Universitas Indonesia
Analisis Kebijakan Kenaikan Tarif Pajak Hiburan atas Industri Spa di DKI Jakarta
Pengantar Kebijakan Pajak (PKP)
Nama : Sarah Khanita NPM : 1206275805
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Program Ilmu Administrasi Fiskal DEPOK Juni 2015
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Makalah ini adalah hasil karya kami sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah kami nyatakan dengan benar.
Nama : Sarah Khanita NPM : 1206275805 TTD :
Jakarta, 5 Juni 2015
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan izin Nya Makalah Pengantar Kebijakan Pajak yang berjudul ANALISIS KEBIJAKAN KENAIKAN PAJAK HIBURAN ATAS INDUSTRI SPA DI DKI JAKARTA dapat terselesaikan.
Terselesaikannya makalah ini tidak terlepas dari bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Untuk itu dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Haula Rosdiana M.Si, Dr. Titi Muswati Putranti M.Si, dan Dra. Inayati, M.Si sebagai Tim Dosen Pengajar Mata Kuliah Pengantar Kebijakan Pajak atas arahan dan bimbingannya
2. Orang tua penulis yang telah memberikan dukungan baik secara moral maupun materil 3. Teman – teman Fiskal Paralel 2012 atas semangat dan dukungannya
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tiada gading yang tak retak. Demikian juga halnya dengan makalah ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.
Jakarta, 5 Juni 2015
Sarah Khanita
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.................................................................................................6 1.2 Perumusan Masalah…………………………………………………….……8 1.3 Tujuan Penulisan………………………………………………………….....9
BAB 2
KERANGKA KONSEPTUAL 2.1 Kebijakan Publik...........................................................................................10 2.2 Formulasi Kebijakan Publik..........................................................................11 2.3 Kebijakan Pajak…………………………………………………………….11 2.4 Fungsi Pajak………………………………………………………………...13 2.5 Pajak Daerah………………………………………………………………..13 2.6 Pajak Hiburan…………………………………………………………..…..15
BAB 3
METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian……………………………………………………....17 3.2 Jenis Penelitian……………………………………………………………..18 3.2.1 Jenis Penelitian Berdasarkan Tujuan Penulisan……………………..18 3.2.2 Jenis Penelitian Berdasarkan Manfaat Penulisan……………………18 3.2.3 Jenis Penelitian Berdasarkan Dimensi Waktu……………………….19 3.2.4 Jenis Penelitian Berdasarkan Teknik Pengumpulan Data……………19
BAB 4
GAMBARAN UMUM 4.1 Pemungutan Pajak Hiburan di DKI Jakarta Melalui Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI Jakarta………………………………………………………….20
4.2 Pajak Hiburan di DKI Jakarta……………………………………………...21 4.3 Industri Spa………………………………...................................................23 BAB 5
PEMBAHASAN 5.1 Analisis Perubahan Tarif Pajak Hiburan atas Industri Spa………………...26
BAB 6
KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan………………………………………………………………...30 6.2 Saran……………………………………………………………………….30
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................31
BAB 1 PENDAHULUAN
1. 1
Latar Belakang Target penerimaan pajak daerah di Provinsi DKI Jakarta tiap tahunnya selalu meningkat.
Terlebih, apabila menilik target penerimaan pajak daerah provinsi DKI Jakarta tahun 2015 yang mengalami kenaikan sebesar Rp 3.5 triliun menjadi Rp 36 triliun1. Hal tersebut secara tidak langsung membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Pemprov DKI) memutar otak untuk mencari cara bagaimana menggali potensi pajak daerah yang ada di dalam provinsinya. Salah satu cara untuk meningkatkan potensi pajak daerah di DKI Jakarta adalah dengan menggali potensi yang ada pada pajak hiburan di Jakarta. Ketentuan mengenai pajak hiburan itu sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, dan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 13 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2015. Pada umumnya penyelenggaraan hiburan harus mendapat izin dari bupati/walikota. Pengajuan tersebut harus diajukan secara tertulis berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh kepala daerah. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pihak yang menjadi wajib pajak adalah penyelenggara hiburan. Berdasarkan Pasal 3 ayat 2 Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2015 (Perda Nomor 3 Tahun 2015) yang dimaksud dengan hiburan adalah semua tontonan film, pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana, kontes kecantikan, pameran, diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya, sirkus, akrobat, sulap, permainan bilyar dan bowling, pacuan kuda dan pacuan kendaraan bermotor, permainan ketangkasan, panti pijat, refleksi mandi uap/spa, pusat kebugaran (fitness center), dan pertandingan olahraga. Semua hal tersebut merupakan objek pajak hiburan yang mana dalam ayat selanjutnya disebutkan pengecualian dari objek pajak hiburan adalah penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran (gratis). Dalam perkembangannya, pajak hiburan memiliki peranan yang sangat penting dalam usaha peningkatan pajak daerah di DKI Jakarta. Bisnis hiburan merupakan salah satu primadona untuk dikenakan pajak oleh pemprov
1
http://jakarta.bisnis.com/read/20141120/77/274214/dki-targetkan-penerimaan-pajak-rp36-triliun
DKI terlebih Jakarta merupakan ibukota negara Indonesia yang memiliki berbagai tempat wisata dan hiburan yang dapat menarik pengunjung atau turis untuk datang menikmati wisata hiburan yang ada di Jakarta. Salah satu objek pajak hiburan menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dan Perda Nomor 3 Tahun 2015 adalah pemandian uap atau biasa dikenal dengan spa. Seiring dengan berkembangnya waktu, Spa merupakan salah satu hiburan yang banyak digemari oleh kalangan menengah ke atas, hal ini lantas membuat para pelaku usaha bisnis membuka usaha Spa di kotakota besar seperti Jakarta. Hal ini sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Ir. Jero Wacik, SE bahwa Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara di Asia yang memiliki perkembangan industri spa yang cukup meningkat setelah India dan Cina. Tahun 2010, spa di Indonesia tumbuh 7% hampir menyaingi Cina yang sebesar 8% serta India yang 11%, tidak dapat dipungkiri bahwa industri Spa di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari pariwisata di Indonesia yang mana hal ini menyumbangkan keuntungan ekonomi bagi Indonesia2. Disisi lain, perkembangan industri spa juga menguntungkan daerah tempat industri spa tersebut berada karena pemerintah daerah dapat mengenakan pajak hiburan atas industri tersebut yang mana tarif pajak hiburan untuk spa lebih besar dibanding tarif pajak hiburan lainnya. Jakarta merupakan ibukota negara Indonesia. Tak heran banyak investor atau industri lokal maupun asing yang menanamkan modal atau membuka usahanya di jantung kota Indonesia ini, tak terkecuali industri spa yang kian marak di Jakarta. Perkembangan indsutri spa di Jakarta memberikan angin segar kepada pemprov DKI untuk menarik pajak hiburan dari industri ini. Target penerimaan pajak daerah di DKI Jakarta pada tahun 2015 ini rupanya melibatkan pajak hiburan sebagai salah satu jenis pajak yang dapat dioptimalisasikan, hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya perubahan Perda Nomor 13 Tahun 2010 tentang pajak hiburan yang kemudian diubah menjadi Perda Nomor 3 Tahun 2015 yang dimana didalamnya terdapat klausul pengenaan tarif pajak sebesar 35% terhadap industri Spa. Hal ini menimbulkan sejumlah kontroversi yang dapat memicu turunnya pertumbuhan dan perkembangan industri spa di Jakarta. Kenaikan tarif pajak atas industri spa dapat membuat pengusaha spa bangkrut dan gulung tikar, hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Yudit Elma selaku Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Spa di Indonesia (ASPI) DPD DKI Jakarta yang mengatakan bahwa para pelaku atau pengusaha spa 2
http://antaranews.com Global Spa Summit 2011: Industri Spa di Indonesia Semakin Maju,
sangat keberatan dengan kenaikan tarif pajak menjadi 35% yang semula 20%, yang mana rata-rata pelaku usaha spa hanya mengambil margin sebesar 20-30%, apabila tarif pajak sebesar 35% terus ditetapkan maka dapat membuat pelaku industri tersebut bangkrut dan menutup usahanya3. Isu mengenai kenaikan tarif pajak hiburan di DKI Jakarta khususnya pada industri spa sebenarnya sudah lama terdengar sejak pertengahan tahun 2014 dan sudah mendapat persetujuan dari DPRD DKI perihal peningkatan tarif beberapa jenis pajak hiburan di Jakarta. Disisi lain, penetapan kenaikan tarif pajak atas industri spa di DKI Jakarta kian membuat resah pasalnya pada Perda Nomor 3 Tahun 2015 telah ditetapkan bahwa tarif pajak untuk industri spa adalah sebesar 35%. Yudit Elma selaku Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Spa di Indonesia (ASPI) DPD DKI Jakarta yang mengatakan bahwa untuk membangun usaha spa membutuhkan modal yang tidak sedikit untuk gedung, listrik, kebersihan ruangan,air, upah karyawan, insentif, biaya kursus terapis, dan lainnya4. Menurut penuturannya, modal untuk membangun usaha spa tidak bisa break event point dalam kurun waktu yang singkat. Apabila industri ini terus dikenakan tarif pajak yang terlalu tinggi, bukan hal yang tidak mungkin apabila secara berangsur-angsur pertumbuhan ekonomi dalam industri ini menjadi semakin turun dan membuat pengusaha industri tersebut menutup usaha spa nya di Jakarta.
1.2
Perumusan Masalah Penetapan kenaikan tarif pajak atas industri spa yang tertuang dalam Perda Nomor 3 Tahun
2015, yang dimana hal ini menyebabkan kenaikan tarif pajak sebesar 15% dari yang sebelumnya 20% menjadi 35%. Presentase kenaikan tarif pajak atas industri tersebut dinilai terlalu tinggi terlebih margin dari usaha spa belum menyentuh 50% dan pengusaha akan sangat merasa diberatkan apabila dikenakan pajak sebesar 35%. Hal ini juga dapat memicu banyaknya pelaku usaha spa yang bangkrut dan menutup usaha spa nya di Jakarta. Disisi lain, pemprov DKI berupaya untuk mengoptimalisasi penerimaan daerah dari sektor pajak dengan menaikkan beberapa jenis
3
http://jakarta.bisnis.com/read/20150131/77/397172/tarif-pajak-hiburan-meroket-pebisnis-spa-terancambangkrut 4 Ibid
tarif pajak hiburan yang salah satunya pajak hiburan atas spa. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan penulisan yang dirumuskan adalah: “Apakah latar belakang kenaikan tarif pajak hiburan atas industri spa di DKI Jakarta?”
1.3
Tujuan Penelitian Penulisan ini mengkaji tentang alasan yang melatarbelakangi pembuatan kebijakan
kenaikan tarif pajak hiburan atas industri spa yang mana hal tersebut direpresentasikan dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2015 tentang perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pajak Hiburan. Penulisan ini dibuat sebagai tugas Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah Pengantar Kebijakan Pajak yang mana dalam penulisan ini penulis menggunakan metode studi pustaka dan literatur dalam menjawab pertanyaan penulisan.
BAB 2 KERANGKA KONSEPTUAL
2.1
Kebijakan Publik Kebijakan Publik menurut Dye merupakan apapun yang dipilih pemerintah dan tidak
dipilih oleh pemerintah5, sedangkan Nugroho mengartikan kebijakan publik sebagai suatu keputusan yang dibuat oleh negara dan strategi untuk merealisasikan tujuan negara 6. Tak jauh berbeda dengan definisi yang diungkapkan Nugroho, Laswell mengartikan kebijakan publik sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, serta praktek-praktek tertentu7. Sejalan dengan apa yang telah didefinisikan sebelumnya, Subarsono mengungkapkan bahwa dalam pembuatan kebijakan publik terdapat kerangka kerja yang akan ditentukan oleh beberapa hal berikut: 1) Tujuan yang hendak dicapai 2) Preferensi nilai 3) Sumber daya yang mendukung kebijakan 4) Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan 5) Lingkungan yang mencangkup lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya 6) Strategi yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan8. Selain itu, Anderson juga menambahkan bahwa kebijakan publik merupakan kebijakan yang dirumuskan dan dikembangkan oleh pemerintah, dalam hal ini Anderson menjelaskan rumusannya terhadap beberapa unsur yang ada dalam kebijakan publik: 1) Kebijakan publik dibuat dan diterapkan karena adanya suatu tujuan khusus yang berorientasikan kepada hasil bukan sekedar tindakan yang tidak sistematis atau dengan sengaja dirumuskan oleh pemerintah 2) Kebijakan publik merupakan serangkaian pola yang dilakukan oleh pemerintah bukan sekedar keputusan yang terpisah 3) Hasil kebijakan merupakan tindakan yang akan pemerintah lakukan bukan sekedar apa yang mereka inginkan ataupun apapun yang mereka katakan ingin dilakukan
5
Dye, Thomas R. 2002. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall Nugroho, Riant. 2011. Public Policy (Edisi ketiga). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo 7 Laswell, H.D. 1979. The Signature of Power. New Brunswick, NJ: Transaction Books 8 Subarsono, A.G. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 6
4) Pada kebijakan publik terdapat kebijakan yang bersifat mendorong maupun melarang masyarakat 5) Kebijakan publik harus didasarkan pada hukum dan bersifat mengatur masyarakat9.
2.2
Formulasi Kebijakan Publik Formulasi kebijakan merupakan suatu rangkaian proses perumusan kebijakan yang
dilakukan oleh pembuat kebijakan sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan10. Menurut Widodo, formulasi kebijakan merupakan suatu hal yang penting karena apabila tidak dilakukan formulasi yang baik secara tepat dan komprehensif maka hasil kebijakan tidak bisa diimplementasikan dengan baik atau sulit untuk diimplementasikan sehinggal hal ini dapat berdampak kepada tidak tercapainya tujuan dari pembuatan kebijakan tersebut11. Widodo juga mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat 4 tahapan formulasi kebijakan yang baik yaitu: 1) Identifikasi dan pemahaman masalah 2) Penyusunan agenda 3) Formulasi masalah kebijakan 4) Mendesain kebijakan12. Disisi lain, Islamy dalam bukunya yang berjudul Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara mengelompokkan tahapan formulasi kebijakan secara lebih luas menjadi enam tahap, yaitu: 1) Perumusan masalah kebijakan 2) Penyusunan agenda pemerintah 3) Perumusan usulan kebijakan negara 4) Pengesahan kebijakan negara 5) Pelaksanaan kebijakan negara 6) Penilaian kebijakan negara13.
2.3
Kebijakan Pajak Kebijakan pajak menurut Rosdiana dan Irianto merupakan kebijakan fiskal dalam arti
sempit14. Kebijakan pajak itu sendiri meliputi hal-hal yang mencangkup kewajiban dan tata cara perpajakan seperti siapa yang dikenakan pajak, apa saja yang dapat diklasifikasikan sebagai objek
9
Anderson, James. 1984. Public Policy Making. New York: Holt, Binehart, and Winston Abidin, Said Zainal. 2004. Kebijakan Publik Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah 11 Widodo, Joko. 2007. Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik. Malang: Bayumedia Publishing 12 Ibid 13 Islamy, M. Irfan. 1997. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara 14 Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. 2012. Pengantara Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 10
pajak, dan bagaimana prosedur pelaksanaan pemungutan pajak15. Kebijakan perpajakan secara garis besar dapat dirumuskan sebagai: 1. Suatu pilihan atau keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka menunjang penerimaan negara, dan menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif. 2. Suatu tindakan pemerintah dalam rangka memungut pajak, guna memenuhi kebutuhan dana untuk keperluan negara. 3. Suatu keputusan yang diambil pemerintah dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak untuk digunakan menyelesaikan kebutuhan dana bagi negara.16
Selain itu, Cobham menjelaskan bahwa ada empat tujuan yang harus dicapai dalam pembuatan suatu kebijakan pajak, yaitu: 1. Revenue Pendapatan merupakan tujuan yang paling jelas dan merupakan tujuan langsung dari perpajakan, sehingga tujuan pembuatan suatu kebijakan pajak haruslah dapat memberikan kontribusi pendapatan bagi negara.
2. Redistribution Bertujuan agar memberikan suatu kalangan tertentu cara untuk mencapai penghasilan sesuai yang dibutuhkan, dengan mengangkat masyarakatnya keluar dari garis kemiskinan. 3. Representation Merupakan keuntungan yang sangat potensial yang dipicu oleh sistem pajak yang dapat berfungsi dengan baik. 4. Re-pricing economic alternatives Sektor pajak merupakan alat utama bagi pemerintah untuk mempengaruhi perilaku dari WP di negaranya.17
15
Mansury. 1996. Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta: Indonesia Hill-Co Devano, Sony dan Siti Kurnia Rahayu. 2006. Perpajakan: Konsep, Teori, dan Isu. Jakarta: Prenada Media Group 17 Cobham, Alex. 2005. Taxation Policy and Development England: The Oxford Council on Good Governance 16
2.4
Fungsi Pajak Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang mempunyai dua fungsi yaitu :
Fungsi anggaran (budgetair) Sebagai sumber dana bagi pemerintah, untuk membiayai pengeluaran-
pengeluarannya. Fungsi ini disebut juga sebagai fungsi penerimaan (revenue function). Oleh karena itu, suatu pemungutan pajak yang baik sudah seharusnya memenuhi asas revenue productivity. Maka dalam menentukan kebijakan pajak, berlaku second base theory. Jika suatu pajak sulit untuk dipungut padahal potensinya cukup besar maka bisa saja pemerintah lebih mengedepankan asas yang dirasa dapat memudahkan pemerintah untuk mengoleksi penerimaan negara yang lebih besar.
Fungsi mengatur (regulerend) Pajak tidak hanya berfungsi sebagai pengisi kantong negara. Pajak memiliki fungsi
lain yaitu sebagai alat pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Contoh tarif atas ekspor sebesar 0% merupakan salah satu bentuk usaha pemerintah agar pengusaha dalam negeri dapat terus bersaing dengan produk mancanegara. Selain itu pajak juga dapat berfungsi sebagai distorsi suatu kegiatan perdagangan dengan cara mengenakan excise (cukai) terhadap barang dan jasa tertentu yang memiliki eksternalitas negatif guna membatasi produksi barang atau jasa tersebut. Kebijakan pajak yang dikeluarkan oleh pemerintah merupakan bagian dari kerangka dari fungsi ekonomi yang harus dilaksanakan oleh negara.18
2.5
Pajak Daerah Seiring dengan perkembangan waktu dan kebutuhan yang lebih kompleks, banyak negara
di dunia termasuk Indonesia memberlakukan otonomi daerah di negaranya. Pemberlakuan otonomi daerah tersebut membuat pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam membangun daerahnya sendiri yang dimana hal tersebut secara tidak langsung mendorong pemerintah daerah untuk menggali potensi sumber keuangan yang ada di daerahnya, salah satunya melalui pajak daerah. Dalam hal ini, merujuk kepada pengertian pajak daerah menurut Marihot P. Siahaan dalam 18
Haula Rosdiana dan Edi Slamet, Pengantar Ilmu Pajak, (Jakarta : Rajagrafindo Perkasa, 2012), hal 39-41
bukunya yang berjudul Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak daerah merupakan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan peraturan daerah yang dimana wewenang pemungutannya dilakukan oleh pemerintah daerah dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah19. Definisi pajak daerah lainnya juga diungkapkan oleh Mardiasmo, menurutnya pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh daerah yang ditetapkan oleh daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga pemerintah daerah tersebut20. Pendapat yang hampir sama juga diutarakan oleh Panca Kurniawan dan Agus Purwanto yang dimana pajak daerah merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota yang berguna untuk menunjang penerimaan pendapatan asli daerah dan hasil penerimaan tersebut masuk dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah21. Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk memungut dan menetapkan berbagai jenis pajak daerah yang berpotensi sebagai sumber penerimaan daerah mereka, dalam hal ini ruang lingkup pajak daerah itu sendiri terbatas oleh objek pajak yang belum dikenakan dalam pajak pusat22. Adanya ketentuan tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya pemungutan pajak ganda yang akibatnya dapat memberatkan wajib pajak. Selain itu, dalam hal suatu pungutan pajak oleh daerah merupakan suatu pajak ganda, maka daerah hanya dapat memungut tambahan (atau opsen) saja atas pajak yang dipungut oleh negara23. Oleh karena itu, kriteria dari pajak daerah itu sendiri dirasa penting, menurut Davey24 kriteria pajak daerah meliputi: 1) Kecukupan dan Elastisitas 2) Keadilan 3) Kemampuan Administratif 4) Kesepakatan Politis 5) Distorsi terhadap Perekonomian.
19
Marihot P. Siahaan. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2005. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
20
Mardiasmo. 2003. Perpajakan. Yogyakarta: ANDI
21
Kurniawan, Panca dan Agus Purwanto. 2004. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing 22
Devano, Sony dan Siti Kurnia. 2006. Perpajakan, Konsep, Teori, dan Isu. Jakarta: Kencana
23
Brotodiharjo, R. Santoso. 1998. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Refika Aditama
24
KJ, Davey. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah. Jakarta: Universitas Indonesia Press
Melalui kriteria tersebut, pembuat kebijakan dapat memilah sumber penerimaan apa yang dapat dijadikan sebagai pajak daerah. Penetapan terhadap pajak daerah adalah suatu hal yang penting karena memiliki kontribusi yang sangat banyak terhadap pendapatan asli daerah (PAD) namun perlu diketahui bahwa peran pajak daerah dalam memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah tergantung dari sesuai atau tidaknya pajak daerah tersebut untuk dijadikan sumber pendapatan daerah25. Pada umumnya, berdasarkan kewenangan pemungutan dan cakupan objek pajak, pajak daerah terbagi menjadi dua jenis yaitu pajak yang dipungut provinsi dan pajak yang dipungut oleh kabupaten atau kota. Pajak provinsi merupakan kewenangan pemungutan pajak oleh pemerintah provinsi yang dimana cakupan objek pajak tersebut hanya sebatas provinsi, dan untuk memperluas objek pajak tersebut hanya dapat dilalui oleh perubahan perundang-undangan. Sedangkan untuk pajak kabupaten atau kota merupakan kewenangan pemungutan pajak oleh pemerintah daerah kabupaten atau kota, cakupan objek pajak tersebut tentunya lebih luas dari pada pajak provinsi, dan untuk memperluas cakupan objek kabupaten atau kota diperlukan adanya perubahan atas peraturan pemerintah.
2.6
Pajak Hiburan Pajak hiburan merupakan salah satu jenis pajak yang tergolong kedalam pajak asli daerah
yang dipungut oleh Pemerintah Daerah (Pemda) tingkat Kabupaten/Kota. Pajak hiburan di beberapa kota besar dijadikan sebagai salah satu jenis pajak yang memiliki potensi yang besar untuk menghasilkan penerimaan daerah dari sektor pajak. Pajak hiburan itu sendiri didefinisikan oleh Nasution sebagai pajak asli daerah yang dikenakan atas semua hiburan dengan memungut bayaran yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah26. Menurut Soelarno, pajak hiburan adalah suatu pertunjukan atau keramaian berupa sandiwara, wayang, bioskop, pertunjukan-pertunjukan di dalam warung kopi, kabaret, sirkus, pertunjukan menyanyi dan musik, balet, dansa, fancy fair, pesta, pameran dan pidato, kecuali pameran dan pidato yang sifatnya penerangan, ilmiah, atau keagamaan. Pertunjukan-pertunjukan
25
Ikhsan, M dan Roy V. Salomo. 2002. Keuangan Daerah di Indonesia. Jakarta: STIA LAN Press
26
Nasution, Agus Salim dkk. 1986. Pajak dan Retribusi Daerah. Jakarta: Penerbit Karunia Universitas Terbuka
di dalam pasar malam, pertunjukan dengan alat musik, pertandingan-pertandingan, dan pertunjukan olahraga, permainan-permainan yang tergabung meminta pembayaran dari penontonnya27. Pajak hiburan dapat dikatakan sebagai pajak yang cukup elastis karena penetapan pajaknya berdasarkan presentase tertentu dari harga masuk (karcis) dan cost of collection atas pajak ini relatif rendah28. Pengenaan pajak hiburan sebenarnya dikenakan kepada pihak penyelenggara hiburan namun dapat dibebankan kepada konsumen dengan cara menaikan harga yang semestinya dibayar oleh konsumen, tarif atas pajak hiburan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan paling tinggi sebesar 35% 29.
27
Soelarno, Slamet. 1999. Seri Pengetahuan Pendapatan Daerah (Administrasi Pendapatan Daerah dalam Terapan). Jakarta: STIA LAN Press 28 Ismail, Tjip. 2005. Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia. Jakarta: PT. Yellow Mediatama 29 Yani, Ahmad. 2004. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
BAB 3 METODE PENELITIAN
Penelitian adalah suatu cara untuk menemukan jawaban-jawaban pada sejumlah pertanyaan yang ingin diketahui oleh peneliti30. Metode penelitian adalah keseluruhan proses berpikir yang dimulai dari menemukan permasalahan kemudian dijabarkan melalui suatu kerangka tertentu yang selanjutnya dilakukan proses pengumpulan data sebagai pengujian empiris untuk mendapatkan penjelasan dalam penarikan kesimpulan atas gejala sosial yang diteliti31.
3.1
Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang dipilih peneliti untuk menjawab pertanyaan permasalahan
yang ada dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Creswell, penelitian kualitatif adalah proses penyelidikan pemahaman berdasarkan tradisi metodologis yang berbeda untuk mengeksplor suatu masalah sosial yang terjadi. Pada penelitian ini, peneliti membangun sebuah gambaran yang kompleks dan secara holistik, menganalisa kata-kata, melaporkan pandangan informan secara rinci, dan mengadakan penelitian dalam kondisi alaminya32. Pendekatan kualitatif dipilih dalam penelitian ini karena beberapa alasan yaitu:
Memahami isu-isu rumit suatu proses karena penelitian ini lebih mengacu kepada formulasi suatu kebijakan
Memahami isu-isu yang terjadi secara nyata lebih rinci. Penelitian ini akan melihat bagaimana situasi atau kenyataan yang dihadapi oleh perumus kebijakan
Meneliti tentang latar belakang suatu fenomena yang tidak dapat diteliti dengan penelitian kuantitatif.
30
Neuman, William Lawrence. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Aprroaches (6 th edition). New York: Pearson Eduaction Inc 31 Moloeng, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya 32 Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, Mix Method Approaches (2 nd edition). United States of America: SAGE Publications Inc
3.2
Jenis Penelitian Setiap penelitian dapat digolongkan berdasarkannya jenisnya. Jenis penelitian itu sendiri
terbagi menjadi empat, yaitu penelitian berdasarkan tujuan, penelitian berdasarkan manfaat, penelitian berdasarkan dimensi waktu, dan penelitian berdasarkan teknik pengumpulan data.
3.2.1
Jenis Penelitian Berdasarkan Tujuan Penelitian Jenis penelitian ini berdasarkan tujuan yang digunakan adalah penelitian deskriptif.
Penelitian deskriptif mampu menyajikan gambaran mengenai sebuah situasi yang spesifik, terperinci, dan keadaan sosial sebenarnya. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah adanya analisis yang terperinci mengenai kebijakan kenaikan tarif pajak hiburan atas industri spa di DKI Jakarta.
3.2.2
Jenis Penelitian Berdasarkan Manfaat Penelitian Bila dilihat pada manfaat yang diperoleh dari penelitian ini, maka penelitian ini
tergolong sebagai penelitian murni. Lebih lanjut, Neuman mendefiniskan penelitian murni sebagai suatu penelitian dasar yang memajukan atau meningkatkan pengetahuan mendasar tentang dunia sosial yang berfokus pada menyangkal atau mendukung teori yang menjelaskan bagaimana dunia sosial beroperasi, apa yang membuat sesuatu terjadi, mengapa hubungan sosial merupakan cara tertentu, dan mengapa masyarakat berubah33. Melihat pada penjelasan yang disampaikan oleh Neuman terkait dengan penelitian murni tersebut, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian murni. Hal ini karena : 1. penelitian ini murni dilakukan untuk pemenuhan keinginan peneliti itu sendiri, bukan
karena permintaan dari pihak lain, 2. penelitian ini juga dilakukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, 3. hasil dari penelitian ini bermanfaat dalam memberikan dasar untuk pengetahuan dan
pemahaman yang dapat dijadikan sumber metode, teori, dan gagasan yang dapat diaplikasikan pada penelitian selanjutnya
33
Neuman, William Lawrence. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Aprroaches (6 th edition). New York: Pearson Eduaction Inc
3.2.3
Jenis Penelitian Berdasarkan Dimensi Waktu Berdasarkan dimensi waktu, penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian
cross-sectional. Penelitian cross-sectional ialah ketika seorang peneliti melakukan penelitian dalam satu waktu34. Dapat dikatakan pula penelitian cross-sectional ialah suatu penelitian yang dilakukan dalam waktu tertentu, tidak akan dilakukan penelitian lain di waktu yang berbeda untuk diperbandingkan dengan penelitian sebelumnya. Penelitian ini menggunakan dimensi waktu cross-sectional karena kebijakan mengenai kenaikan tarif pajak hiburan atas industri spa di Jakarta baru dikeluarkan pada awal tahun 2015.
3.2.4
Jenis Penelitian Berdasarkan Teknik Pengumpulan Data Selain dapat dikategorikan berdasarkan tujuan, manfaat, dan dimensi waktu, suatu
penelitian juga dapat dikategorikan berdasarkan teknik pengumpulan data. Dilihat dari teknik pengumpulan data, penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data kualitatif berupa interpretasi dari data sekunder yang diperoleh dari studi pustaka dan literatur.
34
Neuman, William Lawrence. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Aprroaches (6 th edition). New York: Pearson Eduaction Inc
BAB 4 GAMBARAN UMUM
4.1
Pemungutan Pajak Hiburan di DKI Jakarta Melalui Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI Jakarta Pemungutan pajak hiburan termasuk pajak hiburan atas industri spa di DKI Jakarta
dilakukan oleh Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI Jakarta. Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI Jakarta merupakan suatu organisasi daerah yang memiliki tanggung jawab untuk mengurus dan mengatur pendapatan daerah. Nama Dinas Pelayanan Pajak (DPP) di DKI Jakarta sudah beberapa kali berganti nama, namun pada tahun 2008 Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2008 tentang organisasi perangkat daerah yang merubah sebutan Dinas Pendapatan Daerah DKI Jakarta menjadi Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta yang kemudian hal ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur Nomor 34 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta. Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI Jakarta sebagai organisasi daerah memiliki tujuan utama yaitu menyelenggarakan pemungutan pendapatan daerah dan mengadakan koordinasi dengan instansi lain dalam hal perencanaan, pelaksanaan, serta pengendalian pemungutan pendapatan daerah. Dalam hal melaksanakan tugasnya, DPP DKI Jakarta memiliki beberapa fungsi yaitu: 1) Perumusan Kebijakan Teknis di Bidang Pendapatan Darah 2) Perencanaan Rencana dan Program Kegiatan di Bidang Pendapatan Daerah 3) Penelitian, Pengkajian, Evaluasi, Penggalian, dan Pengembangan Pendapatan Daerah 4) Pembinaan Pelaksanaan Kebijakan Pelayanan di Bidang Pendapatan Daerah 5) Penyelenggaraan Pelayanan dan Pemungutan Pajak Daerah 6) Pengkoordinasian Pemungutan Dana Perimbangan 7) Pemberian Izin di Bidang Pendapatan Daerah 8) Evaluasi, Pemantauan, dan Pengendalian Pungutan Pajak Daerah 9) Pengelolaan Dukungan Teknis dan Administratif 10) Pembinaan Teknis Pelayanan Kegiatan Suku Dinas, Unit Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan bermotor.
4.2
Pajak Hiburan di DKI Jakarta Dalam melakukan pemungutan pajak hiburan di DKI Jakarta tentunya pihak DPP DKI
Jakarta perlu mengacu dan mematuhi peraturan yang berlaku yang dimana peraturan tersebut dapat dijadikan sebagai landasan hukum. Dasar hukum atas pajak hiburan di DKI Jakarta mengacu kepada: 1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mana merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 2) Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pajak Hiburan yang mana merupakan perubahan dari Peraturan Daerah Nomor 13 tahun 2010 tentang Pajak Hiburan
Berdasarkan pasal 1 ayat 24 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang dimaksud dengan pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan yang mana menurut pasal 3 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2015 yang termasuk kedalam objek pajak hiburan adalah tontonan film, pagelaran kesenian musik, tari, dan/atau busana, kontes kecantikan, pameran, diskotik karaoke, sirkus, acrobat, sulap, permainan bilyar, bowling, pacuan kuda, pacuan kendaraan bermotor, permainan ketangkasan, panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, pusat kebugaran (fitness center), pertandingan olahraga. Pada ayat selanjutnya yaitu pada pasal 4 yang dikecualikan dari objek pajak hiburan adalah penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran.
Pada pajak hiburan yang menjadi subjek pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menikmati hiburan sedangkan yang menjadi wajib pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan. Dasar pengenaan pajak hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan termasuk potongan harga dan tiket secara cuma-cuma (gratis) yang diberikan kepada penerima jasa hiburan. Tarif pajak hiburan di DKI Jakarta sesuai dengan Perda Nomor 3 Tahun 2015 paling kecil sebesar 0% untuk hiburan tradisional dan paling besar sebesar 35% untuk pajak hiburan atas panti pijat, mandi uap, dan spa.
Tabel 4.2 Tarif Pajak Hiburan DKI Jakarta Berdasarkan Perda Nomor 3 Tahun 2015
No
Jenis Hiburan
Tarif
1
Pertunjukan Film di Bioskop
10%
2
Pagelaran Kesenian, Musik, Tari, dan/atau Busana
3
4
5
Lokal:
0%
Nasional:
5%
Internasional:
15%
Kontes Kecantikan Lokal:
0%
Nasional:
5%
Internasional:
15%
Pameran Non Komersial:
0%
Komersial:
10%
Diskotik, Klub Malam, Pub, Bar, Musik Hidup (live music), musik dengan Disc Jockey (DJ), dan sejenisnya
6
25%
Sirkus, Akrobat, Sulap Lokal:
0%
Nasional dan Internasional:
10%
7
Permainan Bilyar, dan Bowling
10%
8
Pacuan Kuda
9
Lokal:
5%
Tradisional:
15%
Pacuan Kendaraan Bermotor
15%
10
Permainan Ketangkasan
10%
11
Panti Pijat, Mandi Uap, dan Spa
35%
12
Refleksi dan Pusat Kebugaran (fitness center)
10%
13
Pertandingan Olahraga Lokal:
0%
Nasional:
5%
Internasional
15%
Besaran pokok pajak hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Perhitungan pajak hiburan dapat dirumuskan sebagai berikut: Pajak Hiburan yang Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak = Tarif Pajak x Jumlah Pembayaran untuk Menonton/Menikmati Hiburan
4.3
Industri Spa Spa yang merupakan singkatan dari Solus Per Aqua yaitu perawatan dengan menggunakan
air merupakan salah satu upaya kesehatan yang dapat dilakukan untuk menjaga, meningkatkan, serta memulihkan kesehatan dalam kesegaran, kecantikan, relaksasi dengan menyeimbangkan body, mind, spirit. Pelayanan spa itu sendiri menggunakan sumber daya alam seperti sumber air panas, sumber air, dan lumpur mineral untuk perawatan dan pengobatan. Selain itu, pelayanan spa juga menggunakan aroma terapi, pijatan, herbal, dan suasana pendukung seperti latar alunan musik, warna ruangan, dan hal lainnya yang dapat menciptakan suasana tenang dan nyaman. Seiring dengan berjalannya waktu, pelayanan spa telah menjadi suatu industri pelayanan jasa. Ditinjau dari kegiatannya, metode perawatan dengan melakukan perawatan dan menggunakan bantuan terapis menjadikan spa sebagai salah satu bentuk pelayanan kesehatan
tradisional. Upaya keseahatan tradisional itu sendiri adalah upaya kesehatan yang dilakukan dengan cara lain diluar ilmu kedokteran yang mencangkup cara teknik, obat, mengacu kepada pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan turun temurun yang diperoleh melalui pendidikan maupun berguru. Pada tahun 2004 dikeluarkan peraturan Menteri Kesehartan Nomor 1205/Menkes/Per/X/2004 tentang Pedoman Persyaratan Kesehatan Pelayanan Sehat Pakai Air (SPA) untuk memberi standar Spa yang terdiri dari prinsip dasar dan ruang lingkup spa, penatalaksanaan spa, pembinaan dan pengawasan spa, monitoring, dan evaluasi serta tata cara perizinan penyelenggaraan spa. Penggolongan spa menurut tujuan perawatannya terbagi dua yaitu health spa (wellness spa) dan medical spa. Health spa adalah perawatan spa yang memberikan peningkatan pelayanan kesehatan, pemeliharaan, dan pemeliharaan tubuh yang lebih menekankan kepada relaksasi dan keindahan penampilan. Sedangkan, medical spa adalah kategori spa yang memberikan pelayanan secara menyeluruh yakni peningkatan kesehatan, pemeliharaan, pencegahan, dan dengan dengan mengutamakan kepada pemulihan (revitalisasi dan rehabilitasi). Spa pada umumnya menyuguhkan beberapa perawatan untuk tubuh seperti dengan menggunakan terapi air (hydrotherapy), pijat (massage), terapi aroma dengan minyak esens, relaksasi, rejuvenasi, revitalisasi, dan spa terapi. Pada pelayanan spa yang terkait dengan jasa yang disuguhkan atas spa itu sendiri terbagi menjadi tiga kategori, yaitu: 1) Kategori minimal yang menggunakan peralatan sederhana 2) Kategori sedang dengan menggunakan peralatan sedang 3) kategori utama yaitu perawatan spa dengan menggunakan hidroterapi dan peralatan yang kompleks. Penggunaan peralatan spa itu sendiri tentunya harus terjamin mutu, manfaat, dan keamanannya. Selain itu, alat kesehatan tersebut harus terdaftar di Departemen Kesehatan. Pada tabel 4.3 akan terlihat perbedaan peralatan pada setiap kategori spa.
Tabel 4.3 Peralatan Pelayanan Spa Peralatan
Peralatan Sedang
Peralatan Utama/Kompleks
Sederhana/Minimal a. Shower
a. Aqua Medic Pool
b. Bath Tub
-Jaccuzi/Whirlpool
c. Steamer Tradisional
-Bath tub
d. Facial (Manual)
a. Aqua Medic Pool - Jaccuzi - 2 Whirlpool
b. Steamer/Sauna
- 1 Water Exercise Area
c. Electric Blanket d. Sound System e. Facial Equipment
b. Hydro Tub (air and water jet)
f. Electric Massage
c. Electric Blanket
Sederhana d. Sound System e. Facial Equipment f. Electric Massage g. Shower Room (kapasitas 5 orang) h.
Steamer/Sauna (kapasitas 5 orang)
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1
Analisis Perubahan Tarif Pajak Hiburan atas Industri Spa Perkembangan industri spa di Indonesia teruma di kota-kota besar seperti Jakarta dari tahun
ke tahun berkembang pesat. Berdasarkan data yang didapatkan oleh tim marketing.co.id bahwa industri spa di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 7% setiap tahunnya35. Tak hanya itu industri spa yang semakin menjamur ini juga mampu mengepakan sayapnya di kancah Internasional, seperti pada tahun 2010 industri spa di Indonesia mengalami pertumbuhan ketiga terscepat di Asia setelah India dan Cina, kemudian pada tahun 2014 kemarin beberapa industri spa di Indonesia mengikuti pameran kecantikan yang bertajuk Beyond Beauty ASEAN di Bangkok36. Hal ini tentunya semakin mendorong penanam modal dan pelaku usaha membuka usaha di bidang pelayanan spa. Jakarta merupakan salah satu kota destinasi wisata spa di Indonesia selain Bali dan Yogyakarta. Perkembangan dunia usaha spa ini rupanya juga dimanfaatkan oleh Pemprov DKI dalam meningkatkan penerimaan daerah. Menurut peraturan perundang-undangan Nomor 28 Tahun 2009, industri spa merupakan salah satu objek pajak hiburan yang karena termasuk salah satu jenis dari pajak daerah maka pemungutannya dilakukan oleh pemerintah daerah setempat. Pemprov DKI melihat perkembangan industri spa menjadi salah satu objek wisata dan juga pajak hiburan yang berpotensi dalam penerimaan daerah. Hal ini lantas membuat Pemprov DKI pada pertengahan tahun 2014 memiliki klausul untuk menaikan tarif pajak hiburan atas industri spa menjadi 35%. Hal tersebut dinilai pemerintah sebagai salah satu upaya untuk mengoptimalisasikan pendapatan daerah dari sektor pajak yang mana pada tahun 2014 target sebesar Rp 32.5 Triliun tidak dapat terealisasi dengan baik namun kemudian pada tahun 2015 target penerimaan daerah dari sektor pajak naik sebesar Rp 3.5 triliun atau menjadi Rp 36 triliun.
35
http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/05/18/lldyo1-wowoindustri-spa-indonesia-masuktiga-besar-asia 36 http://gaya.tempo.co/read/news/2014/06/28/110588764/spa-indonesia-ikut-pameran-di-bangkok
Target penerimaan daerah dari sektor pajak yang begitu besar dalam hal ini membuat pajak hiburan dari sektor industri spa menjalankan fungsi budgetairnya secara lebih maksimal. Pemprov DKI memanfaatkan tarif maksimal pajak daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yaitu sebesar 35% pada pajak hiburan industri spa, hal tersebut tentunya harus
dipertimbangkan
secara
matang
agar
tidak
menimbulkan
distorsi
pada
pengimplementasiannya seperti mengganggu perekonomian atas sektor industri spa yang dimana dapat menimbulkan dampak buruk terhadap penerimaan daerah dari sektor pajak hiburan maupun dari sektor pariwisata. Selain itu, dalam menggali potensi pajak yang dimiliki Pemprov DKI perlu memperhatikan perbandingan hasil pajak yang dipungut dengan biaya pungut. Hal ini diperlukan agar jangan sampai potensi penerimaan pajak yang ingin digali oleh pemerintah justru memberikan collecting cost yang lebih besar dibanding revenue yang dihasilkan. Kenaikan tarif pajak hiburan atas industri spa ini diatur di dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2015 yang mana pada peraturan ini secara garis besar terdapat dua perubahan yang signifikan terkait tarif pajak hiburan di DKI Jakarta yaitu kenaikan tarif pajak hiburan atas industri spa, panti pijat, dan pemandian uap dan penurunan tarif pajak hiburan atas hiburan tradisional menjadi 0%. Pembuatan kebijakan ini di satu sisi dinilai baik untuk perkembangan hiburan tradisional namun disisi lain penurunan tarif yang diberikan kepada industri tradisional secara tidak langsung terlihat seolah-olah seperti mengalihkan penerimaan pajak dari sektor hiburan tradisional kepada sektor industri panti pijat, pemandian uap, dan spa sehingga hal ini berdampak kepada kenaikan tarif pajak hiburan atas industri panti pijat, pemandian uap, dan spa sebesar 15%. Hal ini rupanya menuai kontroversi dari para pelaku usaha spa yang sebagaimana menurut penuturan Yudit Elma selaku Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Spa di Indonesia (ASPI) DPD DKI Jakarta untuk membuka usaha spa diperlukan modal yang cukup besar sekitar 2 miliar belum lagi untuk mencapai break even point, pengusaha membutuhkan waktu yang tidak cepat dengan rata-rata margin terbaik mereka hanya 20-30%, hal ini tentunya akan sangat memberatkan apabila Pemprov DKI mengenakan pajak atas spa sebesar 35% yang dengan kata lain melebihi margin keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha tersebut. Yudit Elma juga mengungkapkan
bahwa apabila kebijakan tersebut tetap diimplementasikan maka bukan hal yang tidak mungkin apabila banyak pelaku usaha yang akan bangkrut atau menutup usahanya37. Perda Nomor 3 Tahun 2015 mengenakan tarif pajak hiburan atas semua industri spa. Hal ini semestinya perlu dijelaskan secara lebih rinci karena industri spa itu sendiri memiliki tiga kategori yaitu kategori minimal, sedang, dan utama. Terlebih saat ini, banyak industri spa yang tidak hanya menawarkan jasa spa namun jasa lainnya seperti jasa prostitusi yang lebih dikenal dengan spa ++. Hal tersebut perlu diperhatikan karena margin keuntungan industri spa pada umumnya 20-30% akan berbeda dengan industri spa ++ yang margin keuntungannya bisa lebih dari 50%. Apabila tarif pajak yang dikenakan lebih besar dari margin keuntungan yang didapat oleh pengusaha bukan tidak mungkin kalau pelaku usaha lebih memilih untuk menutup usahanya dan pindah ke kota lain yang tarif pajak hiburan atas industri spa nya lebih kecil. Penetapan tarif pajak hiburan atas industri spa yang termaktub pada Perda Nomor 3 Tahun 2015 merupakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang dimana seperti yang diungkapkan oleh Dye yaitu what government choose to do and not to do, pemerintah memiliki kewenangan untuk memilih apa yang dipilihnya dan tidak dipilihnya dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik38. Selain itu, Perda Nomor 3 Tahun 2015 juga merepresentasikan kebijakan perpajakan yang dibuat oleh Pemprov DKI yang dalam hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Devano bahwa secara garis besar kebijakan perpajakan haruslah merupakan suatu keputusan yang diambil pemerintah dalam rangka meningkatkan penerimaan daerah namun hendaknya Pemprov DKI juga memperhatikan sudut pandang pelaku usaha spa yang merasakan dampak langsung dari kebijakan ini39. Selain itu, kebijakan kenaikan tarif pajak atas industri spa di DKI Jakarta semestinya memperhatikan terlebih dahulu tarif pajak daerah disekitarnya. Dalam hal ini Pemprov DKI dapat belajar dari permasalahan yang muncul akibat penetapan Nilai Sewa Reklame (NSR) yang dianggap terlalu tinggi yang menyebabkan pemerintah kekurangan pemasukan dari sektor pajak reklame dan tak lama setelah penetapan NSR yang baru pemprov DKI memberikan insentif dengan
37
http://jakarta.bisnis.com/read/20150131/77/397172/tarif-pajak-hiburan-meroket-pebisnis-spa-terancam-bangkrut
38
Dye, Thomas R. 2002. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall Devano, Sony dan Siti Kurnia Rahayu. 2006. Perpajakan: Konsep, Teori, dan Isu. Jakarta: Prenada
39
menurunankan NSR sebesar 50%40. Pada kasus tersebut tentunya banyak stakeholder yang lebih memilih untuk memasang reklame nya di daerah-daerah sekitar Jakarta seperti Depok, Tangerang, Bekasi, Bogor, dan Bandung ketimbang harus memasang reklamenya di Jakarta karena NSR yang terlalu tinggi. Hal ini secara tidak langsung berkaitan dengan kenaikan tarif pajak hiburan atas industri spa yang mana dapat membuat pelaku usaha spa lebih memilih menanamkan modalnya atau membuka usahanya di kota-kota lain yang memiliki tarif pajak hiburan atas industri spa lebih rendah.
40
http://poskotanews.com/2014/10/23/harga-sewa-reklame-tinggi-dikeluhkan-pengusaha/
BAB 6 PENUTUP
6.1
Kesimpulan Perkembangan industri spa yang cukup pesat di Jakarta nampaknya membuat Pemprov
DKI membidik industri tersebut sebagai salah satu objek penerimaan daerah yang dapat digali, hal tersebut direpresentasikan dengan adanya kebijakan kenaikan tarif pajak hiburan atas industri spa di DKI Jakarta yang sebagaimana hal ini diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2015. Kenaikan tarif pajak hiburan atas industri spa menjadi 35% merupakan salah satu cara Pemprov DKI untuk meningkatkan penerimaan daerah dari sektor pajak. Hal ini dikarenakan target penerimaan daerah dari sektor pajak di tahun 2015 ini naik menjadi Rp 36 triliun yang mana sebelumnya pada tahun 2014 Pemprov DKI belum dapat mencapai target penerimaan pajak sebesar Rp 32.5 triliun. Selain itu, dengan ketentuan tersebut Pemprov DKI juga berusaha untuk menutupi potential loss yang ada pada pajak hiburan tradisional yang mana menurut Perda Nomor 3 Tahun 2015 tarif pajak tersebut diturunkan menjadi 0%.
6.2
Saran Perda Nomor 3 Tahun 2015 mengenakan tarif pajak hiburan atas semua industri spa. Hal
ini semestinya perlu dijelaskan secara lebih rinci karena industri spa itu sendiri memiliki tiga kategori yaitu kategori minimal, sedang, dan utama. Jangan sampai industri spa yang berada pada kategori minimal atau sedang merasa sangat terbebani dengan kenaikan tarif pajak hiburan yang baru, karena hal ini akan berdampak kepada perekonomian daerah baik dari sektor pajak daerah maupun sektor pariwisata. Pemerintah dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta semestinya dapat lebih bijak dalam membuat maupun menetapkan kebijakan, hendaknya kebijakan yang dibuat tidak merugikan industri kecil yang baru berkembang ataupun mendistorsi perekonomian industri spa. Ada baiknya sebelum membuat suatu kebijakan, Pemprov DKI telah berkaca kepada permasalahan serupa yang sebelumnya pernah terjadi sehingga pada pengimplementasiannya tidak timbul masalah yang tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku: Abidin, Said Zainal. 2004. Kebijakan Publik Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah Anderson, James. 1984. Public Policy Making. New York: Holt, Binehart, and Winston Brotodiharjo, R. Santoso. 1998. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Refika Aditama Cobham, Alex. 2005. Taxation Policy and Development England: The Oxford Council on Good Governance Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, Mix Method Approaches (2nd edition). United States of America: SAGE Publications Inc Devano, Sony dan Siti Kurnia Rahayu. 2006. Perpajakan: Konsep, Teori, dan Isu. Jakarta: Prenada Media Group Dye, Thomas R. 2002. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall Ikhsan, M dan Roy V. Salomo. 2002. Keuangan Daerah di Indonesia. Jakarta: STIA LAN Press Islamy, M. Irfan. 1997. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara Ismail, Tjip. 2005. Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia. Jakarta: PT. Yellow Mediatama KJ, Davey. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah. Jakarta: Universitas Indonesia Press Kurniawan, Panca dan Agus Purwanto. 2004. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing Laswell, H.D. 1979. The Signature of Power. New Brunswick, NJ: Transaction Books Mansury. 1996. Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta: Indonesia Hill-Co Mardiasmo. 2003. Perpajakan. Yogyakarta: ANDI Marihot P. Siahaan. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2005. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta Moloeng, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya Nasution, Agus Salim dkk. 1986. Pajak dan Retribusi Daerah. Jakarta: Penerbit Karunia Universitas Terbuka Neuman, William Lawrence. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Aprroaches (6th edition). New York: Pearson Eduaction Inc Nugroho, Riant. 2011. Public Policy (Edisi ketiga). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. 2012. Pengantara Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Soelarno, Slamet. 1999. Seri Pengetahuan Pendapatan Daerah (Administrasi Pendapatan Daerah dalam Terapan). Jakarta: STIA LAN Press Subarsono, A.G. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Widodo, Joko. 2007. Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik. Malang: Bayumedia Publishing Yani, Ahmad. 2004. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sumber Lainnya: http://jakarta.bisnis.com/read/20141120/77/274214/dki-targetkan-penerimaan-pajak-rp36-triliun http://antaranews.com Global Spa Summit 2011: Industri Spa di Indonesia Semakin Maju http://jakarta.bisnis.com/read/20150131/77/397172/tarif-pajak-hiburan-meroket-pebisnis-spaterancam-bangkrut http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/05/18/lldyo1-wowoindustri-spaindonesia-masuk-tiga-besar-asia http://gaya.tempo.co/read/news/2014/06/28/110588764/spa-indonesia-ikut-pameran-di-bangkok http://poskotanews.com/2014/10/23/harga-sewa-reklame-tinggi-dikeluhkan-pengusaha/