M. Kasyuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-nilai keadilan Kompilasi Hukum Islam, (Total Media : Yogyakata, 2006), hlm. 84; dikutip dalam Danu Aris Setiyanto, Tinjauan Yuridis Kritis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014 Tentang Perkawinan Beda Agama (Tesis diterbitkan, Pasca Serjana UIN Sunan Kalijag, Yogyakarta, 2016), hlm. 19
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Jilid 9, terj. Abdul Hayyie al-Katani, (Jakarta: Gema Insani), 2011, h.40
Muhammad bin Abdurahman, Al-Fiqh Ala Madzahib Al-Arba'ah. (Beirut: Dar Al-Fikr), h.8
Muhammad Khairuddin Hamsin, Perkawinan Beda Agama dalam Tinjauan Syariah dan Hukum Positif Menyoal Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974) h. 2
Maftuh Ahnan , Risalah Fiqh Wanita, (Surabaya: Terbit Terang, ) H.296
Dr. Hj. Nurhayati Djamas, Perkawinan Beda Agama dalam Pandangan Islam, h. 82
M. Quraish Shihab, Wawasan Alqur'an (Bandung : Mizan, 1997) h. 330
Yusuf Al-Qardhawi, Huda Al-Islam Fatawa Al-Mu'asirah (Al-Qahirah : Dar Afaq AL-Ghad, 1978), hlm. 407 dikutip dalam M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, hlm. 368
M. Quraish Shihab, Wawasan .... h. 335
Dr. Hj. Nurhayati Djamas, Perkawinan Beda Agama............. h. 88
ibid
19
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkawinan beda agama secara fakta selalu menjadi isu menarik dalam kajian hukum keluarga Islam baik sejak era klasik hingga era saat ini. Padahal semua agama pada dasarnya menolak pernikahan beda agama, setiap agama menghendaki pemeluknya untuk menikah dengan yang seimanan. Perkawinan beda agama jika diperkenankan oleh agama tentu sangat terbatas. Hanya sebagian pengecualian yang diberikan dengan persyaratan-persyaratan tertentu
Dalam konsepsi hukum Indonesia, masalah perkawinan telah mendapat pengaturan hukumnya secara nasional, yakni Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) ,dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Seiring dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang semakin kompleks, permasalahan yang terjadi juga semakin kompleks.Termasuk juga kompleksitas masalah pernikahan salah satunya pernikahan beda agama.
Dari latar belakang tersebut diatas penulis tertarik mengangkat tugas makalah untuk final test yang berjudul "Pernikahan beda Agama dalam Perspektif Filsafat Hukum Islam".
Rumusan Masalah
Bagaimana Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Filsafat Hukum Islam?
Tujuan Masalah
Untuk mengetahui dan memperlajari pernikahan beda agama dilihat dalam perspektif filsafat hukum islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Pernikahan
Pernikahan atau perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang bersifat sakral dan berlaku bagi semua makhluk ciptaan Allah. Dalam islam pernikahan menunjukan makna bergandengan, makanya disebut denga al-aqd yang menunjukan makna akad yakni sebuah ikatan yang sangat kuat untuk laki-laki dan perempuan, selanjutnya diistilahkan dengan zawaaja.
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut "nikah" ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untukmenghalalkan hubungan antara kedua belah pihak untuk mewujudkan suatuhidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (mawaddah warahmah) dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah SWT.
Menurut para ahli ilmu ushul fiqih dan bahasa, kata "nikah" digunakan secara haqiqah (sebenarnya) dalam mengungkapkan makna akad, sedangkan digunakan secara majaz (kiasan) ketika mengungkapkan makna hubungan intim.
Sedangkan menurut para ulama madzhab pernikahan adalah:
Menurut madzhab Malikiyah nikah adalah:
النكاح بانه عقد على مجرد متعه التلذذ بادمية غير موجب قيمتها ببينة
"Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk memperbolehkan watha', bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang dinikahinya"
Menurut pandangan madzhab Syafi'i nikah ialah:
النكاح بانه عقد يتضمن ملك الوطء بلفظ انكاح او تزويج او معنهما
"Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha' dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang satu makna dengan keduanya"
Sedangkan menurut madzhab Hambali nikah adalah:
هو عقد بلفظ انكاح او تزويج على منفعة الاستماع
"Nikah adalah akad dengan mempergunakan lafadz nikah atau tazwij guna memperbolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita"
Dan menurut madzhab Hanafi nikah adalah :
النكاح بانه عقد يفيد ملك المتعة قصدا
"Nikah itu adalah akad yang memberikan hak untuk bersenang-senang dengan sengaja".
Pernikahan adalah suatu ikatan janji setia antara suami dan istri yang didalamnya terdapat suatu tanggung jawab dari kedua belaah pihak. Janji setia yang terucap merupakan sesuatu yang tidak mudah diucapkan. Dan merupakan kerja sama antara dua orang yang telah sepakat untuk hidup bersama hingga hayatnya. Agar kehidupan rumah tangga ini dapat langgeng sepanjang masa, mutlak diperlukan ikatan yang kuat berupa rasa cinta dan saling memahami.
Dalam pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan, mendefinisikan pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu pernikahan merupakan ikatan lahir batin dalam membina kehidupan keluarga.
Dalam menjalankan kehidupan berkeluarga diharapkan kedua individu itu dapat memenuhi kebutuhannya dan mengembangkan dirinya. Pernikahan sifatnya kekal dan bertujuan menciptakan kebahagian individu yang terlibat didalamnya.
Pada dasarnya isu-isu mengenai pernikahan yang termasuk didalamnya adalah pernikahan beda agama memang bukan merupakan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia yang multikultural. Pernikahan tersebut telah terjadi di kalangan masyarakat (diberbagai dimensi sosialnya) dan sudah berlangsung sejak lama. Namun demikian, tidak juga berartri bahwa persoalan pernikahan beda agama tidak dipermasalahkan, bahkan cenderung selalu menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Ada anggapan bahwa penyebabnya adalah keberadaan UU No. 1 Tahun 1974 yang tidak mengakomodir persoalan perkawinan beda agama, karena perkawinan campur yang dimaksud dalam Pasal 57 UUP adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaran, bukan karena perbedaan agama. Sementara keberadaan Pasal 2 ayat (1) UUP yang berisi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, dianggap menutup kesempatan untuk terjadinya perkawinan beda agama di Indonesia, sehingga dalam perkembangannya, keberadaan Pasal 2 ayat (1) UUP dalam proses penggugatan dan diajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.
Bagi Masyarakat muslim Indonesia, kontroversi dan polemik seputar perkawinan beda agama selalu menghangat karena beberapa hal: 1) sejak dikeluarkannya Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dimana dalam Buku I KHI Pasal 40 hurup (c) menegaskan bahwa seoarang wanita yang tidak beragama Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria muslim. Padahal dalam literatur klasik (kitab-kitab tafsir dan fikih) cenderung membolehkan perkawinan seorang pria muslim dengan perempuan ahli kitab; 2) adanya fatwa MUI Pusat tahun 2005 yang kembali menegaskan tentang keharaman perkawinan beda agama, baik perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan non muslim, maupun perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab.
Pernikahan Beda Agama Dalam Hukum Positif Di Indonesia
Lahirnya UU Perkawinan, maka telah ada keseragaman pengaturan tentang perkawinan bagi seluruh golongan masyarakat di Indonesia. Melalui UU Perkawinan maka perkawinan tidak hanya sekedar ikatan keperdataan antara seorang pria dan wanita melainkan lebih kepada sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya, perkawinan merupakan lembaga mulia yang tidak boleh dijadikan sarana untuk penyelundupan hukum
UU Perkawinan tidak mengatur secara eksplisit tentang perkawinan beda agama. UU perkawinan juga tidak melarang perkawinan beda agama.3 Pasal 2 UU Perkawinan menyatakan bahwa:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Sah atau tidaknya perkawinan ditentukan oleh hukum agama masing-masing calon mempelai. Sedangkan pencatatan tiap-tiap perkawinan itu merupakan persyaratan formil administratif.
Sebelum berlakunya UU Perkawinan terdapat peraturan yang mengatur tentang perkawinan beda agama, yaitu Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken) yang disingkat RGH, termuat dalam Staatsblad 1898-158 dan Huwelijks Ordonantie Christen Indonesihes Java, Minahasa dan Amboina (Stb. 1933 No. 74 jo 1936 No. 607) yang disingkat HOCI, sehingga penyelenggaraan perkawinan beda agama tidak menjadi problematic dan pencatatannya dilakukan dalam daftar perkawinan campuran pada Kantor Catatan Sipil. Setelah dikeluarkannya Keppres No. 12 Tahun 1983 Tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan dan Penyelenggaraan Catatan Sipil berkenaan dengan pencatatan perkawinan.
Dalam pasal 1 disebutkan bahwa: Kantor Catatan Sipil diberi kewenangan pencatatan dan penerbitan kutipan akta-akta bagi mereka yang bukan beragama Islam.
Dalam praktek, prosedur yang banyak ditempuh selama ini adalah mencatatkan perkawinan itu di Kantor Catatan Sipil. Pencatatan tersebut hanya untuk memenuhi persyaratan formil administratif saja sebagaimana perintah Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, sedangkan keabsahannya menurut agama tergantung kepada ketentuan hukum masing-masing agamanya itu serta keinginan kedua calon mempelai. Oleh karenanya, tidak jarang mereka melakukan upacara perkawinan dua kali menurut hukum dan tradisi masing-masing agamanya.
Kedua calon mempelai tidak jarang menggunakan jalur pengadilan untuk dapat dinikahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Namun jika pegawai tersebut menolak, maka calon mempelai berhak memintakan penetapan kepada pengadilan dalam wilayah hukum pegawai pencatat perkawinan itu berkedudukan dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut. Selanjutnya, hakim akan memeriksa dan memutuskan dalam sidang cepat.4
Jika prosedur legal tersebut ternyata gagal, maka tidak jarang salah satu pihak dari kedua calon mempelai yang berbeda agama itu untuk dapat melangsungkan perkawinannyaterpaksa berpindah agama mengikuti agama pihak yang lain. Problem perkawinan antar agama di Indonesia menjadi krusial karena menyentuh persoalan teologis yang memang sangat sensitif.
Tidak adanya pengaturan perkawinan beda agama secara tegas dan eksplisit dalam Undang-undang Perkawinan termasuk pencatatannya mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum.
Pernikahan beda Agama Menurut Filsafat Hukum Islam
Dalam konsep keluarga sakinah ma waddah wa rahmah telah digunakan secara luas di tengah masyarakat yang diartikan sebagai keluarga sejahtera lahir dan batin yang penuh ketentraman dan ikatan cinta kasih. Pernikahan antara laki-laki dan perempuan merupakan landasan untuk mewujudkan kondisi batin yang tenteram yang didasari cinta kasih antara sepasang laki-laki dan perempuan.
Karena melalui pernikahan, laki-laki dan perempuan mempunyai media yang sah dan sakral untuk menyalurkan libido (dorongan seksual) dan cintakasih yang memang diciptakan Allah pada manusia. Libido (hasrat seksual) yang tidak tersalurkan dapat melahirkan ketegangan pada diri manusia, dan dengan disalurkannya hasrat seksual dilandasi ikatan yang suci, ketegangan dalam diri manusia akan lepas dan diganti dengan wujud kelegaan, kelapangan dan ketentraman (sakinah).
Kondisi batin yang tenang (sakinah) dipengaruhi oleh kesadaran tentang tujuan hidup dan juga tujuan pernikahan yang diorientasikan semata untuk mencapai ridha Allah, sehingga situasi apapun yang dihadapi dalam pengalaman hidup berkeluarga akan dikembalikan kepadakehendak Allah dan kepada tujuan untuk menggapai ridhaNya. Hal ini akan memberikan kekuatan batin dan daya tahan mental menghadapi segala macam situasi dalam kehidupankeluarga. Disamping itu, ketentraman batin yang dipengaruhi oleh suasana hati yang akanmelahirkan hubungan harmonis diantara anggota keluarga tidak dapat dilepaskan dari unsure kehendak Allah, seperti yang disampaikan dalam surat al Anfal ayat 63;
"Allahlah yang mempersatukan hati mereka. Walaupun engkau membelanjakan seluruh kekayaan yang ada dimuka bumi, engkau tidak akan dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telahmempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Faktor eksternal yang berpengaruh dalam mewujudkan kondisi sakinah mawaddah warahmah terutama menyangkut proses adaptasi dari pribadi suami dan isteri yang mempunyai latar belakang berbeda, masalah komunikasi diantara keduanya, serta yang menyangkut pemahaman tentang kedudukan hak, kewajiban dan peran masing-masing. Kesamaan landasan dan patokan nilai, terutama nilai-nilai agama, dalam menyelenggarakan perkawinan untuk membentuk keluarga merupakan factor yang memberikan peluang lebih bagi pasangan dalam melakukan proses penyesuaian antara pasangan yang menikah. Disinilah letak pentingnya pembahasan tentang perkawinan beda agama yang nota bene menyangkut patokan nilai dasar yang akan menjadi landasan dalam penyelenggaraan perkawinan dan pengelolaan kehidupan rumah tangga.
Perkawinan beda agama dari sudut pandang ajaran Islam.Perkawinan beda agama antara orang Islam (laki-laki dan perempuan) dengan non muslim dalam pandangan Islam dapat dibedakan sebagai berikut:
Islam dengan tegas melarang wanita muslim kawin dengan laki-laki non muslim, baik yang musyrik maupun ahli kitab, seperti yang dengan jelas ditegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 221.
لاتنكحوا المشركت حتى يؤمن ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولوأعجبتكم ولاتنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولوأعجبكم اولئك يدعون إلى النار والله يدعوا إلى الجنة والمغفرة بإذنه ويبين ءايته للناس لعلهم يتذكرون.
"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran".
Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita non muslim dibedakan dalam 2 hal;
Perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan musyrik tidak dibenarkan atau dilarangdengan tegas sesuai surat al Baqarah ayat 221. Namun yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang termasuk ke dalam kategori wanita musyrik yang haram dinikahi oleh laki-laki muslim.
Tentang pernikahan laki laki Muslim dengan yang non muslim yang ahli kitab adalah hal yang kontroversial dikalangan para fuqaha sejak zaman Sahabat. A. Basiq Jalil dalam tesisnya "Kajian para Ahli Agama, Fuqaha dan Kompilasi Hukum Islam tentangPernikahan Lintas Agama" (2004) dan juga Ichtiyanto dalam disertasinya tentangPerkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia (2003) mengutip pandangan Ibrahim Husen yang merangkum pendapat para fuqaha tentang masalah ini ke dalam tiga golongan yaitu;
Golongan Pertama.
Golongan ini termasuk Jumhur Ulama berpendapat bahwa pernikahan laki laki muslim dengan non muslim Ahl Al-kitab (pengikut Yahudi dan Nasrani) diperbolehkan, sedang selain Yahudi dan Nasrani, hukumnya haram.Mereka beralasan dengan ayat al Qur'an surat Al Maidah ayat 5;
اليوم أحل لكم الطيبات وطعام الذين أوتواالكتاب حل لكم وطعامكم حل لهم والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين أوتواالكتاب من قبلكم إذاءاتيتموهن أجورهن محصنين غيرمسامحين ولامتخذى أخدان ومن يكفر بالإيمان فقدحبط عمله وهوفى الأخرة من الخاسرين
"Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita muhshanat (yang menjaga kehormatannya) diantara wanita-wanita yang beriman, serta wanita-wanita yang menjaga kehormatannya diantara orang-orang yang diberi al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak pulamenjadikannya gundik-gundik."
Menurut mereka, dari ayat tersebut dapat ditarik dua argumen. Pertama, ayat ini dengantegas membolehkan orang muslim memakan makanan orang ahli kitab (kecuali jenis yang diharamkan) dan membolehkan menikahi wanita wanita Ahli Kitab yang muhsanat; Kedua, dari sisi kronologisnya ayat ini termasuk rangkaian ayat-ayat madaniah, yang turunnya sesudah hijrah, yang berarti ayat yang dapat dijadikan rujukan hukum. Alasan Sunnah atau Hadis yang dikemukakan bagi pendapat golongan pertama ini yaitu hadis yang diriwayatkan dari Jabir Ibnu Abdillah, Nabi bersabda:
"Kami menikahi perempuan ahli kitab dan tidak boleh mereka menikahi perempuan kita (wanita muslim)".
Hadis ini menunjukkan kebolehan menikah dengan perempuan ahl Al-kitab dan dari data historis juga menunjukkan akan kebolehannya sebagai mana yang dilakukan para sahabatseperti Usman bin Affan, Talhah ibnu Ubaidillah, Hudzaifah ibnu Yaman, Ka'ab Ibnu Malik, Mugirah bin Syu'bah. Masa sahabat adalah masa yang paling dekat dengan masa Rasul. Data sejarah ini mereka pakai sebagai argumen yang menunjukkan akan kebolehan menikah dengan perempuan Ahl al-Kitab.
Golongan Kedua. .
Golongan ini berpendapat bahwa menikahi wanita non muslim haram hukumnya. Pendapatini dianut antara lain oleh ibnu Umar dan Syi'ah Imamiah. Mereka beralasan dengan beberapa dalil.Pertama, surat Al Baqarah ayat 221 yang berbunyi :
"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak-budak wanita yang beriman lebih balk bagimu daripada wanita musyrik meskipun wanita musyrik itu amat menerik hatimu. Dan janganlah pula kalian menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita beriman, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak laki-laki beriman lebih baik daripada pria musyrik, walaupun mereka menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinnya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran".
Selanjutnya surat al Mumtahanah ayat 10 yang artinya adalah:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan beriman, makahendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka ; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada suami-suami mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu berpegang kepada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir, hendaklah kamu minta kembalimahar yang telah kamu bayar dan hendaklah mereka minta kembali mahar yang mereka bayar.Demikianlah Hukum Allah yang ditetapkan bagi kamu, Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana".
Golongan ini menjadikan kedua ayat di atas sebagai landasan dari pendapatnya yang melarangkaum mu'minin menikah dengan perempuan musyrik. Ahli kitab bagi golongan ini termasuk orang musyrik,dengan alasan bahwa orang Yahudi mempertuhan Uzair dan orang-orang Nasrani mempertuhan Al-Masih Isa bin Maryam. Al-Qur'an mensifati mereka sebagai orang yang berbuat syirik, dimana dosa syirik tidak dapat diampuni jika mereka tidak bertobat kepada Allah sebelum meninggal dunia.
Selanjutnya, alasan dari golongan yang berpendapat sepert i ini adalah karena Allah melarang kaum mu'min in mempertahan kan tali perkawinan dengan orang=orangkafir seperti yang disebutkan dalam surat AlMumtahanah ayat 10, sementaraAllah telah mensifati orang-orang ahl Al-kitab sebagai orang-orang kafir, diantaranya sepertiyang dinyatakan dalam surat Al-Baqarah 89 dan surat al Bayyinah ayat 1 dan 6.
Quraisy Shihab juga mengutip pendapat Mahmud Syaltut yang menulis dalam kumpulan fatwanya bahwa pendapat ulama yang membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita nonmuslim ahli kitab berdasarkan kaidah syar'iyah normal, yaitu bahwa suami memiliki tanggungjawab kepemimpinan terhadap isteri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan kepada keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami muslim berdasarkan hak kepemimpinanyang disandangnya untuk mendidik anak-anak dan keluarganya dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan mengawini non muslimah yang ahli kitab agar perkawinan tersebut membawa misi kasih sayang dan harmoni, sehingga terkikis dari hati isterinya rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik yang berbeda agama itu, si isteri dapat mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam secara amaliah praktis.
Menurut Yusuf al-Qardlawi berpendapat tentang bolehnya seorang lelaki muslim menikah dengan perempuan kitabiyah, sifatnya tidak mutlak, tetapi dengan beberapa syarat yang wajib diperhatikan, yaitu:
Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran Samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama Samawi.
Wanita kitabiyah yang muhshanah.
Ia bukan kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum muslimin.
Dibalik perkawinan dengan kitabiyah itu tiak akan terjadi fitnah, yaitu mafsadat atau kemurtadan (keluar dari agama Islam). Makin besar kemungkinan terjadinya kemurtadan makin besar tingkat larangan dan keharamannya. Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan "tidak bahaya dan tidak membahayakan".
Golongan Ketiga
Golongan ketiga yaitu yang mencoba menyampaikan pendapat yang lebih moderat.Golongan ini berpendapat bahwa menikahi wanita ahl al-Kitab hukum asalnya halal, namun situasi dan kondisi menghendaki ketentuan lain, terutama yang dengan konteks social politik karena kekhawatiran dan fitnah dalam kehidupan agama suami dan anak-anak.Argumentasi yang dibangun oleh golongan ini antara lain adalah pendapat para sahabat Nabi;
Sayidina Umar pernah berkata kepada para sahabat yang menikahi wanita ahli kitab :"Ceraikanlah mereka" !. perintah umar ini ditaati oleh para sahabat tersebut, kecuali Hudzaifah ibnu Al-Yaman. Maka Umar mengulangi lagi perintah agar Hudzai fah menceraikan isteriinya. Lantas Hudzaifah berkata : "Maukah engkau menjadi saksi bahwa ia haram" ! Umarmenjawab dengan singkat "Dia akan menjadi fitnah". Ceraikanlah" ! kemudian Hudzaifah berkata lagi"Maukah engkau menjadi saksi bahwa ia adalah haram" ? Umar menjawab lagi, "Ia adalah fitnah".Akhirnya Hudzaifah berkata, : "Sesungguhnya aku tahu ia adalah fitnah, tetapi ia halal bagiku", makasetelah Hudzaifah meninggalkan Umar, ditalaknyalah isterinya. Lantas hudzaifah ditanya orang :Mengapa engkau talak isterimu itu ketika diperintah umar" ? Jawab Hudzaifah : "Karena akutidak ingindiketahui orang bahwa aku melakukan sesuatu yang tidak layak" ?. pada kesempatan lain Umar berkatakepada Hudzaifah "Bila orang-orang Islam suka mengawini wanita-wanita kitabiyah, maka siapa yangakan mengawini wanita Islam."
Adanya kekhawatiran pada laki-laki yang akan terikat hatinya pada isterinya, apalagi setelahmereka memperoleh keturunan.
Karena dalam Islam perkawinan menghendaki terwujudnya ketentraman dan ketenangan (sakinah mawaddah wa rahmah), maka pertanyaannya apakah dua orang yang memiliki keyakinan agama danketerikatan primordial yang berbeda berlabuh dalam satu ikatan rumah tangga akan dapatmembangun ketenangan dan ketentraman dalam rumah tangganya? Oleh karena itu pernikahan semacam ini memerlukan syarat-syarat dan kriteria-kriteria tertentu.
Imam Syafii memahami istilah ahli kitab sebagai orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orangIsrael, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliauantara lain bahwa nabi Musa dan Isa, hanya diutus kepada mereka bukan kepada bangsa-bangsa lain (jugakarena adanya redaksi min qabliktun [sebelum kamu] pada ayat yang membolehkan perkawinan itu).Pendapat Imam Syafi'i ini berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan mayoritas pakar-pakar hukum yangmenyatakan bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk ahli kitab, tidak terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi dan Nasrani.
Disamping dua pendapat tersebut, ada pula pendapat yang dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama salaf yang menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat di duga sebagai kitabsuci (samawi) maka mereka juga dicakup oleh pengertian ahl al-Kitab, seperti halnya orang-orang Majusi.
Pendapat terakhir ini diperluas lagi oleh para mujtahid kontemporer, sehingga mencakup pula penganutagama Budha dan Hindu, dan dengan demikian wanita-wanita mereka pun boleh dikawini oleh parapria muslim, karena mereka juga telah diberikan kitab suci samawi".
Pendapat yang paling mutakhir, khususnya dari para ulama di Indonesia tentang pernikahan beda agamadidasarkan pada Fatwa Ulama yang ditetapkan sebagai Keputusan Munas II Majlis Ulama Indonesia di Jakarta padatanggal 26 Mei s/d 1 Juni 1980 yang kemudian diperbaharui dengan Keputusan Fatwa Majlis Ulama Indonesia No.4/Munas VII/MUI/8/2005 yang ditetapkan pada Munas ke VII tahun 2005 sebagai berikut:
Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, menurut qaul mu'tamad adalah haram dan tidaksah.
Keputusan Majlis Ulama Indonesia tersebut diatas lebih mempertegas keharaman pernikahan antaramuslim dan non muslim, baik terhadap laki-laki maupun perempuan, seperti yang telah ditetapkan dalam Munas MUI ke II tahun 1980 di Jakarta, yang menegaskan " Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita yangbukan muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab terdapat perbedaan pendapat.Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadah nya lebih besar dari maslahah nya, maka memfatwakan bahwaperkawinan tersebut hukumnya haram". Jadi kondisi yang memungkinkan halalnya perkawinan laki-laki muslimdengan wanita ahli kitab seperti yang dirujuk dari surat al Maidah ayat 5 menurut hukum Islam adalah kondisi Islam dan kaum muslimin dalam keadaan kuat.
Keputusan tersebut berdasarkan dengan metode Sadd Al-Dzari'ah yakni menutup jalan untuk mencegah terjadinya kemudharatan yang akan dihasilkan dimasa yang akan datang. Seperti kata pepatah "lebih baik mencegah daripada mengobati". Seperti itu juga dengan pernikahan beda agama yang akan membawa dampak yang besar terhadap kehidupan dunia insan yang berbeda keyakinan. Adapun dampak-dampak yang akan terjadi dalam pernikahan yang berbeda agama:
Dampak Terhadap Kehidupan Rumah Tangga.
Agama merupakan keyakinan hidup paling mendasar yang memberikan pedoman dan tuntunandalam mengelola kehidupan penganutnya. Bagi pasangan yang berbeda agama dan tetapmempertahankan keyakinan agama masing-masing dalam pernikahannya, tidak dapat dipungkiri tentuakan terjadi ketegangan atau pertentangan dalam melakukan pilihan yang akan dijadikan patokan dalammengelola kehidupan perkawinan dan rumah tangganya. Bisa jadi, untuk menghindari pertentangan atauketegangan dengan pasangannya, salah satu pihak bisa saja mengalah. Situasi seperti itu seringkali sulituntuk dipertahankan.
Yang mungkin terjadi adalah bila ada yang mau mengalah terus menerus bisa sajakemudian mengalahkan keyakinan agamanya sendiri dan akhirnya berpindah mengikuti keyakinan agamapasangannya. Perbedaan pedoman hidup yang paling mendasar, yaitu keyakinan agama, bisa menjadisalah satu factor penghambat untuk dapat mewujudkan kondisi ideal keluarga yang harmonis, tenang, dantenteram.
Meskipun dalam kenyataannya, pasangan yang mempunyai keyakinan agama yang sama jugamasih mempunyai masalah dan hambatan dalam mewujudkan kondisi ideal perkawinan dan rumahtangga yang harmonis, tenang, tenteram dan damai.
Dampak Terhadap Anak Yang Dilahirkan Dari Perkawinan Beda Agama.
Anak yang dilahirkan belum dapat menentukan agama apa yang akan dianutnya.Namun, ajaranmasing-masing agama pada saat kelahiran anak sudah jelas. Menurut tuntunan ajaran Islam, anak yang barudilahirkan disunatkan untuk diazankan dan diiqamatkan oleh ayahnya, selanjutnya dilakukan aqiqah danpemberian nama yang baik sesuai tuntunan Rasul. Pada agama Kristen dan Protestan peristiwa kelahirananak diikuti oleh upacara pembaptisan bayi yang baru lahir. Bagi pasangan yang berbeda agama tentu akanmengalami kesulitan untuk melakukan pilihan tuntunan ajaran agama yang mana yang akan diikuti padasaat kelahiran anak mereka. Mungkin saja pasangan ini melakukan kesepakatan, misalnya anak laki-lakimengikuti agama ayahnya dan anak perempuan mengikuti agama ibunya, dan dilakukan ritual agama padaanak menurut kesepakatan tersebut. Tetapi apakah pilihan agama untuk anak mereka dapat menghindaripermasalahan pada anak tersebut di kemudian hari, misalnya yang terkait dengan masalah wali pernikahan,waris dan sebagainya.
Pendidikan Pada Anak.
Dualisme pedoman hidup yang bersumber dari keyakinan agama pasangan yang berbeda agamaakan menimbulkan "kebingungan" patokan yang akan dijadikan dasar dalam pendidikan anak. Apalagi bilapada anak-anak pasangan berbeda agama tersebut juga dilakukan penetapan agama yang berbeda padaanaknya, misalnya pada anak yang mengikuti agama ayah atau ibunya yang beragama Islam, dia tentu perlumendapatkan pendidikan agama Islam, bagaimana pendidikan agar anak dapat menjalankan ibadahmenurut agama Islam, menjalankan shalat, berpuasa, dan ibadah lainnya, sementara saudaranya yangmengikuti agama ayah atau ibunya yang beragama Kristen, ia harus juga dididik agar dapat menjalankan ibadah dan aturan agama menurut agama Kristen. "Kebingungan" patokan dasar seperti itu akan terjadidalam pendidikan anak didalam keluarga yang berbeda keyakinan agama.
Bila terjadi perebutan pengaruh antara suami isteri terkait pendidikan agama pada anak,hal tersebut merupakan sikap yang kurang mendidik, lebih lebih setelah anak mengetahui bahwa diantara kedua orang tuanya terdapat perbedaan keyakinan yang prinsipil. Hal tersebutmembuat hubungan anggota keluarga kacau dan tidak utuh. Keadaan demikian secarapsikologis akan berpengaruh negatif pula pada perkembangan sosial si anak. Bagi suami isteri yangmemberikan pilihan agama pada si anak, besar kemungkinan anak akan menjadi korbanmereka sulit memilih pada agama siapa ia berpijak. Membiarkan anak memilih akan bermasalahjika tidak bijaksana, karena keyakinan agama ditentukan oleh pendidikan sejak kecil. Disamping itu,dalam kenyataannya pengaruh ibu terhadap anak sejak kecil jauh lebih besar ketimbang ayah, karenaitu anak akan lebih cenderung mengikuti keyakinan agama ibunya, apalagi bila ayah kurangmemberikan perhatian terhadap pendidikan agama anaknya.
Masalah Waris Dan Harta Bersama Dalam Perkawinan.
Harta peninggalan dari orang yang telah meninggal dunia dapat dilihat dari dua jenis harta :
Pertama, jenis harta bersama, yakni harta yang didapat selama perkawinan, demikian menurutUndang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 35. Kedua, adalah harta peninggalanatau warisan. Mengenai harta bersama suami/isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belahpihak sesuai ketentuan Pasal 36 undang-undang tersebut. Sedangkan pada pasal 37 disebutkan "Bilaperkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masingmasing Dalam hal ini bila suami isteri menganut agama yang sama tentu tidak ada masalah.
Terkait aturan hukum yang akan digunakan. Tetapi bila sebaliknya yakni suami dan isteritunduk pada hukum yang berbeda tentu akan dapat menimbulkan konflik diantara mereka.
Gangguan Terhadap Hubungan Antar Umat Beragama.
Perkawinan antara pasangan sejoli beda agama yang saling jatuh cinta merupakan halyang sangat didambakan mereka dan mereka berharap bisa dapat dilangsungkan serta diakuioleh keluarga mereka, masyarakat dan juga Negara. Namun, pelaksanaan perkawinan bedaagama antar dua sejoli tidak jarang menimbulkan gangguan dalam hubungan dengankomunitas agama yang lebih luas, terutama karena sebagian besar masyarakat Indonesiamasih bersifat komunal.
Masalah yang timbul dari perkawinan beda agama tersebut terkait dengan sensitifitas, sentiment dan harga diri yang berhubungan dengan jatidiri kelompok.Disamping itu, juga sering terjadi sengketa komunal yang melibatkan kelompok agamaberbeda berkaitan dengan masalah pemakaman mereka yang pindah agama akibatperkawinan saat yang bersangkutan meninggal dunia. Sering terjadi perebutan jenazah antara kedua kelompok agama dari yang bersangkutan.
Dari dampak-dampak yang telah disebutkan maka Penulis dapat memahami seseorang yang memfatwakan tidak sah pernikahan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, tetapi bukan dengan alasan yang dikemukakan Ibnu Umar. Alasan yang dapat dikemukakan antara lain kemaslahatan agama dan keharmonisan hubungan rumah tangga yang tidak mudah dapat terjalin apabila pasangan suami istri tidak sepaham dalam ide, pandangan hidup atau agamanya.
Dan lagi pula terlihat jelas bahwa tujuan hukum islam dalam pernikahan beda agama tidak tercapai. Adanya tujuan disyari'atkannya hukum islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan, peranan maslahat dalam menerapkan hukum islam sangatlah dominan dan menentukan, sebab nash yang utama yakni al-Qur'an dan as-Sunnah sangat memperhatikan terhadap kemaslahatan, seperti juga metode-metode yang dapat mengistinbathkan hukum yang disepakati oleh ulama seperti qiyas, istishlah, sadd al-dzari'ah juga sangat memperhatikan kemaslahatan dalam mengembangkan hukum islam.
Prinsipnya adalah semua produk hukum islam, baik yang bersumber dari dalil yang disepakati maupun dalil yang diperselisihkan, tidak satupun yang terlepas dari prinsip untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.
Sehigga jika pernikahan beda agama ditinjau dari sudut maqashid syari'ah maka tujuan dari maqashid tersebut tidak akan pernah tercapai, bahkan cenderung bertentangan dan mendapatkan kemudharatan-kemudharatan dibandingkan kemaslahatan.
Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, menurut para ahli hukum islam akan terwujud apabila tercapainya 5 (lima) hal yang sangat diperhatikan yakni hifz al-din (menjaga agama), hifz al-nafs (menjaga jiwa), hifz al-aql (menjaga akal), hifz al-nash (menjaga keturunan), hifz al-amal (menjaga harta).
Bila dilihat ragam pandangan ulama, baik yang menerima keberadaan komunitas non muslim yang dalam hal ini adalah ahli kitab (seperti Yahudi dan Nasrani), dalam kaca mata metodologis, sesungguhnya kesemuanya telah melakukan upaya pemahaman dan penalaran agama yang sering kita kenal dengan ijtiihad.
Apalagi jika ditinjau dari segi tujuan perkawinan itu sendiri, maka sendi kemaslahatan kawin berbeda agama cenderung akan mengurangi bahkan menghilangkan esensi perkawinanan yang sakinah mawaddah wa rahmah dalam ridha Allah Swt.
Kehidupan yang tentram (sakinah) yang dibalut perasaan cinta kasih dan ditopang saling pengertian di antara suami dan istri –karena "pakaian" bagi pasangannya, itulah yang sesungguhnya merupakan tujuan utama disyari'atkannya perkawinan dalam Islam. Suasana kehidupan yang dituju oleh perkawinan serupa itu akan dapat dicapai dengan mudah apabila perkawinan dibangun di atas dasar yang kokoh, antara lain, antara suami dan istri ada dalam sekufu (kafa'ah).
Dalam hal kafa'ah baik Imam Hanafi, Maliki, Syafi'i, maupun Hanbali memandang penting faktor agama, sebagai unsur yang harus diperhitungkan.Bahkan Imam Syafi'i dan Imam Malik lebih menekankan pentingnya unsur ketaatan dalam beragama
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Dalam perjalanan historisnya, persoalan perkawinan beda agama selalu menjadi kontroversi di kalangan umat Islam sampai saat sekarang ini. hal itu dikarenakanadanya pihak yang menganggap perkawinan beda agama merupakan sesuatu yangsudah final dan sangat tabu, sementara di sisi lain pihak-pihak yang ingin melakukanrasionalisasi masalah tersebut sesuai dengan perkembangan zaman.
Pernikahan beda agama kalau ditinjau dari filsafat hukum islam atau dari maqashid syariah maka tujuan dari maqashid tersebut tidak akan pernah tercapai, bahakan cenderung akan selalu bertentangan dan mengandung banyaknya kemudharatan dibandingkan kemaslahatan yang menjadi tujuan utama dari terbentuknya hukum islam. Dengan demikian seharusnyalah apa-apa yang harus ditinggalkan maka tinggalkanlah demi mencapai ketaqwaan kepada Allah Swt.