanya alergi makanan. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
Monitor serum dan osmilalitas urine. Monitor BP, HR, dan RR. Monitor tekanan darah orthostatik dan perubahan irama jantung. Monitor parameter hemodinamik infasif. Catat secara akutar intake dan output. Monitor adanya distensi leher, rinchi, eodem perifer dan penambahan BB. Monitor tanda dan gejala dari odema.
kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe. Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C. Berikan substansi gula. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi. Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi). Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi. Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
Kelemahan otot yang digunakan untuk menelan/mengunyah. Luka, inflamasi pada rongga mulut. Mudah merasa kenyang, sesaat setelah mengunyah makanan. Dilaporkan atau fakta adanya kekurangan makanan. Dilaporkan adanya perubahan sensasi rasa. Perasaan ketidakmampuan untuk mengunyah makanan. Miskonsepsi. Kehilangan BB dengan makanan cukup. Keengganan untuk makan. Kram pada abdomen. Tonus otot jelek. Nyeri abdominal dengan atau tanpa patologi. Kurang berminat terhadap makanan. Pembuluh darah kapiler mulai rapuh. Diare dan atau steatorrhea. Kehilangan rambut yang cukup banyak (rontok). Suara usus hiperaktif. Kurangnya informasi, misinformasi
Faktor-faktor yang berhubungan : Ketidakmampuan pemasukan atau mencerna makanan atau mengabsorpsi zat-zat
Nutrition Monitoring BB pasien dalam batas normal. Monitor adanya penurunan
berat badan. Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan. Monitor interaksi anak atau orangtua selama makan. Monitor lingkungan selama makan. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi. Monitor turgor kulit. Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah. Monitor mual dan muntah. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht. Monitor makanan kesukaan. Monitor pertumbuhan dan perkembangan. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva. Monitor kalori dan intake nuntrisi. Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oral. Catat jika lidah berwarna magenta, scarlet
gizi berhubungan dengan faktor biologis, psikologis atau ekonomi. 3
Gangguan pertukaran gas b/d kongesti paru, hipertensi pulmonal, penurunan perifer yang mengakibatkan asidosis laktat dan penurunan curah jantung. Definisi : Kelebihan atau kekurangan dalam oksigenasi dan atau pengeluaran karbondioksida di dalam membran kapiler alveoli Batasan karakteristik : Gangguan penglihatan Penurunan CO2 Takikardi Hiperkapnia Keletihan Somnolen Iritabilitas Hypoxia Kebingungan Dyspnoe AGD Normal Sianosis Warna kulit abnormal (pucat, kehitaman) Hipoksemia Hiperkarbia Sakit kepala ketika bangun Frekuensi dan kedalaman nafas abnormal
NOC : NIC : Respiratory Status : Gas Airway Management exchange Buka jalan nafas, guanakan Respiratory Status : teknik chin lift atau jaw thrust ventilation bila perlu. Vital Sign Status Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi. Kriteria Hasil : Identifikasi pasien perlunya Mendemonstrasikan pemasangan alat jalan nafas peningkatan ventilasi buatan. dan oksigenasi yang Pasang mayo bila perlu. adekuat. Lakukan fisioterapi dada jika kebersihan Memelihara perlu. paru paru dan bebas dari Keluarkan sekret dengan batuk tanda tanda distress atau suction. pernafasan. Auskultasi suara nafas, catat Mendemonstrasikan adanya suara tambahan. batuk efektif dan suara Lakukan suction pada mayo. nafas yang bersih, tidak Berika bronkodilator bial ada sianosis dan dyspneu perlu. (mampu mengeluarkan Barikan pelembab udara. sputum, mampu bernafas Atur intake untuk cairan dengan mudah, tidak ada mengoptimalkan pursed lips). keseimbangan. Tanda tanda vital dalam Monitor respirasi dan status rentang normal O2 Respiratory Monitoring
Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan, retraksi otot supraclavicular dan intercostal. Monitor suara nafas, seperti dengkur. Monitor pola nafas :
Faktor faktor yang berhubungan : Ketidakseimbangan perfusi ventilasi Perubahan membran kapiler-alveolar
bradipena, takipenia, kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes, biot. Catat lokasi trakea. Monitor kelelahan otot diagfragma ( gerakan paradoksis ). Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya ventilasi dan suara tambahan. Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi crakles dan ronkhi pada jalan napas utama. Uskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya
AcidBase Managemen
4
Intoleransi
aktivitas NOC : Energy conservation berhubungan dengan Self Care : ADLs keletihan, anemia, retensi
produk
sampah
dan
Kriteria Hasil : prosedur dialisi Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa Definisi : Ketidakcukupan disertai peningkatan energu secara fisiologis tekanan darah, nadi dan maupun psikologis untuk RR.
Monitro IV line Pertahankanjalan nafas paten Monitor AGD, tingkat elektrolit Monitor status hemodinamik(CVP, MAP, PAP) Monitor adanya tanda tanda gagal nafas Monitor pola respirasi Lakukan terapi oksigen Monitor status neurologi Tingkatkan oral hygiene
NIC : Energy Management Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas.
Dorong anal untuk mengungkapkan perasaan terhadap keterbatasan. Kaji adanya factor yang menyebabkan kelelahan.
meneruskan atau menyelesaikan aktifitas yang diminta atau aktifitas sehari hari. Batasan karakteristik : Melaporkan secara verbal adanya kelelahan atau kelemahan. Respon abnormal dari tekanan darah atau nadi terhadap aktifitas. Perubahan EKG yang menunjukkan aritmia atau iskemia. Adanya dyspneu atau ketidaknyamanan saat beraktivitas.
Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri
Monitor nutrisi dan sumber energi tangadekuat. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan. Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
Activity Therapy Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik dalammerencanakan progran terapi yang tepat.
Faktor factor yang berhubungan : Tirah Baring atau imobilisasi. Kelemahan menyeluruh. Ketidakseimbangan antara suplei oksigen dengan kebutuhan. Gaya hidup yang dipertahankan.
Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yangsesuai dengan kemampuan fisik, psikologi dan social. Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan. Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda, krek. Bantu untu mengidentifikasi aktivitas yang disukai. Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas. Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas. Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan. Monitor respon fisik, emoi, social dan spiritual
5
Gangguan
harga
berhubungan
diri
NOC :
dengan
NIC :
Tingkat
depresi
:
Penumbuhan
harapan
ketergantungan, perubahan
keparahan alam perasaan
memfasilitasi
peran,
melankolis
penampilan positif pada situasi
perubahan
citra
tubuh dan fungsi seksual.
minat
Definisi : evaluasi diri atau
hidup.
perasaan negatif tentang
dan
dalam
hilang
peristiwa
Manajemen alam perasaan ; menciptakan
diri sendiri.
persepsi positif tentang
kestabilan,
Batasan karakteristik :
situasi hidup saat ini.
pemeliharaan
Harga diri : penilaian diri
mengalami
malu atau bersalah
tentang
perasaan .
Menolak umpan balik
terhadap diri.
Mengungkapkan
rasa
penghargaan
positif
perkembangan
tertentu.
Kualitas hidup : tingkat
keamanan, pemulihan,
Bergantung
pada
yang
disfungsi
alam
Peningkatan
harga
diri
:
pasien
meningkatkan
Kriteria Hasil :
dan
pasien
membantu
pendapat orang lain
penilaian
penghargaan terhadap diri.
Mengungkapkan
Kurang kontak mata
penerimaan diri secara
Lperkataan
verbal.
individu mengklarifikasi nilai
Mempertahankan positif
mereka
tubuh tegak.
pembuatan
Mempertahankan kintak
efektif.
peniadaan
diri
Faktor yang berhubungan :
Penyakit kronis
Anomali kongenital
Gangguan psikologis
Harapan yang berulang
Klasifikasi nilai : membantu
untuk
memfasilitasi
keputusan
mata.
Menerima kritikan dari orang lain.
kali tidak terpenuhi
Menceritakan keberhasilan
dalam
pekerjaan, sekolah atau kelompok sosial.
D. Evaluasi Keperawatan
Hasil yang diharapkan setelah pasien gagal ginjal kronis mendapatkan intervensi adalah sebagai berikut : 1.
:
Pola napas kembali efektif
yang
2.
Tidak terjadi penurunan curah jantung
3.
Tidak terjadi aritmia
4.
Tidak terjadi kelebihan volume cairan tubuh
5.
Peningkatan perfusi serebral
6.
Pasien tidak mengalami defisit neurologis
7.
Tidak mengalami cedera jaringan lunak
8.
Peningkatan integritas kulit
9.
Terpenuhinya informasi kesehatan
10. Asupan nutrisi tubuh terpenuhi 11. Terpenuhinya aktivitas sehari-hari 12. Kecemasan berkurang 13. Mekanisme koping yang diterapkan positif BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Gagal ginjal kronis (CKD/ESRD) adalah gangguan fungsi renal yang progresi
dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam tubuh). Ini dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, glomerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi yang tidak dapat dikontrol, obstruksi traktus urinarius, lesi herediter, seperti penyakit ginjal polikistik, gangguan vaskuler, infeksi, medikasi, atau agen toksik. Lingkungan dan agens berbahaya yang mempengaruhi gagal ginjal kronis mencakup timah, kadmium,merkuri dan kromium (Smeltzer,2001). Klasifikasi CKD di bagi menajdi 6 stadium yaitu stadium 1 kerusakan ginjal dengan GFR normal/meningkat, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan, stadium 3 a dan 3 b kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat, stadium 5 gagal ginjal. Etiologi terjadinya CKD dibagi menjadi 3, yaitu diabetik: diabetes tipe 1 dan 2, penyakit Non-Diabetik dan penyakit pada transplantasi Manifestasi klinis CKD adalah sebagai berikut: 1. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi perikardiac dan gagal antung akibat penimbunan cairan, gangguan irama j antung dan edema. 2. Gangguan Pulmoner Nafas dangkal, kusmaul, batuk dengan sputum kental, suara krekels 3. Gangguan gastrointestinal Anoreksia, nausea, dan vomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi, dan perdarahan mulut, nafas bau amonia 4. Gangguan musculoskeletal Restles leg syndrom (pegal pada kaki sehingga selalu digerakkan), burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama di telapak kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot-otot ekstremitas)
5. Gangguan integument Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh 6. Gangguan endokrin Gangguan seksual: libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan amenore. Gangguan metabolik glukosa, lemak, dan vitamin D. 7. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
B. SARAN
Setelah
penulisan
makalah
ini,
kami
mengharapkan
masyarakat
pada
umumnya dan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui lebih dalam tentang penyakit gagal ginjal kronis ini. Kepada para perawat, kami sarankan untuk lebih
aktif
penyakit
dalam
memberikan penyuluhan
gagal ginjal kronis.
Dengan
untuk mengurangi
tindakan
preventif
yang
angka kesakitan dapat dilakukan
bersama oleh semua pihak, maka komplikasi dari gagal ginjal kronis akan berkurang.
DAFTAR PUSTAKA Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Clasification (NOC) Secon Edition. New Jersey: Upper Saddle River. Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan. Kasuari. 2002. Asuhan Keperawatan Sistem Pencernaan dan Kardiovaskuler Dengan Pendekatan Patofisiology. Magelang. Poltekes Semarang PSIK Magelang. Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius. Mary, Baradero. 2009. Klien Gangguan Ginjal : Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC. Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (2005). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6 . Jakarta : EGC. Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC. Suhardjono (2004). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2, Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Suwitra, K (2006). Penyakit Ginjal Kronik . Dalam Sudoyo, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta:
Pusat
Penerbitan
Kedokteran Universitas Indonesia.
Departemen
Penyakit
Dalam Fakultas